Analisis Tataniaga Cengkeh di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku

ANALISIS TATANIAGA CENGKEH DI
KECAMATAN AMAHAI, KABUPATEN MALUKU TENGAH,
PROVINSI MALUKU

YENI PURNAMASARI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga
Cengkeh di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Yeni Purnamasari
NIM H34087033

ABSTRAK
YENI PURNAMASARI. Analisis Tataniaga Cengkeh di Kecamatan Amahai,
Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Dibimbing oleh ANNA
FARIYANTI.
Syzygium aromaticum atau yang lebih dikenal sebagai cengkeh merupakan
tanaman obat yang juga banyak digunakan dalam industri rokok nasional. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis pola saluran pemasaran cengkeh di
Kecamatan Amahai, menganalisis besarnya margin pemasaran dan tingkat
efisiensi pemasaran cengkeh di Kecamatan Amahai dan menganalisis biaya dan
keuntungan pemasaran pada tingkat lembaga pemasaran dalam saluran pemasaran
cengkeh di Kecamatan Amahai. Data dianalisis menggunakan pola saluran
pemasaran, besarnya margin pemasaran, rasio biaya dan keuntungan pemasaran
pada tingkat lembaga pemasaran di Kecamatan Amahai untuk mendapatkan

seberapa efisien tataniaga cengkeh di Kecamatan Amahai. Analisis margin
tataniaga dan farmer’s share menunjukkan bahwa saluran tataniaga I lebih
efisien karena walaupun tidak memiliki marjin tataniaga terkecil dan farmer’s
share terbesar tetapi memiliki volume perdagangan yang lebih tinggi dibanding
saluran II. Sedangkan berdasarkan analisis rasio keuntungan dan biaya,
saluran pemasaran I relatif lebih efisien karena memiliki rasio keuntungan dan
biaya terbesar yakni 19.37.
Kata kunci: cengkeh, tataniaga, efisiensi

ABSTRACT
YENI PURNAMASARI. Clove Trading System Analyze in Amahai District,
Central Moluccas Regency, Moluccas Province. Supervised by ANNA
FARIYANTI.
Syzygium aromaticum or better known as clove is a medicinal plant that is
also widely used in the national cigarette industry. The purpose of this study was
to analyze the pattern of clove marketing channels in the District Amahai, to
analyze the magnitude of marketing margins and marketing efficiency levels in
the District Amahai and to analyze the costs and benefits of marketing on the level
of the marketing channel marketing agency cloves in the District Amahai. Data
were analyzed using a pattern of marketing channels, the magnitude of the

marketing margin, the ratio of costs and benefits of marketing on the level of
marketing agencies in the District Amahai how efficient trading system to get the
cloves in District Amahai. Analyze margin trading system and farmer’s share
trading system shows that the channel one is more efficient because although do
not have smallest margin trading system and biggest farmer’s share but has the
trading volume is higher than the second channel. While based on the ratio of
benefit and cost analyze, marketing channels one are relatively more efficient
because have the greatest cost benefit ratio and the 19.37.
Keywords: cloves, trading system, efficiency.

ANALISIS TATANIAGA CENGKEH DI
KECAMATAN AMAHAI, KABUPATEN MALUKU TENGAH,
PROVINSI MALUKU

YENI PURNAMASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Cengkeh di Kecamatan Amahai, Kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku
Nama
: Yeni Purnamasari
NIM
: H34087033

Disetujui oleh

Dr Ir Anna Fariyanti M.Si
Dosen Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2011 ini ialah
tataniaga, dengan judul Analisis Tataniaga Cengkeh di Kecamatan Amahai,
Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku
pembimbing, serta Dr.Ir. Netti Tinaprilla, MM dan Amzul Rifin, PhD yang telah
memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Camat dari Kecamatan Amahai, Bapak Hafis Karepesina, SP sebagai Kabid Bina
Produksi Perkebunan Kabupaten Maluku Tengah , Bapak Umar Sonalitu sebagai
ketua kelompok tani di Desa Sepa dan Tamilao yang telah membantu selama

pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu,
mama, suami, almiraku serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014
Yeni Purnamasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

6


Gambaran Usahatani Cengkeh

6

Gambaran Tataniaga

8

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN

9
9
16
17

Lokasi dan Waktu


17

Data dan Instrumentasi

18

Metode Penentuan Responden

18

Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga

19

Analisis Saluran Tataniaga

19

Analisis Struktur Pasar


19

Analisis Marjin Tataniaga

20

Analisis Farmer’s Share

20

Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

20

Karakteristik Petani Responden


21

Karakteristik Pedagang Responden

23

Gambaran Usahatani Cengkeh di Kecamatan Amahai

24

Sistem Tataniaga

24

Saluran Pemasaran

25

Fungsi Tataniaga Pada Setiap Lembaga Pemasaran

27

Struktur Pasar

32

Analisi Marjin Tataniaga

36

Farmer’s Share

39

Rasio Keuntungan dan Biaya
SIMPULAN DAN SARAN

40
41

Simpulan

41

Saran

42

DAFTAR PUSTAKA

42

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Perkembangan kontribusi PDB lapangan usaha atas dasar harga
berlaku tahun 2006-20101
Persentase kontribusi sub sektor pertanian dalam PDB atas dasar
harga konstan 2000, tahun 2009-2014
Perkembangan volume ekspor dan impor cengkeh tahun2007-2012
Perkembangan luas areal, produksi, ekspor, dan impor, Tahun 20072012
Perkembangan produksi cengkeh di beberapa provinsi di Indonesia
Tahun 2012-2014
Perkembangan harga cengkeh di pasar dalam negeri dan pasar dunia
Tahun 2007-2012
Standar mutu cengkeh America Spice Trade Association
Karakteristik struktur pasar untuk pangan dan serat
Karakteristik petani responden komoditi cengkeh di Kecamatan
Amahai
Karakteristik pedagang responden komoditi cengkeh di Kecamatan
Amahai
Fungsi pemasaran yang dilaksanakan oleh lembaga pemasaran
cengkeh
Marjin tataniaga cengkeh di Kecamatan Amahai, 2011
Farmer’s share dan marjin tataniaga pada saluran tataniaga cengkeh
di kecamatan Amahai 2011
Rasio keuntungan dan biaya untuk setiap saluran pemasaran di
Kecamatan Amahai

1
2
3
3
4
5
8
13
21
23
28
38
39
40

DAFTAR GAMBAR
1 Saluran pemasaran barang konsumsi
2 Konsep marjin pemasaran
3 Kerangka pemikiran operasional analisis tataniaga cengkeh di
Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku
4 Saluran pemasaran cengkeh di Kecamatan Amahai

12
15
17
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan dalam pengadaan
pangan, bahan baku industri, meningkatkan penerimaan devisa, menciptakan
lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan petani. Hal ini berarti sektor
pertanian turut serta dalam menggerakkan perekonomian bangsa. Kontribusi
sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku
sekitar 14.44 persen pada tahun 2012, menempati posisi kedua setelah industri
pengolahan. Namun dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan.
Terlihat pada Tabel 1. tentang perkembangan kontribusi PDB beberapa lapangan
usaha atas dasar harga berlaku tahun 2009-2012.
Tabel 1. Perkembangan kontribusi Produk Domestik Bruto beberapa lapangan
usaha atas dasar harga berlaku, Tahun 2009-2012 (persen)
Lapangan Usaha
Pertanian,
peternakan,
kehutanan, dan perikanan
Pertambangan
dan
penggalian
Industri pengolahan
Listrik gas, dan air bersih
Konstruksi
Perdagangan, hotel, dan
restoran
Pengangkutan
dan
komunikasi
Keuangan, real estate dan
jasa
Jasa-jasa
PDB
PDB tanpa migas

2009

2010

2011*)

2012**)

15.29

15.29

14.70

14.44

10.56

11.16

11.85

11.78

26.36
0.83
9.90

24.80
0.76
10.25

24.33
0.77
10.16

23.94
0.79
10.45

13.28

13.69

13.80

13.90

6.31

6.56

6.62

6.66

7.23

7.24

7.21

7.26

10.24
100.00
88.90

10.24
100.00
89.50

10.56
100.00
89.40

10.78
100
91.70

Sumber: BPS (2013)
Keterangan:
*
= angka sementara
**
= angka sangat sementara

Berdasarkan bidang usahanya, sektor pertanian terbagi atas subsektor
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan perikanan. Peranan sub sektor
perkebunan menyumbang 14.44 persen dari sektor pertanian pada tahun 2012.
Peranan sub sektor perkebunan sebesar 1.94 persen dalam menyumbang PDB
sektor pertanian tahun 2012 dapat dilihat dalam Tabel 2. Persentase kontribusi sub
sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku, Tahun
2009-2012.

2
Tabel 2. Persentase kontribusi sub sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto
atas dasar harga konstan 2000, Tahun 2009-2012
Sektor Pertanian
Pertanian Sempit (Sub Sektor)
a. Tanaman
Bahan
Makanan
b. Tanaman Perkebunan
c. Peternakan dan hasilhasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan
Sektor Pertanian

2009r)

2010r)

2011*)

2012**)

7.48

7.48

7.14

6.97

1.99
1.89

2.11
1.85

2.07
1.74

1.94
1.77

0.80

0.75

0.70

0.67

3.15

3.09

3.05

3.10

15.29

15.29

14.70

14.44

Sumber: BPS (2013)
Keterangan:
r
= angka diperbaiki
*
= angka sementara
** = angka sangat sementara

Dari beberapa komoditas perkebunan, cengkeh memiliki karakteristik
yang unik yakni kebutuhan dalam negeri yang tinggi hingga membuat pemerintah
harus melakukan impor pada kondisi panen dalam negeri rendah. Dilain pihak
kualitas cengkeh dalam negeri yang bagus dan tingginya permintaan pasar luar
negeri juga membuat pemerintah tergiur untuk melakukan ekspor. Hal ini terlihat
dari data pada Tabel 3. Volume ekspor-impor cengkeh Tahun 2000-2012.
Tabel 3. Volume ekspor-impor cengkeh Tahun 2000-2012
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

Ekspor
Volume(Ton) Nilai(000US$)
4 655
8 281
6 324
10 670
9 399
25 973
15 688
24 929
9 060
16 037
7 680
14 916
11 270
23 533
14 094
33 951
4 251
7 251
5 142
5 586
6 008
12 581
5 397
16 304
5 941
24 767

Impor
Volume(Ton)
Nilai(000US$)
20 873
52 390
16 899
17 365
796
653
172
151
9
8
1
1
1
1
0
0
0
0
31
112
277
1 336
14 979
345 151
7 164
110 793

Sumber : Pusdatin Kementerian Pertanian (2014)

Volume dan nilai ekspor yang rendah dari komoditas cengkeh bila
dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya dapat dimaklumi karena
sebagian besar produksi cengkeh diserap untuk keperluan dalam negeri. Konsumsi
cengkeh di Indonesia dipenuhi dari produksi dalam negeri maupun impor.
Perkembangan konsumsi cengkeh selama tahun 1970 - 2008 meskipun
berfluktuasi namun cenderung meningkat (Pusdatin Kementerian Pertanian 2010).

3
Produksi cengkeh nasional digunakan untuk memenuhi kebutuhan baik
untuk kebutuhan ekspor maupun pemenuhan konsumsi domestik. Selengkapnya
perkembangan luas areal, produksi, ekspor, dan impor cengkeh untuk tahun 20042008 dapat dilihat dalam Tabel 4. Perkembangan produksi, ekspor, impor, dan
konsumsi cengkeh Indonesia, Tahun 2004-2008.
Tabel 4. Perkembangan Luas Areal, Produksi, Ekspor dan impor cengkeh, Tahun
2007-2012
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
2012

Luas Areal
(Ha)
453 292
456 471
467 316
470 041
485 191
493 888

Produksi (Ton)
80 404
70 535
81 988
98 386
72 207
99 890

Ekspor (Ton)
14 094
4 251
5 142
6 008
5 397
5 941

Impor (Ton)
0
0
31
277
14 979
7 164

Sumber : Pusdatin Kementerian Pertanian (2014)

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) tahun 2014
Kementerian Pertanian produksi cengkeh pada tahun 2010 dan 2012 lebih tinggi
dibanding pada tahun-tahun lainnya. Bahkan pada periode 2012 produksi cengkeh
mencapai 99 890 ton. Hal ini disebabkan sesuai dengan karakter sifat cengkeh
yang akan mengalami panen raya setiap dua tahun sekali juga adanya
pertambahan luasan perkebunan yang diusahakan.
Tanaman cengkeh merupakan salah satu tanaman yang menginginkan
kondisi agroklimat tertentu. Walaupun dapat hidup di iklim tropikal seperti di
Indonesia, belum tentu tanaman cengkeh tersebut dapat berproduksi dengan baik.
Sehingga dalam perkembangan produksi cengkeh terdapat beberapa provinsi yang
menjadi sentra produksi cengkeh. Sejak tahun 2012-2014 telah memberikan
kontribusi kumulatif yang tinggi hingga mencapai 15.008 persen, yakni Provinsi
Sulawesi Utara. Selanjutnya Maluku memiliki kontribusi 12.64 persen
menyumbang produksi cengkeh nasional pada tahun 2012-2014. Berturut-turut
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Jawa
Tengah, DKI Jakarta, Kepualauan Riau dan Bali adalah beberapa provinsi yang
memiliki produksi cengkeh yang relatif tinggi dibanding provinsi lain di Indonesia.
Data beberapa provinsi sebagai sentra penghasil cengkeh di Indonesia tahun 20122014 dapat dilihat pada Tabel 5. Perkembangan produksi cengkeh di beberapa
provinsi, Tahun 2012-2014.
Peningkatan produksi cengkeh nasional tidak terlepas dari semakin
meningkatnya industri rokok nasional. Pada tahun 1942, harga 1 kg cengkeh
kering sama dengan 1 gr emas murni. Tertarik dengan harga yang tinggi, maka
pada waktu itu petani berlomba-lomba menanam cengkeh. Bahkan gabungan
pengusaha pabrik rokok Indonesia mempelopori pendirian perkebunan besar
cengkeh yang sebelumnya tidak ada di Indonesia. Sejak saat itu, tanaman cengkeh
dikembangkan secara besar-besaran dan pengembangannya hampir diseluruh
wilayah Indonesia. Namun dengan semakin luasnya areal pengembangan cengkeh
dan meningkatnya produksi, sejak tahun 1982 keadaan mulai berubah.

4
Tabel 5. Perkembangan produksi cengkeh di beberapa provinsi, Tahun 2012-2014
Provinsi
Sulawesi Utara
Maluku
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Jawa Timur
Sulawesi Tenggara
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Bali
Lainnya
Total Indonesia

Produksi (Ton)
2012
2013*)
2014**)
14 965
15 116
15 288
12 669
12 734
12 823
10 690
10 710
10 736
10 536
10 552
10 572
10 146
10 337
10 522
6 692
6 699
6 719
6 500
6 565
6 656
5 628
5 652
5 677
3 247
3 262
3 282
3 092
3 101
3 111
18 972
15 997
12 684
99 890 100 725 101 670

Rata-rata
45 369
38 226
32 136
31 660
31 005
20 110
19 721
16 957
6 544
9 304
51 253
302 285

Share (%)
15.008
12.64
10.63
10.47
10.25
6.65
6.609
5.60
2.16
3.07
17.00
100.00

Sumber: Kementerian Pertanian 2014

Perumusan Masalah
Adanya kebebasan menentukan pasar cengkeh setelah BPPC dihentikan,
maka telah mengembalikan harga cengkeh kembali normal. Hal ini merangsang
kembali masyarakat untuk membudidayakan tanaman cengkeh tersebut. Semakin
banyaknya yang membudidayakan cengkeh menyebabkan jumlah produksi
cengkeh meningkat. Dengan peningkatan produksi tanaman cengkeh, maka
pemasaran sangat diperlukan guna menjual hasil produksi yang bertambah.
Apalagi rantai pemasaran yang dulunya dikuasai oleh BPPC telah dihapuskan
maka para petani harus mencari sistem saluran pemasaran sendiri dan berdasarkan
pertimbangan yang tepat. Pertimbangan tersebut meliputi jumlah panen atau
besaran panen, jarak tempuh dan pertimbangan lainnya sehingga dapat
memaksimalkan pendapatan petani.
Mekanisme tataniaga cengkeh yang mana petani bebas menentukan pasar
yang dituju, panjangnya rantai tataniaga dan rendahnya produksi pada tahun 2008,
menyebabkan harga cengkeh pada 2008 mencapai 53 000 rupiah per kilogram.
Rentang harga cengkeh dalam negeri dan luar negeri dalam kurun waktu 20042008 menyebabkan kekhawatiran tersendiri bagi pelaku usaha cengkeh di dalam
negeri, khususnya petani dan pedagang cengkeh. Karena jika pengusaha rokok
sudah merasa tidak mampu dan tidak mau lagi membeli cengkeh dari petani lokal,
maka mereka akan meminta pemerintah untuk melakukan impor cengkeh. Impor
cengkeh dipilih karena harga cengkeh dunia yang lebih murah daripada harga
cengkeh produksi dalam negeri. Jika benar terjadi, maka hal ini tentu sangat
merugikan petani. Perkembangan harga cengkeh di pasar dalam negeri dan pasar
dunia antara tahun 2007 – 2012 dapat dilihat pada Tabel 6. Perkembangan harga
cengkeh di pasar dalam negeri dan dunia.
Harga rata-rata di perusahaan rokok sebagai konsumen akhir yang tinggi
pada tahun 2011 mencapai 125 000 rupiah menimbulkan pertanyaan mengenai
harga yang diterima petani sebagai produsen cengkeh. Sedangkan harga yang
diterima petani jauh lebih rendah sebesar 43 000 rupiah dari pada harga yang
dibayarkan konsumen akhir kepada pedagang besar. Hal ini tidak terlepas dari

5
peranan lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran cengkeh. Perbedaan
lokasi, perbedaan fungsi dan perbedaan perlakuan/kegiatan lembaga tataniaga
menyebabkan harga di tiap lembaga tataniaga pun menjadi berbeda.
Tabel 6. Perkembangan harga cengkeh di pasar dalam negeri dan dunia, Tahun
2007-2012
Tahun

Dalam Negeri
Rp/Kg

Internasional

Pertumbuhan (%)

US$/lb

Pertumbuhan (%)

2007

39 304

-9.57

-

-

2008

53 005

34.85

-

-

2009

47 921

-9.59

-

-

2010

49 890

4.10

-

-

2011

125 756

152.06

7.10

2.20

2012

85 389

-32.09

-

-

Sumber: Kementerian Pertanian 2014

Adanya lembaga tataniaga juga akan menyebabkan harga produk berubah
setelah sampai di konsumen. Hal ini dikarenakan setiap lembaga tataniaga
berusaha melakukan fungsi tataniaga yang menambah nilai guna utilitas dari
produk tersebut sehingga memperbesar biaya tataniaga. Besar biaya pemasaran
biasanya dibebankan kepada pihak produsen dan konsumen, yaitu dengan
meningkatkan harga konsumen atau menekan harga produsen.
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana lembaga dan fungsi tataniaga, saluran tataniaga, struktur
pasar, dan perilaku pasar cengkeh di Kecamatan Amahai, Kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
2. Apakah proses tataniaga yang berlangsung sudah efisien berdasarkan
analisis marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan
biaya
Hal inilah yang mendorong peneliti mengadakan penelitian mengenai
analisis pemasaran cengkeh di Maluku sebagai salah satu sentra penghasil
cengkeh.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan :
1. Menganalisis pola saluran pemasaran cengkeh di Kecamatan Amahai,
Kabupaten Maluku Tengah .
2. Menganalisis besarnya margin pemasaran dan tingkat efisiensi pemasaran
cengkeh di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.
3. Menganalisis biaya dan keuntungan pemasaran pada tingkat lembaga
pemasaran dalam saluran pemasaran cengkeh di Kecamatan Amahai.

6
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada petani dan
lembaga tataniaga, masyarakat, penulis, dan pembaca sebagai akademisi.
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan
dan pengetahuan yang lebih luas mengenai pemasaran cengkeh.
2. Bagi lembaga tataniaga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tambahan dan masukan dalam membuat keputusan dalam
memasarkan produk cengkeh.
3. Bagi petani atau pedagang, hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat
digunakan sebagai bahan acuan dalam rangka peningkatan usaha dan
mampu memperbaiki manajemen usaha.
4. Bagi perguruan tinggi, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan informasi yang berguna sebagai acuan dalam melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap pemilihan saluran pemasaran.

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Usahatani Cengkeh
Tanaman cengkeh mempunyai dua masa kritis dalam siklus hidupnya,
yaitu masa sebelum berumur tiga tahun dan setelah umur delapan tahun, terutama
pada awal dan sesudah panen pertama. Keadaan pertumbuhan tanaman tersebut
sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh dan cara budidaya. Tanaman cengkeh
dimasukkan dalam kategori tanaman manja dalam arti memerlukan lingkungan
yang khusus dan pemeliharaan yang intensif (Ruhnayat, 2002).
Cengkeh menghendaki iklim yang panas dengan curah hujan yang cukup
merata, karena tanaman itu tidak tahan kemarau panjang. Tanaman cengkeh
tumbuh dengan baik dengan suhu optimum 18o -30o C, kelembaban optimum
antara 60-80 persen, ketinggian 600-900 meter dari permukaan laut dan curah
hujan 2000-6000 mm tiap tahun (Hadiwijaya, 1989). Selain itu tanah yang sesuai
adalah tanah yang gembur, solum yang tebal (minimal 1,5 meter) dan kedalaman
air tanah lebih dari tiga meter dari permukaan tanah serta memiliki tingkat
kemasaman 5.5 – 6.5 pH. Jenis tanah yang cocok antara lain latosol, podsolik
merah, mediterian dan andosol (Ruhnayat, 2002).
Menurut Kemala (1999), perkembangan luas areal tanaman cengkeh
sangat dipengaruhi harga. Jika harga dan luas areal tanaman cengkeh
dipertahankan dikuatirkan produktifitas akan terus menurun. Penurunan
produktivitas ini disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki petani
sehingga mereka tidak mampu mengelola usahatani cengkeh dengan baik. Hal
tersebut berakibat terhadap menurunnya pasokan cengkeh pada tahun-tahun yang
akan datang.
Wahid dalam Yuhono (1997) menyatakan bahwa tanaman cengkeh
termasuk tanaman yang berbunga terminal dalam arti mengenal siklus produksi
dimana setiap tiga sampai empat tahun terjadi satu kali berbunga lebat, satu kali
berbunga sedang dan satu kali berbunga sedikit. Disisi lain tanaman cengkeh
mengenal kesesuaian lahan dan agroklimat dimana tiap daerah dapat berbeda satu

7
sama lain sehingga jatuh tempo dari siklus produksi dapat bervariasi bagi seluruh
wilayah produsen cengkeh di Indonesia. Pengaruh simultan dari faktor tersebut
menyebabkan fluktuasi produksi cengkeh nasional. Ruhnayat (1997)
menyimpulkan penyebab utama fluktuasi produksi tanaman cengkeh adalah faktor
iklim, genetis, fisiologis dan budaya.
Untuk meningkatkan dan menekan variasi mutu akan diperlukan standar
mutu cengkeh. Dengan adanya standar mutu yang telah disepakati antara produsen
dan konsumen maka kepastian perdagangan dapat ditingkatkan. Konsumen dapat
mengetahui dengan pasti mutu barang yang akan di beli dan produsen dapat
mengarahkan mutu produksinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Standar mutu cengkeh yang berlaku di Indonesia adalah SNI No. 01-33921994 yang dibuat oleh Dewan Standardisasi Nasional (DSN). Standar mutu
cengkeh tersebut disusun berdasarkan hasil survei ke perkebunan rakyat dan
swasta, pabrik rokok kretek, wawancara dengan pihak-pihak yang berkecimpung
dalam perdagangan cengkeh, dan membandingkan dengan standar mutu cengkeh
dari America Spice Trade Association (ASTA), beberapa negara importir dan
negara eksportir cengkeh.
Syarat mutu dari cengkeh terdiri dari ukuran, warna, bahan asing, gagang
cengkeh, cengkeh inferior, cengkeh rusak, kadar air dan kadar minyak atsiri.
Bahan asing dalam syarat mutu diartikan sebagai semua bahan yang bukan berasal
dari bunga cengkeh. Cengkeh inferior adalah cengkeh keriput, patah dan cengkeh
yang telah dibuahi. Sedangkan cengkeh rusak adalah cengkeh berjamur dan telah
diekstraksi.
Beberapa upaya perbaikan untuk menanggulangi permasalahan mutu
cengkeh antara lain dapat dilakukan dengan perwilayahaan cengkeh sehingga
penanaman dilakukan pada daerah yang sangat sesuai, penggunaan varietas
unggul serta perbaikan dan standarisasi cara pengolahan. Perbaikan cara
pengolahan antara lain dengan waktu panen yang tepat sehingga rendemen
cengkeh kering dan minyak meningkat serta inferior dan menir berkurang. Untuk
mengurangi kadar bahan asing, pengeringan sebaiknya dilakukan pada lantai
jemur yang bersih atau di atas para-para menggunakan tampah atau dengan
pengering buatan. Selain itu kadar bahan asing dan persentase gagang cengkeh
dapat dilurangi dengan melakukan sortasi sebelum cengkeh disimpan atau
dipasarkan.
Tabel 7. Standar mutu cengkeh America Spice Trade Association
Syarat Mutu
Ukuran
Warna
Bahan Asing (%, b/b) maks.
Gagang Cengkeh (%, b/b) maks
Cengkeh inferior (%,b/b) maks
Cengkeh rusak
Kadar air (%,v/b) maks
Kadar minyak atsiri (%, v/b) min
Sumber: Ruhnayat, 2002

Mutu I
Rata
Coklat
kehitaman
0.5
1
2
Negatif
14
20

Mutu
Mutu II
Rata
Cokelat
1
3
2
Negatif
14
18

Mutu III
Tidak rata
Cokelat
1
5
5
Negatif
14
16

8
Menurut Sinaga (1999), tataniaga merupakan bagian perilaku ekonomi
yang termasuk dalam kelompok distribusi. Tataniaga atau sistem pemasaran
adalah suatu cara untuk menyalurkan barang yang diproduksi oleh produsen agar
dapat sampai pada konsumen. Fungsi tataniaga merupakan peningkatan kegunaan
suatu barang yang dikonsumsi oleh konsumen, dimana peningkatan kegunaan
tersebut berhubungan dengan kegunaan waktu, bentuk dan harga. Pada prinsipnya
fungsi tataniaga tersebut lebih menekankan pada peningkatan nilai guna tempat
dari waktu suatu barang, di dalam pendistribusiannya diperlukan adanya perantara
atau yang disebut pedagang perantara.
Tataniaga cengkeh merupakan suatu sistem yang mengatur mekanisme
transaksi perdagangan cengkeh hasil produksi dalam negeri dari tingkat produksi
(perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan swasta) hingga ke tingkat
konsumen yaitu industri (rokok dan obat-obatan) dan rumah tangga. Tataniaga
cengkeh memiliki suatu keunikan karena produsennya banyak tapi jumlah industri
rokok serta pabrik lainnya yang menggunakan cengkeh sebagai bahan baku hanya
sedikit. Strategi terhadap tataniaga cengkeh di Indonesia yang bersifat oligopsoni,
di samping cengkeh merupakan komoditi pertanian yang memiliki nilai strategis
bagi perekonomian nasional maka tataniaga cengkeh diatur melalui kebijakan
pemerintah dengan tujuan:
a. Agar petani sebagai produsen cengkeh menerima harga yang wajar
sehingga tingkat pendapatan petani dapat meningkat.
b. Agar dapat menjamin ketersediaan stok cengkeh sebagai persyaratan
terjaminnya serta berkesinambungan produksi pabrik rokok kretek.
Gambaran Tataniaga
Produk pertanian, khususnya produk yang dihasilkan oleh sub sektor
perkebunan, memerlukan sejumlah perlakuan agar dapat dikonsumsi oleh
konsumennya. Harus melalui proses pengolahan termasuk adanya proses sortasi
atau grading. Jarak pusat produksi ke pusat konsumsi juga berpengaruh. Disinilah
peranan sejumlah lembaga pemasaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi pemasaran. Fungsi pertukaran terdiri atas kegiatan penjualan dan
pembelian, dilakukan oleh semua pedagang kecuali petani yang hanya melakukan
kegiatan penjualan. Fungsi-fungsi pemasaran lainnya juga dilakukan oleh masingmasing lembaga pemasaran adalah fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi fisik
terdiri dari kegiatan-kegiatan pengangkutan, bongkar muat, penimbangan,
pengemasan dan penyimpanan. Sedangkan fungsi fasilitas terdiri atas kegiatankegiatan sortasi, grading, penanggungan risiko, retribusi pasar dan informasi
harga. Untuk fungsi fisik, hampir semua lemabaga pemasaran melakukan
kegiatan tersebut kecuali pengemasan yang tidak dilakukan oleh petani, pedagang
pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul tingkat kecamatan. Sedangkan
pada fungsi fasilitas, kegiatan sortasi tidak dilakukan oleh petani dan pedagang
pengumpul tingkat desa. Grading hanya dilakukan oleh pedagang besar dan
eksportir, sementara kegiatan penanggungan risiko hanya dilakukan oleh eksportir
saja (Sallatu 2006).
Mahaputra dkk(2006), menyatakan bahwa dari tiga lembaga tataniaga
cengkeh di Bali, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang antar pulau
malakukan beberapa fungsi pemasaran sekaligus yang masing-masing lembaga
dapat sama maupun berbeda. Pedagang pengumpul di tingkat desa maupun

9
kecamatan selain melakukan fungsi pertukaran juga melakukan fungsi fisik.
Fungsi fisik ini berupa penyimpanan untuk menghidari kerugiaan saat harga turun.
Sementara pedagang besar dan pedagang antar pulau memegang peranan penting
dalam hal fungsi fasilitas berupa informasi harga yang diperoleh dari konsumen.
Berdasarkan hasil tataniaga ubi jalar di Desa Gunung Malang, Kecamatan
Tenjolaya, Kabupaten Bogor, diketahui bahwa terdapat lima lembaga tataniaga
dalam sistem tataniaga ubi jalar di desa Gunung Malang. Setiap lembaga tataniaga
tersebut melakukan fungsi tataniaga yang berbeda-beda. Struktur pasar pada
petani dan pedagang grosir cenderung mendekati pasar persaingan sempurna,
sedangkan pedagang pengumpul pertama, tingkat kedua dan pengecer cenderung
menghadapi pasar oligopoli(Purba, 2010).
Purba (2010), menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisa marjin
tataniaga dan rasio keuntungan dan biaya pada tataniaga ubi jalar di Kecamatan
Tenjolaya menyatakan saluran tataniaga I lebih efisien, karena memiliki rasio
keuntungan dan biaya yang terbesar serta volume penjualan yang tinggu pula.
Mahaputra dkk(2006), untuk mengetahui efisiensi tataniaga cengkeh
menggunakan analisis distribusi margin. Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut
rantai tataniaga cengkeh yang relatif pendek belum tentu lebih efisien. Karena
ternyata margin pemasaran cukup tinggi, namun bagian yang diterima petani
cengkeh rendah, sedangkan margin keuntungan pedagang cukup tinggi. Hal ini
karena pedagang menahan untuk tidak menjual cengkeh di saat harganya turun
untuk mengurangi kerugian. Sementara petani tetap menjual hasil panennya
berapapun harga yang diberikan oleh lembaga tataniaga selanjutnya.
Sebelum BPPC dihapuskan tataniaga cengkeh memiliki kecenderungan
bahwa sistem tataniaga yang dilaksanakan pada waktu itu belum efisien karena
setiap lembaga tataniaga belum berperan sebagai mana mestinya. Sehingga petani
belum memperoleh farmer’s share yang semestinya. Octavianus (2003),
menyatakan bahwa setelah dihapuskannya BPPC dalam sistem tataniaga cengkeh,
harga cengkeh yang diterima mengalami peningkatan. Namun pada penelitian
yang dilakukan Mahaputra (2006), disebutkan ternyata saluran tataniaga dengan
jumlah lembaga tataniaga yang relatif pendek pun belum menjamin efisiensi
saluran tataniaga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa efisiensi saluran
tataniaga cengkeh sehingga hasil dari penelitian ini bermanfaat bagi lembaga
tataniaga yang berperan dalam sistem tataniaga cengkeh.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Tataniaga
Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), istilah tataniaga atau pemasaran
merupakan terjemahaan dari marketing, selanjutnya tataniaga dapat didefinisikan
sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan bergeraknya barangbarang dan jasa dari produsen sampai konsumen. Dapat disimpulkan bahwa tujuan
akhir dari tataniaga adalah menempatkan barang-barang dan jasa ke tangan
konsumen akhir.

10
Tataniaga merupakan rangkaian tahapan fungsi yang diperlukan dalam
penanganan/pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produsen primer
sampai konsumen akhir. Serangkaian fungsi tersebut terdiri dari proses produksi,
pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran oleh pedagang grosir, pedagang
pengecer sampai konsumen (Dahl dan Hammond 1977).
Kohls dan Uhl (2002) mendefinisikan tataniaga pertanian sebagai suatu
keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang atau jasa komoditas
pertanian mulai tingkat produksi(petani) sampai konsumen akhir, yang mencakup
aspek input dan output pertanian. Kohls dan Uhl (2002) menggunakan beberapa
pendekatan dalam menganalisis sistem tataniaga:
1. Pendekatan Fungsi (The Fungsional Approach)
Pendekatan fungsi digunakan untuk mengetahui fungsi tataniaga apa
saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Fungsi-fungsi
tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(penyimpanan, transportasi, dan pengolahan), serta fungsi fasilitas
(standarisasi, penanggungan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar).
2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach)
Pendekatan kelembagaan digunakan untuk mengetahui berbagai macam
lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pendekatan kelembagaan
juga membantu memahami mengapa ada spesialisasi pedagang perantara
dalam sistem tataniaga, mengapa petani dan konsumen tidak dapat berhadapan
pada satu tempat, bagaimana karakter dari berbagai jenis pedagang perantara
(middlemen), hubungan agen perantara, serta susunan dan organisasi dari
aktivitas tataniaga dalam produk pertanian. Pendekatan kelembagaan terdiri
dari pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent
middlemen), spekualtor (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan
(processors and manufacturers), dan organisasi (facilitative organization).
3. Pendekatan Sistem (The Behavioral sistem approach)
Pendekatan sistem merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi
kelembagaan untuk mengetahui aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses
tataniaga, seperti perilaku lembaga yang terlibat dalam tataniaga dan
kombinasi dari fungsi tataniaga. Pendekatan ini terdiri dari the input-output,
the power system, dan the communication system.
Konsep Lembaga Tataniaga
Dalam prosesnya, dalam tataniaga terdapat berbagai pelaku ekonomi yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung, keterlibatan ini dilakukan dengan
melaksanakaan fungsi-fungsi tataniaga. Menurut Hanafiah dan Saifudin (2006),
lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau
fungsi tataniaga dengan nama barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai
pihak konsumen. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan fungsi tataniaga adalah termasuk dalam bagian lembaga
tataniaga, baik itu bentuknya kelompok ataupun perorangan.
Menurut Sudiyono (2001), lembaga tataniaga adalah badan usaha atau
individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari
produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha
atau individu lainnya. Lembaga tataniaga ini adalah lembaga yang akan

11
menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen
semaksimal mungkin. Aliran produk pertanian dari produsen ke konsumen akhir
disertai peningkatan nilai guna komoditi-komoditi pertanian akan ada apabila
lembaga tataniaga ini menjalankan fungsi-fungsi tataniaganya.
Konsep Fungsi Tataniaga
Menurut Kohls dan Uhl (2002), fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi
tiga fungsi utama yaitu : (1) fungsi pertukaran; (2) fungsi fisik; dan (3) fungsi
fasilitas. Fungsi pertukaran merupakan kegiatan untuk memperlancar pemindahan
hak milik atas barang dan jasa dari penjual kepada pembeli. Adapun fungsi
pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Kegaitan fungsi penjualan
ini diperlukan untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan
penjualan barang dan jasa sesuai dengan yang diinginkan konsumen baik dilihat
dari jumlah, bentuk, dan mutunya. Kegiatan fungsi pembelian diperlukan untuk
menentukan jenis barang yang akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhan baik
untuk dikonsumsi langsung maupun untuk kebutuhan produksi dengan cara
menentukan jenis, jumlah, kualitas, tempat pembelian serta cara pembelian barang
atas jasa yang akan dibeli.
Fungsi fisik merupakan seluruh kegiatan yang langsung berhubungan
dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan
bentuk, dan kegunaan waktu. Fungsi-fungsi fisik dari tataniaga yaitu fungsi
penyimpanan yang bertujuan agar komoditas selalu tersedia pada saat dibutuhkan,
fungsi pengankutan yang bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah
konsumen sesuai dengan permintaan, dan fungsi pengolahan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas barang yang bersangkutan baik dalam rangka memperkuat
daya tahan barang tersebut maupun dalam rangka peningkatan nilainya.
Fungsi fasilitas adalah segala kegiatan yang memperlancar kegiatan
pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari
empat fungsi utama, yaitu : (1) fungsi standarisasi dan grading, dimana
standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan
menggunakan berbagai ukuran atau kriteria tertentu, sedangkan grading adalah
tindakan mengklasifikasikan hasil-hasil pertanian menurut suatu standarisasi yang
diinginkan sehingga kelompok barang yang terkumpul sudah menurut satu ukuran
standar; (2) fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama
proses pemasaran dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut; (3) fungsi
penanggungan resiko, merupakan penanggungan resiko terhadap kemungkinan
kehilangan selama proses tataniaga akibat resiko fisik maupun resiko ekonomi
atau pasar; (4) fungsi informasi pasar, fungsi ini meliputi kegiatan pengumpulan
informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut.
Konsep Saluran Tataniaga
Saluran pemasaran adalah organisasi-organisasi yang saling tergantung
yang tercakup dalam proses yang membuat produk atau jasa menjadi tersedia
untuk digunakan atau dikonsumsi. Adanya jarak antara produsen dengan
konsumen maka proses penyaluran produk dari produsen ke konsumen
melibatkan beberapa perantara (Kotler dan Keller 2008).
Terdapat empat macam saluran pemasaran yaitu saluran nol-tingkat terdiri
dari produsen yang menjual langsung ke pelanggan akhir (konsumen). Saluran

12
satu-tingkat berisi satu perantara penjualan, seperti pedagang pengecer. Saluran
dua-tingkat terdapat dua perantara, misalnya pedagang besar dan pedagang
pengecer. Saluran tiga-tingkat terdapat tiga perantara, misalnya pedagang besar,
pemborong, dan pedagang pengecer. Perincian mengenai empat saluran
pemasaran dapat dilihat pada Gambar 1. Saluran pemasaran barang konsumsi.

Saluran nol-tingkat
Saluran satu-tingkat

Saluran dua-tingkat

Saluran tiga-tingkat

P
R
O
D
U
S
E
N

Pengecer
P.Besar
P.Besar

Pengecer
Pemborong

Pengecer

K
O
N
S
U
M
E
N

Gambar 1. Saluran pemasaran barang konsumsi
Sumber : Kotler (2003)

Konsep Struktur Pasar
Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik
dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur
pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2)
kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) hambatan keluar masuk
pasar bagi pelaku tataniaga, dan (4) tingkat informasi pasar yang diketahui oleh
partisipan (penjual dan pembeli) dalam tataniaga, misalnya biaya, harga, dan
kondisi pasar antara partisipan.
Struktur pasar berkaitan dengan jumlah atau volume perusahaan di pasar
(pangsa pasar), ukuran dan konsentrasi perusahaan secara umum dalam industry
atau pasar tersebut. Secara garis besar ada dua struktur pasar yaitu pasar
persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Bentuk-bentuk
lainnya, merupakan antara dari dua karakteristik jenis pasar tersebut. Pasar
persaingan sempurna dikatakan jenis pasar yang efisien, sedangkan pasar
persaingan tidak sempurna (monopoli atau monopsoni) merupakan pasar yang
tidak efisien.
Struktur pasar yang karakteristiknya cenderung mendekati pasar
persaingan sempurna adalah struktur pasar persaingan monopolistik. Dimana
struktur pasar tersebut dikatakan relatif efisien karena masih ada unsur persaingan
di dalamnya. Karakteristik pasar yang mendekati pasar persaingan tidak sempurna
(monopili atau monopsoni) cenderung dikatakan pasarnya tidak efisien (oligopoli
atau oligopsoni). Secara terinci ada lima jenis struktur pasar pangan dan serat
(Dahl dan Hammond 1977), seperti terdapat pada Tabel 8. Karakteristik struktur
pasar untuk pangan dan serat.
Struktur pasar persaingan sempurna memiliki ciri-ciri terdapat banyak
pembeli dan penjual yang bertindak sebagai penerima harga (price taker), bebas
keluar masuk pasar, produk yang dipasarkan homogen, dan tidak ada campur
pihak ketiga. Pada pasar persaingan sempurna, jumlah yang diinginkan konsumen
dan yang ditawarkan produsen adalah sama (market clearing).

13
Pasar monopolistik memiliki ciri-ciri terdapat banyak pembeli dan penjual
yang melakukan transaksi pada berbagai tingkat harga dan bukan atas dasar satu
harga pasar. Adanya beberapa macam harga disebabkan penjual dalam pasar
monopolistik ini tidak homogen. Produk dapat dibedakan menurut kualitas, ciri
atau gaya, pelayanan (service) yang berbeda, perbedaan pengepakan, warna
bungkus, dan harga. Penjual melakukan penawaran yang berbeda untuk segmen
pembeli yang berbeda dan bebas menggunakan merek, periklanan, dan personal
selling.
Tabel 8. Karakter struktur pasar untuk pangan dan serat
Karakteristik
Jumlah
Sifat Produk
Perusahaan

Struktur pasar
Sisi Penjual

Sisi Pembeli

Banyak

Standardisasi

Persaingan murni

Persaingan murni

Banyak

Diferensiasi

Persaingan monopolistik

Persaingan monopsonistik

Sedikit

Standardisasi

Oligopoli murni

Oligopsoni murni

Sedikit

Diferensiasi

Oligopoli diferensiasi

Oligopsoni diferensiasi

Satu

Unik
Monopoli
Sumber : Dahl dan Hammond (1977)

Monopsoni

Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi
pemasaran dan penetapan harga perusahaan lainnya. Produk dapat berupa produk
homogen atau berupa produk heterogen. Sedikitnya jumlah penjual ini disebabkan
oleh tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan. Hambatan
tersebut dapat berupa paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan
baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan, dan lokasi yang langka.
Pasar monopoli memiliki ciri-ciri terdapat satu penjual yang berbentuk
perusahaan monopoli, pemerintah atau swasta menurut undang-undang, dan dapat
berupa monopoli swasta murni. Produk bersifat unik dan tidak dapat
disubstitusikan barang lain, serta ada pengendalian harga dari penjual. Tindakan
diskriminasi harga dengan menjual produk yang sama pada tingkat harga yang
berbeda-beda dan pada pasar yang berbeda.
Konsep Efisiensi Tataniaga
Secara teoritis, tataniaga yang efisien adalah struktur pasar persaingan
sempurna (perfect competition). Struktur pasar seperti ini secara realita tidak dapat
ditemukan. Ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen, maupun
lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang dan jasa mulai dari
petani sampai ke konsumen akhhir. Ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan
tersebut adalah sulit dan sangat relatif. Oleh sebab itu banyak pakar yang
mempergunakan indikator efisiensi harga dan efisiensi operasional
(teknis)(Asmarantaka, 2010).
Efisiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem tataniaga dalam
mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi pertanian
dan proses tataniaga sehingga efisien yang sesuai dengan keinginan konsumen.
Analisis efisiensi harga dapat dianalisis dengan menggunakan tingkat keterpaduan
pasar yaitu ada atau tidaknya keterpaduan (integrasi) harga di tingkat pasar acuan
dengan harga di tingkat pasar pengikutnya(Asmarantaka 2010).

14
Efisiensi operasional berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas tataniaga
yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input tataniaga.
Input tataniaga adalah sumberdaya (tenaga kerja, pengepakan, mesin-mesin, dan
lain-lain) yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Output
tataniaga termasuk didalamnya adalah kegunaan (utilities) waktu, bentuk, tempat,
dan kepemilikan yang berhubungan dengan kepuasan konsumen. Oleh sebab itu,
penggunaan sumberdaya dalam tataniaga adalah biaya, sedangkan kegunaan
(utilities) adalah manfaat (benefits) dari efisiensi tataniaga. Analisis yang
digunakan dalam kajian efisiensi operasional adalah analisis marjin tataniaga,
farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya (Dahl dan Hammond 1977).
Konsep Marjin Tataniaga
Margin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang
dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima produsen. Margin tataniaga
dapat dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga
sejak dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Kohls dan Uhl (2002)
mendefinisikan margin tataniaga sebagai harga dari kumpulan jasa-jasa tataniaga
sebagai akibat adanya aktivitas produktif yang terjadi dalam proses tataniaga
tersebut.
Setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga memiliki
tujuan atau motivasi untuk memperoleh keuntungan atau imbalan dari
pengorbanan yang diberikan. Artinya, dengan pengorbanan tertentu yang
disumbangkan, akan diusahakan untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan
yang maksimal atau dengan keuntungan tertentu akan diusahakan meminimumkan
pengorbanan atau pengeluarannya.
Marjin tataniaga adalah perbedaan harga yang terjadi antara lembaga satu
dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran tataniaga komoditas yang sama.
Marjin tataniaga juga dapat didefinisikan sebagai jarak vertikal antara kurva
permintaan dan penawaran tingkat petani dengan tingkat lembaga tataniaga yang
terlibat yaitu tingkat pengecer.
Teori marjin tataniaga (Tomek dan Robinson, diacu dalam
Asmarantaka,2010) dapat menjelaskan konsep permintaan turunan (derived
demand), yang menjelaskan bagaimana perubahan di setiap tingkat pasar
(lembaga tataniaga) akan tercermin pada pasar yang lain, sedangkan permintaan
awal (primary demand) yaitu permintaan dari konsumen akhir. Penawaran awal
(primary supply) merupakan penawaran di tingkat petani, sedangkan penawaran
turunan (derived supply) merupakan penawaran ditingkat pedagang atau pabrik
pengolahan maupun penawaran di tingkat pedagang pengecer (retail), seperti
yang dapat dilihat pada
Berdasarkan Gambar 2. Marjin tataniaga dapat dilihat besarnya nilai
marjin tataniaga adalah hasil perkalian dari perubahan harga dua tingkat lembaga
tataniaga dengan jumlah produk yang dipasarkan. Besarnya nilai marjin tataniaga
adalah sebesar segiempat (Pr-Pf) x Qr,f. Nilai (Pr-Pf) menunjukkan besarnya
marjin tataniaga suatu komoditas per satuan atau per unit.
Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa nilai dari marjin tataniaga
adalah selisih harga di tingkat konsumen dan petani dikalikan dengan jumlah
produk yang dipasarkan. Secara matematika sederhana nilai dari marjin tataniaga
adalah VMM= (Pr-Pf) Qr.f. Nilai dari marjin tataniaga (VMM) dapat dipandang

15
secara agregat atau ke dalam dua aspek yang berbeda. Aspek yang pertama dari
VMM adalah penerimaan dari input yang dipergunakan dalam proses pengolahan
atau jasa tataniaga yang dipergunakan dari tingkat petani sampai konsumen,
marketing cost (returns to factors) termasuk dalam kelompok ini adalah upah,
bunga, sewa, dan keuntungan. Aspek yang kedua adalah marketing charges
(returns to institutions) yaitu aspek balas jasa terhadap kelembagaan tataniaga,
dimana terdiri atas pedagang eceran, grosir, pengolah, pabrikan, dan pengumpul.
P (Harga)

Sr

Pr
Marjin Pemasaran

Sf
Nilai Marjin = (Pr-Pf) Qrf

(Pr -Pf )

Dr
Pf
Df

O

Qr,f
Q (Jumlah)

Gambar 2. Konsep Marjin Pemasaran
Sumber : Tomek dan Robinson 1990 diacu dalam Asmarantaka 2010
Keterangan:
Dr
= kurva permintaan ditingkat konsumen akhir (primary demand)
Df
= kurva permintaan ditingkat petani (derived demand)
Sf
= kurva penawaran ditingkat petani (primary supply)
Sr
= kurva permintaan ditingkat konsumen akhir (derived supply)
Pf
= harga ditingkat petani
Pr
= harga ditingkat konsumen akhir
Qr,f
= jumlah produk ditingkat petani dan konsumen akhir

Konsep Farmer’s Share
Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Kohls dan
Uhl (1985) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima
oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen dari kegiatan usahatani
yang dilakukannya. Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin
tataniaga. Marjin tataniaga yang semakin tinggi umumnya akan mengakibatkan
farmer’s share akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, semakin kecil marjin
tataniaganya maka farmer’s share akan semakin tinggi.
Rasio Keuntungan dan Biaya
Rasio keuntungan dan biaya menunjukkan berapa besarnya keuntungan
yang akan diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan
tataniaga. Besarnya rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur

16
tingkat efisiensi tataniaga. Semakin menyebarnya rasio keuntungan dan biaya
maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien.
Kerangka Pemikiran Operasional
Penelitian dimulai dengan meninjau masalah-masalah yang terkait dengan
tataniaga cengkeh di lokasi penelitian. Selanjutnya dilakukan analisis sistem
tataniaga cengkeh yaitu dengan menganalisis saluran dan lembaga tataniaga,
fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar serta analisis efisiensi operasional yang
mencakup marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya.
Fungsi-fungsi tataniaga yang dianalisis meliputi fungsi pertukaran berupa
penjualan dan pembelian; fungsi fisik berupa pengangkutan, penyimpanan, dan
pengolaham; serta fungsi fasilitas berupa standarisasi dan grading, penanggungan
risiko, pembiayaan, dan informasi pasar.
Struktur pasar dapat diketahui dengan mengetahui jumlah pembeli dan
penjual yang terlibat pada tataniaga cengkeh, heterogenitas produk yang
dipasarkan, mudah tidaknya keluar masuk pasar, serta informasi perubahan harga
pasar. Struktur pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur dengan
efisiensi operasional yang mencakup analisis marjin tataniaga, farmer’s share,
serta rasio keuntungan dan biaya. Dengan melihat hasil dari analisis tersebut, akan
dapat diketahui apakan tataniaga cengkeh tersebut sudah efisien atau belum.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3. Kerangka pemikiran operasional
tataniaga cengkeh di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi
Maluku.

17
Sistem Tataniaga Cengkeh di Kecamatan Amahai

Pasca dihapuskannya BPPC terjadi
Peningkatan harga cengkeh
Bertambahnya saluran tataniaga cengkeh

Bagaimana Sistem Tataniaga Cengkeh di Kec. Amahai

Lembaga

Fungsi

Saluran

Struktur Pasar

Sistem Tataniaga Cengkeh Efisien

Analisis Marjin
Tataniaga

Analisis Farmers
Share

Analisis Rasio Keuntungan dan
Biaya

Efi