Basic Taste Threshold and Preferences in Food Matrices by Multicultural Approach in Indonesia

AMBANG SENSORI RASA DASAR DAN PREFERENSI
DALAM MATRIKS PANGAN DENGAN PENDEKATAN
MULTIKULTURAL DI INDONESIA

USWATUN HASANAH
F251114081

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ambang Sensori Rasa
Dasar dan Preferensi dalam Matriks Pangan dengan Pendekatan Multikultural di
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Uswatun Hasanah
NIM F251114081

RINGKASAN
USWATUN HASANAH. Ambang Sensori Rasa Dasar dan Preferensi dalam
Matriks Pangan dengan Pendekatan Multikultural di Indonesia. Dibimbing oleh
DEDE R. ADAWIYAH dan BUDI NURTAMA.
Rasa merupakan parameter penting yang menentukan penerimaan sebuah
produk pangan. Hingga kini terdapat lima macam rasa dasar yang dikenal indera
perasa manusia, yaitu manis, pahit, asam, asin, dan umami. Konsentrasi minimum
senyawa rasa untuk dapat dikenali dan dideteksi oleh indera sensori manusia
disebut dengan threshold atau ambang sensori. Beberapa penelitian mancanegara
memperoleh hasil bahwa kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi ambang sensori. Hasil penelitian cross-cultural terhadap suku
dengan kebiasaan konsumsi makanannya juga menunjukkan adanya pengaruh
pada preferensi seseorang terhadap suatu makanan, terkait dengan intensitas rasa
tertentu yang terdapat pada makanan tersebut.

Indonesia merupakan bangsa multikultural dengan lebih dari 740 suku
bangsa. Suku-suku di Indonesia memiliki perbedaan karakteristik rasa pada
makanan khas masing-masing. Perbedaan karakteristik rasa makanan khas yang
dapat berpengaruh terhadap kebiasaan makan antarsuku di Indonesia merupakan
hal yang menarik untuk dikaji pengaruhnya dari segi ilmu sensori, karena belum
terdapat literatur mengenai hal tersebut. Institut Pertanian Bogor sebagai salah
satu dari lima perguruan tinggi terbaik di Indonesia dapat menjadi representasi
bagi keragaman suku di Indonesia. Mahasiswa TPB merupakan representasi yang
baik karena belum terlalu lama tinggal di Bogor sehingga diperkirakan memiliki
kebiasaan makan yang masih sama seperti di daerah asalnya.
Tujuan penelitian ini adalah menentukan ambang sensori tiga rasa dasar dari
senyawa rasa, yaitu manis (sukrosa), pahit (kafein), dan asin (NaCl) serta
preferensinya dalam matriks pangan teh (rasa manis), kopi (rasa pahit), dan sup
(rasa asin) pada tiga suku di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui
pengaruh perbedaan gender terhadap ambang dan preferensi sensori serta
mengetahui hubungan antara ambang sensori dengan preferensi rasa dasar pada
tiga suku di Indonesia.
Penelitian dilakukan dalam empat tahapan, yaitu: (1) penelitian pendahuluan
berupa penentuan seri konsentrasi senyawa rasa dasar untuk pengujian ambang
sensori dan formulasi sampel untuk pengujian preferensi, (2) rekrutmen panelis,

(3) pengujian ambang sensori rasa dasar serta preferensinya pada matriks pangan,
dan (4) analisis data. Panelis merupakan mahasiswa TPB IPB yang direkrut
bekerja sama dengan Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) tiga suku yang
berbeda, yaitu Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara. Kriteria panelis yaitu berusia
17-25 tahun dan telah bertempat tinggal di daerah asal sukunya selama minimal
10 tahun. Jumlah panelis dari tiap suku adalah 30 orang dengan perbandingan
60:40 untuk perempuan dan laki-laki. Pengujian sensori dilakukan di
Laboratorium Analisis Sensori SEAFAST Center, dengan booth individu pada
kondisi suhu ruang (25oC). Pengujian ambang sensori dilakukan dengan metode
American Standard of Testing Materials (ASTM) E679, sedangkan pengujian

preferensi dilakukan dengan metode Rank-Rating. Pengolahan data dilakukan
menggunakan Microsoft Excel for Windows 2007 dan SPSS 20.
Pengolahan data kuesioner menunjukkan bahwa cita rasa dominan yang
terdapat pada makanan khas ketiga suku tersebut adalah gurih dan manis.
Kekhasan makanan suku Minang terdapat pada cita rasa pedas yang cukup
dominan, yang tidak ditemukan dalam jumlah cukup besar pada dua suku lainnya.
Minuman khas atau yang biasa dikonsumsi ketiga suku tersebut memiliki cita rasa
dominan manis, dengan persentase jauh lebih tinggi dibandingkan cita rasa
lainnya.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa rata-rata ambang sensori ketiga suku
tersebut untuk rasa manis adalah 6.027 mM (sukrosa), rasa pahit 0.713 mM
(kafein), dan rasa asin 1.982 mM (NaCl). Panelis suku Minang memiliki ambang
sensori tertinggi untuk rasa manis (8.139 mM) dan pahit (0.770 mM). Panelis
Suku Jawa memiliki ambang sensori tertinggi pada rasa asin (2.177 mM). Nusa
Tenggara memiliki sensitivitas tertinggi, dengan ambang sensori terendah pada
ketiga rasa dasar tersebut (4.070 mM sukrosa, 0.671 mM kafein, dan 1.895 mM
NaCl). Analisis statistik dengan ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
ambang sensori rasa manis yang signifikan pada tiga suku tersebut (p=0.034).
Suku Minang dan Nusa Tenggara memiliki ambang sensori rasa manis yang
berbeda signifikan. Secara umum, panelis perempuan memiliki ambang sensori
lebih rendah (lebih sensitif) pada ketiga rasa dasar tersebut dibandingkan panelis
laki-laki. Uji-t memberikan hasil bahwa perbedaan gender mengakibatkan
perbedaan yang signifikan pada ambang sensori rasa asin panelis laki-laki dan
perempuan.
Pengujian preferensi memberikan hasil bahwa panelis ketiga suku memiliki
kecenderungan yang sama, yaitu menyukai teh dengan rasa lebih manis dan
minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi tidak terlalu tinggi (rasa kopi tidak
dominan). Rata-rata skor kesukaan tertinggi panelis ketiga suku diberikan pada
teh dengan konsentrasi gula 12.5% dan kopi dengan konsentrasi bubuk kopi

1.07%. Analisis statistik dengan ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan suku
memberikan perbedaan yang signifikan terhadap preferensi rasa pahit dalam
minuman kopi (p=0.031). Suku Jawa dan Nusa Tenggara memiliki preferensi rasa
pahit dalam minuman kopi yang berbeda signifikan. Variasi skor kesukaan yang
tinggi pada grafik rasa asin dalam sup dapat disebabkan penyajian sampel yang
berbeda dengan kondisi konsumsi normal sehingga kemungkinan panelis
mengalami bias. Hasil pengujian menunjukkan bahwa panelis perempuan
cenderung menyukai teh yang lebih manis dibandingkan panelis laki-laki,
sedangkan panelis laki-laki menyukai kopi yang lebih pahit dibandingkan panelis
perempuan. Meski demikian, uji-t memberikan hasil bahwa perbedaan gender
tidak berpengaruh signifikan terhadap preferensi rasa dasar dalam matriks pangan.
Korelasi antara ambang sensori rasa dasar dan preferensinya dalam matriks
pangan memberikan nilai yang rendah. Diduga tidak terdapat korelasi antara
ambang sensori rasa dasar dan preferensinya dalam matriks pangan. Identifikasi
cita rasa dominan pada makanan dan minuman khas daerah tidak disertai
intensitas rasa, sehingga belum dapat diperkirakan pengaruhnya terhadap ambang
sensori dan preferensinya dalam pangan.
Kata kunci: 3-AFC, ambang sensori, gender, multikultural, preferensi.

SUMMARY

USWATUN HASANAH. Basic Taste Threshold and Preferences in Food
Matrices by Multicultural Approach in Indonesia. Supervised by DEDE R.
ADAWIYAH and BUDI NURTAMA.
Taste is the most important parameter for food acceptance. Each of the basic
tastes; sweet, bitter, sour, salty, and umami, has its minimum concentration to be
detected or identified by human senses, called threshold. Cross-cultural studies
showed that eating habit was one of the factors that affect taste threshold and
preference of food, associated with taste intensity in the food.
Indonesia is an archipelagic country with multiethnic citizens with more
than 740 ethnic groups. Each ethnic group has its unique food taste and eating
habits. Bogor Agricultural University as one of the best university in Indonesia
could be a good representative of Indonesian multiethnicity. First year
undergraduate students are good representatives. They have lived in Bogor for a
short time, thus it can be assumed that their eating habit based on ethnicity still
remains.
The aim of this study was to evaluate taste threshold of three basic tastes
(sweet, bitter, and salty) and preference in food matrices (tea, coffee, and
vegetable soup broth) of three ethnic groups in Indonesia. The other aims were to
evaluate the influence of gender to taste threshold and preference in Indonesia and
to evaluate the correlation between taste threshold and its preference in food

matrices.
This study was conducted in four stages: (1) preliminary study to determine
concentration series of taste threshold and preference tests, (2) panelist
recruitment, (3) evaluation of taste threshold and preferences in food matrices, and
(4) data analysis. The panelists were first year undergraduate students in Bogor
Agricultural University recruited from regional student organizations of three
ethnic groups: Minangese, Javanese, and Nusa Tenggara. Recruitment criterias are
age (17-25 years old) and having lived in the area of ethnic origin for 10 years
minimum. Each ethnic group was represented by 30 panelists, with the proportion
60:40 for female and male. Sensory tests were conducted in Food Sensory
Analysis Laboratory, SEAFAST Center, in individual booths on room
temperature (25oC). Taste threshold determination was conducted by using threealternative force choice (3-AFC) ascending concentration series method of limits
(ASTM E679), while preference test was conducted using Rank-Rating method.
Data analysis were using Microsoft Excel for Windows 2007 and SPSS 20.
Analysis of questionnaire data showed that umami and sweet taste were
dominantly found in Minangese, Javanese, and Nusa Tenggara foods. Minangese
foods were uniquely dominant in spicy taste. The beverages from three ethnic
groups were dominant in sweet taste.
The average of sweet taste threshold of Indonesian was 6.027 mM of
sucrose, 0.713 mM of caffeine for bitter taste, and 1.982 mM of NaCl for salty

taste. Minangese had the highest threshold for sweet taste (8.139 mM of sucrose)
and bitter taste (0.770 mM of caffeine). Javanese had the highest threshold of salty

taste (2.177 mM of NaCl). Panelists from Nusa Tenggara had the lowest threshold
of all tastes (4.070 mM of sucrose, 0.671 mM of caffeine, and 1.895 mM of
NaCl). Statistical analysis showed that ethnic groups have significantly affected
sweet taste threshold (p=0.034) between Nusa Tenggara and Minangese. Gender
differences showed that female panelists had lower threshold of all tastes.
Statistical analyses of threshold differences between genders resulted that gender
difference only affected threshold of salty taste significantly.
Evaluation of basic tastes preference in food matrices of three ethnic groups
in Indonesia) showed that all of the three ethnic groups had similar pattern of
preference of sweetness and bitterness in food matrices. The panelists tend to
prefer sweeter tea and low concentration of coffee powder in coffee beverage. The
maximum hedonic score was given to the tea with 12.5% of sugar concentration
and coffee beverages with 1.07% of coffee powder concentration. Statistical
analysis resulted that ethnic groups have significantly affected preference of bitter
taste in coffee beverages (p=0.031), especially between Nusa Tenggara and
Javanese. The preference of saltiness in soup varied with unclear pattern. This
might be caused by the different sample presentation from the normal

consumption condition. Gender differences showed that female panelists tend to
prefer sweeter tea, while male panelists tend to prefer more bitter coffee.
Nevertheless, statistical analyses resulted that there were no significant
differences of all basic taste preference in food matrices between genders.
The analysis of correlation showed that all basic tastes threshold had low
correlation score with the preference in food matrices. There might be no
correlation between taste threshold and the preference in food matrices. In this
study, the identification was just about the dominant taste but not the intensity of
each taste in food and beverages. Therefore, the effect of eating habits on taste
threshold and preference could not be estimated.
Keywords: 3-AFC, gender, multicultural, preference, taste threshold.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AMBANG SENSORI RASA DASAR DAN PREFERENSI
DALAM MATRIKS PANGAN DENGAN PENDEKATAN
MULTIKULTURAL DI INDONESIA

USWATUN HASANAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Didah Nur Faridah, STP, M.Si


Judul Tesis : Ambang Sensori Rasa Dasar dan Preferensi dalam Matriks Pangan
dengan Pendekatan Multikultural di Indonesia
Nama
: Uswatun Hasanah
NIM
: F251114081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Dede R. Adawiyah, MSi
Ketua

Dr Ir Budi Nurtama, MAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 7 Februari 2014
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih untuk penelitian yang dilakukan penulis adalah sensori pangan, dengan
judul Ambang Sensori Rasa Dasar dan Preferensi dalam Matriks Pangan dengan
Pendekatan Multikultural di Indonesia.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya tesis ini, penulis
ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. sebagai ketua komisi pembimbing
serta Bapak Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr sebagai komisi pembimbing.
2. Ibu Dr. Didah Nur Faridah, STP, M.Si sebagai dosen penguji luar
komisi dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc sebagai
Ketua Program Studi IPN, terima kasih atas bimbingan dan masukan
kepada penulis.
3. Ibu Yudiwanti dan Bapak Achmad atas segala dukungan moril,
materiil, ridho, dan doa kepada penulis.
4. Suami tercinta, Mas Syaefudin, atas dukungan, bantuan, ridho, dan
doanya untuk penulis.
5. Teman-teman OMDA yang bersedia membantu penulis dalam
rekrutmen panelis.
6. Caca dan Jannah yang telah membantu penulis dalam pengumpulan
data penelitian.
7. Bu Sri dan rekan-rekan SEAFAST Center yang telah memudahkan
penulis dalam melaksanakan penelitian.
8. Teman-teman IPN 2011 dan 2012 atas kebersamaan dan bantuannya
selama perkuliahan hingga melaksanakan tugas akhir.
9. Adik-adik di rumah (Jannah, Mu’minah, Thoyyibah, Mardhiyyah,
Muttaqin) dan Mbak Nur sekeluarga untuk keceriaan dan dukungannya
pada penulis.
10. Teman-teman Lingkaran Cahaya dan Teh Bairanti untuk penjagaan,
dukungan, dan doanya.
11. Teman-teman FORKOM ALIMS, adik-adik mentoring SPENSA dan
Mentoring Plus di SMANSA yang telah memberikan berbagai inspirasi
kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan kontribusi nyata
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di bidang
pangan.

Bogor, Februari 2014
Uswatun Hasanah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Hasil yang Diharapkan
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebiasaan Makan Multikultural
Ambang Sensori
Preferensi Sensori
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Prosedur Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Identifikasi Cita Rasa Dominan pada Makanan dan Minuman Khas dari
Tiga Suku di Indonesia
Ambang Sensori Tiga Suku di Indonesia
Preferensi Tiga Suku di Indonesia terhadap Rasa Dasar dalam Matriks
Pangan
Korelasi Ambang Sensori dengan Preferensi

1
1
3
3
3
4
4
4
4
4
8
10
12
12
12
12
17
18
18
24
26
34
42

5 SIMPULAN DAN SARAN

43

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

46

RIWAYAT HIDUP

104

DAFTAR TABEL
1 Beberapa hasil studi ambang sensori di mancanegara
2 Beberapa hasil studi preferensi di mancanegara
3 Seri konsentrasi pengujian ambang sensori sebelumnya
4 Seri konsentrasi pengujian ambang sensori
5 Jumlah bahan untuk pembuatan sup sayuran
6 Seri konsentrasi pengujian preferensi
7 Seri konsentrasi pengujian preferensi berdasarkan hasil FGD
8 Beberapa makanan dan minuman khas Sumatera Barat (Suku Minang)
9 Beberapa makanan dan minuman khas Jawa Tengah (Suku Jawa)
10 Beberapa makanan dan minuman khas Nusa Tenggara
11 Hasil uji-t pengaruh gender terhadap ambang sensori
12 Hasil uji-t pengaruh gender terhadap preferensi
13 Korelasi ambang sensori dengan preferensi

6
7
18
20
22
22
23
24
24
25
33
40
42

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Diagram alir tahapan penelitian
Susunan penyajian sampel untuk pengujian ambang sensori
Kartu bantu pengujian preferensi
Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa sukrosa
Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa kafein
Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa NaCl
Grafik cita rasa dominan pada makanan khas tiga suku di Indonesia
Grafik cita rasa dominan pada minuman khas tiga suku di Indonesia
Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
manis pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
10 Ambang sensori rasa manis tiga suku di Indonesia
11 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
pahit pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
12 Ambang sensori rasa pahit tiga suku di Indonesia
13 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
asin pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
14 Ambang sensori rasa asin tiga suku di Indonesia
15 Ambang sensori tiga rasa dasar pada tiga suku di Indonesia
16 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa manis teh
17 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa pahit kopi
18 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa asin sup
19 Variasi skor preferensi rasa manis dalam teh yang diberikan
panelis suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
20 Variasi skor preferensi rasa pahit dalam minuman kopi yang
diberikan panelis suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
21 Variasi skor preferensi rasa asin dalam sup yang diberikan panelis
suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)

13
15
17
19
19
20
25
26
27
28
29
30
31
32
33
35
36
37
38
38
39

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kode sampel
2 Contoh kombinasi pengacakan penyajian sampel
3 Kuesioner seleksi panelis
4 Pernyataan kesediaan menjadi panelis
5 Kuesioner makanan dan minuman khas daerah
6 Kuesioner pengujian ambang sensori
7 Kuesioner pengujian preferensi
8 Data makanan dan minuman khas daerah
9 Hasil uji statistik dengan SPSS
10 Dokumentasi penelitian

46
47
53
54
55
56
57
58
70
99

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rasa merupakan parameter penting yang menentukan penerimaan sebuah
produk pangan. Hingga kini terdapat lima macam rasa dasar yang dikenal indera
perasa manusia, yaitu manis, pahit, asam, asin, dan umami. Setiap rasa tersebut
memiliki mekanisme pengecapan tersendiri di kuncup pengecap pada lidah
manusia. Mekanisme pengecapan berkaitan dengan kemampuan senyawa rasa
terlarut dalam saliva, diterima kuncup pengecap, dan menimbulkan respon otak.
Sebagai contoh, mekanisme penerimaan rasa manis dan pahit berkaitan dengan
protein GPCR yaitu reseptor jenis T1R dan T2R (Montmayeur dan Matsunami
2002), sedangkan mekanisme penerimaan rasa asam dan asin berkaitan dengan
saluran ion.
Selain memiliki mekanisme penerimaan yang berbeda-beda, rasa juga
memiliki konsentrasi minimum untuk dapat dikenali dan dideteksi oleh indera
sensori manusia. Meski dapat membedakan intensitas dari konsentrasi yang
berbeda, kuncup pengecap memiliki keterbatasan. Batas kapasitas sensori manusia
disebut dengan istilah threshold (Meilgaard et al. 2007).
Terdapat berbagai faktor yang menentukan perbedaan threshold atau
ambang sensori. Terkait dengan indera sensori, faktor yang menentukan
perbedaan ambang di antaranya jenis kelamin, usia, kebiasaan makan, waktu
pencicipan, dan metabolisme tubuh. Setiap individu memiliki perbedaan dalam
sensitivitas rasa, dapat pula diwariskan secara genetis (Lawless dan Heymann
2010). Studi oleh Okoro et al. (1998) terhadap pelajar berusia remaja di Nigeria
menunjukkan bahwa pelajar laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan ambang
pengenalan rasa asin. Perbedaan gender juga berpengaruh signifikan terhadap
kemampuan identifikasi rasa pahit (Michon et al. 2009). Mojet et al. (2005)
menyatakan bahwa panelis berusia muda (19-33 tahun) dan tua (60-75 tahun)
memiliki perbedaan sensitivitas ambang. Studi lainnya oleh Sanders et al. (2002)
menunjukkan bahwa usia berpengaruh secara signifikan terhadap ambang sensori
rasa manis. Selain itu, jenis rasa dan senyawa rasa dasar juga memberikan
perbedaan ambang sensori.
Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi ambang
sensori. Mitchell et al. (2013) dalam penelitiannya pada penduduk Dublin
(Irlandia, Eropa) memperoleh hasil bahwa individu yang mengonsumsi makanan
dengan kadar garam tinggi akan cenderung membutuhkan garam lebih banyak
untuk memperoleh sensasi rasa yang sama dibandingkan dengan individu yang
lebih tidak sensitif terhadap garam. Dengan kata lain, kebiasaan konsumsi
makanan dengan kadar garam tinggi akan meningkatkan ambang sensori terhadap
rasa asin.
Selain memengaruhi ambang sensori, etnis atau suku dengan kulturnya
masing-masing termasuk kebiasaan konsumsi makanannya juga memengaruhi
preferensi seseorang terhadap suatu makanan, terkait dengan intensitas rasa
tertentu yang terdapat pada makanan tersebut. Lanfer et al. (2013) telah
melakukan studi mengenai preferensi anak-anak di delapan negara Eropa terhadap
rasa dasar manis, pahit, asin, dan gurih dalam matriks makanan yang berbeda-

2

beda. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa negara asal merupakan faktor
terkuat yang memengaruhi preferensi terhadap keempat rasa tersebut. Sebagai
contoh, anak-anak dari Jerman dan Spanyol menyukai rasa gurih dengan intensitas
yang tinggi, sementara anak-anak dari Siprus dan Belgia menyukai rasa gurih
dengan intensitas yang lebih rendah. Perbedaan konsentrasi rasa antara tertinggi
dan terendah mencapai lebih dari dua kali lipat.
Indonesia merupakan bangsa multikultural, terdapat lebih dari 740 suku
bangsa yang mendiami 17.504 pulau (Widodo 2009). Telah diketahui secara luas
bahwa suku-suku di Indonesia memiliki perbedaan karakteristik rasa pada
makanan khas masing-masing. Sebagai contoh, suku Jawa cenderung berselera
dengan makanan atau masakan yang manis. Suku lainnya yaitu Minang cenderung
menyukai makanan atau masakan yang pedas (Ariyani 2013). Suku Riau dan
Palembang cenderung mengonsumsi pangan dengan rasa asin, dilihat dari
makanan olahan ikan dan gulai yang berlemak. Kekhasan tersebut dapat
memengaruhi sensitivitas serta preferensi orang yang berasal dari suatu suku
terhadap rasa tertentu.
Institut Pertanian Bogor adalah salah satu dari lima perguruan tinggi terbaik
di Indonesia, berdasarkan bibliometric ranking dan QS Indonesia ranking.
Mahasiswa IPB memiliki karakteristik yang beragam, dengan latar belakang suku
yang berbeda-beda. Hal tersebut terkait dengan cukup besarnya proporsi
penerimaan mahasiswa dari jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN) dan Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang diseleksi dari
seluruh Indonesia. Mahasiswa tingkat 1, atau lebih dikenal sebagai mahasiswa
Tingkat Persiapan Bersama (TPB) merupakan representasi yang baik dari
keragaman suku serta kebiasaan makan masing-masing suku. Dewi et al. (2009)
menyatakan bahwa mahasiswa TPB merupakan representasi remaja yang berasal
dari seluruh wilayah Indonesia. Mahasiswa TPB belum terlalu lama tinggal di
Bogor sehingga diperkirakan memiliki kebiasaan makan yang masih sama seperti
di daerah asalnya.
Keragaman cita rasa makanan khas dan kebiasaan makan antar suku di
Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dikaji pengaruhnya dari segi ilmu
sensori, karena penelitian dasar seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan adalah pengujian ambang sensori tiga rasa dasar serta
preferensinya dalam matriks pangan dengan panelis mahasiswa TPB IPB dari tiga
suku yang berbeda di Indonesia. Rasa dasar yang diujikan adalah manis, pahit,
dan asin, sebab ketiga rasa dasar tersebut lebih banyak dikenal dan terdapat dalam
pangan masyarakat Indonesia, serta lebih mudah dalam pemilihan matriks pangan
yang digunakan. Matriks pangan yang digunakan adalah minuman teh untuk rasa
manis, minuman kopi untuk rasa pahit, dan larutan sup sayuran untuk rasa asin.
Pemilihan matriks pangan didasarkan pada pengenalan masyarakat Indonesia serta
persepsi umum mengenai rasa dominan yang sesuai dalam ketiga produk pangan
tersebut. Pengujian dilakukan terhadap suku Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara
berdasarkan demografi berupa keterwakilan masyarakat Indonesia dari wilayah
paling barat (Sumatera), suku dengan jumlah penduduk mayoritas (Jawa), serta
wilayah Indonesia Tengah-Timur (Nusa Tenggara).

3

Perumusan Masalah
Perbedaan preferensi terhadap rasa dasar pada makanan khas berbagai suku
di Indonesia dapat mengindikasikan adanya pengaruh terhadap ambang sensori
dan preferensi. Hal tersebut didukung oleh penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya di mancanegara. Rumusan masalah pada penelitian ini
adalah: (1) pengaruh perbedaan tiga suku di Indonesia terhadap ambang sensori
tiga rasa dasar, (2) pengaruh perbedaan tiga suku di Indonesia terhadap preferensi
sensori rasa dasar dalam matriks pangan, (3) pengaruh perbedaan gender terhadap
ambang dan preferensi sensori, serta (4) hubungan antara ambang sensori dengan
preferensinya pada ketiga suku tersebut.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan ambang sensori tiga rasa dasar dari senyawa rasa, yaitu
manis (sukrosa), pahit (kafein), dan asin (NaCl) pada tiga suku yang
berbeda di Indonesia
2. Menentukan preferensi rasa dasar dalam matriks pangan teh (rasa
manis), kopi (rasa pahit), dan sup (rasa asin) pada tiga suku yang
berbeda di Indonesia
3. Mengetahui pengaruh perbedaan gender terhadap ambang dan
preferensi sensori, serta
4. Mengetahui hubungan antara ambang sensori dengan preferensi rasa
dasar pada tiga suku yang berbeda di Indonesia.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu:
1. Memberikan rujukan ilmiah mengenai ambang sensori rasa manis,
pahit, dan asin serta preferensi dalam matriks pangan pada tiga suku
di Indonesia
2. Memberikan rujukan ilmiah mengenai ambang sensori rasa manis,
pahit, dan asin serta preferensi dalam matriks pangan berdasarkan
gender
3. Memperkaya literatur mengenai keragaman cita rasa makanan khas
dan kebiasaan makan akibat perbedaan suku di Indonesia dari sudut
pandang sensori pangan
4. Memberikan rujukan ilmiah bagi keperluan formulasi produk pangan
(minuman dan produk seasoning) dengan pendekatan wilayah atau
suku di Indonesia.

4

Hipotesis Penelitian
Hipotesis untuk penelitian yang dilakukan yaitu:
1. Perbedaan suku menyebabkan perbedaan ambang sensori rasa dasar
serta preferensinya dalam matriks pangan, atau
2. Perbedaan suku tidak menyebabkan perbedaan ambang sensori rasa
dasar, namun menyebabkan perbedaan preferensinya dalam matriks
pangan
3. Perbedaan gender memengaruhi perbedaan ambang sensori rasa dasar
4. Terdapat korelasi antara ambang sensori rasa dasar dengan preferensi
dalam matriks pangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan berada dalam ruang lingkup berikut.
1. Studi dilakukan pada mahasiswa TPB IPB dari tiga suku berbeda,
yaitu Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara
2. Studi difokuskan pada tiga dari lima rasa dasar, yaitu manis, pahit,
dan asin
3. Matriks pangan yang digunakan untuk pengujian preferensi adalah
minuman teh untuk rasa manis, minuman kopi untuk rasa pahit, dan
larutan sup sayuran untuk rasa asin.
Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
1. Postulasi ilmiah mengenai pengaruh perbedaan suku dan keragaman
cita rasa makanan khas di Indonesia terhadap ambang sensori dan
preferensi rasa dasar
2. Publikasi ilmiah mengenai keragaman cita rasa makanan khas suku di
Indonesia dari sudut pandang ilmu sensori pangan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebiasaan Makan Multikultural
Kebiasaan makan dapat memengaruhi ambang sensori rasa dasar. Studi oleh
Mitchell et al. (2013) terhadap pada penduduk Dublin (Irlandia, Eropa)
memperoleh hasil bahwa individu yang terbiasa mengonsumsi makanan dengan
kadar garam tinggi akan cenderung membutuhkan garam lebih banyak untuk
memperoleh sensasi rasa yang sama dibandingkan dengan individu yang lebih
tidak sensitif terhadap garam. Dengan kata lain, kebiasaan konsumsi makanan
dengan kadar garam tinggi akan meningkatkan ambang sensori terhadap rasa asin.
Selain memengaruhi ambang sensori, suku bangsa juga memengaruhi
preferensi seseorang terhadap suatu makanan, terkait dengan intensitas rasa

5

tertentu pada makanan tersebut. Hasil studi Prescott et al. (1997) mengenai
preferensi konsumen Jepang dan Australia terhadap intensitas rasa manis pada jus
jeruk, sereal sarapan, serta es krim menunjukkan bahwa terdapat beberapa
perbedaan persepsi antara kedua suku bangsa tersebut mengenai intensitas sensori.
Variasi pola respon panelis terhadap kemanisan yang meningkat terlihat pada
jenis matriks pangan dan suku bangsa. Meski demikian, diperoleh hasil antar suku
bangsa yang sama mengenai konsentrasi kemanisan optimum untuk setiap jenis
pangan yang diujikan.
Ludy dan Mattes (2012) melakukan studi terhadap suku bangsa Kaukasia
dan Asia dengan kebiasaan konsumsi makanan pedas yang berbeda. Hasil studi
tersebut menunjukkan bahwa panelis yang telah mengonsumsi makanan yang
mengandung cabai sejak kecil memiliki preferensi terhadap konsentrasi cabai
merah yang lebih tinggi dalam matriks pangan sup tomat jika dibandingkan
dengan panelis yang mengenal sensasi rasa pedas setelahnya (remaja atau
dewasa). Negara-negara yang penduduknya banyak mengonsumsi cabai merah
memiliki penduduk yang terbiasa dengan rasa pahit dari senyawa 6-nprophythiouracil (PROP) (Ludy dan Mattes 2012). Diduga terdapat keterkaitan
antara kebiasaan konsumsi makanan pedas dengan penerimaan rasa pahit.
Lanfer et al. (2013) melakukan studi mengenai ambang sensori dan
preferensi terhadap rasa dasar manis, pahit, asin, dan gurih pada anak-anak di
delapan negara Eropa. Pengujian preferensi rasa dasar dilakukan dalam matriks
pangan yang berbeda-beda. Rasa manis diujikan dalam matriks jus apel,
sedangkan rasa asin dan gurih diujikan dalam matriks kraker. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa negara asal merupakan faktor terkuat yang
memengaruhi preferensi terhadap keempat rasa tersebut. Sebagai contoh, anakanak dari Jerman dan Spanyol menyukai rasa gurih dengan intensitas yang tinggi,
sementara anak-anak dari Siprus dan Belgia menyukai rasa gurih dengan
intensitas yang lebih rendah. Perbedaan konsentrasi rasa antara tertinggi dan
terendah mencapai lebih dari dua kali lipat. Hasil analisis terhadap data
menunjukkan bahwa preferensi terhadap rasa manis berkaitan dengan ambang
sensori rasa asin dan gurih. Anak-anak dengan ambang sensori rasa asin dan gurih
yang rendah memiliki peluang lebih besar untuk memilih jus apel dengan rasa
yang lebih manis. Beberapa hasil studi mancanegara mengenai ambang sensori
dan preferensi disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.
Indonesia merupakan negara yang penduduknya terdiri lebih dari 740 suku
bangsa (Widodo 2009). Masing-masing suku memiliki unsur kebudayaan yang
unik dan khas. Unsur-unsur kebudayaan tersebut di antaranya adalah sistem religi
dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem ilmu
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem sarana kehidupan, serta sistem teknologi.
Beberapa hal yang memiliki perbedaan menonjol antar suku adalah bahasa,
norma, dan makanannya (Ariyani 2013).
Makanan atau masakan merupakan kekayaan budaya suatu suku yang sering
dianggap biasa. Ariyani (2013) dalam penelitiannya mengenai strategi adaptasi
orang Minang terhadap bahasa, makanan, dan norma masyarakat Jawa
menyebutkan bahwa orang Minang memiliki kecenderungan menyukai makanan
atau masakan yang pedas. Suku Jawa cenderung berselera dengan makanan atau
masakan yang manis. Dijelaskan bahwa perbedaan selera atau kebiasaan makan

6

ini tidak sepenuhnya mutlak bagi anggota suku tertentu, tetapi memang terdapat
konstruksi pemikiran jenis makanan dari masing-masing suku tersebut.
Tabel 1 Beberapa hasil studi ambang sensori di mancanegara
No Rasa Senyawa
Ambang Sensori
Panelis
Dasar
Rasa
Dasar
1 Manis Sukrosa 50 mM (sebanyak
pelajar Nigeria
51.41% panelis
berusia 9-17 tahun
mengenali rasa dengan
benar)
Sukrosa 41.4 mM (ambang
mahasiswa Paris
pengenalan)
dengan rata-rata usia
26 tahun, dalam
keadaan kenyang
Sukrosa 4 g/L (sebanyak 81%
panelis terlatih di
panelis mengenali rasa Norwegia berusia
dengan benar)
31-67 tahun
2 Pahit Urea
>750 mM (kurang dari pelajar Nigeria
40% panelis
berusia 9-17 tahun
mengenali rasa dengan
benar)
Quinin
0.0068 mM (ambang
mahasiswa Paris
sulfat
pengenalan)
dengan rata-rata usia
26 tahun, dalam
keadaan kenyang
Kafein
0.14 g/L (sebanyak
panelis terlatih di
81% panelis
Norwegia berusia
mengenali rasa dengan 31-67 tahun
benar)
3 Asin
NaCl
30 mM (sebanyak
pelajar Nigeria
64.89% panelis
berusia 9-17 tahun
mengenali rasa dengan
benar)
NaCl
19.3 mM (ambang
mahasiswa Paris
pengenalan)
dengan rata-rata usia
26 tahun, dalam
keadaan kenyang
NaCl
0.3 g/L (sebanyak
panelis terlatih di
71% panelis
Norwegia berusia
mengenali rasa dengan 31-67 tahun
benar)
NaCl
10.08 ± 0.78 mM
penduduk Irlandia
(ambang deteksi) dan
berusia 22-56 tahun
22.23 ± 1.27 mM
(ambang pengenalan)

Sumber

Okoro
et al.
(1998)
Pasquet
et al.
(2006)
Bitnes
et al.
(2007)
Okoro
et al.
(1998)
Pasquet
et al.
(2006)
Bitnes
et al.
(2007)
Okoro
et al.
(1998)
Pasquet
et al.
(2006)
Bitnes
et al.
(2007)
Mitchell
et al.
(2013)

7

Tabel 2 Beberapa hasil studi preferensi di mancanegara
No Rasa
Matriks
Preferensi
Panelis
Dasar
Pangan
1
Manis Jus jeruk
Jus jeruk dengan
konsumen Australia
komersial
penambahan gula berusia 19-60 tahun
sebanyak 20 g/L
Jus jeruk dengan
konsumen Jepang
penambahan gula berusia 20-54 tahun
sebanyak 20 g/L
Sereal
Sereal dengan
konsumen Australia
sarapan
kandungan gula
(berusia 21-60
komersial
225%
tahun) dan Jepang
(berusia 21-54
tahun)
Es krim
Es krim dengan
konsumen Australia
komersial
kandungan gula
berusia 19-55 tahun
13%
Es krim dengan
konsumen Jepang
kandungan gula
berusia 20-43 tahun
15% (standar)
2
Pahit Jus jeruk
Jus jeruk tanpa
konsumen Australia
(grapefruit) penambahan
(berusia 19-53
komersial
kafein (0 g/L)
tahun) dan Jepang
(berusia 21-45
tahun)
3
Asin
Sup
Sup sayuran
penduduk Irlandia
sayuran
dengan
berusia 22-56 tahun
komersial
kandungan garam
0.93% tidak
berbeda
signifikan dengan
0.45%
Kraker
Kraker dengan
anak-anak di delapan
penambahan
negara Eropa berusia
kandungan garam 6-9 tahun
Sereal
Sereal dengan
konsumen Australia
sarapan
kandungan garam (berusia 24-55
komersial
75%
tahun) dan Jepang
(berusia 21-54
tahun)

Sumber
Prescott
et al.
(1997)
Prescott
et al.
(1997)
Prescott
et al.
(1997)

Prescott
et al.
(1997)
Prescott
et al.
(1997)
Prescott
et al.
(1998)

Mitchell
et al.
(2013)

Lanfer
et al.
(2013)
Prescott
et al.
(1998)

Hasil penelitian Ariyani (2013) menunjukkan bahwa makanan Jawa
memiliki kekhasan yang berbeda sesuai daerah asalnya, namun secara prinsip
terdapat kesamaan dalam cita rasanya. Jenis makanan yang umum adalah ramesan
dan penyet. Hampir sebagian besar masakan menggunakan campuran gula, baik
gula putih (pasir) ataupun gula merah.

8

Menurut Ariyani (2013), orang Minang yang merantau ke daerah Jawa
melakukan strategi adaptasi dengan bahasa dan norma yang berlaku. Adaptasi
juga dilakukan terhadap makanan yang merupakan kebutuhan dasar alamiahbiologis. Dalam mengonsumsi makanan Jawa, orang Minang melakukan adaptasi
dengan memilih makanan yang cenderung pedas atau menyertakan sambal yang
dapat memberikan rasa pedas, atau dengan memasak makanan sendiri. Orang
Minang melakukan pemilihan terhadap jenis makanan yang dikonsumsi, sebab
masakan yang manis cenderung membuat orang Minang merasa mual dan ingin
muntah. Adaptasi konsumsi makanan memerlukan pembiasaan dalam waktu
cukup lama. Perbedaan kebiasaan makan antar suku di Indonesia tersebut
merupakan hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, dalam kaitannya dengan
ambang sensori rasa dasar dan preferensinya dalam matriks pangan.

Ambang Sensori
Meilgaard et al. (2007) menjelaskan bahwa ambang sensori atau threshold
adalah batas kapasitas sensori manusia. Ambang dapat digolongkan menjadi
empat, yaitu ambang mutlak atau ambang deteksi, ambang pengenalan, ambang
beda, dan ambang terminal. Ambang deteksi adalah stimulus terendah yang dapat
memberikan sensasi. Jika stimulus tersebut telah dapat dikenali dan diidentifikasi
secara spesifik, maka konsentrasi terendahnya disebut dengan ambang
pengenalan. Umumnya ambang pengenalan lebih tinggi dari ambang deteksi.
Ambang beda adalah perubahan konsentrasi yang dibutuhkan untuk memberikan
perbedaan intensitas yang dapat dikenali, sedangkan ambang terminal adalah
konsentrasi yang jika dinaikkan tidak terjadi perubahan intensitas lagi, berkaitan
dengan kejenuhan kuncup pengecap.
Secara garis besar, terdapat tiga kategori utama pada metode penentuan
ambang sensori (Kolpin 2008). Ketiga kategori utama tersebut adalah staircase
procedures, R-index measures, dan alternative forced choice. Staircase
procedures umum digunakan untuk menentukan ambang deteksi dan ambang
lainnya, seperti ambang beda atau ambang pengenalan. Metode tersebut
menggunakan serangkaian reverse 2-alternative forced choices (2-AFC). Metode
2-AFC dilakukan dengan menggunakan sepasang sampel, terdiri dari satu sampel
yang mengandung stimulus dan satu sampel yang tidak mengandung stimulus
(netral). Panelis diminta untuk menentukan sampel mana yang mengandung
stimulus. Jika jawaban panelis salah, pengujian dilanjutkan menggunakan sampel
yang mengandung stimulus dengan konsentrasi lebih tinggi. Jika jawaban panelis
benar, pengujian diulang pada konsentrasi stimulus yang sama. Jawaban benar
sebanyak dua kali pada konsentrasi stimulus yang sama akan berlanjut dengan
pengujian menggunakan stimulus dengan konsentrasi lebih rendah. Peningkatan
dan penurunan konsentrasi yang digunakan tersebut dikenal dengan nama
reversal. Prosedur reversal dilakukan hingga rasa dari dua peningkatan berturutturut dapat dijawab dengan benar. Ambang pengenalan ditentukan dari rata-rata
konsentrasi terendah yang dikenali pada setiap reversal (Pasquet et al. 2006).
Metode R-index didasarkan pada signal detection theory (SDT). Meilgaard
et al. (2007) menjelaskan bahwa SDT merupakan sistem yang berdasarkan pada
gagasan bahwa yang akan dituju bukanlah ambang sensori, melainkan perbedaan

9

psikologis antara dua stimulus, yang dilambangkan dengan d’. R-index
merupakan peluang pemberian jawaban benar pada pengujian pasangan sampel
signal (S) dan noise (N). Perbedaan yang besar antara dua stimulus akan
memberikan peluang yang lebih besar untuk terdeteksinya perbedaan, sehingga Rindex akan bernilai besar (Kolpin 2008). Lebih lanjut, Simpson et al. (2012)
menjelaskan bahwa sampel terdiri dari set dengan satu S dan dua N disajikan
secara acak. Panelis diminta untuk menjawab apakah suatu sampel merupakan S
atau N, serta yakin atau tidak dengan jawaban tersebut. Deteksi stimulus
merupakan hasil dari pengambilan keputusan yang bergantung pada tingkat
keyakinan dan akurasi panelis.
Metode three-alternative forced-choice (3-AFC) ascending concentration
series method of limits dideskripsikan dalam American Standard of Testing
Materials atau ASTM E679 (ASTM 2011) dan ASTM 1432. Kedua metode
tersebut menggunakan set sampel yang terdiri dari satu sampel berisi stimulus
(test sample) dan dua blanko (blank sample). Panelis diminta untuk
mengidentifikasi sampel mana yang merupakan test sample. Jumlah set sampel
yang digunakan bervariasi, namun setiap set sampel mengandung test sample
berisi stimulus dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Peningkatan konsentrasi
pada setiap set harus merupakan faktor konstan, misalnya 2 atau 3. Panelis
memulai pengujian pada set yang mengandung sampel dengan konsentrasi
stimulus terendah, dan bertahap dilanjutkan ke set dengan konsentrasi stimulus
lebih tinggi pada sampel (ascending concentration). Jawaban panelis dinilai
dengan 0 untuk jawaban salah dan + untuk jawaban benar.
Perbedaan ASTM E679 dan ASTM 1432 terletak pada jumlah pengulangan
yang dilakukan serta pengolahan data untuk memperoleh ambang sensori. Pada
ASTM E679, pengujian untuk seluruh set hanya dilakukan satu kali, sedangkan
pada ASTM 1432 dilakukan pengulangan untuk seluruh set sebanyak 5-7 kali
(Kolpin 2008). Oleh karena itu ASTM E679 disebut juga dengan metode cepat.
Ambang sensori grup pada ASTM 1432 ditentukan berdasarkan metode frekuensi.
Ambang deteksi grup merupakan konsentrasi yang memberikan jawaban benar
sebanyak 50% dari seluruh panelis. Metode pengolahan data yang digunakan oleh
ASTM E679 memperhitungkan perkiraan terbaik (best estimate) dari setiap
panelis, kemudian memperhitungkan geometric mean untuk memperoleh nilai
akhir ambang sensori dari grup (ASTM 2011). Lawless (2010) menyatakan bahwa
metode ASTM E679 terbukti mampu memperkirakan ambang sensori untuk rasa
dan aroma, serta telah digunakan lebih dari 30 tahun.
Metode-metode pengujian ambang sensori tersebut telah umum digunakan
dalam studi sensori, sehingga telah terdapat berbagai evaluasi. Kolpin (2008)
menyatakan bahwa tidak ada prosedur baku untuk staircase method, sehingga
tidak dapat dipastikan berapa reversal yang dibutuhkan untuk memperoleh
ambang sensori yang valid. Metode tersebut membutuhkan pengolahan data
langsung sebelum pengambilan keputusan berupa reversal. Selain itu, staircase
method membutuhkan sampel dalam jumlah banyak serta perhatian individu
untuk masing-masing panelis. Metode lainnya yaitu R-index memiliki kelemahan
dalam pengolahan data yang rumit. Dibutuhkan pengulangan sehingga dicapai
perbedaan R-index di atas 50%. Hasil yang akurat baru dapat dicapai dengan 2040 set pengujian, hampir sama dengan ASTM 1432. Kelemahan dari ASTM 1432

10

terletak pada banyaknya pengulangan set pengujian serta waktu pengujian yang
panjang. Total 20-40 set pengujian tersebut dilakukan selama 5-7 hari berbeda.
Studi terhadap ambang sensori haze (kompleks protein dan pektin yang
menyebabkan kekeruhan) pada jus apel menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh
dari staircase method sama dengan hasil yang diperoleh dari ASTM E679.
Kelebihan metode ASTM E679 dibandingkan dengan ASTM 1432 yaitu jumlah
sampel yang tidak terlalu banyak (3 sampel untuk setiap set, dengan jumlah 6-10
set) dan waktu pelaksanaan yang cepat (hanya satu kali pengulangan). Penetapan
ambang sensori secara konvensional pada konsentrasi yang memberikan
kemungkinan deteksi sebesar 50% dilakukan pada ASTM 1432, namun hal
tersebut dipengaruhi oleh individu yang melakukan pengujian (Lawless 2010).
Oleh karena itu, hasil yang diperoleh dari pengolahan data dengan metode ASTM
E679 dilaporkan sebagai “not far therefrom” atau “tidak jauh dari” (ASTM 2011).
Hasil penelitian Kolpin (2008) menunjukkan bahwa pengujian ambang sensori
rasa pahit pada asam hop (Humulus lupulus) bir dan madu dengan metode ASTM
E679 memberikan hasil yang tidak berbeda signifikan dengan metode ASTM
1432.

Preferensi Sensori
Preferensi sensori termasuk ke dalam uji afektif, dengan tujuan utama
memperoleh respon personal terhadap produk, ide dari sebuah produk, ataupun
karakteristik produk yang spesifik (Meilgaard et al. 2007). Selain preferensi, yang
tergolong uji afektif adalah penerimaan. Uji afektif dilakukan dengan panelis
konsumen, maka sering pula disebut uji konsumen. Hasil dari uji afektif dapat
berguna untuk menjaga kualitas produk, optimasi atau peningkatan kualitas
produk, pengembangan produk baru, mengetahui pasar yang potensial, review
kategori produk, ataupun sebagai data pendukung untuk klaim produk.
Uji afektif dapat dilakukan secara kualitatif dengan metode focus group,
focus panels, mini groups, ataupun one-on-one interview. Uji afektif dapat pula
dilakukan secara kuantitatif. Metode yang digunakan bergantung pada jumlah
sampel dan jenis data yang ingin diperoleh. Untuk sampel dengan jumlah tiga atau
lebih, pengujian preferensi dapat dilakukan dengan metode ranking. Pada metode
simple ranking test, panelis menerima sejumlah sampel dan diminta memberikan
penilaian secara berurut, misalnya 1 untuk penilaian terendah, dilanjutkan dengan
angka-angka berikutnya (2, 3, dan seterusnya bergantung pada jumlah sampel)
untuk penilaian yang lebih tinggi. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan
Friedman’s test dan uji lanjut LSDrank (Meilgaard et al. 2007).
Lebih lanjut, Meilgaard et al. (2007) menjelaskan bahwa kekurangan dari
metode ranking adalah data yang bersifat ordinal (non-parametrik), sehingga data
tidak dapat menggambarkan besarnya perbedaan. Oleh karena itu, uji preferensi
sering pula dilakukan dengan metode rating. Meski metode rating umum
digunakan untuk uji penerimaan, uji preferensi berkaitan erat dengan uji
penerimaan. Penerimaan yang tinggi menandakan preferensi yang tinggi pula.
Pada uji rating, panelis menerima sejumlah sampel dan diminta memberikan
penilaian menggunakan skala spesifik. Uji rating dapat dilakukan dengan skala
kategori (seperti skala 1-9) ataupun skala garis, dengan data bersifat numerik

11

(parametrik). Analisis data dilakukan dengan ANOVA. Jika terdapat sampel yang
berbeda nyata, dapat dilakukan uji lanjut dengan LSD atau Tukey-HSD.
Kim dan O’Mahony (1998) mengevaluasi efektivitas penggunaan metode
tradisional 9-skala rating. Studi-studi sebelumnya menggunakan 9-skala kategorik
dinyatakan memberikan hasil yang tidak konsisten. Adanya efek adaptasi selama
pengujian dapat memberikan perubahan intensitas yang diterima antara sampel
yang diuji pertama kali dengan sampel-sampel berikutnya. Kemungkinan lainnya
adalah stimulus mungkin membingungkan bagi panelis sehingga tidak dapat
langsung dibedakan dengan prosedur uji rating. Perbedaan intensitas dalam
jumlah yang rendah dapat membingungkan sehingga tidak berbeda signifikan
dengan metode tersebut. Selain itu, jumlah sampel yang banyak dapat
menyebabkan panelis sulit mengingat nilai yang diberikan terhadap intensitas
suatu atribut pada sampel awal dan sampel-sampel berikutnya, sebab pencicipan
ulang tidak diperbolehkan.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, dapat digunakan metode
Rank-Rating. Metode Rank-Rating menggunakan 9-skala yang sama seperti
metode rating, namun panelis dapat mengulang pencicipan seperti pada metode
ranking. Pencicipan ulang memungkinkan panelis memberikan penilaian secara
lebih baik, karena kesulitan mengingat intensitas ataupun nilai dapat
diminimalisir. Panelis diberi kartu bantu besar yang mencantumkan 9-skala
penilaian. Panelis memberikan penilaian dengan meletakkan wadah sampel pada
skala di kartu bantu besar. Metode Rank-Rating memperbolehkan pengubahan
nilai yang diberikan selama pengujian karena adanya stimulus dengan intensitas
baru yang diterima pada sampel-sampel selanjutnya (Kim dan O’Mahony 1998).
Studi oleh Kim dan O’Mahony (1998) mengenai intensitas NaCl
menggunakan 9-skala rating dan Rank-Rating memberikan hasil bahwa metode
Rank-Rating memiliki nilai kesalahan yang lebih rendah (5.0±2.2) dibandingkan
dengan metode 9-skala rating tradisional (7.2±3.1). Dengan metode Rank-Rating,
panelis memberikan nilai yang tidak berbeda signifikan pada sampel yang
memiliki intensitas sama, serta nilai yang berbeda secara signifikan pada sampelsampel yang memiliki perbedaan intensitas meski perbedaan tersebut rendah.
Metode 9-skala rating menunjukkan hasil bahwa panelis sulit memberikan
penilaian yang berbeda signifikan pada sampel-sampel yang memiliki perbedaan
intensitas rendah. Metode Rank-Rating juga dapat dilakukan dengan jumlah
panelis yang lebih sedikit. Pada studi tersebut, hasil yang sama berupa perbedaan
signifikan antarsampel diperoleh dengan menggunakan 6 panelis untuk metode
Rank-Rating dan 12 panelis untuk metode 9-skala rating. Dengan demikian,
metode Rank-Rating lebih efektif digunakan daripada metode 9-skala rating untuk
penilaian intensitas.

12

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – November 2013 di lingkungan
kampus Institut Pertanian Bogor. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa
mahasiswa IPB memiliki karakteristik yang beragam, dengan latar belakang
budaya yang berbeda-beda terkait dengan cukup besarnya proporsi mahasiswa
yang diterima dari jalur SBMPTN dan BUD, sehingga dapat merepresentasikan
mahasiswa seluruh Indonesia. Pengujian organoleptik bertempat di Laboratorium
Analisis Sensori South East Asian Food and Agricultural Science and Technology
(SEAFAST) Center IPB.

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian ambang sensori adalah
sukrosa, kafein (diperoleh dari Shiratori Pharmaceutical Co., Ltd), dan NaCl
(diperoleh dari Tomita Pharmaceutic