Ayunan Ketidakpastian Ekonomi
Judul: Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan
Penulis: Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks
Penerjemah: Abdul Wahid
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, November 2012
Tebal: xx + 492 hlm
ISBN: 978-979-709-678-6
Ayunan Ketidakpastian Ekonomi
Awal mula dorongan lahirnya karya ini muncul dari sebuah pertanyaan, bagaimana
sebuah negara yang besar seperti Indonesia dengan segala sumber daya manusia dan alamnya
yang melimpah mengalami perkembangan ekonomi yang tak menentu dan timpang?
Mereka berdua lalu memetakan dinamika ekonomi Indonesia selama dua ratus tahun
dan melakukan analisis sistematis atas evolusi pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Indonesia. Tujuannya untuk mendiagnosis sebab-sebab mengapa ekonomi Indonesia
menunjukkan pertumbuhan yang tidak menentu dan tingkat ketidaksinambungan yang tinggi.
Dari dua abad perjalanan ekonomi Indonesia, kedua penulis menyampaikan gagasan
bahwa perkembangan ekonomi Indonesia berjalan diantara drama dan keajaiban. Dengan
maksud untuk menandakan bahwa ekonomi Indonesia pernah berada dalam kondisi
keterpurukan dan keberhasilan.
Drama dan keajaiban
Dari analisis terhadap dataset dimungkinkan untuk mencari sebab mengapa
pertumbuhan ekonomi tinggi dan rendah. Zanden dan Marks kemudian menyimpulkan sebabsebab yang mempengaruhi pertumbuhan (1) proximate (perkiraan) (2) ultimate (sebenarnya).
Konsep proximate direlasikan dengan tiga faktor: modal fisik, akumulasi modal sumber daya
manusia dan pertumbuhan produktivitas. Konsep ultimate direlasikan dengan pertimbangan
geografi (akses pasar), kebijakan dan institusi.
Konsep perkiraan untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi Indonesia menggunakan
total factor productivity (TFP). Bila direpresentasikan dalam grafik selama dua ratus tahun,
TFP ini berada dalam kondisi menurun selama periode sistem tanam paksa, depresi ekonomi
dan awal kemerdekaan Indonesia-masa Sukarno. TFP berada dalam kondisi yang meningkat
pada masa liberalisme ekonomi dan masa Orde Baru.
Sistem tanam paksa mengalami kesuksesan awal pada 1830an dengan berhasil
mengingkatkan ekspor kopi, gula dan indigo secara drastis. Keberhasilan ini merupakan buah
dari pola struktur yang mempertemukan kepentingan antara kolonial, elite lokal dan
pedagang China namun mengorbankan petani untuk bekerja lebih keras. Ekspor meningkat
dramatis, tetapi konsentrasi keuntungan mengalir ke kantong Belanda. Harapan yang besar
pada sistem ini berubah keterputusasaan semenjak 1840an. Kegagalan diakibatkan faktorfaktor “sebenarnya” yaitu, lembaga-lembaga bagi pertukaran pasar berkembang tidak baik,
tingkat bunga sangat tinggi, pasar untuk produk pertanian tidak stabil, tidak terintegrasi dan
secara umum tidak berfungsi dengan baik (hlm 144). Institusi ekonomi yang tidak efisien ini
ditambah problem kekuasaan penguasa pribumi yang terlalu absolut.
Sebaliknya, pada masa liberalisme dan politik etis (1870-1914) pertumbuhan ekonomi
meningkat. Hal ini disebabkan oleh dua faktor (1) keberhasilan mengintegrasikan pasar (2)
kualitas lembaga yang membaik. Perubahan radikal sistem transportasi akibat dibukanya
Terusan Suez dan pembangunan sistem kereta api Hindia Belanda memangkas biaya
transportasi dan waktu pengiriman. Revolusi juga terjadi pada sistem pelayaran antar pulau
yang berhasil menghubungkan pulau-pulau terluar dan mengintegrasikannya ke dalam
ekonomi internasional. Bersamaan dengan ini perubahan-perubahan institusional mendorong
terjadinya pertukaran pasar dan perdagangan yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah
ekspor. Tetapi kenyataanya pertumbuhan ini tidak berimbas struktural terhadap penduduk
Indonesia secara riil.
Sesudah Indonesia merdeka bukan berarti ekonomi Indonesia bisa beranjak maju
dengan cepat tanpa campur tangan pemerintah kolonial. Pada masa demokrasi konstitusional
mulai terjadi inkonsistensi dalam hal kebijakan ekonomi, meminjam istilah Hlya Mint,
apakah akan inward looking ataukah outward looking? Benturan ideologis antara golongan
yang disebut John Sutter sebagai development minded dan history minded mengakibatkan
tarik menarik dalam kebijakan ekonomi seperti investasi asing, peran negara, rasionalisasi
administratif dan nasionalisasi. Feith menyebut periode ini “masa komitmen rendah terhadap
beberapa masalah kebijakan ekonomi”.
Instabilitas politik nasional mengakibatkan Sukarno mengambil jalan tegas yang
ditekankan oleh pidato kenegaraan “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Menurutnya
ekonomi Indonesia mesti dikembalikan kepada rel yang benar yakni rel revolusi.
Pembentukan demokrasi terpimpin menurut Mortimer “ingin meletakkan fondasi yang kuat
pembentukan masyarakat sosialis Indonesia”. Implikasi dari pandangan politik Sukarno,
kebijakan ekonomi berorientasi inward looking dengan institusi ekonomi diarahkan
membantu proses sentralisasi ekonomi. Modal asing dibabat perlahan karena menurut
Sukarno merupakan kamuflase dari neo imperialisme Barat. Sukarno juga terlalu fokus untuk
mengurusi masalah konfrontasi Malaysia padahal disaat yang sama masalah ekonomi tidak
terurus dengan baik. Pada masa inilah ambisi politik yang besar tidak diikuti fokus kebijakan
ekonomi dan manajemen institusi yang baik.
Defisit anggaran yang besar, inflasi yang tinggi serta politik nasional yang runyam
membuat Gunnar Myrdal bergumam masa depan ekonomi Indonesia setelah 1966 kecil
prosepeknya berkembang pesat. Tapi yang terjadi, pemerintah Orde Baru berhasil
membangun perekonomian Indonesia dengan belajar dari kegagalan Sukarno. Pelajaran
mendasar yang diambil adalah sebuah rezim yang stabil harus dibangun di atas sebuah
ekonomi stabil dan tumbuh berkembang (hlm 355)
Reorientasi lalu terjadi, akses kepada pasar dibangun kembali melalui kerjasama
dengan kekuatan ekonomi dunia saat itu AS dan Jepang. Kebijakan berorientasi “semboyan
politik” ditinggalkan dan kebijakan ekonomi mulai ditata kepada apa yang disebut Widjojo
Nitisastro sebagai “kembali kepada prinsip-prinsip ekonomi rasional”. Institusi ekonomi
didorong membantu proses perdagangan melalui deregulasi sehingga kegiatan ekspor lebih
efisisen. Indonesia yang disangka terpuruk dalam drama ternyata berhasil berubah menjadi
keajaiban. Namun, Orde Baru meninggalkan kegagalan, kekuasaan tidak bersikap kritis
tentang bagaimana kekuasaan digunakan dan disalahgunakan oleh keluarga dan pengikutnya
(hlm 403). Sehingga inefektivitas, kekuasaan absolut dan korupsi yang tidak ditanggulangi
merupakan biaya mahal dari proses ini.
Apa yang didapat dari buku ini adalah pencerahan untuk menjadikan sejarah ekonomi
sebagai dasar kebijakan. Melalui sejarah kita mengetahui keberhasilan ekonomi tidak hanya
elaborasi dari pembangunan akses kepada pasar yang baik, kebijakan ekonomi berorientasi
terbuka dan institusi kuat mendukung proses ekonomi berjalan secara transparan dan efisien.
Namun juga stabilitas politik, pemerintahan yang demokratis dan rule of law.
Wildan Sena Utama, Peneliti Sejarah Indonesia Interdisciplinary Institute, Asisten pada
Jurusan Ilmu Sejarah, UGM.
Pernah dimuat di Kompas, 3 Maret 2013
Penulis: Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks
Penerjemah: Abdul Wahid
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, November 2012
Tebal: xx + 492 hlm
ISBN: 978-979-709-678-6
Ayunan Ketidakpastian Ekonomi
Awal mula dorongan lahirnya karya ini muncul dari sebuah pertanyaan, bagaimana
sebuah negara yang besar seperti Indonesia dengan segala sumber daya manusia dan alamnya
yang melimpah mengalami perkembangan ekonomi yang tak menentu dan timpang?
Mereka berdua lalu memetakan dinamika ekonomi Indonesia selama dua ratus tahun
dan melakukan analisis sistematis atas evolusi pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Indonesia. Tujuannya untuk mendiagnosis sebab-sebab mengapa ekonomi Indonesia
menunjukkan pertumbuhan yang tidak menentu dan tingkat ketidaksinambungan yang tinggi.
Dari dua abad perjalanan ekonomi Indonesia, kedua penulis menyampaikan gagasan
bahwa perkembangan ekonomi Indonesia berjalan diantara drama dan keajaiban. Dengan
maksud untuk menandakan bahwa ekonomi Indonesia pernah berada dalam kondisi
keterpurukan dan keberhasilan.
Drama dan keajaiban
Dari analisis terhadap dataset dimungkinkan untuk mencari sebab mengapa
pertumbuhan ekonomi tinggi dan rendah. Zanden dan Marks kemudian menyimpulkan sebabsebab yang mempengaruhi pertumbuhan (1) proximate (perkiraan) (2) ultimate (sebenarnya).
Konsep proximate direlasikan dengan tiga faktor: modal fisik, akumulasi modal sumber daya
manusia dan pertumbuhan produktivitas. Konsep ultimate direlasikan dengan pertimbangan
geografi (akses pasar), kebijakan dan institusi.
Konsep perkiraan untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi Indonesia menggunakan
total factor productivity (TFP). Bila direpresentasikan dalam grafik selama dua ratus tahun,
TFP ini berada dalam kondisi menurun selama periode sistem tanam paksa, depresi ekonomi
dan awal kemerdekaan Indonesia-masa Sukarno. TFP berada dalam kondisi yang meningkat
pada masa liberalisme ekonomi dan masa Orde Baru.
Sistem tanam paksa mengalami kesuksesan awal pada 1830an dengan berhasil
mengingkatkan ekspor kopi, gula dan indigo secara drastis. Keberhasilan ini merupakan buah
dari pola struktur yang mempertemukan kepentingan antara kolonial, elite lokal dan
pedagang China namun mengorbankan petani untuk bekerja lebih keras. Ekspor meningkat
dramatis, tetapi konsentrasi keuntungan mengalir ke kantong Belanda. Harapan yang besar
pada sistem ini berubah keterputusasaan semenjak 1840an. Kegagalan diakibatkan faktorfaktor “sebenarnya” yaitu, lembaga-lembaga bagi pertukaran pasar berkembang tidak baik,
tingkat bunga sangat tinggi, pasar untuk produk pertanian tidak stabil, tidak terintegrasi dan
secara umum tidak berfungsi dengan baik (hlm 144). Institusi ekonomi yang tidak efisien ini
ditambah problem kekuasaan penguasa pribumi yang terlalu absolut.
Sebaliknya, pada masa liberalisme dan politik etis (1870-1914) pertumbuhan ekonomi
meningkat. Hal ini disebabkan oleh dua faktor (1) keberhasilan mengintegrasikan pasar (2)
kualitas lembaga yang membaik. Perubahan radikal sistem transportasi akibat dibukanya
Terusan Suez dan pembangunan sistem kereta api Hindia Belanda memangkas biaya
transportasi dan waktu pengiriman. Revolusi juga terjadi pada sistem pelayaran antar pulau
yang berhasil menghubungkan pulau-pulau terluar dan mengintegrasikannya ke dalam
ekonomi internasional. Bersamaan dengan ini perubahan-perubahan institusional mendorong
terjadinya pertukaran pasar dan perdagangan yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah
ekspor. Tetapi kenyataanya pertumbuhan ini tidak berimbas struktural terhadap penduduk
Indonesia secara riil.
Sesudah Indonesia merdeka bukan berarti ekonomi Indonesia bisa beranjak maju
dengan cepat tanpa campur tangan pemerintah kolonial. Pada masa demokrasi konstitusional
mulai terjadi inkonsistensi dalam hal kebijakan ekonomi, meminjam istilah Hlya Mint,
apakah akan inward looking ataukah outward looking? Benturan ideologis antara golongan
yang disebut John Sutter sebagai development minded dan history minded mengakibatkan
tarik menarik dalam kebijakan ekonomi seperti investasi asing, peran negara, rasionalisasi
administratif dan nasionalisasi. Feith menyebut periode ini “masa komitmen rendah terhadap
beberapa masalah kebijakan ekonomi”.
Instabilitas politik nasional mengakibatkan Sukarno mengambil jalan tegas yang
ditekankan oleh pidato kenegaraan “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Menurutnya
ekonomi Indonesia mesti dikembalikan kepada rel yang benar yakni rel revolusi.
Pembentukan demokrasi terpimpin menurut Mortimer “ingin meletakkan fondasi yang kuat
pembentukan masyarakat sosialis Indonesia”. Implikasi dari pandangan politik Sukarno,
kebijakan ekonomi berorientasi inward looking dengan institusi ekonomi diarahkan
membantu proses sentralisasi ekonomi. Modal asing dibabat perlahan karena menurut
Sukarno merupakan kamuflase dari neo imperialisme Barat. Sukarno juga terlalu fokus untuk
mengurusi masalah konfrontasi Malaysia padahal disaat yang sama masalah ekonomi tidak
terurus dengan baik. Pada masa inilah ambisi politik yang besar tidak diikuti fokus kebijakan
ekonomi dan manajemen institusi yang baik.
Defisit anggaran yang besar, inflasi yang tinggi serta politik nasional yang runyam
membuat Gunnar Myrdal bergumam masa depan ekonomi Indonesia setelah 1966 kecil
prosepeknya berkembang pesat. Tapi yang terjadi, pemerintah Orde Baru berhasil
membangun perekonomian Indonesia dengan belajar dari kegagalan Sukarno. Pelajaran
mendasar yang diambil adalah sebuah rezim yang stabil harus dibangun di atas sebuah
ekonomi stabil dan tumbuh berkembang (hlm 355)
Reorientasi lalu terjadi, akses kepada pasar dibangun kembali melalui kerjasama
dengan kekuatan ekonomi dunia saat itu AS dan Jepang. Kebijakan berorientasi “semboyan
politik” ditinggalkan dan kebijakan ekonomi mulai ditata kepada apa yang disebut Widjojo
Nitisastro sebagai “kembali kepada prinsip-prinsip ekonomi rasional”. Institusi ekonomi
didorong membantu proses perdagangan melalui deregulasi sehingga kegiatan ekspor lebih
efisisen. Indonesia yang disangka terpuruk dalam drama ternyata berhasil berubah menjadi
keajaiban. Namun, Orde Baru meninggalkan kegagalan, kekuasaan tidak bersikap kritis
tentang bagaimana kekuasaan digunakan dan disalahgunakan oleh keluarga dan pengikutnya
(hlm 403). Sehingga inefektivitas, kekuasaan absolut dan korupsi yang tidak ditanggulangi
merupakan biaya mahal dari proses ini.
Apa yang didapat dari buku ini adalah pencerahan untuk menjadikan sejarah ekonomi
sebagai dasar kebijakan. Melalui sejarah kita mengetahui keberhasilan ekonomi tidak hanya
elaborasi dari pembangunan akses kepada pasar yang baik, kebijakan ekonomi berorientasi
terbuka dan institusi kuat mendukung proses ekonomi berjalan secara transparan dan efisien.
Namun juga stabilitas politik, pemerintahan yang demokratis dan rule of law.
Wildan Sena Utama, Peneliti Sejarah Indonesia Interdisciplinary Institute, Asisten pada
Jurusan Ilmu Sejarah, UGM.
Pernah dimuat di Kompas, 3 Maret 2013