Konservasi Spesies Kunci Budaya Masyarakat Desa Kalipait di Sekitar Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur.

KONSERVASI SPESIES KUNCI BUDAYA (CULTURAL KEYSTONE
SPECIES) MASYARAKAT DESA KALIPAIT DI SEKITAR
TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR

RIZKA SYA’BANA AZMI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konservasi Spesies
Kunci Budaya (Cultural Keystone Species) Masyarakat Desa Kalipait di Sekitar
Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan
dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Rizka Sya’bana Azmi
NIM E34110087

ABSTRAK
RIZKA SYA’BANA AZMI. Konservasi Spesies Kunci Budaya Masyarakat Desa
Kalipait di Sekitar Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Dibimbing oleh
ARZYANA SUNKAR dan AGUS HIKMAT
Spesies yang memiliki peran dan nilai simbolik penting untuk stabilitas
kelompok budaya dari waktu ke waktu didefinisikan sebagai spesies kunci budaya
(SKB). Penelitian ini menilai penggunaan dan nilai spesies bagi masyarakat Desa
Kalipait di sekitar Taman Nasional Alas Purwo (TNAP). Data dikumpulkan melalui
wawancara mendalam dan observasi langsung. Identifikasi SKB menggunakan
Indeks pengaruh spesies terhadap budaya, untuk mengidentifikasi intensitas dan
variasi penggunaan, ketekunan dalam memori, simbolisme dalam narasi upacara
dan tingkat subtitusi. Hasil menunjukkan SKB masyarakat Desa Kalipait terdiri dari
5 spesies flora dan 1 fauna. Padi (Oryza sativa), kelapa (Cocos nucifera), dan ayam

kampung (Gallus domesticus) merupakan SKB yang dibudidayakan oleh
masyarakat, sedangkan manon (Helminthostachys zeylanica), bambu gesing
(Bambusa spinosa), dan stigi (Pemphis acidula) diambil dari dalam TNAP. SKB
yang diambil dari TNAP menyebabkan penurunan populasi dan kerusakan tempat
tumbuh, sehingga upaya konservasi dapat dilakukan secara vegetatif.
Kata kunci: konservasi, spesies kunci budaya, taman nasional Alas Purwo.
ABSTRACT
RIZKA SYA’BANA AZMI. The Conservation of Cultural Keystone Species in
Kalipait Community Surrounding Alas Purwo National Park, East Java. Supervised
by ARZYANA SUNKAR and AGUS HIKMAT
Species whose existence and symbolic value are essential to the stability of
a cultural group over time is defined as Cultural Keystone Species (CKS). This
research assessed the use and value of CKS in the community of Kalipait Village,
surrounding Alas Purwo National Park (APNP. Data were collected through indepth interview and direct field observation. Once interviews and literature review
were completed, the preliminary list of cultural keystone species was assessed using
an Index of Identified Cultural Influence (ICI), to identify potential CKS regarding
intensity and variation of use, persistence in memory, symbolism within narratives
of ceremony and the degree to which it is irreplaceable by similiar native species.
The Kalipait people were identified with CKS which were exceptionally important
to their daily lives, i.e., 5 species of flora and 1 species fauna. Rice (Oryza sativa),

coconut (Cocos nucifera), and poultry (Gallus domesticus) were CKS that
cultivated by the people, while manon (Helminthostachys zeylanica), bamboo
(Bambusa spinosa), and stigi (Pemphis acidula) were gathered from inside APNP.
The CKS gathered from inside APNP caused decrease of population and damage
to growing place, so that conservation efforts that can be done is vegetative
cultivation.
Keyword: Alas Purwo national park, conservation, cultural keystone species.

KONSERVASI SPESIES KUNCI BUDAYA (CULTURAL KEYSTONE
SPECIES) MASYARAKAT DESA KALIPAIT DI SEKITAR
TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR

RIZKA SYA’BANA AZMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
Konservasi Spesies Kunci Budaya (Cultural Keystone Species) Masyarakat Desa
Kalipait di Sekitar Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc dan Dr Ir Agus Hikmat, MSc selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, nasehat, dan semangatnya
kepada penulis. Penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Taman Nasional
Alas Purwo atas izin dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama
melakukan penelitian dilokasi serta kepada masyarakat Desa Kalipait atas
kesediannya menjadi informan untuk kegiatan pengumpulan data selama di
lapangan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, kakak serta
adikku atas doa dan motivasinya kepada penulis hingga skripsi ini selesai. Terima

kasih terdalam saya ucapkan kepada keluarga besar KSHE 48, Dosen beserta Staf
DKSHE dan Fakultas Kehutanan, Himakova, IFSA LC-IPB, dan Himat Cianjur
atas kekeluargaan, kebersamaan dan pengalamannya selama ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Rizka Sya’bana Azmi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE

2


Waktu dan Lokasi Penelitian

2

Alat dan Instrumen Penelitian

2

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

3

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

5


Kondisi Umum Lokasi Penelitian

5

Pemanfaatan Flora dan Fauna oleh Masyarakat Desa Kalipait

6

Spesies Kunci Budaya (SKB)

8

Upaya Konservasi Spesies Kunci Budaya

10

Implikasi Pemanfaatan SKB Terhadap Pengelolaan Kawasan

16


SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

21


DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Jenis dan metode pengumpulan data
Rekapitulasi skor spesies kunci budaya masyarakat di sekitar TNAP
Pola pemanfaatan spesies kunci budaya
Upaya konservasi SKB
Keterkaitan SKB dan kawasan TNAP

3
8
10
10
16

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Peta lokasi penelitian
Tujuan pemanfaatan flora dan fauna oleh masyarakat Desa Kalipait,
TNAP
Pemanfaatan flora untuk religi
Kayu untuk perdagangan
Tanaman perkebunan
Pangan dari hewan ternak
Pemanfaatan bambu oleh masyarakat sekitar TNAP
Demplot bambu
Hutan bambu di Blok Pancur
Ritual Kebokeboan
Padi di area Perhutani
Pohon kelapa di pekarangan
Pohon stigi
Batang kayu stigi
Upaya budidaya stigi
Budidaya di lahan pekarangan
Manon sebagai bahan baku
Hasil kerajinan

2
6
7
7
7
7
11
12
12
13
13
14
14
14
15
15
16
16

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4

Flora penting bagi masyarakat di sekitar TNAP
Fauna penting bagi masyarakat di sekitar TNAP
Akumulasi skor identifikasi pengaruh flora dalam budaya masyarakat di
sekitar TNAP
Akumulasi skor identifikasi pengaruh fauna dalam budaya masyarakat di
sekitar TNAP

20
23
24
27

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitarnya, tidak hanya
merupakan tempat tinggal dan sumber pemenuhan kebutuhan hidup, namun
memiliki fungsi sosial, budaya dan religiusitas (Nugraha et al. 2005). Kegiatan
upacara adat, bertapa, bersmedi, dan selamatan lain dilakukan guna pencarian
ketenangan batin, dan seringkali menggunakan flora fauna. Pemanfaatan spesies
untuk pemenuhan kebutuhan budaya tidak dapat dielakkan perannya, seperti
upacara Agama Hindu di Bali, yang membutuhkan 200-300 ekor penyu per tahun
(TCEC 2006 diacu dalam Dedi 2014) dan 462 jenis tanaman (Mustaid et al. 2004)
sebagai sarana upacara. Spesies yang memiliki peran dalam budaya dikenal dengan
istilah Spesies Kunci Budaya (SKB) (Garibaldi dan Turner 2004). SKB memiliki
hubungan yang erat dengan masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup
seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, bahan bakar, obat-obatan, serta tertanam
dalam tradisi dan budaya narasi rakyat, upacara, tarian, lagu, dan wacana.
Besarnya kebutuhan dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya
menyebabkan masyarakat dengan caranya berusaha menjaga dan melestarikan
sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, masyarakat Pantai Pasifik Northwest yang
mengurangi penggunaan cedar merah (Thuja plicata) mengingat pentingnya spesies
tersebut dalam kebutuhan kebudayaan yaitu, dengan mengasingkan spesies ke
lahan yang memiliki akses terbatas, sehingga tidak semua masyarakat dapat
mengambilnya (Garibaldi dan Turner 2004). Berbeda halnya dengan spesies
abalone (Haliotis kamtschatkana) yang dianggap penting bagi komunitas
Tsimshian di Columbia, yang kini tidak lagi tersedia akibat pemanenan berlebih
untuk kepentingan komersial (Miguel 2003). Hal ini mengindikasikan pentingnya
peran budaya sebagai upaya konservasi spesies. Hal serupa juga ditekankan oleh
Ramakrishan (2007) bahwa semakin tinggi keanekaragaman budaya, maka akan
semakin tinggi pula keanekaragaman spesiesnya.
Masyarakat di sekitar Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) memiliki
interaksi dengan hutan, gunung, dan pantai melalui aktivitas pemungutan biota laut,
bambu, dan hasil hutan lainnya yang dikenal dengan sebutan Kayal (Pramusanti
2001). Kegiatan pemungutan sumberdaya tersebut dapat berdampak pada
penurunan populasi dan kerusakan habitat, jika pemanfaatan dilakukan secara
berlebih. Oleh karena itu, kajian SKB penting dilakukan agar dapat memberikan
gambaran mengenai kedinamisan hubungan komunitas lokal dengan lingkungan
dan implikasinya terhadap pengelolaan kawasan TNAP. Dengan demikian dapat
diketahui upaya konservasi yang dapat dilakukan, baik oleh masyarakat maupun
taman nasional agar terus melestarikan keberadaan suatu spesies.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi SKB masyarakat Desa Kalipait di sekitar TNAP;
2. Mengkaji upaya konservasi yang dilakukan terhadap SKB tersebut, baik yang
dilakukan oleh masyarakat maupun taman nasional.

2
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan
bagi pihak pengelola kawasan Taman Nasional Alas Purwo dalam upaya
pelestarian spesies dalam kawasan taman nasional serta memberikan peningkatan
efektifitas dalam pengelolaan kawasan dengan melibatkan masyarakat.

METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2015 di Taman
Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur tepatnya di
Desa Kalipait (Gambar 1) yang terbagi menjadi dua dusun yaitu Purworejo dan
Kutorejo. Desa ini dipilih berdasarkan pertimbangan: 1) jarak yang dekat dengan
kawasan TNAP sehingga diasumsikan memiliki interaksi yang tinggi dengan
kawasan; dan 2) adanya budaya Kayal yang dimiliki oleh masyarakatnya.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Alat dan Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perekam suara, kamera,
laptop, dan alat tulis, sedangkan instrumen penelitian yaitu panduan wawancara.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan secara rinci tersaji pada Tabel 1.

3
Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data
Parameter dan Variabel Data
Sumber data
1. Spesies penting yang dimanfaatkan oleh Studi literatur,
masyarakat di TNAP, misal: sebagai bahan masyarakat Desa
untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti Kalipait
makanan, pakaian, bangunan, obat-obatan.
2. Spesies yang dapat menjadi keystone spesies Studi literatur,
bagi kebudayaan masyarakat:
masyarakat Desa
Kalipait
 Intensitas, tipe, dan pemanfaatan ganda
 Penamaan dan terminologi dalam bahasa
 Peran dalam narasi atau cerita (cerita
rakyat, lagu-lagu, puisi), upacara, tarian,
dan simbol-simbol
 Diingat pemanfaatannya sehubungan
adanya perubahan budaya
 Posisinya dalam budaya (terkait level
keunikan, dapat digantikan atau tidak,
batasan dapat digantikan)
 Nilai religius dalam budaya
 Perannya dalam memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat seperti makanan,
perlindungan (rumah) dan pengobatan
penyakit
 Pemanfaatan spesies dalam perdagangan
3. Upaya konservasi spesies kunci budaya:
Studi literatur,
 Upaya domestikasi atau budidaya spesies masyarakat Desa
Kalipait
 Lokasi pengambilan spesies
 Cara mengambil/mendapatkan spesies
 Ketersediaan spesies terkait perubahan
jumlah dan penyebabnya berdasarkan
pengalaman masyarakat pemanfaat (misal
karena perdagangan)
 Status dan upaya perlindungan spesies
tersebut, baik oleh masyarakat maupun
secara hukum legal
4. Pengelolaan kawasan:
Studi literatur,
masyarakat
 Kondisi umum TNAP
 Pengambilan sumberdaya dari dalam pengelola TNAP,
kawasan oleh masyarakat (spesies yang Asisten
diambil, pengaruhnya dalam kawasan dan Perhutani
upaya mengatasinya)
 Pelibatan aspek kebudayaan masyarakat
setempat dalam pengelolaan kawasan.
 Upaya konservasi yang telah dilakukan
baik oleh masyarakat, taman nasional,
LSM, dan pihak terkait lainnya.

Metode
Studi
literatur,
wawancara
masyarakat
Studi
literatur,
wawancara
masyarakat,
observasi
langsung

Studi
literatur,
wawancara
masyarakat,
observasi
langsung

Studi
literatur,
wawancara
masyarakat
dan
pengelola

4
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui:
1. Studi literatur
Studi literatur untuk menghimpun data dengan mempelajari dan menelaah
laporan, penelitian, dan sumber lainnya yang terkait dengan laporan.
2. Penentuan informan kunci
Informan dalam penelitian ini ditentukan melalui metode snow ball, yakni orang
atau sekelompok orang yang memiliki informasi pokok pada topik penelitian
(Endraswara 2006).
3. Wawancara
Wawancara yang dilakukan berupa wawancara terbuka yakni peneliti
menanyakan topik awal pada responden, lalu menggali secara mendalam
informasi tanpa terlalu terikat dengan topik penelitian. Pihak yang diwawancarai
untuk menentukan SKB ialah tokoh adat dan tokoh masyarakat Desa Kalipait,
Kepala Badan Pengurus Desa, Kepala Desa, Kepala Dusun, Asisten Perhutani,
Pengurus Lembaga Masyarakat Desa sekitar Hutan (LMDH), pemangku adat
dan tokoh agama. Sedangkan beberapa pihak yang diwawancarai untuk
mengetahui upaya konservasi SKB antara lain pengelola atau pihak taman
nasional, dan pihak lain yang terkait dengan penelitian.
4. Observasi
Observasi atau pengamatan langsung meliputi pengumpulan data pokok dan
pendokumentasian yang berhubungan dengan penelitian. Beberapa hal yang
akan diobservasi diantaranya:
a. Pemanfaatan spesies baik secara langsung seperti dikonsumsi, dipakai sebagai
pakaian, digunakan sebagai bahan rumah dan sebagainya, maupun tidak
langsung seperti, pemanfaatan dalam terminologi bahasa atau sebagai simbol.
b. Jenis-jenis benda kebudayaan misalnya kain, sarung, rumah adat, perkakas
rumah tangga, bukti tulisan yang pernah ada yang memuat simbol spesies.
c. Upacara-upacara adat misalnya upacara kematian, perkawinan atau upacara
pemindahan tulang orang yang telah meninggal. Upacara yang diamati hanya
upacara yang dilaksanakan pada saat penelitian. Tujuannya adalah untuk
melihat bagaimana pemanfaatan spesies (jika ada) dalam upacara tersebut.
d. Bentuk perilaku/pola pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat dan taman
nasional sebagai upaya konservasi SKB.
Analisis Data
Analisis dilakukan menggunakan tabel, menggambarkan spesies-spesies
yang dianggap penting beserta keterangan pemanfaatan, penjelasan dan pandangan
masyarakat mengenai spesies tersebut. Penilaian spesies kunci budaya dilakukan
dengan menggunakan scoring berdasarkan kriteria identifikasi dengan mengacu
pada Garibaldi dan Turner (2004), yaitu Indeks Pengaruh Spesies terhadap Budaya
(Index of Identified Cultural Influence/ICI of Cultural Keystone Species). Kriteria
tersebut antara lain:
1. Intensitas, tipe dan pemanfaatan ganda
2. Penggunaan dalam penamaan dan terminologi dalam bahasa, termasuk
digunakan sebagai indikator musim

5
3. Peran dalam narasi (cerita-cerita rakyat, lagu, puisi, dll), perayaan dan upacaraupacara serta simbol-simbol
4. Persistensi dan ingatan mengenai penggunaan dalam hubungannya dengan
perubahan budaya
5. Tingkat dan posisi keunikan dalam budaya
6. Pemanfaatan ekonomi atau nilai komersil
Selanjutnya, dilakukan identifikasi berdasarkan nilai kuantitatif berikut ini:
3 = Ya, tinggi
1 = Ya, rendah
2 = Ya, sedang
0 = Tidak, tidak digunakan
Secara keseluruhan, spesies yang memiliki peran penting dalam budaya
harus memenuhi semua kriteria yang telah ditentukan (skor ≥1). Spesies kunci
budaya ditetapkan berdasarkan akumulasi skor dari semua kriteria yaitu lebih dari
sama dengan (≥12) dari total skor 18. Skor 12 merupakan skor telah mencapai lebih
dari setengah total jumlah akumulasi skor yaitu 18 dan jika dirata-ratakan, minimal
setiap kriteria spesies tersebut harus mencapai posisi sedang dengan nilai skor ratarata 2. Setelah diketahui SKBnya, data dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Analisis deskriptif kualitatif disajikan dalam bentuk tabulasi maupun gambar dan
dibandingkan dengan literatur yang mendukung.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kalipait merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan
kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Secara administratif, desa ini termasuk pada
wilayah Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.
Awalnya, Kalipait adalah nama dusun dari Desa Kendalrejo, namun sejak 21
Oktober 2001 mengalami pemekaran sehingga menjadi desa yang mandiri. Desa
Kalipait terbagi menjadi 2 dusun yakni Kutorejo dan Purworejo, dengan jumlah
penduduk sebanyak 6.607 jiwa dan memiliki luasan sebesar 607.400 ha (Profil Desa
Kalipait 2014). Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kedungasri dan
Kedungwungu, sebelah barat berbatasan dengan Desa Kendalrejo, sedangkan
sebelah selatan dan timur berbatasan dengan wilayah Perum Perhutani.
Masyarakat Desa Kalipait dikenal sebagai wong kulonan, yaitu memiliki garis
keturunan dari daerah kulon seperti Malang, Solo, Nganjuk, dan Yogyakarta (kulon
progo, wates dan sekitarnya). Sistem kepercayaan kejawen dan tradisi Jawa lain
masih cukup kental dan diwariskan secara turun temurun. Toleransi antar umat
beragama di desa ini terjalin dengan baik dan harmonis. Hal ini dibuktikan dengan
tradisi sayah, yaitu kegiatan gotong royong yang biasa dilakukan oleh masyarakat
ketika salah seorang warga menggelar hajatan, pembangunan rumah atau tempat
ibadah.
Secara umum masyarakat yang hidup di sekitar kawasan TNAP melakukan
interaksi dan bergantung terhadap alam, baik yang berasal dari lahan Perhutani
maupun kawasan TNAP. Sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian di
bidang pertanian, baik sebagai petani pemilik, maupun buruh tani. Petani pemilik
biasanya menanam padi dan palawija (seperti kedelai, jagung), dan buah-buahan

6
(seperti melon, jeruk, semangka, dan buah naga) di lahan pribadi. Sedangkan buruh
tani biasanya menanam tumpangsari pada lahan milik Perhutani. Selain itu juga
masyarakat Desa Kalipait ditunjang dengan mata pencaharian lain seperti pedagang,
nelayan, pegawai negeri, TNI dan lainnya.
Pramusanti (2001) mengungkapkan bahwa terdapat 3 asosiasi yang
dikelompokkan berdasarkan lokasi pemungutan spesies oleh masyarakat di sekitar
TNAP. Pertama, pemungutan hasil hutan alam berupa madu hutan, kayu bakar,
bambu, manon, pupus atau daun muda dari pohon gebang, dan buah-buahan seperti
kemiri, melinjo, dan kedawung. Kedua adalah pemungutan kerang, kepiting, udang,
dan ikan di perairan mangrove atau cacalan. Ketiga pemungutan kremis, udang
barong, atau lobster, ikan laut, kerang kuwuk, dan rumput laut atau mbulung di
pantai. Interaksi yang dilakukan terdapat 2 macam yaitu, interaksi langsung antara
pemungut dengan sumberdaya taman nasional dan interaksi tidak langsung yaitu,
yang dilakukan oleh para pengepul atau penapung sebagai orang yang membeli
hasil-hasil pemungutan untuk kemudian dijual kembali.

Pemanfaatan Flora dan Fauna oleh Masyarakat Desa Kalipait
Masyarakat di sekitar TNAP memanfaatkan sumberdaya yang diambil dari
hutan, laut, dan pantai (Pramusanti 2001) serta hasil budidaya. Keberadaan spesiesspesies tersebut sangat penting bagi masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidup
seperti, konsumsi, obat-obatan, bahan bangunan, bahan baku kerajinan, bahan
bakar, perdagangan, dan religi. Tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi
terhadap sumber daya alam akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi
alam serta kondisi sosial budaya masyarakat itu sendiri. Perbandingan pemanfaatan
spesies flora dan fauna oleh masyarakat Desa Kalipait TNAP disajikan pada
Gambar 2. Secara umum, terdapat 61 spesies yang dianggap penting bagi
masyarakat, terdiri dari 43 spesies flora dan 18 spesies fauna (daftar spesies dapat
dilihat pada Lampiran 1 dan 2).
35
30
25
20
15
10
5
0

flora

fauna

Gambar 2 Tujuan pemanfaatan flora dan fauna oleh masyarakat Desa Kalipait,
TNAP

7

Gambar 2 menunjukkan bahwa spesies flora lebih banyak dimanfaatkan
dibanding fauna. Tercatat lebih dari 700 flora yang hidup dalam beberapa tipe
ekosistem di kawasan TNAP (Balai TNAP 2012). Namun demikian, pemanfaatan
baik flora maupun fauna meliputi 3 kebutuhan utama masyarakat Desa Kalipait,
yaitu religi, perdagangan, dan konsumsi. Pemanfaatan spesies flora dipengaruhi
oleh kebiasaan masyarakat dalam melaksanakan upacara adat, khususnya umat
Hindu yang berada disekitar TNAP. Hasil penelitian Mujiningtiyas (2014)
menunjukkan bahwa terdapat 64 jenis tumbuhan dari 33 famili, yang digunakan
sebagai bahan upacara adat masyarakat Hindu di desa penyangga TNAP. Bagian
flora yang biasa dimanfaatkan yaitu daun, bunga, buah, dan umbi-umbian (Gambar
3). Berbeda dengan flora, pemanfaatan fauna dalam kegiatan religi relatif sedikit.
Terkait perdagangan, spesies flora yang digunakan adalah tanaman pertanian,
bambu dan pohon (Gambar 4), sedangkan spesies fauna didominasi oleh hewan
ternak dan burung, terutama burung cucak hijau yang memiliki daya jual tinggi dan
keberadaannya masih banyak ditemukan didalam kawasan TNAP (Ferdiansyah
2015). Begitu pula spesies flora yang dianggap penting guna memenuhi kebutuhan
pangan sebagian besar merupakan bahan makanan pokok dan tanaman perkebunan
(Gambar 5), sedangkan pemanfaatan spesies fauna berupa pengambilan telur dan
daging yang berasal dari hewan ternak (Gambar 6).

Gambar 3 Pemanfaatan flora untuk religi

Gambar 5 Tanaman perkebunan

Gambar 4 Kayu untuk perdagangan

Gambar 6 Pangan dari hewan ternak

8
Spesies Kunci Budaya (SKB)
Pemanfaatan sumberdaya dalam pemenuhan kebutuhan hidup oleh
masyarakat memungkinkan timbulnya ketergantungan terhadap suatu spesies
tertentu, sehingga keberadaan suatu flora atau fauna menjadi penting karena
perannya sebagai bahan makanan, bahan baku bangunan, obat-obatan, bahan baku
dalam pelaksanaan upacara atau ritual adat, dan lain sebagainya. Dalam
pemahaman tersebut muncullah suatu istilah yang disebut dengan spesies kunci
budaya (SKB). Elemen penting dalam konsep ini adalah pemanfaatan spesies oleh
masyarakat, keberadaan atau kelimpahan spesies dalam komunitas masyarakat, dan
fungsi spesies dalam budaya.
Berdasarkan manfaatnya yang paling penting bagi masyarakat, semua
spesies dalam Lampiran 1 dan 2 dinilai untuk dapat menentukan SKB masyarakat
di sekitar TNAP berdasarkan 6 kriteria menurut Garibaldi dan Turner (2004) yang
tersaji pada Lampiran 3 dan 4. Hasil scoring menunjukkan bahwa terdapat 5 flora
dan 1 fauna dengan skor lebih dari, atau sama dengan 12, yaitu padi (Oryza sativa),
kelapa (Cocos nucifera), manon (Helminthostachys zeylanica), bambu gesing
(Bambusa spinosa), kayu stigi (Pemphis acidula), dan ayam kampung (Gallus
domesticus) (Tabel 2).
Tabel 2 Rekapitulasi skor spesies kunci budaya masyarakat di sekitar TNAP
Spesies/Skor
Elemen indikator
No
spesies kunci budaya
A
B
C
D
E
F
1
2

3
4

5
6

Intensitas, tipe, dan
pemanfaatan ganda
Penggunaan dalam
penamaan dan
terminologi dalam
bahasa
Persistensi
Pemanfaatan dalam
upacara adat, istilah,
syair, lagu, dan simbol
Subtitusi
Pemanfaatan ekonomi
Total

Keterangan:

3

3

2

3

2

3

2

1

0

2

1

0

3
2

3
2

3
1

3
2

3
1

3
3

2
3
15

2
2
13

3
3
12

3
3
16

3
3
13

3
3
15

A=padi (Oryza sativa), B=kelapa (Cocos nucifera), C=manon (Helminthostachys
zeylanica), D=bambu gesing (Bambusa spinosa), E= kayu stigi (Pemphis acidula)
F=ayam kampung (Gallus domesticus)

Tabel 2 menunjukkan bahwa SKB masyarakat di sekitar TNAP didominasi
oleh flora dengan skor tertinggi 16 yaitu bambu gesing. Tercatat lebih dari 700 flora
yang hidup dalam beberapa tipe ekosistem di kawasan TNAP (Balai TNAP 2012)
dan sebesar 17,26 % dari luas kawasan didominasi oleh hutan bambu (Supriyadi
dan Suryaatmaja 2008). Berbeda dengan kajian SKB yang pernah dilakukan oleh
Himakova dan TBI (2005) terhadap 7 suku Dayak di Taman Nasional Betung
Kerihun Kalimantan Barat dan Wello (2008) terhadap masyarakat Sumba di sekitar

9
Taman Nasional Manupeu Tanadaru yang menemukan bahwa spesies fauna lebih
mendominasi sebagai SKB. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan aktivitas harian
pada pola hidup masyarakat, yaitu kebiasaan berburu pada masyarakat Dayak
(Uluk et al. 2001), dan pemeliharaan ternak oleh masyarakat Sumba (Wello 2008)
guna memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti adat dan konsumsi. Sedangkan
masyarakat Jawa di Desa Kalipait sebagian besar memiliki aktivitas bertani dan
berkebun, sehingga akan lebih banyak memanfaatkan flora dibanding fauna.
Secara umum, skor SKB menunjukkan bahwa masing-masing spesies
memiliki pemanfaatan ganda yaitu sebagai bahan pangan, bangunan, perdagangan,
dan religi. Skor tertinggi SKB ditunjukkan oleh kriteria pemanfaatan ekonomi.
Hampir seluruh SKB dimanfaatkan dalam perdagangan yang ditunjukkan oleh skor
3. Tingkat perekonomian yang rendah dan pekerjaan yang tidak stabil menjadi
alasan utama masyarakat desa penyangga menggantungkan hidupnya pada hutan
untuk mencari keuntungan ekonomi (Beckman 2004). Begitu pula masyarakat Desa
Kalipait yang menganggap bahwa jual beli hasil hutan merupakan cara cepat untuk
memperoleh uang.
Skor terendah ditunjukkan oleh kriteria penggunaan penamaan dan
terminologi dalam bahasa, begitu pula pemanfaatan spesies dalam istilah, syair,
lagu, dan simbol. Khasbagan dan Soyolt (2008) menyatakan bahwa pengetahuan
tradisional menyangkut nama, pemanfaatan dan pengelolaan flora fauna biasanya
tidak tertulis dan diwariskan hanya melalui lisan. Hal ini mengacu pada sistem
pengetahuan masyarakat adat dan budaya minoritas. Rendahnya pengetahuan
masyarakat mengenai asal usul bahasa yang berkaitan dengan nama spesies
dikarenakan masyarakat yang tinggal di Desa Kalipait saat ini, sebagian besar
merupakan masyarakat pendatang sehingga besar kemungkinan diantara mereka
tidak memiliki pengetahuan adat terkait hal tersebut.
Skor SKB untuk pemanfaatan dalam upacara adat atau ritual keagamaan
memiliki nilai beragam (1-3) dibandingkan kriteria lain. Meskipun demikian,
keberadaan spesies-spesies tersebut dan fungsinya dalam adat memberikan
pengaruh sangat kuat sehingga mempengaruhi persistensinya dalam tradisi. Nilai
persistensi menunjukkan skor 3, hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatannya
terkait ketahanan hidup, suatu sejarah dan atau ritual khusus mempunyai nilai
penting dalam budaya, sehingga keberadaan spesies tersebut diingat dan sering
muncul dalam diskusi atau pembicaraan masyarakat sepanjang waktu.
Nilai subtitusi ditunjukkan oleh skor 3 yang berarti semua SKB masyarakat
Desa Kalipait di sekitar TNAP tidak dapat digantikan perannya oleh spesies lain
karena level keunikannya yang tinggi. Terkait hal ini, masyarakat berusaha
mempertahankan dan melestarikan keberadaan spesies-spesies tersebut dengan
caranya, salah satunya melalui toleransi pemanenan, yaitu pengambilan spesies
dengan jumlah dan pada waktu tertentu. Kegiatan pemanenan dipengaruhi oleh
intensitas dan tipe pemanfaatan, dimana semua SKB rata-rata memiliki nilai cukup
(2) dan tinggi (3). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan spesies dilakukan
sepanjang tahun dan pada waktu tertentu dalam jumlah banyak baik karena
pemanfaatan oleh satu, beberapa orang atau banyak orang. Oleh karena itu,
diperlukan batasan atau jumlah minimum pengambilan spesies dalam kurun waktu
tertentu agar spesies tersebut tidak mengalami penurunan populasi atau kepunahan.

10
Upaya Konservasi Spesies Kunci Budaya
Upaya konservasi terhadap SKB penting dilakukan untuk menjaga
kelestarian dan keberlangsungan hidup spesies tersebut. Hal ini berkaitan dengan
pola pemanfaatan spesies flora dan fauna yang dilakukan oleh masyarakat terhadap
kelestarian spesies dan habitatnya (Tabel 3).

No
1
2
3
4
5
6

Tabel 3 Pola pemanfaatan spesies kunci budaya
Pola Pemanfaatan
Spesies Kunci
Budaya
Intensitas
Jumlah
Cara/alat
2-3 kali
20-25
Gantol, parang
Bambusa spinosa
seminggu
batang
2-3 kali setahun Tergantung
Tradisional
Oryza sativa
luas lahan
Sepanjang tahun ± 100 ekor
Disembelih
Gallus
domesticus
Sepanjang tahun
Parang, golok
Cocos nucifera
1 bulan sekali
2-3 batang
Parang
Pemphis acidula
3-5 kali
100-200
Parang
Helminthostachys
seminggu
batang
zeylanica

Tabel 3 menunjukkan bahwa pola pemanfaatan SKB masyarakat di sekitar
TNAP dilakukan sepanjang tahun dengan intensitas waktu yang berbeda. Secara
umum, intensitas dan jumlah pengambilan spesies cukup tinggi. Berbagai cara
dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan spesies, mengingat nilai penting
yang dimiliki oleh spesies-spesies tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini akan berdampak pada ketersediaan spesies terkait perubahan jumlah dan
kondisi habitatnya, khususnya bambu gesing. Oleh karena itu, dilakukan upaya
konservasi terhadap SKB berupa upaya budidaya yang tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Upaya Konservasi Spesies Kunci Budaya
No
1
2
3
4
5
6

Spesies Kunci Budaya
Bambusa spinosa
Oryza sativa
Gallus domesticus
Cocos nucifera
Pemphis acidula
Helminthostachys zeylanica

Upaya Budidaya
Pengelola
Masyarakat
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
-

Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh SKB sudah dilakukan upaya budidaya,
baik oleh masyarakat maupun pengelola kecuali manon. Claus et al. (2010) dalam
Dedi (2014) menyatakan bahwa masyarakat lokal seringkali menerapkan
pengetahuan ekologi tradisional untuk menciptakan praktik-praktik pengelolaan
lingkungan yang berhubungan dengan sistem nilai masyarakat setempat. Hal ini

11
pula tercermin pada masyarakat Desa Kalipait yang menganggap Alas Purwo
sebagai hutan kramat, sehingga segala aktivitas yang akan dilakukan dihutan,
terlebih dulu dilakukan ritual atau selamatan. Kegiatan menyakralkan suatu tempat
atau benda merupakan suatu bentuk perlindungan masyarakat terhadap sumberdaya
(Indrawan et al 2007 dalam Dedi 2014). Sebagai contoh, para pendarung biasanya
melakukan ritual guna mendapat petunjuk waktu dan tempat yang baik untuk
melakukan aktivitasnya. Begitu pula, dalam menjalankan aktivitas pertanian, para
petani menggunakan sistem penanggalan pranata mangsa dalam menentukan waktu
musim untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan pengetahuan ekologi
tradisional, pranata mangsa ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok
tanam mengikuti tanda-tanda alam, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri
meskipun sarana dan prasarana mendukung, seperti air dan saluran irigasi. Berikut
uraian mengenai masing-masing SKB masyarakat Desa Kalipait TNAP.
Bambu gesing (Bambusa spinosa Roxb.)
Keberadaan hutan bambu di TNAP mempunyai nilai penting bagi masyarakat
sekitar hutan. Hasil penelitian Mayasari dan Suryawan (2012) menemukan bahwa
masyarakat di sekitar TNAP memanfaatkan bambu gesing di bidang pertanian
(bethek, congkok), bahan kontruksi rumah (usuk, reng), peralatan penangkapan
(bagang) (Gambar 7), dan diperjual belikan. Bambu gesing merupakan spesies
bambu yang paling dominan di TNAP, meliputi wilayah Kucur, Sumbergedang,
Curahrejo, Tanjung Sebulungan, dan Pancur. Sejak dulu hingga sekarang spesies
ini paling sering diambil dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara ilegal.. Kuncup
bambu gesing merupakan spesies yang disenangi dan biasa dimakan banteng
(Hoogerwerf 1970).

(sumber: Anita Mayasari dan Ady Suryawan 2008)
Gambar 7 Pemanfaatan bambu oleh masyarakat sekitar TNAP

12
Besarnya peranan bambu guna memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan
masyarakat bergantung terhadapnya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk
menjaga pertumbuhan dan tempat tumbuhnya yaitu, melalui pengaturan
pengambilan. Bambu yang dipungut ialah bambu yang sudah tua dan batangnya
berwarna hijau kecoklatan. Batang tersebut dipotong pada ketinggian ± 3 meter dari
permukaan tanah, untuk diambil bagian batang yang memiliki panjang lebih dari 4
meter. Selain itu, masyarakat juga biasanya mengatur waktu pengambilan yakni 23 kali dalam seminggu. Adapun upaya konservasi yang telah dilakukan oleh
pengelola terhadap bambu ialah pembuatan demplot (Gambar 8) secara
berkelanjutan, monitoring petak ukur permanen hutan bambu di blok Sumurtong,
blok Pondok Welit, dan blok Pancur (Gambar 9).

Gambar 8 Demplot bambu

Gambar 9 Hutan bambu di Blok Pancur

Padi (Oryza sativa L.)
Padi terdapat dalam lambang Banyuwangi dan Provinsi Jawa Timur sebagai
lambang kebutuhan pangan dan kemakmuran. Padi juga menjadi simbol dalam
ritual Kebokeboan (Gambar 10) yang merupakan tradisi khas Banyuwangi yang
telah ada sejak abad ke 18. Bibit padi dipercaya sebagai pembawa keberuntungan
atau penolak bala. Terdapat filosofi hidup pada padi di sawah, yaitu semakin berisi
semakin merunduk, yang menandakan sikap rendah hati. Hal ini tercermin pula
dalam pepatah Jawa yaitu sapa kang ngasorake diri bakal kaunggulake, lan sapa
kang nggunggulake diri bakal diasorake. Artinya barang siapa yang bisa bersikap
rendah hati, maka dirinya termasuk pribadi yang diunggulkan. Sebaliknya, barang
siapa yang selalu meunggul-unggulkan dirinya akhirnya akan mendapati kehinaan.
Hal ini mengindikasikan adanya peran budaya dalam mempertahankan keberadaan
spesies melalui makna dan simbol tertentu yang melekat pada spesies tersebut.
Sebagian besar masyarakat di sekitar TNAP bermata pencaharian utama di
bidang pertanian, terutama padi. Selain sebagai bahan makanan pokok, padi juga
memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga mendorong masyarakat untuk
berusaha memenuhi kebutuhannya. Hal ini terlihat dari mayoritas masyarakat
dusun Purworejo yang sudah memiliki sawah sendiri, sedangkan masyarakat
Kutorejo masih banyak yang menumpang pada lahan Perhutani (Gambar 11).
Faktor penting dalam pertanian sawah di Jawa adalah rotasi tanaman
menurut perhitungan pranata mangsa yang mendasar pada peredaran musim
(Soehardi 2000). Hal ini berlaku pula bagi masyarakat di sekitar TNAP yang
menerapkan pola tanam jenis-jenis tertentu sesuai sifat musim yaitu, menanam padi
saat musim hujan dan menanam palawija (kedelai, jagung) saat musim kemarau.

13
Kemarau panjang dan minimnya saluran irigasi menjadi kendala bagi petani untuk
melakukan aktivitas pertanian. Curah hujan yang rendah tidak mampu mencukupi
kebutuhan air pada musim kemarau, sehingga masyarakat berinisiatif membuat
sumur buatan secara berkelompok (3-5 orang). Pembagian air dilakukan
menggunakan sistem subak, yakni pengairan dilakukan berdasarkan jumlah areal
sawah dan masa pertumbuhan padi.

Gambar 10 Ritual Kebokeboan

Gambar 11 Padi di area Perhutani

Ayam kampung (Gallus domesticus)
Ayam merupakan spesies yang sangat penting dalam semua kegiatan yang
bersifat ritual terutama bagi umat Hindu. Ayam yang dipilih sebagai korban
persembahan biasanya ayam yang masih muda dan untuk upacara tertentu harus
memenuhi syarat seperti warna bulu, ukuran tubuh dan cara pemeliharaan yang
sesuai. Ayam yang digunakan dalam ritual haruslah ayam ternak, yakni ayam yang
dijaga dan dipelihara. Seluruh bagian ayam digunakan untuk dijadikan bahan
persembahan, dapat disajikan berupa masakan seperti dibakar atau langsung
disajikan mentah setelah disembelih.
Ayam juga dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi baik untuk keperluan
sehari-hari maupun dalam berbagai acara seperti, hajatan dan selamatan. Biasanya
masyarakat melakukan hajatan setelah panen hasil tani, kemudian melakukan
masak bersama dengan warga sekampung dengan membuat menu utama ayam.
Selain itu, ayam juga dimanfaatkan sebagai komoditas perdagangan, baik kondisi
normal maupun paceklik. Masyarakat biasanya menjual hasil ternak ayam ke pasar,
namun tak jarang menjual ayam tersebut langsung kepada pembeli yang sengaja
mencari ayam kampung. Tingginya permintaan ayam untuk berbagai kebutuhan
mendorong masyarakat untuk memelihara ayam sebagai ternak.
Kelapa (Cocos nucifera L.)
Kelapa merupakan spesies yang banyak ditanam oleh masyarakat di
pekarangan rumahnya (Gambar 12). Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
perdagangan, kelapa juga digunakan untuk kebutuhan religi. Hasil penelitian
Mujiningtyas (2014) mengenai kajian etnobotani bahan upacara adat masyarakat
Hindu desa penyangga Taman Nasional Alas Purwo menyatakan bahwa kelapa
memiliki nilai penting yang tinggi dan digunakan dalam semua jenis upakara.
Selain itu, hasil penelitian Yuliani (2014) juga menyebutkan bahwa kelapa

14
merupakan spesies tumbuhan obat yang memiliki nilai use value dan informant
concencus factor tertinggi sebagai penawar racun.
Semua bagian pada kelapa biasa dimanfaatkan oleh masyarakat mulai dari
pucuk hingga akar. Daunnya dapat digunakan untuk pembungkus makanan
tradisional (ketupat, lepet, dll) dan hiasan untuk kegiatan atau upacara adat.
Buahnya dimanfaatkan untuk masakan, makanan, dan minuman. Kulit buahnya
(sepet) bisa digunakan untuk peralatan rumah tangga dan hasta karya kerajinan.
Kulit buahnya yang keras (batok) bisa untuk bahan bakar dapur (arang batok) dan
kerajinan. Kemudian, pohonnya bisa untuk membangun rumah dengan sebutan
kayu glugu yang cukup kokoh. Dalam filosofi Jawa, pohon kelapa ditandai
memiliki karakter kuat, pemaaf (tidak pendendam), ramah (tidak sombong), suka
mengalah, dan kaya manfaat.

Gambar 12 Pohon kelapa di pekarangan
Kayu stigi (Pemphis acidula)
Kayu stigi termasuk kayu langka yang memiliki serat kayu yang keras, anti
hama dan mudah mengkilap. Pertumbuhan pohon stigi (Gambar 13) cukup lambat
dalam kurun waktu 5-10 tahun hanya berdiameter 5-10 cm dan tinggi sekitar 1-2
meter (Gambar 14). Karakter batang setigi berkelok atau tidak lurus mempunyai
serat yang alot atau keras lebih keras dari kayu biasa pada umumnya. Berdasarkan
keterangan yang didapatkan dari masyarakat, kayu stigi hanya dapat ditemukan dan
dimiliki oleh orang-orang tertentu. Sebagian orang beranggapan dan percaya bahwa
kayu ini mampu meningkatkan kharisma dan wibawa terutama bagi para pemimpin.
Selain itu juga kayu ini dapat digunakan sebagai obat rheumatik dan penawar racun.

Gambar 13 Pohon stigi

Gambar 14 Batang kayu stigi

15
Pemanfaatan lainnya dari Stigi adalah untuk bahan membuat bonsai.
Karakteristik tumbuhan, mulai dari akar, batang, percabangan, daun, bunganya
yang khas, ditambah dengan daya tahan tumbuhan dan pertumbuhannya yang
lambat menjadikan Stigi menjadi tanaman favorit di kalangan pencinta bonsai.
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, permintaan terhadap kayu stigi
cukup tinggi. Sebagian besar berasal dari daerah Yogyakarta, Kudus, dan Madura.
Tingginya permintaan tersebut berbanding terbalik dengan ketersediaannya di
kawasan TNAP yaitu, di wilayah pasir putih dan pantai plengkung Resort Pancur,
yang diduga mengalami penurunan populasi. Hal tersebut dimanfaatkan sebagai
peluang usaha oleh masyarakat untuk melakukan budidaya dengan cara
mencangkok (Gambar 15) dengan memanfaatkan lahan di halaman rumah (Gambar
16). Alat dan metode yang digunakan juga cukup sederhana yaitu berupa plastik,
tali rafia, dan pisau sehingga mudah diaplikasikan oleh masyarakat.

Gambar 15 Upaya budidaya kayu stigi Gambar 16 Budidaya di lahan pekarangan
Manon (Helminthostachys zeylanica Hook)
Manon merupakan sejenis paku-pakuan yang tumbuh merambat dan melilit
tanaman inang. Spesies ini dapat tumbuh menjadi semak-semak yang tidak
beraturan bila tidak merambat pada pohon. Yusliansyah dan Kholik (2006)
menyatakan bahwa di Kalimantan Timur, batang manon dijual untuk bahan baku
industri kerajinan anyaman di Pulau Bali dan Lombok. Selain itu pula, manon
mempunyai prospek yang baik untuk digunakan sebagai bahan makanan dan bahan
baku obat (Prosea 1995). Masyarakat Desa Kalipait biasa menjual manon ke
penapung lokal dalam bentuk mentah yang kemudian dianyam oleh masyarakat
Karangasem di Bali. Adapula sebagian masyarakat yang memanfaatkan manon
untuk membuat kerajinan dan alat-alat rumah tangga seperti tudung saji, tempat
nasi, nampan dan sebagainya. Meski belum banyak masyarakat yang memiliki
keterampilan mengolah manon menjadi barang bernilai ekonomis, namun saat ini
sudah dibentuk kelompok belajar menganyam dan membuat kerajinan dari manon.
Pemungutan manon dilakukan di dalam kawasan TNAP yakni wilayah
sekitar Triangulasi. Pengambilan manon dilakukan sesuai tingkat kebutuhan,
namun rata-rata untuk satu kali pemungutan para pemungut mengambil manon
sebanyak 100-200 batang (Gambar 17). Dalam seminggu pemungut bisa
melakukan kegiatan ini 3-5 kali. Harga jual manon bisa berlipat-lipat setelah
menjadi produk jadi seperti tas, keranjang dan alat-alat rumah tangga lainnya

16
(Gambar 18). Sejauh ini belum ada upaya budidaya terhadap manon, baik oleh
masyarakat maupun pengelola.

Gambar 17 Manon sebagai bahan baku

Gambar 18 Hasil Kerajinan

Implikasi Pemanfaatan SKB Terhadap Pengelolaan Kawasan
SKB secara nyata memberikan pengaruh terhadap pengelolaan kawasan.
Hal ini terkait dengan lokasi pengambilan spesies, terutama yang berasal dari dalam
kawasan TNAP. Pengambilan spesies dari dalam dalam kawasan dapat
berpengaruh terhadap efektifitas pengelolaan. Tabel 5 menggambarkan hubungan
antara SKB masyarakat Desa Kalipait dan kawasan TNAP.
Tabel 5 Keterkaitan SKB dan kawasan TNAP
No

Spesies Kunci Budaya

Lokasi Pengambilan

1
2
3
4
5
6

Bambusa spinosa
Oryza sativa
Gallus domesticus
Cocos nucifera
Pemphis acidula
Helminthostachys zeylanica

Kawasan TNAP
Diluar kawasan TNAP
Diluar kawasan TNAP
Diluar kawasan TNAP
Kawasan TNAP
Kawasan TNAP

Tabel 5 menunjukkan bahwa SKB masyarakat di sekitar TNAP berasal dari
kawasan TNAP, lahan Perhutani, dan lahan pribadi. Padi, ayam, dan kelapa
merupakan spesies yang diambil di luar kawasan TNAP dan sudah dilakukan upaya
budidaya oleh masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat besarnya kebutuhan rutin
masyarakat terhadap spesies tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil
penelitian Wello (2008) juga menyatakan bahwa spesies yang menjadi kunci
budaya masyarakat Sumba di sekitar Taman Nasional Manupe Tanadaru (TNMT)
merupakan spesies yang dipelihara masyarakat sendiri (hasil budidaya). Hal ini
berdampak positif dari segi pemanfaatan sumberdaya kawasan karena masyarakat
tidak terlalu tergantung terhadap sumberdaya dalam kawasan.
Berbeda halnya dengan spesies yang diambil dari dalam kawasan yaitu,
bambu gesing, kayu stigi, dan manon. Dalam konteks pengelolaan, kegiatan
pemungutan sumberdaya alam oleh masyarakat di kawasan TNAP merupakan suatu

17
pelanggaran dan tindakan ilegal (PP No. 68 Tahun 1998 Pasal 19, PP No. 68 Tahun
1998 Pasal 44, dan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 24), yang termasuk kedalam
bentuk gangguan keamanan hutan di TNAP. Berdasarkan rekapitulasi mengenai
gangguan keamanan hutan di TNAP selama setahun (2014), pengambilan kayu stigi
dan manon termasuk kedalam kategori gangguan dengan tingkat pelanggaran
rendah, sedangkan pengambilan bambu termasuk kedalam kategori sedang. Namun
demikian pada kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa kayu stigi sudah
sulit ditemui di kawasan TNAP saat ini. Kepercayaan Stigi sebagai kayu bertuah
dan penggunaannya sebagai tanaman bonsai telah meningkatkan perburuan dan jual
beli spesies ini, baik dalam kondisi hidup maupun kayu batangnya. Perburuan liar
ini telah membuat tumbuhan ini semakin langka, bahkan punah di berbagai habitat
aslinya. Meskipun daerah sebaran tumbuhan ini sangat luas, namun dengan
pertumbuhannya yang lambat serta maraknya perburuan, IUCN Redlist
memperkirakan telah terjadi penurunan populasi secara global mencapai 21 %
dalam 25 tahun terakhir.
Begitu pula dengan bambu, meskipun memiliki regenerasi yang cepat, pola
pemanfaatan bambu oleh masyarakat secara nyata dapat menimbulkan gangguan
ekologi. Pemanenan yang berlangsung sepanjang tahun dapat merugikan produksi,
regenerasi, dan kelestarian bambu. Pemanenan bambu pada musim hujan akan
memicu terjadinya kerusakan pada rebung (Sutiyono et al. 1999). Hal ini berarti
mengancam kelangsungan regenerasi vegetatif bambu. Pada musim hujan, batang
bambu banyak mengandung air dan zat pati yang sangat disukai hama bubuk,
akibatnya dapat mengurangi tingkat keawetan bambu yang dipanen (Barlian dan
Rahayu 1995). Hal ini selaras dengan hasil penelitian Supriyadi dan Suryaatmaja
(2008) yang menemukan, bahwa beberapa lokasi kawasan hutan bambu TNAP
mengalami kerusakan parah dan beberapa rumpun sudah rusak dan permudaannya
tidak bisa tumbuh lagi. Sehingga diperlukan upaya budidaya bambu dengan
memperhatikan aspek pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pengolahan.
Pembibitan dapat dilakukan secara vegetatif dengan cara stek menggunakan bagian
batang, cabang, dan akar bambu. Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim
hujan. Lubang tanam dibuat berukuran (30 x 30 x 30) cm atau (40 x 40 x 40) cm
dan ditaburi pupuk kandang sebanyak 1 kg/lubang. Pemeliharaan bambu meliputi,
penyiangan, penggemburan tanah, pemangkasan cabang-cabang bawah setinggi 23 meter, dan penimbunan dasar rumpun dengan tanah (Sutiyono et.al 1999).
Peningkatan kualitas bambu dapat dilakukan melalui teknik pengolahan seperti,
pengeringan dengan metode pengasapan, pengawetan dan stabilisasi warna dengan
menggunakan bahan kimia (Krisdianto et.al 2000).
Spesies lain yang diambil dari dalam kawasan ialah manon. Eksploitasi
manon terus berlangsung dan cenderung dari waktu ke waktu terus meningkat
seiring tingginya permintaan pasokan bahan baku untuk industri kerajinan. Disisi
lain, kemampuan regenerasi alami spesies ini di alam sampai saat ini belum
diketahui dan belum ada upaya budidaya baik oleh masyarakat maupun pengelola.
Hal ini dapat mengancam keberadaan manon di masa mendatang. Salah satu upaya
budidaya yang dapat dilakukan ialah perbanyakan menggunakan stek rimpang.
Hasil penelitian Kholik et.al (2010) menunjukkan bahwa persentase tumbuh tunas
manon dipengaruhi oleh media dan ukuran rimpang. Bokashi menghasilkan
persentase lebih besar dibanding top soil, dan semakin besar rimpang maka semakin
besar pula persentase tumbuhnya. Pertumbuhan tinggi tunas manon dipengaruhi

18
oleh besar kecilnya ukuran akar rimpang dan media, sedangkan pertumbuhan
diameter tunas manon tidak dipengaruhi faktor media dan besarnya rimpang.
Sejauh ini belum ada kesepakatan tertulis antara masyarakat dan pengelola
terkait izin pengambilan spesies dari dalam kawasan. Namun, pihak TNAP
berencana melakukan pemulihan eks zona penyangga seluas 1.303 ha. Zona yang
semula dikelola oleh Perum Perhutani ini akan diperuntukkan bagi kepentingan
masyarakat yaitu, pembuatan plot-plot yang ditanami jenis-jenis Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK). Oleh karena itu, diperlukan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan TNAP guna meminimalisir tingkat kerugian dan menjamin
kelestarian spesies dan habitatnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Spesies Kunci Budaya masyarakat di Desa Kalipait TNAP terdiri dari 5 flora
dan 1 fauna yaitu padi (Oryza sativa), kelapa (Cocos nucifera), manon
(Helminthostachys zeylanica), bambu gesing (Bambusa spinosa), kayu stigi
(Pemphis acidula), dan ayam kampung (Gallus domesticus). Secara umum,
skor SKB menunjukkan bahwa masing-masing spesies memiliki pemanfaatan
ganda yaitu sebagai bahan pangan, bangunan, perdagangan, dan religi.
2. Padi, kelapa, dan ayam kampung merupakan spesies yang dipelihara
masyarakat (hasil budidaya). Sedangkan SKB lainnya (bambu, kayu stigi, dan
manon) berasal dari dalam kawasan TNAP, yang secara nyata menyebabkan
penurunan populasi dan kerusakan tempat tumbuhnya. Adapun upaya
konservasi yang telah dilakukan oleh masyarakat diantaranya pengkramatan
hutan Alas Purwo sebagai suatu bentuk perlindungan, pengaturan waktu dan
jumlah pemanenan bambu, dan upaya budidaya stigi. Sedangkan upaya
konservasi oleh pengelola berupa pemulihan zona eks penyangga dan restorasi
bambu. Berbeda halnya dengan manon yang belum dilakukan upaya
konservasi baik oleh masyarakat maupun pengelola.
Saran
1. Perlu dilakukan kesepakatan dan kolaborasi antara masyarakat dengan
pengelola TNAP terkait kuota atau jumlah spesies yang boleh diambil oleh
masyarakat dari dalam kawasan.
2. Pemilihan spesies pada zona eks penyangga sebaiknya tidak hanya
mempertimbangkan manfaat ekonomi namun juga budaya yaitu, salah satunya
SKB sebagai alternatif pemilihan spesies.
3. Partisipasi masyarakat sebaiknya tidak hanya dalam kegiatan pemanfaatan
sumberdaya, namun diberikan keterampilan mengolah sumberdaya tersebut
sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat, seperti membuat kerajinan dan
usaha lainnya. Sehingga dapat menjadi sebuah produk yang memiliki nilai jual
lebih.

19

DAFTAR PUSTAKA
Balai TNAP. 2012. Draft Rencana Pengelolaan Jangkan Panjang Taman Nasional
Alas Purwo Periode 2013-2023. Banyuwangi (ID): Balai TNAP
Berlian N, Rahayu E. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Beckman S. 2004. Mencari Keseimbangan Pengelolaan Interaksi Antara
Masyarakat dan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Malang (ID):
Universitas Muhammadiyah Malang.
Dedi IN. 2014. Telaah Konservasi Pada Penerapan Tri Hita Karana dalam
Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Endraswara S. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta
(ID): Pustaka Widyatama.
Ferdiansyah T. 2015. Dunia kicau mania, hobi burung yang menghasilkan
keuntungan. Radar Banyuwangi. Kamis, 5 Maret 2015.
Garibaldi A, Turner N. 2004. Cultural keystone species: implications for
ecological conservation and restoration. Ecology and Soci