Reduction of Irrigation and Pruning leaves for Solar Radiation Use Efficiency of Maize in Dryland

PENGURANGAN IRIGASI DAN PEMANGKASAN DAUN
UNTUK EFISIENSI PEMANFAATAN RADIASI SURYA
TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING

TISEN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengurangan Irigasi
dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman
Jagung di Lahan Kering adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Tisen
NRP G251110041

RINGKASAN
TISEN. Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun
untuk Efisiensi
Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering. di bimbing oleh
Yonny Koesmaryono dan Impron.
Di Indonesia, kebanyakan budidaya tanaman jagung (Zea Mays L.)
dilakukan di lahan kering dimana air merupakan faktor utama pembatas produksi.
Sehingga, diperlukan adanya pengembangan teknik budidaya yang efisien dalam
hal penggunaan air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh
pengurangan irigasi dan pemangkasan daun di bawah tongkol terhadap
kemampuan tanaman dalam mengintersepsi radiasi matahari untuk pertumbuhan,
efisiensi pemanfaatan radiasi dan air (EPR dan EPA) serta produktivitas tanaman
jagung di lahan kering. Perlakuan irigasi untuk pemenuhan kebutuhan air tanaman
dilakukan dalam 3 taraf, yakni pemenuhan kebutuhan 100% dari total kebutuhan
air tanaman untuk satu musim pertumbuhan (DI 100%), pengurangan 20 dan 40%

dari total kebutuhan air tanaman (DI 80% dan DI 60%). Sedangkan perlakuan
pemangkasan dilakukan pada saat tanaman telah memasuki fase generatif dengan
3 taraf, yakni tanpa pemangkasan (P0) sebagai kontrol serta pemangkasan 3 dan 6
daun di bawah tongkol (P3 dan P6).
Efisiensi pemanfaatan radiasi surya perlakuan DI 80% (3.2 g MJ-1) tidak
berbeda nyata dengan EPR perlakuan DI 100% (3.1 g M-1), keduanya lebih besar
dari EPR perlakuan DI 60% (2.6 g MJ-1). EPR perlakuan P0 (3.1 g MJ-1) tidak
berbeda nyata dengan EPR perlakuan P1 (3.0 g MJ -1), keduanya lebih tinggi dari
EPR perlakuan P6 (2.7 g MJ-1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengurangan
40% dari total kebutuhan air tanaman atau pemangkasan 6 daun di bawah tongkol
dapat menurunkan efisiensi pemanfaatan radiasi.
Produktivitas tanaman pada perlakuan DI 100% (7.0 ton ha -1) adalah yang
tertinggi. Produktivitas tanaman pada perlakuan DI 80% (6.6 ton ha -1) tidak
berbeda nyata dengan DI 100% dan DI 60% (6.2 ton ha -1). EPA perlakuan DI
60% (0.74 kg m-3) secara nyata lebih tinggi daripada EPA perlakuan DI 80%
(0.59 kg m-3) maupun EPA perlakuan DI 100% (0.50 kg m-3). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa pengurangan irigasi hingga 40% beresiko menurunkan
produktivitas tanaman karena kebutuhan air tanaman tidak terpenuhi secara
optimal. Meskipun demikian, berdasarkan kondisi lahan kering yang ketersediaan
air sangat terbatas, pengurangan irigasi dapat diterapkan sebagai teknik budidaya

yang efisien dalam hal penggunaan air agar produksi berkelanjutan dan konservasi
sumber daya air dapat terwujud.
Kata kunci: Zea Mays L. intersepsi, produktivitas, kebutuhan air.

SUMMARY
TISEN. Reduction of Irrigation and Pruning leaves for Solar Radiation Use
Efficiency of Maize in Dryland. guided by Yonny Koesmaryono and Impron .
In Indonesia, maize (Zea Mays L.) is cultivated mostly on the dry land,
where water is the main limiting factor for production. Thus, it is necessary to
develop the efficient cultivation techniques in terms of water use. The objective of
this study was to evaluate the effect of the reduction of irrigation and pruning
leaves below the cob on the ability of plants to intercept solar radiation for
growth, and for radiation and water use efficiency (RUE and WUE) and maize
productivity. Irrigation treatments for crop water requirement is conducted on 3
levels, namely 100% fulfilment of the total water requirement for one growing
season (DI 100%), the reduction of 20 and 40% of the total crop water
requirement (DI 80% and DI 60%). While pruning is conducted by the time plants
have entered the generative phase with 3 level of treatments, i.e. without pruning
(P0) as a control, and prunning of 3 and 6 leaves below cob (P3 and P6).
Radiation use efficiency (RUE) treatments DI 80% (3.2 g MJ-1) was not

significantly different from treatment DI 100% (3.1 g M-1), is greater than the
RUE treatments DI 60% (2.6 g MJ-1). RUE P0 treatment (3.1 g MJ-1) was not
significantly different from treatment RUE P1 (3.0 g MJ-1), both higher than the
P6 RUE treatment (2.7 g MJ-1). These results indicate that the reduction of 40% of
the total crop water requirement or trimming 6 below cob leaf can decrease the
RUE.
Plant productivity on DI 100% treatment (7.0 ton ha -1) was the highest.
Plant productivity on DI 80% treatment (6.6 ton ha-1) was not significantly
different from DI 60% and DI 100% (6.2 ton ha-1). WUE treatment DI 60% (0.74
kg m-3) significantly higher than WUE treatment DI 80% (0.59 kg m-3) and WUE
treatment DI 100% (0.50 kg m-3). The results showed that the reduction of
irrigation up to 40%, could reduce the crop productivity because of crop water
requirements are not fulfilled optimally. Nonetheless, the reduction of irrigation
can be applied as an efficient cultivation techniques in terms of water use so that
the sustainable production and conservation of water resources can be achieved.

Key words : Zea Mays L., interception, productivity, water requirement.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGURANGAN IRIGASI DAN PEMANGKASAN DAUN
UNTUK EFISIENSI PEMANFAATAN RADIASI SURYA
TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING

TISEN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Rini Hidayati, MS

Judul

Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi
Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering

Nama

Tisen
G25111 0041
NRP
Program Studi : Klimatologi Terapan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Vonny Koesmaryono, MS
Ketua

Dr Ir Impron, MAgrSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Klimatologi Terapan

Dr Ir Tania June, MSc

Tanggal Ujian : 26 Juli 2013

Tanggal Lulus :

2 3 OCT 2013


Judul

: Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi
Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering

Nama
: Tisen
NRP
: G251110041
Program Studi : Klimatologi Terapan

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS
Ketua

Dr Ir Impron, MAgrSc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Klimatologi Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Tania June, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 26 Juli 2013

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juni 2012 ini ialah

produktivitas jagung di lahan kering, dengan judul Pengurangan Irigasi dan
Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung
di Lahan Kering.
Penulis menyampaikan penghargaan dan terimah kasih kepada Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2, dan
Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang telah
membiayai penelitian ini. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny
Koesmaryono, MS selaku Ketua Komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Impron,
M. Agr Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan
mengarahkan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Bapak Haruna, S.Pi, M.Si, Kepala BPTP NTT dan
Kepala Kebun Percobaan (KP) Naibonat yang telah menfasilitasi tempat
penelitian dan sarana pendukung lainnya. Dan terima kasih pada teman-teman
mahasiswa Program Studi Klimatologi Terapan (Yopi Ilhamsyah, Syahrizal Koem,
Lisa Tanika, Rahmi Ariani, Heni Maryati, Subekti Sulistyawati dan Sisi Febriyani
Muin), yang telah memberikan masukan dan dukungan. Rasa hormat yang
setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Taswin Kaluku dan
Suniwati D Pakaya) atas doa dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan, sehingga penulis berbesar hati untuk selalu menerima saran dan
masukan yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan hasil penelitian ini.
Atas segala saran dan masukan, penulis mengucapkan terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013

Tisen

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Iklim dan Pertanian
Pertanian di Lahan Kering Beriklim Kering
Masalah Pertanian di Lahan Kering
Kebutuhan Air Tanaman Jagung
Pengembangan Teknologi Hemat Air
Efisiensi Pemanfaatan Radiasi oleh Tanaman

4
5
6
7
8
10

3 METODE
Bahan dan Alat
Lokasi
Rancangan Penelitian
Pelaksanaan Penelitian
Pengukuran
Agronomi
Skenario Pemberian Irigasi
Pemangkasan Daun
Panen
Efisiensi Pemanfaatan Air dan Irigasi

11
12
12
13
14
16
17
19
19
20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

20
32

SIMPULAN DAN SARAN

38

DAFTAR PUSTAKA

39

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

56

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Skenario pemberian irigasi
Indeks luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi
Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung
Pengaruh pengurangan irigasi terhadap luas daun
Pengaruh pengurangan irigasi terhadap jumlah daun
Pengaruh pengurangan irigasi terhadap tinggi tanaman
Pengaruh pengurangan irigasi terhadap biomassa tanaman
Respon hasil tanaman jagung terhadap pengurangan irigasi dan
pemangkasan daun
Respon hasil tanaman terhadap pemangkasan daun
Produktivitas tanaman
Efisiensi pemanfaatan air dan irigasi
Jumlah dan bobot daun hasil pemangkasan
Analisis ekonomis manfaat pemangkasan daun untuk pakan ternak sapi
Analisa pemanfaatan daun hasil pemangkasan untuk hijauan makanan
ternak (HMT) sapi
Analisa ekonomis pemangkasan daun tanaman jagung untuk hijauan
makanan ternak (HMT)

17
23
25
27
29
29
29
30
30
31
32
37
37
38
38

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Saluran irigasi sederhana
Curah hujan bulanan rata-rata di lokasi penelitian
Unsur-unsur cuaca di lokasi penelitian selama musim tanam
Evapotranspirasi potensial selama penelitian
Indeks Luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi
Intersepsi radiasi surya oleh tanaman
Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung pada perlakuan
pengurangan irigasi dan pemangkasan daun
8 Laju asimilasi bersih dan laju tumbuh tanaman jagung pada masingmasing pengurangan irigasi.
9 Peubah-peubah pertumbuhan tanaman jagung pada masing-masing
perlakuan irigasi.
10 Produktivitas tanaman jagung pada perlakuan pengurangan irigasi dan
pemangkasan daun

18
20
21
22
23
24
25
26
28
31

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Karakteristik tanah di lokasi percobaan
Data cuaca
Hasil sidik ragam indeks luas daun
Analisis pertumbuhan tanaman
Sidik ragam komponen hasil tanaman
Dokumentasi kegiatan di lokasi penelitian
Deskripsi jagung varietas Lamuru

47
47
51
51
52
54
55

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tantangan bagi masyarakat dunia adalah mencapai ketahanan pangan
berkelanjutan di tengah pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, degradasi
sumber daya alam dan perubahan iklim global. Perubahan iklim global akan
mempengaruhi unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya
dengan pertanian, yaitu, a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap
unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer; b) berubahnya pola
curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim seperti El
Nino maupun La Nina (Las 2007).
Untuk menghadapi perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan
pertanian, berbagai langkah antisipasi yang telah diupayakan berjalan bukan tanpa
kendala. Dalam pelaksanaannya, sering muncul beberapa hal yang menjadi
permasalahan sektor pertanian, misalnya pada langkah untuk meningkatkan
produksi pertanian dengan cara memperluas areal pertanian. Konversi lahan
pertanian yang subur untuk kepentingan nonpertanian terus berlangsung seperti
perumahan, industri, bisnis dan infrastruktur. Menghadapi kenyataan bahwa
semakin menurunnya ketersediaan lahan yang layak untuk areal pertanian, maka
kita seyogyanya berpaling ke potensi yang masih cukup luas di Indonesia yakni
lahan kering (Dahlan 2001).
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau
tergenang air pada sebagian rumput, perkebunan, dan lahan tidak diusahakan
(Abawi et al. 2002). Karakteristik lahan kering kurang menguntungkan karena
keragaman ekosistemnya cukup kompleks akibat adanya faktor lingkungan yang
menjadi pembatas. Rendahnya produktivitas lahan kering, selain disebabkan oleh
tingkat kesuburan tanah yang rendah, juga disebabkan oleh rendahnya intensitas
indeks pertanaman karena kebutuhan air tidak tersedia sepanjang tahun.
Evapotranspirasi cukup tinggi pada musim kemarau sehingga tanaman mudah
mengalami stress dan berdampak pada produktivitas yang tidak optimal
(Abdurachman 2008).
Faktor pembatas pengembangan pertanian di lahan kering adalah
ketersediaan air tanah yang disebabkan oleh pola iklim dan pemilihan jenis
tanaman budidaya yang terbatas. Faktor pembatas tersebut harus disikapi dengan
arif melalui inovasi teknologi yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang
(Supriyanto 2010).
Upaya peningkatan hasil pertanian lahan kering beriklim kering perlu
tindakan secara selektif dan memilih komoditas yang adaptif terhadap kondisi
lahan kering. Di Indonesia, petani biasanya memanfaatkan lahan kering untuk
budidaya jagung (Koesmaryono et al. 2005). Namun, jagung sensitif terhadap
cekaman kekeringan (Pandey et al. 2000), sehingga lahan kering dianggap sebagai
lahan yang tidak produktif untuk budidaya tanaman jagung.
Sensitivitas tinggi jagung terhadap kekeringan berarti bahwa dalam kondisi
defisit air, sulit untuk menerapkan strategi pengelolaan irigasi tanpa menimbulkan
kerugian hasil yang signifikan (Lamm et al. 1994). Defisit air pada tanaman
menyebabkan cekaman kekeringan yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi

2
tanaman dan hasil (Doorenbos dan Kassam 1979). Stone et al. (2001) menyatakan
bahwa efisiensi pemanfaatan radiasi surya (EPR) tanaman jagung dipengaruhi
oleh faktor ketersediaan air tanah. Traore et al. (2000) menyatakan bahwa
cekaman kekeringan dapat menurunkan ILD. Penurunan ILD berpengaruh pada
efisiensi pemanfaatan radiasi surya oleh tanaman untuk menghasilkan asimilat,
karena intersepsi radiasi sangat ditentukan oleh ILD (Bonhomme 2000).
Kekurangan sumber daya air memaksa petani lahan kering untuk
mempertimbangkan pilihan pengurangan irigasi untuk mengurangi penggunaan
air pertanian (Jose et al. 2006). Pengurangan irigasi dalam beberapa kasus mampu
menghemat air dengan mengurangi konsumsi air dan sedikit kehilangan dalam
hasil tanaman (Fereres dan Soriano 2006). Pemakaian air irigasi yang efisien
adalah pemberian air yang cukup untuk membuat perakaran dalam keadaan
kapasitas lapang dan pegaturan pemberian air yang sesuai dengan jumlah air yang
dibutuhkan pada setiap fase pertumbuhan.
Di daerah kering dan semi-kering, ketersediaan air yang sangat terbatas
memerlukan perubahan besar dalam pengelolaan irigasi dan penjadwalan dalam
rangka meningkatkan efisiensi penggunaan air yang dialokasikan untuk pertanian
(FAO 2002). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterbatasan air di lahan
kering tidak diikuti oleh kebiasaan petani dalam penggunaan air untuk budidaya
tanaman. Pemberian irigasi tanaman sering tidak mempertimbangkan keterbatasan
pasokan air yang tersedia.
Pengurangan irigasi atau yang lebih umum dikenal sebagai irigasi defisit
diusulkan sejak lama sebagai suatu teknik yang mengairi zona akar yang
mengarah pada langkah pengurangan evapotranspirasi untuk menminimalisir
penggunaan air irigasi dengan mempertahankan laba bersih petani (Hoffman et al.
1990). Penurunan ketersediaan air untuk irigasi dan hasil positif yang diperoleh
dalam beberapa tanaman pohon buah telah memperbaharui minat dalam
mengembangkan informasi tentang irigasi defisit untuk berbagai tanaman (FAO
2002; Fereres dan Soriano 2006). Dorji et al. (2005) menyatakan bahwa irigasi
defisit bisa menjadi strategi irigasi layak untuk produksi di mana manfaat dari
penghematan air melebihi penurunan massa total segar buah.
Selain pengurangan irigasi, untuk meningkatkan produktivitas tanaman
jagung di lahan kering ditempuh dengan cara pemangkasan daun bawah pada fase
generatif. Cara ini dapat mempersingkat siklus metabolisme tanaman pada fase
generatif agar suplai makanan mengarah ke pengisisan biji sehingga memperkecil
aktivitas transpirasi pada tanaman jagung agar penggunaan air lebih efisien
dengan berkurangnya transpirasi dari daun sehingga efisiensi aliran energi dapat
tercapai, dan dapat tersalurkan dalam pengisian biji, yang nantinya berpengaruh
bobot biji sehingga dapat meningkatkan produktivitas (Crookston dan Hick 1977).
Tujuan dari pemangkasan suatu tanaman adalah untuk mengendalikan
ukuran dan bentuk tanaman, mempercepat dan memperkuat pertumbuhan dan
meningkatkan produksi baik kualitas maupun kuantitas (Janick 1972). Daun
merupakan organ utama untuk menyerap cahaya dan melakukan fotosintesis.
Spesies tanaman budidaya yang efisien cenderung menginvestasikan sebagian
besar awal pertumbuhan dalam bentuk penambahan luas daun, yang berakibat
adanya peningkatan pemanfaatan radiasi matahari (Gardner 1991). Adisarwanto
dan Widiastuti (2004), menyatakan pemangkasan daun tidak mengurangi produksi
apabila dilakukan pemangkasan daun pada umur 50 hari setelah tanam. Sementera

3
Mattobii (2004), menyebutkan bahwa pemangkasan daun dapat meningkatkan
berat pipilan apabila dilakukan pemangkasan daun pada umur 75 hari setelah
tanam.
Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang pengurangan irigasi dan
pemangkasan daun bawah tanaman jagung terhadap : 1) Efisiensi pemanfaatan
radiasi; 2) Produktivitas tanaman; dan 3) Efisiensi pemanfaatan air dan irigasi
tanaman jagung yang ditanam di lahan kering beriklim kering.

Rumusan Masalah
Sebagian wilayah Indonesia timur memiliki lahan kering yang dapat
dimanfaatkan sebagai sentra produksi jagung. Budi daya tanaman jagung di lahan
kering terkendala oleh ketersediaan air yang jumlahnya terbatas karena curah
hujan yang rendah. Teknologi pemanenan air hujan dengan pembuatan embung
yang kemudian disalurkan melalui saluran irigasi sederhana telah dilakukan.
Namun, rancangan skema irigasi untuk mengairi lahan tidak membahas situasi di
mana ketersediaan air merupakan kendala budidaya tanaman jagung di lahan
kering, sehingga dirumuskan masalah yang akan dicari jawabannya melalui
penelitian yakni apakah langkah pengurangan irigasi dan pemangkasan daun
bawah tanaman yang akan ditempuh dapat meningkatkan produktivitas lahan
kering beriklim kering dengan kondisi ketersediaan air yang terbatas serta radiasi
surya dan tingkat penguapan (evapotranspirasi) yang cukup tinggi.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisa pertumbuhan tanaman untuk
melihat pengaruh pengurangan irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman
terhadap efisiensi pemanfaatan radiasi surya dan produktivitas tanaman jagung
(Zea Mays L.) yang ditanam di lahan kering beriklim kering.

Manfaat Penelitian
Penelitan ini diharapkan mencapai luaran berupa suatu rekomendasi
aplikatif, yang bisa diterapkan oleh petani tentang pengurangan air irigasi dan
pemangkasan daun bawah tanaman jagung. peningkatkan produktivitas serta
peningkatan efisiensi pemanfaatan air dalam pertanian irigasi dapat tercapai,
untuk menjamin produksi berkelanjutan dan konservasi sumber daya air terbatas.

Ruang Lingkup Penelitian
Curah hujan yang rendah menjadi faktor pembatas kegiatan budidaya
tanaman jagung di lahan kering beriklim kering. Cekaman kekeringan
mempengaruhi fisiologi tanaman seperti menurunkan ekspansi luas daun yang
dapat mempengaruhi efisiensi pemanfaatan radiasi surya dan produksi tanaman
jagung. Langkah menghemat penggunaan air dengan cara mengurangi pasokan air

4
irigasi ke lahan budidaya, serta mengurangi penguapan dengan cara mengeluarkan
bagian-bagian tanaman yang tidak produktif perlu dipertimbangkan. Oleh karena
itu, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mengkaji langkah pengelolaan air
irigasi yang lebih efisien dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung di lahan
kering. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh pengurangan irigasi dan
pemangkasan daun terhadap efisiensi pemanfaatan radiasi surya dan air serta
produktivitas tanaman jagung yang dibudidayakan di lahan kering dengan
mengabaikan pengaruh jarak tanam, aplikasi pupuk dan faktor lainnya yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Iklim dan Pertanian
Pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang sangat tergantung pada cuaca
dan iklim untuk menghasilkan makanan dan serat yang diperlukan untuk
mempertahankan kehidupan manusia melalui pemanfaatan energi matahari
melalui proses fotosintesis. Cahaya tampak yang digunakan untuk proses
fotosintesis merupakan bagian spektrum energi radiasi. Tumbuhan menyerap
energi matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia. Bahan kimia yang
pertama terbentuk adalah nukleotida tereduksi dengan ATP. Senyawa-senyawa ini
merupakan senyawa antara yang berumur pendek, yang mengkarboksilasi CO 2
menjadi seyawa organik yang stabil (Gardner et al. 2008).
Spesies tumbuhan berbeda-beda responnya terhadap tingkat cahaya. Seperti
kebanyakan spesies C4, jagung mampu meningkatkan fotosintesis bahkan sampai
pada tingkat cahaya yang sangat terik, Sedangkan kebanyakan spesies C 3 telah
mencapai tingkat kejenuhan sebelum cahaya penuh/terik (Gardner et al. 2008).
Dinyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi akan menghambat biosintesis
klorofil, khususnya pada biosintesis 5-aminolevulinat sebagai prekursor klorofil.
Hesketh dan Moss (1962) mengemukakan bahwa daun jagung dapat
mengalami jenuh atau kenyang cahaya pada konsentrasi CO2 yang rendah kirakira 40 ppm. Tingkat fotosintesis pada konsentrasi CO2 500 ppm dapat mencapai
1,4 kali lipat fotosintesisnya pada konsentrasi CO2 320 ppm bila intensitas cahaya
1,0 ly/menit. Jika faktor-faktor lain tidak merupakan faktor pembatas, maka
intensitas cahaya merupakan faktor utama yang menentukan kecepatan tumbuh
tanaman jagung (Duncan et al. 1973).
Selain cahaya, suhu sebagai salah satu unsur cuaca dan iklim turut
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Para ilmuwan telah
lama mengakui pentingnya suhu dalam mengatur tingkat proses fisiologis dan
mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan tanaman. Setiap proses penting
dibatasi untuk kisaran suhu yang sesuai dan memiliki suhu operasi yang optimal.
Laude (1974) Menyatakan bahwa respon suhu dikondisikan oleh faktor lain dari
lingkungan. Dua contoh adalah asosiasi suhu dengan kelembaban dan energi
radiasi dengan suhu.

5
Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada proses
respirasi, dimana hasil fotosintesis akan diubah menjadi CO 2 dan H2O, sehingga
semakin besar respirasi, laju pertumbuhan tanaman menjadi berkurang. Pengaruh
suhu yang lain yaitu dalam pertumbuhan panjang akar tanaman, dimana
kedalaman akar bertambah secara linier dengan heat unit sampai saat pembungaan.
Peningkatan suhu akan mempengaruhi proses fisiologis yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan akhirnya yang paling mungkin
menurunkan hasil panen. Kersebaum et al. (2009) menyatakan bahwa suhu yang
lebih tinggi di musim panas kemungkinan besar akan berpengaruh negative
terhadap fotosintesis dan dengan demikian mengurangi produksi biomassa. Suhu
malam hari yang lebih tinggi menimbulkan peningkatan respirasi sehingga
mengurangi produksi netto dalam bentuk hasil gabah (Rasul et al. 2012).
Tanaman mutlak membutuhkan air sebagai salah satu bahan dasar untuk
menghasilkan biomassa melalui proses fotosintesis. Curah hujan merupakan
faktor peubah penentu yang sangat penting dan merupakan sumber air utama bagi
tanaman, Jika air tersedia maka kebutuhan air tanaman lebih ditentukan oleh
faktor iklim, terutama radiasi surya, tekanan uap atmosfer dan angin. Kebutuhan
air bagi tanaman pada umumnya makin meningkat dengan bertambahnya umur
tanaman sampai mencapai pertumbuhan vegetatif maksimum untuk kemudian
menurun kembali sampai panen. Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm
pada awal pertumbuhan sampai 120 mm pada pertumbuhan paling aktif. Dalam
hal ini distribusi curah hujan lebih penting daripada total curah hujan. Menurut
penelitian diketahui bahwa penurunan hasil akibat kekeringan mencapai 15%
(Muhadjir 1988).

Pertanian di Lahan Kering Beriklim Kering
Definisi dari konvensi internasional PBB mengenai lahan kering adalah
lahan yang menerima curah hujan tahunan kurang dari dua per tiga dari
evapotranspirasi potensial (ETp), dimana produksi tanamannya dibatasi oleh
ketersediaan air. Kategori lahan kering ini termasuk lahan budidaya, semak
belukar, padang rumput, dan padang pasir. Istilah lahan kering seringkali
digunakan untuk padanan upland, dryland atau unirrigated land. Kedua istilah
terakhir mengisyaratkan pengunaan lahan untuk pertanian tadah hujan
(Notohadinegoro, 2000). Tinggi rendahnya produktivitas lahan kering berkorelasi
dengan pola curah hujan karena sumber air irigasinya adalah berasal dari air hujan
(Abawi et al. 2002).
Berdasarkan jumlah dan distribusi hujan, Las et al. (1991) membagi lahan
kering menjadi lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering.
Lahan kering beriklim basah adalah lahan dengan curah hujan lebih dari 2000 mm
tahun-1 dengan masa tanam sistem tadah hujan lebih dari 6 bulan, sedangkan lahan
kering beriklim beriklim kering adalah lahan dengan curah hujan kurang dari 2000
mm tahun-1 dan masa tanam kurang dari 6 bulan. Menurut Hidayat dan Mulyani
(2002), lahan kering beriklim basah umumnya tersebar di Sumatera, Kalimantan,
Papua, Sulawesi tengah, Serta wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lahan
kering beriklim kering umumnya tersebar di Indonesia bagian timur (Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian besar Sulawesi Tenggara,

6
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, serta sedikit wilayah di Sumatera dan
Kalimantan.
Lahan kering menempati areal yang terluas dan memiliki kedudukan yang
strategis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan kering
merupakan sarana penting dalam usaha pemerataan pembangunan. Lahan kering
merupakan penghasil berbagai komoditas pertanian seperti pangan, sandang,
perkebunan, perumahan, obat-obatan, disamping sebagai penghasil devisa
(Wikantika dan Agus 2006).

Masalah Pertanian di Lahan Kering
Kendala produksi di lahan kering adalah kondisi fisik lahan (kedalaman
tanah relatif dangkal, sebagian horizon A atau B hilang tererosi, lereng curam,
kekeringan), teknologi (penerapan teknik konservasi yang lemah), dan sosial
ekonomi (ketiadaan modal untuk menerapkan teknologi anjuran dan tiadanya
subsidi dan kredit bagi petani pelaksana teknologi konservasi). Agregat dari
kendala fisik, teknologi, dan sosial ekonomi tersebut adalah produktivitas lahan
rendah. Biaya untuk meningkatkan produktivitas lahan meningkat, jumlah
penduduk miskin bertambah, dan yang dikhawatirkan adalah ketidakstabilan
ekonomi, sosial, dan politik (Fagi dan Las 2006).
Aqil (2008) mengungkapkan bahwa pertumbuhan tanaman di lahan kering
secara langsung dipengaruhi oleh faktor iklim terutama curah hujan. Berbeda
dengan padi sawah, yang lingkungan tumbuhnya selalu tergenang air, di lahan
kering seringkali mendapat berbagai cekaman (stress) karena kekeringan,
keracunan dan kekahatan berbagai unsur-unsur hara, selain gangguan berbagai
penyakit dan gulma (curah hujan tahunan di lahan kering berkisar antara 1200
hingga 3000 mm).
Jumlah dan sebaran hujan merupakan komponen iklim yang amat penting
yang mencirikan kesesuaian suatu lingkungan untuk pertumbuhan tanaman.
Ketersediaan air untuk tanaman tergantung pula pada sifat fisik tanah, terutama
daya memegang airnya. Oleh karena itu, pada lahan kering curah hujan dan
kapasitas tanah memegang air merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan produksi tanaman. Masalah ini dapat diatasi antara lain dengan
penggunaan varietas unggul berumur genjah, saat tanam yang tepat dan membuat
konservasi air permukaan berupa embung/waduk kecil (Idjudin dan Marwanto
2008).
Kelangkaan air sangat menghambat proses produksi pertanian khususnya di
lahan kering beriklim kering. Hujan merupakan sumber air utama tanaman di
sebagian besar wilayah Indonesia. Di daerah kering beriklim kering, curah hujan
tahunan yang lebih dari 1000 mm mampu mendukung pertanian dengan
diterapkannya teknologi hemat air. Curah hujan sebesar 1000 mm tahun -1 bila
dimanfaatkan secara efisien dapat menunjang proses produksi untuk dua musim
tanam tanaman semusim dengan asumsi bahwa kebutuhan air secara umum untuk
tanaman semusim lahan kering adalah 120 mm per bulan (Oldeman et al. 1980).
Untuk pengembangan pertanian lahan kering, masalah teknis merupakan
dasar penyusunan program terpadu dalam kaitannya dengan pengembangan
sistem pertanian berkesinambungan (sustained agricultural system). Berdasarkan

7
pertimbangan faktor-faktor potensi lahan, kendala fisik lingkungan, dan keadaan
sosial ekonomi penduduk. Ekstensifikasi dan intensifikasi pertanaman, tanaman
semusim di lahan kering perlu dilakukan. Dalam pemanfaatan lahan-lahan kering
harus dikembangkan teknologi yang ramah lingkungan, dengan memperhatikan
aspek konservasi tanah dan air untuk menjaga kelestarian sistem produksi.
Tanaman jagung (Zea mays L.) mempunyai kemampuan adaptasi yang luas
dan relatif mudah dibudidayakan, sehingga komoditas ini ditanam oleh petani di
Indonesia pada lingkungan fisik dan sosial-ekonomi yang sangat beragam.
Tanaman spesies C4 ini merupakan komoditas yang adaptif pada lahan kering,
hanya saja produktivitasnya rendah (Haruna 2011).
Konsumsi jagung semakin meningkat namun belum diikuti oleh
peningkatan produksi. Laju pertumbuhan produksi lebih rendah dari laju
konsumsi, rata-rata hanya 4% tahun-1 sehingga Indonesia masih harus impor lebih
kurang 3.2 juta ton dari negara produsen (Haruna 2012:4-5). Di sisi lain terjadi
peningkatan khususnya pada sektor bahan pakan ternak. Kebutuhan jagung
sebagai bahan pangan cenderung mengalami penurunan. Secara umum produksi
tanaman jagung sering mengalami penurunan seperti yang terjadi pada tahun 2011,
dengan persentase penurunan sebesar 3.73% tahun-1 (BPS 2012). Masih
rendahnya produksi menggambarkan bahwa penerapan teknologi produksi jagung
belum optimal (Zubachtirodin et al. 2007).
Kondisi iklim mikro yang menjamin output dari panen jagung yang besar
dan stabil ditandai dengan cadangan kelembaban tanah yang baik (140 hingga 180
mm kelembaban produktif dalam lapisan tanah kedalaman 1 m) selama sebagian
besar dari musim tanam, disertai kondisi suhu yang optimum. Cadangan
kelembaban tanah sangat dipengaruhi oleh kadar air yang terdapat pada lapisan
tanah dan jumlahnya dipengaruhi oleh evapotranspirasi. Besarnya
evapotranspirasi di dipengaruhi oleh berbagai faktor (Mather 1974), yaitu (a)
iklim (radiasi neto, kecepatan angin, dan kelembaban tanah), (b) tipe tanah, (c).
(d) tipe vegetasi dan kedalaman perakaran, dan (e) praktek pengolahan tanah.
Perkembangan dan pertumbuhan tanaman jagung juga ditentukan oleh
proses fisiologi yang berlangsung didalamnya seperti proses transpirasi. Salisbury
dan Ross (1992) menyatakan besarnya uap air yang ditranspirasikan dipengaruhi
faktor dari dalam tumbuhan (jumlah, luas dan jumlah stomata daun) dan faktor
luar (suhu, cahaya, kelembaban, dan angin). Ketidakberimbangan ketersedian air
dengan tingginya transpirasi daun menyebabkan penyerapan air yang digunakan
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan denngan jumlah air yang terbuang melalui transpirasi.

Kebutuhan Air Tanaman Jagung
Salah satu faktor penting yang menunjang pertumbuhan tanaman jagung
adalah air yang merupakan faktor pembatas dan sangat penting untuk
mendapatkan hasil panen jagung yang tinggi. Aqil (2008) menyatakan bahwa
lahan yang kekurangan air akan menyebabkan aerasi udara dalam tanah terganggu
dan pasokan oksigen dalam tanah tidak lancar, sehingga perkembangan tanaman
menjadi tertunda atau mengalami kekerdilan.

8
Kecenderungan untuk menanam jagung di daerah rawan distribusi curah
hujan yang tidak normal juga diduga menjadi alasan untuk difusi lambat
peningkatan teknologi. Sidhu et al. (2006) melaporkan bahwa estimasi global
penurunan 15% dalam produksi jagung setiap tahunnya disebabkan kekeringan.

Pengembangan Teknologi Hemat Air
Saeed et al. (1998) mempelajari respon genotipe terhadap kekeringan dalam
tiga genotipe jagung. Kekeringan selama perkembangan reproduksi menyebabkan
pengurangan maksimum (50%) dalam hasil gabah dari tiga kultivar diikuti oleh
kekeringan selama perkembangan vegetatif. Kekeringan selama perkembangan
reproduksi memiliki efek penekanan lebih besar pada faktor penentu fisiologis
seperti tingkat pertumbuhan tanaman, laju asimilasi bersih rata-rata dan indeks
panen dari tiga kultivar selama perkembangan vegetatif. Otegui et al. (1995)
melaporkan bahwa defisit air mengurangi tinggi tanaman, indeks luas daun
maksimum dan pembentukan biomassa.
Chiaranda et al. (1977) melaporkan penurunan hasil saat tanaman
mengalami cekaman kekeringan sebelum tasselling, stadium susu, pembentukan
biji dan anthesis, masing-masing sebesar 29, 29, 28 dan 22% bila dibandingkan
dengan perlakuan tanpa cekaman. Jurgens et al. (1978) melaporkan bahwa
cekaman menurunkan hasil gabah sebesar 42%. Rudat (1978) menunjukkan
penurunan terbesar dalam jumlah butir per tongkol, butir per baris dan bobot 1000
butir, stres terlambat dibandingkan dengan stress awal yang mengakibatkan
pengurangan hasil gabah. Javonovic (1979) melaporkan hasil yang sama. Bari et
al. (1980) melaporkan penurunan bobot per 1000 biji ketika tanaman itu
mengalami stres selama tahap pengisian biji.
Air diperlukan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhan biologisnya,
antara lain untuk memenuhi transpirasi dalam proses asimilasi untuk
pembentukan karbohidrat serta pengangkutan hasil-hasil fotosintesis ke seluruh
jaringan tanaman. Penerapan teknologi hemat air dapat dikembangkan di lahan
kering. Dampak konservasi air dapat bermanfaat antara lain terhadap tanaman
tahunan, tambahan pendapatan, kontribusi lengas tanah dan dampak
pengembangannya. Pengembangan teknologi hemat air ini dapat ditempuh
dengan berbagai langkah diantaranya :

Managemen Irigasi yang Baik
Salah satu teknologi hemat air dan berpeluang meningkatan produksi
tanaman di lahan kering adalah dengan memanfaatkan sumber daya air seoptimal
mungkin dengan melakukan analisis agroklimat dikaitkan dengan tanah dan
tanaman, sehingga menjadi informasi yang lebih aplikatif untuk menunjang
perencanaan masa tanam dan menekan resiko kekeringan melalui pemberian
irigasi sesuai kebutuhan tanaman. Studi awal menunjukkan manfaat irigasi pada
pertumbuhan jagung manis, misalnya hasil yang tinggi dapat diharapkan jika stres
air dapat dihindari selama silking dan perkembangan awal bunga (Cordner 1942;
MacGillivray 1949).

9
Skenario pengaturan pemberian irigasi pada musim-musim tertentu seperti
pada musim kemarau, penting dilakukan karena dapat mempengaruhi tingkat
produksi tanaman. Ada tiga aspek penting dalam pemanfaatan air secara efisien
melalui irigasi, yaitu: jumlah air yang diberikan, waktu pemberian dan cara atau
metode pemberian. Pemakaian air irigasi yang efisien adalah pemberian air yang
cukup untuk membuat perakaran dalam keadaan kapasitas lapang dan pegaturan
pemberian air yang sesuai dengan jumlah air yang dibutuhkan setiap fase
pertumbuhan (Harjadi 1979).
Jumlah air yang diberikan dapat didasarkan pada beberapa skenario. Hasil
penelitian menunjukkan pemberian air irigasi kurang dari 20 mm setiap 5 hari
pada musim kering belum mampu mengimbangi kehilangan dan penggunaan air
oleh tanaman, sehingga akan terjadi cekaman air oleh tanaman. Sebaliknya,
apabila air irigasi diberikan lebih dari 20 mm hari-1 akan terjadi pemborosan dan
penjenuhan tanah serta peningkatan aliran permukaan. Ketersediaan air dalam
tanah bagi tanaman umumnya pada kapasitas lapang dengan potensial air tanah 0,03 MPa dan layu permanen -1,5 MPa. Ketersediaan air tanah yang dapat diserap
oleh tanaman adalah pada potensial air -0,03 sampai -0,5 MPa dan pada kondisi
tersebut tanaman mengabsorbsi air sekitar 55 hingga 65% dari yang tersedia. Pada
kondisi potensial air tanah sekitar -0,5 sampai -1,5 Mpa tanaman menunjukkan
gejala kelayuan walaupun tanaman dapat mengabsorbsi air
Selang waktu untuk pemberian irigasi berpotensi meningkatkan hasil
produksi tanaman (Wang et al. 1981). Suhartono et al. (2008) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa interval pemberian air irigasi berpengaruh pada rata-rata
pertambahan tinggi tanaman sebagai pencerminan pertumbuhan tanaman. Haryadi
(1986) menyatakan bahwa pemberian interval air pada kondisi optimal
memungkinkan hormon tertentu bekerja secara aktif dalam didnding sel untuk
meregang.
Dunia menghadapi pemanasan global yang sangat serius, yang akan
menghasilkan pemanasan umum dan secara signifikan meningkatkan evaporasi
dan kebutuhan air irigasi untuk tanaman. Oleh karena itu, perlu untuk mengadopsi
metode irigasi khusus dan efisien, seperti irigasi alur, dalam rangka mencapai
produktivitas yang lebih tinggi dan penggunaan air secara optimal. Studi
lapangan yang dilakukan oleh Gercek et al. 2008) pada tahun 2003 dan 2006
untuk mengevaluasi kinerja irigasi Water Pillow (WP) sebagai alternatif untuk
irigasi Furrow (FI) untuk pertumbuhan kedelai di kondisi iklim semi-kering
menemukan bahwa efisiensi pemanfaatan air Irigasi (Irrigation Water Use
Efficiency) dan efisiensi pemanfaatan air (Water Use Efficiency) dipengaruhi
secara signifikan oleh metode irigasi.
Dalam perencanaan pengairan, agar air dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh
tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan, yang perlu mendapat perhatian
adalah kebutuhan air atau evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi tanaman
dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu evapotranspirasi potensial (ETp)
dan evapotranspirasi aktual (Aqil et al. 2008).
ETp merupakan jumlah air yang ditranspirasikan dalam satuan unit waktu
oleh tanaman yang menutupi tanah secara keseluruhan dengan ketinggian seragam,
tidak pernah kekurangan air, dan tidak terserang hama penyakit. Dengan kata lain,
ETp dapat diinterpretasikan sebagai kehilangan air oleh tanaman yang diakibatkan
oleh faktor klimatologis. Penentuan nilai kebutuhan air tanaman

10
(evapotranspirasi) sejauh ini masih berdasarkan pada persamaan empiris yang
telah banyak dikembangkan (Doorenbos and Pruitt 1984).
Pengelolaan air perlu disesuaikan dengan sumber daya fisik alam (tanah,
iklim, sumber air) dan biologi dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk
membawa air ke perakaran tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi
(Nobe dan Sampath 1986). Sasaran dari pengelolaan air adalah tercapainya empat
tujuan pokok, yaitu: efisiensi pemanfaatan air dan produksi tanaman yang tinggi;
efisiensi biaya penggunaan air, pemerataan penggunaan air atas dasar sifat
keberadaan air yang selalu ada tapi terbatas dan tidak menentu kejadian serta
jumlahnya dan tercapainya keberlanjutan sistem penggunaan sumber daya air
yang hemat lingkungan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan air untuk
tanaman jagung yang banyak dibudidayakan di lahan kering dan tadah hujan,
pengelolaan air penting untuk diperhatikan.

Pemangkasan
Dalam upaya meminimalisir kehilangan air pada tanaman dilakukan
pemangkasan untuk mengurangi laju transpirasi. Daun yang mengalami penuaan
akan berubah fungsi dari produsen asimilat menjadi pengguna asimilat. Pada
tanaman yang bertranspirasi bebas, air dievaporasi dari dinding sel epidermis yang
lembab di bagian dalam daun dan hilang ke atmosfer melalui stomata (Fitter dan
Hay 1994). Pengurangan daun dengan mengambil pada bagian bawah tongkol
akan mengurangi naungan serta meningkatkan intersepsi cahaya dan laju asimilasi
sehingga hasil turut meningkat.
Perompesan untuk memacu pembungaan dilakukan dengan membuang
bagian vegetatif yang tidak produktif terutama daun-daun di bawah tongkol,
sehingga energi atau bahan makanan yang dihasilkan akan dimanfaatkan untuk
proses pengisian biji pada jagung. Pemangkasan daun dilakukan untuk
mengurangi persaingan antara organ-organ reproduktif dalam memanfaatkan
asimilat yang ada (Wiliam dan Joseph 1997).
Daun yang diambil dapat dimanfatkan untuk pakan. Nilai gizi dari daun
tersebut lebih tinggi daripada daun jagung yang telah dipanen buahnya (Fadhly
2009). Bobot daun bagian bawah tongkol dapat mencapai lebih dari 5 ton ha -1,
dan beragam tergantung dari kultivar yang ditanam. Waktu pengambilan daun
antara 20 hingga 30 hari setelah keluarnya bunga jantan memberikan hasil biji
yang tinggi.

Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya oleh Tanaman
Proses fotosintesis tanaman mutlak membutuhkan energi yang berasal dari
Matahari. Namun, tidak semua energi yang berasal dari matahari bisa diserap
untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Penyerapan atau absorbpsi radiasi
surya oleh tanaman, besarnya 80 hingga 90% dalam pita spektrum
Photosinteticaly Active Radiation (PAR), 10 sampai 20% dalam pita spektrum 0.7
sampai 0.8 μm serta sangat kecil pada pita spektrum 0.7 sampai 0.3 μm (Gates et
al. 1965). Absorbsi sangat efisien pada PAR, Jumlah PAR yang diabsorbsi

11
menentukan pertumbuhan tanaman selama fase vegetatif, dan menentukan jumlah
karbohidrat yang akan diakumulasikan selama fase generatif.
Efisiensi pemanfaatan radiasi surya oleh tanaman (EPR), menurut Monteith
(1970) adalah perbandingan antara energi ―output‖ (penumpukan senyawa
organik) terhadap energi yang terpakai atau diistilahkan ―input‖ (radiasi surya
yang diterima tanaman). EPR adalah komponen utama dari model pertumbuhan
tanaman berbasis radiasi, yang mengintegrasikan proses perkembangan, morfologi,
fisiologi, biokimia dan beberapa pada tingkat yang lebih tinggi dari fungsi
tanaman (Turner et al. 2001). Untuk menghitung energi yang terpakai dalam
penumpukan senyawa organik, Monteth (1970) memperkirakan setiap 5,4 mg
bahan kering sama dengan 1 kilo joule energi surya yang terpakai. Efisiensi
tanaman menyimpan energi surya selain dipengaruhi oleh faktor tanaman itu
sendiri, seperti; posisi dan susunan daun, indeks luas daun, struktur/jenis pigmen
daun, ketersedian air dan hara. EPR juga dipengaruhi oleh faktor klimatis, seperti
lintang dan musim, keawanan dan kandungan aerosol atmosfer, komposisi
spektral radiasi surya, konsentrasi CO2 dilingkungan tanaman dan kuantum
cahaya yang dibutuhkan dalam proses fotokimia (Monteith 1970).
Defisit air langsung menurunkan EPR akibat penurunan aktifitas fotosintesis
(Demetriades, Shah et al. 1992), karena defisit air yang terjadi pada kondisi
lapang. Penurunan EPR karena pengaruh defisit air dapat dikuantifikasi dengan
membandingkan EPR observasi dengan EPR pada kondisi air yang cukup.
Pengukuran EPR sangat membantu untuk memahami konsekuensi kekeringan
bagi tanaman, dan variasinya menurut umur dan nitrogen daun spesifik (Muchow
dan Davis 1988).

3 METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih jagung varietas
Lamuru yang termasuk varietas tahan kekeringan dan memiliki produktivitas
tinggi bila ditanam di lahan kering, pupuk Urea, SP-36 dan KCL untuk menambah
kandungan hara di lahan. Disamping itu digunakan pula pupuk kandang, pestisida
(Dithane M-45, Ridomil 35 – SD, Decis 2,5 EC).
Pengairan lahan dengan air yang berasal dari embung menggunakan mesin
pompa, kemudian air dialirkan melalui pipa-pipa sebagai bentuk penyederhanaan
saluran irigasi yang biasa digunakan petani di sekitar lokasi penelitian. Pipa-pipa
yang terpasang sejajar dengan enam alur (furrow) pada masing-masing blok
perlakuan yang telah terbentuk di lahan percobaan akan digunakan sebagai
saluran irigasi sederhana dengan debit yang keluar di masing-masing mulut pipa
sebesar 3 liter detik-1.
Data cuaca berupa suhu, radiasi, kelembaban, kecepatan angin dan curah
hujan sebagai faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang akan digunakan dalam analisis hasil penelitian diperoleh dari data
stasiun klimatologi yang terletak sekitar 500 m dari lahan percobaan.

12
Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan (KP) milik Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur dengan ketinggian tempat 20
m diatas permukaan laut (dpl) dengan posisi 105° 14' 12" BT dan 123° 50' 533"
LS. Penelitian dilakukan dari bulan Juni hingga Okober 2012. Lokasi tersebut
dipilih karena merupakan salah satu daerah di Indonesia yang termasuk kategori
lahan kering beriklim kering.

Rancangan Penelitian
Berdasarkan variabel perlakuan yang digunakan dalam pengaturan
pemberian dosis irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung maka
rancangan yang digunakan adalah rancangan faktorial acak kelompok terpisah
(Split plot design). Petak utama (PU) : Pengurangan Air irigasi terdiri 3 taraf
yaitu : dosis irigasi (DI) 100% yakni pemenuhan 100% total kebutuhan air
tanaman, DI 80 dan 60% yang masing-masing merupakan bentuk pengurangan
20 dan 40% dari total kebutuhan air tanaman selama pertumbuhan. Sedangkan
perlakuan pada anak petak (AP) terdiri 3 taraf yakni pemangkasan 6 daun di
bawah tongkol (P6), pemangkasan 3 daun di bawah tongkol (P3) dan tanpa
pemangkasan daun (P0). Percobaan akan dilakukan dengan 3 ulangan untuk
masing-masing perlakuan. Pelaksanaan percobaan total menggunakan 9 PU
dengan perlakuan pengurangan irigasi, yang kemudian dibagi menjadi 27 AP pada
saat tanaman memasuki fase pembungaan dengan perlakuan pemangkasan daun.
Tiap PU terdiri dari 6 lajur tanam sepanjang 32 m, jarak antar masing-masing PU
1.2 m, lebar PU 6.0 m, sehingga dibutuhkan lahan untuk percobaan dengan luas
total 2.304 m2.
Jarak tanam yang diterapkan adalah 0.8 x 0.2 m, sehingga populasi AP
adalah 300 tanaman. Pengambilan contoh akan dilakukan tiap 7 hari. Perkiraan
umur tanaman 120 hari. Per AP sampling diambil 2 atau 3 tanaman secara acak
per minggu setelah perlakuan pemangkasan dilaksanakan, dan disediakan tanaman
tambahan sebagai pengganti tanaman yang digunakan sebagai contoh (bila perlu).
Pemberian irigasi akan dilakukan dengan interval waktu 14 hari dan
pemangkasan daun dilakukan dengan ditandai bunga jantan (tasseling) 80% sudah
muncul atau 21 hari setelah bunga betina (silking) keluar.
Model linear yang dipakai dalam rancangan ini adalah sebagai berikut :
Yijk =μ +βi + Dj + Eij + Pk + (DP)jk + Eijk
i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2, 3
dimana :
Yijk merupakan nilai pengamatan pada kelompok ke -i dengan dosis irigasi ke –j
dan pemangkasan daun ke -k; Μ adalah rata-rata umum; βi adalah pengaruh
kelompok ke -i; Dj adalah pengaruh dosis irigasi ke - j; Eij adalah pengaruh galat
petak utama; Pk adalah pengaruh perlakuan pemangkasan daun ke –k; JPjk adalah
Pengaruh interaksi dosis irigasi ke – j dengan perlakuan pemangkasan daun ke-k;
dan Eijk adalah pengaruh galat anak petak.

13
Perbedaan pengaruh masing-masing perlakuan pengurangan irigasi dan
pemangkasan daun di uji menggunakan uji Beda nyata terkecil (BNT).

Pelaksanaan Penelitian
Tahap Persiapan
Kegiatan pada tahap pesiapan ini dibedakan atas beberapa bagian antara
lain:
Penentuan Lokasi
Pemilihan dan penentuan lokasi penelitian sudah dilakukan dari bulan April
yang diawali koordinasi dengan instansi terkait (BPTP NTT). Penentuan Lokasi
didasari beberapa hal penting antara lain dekat dengan sumber air, berada pada
hamparan terbuka dan kondisi iklim yang sesuai dengan topik penelitian.
Pengolahan Lahan
Lahan penelitian diawali dengan mengolah tanah dengan menggunakan
mesin pembajak berupa traktor dengan kedalam 15 sampai 20 cm. Pengolahan
lahan dimulai sejak bulan Mei 2012, kondisi tanah saat itu sudah mulai kering,
sehingga memudahkan traktor untuk mengolahnya. Pengolahan lahan dilakukan
beberapa kali tahapan antara lain: (i) Membalikkan tanah; (ii) Menghancurkan
tanah; (iii) Menggusur tanah untuk mendapatkan kemiringan lahan yang baik; (iv)
Merotari atau mencincang ulang tanah yang sudah digusur.

Penanaman
Kegiatan penanam dilakukan sehari setelah penjenuhan/pengairan. Jarak
tanam yang digunakan adalah 80 x 20 cm dengan populasi per lubang masingmasing 2 biji dan panjang alur yang ditanami 32 meter.
Pemupukan
Pupuk yang diberikan adalah N dosis 90 hingga 120 kg ha-1. P2O5 30 sampai
45 kg ha-1. Dan K2O 0 sampai 25 kg ha-1. Kebutuhan dan dosis pupuk tersebut
dapat dikonversikan dengan pupuk Urea 30 kg ha-1. SP-36 100 kg ha-1, dan KCL
100 kg ha-1. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 tahap yaitu: SP-36, KCL dan Urea
diberikan sebanyak 100 kg sebagai pupuk dasar. Pemupukan susulan pertama
yaitu pemberian pupuk urea, dilakukan pada minggu ke 4 sambil melakukan
pembumbunan. Pemupukan susulan kedua yaitu pupuk urea diberikan pada
minggu ke enam. Pemupukan dilakukan dengan cara menabur pada lubang yang
dibuat sedalam 10 cm dengan jarak 10 cm dari lubang tanaman lalu ditutup
dengan tan