Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Biak Di Provinsi Papua

ANALISIS PERTUMBUHAN KAWASAN PENGEMBANGAN
EKONOMI TERPADU (KAPET) BIAK DI PROVINSI PAPUA

JOHANIS ALFRED MSIREN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pertumbuhan
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak di Provinsi Papua
adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Oktober 2015
Johanis A. Msiren
NRP A156120181

RINGKASAN
JOHANIS ALFRED MSIREN. Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak di Provinsi Papua. Dibimbing oleh SETIA
HADI dan BABA BARUS.
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu atau yang disingkat KAPET
adalah salah satu program pemerintah pusat untuk memacu pertumbuhan ekonomi
di tiga belas wilayah Indonesia, salah satunya di Provinsi Papua yang dikenal
dengan nama Kapet Biak. Aplikasi program ini yang menggunakan sistem nodal
dalam pelaksanaannya mengalami beberapa kendala antara lain tidak adanya skala
prioritas, rendahnya komitmen stakeholders, keterbatasan sumberdaya manusia
dan infrastruktur. Kapet Biak terdiri dari lima Kabupaten yaitu Biak Numfor
sebagai inti, sedangkan Supiori, Kepulauan Yapen, Waropen dan Nabire sebagai
hinterland. Program ini ditetapkan oleh Keputusan Presiden (keppres) Nomor 90
tahun 1996 dan terus mengalami perubahan hingga terbitnya Keppres Nomor 150
tahun 2000.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tipologi wilayah, sektor unggulan
dan potensi sumberdaya ikan sedangkan analisis yang digunakan adalah Tipologi
Klassen, LQ/SSA/Kemampuan Lahan dan Tangkapan Maksimum Lestari (MSY).
Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa wilayah Kapet Biak dari aspek
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita diklasifikasikan menjadi
wilayah yang belum berkembang.
Kabupaten yang memiliki sektor unggulan adalah Waropen dan Supiori
yaitu sektor pertanian, industri, bangunan dan jasa, sedangkan Nabire, Kepulauan
Yapen dan Biak Numfor memiliki sektor yang kompetitif atau komparatif yaitu
sektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan, pengangkutan, bangunan
dan listrik. Pengembangan wilayah hendaknya berbasis sektor unggulan lokal
sehingga setiap kabupaten di Kapet Biak wajib mengembangkan potensi
sumberdaya lokalnya. Potensi daya dukung lahan untuk sektor pertanian terluas di
Kabupaten Nabire dan terkecil di Kabupaten Supiori.
Selain sumberdaya yang telah dan akan dikelola oleh setiap kabupaten di
Kapet Biak terdapat pula sumberdaya bersama yang masih belum dikelola secara
terintegrasi dan terpadu, sumberdaya bersama (CPRs) tersebut adalah laut. CPRs
memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensi lestarinya fluktuatif CPRs ini
dapat diandalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
kapita di setiap wilayah Kapet Biak.

Kata kunci: Kapet biak, Pertumbuhan ekonomi, Sektor unggulan, Tangkapan
maksimum lestari.

SUMMARY
MSIREN JOHANIS ALFRED, Growth Analysis of Integrated Economic
Development Zone (KAPET) Biak in Papua Province. Supervised by SETIA
HADI and BABA BARUS.
Integrated Economic Development Zone or the abbreviated KAPET was
one of the central government's program to increase economic growth in thirteen
regions of Indonesia. One of them in Papua province is known as Kapet Biak.
Application of this program used nodal system seeing some problems. Those
were low of priority scale, commitment of stakeholders, lowest of human
resources and infrastructure. Kapet Biak consists of five districts, Biak Numfor is
a core while Supiori, Yapen Islands, Waropen, also Nabire are hinterland. This
program was regulated by Presidential Instruction Number 90, 1996 and revised
by Presidential Instruction No. 150, 2000.
The purpose of this study is to analyze the typology of the region, leading
sectors and the potential of fish resources. Tools of analized are Typology
Klassen, LQ/SSA/Land Capability and Maximum Sustainable Yield (MSY).
The results of this studied describes that Kapet Biak from the aspect of

economic growth and income per capita are classified into less develop regions.
Waropen and Supiori had leading sectors, such as agriculture, industry,
construction and services, while Nabire, Yapen and Biak Islands Numfor only had
competitive or comparative sectors. Regional development should on potential of
local leading sector The land carrying capacity for agriculture sector in Nabire
regency is the largest and in Supiori is the smallest.
Beside the resources that have been and will be managed by each districts in
Biak Kapet, there is also a common pool resources (CPRs) is not yet managed
integrated and unified. This CPRs is sea resources, it had fish potential and
fluctuative maximum sustainable yield this regency may to growth economic and
increase income per capita in each district on Kapet Biak.
Key words: Kapet biak, Economic growth, Leading sector, Maximum sustainable
yield.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PERTUMBUHAN KAWASAN PENGEMBANGAN
EKONOMI TERPADU (KAPET) BIAK DI PROVINSI PAPUA

JOHANIS ALFRED MSIREN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencaanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr

Judul Tesis
Nama
NRP
Program Studi

: Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET) Biak di Provinsi Papua
: Johanis Alfred Msiren
: A156120181
: Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Setia Hadi, MS
Ketua

Dr Ir Baba Barus, MSc

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr Ir Santun R P Sitorus

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 31 Juli 2015

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
penyertaan dan perlindunganNya sehingga tesis yang berjudul ”Analisis

Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak di
Provinsi Papua” dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada :
1. Dr Ir Setia Hadi, MS dan Dr Ir Baba Barus, MSc sebagai Komisi
Pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan tesis.
Apresiasi dan terima kasih penulis kepada Dr Ir Ernan Rustiadi, M Agr
sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan koreksi
konstruktif, juga Dr Ir Dwi Poetra Tedjo Baskoro, MSc selaku moderator
pada ujian tesis serta kepada Prof Dr Ir Santun R P Sitorus, MSc sebagai
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta staf pengajar atas
bimbingan, arahan dan perhatiannya.
2. Bapak T. O. Dangeubun, MSi selaku Kepala Bappeda Biak Numfor dan
juga sebagai atasan penulis yang selalu memberi motivasi, spirit dan
dukungan finansial sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
3. Bapak L. L. Jensenem, MSi selaku Kepala Dinas Pendidikan dan
Pengajaran Biak Numfor yang tidak pernah jemu-jemu memberikan
dukungannya sehingga dapat terselesainya studi penulis.
4. Bupati Biak Numfor atas sumbangsih terhadap proses penelitian penulis
dan dukungan finansial dalam penyelesian studi.
5. Bapak M. Mansnembra selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Bapak

Z. Mailoa selaku Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan yang juga memberikan dukungan finansial.
6. Keluarga C. Korwa, M. Mokai, M. Sawias, S. Erbo, A. Erbo dan A.
Aibekob (Almh) atas sumbangsih selama penelitian dan studi.
7. Rekan-rekan PWL’12 spesial om Wahyu, om Afri dan om Alwan atas
dukungan spasial map sehingga menambah memperkaya tulisan penulis.
8. Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Papua atas kebersamaan selama in.
9. Isteriku tersayang Selfina Erbo/Msiren atas perhatian moriil dan dukungan
doa, dengan setia, sabar dan rela memberikan perhatian lebih serta
keempat anakku Alin Persilla Msiren, Christie Kartika Msiren, Theofilus
Arend Msiren dan Jehuda Olief Msiren sabar menunggu dan belajar dalam
kesendirian tetapi tetap bersemangat.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam diskusi, saran dan doa sehingga
tesis ini terselesaikan dengan baik.
Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan perencanaan wilayah di Kapet Biak tetapi penulis juga sadari
bahwa “tak ada gading yang tak retak” demikian pula tulisan ini. Oleh karena itu
saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak guna melengkapi tesis ini.
Bogor, Oktober 2015


Johanis A. Msiren

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Rumusan Permasalahan
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pemikiran
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
4
4
5

2

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Wilayah
Pembangunan Wilayah
Indikator Pembangunan Wilayah
Pendapatan Wilayah
Sektor Unggulan
Potensi Sumberdaya Ikan
Penelitian Terdahulu

6
6
9
10
13
14
16
16

3

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Teknik Analisis Data

18
18
19
19
20

4

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELTIAN
Kondisi Fisik Wilayah
Penduduk dan Perekonomian
Infrastruktur Wilayah

27
27
32
38

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi Wilayah
Sektor Unggulan
Potensi Sumberdaya Ikan

44
44
48
53

6

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

63
63
63

DAFTAR PUSTAKA

64

LAMPIRAN

67

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

90

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Hubungan antara berbagai konsep wilayah dengan manfaat
penggunaannya
Pengelompokkan Indikator-Indikator Pembangunan Wilayah
Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Administrasi Wilayah Kapet Biak di Provinsi Papua
Tujuan Penelitian, Jenis, Sumber data dan output yang diharapkan
Klasifikasi Daerah Menurut Analisis Tipologi Klassen
Pengelompokan Jenis Ikan untuk Pengkajian Stok
Perhitungan Fishing Power Index
Perhitunga Total Effort
Kalkulasi Catch Per Unit Effort
Potensi Bahan Galian di Wilayah Kapet Biak
Jumlah Industri di Wilayah Kapet Biak
Jumlah Sarana Pendidikan di Wilayah Kapet Biak
Jumlah Prasarana Kesehatan di Wilayah Kapet Biak
Jumlah Sarana Ibadah di Wilayah Kapet Biak
Jumlah Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro di Wilayah Kapet
Biak
Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah Kapet Biak
Terminal Angkutan Darat di Wilayah Kapet Biak
Jumlah Lalu Lintas Angkutan Laut di Wilayah Kapet Biak
Kondisi Prasarana Angkutan Laut di Wilayah Kapet Biak
Rute Penerbangan di Wilayah Kapet Biak
Jumlah Lalu Lintas Angkutan Udara di Wilayah Kapet Biak
Jumlah dan Kapasitas Listrik di Wilayah Kapet Biak
Laju Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Kapet Biak
Pendapatan Per Kapita di Wilayah Kapet Biak
Tipologi Wilayah Kapet Biak
Hasil Analisis LQ di Wilayah Kapet Biak
Hasil Analisis Shift Share di Wilayah Kapet Biak
Potensi Sektor Unggulan di Wilayah Kapet Biak
Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan di Wilayah Kapet Biak
Kelas Kemampuan Lahan I - IV dan Faktor Penghambat
Data Effort dan CPUE di Wilayah Kapet Biak
Klasifikasi Sumberdaya Ikan di Wilayah Kapet Biak

7
12
17
19
19
21
26
26
26
27
30
37
38
39
39
39
40
40
42
42
43
43
43
44
44
46
48
49
51
52
52
54
57

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Kerangka Pemikiran Penelitian
Hubungan Fungsional antara Inti dan Hinterland dalam Wilayah Nodal
Sistematika Konsep-Konsep Indikator Kinerja Pembangunan Wilayah
Peta Administrasi Wilayah Kapet Biak
Penggunaan Lahan Kering di Wilayah Kapet Biak
Diagram Jumlah Penduduk di Wilayah Kapet Biak
Persentase Produk Domestik Regional Bruto ADHB di Wilayah Kapet
Biak
Persentase Produksi Tanaman Pangan di Wilayah Kapet Biak
Persentase Produksi Tanaman Perkebunan di Wilayah Kapet Biak
Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di Wilayah Kapet Biak
Jumlah dan Jenis Armada Perikanan Laut di Wilayah Kapet Biak
Jumlah Rumah Tangga Nelayan di Wilayah Kapet Biak
Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Papua
PDRB Per Kapita di Provinsi Papua
Peta Tipologi Wilayah Kapet Biak
Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Nabire
Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Kepulauan Yapen
Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Waropen
Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Supiori
Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Biak Numfor
Sketsa Sintesis Pengembangan Kapet Biak di Provinsi Papua

5
9
11
29
32
32
34
34
35
35
36
36
46
46
50
55
55
56
56
57
62

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Nabire
Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Waropen
Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Kepulauan Yapen
Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Supiori
Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Biak Numfor
Perhitungan PDRB Per Kapita di Provinsi Papua
Perhitungan Fishing Power Index di Kabupaten Nabire Tahun 2004 2012
Hasil Perhitungan Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di
Kabupaten Nabire
Hasil Perhitungan Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di
Kabupaten Waropen
Hasil Perhitungan Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di
Kabupaten Supiori
Hasil Perhitungan Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di
Kabupaten Biak Numfor
Regresi Linier antara CPUE dan Effort di Kabupaten Nabire
Regresi Linier antara CPUE dan Effort di Kabupaten Waropen

67
67
67
67
68
68
68
70
70
70
71
71
71

14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Regresi Linier antara CPUE dan Effort di Kabupaten Kep. Yapen
Regresi Linier antara CPUE dan Effort di Kabupaten Supiori
Regresi Linier antara CPUE dan Effort di Kabupaten Biak Numfor
Peta Sektor Komparatif/Basis di Wilayah Kapet Biak
Peta Sektor Kompetitif di Wilayah Kapet Biak
Peta Kelas Kemampuan Lahan di Wilayah Kapet Biak
Peta Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Kapet Biak
Perhitungan Analisis Location Quotient di Wilayah Kapet Biak
Perhitungan Analisis Shift Share di Wilayah Kapet Biak
PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Nabire
PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Waropen
PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Kepulauan Yapen
PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Supiori
PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Biak Numfor
PDRB ADHB di Wilayah Kapet Biak Tahun 2012

72
72
72
73
74
75
76
77
77
79
81
83
85
87
89

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu atau yang dikenal dengan
singkatan KAPET, ditetapkaan dengan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun
2000 yang mendefinisikan KAPET adalah suatu wilayah geografis dengan batasbatas tertentu dengan syarat sebagai berikut : (a) memiliki potensi untuk cepat
tumbuh dan atau.; (b) mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakan
pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya dan atau.; (c) memiliki potensi
pengembalian investasi yang besar. Konsep ini diharapkan dapat menjawab
kesenjangan pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) dari
Kawasan Barat Indonesia (KBI). Kronologis pembentukan Kapet di Indonesia
diawali melalui Keppres No.120/1993 yang intinya membentuk Dewan
Pengembangan Kawasan Timur Indonesia untuk memacu pertumbuhan ekonomi
atas sembilan Kawasan Andalan di sembilan Provinsi di KTI dan 4 Provinsi
lainnya yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan
Kalimatan Selatan, sehingga seluruhnya menjadi 13 Kawasan Andalan. Untuk
meningkatkan keterpaduan pertumbuhan ekonomi antara masing-masing wilayah
andalan dengan wilayah KTI secara menyeluruh, arah pertumbuhan ekonominya
didasarkan pada potensi dan sektor unggulan di masing-masing wilayah. Dengan
demikian ke 13 Kawasan Andalan tersebut di atas kemudian dikukuhkan melalui
Keppres No.89 tahun 1996a, menjadi KAPET.
Kapet Biak ditetapkan melalui Keppres Nomor 90 Tahun 1996b, kemudian
direvisi oleh Keppres Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penetapan Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu Biak dan masih mengalami penyempurnan
melalui Keppres Nomor 150 tahun 2000. Adapun tugas Badan Pengelola Kapet
yaitu memberi rekomendasi teknis kepada Pemerintah Daerah (pemda) yang
berkaitan dengan investasi, penyederhanaan perijinan dan peraturan melalui
pelayanan satu atap, pelayanan data dan informasi bagi investor, serta
pengembangan konsep kegiatan ekonomi terpadu/lintas sektor. Wilayah Kapet
Biak kini terdiri dari 5 (lima) kawasan yaitu Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten
Supiori, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Waropen, dan Kabupaten
Nabire dengan luas 23,588.03 km2 atau 5.81 % dari luas wilayah Provinsi Papua.
Merujuk pada tugas dan definisi Kapet maka secara kelembagaan Badan
Pengelola Kapet Biak telah menetapkan beberapa sektor yang dapat memacu
pertumbuhan perekonomian di kawasan tersebut yaitu pariwisata, perikanan,
perindustrian dan pertanian, namun sektor-sektor ini kurang memberikan dampak
terhadap pertumbuhan perekonomian di kawasan tersebut, hal ini di indikasikan
oleh nilai PDRB sektor perikanan tahun 2011 di provinsi Papua sebesar 980,13
milyar. Selain itu BPS provinsi Papua pada tahun yang sama menginformasikan
lima sektor yang memberikan sumbangsih terbesar terhadap pertumbuhan
ekonomi di provinsi Papua adalah sektor pertambangan/penggalian (7.089,38
milyar), jasa-jasa (2.562,33 milyar), bangunan (2.378,49 milyar),
pengangkutan/telekomunikasi (1.910,11 milyar) dan tanaman bahan makanan
(1.864,91 milyar). Nilai PDRB menurut harga konstan tahun 2000 seperti tertera
diatas memberikan gambaran tentang kondisi perekonomian di Papua secara

2

makro yang berkorelasi dengan perekonomian di wilayah Kapet Biak. Konsep
kegiatan ekonomi terpadu selayaknya memperhatikan keidentikan kondisi
geobiofisik kawasan dan berbagai regulasi/kebijakan yang ditetapkan pada level
pusat, provinsi dan kabupaten serta komitmen bersama antar para penentu
kebijakan (political will) yang akan bermuara pada peningkatan pertumbuhan
ekonomi kawasan tersebut.
Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa sebagian pakar ekonomi
pembangunan berpendapat bahwa hakekat pembangunan secara sederhana adalah
terjadinya pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pendekatan sejarah pertumbuhan
negara-negara di dunia, Rostow (1960) mencetuskan suatu model tahapan
pertumbuhan ekonomi (the stages of economic growth). Menurut Rostow proses
pertumbuhan dapat dibedakan ke dalam lima tahap dan setiap negara atau wilayah
dapat digolongkan ke dalam salah satu dari kelima tahapan tersebut. Adapun lima
tahapan pertumbuhan tersebut adalah : (a). Masyarakat tradisional (the traditional
society); (b). Prasyarat lepas landas (the precondition for take- off); (c). Lepas
landas ( the take-off); (d). Gerakan ke arah kedewasaan (the drive to maturity);
dan (e). Massa konsumsi tinggi (the age of high mass consumption).
Undang-Undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
menegaskan bahwa Kapet merupakan kawasan strategis nasional (KSN), menurut
regulasi ini KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulataan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan
termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia, yang dijabarkan
dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Nasional. Implementasi dan sinkronisasi dari kedua regulasi ini, telah
dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Biak Numfor yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Biak Numfor tahun 2012 – 2032, yang tercantum dalam pasal
40 tentang Kawasan Strategis Kabupaten, yaitu Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak.
Kapet Biak di provinsi Papua mempunyai wilayah terestrial tetapi di batasi
pula oleh wilayah aquatic. Laut merupakan isu geografis dominan yang sangat
besar potensinya tetapi belum diketahui secara tepat. Dalam praktek sehariharinya nelayan lokal hanya menggunakan perahu dayung atau perahu yang
menggunakan motor tempel (outboard) sehingga hasil tangkapan mereka relatif
sedikit hanya untuk pemenuhan kebutuhan harian dan dipasarkan, jangkauan
tangkapan mereka kurang lebih 4 mil dan adapula yang mendekati kawasan
terdekatnya, batas laut antar Kapet Biak merujuk Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menetapkan batas laut yang dapat
dikelola kabupaten/kota sebesar sepertiga dari batas laut provinsi terhitung dari
batas garis pantai ke arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan sehingga
masih terdapat ruang di laut yang merupakan sumber daya bersama/common pool
resources (CPRs). Area yang merupakan CPRs belum dikelola secara terpadu dan
lestari oleh karena itu perlu adanya komitmen bersama para stakeholders di
kawasan tersebut dalam mengelola potensi laut yang tersedia.
Selain PDRB sebagai indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, faktor
penunjang Kapet Biak lainnya adalah aspek sarana prasarana pendidikan,
kesehatan, rumah ibadah, perdagangan dan jasa, telekomunikasi, olah raga serta

3

transportasi darat, laut dan udara yang berbanding lurus dengan jumlah penduduk
di wilayah Kapet Biak. Laporan BPS Provinsi Papua (2013) menginformasikan
bahwa panjang jalan di wilayah Kapet Biak sebesar 825,23 km, jumlah hotel
sebanyak 29 unit, rumah makan/restoran 28 unit, Sekolah Dasar 462 unit, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama 125 unit, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 37 unit, dan
Rumah Sakit milik pemerintah sebanyak 4 unit.
Kapet Biak secara geografis terletak di bagian utara pulau Papua yang
berhadapan langsung dengan samudera pasifik, dimana jika ditinjau dari skala
pelayanan internasional, kawasan ini memiliki potensi/sumber daya yang dapat
dikembangkan lebih jauh. Potensi yang menunjang adalah pengembangan
jaringan transportasi laut dan udara internasional. Kondisi ini didukung oleh
lokasi KAPET Biak yang terletak di segitiga pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu
Jepang - Australia - Amerika Serikat (Tokyo - Sydney - Los Angeles). Dasar
penentuan arah fungsi kota sebagai Pusat Kegiatan Nasional tersebut yaitu faktor
geografis wilayah Biak Numfor serta daya dukung potensi dan karakteristik yang
ada yang dapat dikembangkan bagi pertumbuhan kota Biak di masa yang akan
datang.
Konsep percepatan ekonomi melalui Kapet Biak yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat di wilayah Papua tahun 1996 perlu dievaluasi dan dikaji
sejauhmana pertumbuhan Kawasan Ekonomi Terpadu Biak, sehingga
memberikan informasi dasar yang bermanfaat bagi para penentu kebijakan guna
menindaklanjuti program ini secara tepat dan terpadu.
Rumusan Permasalahan
Kondisi Kapet Biak dewasa ini diwarnai dengan berbagai isu kesenjangan
khususnya ekonomi dan sosial yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun
eksternal, isu-isu ini menyebabkan miskomunikasi dan mispersepsi sehingga
kurangnya rasa percaya sebahagian masyarakat terhadap kebijakan pembangunan
nasional di Papua. Pemerintah Pusat dengan pendekatan Kapet terus melakukan
evaluasi dan pembenahan agar tercipta kawasan yang pertumbuhan ekonominya
tinggi dan berdampak terhadap wilayah di sekitar kawasan tersebut.
Badan Pengelola Kapet Biak telah menetapkan beberapa sektor
perekonomian yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan PDRB kawasan
tersebut antara lain sektor pariwisata, perikanan, perindustrian dan pertanian,
namun sektor-sektor ini kurang memberikan dampak terhadap pertumbuhan
kawasan tersebut. Menurut laporan BPS Papua (2013). laju PDRB di kawasan ini
berkisar antar 4,38% hingga 12,89% dengan wilayah tertinggi di Kabupaten
Waropen dan terendah di Kabupaten Kepulauan Yapen dan faktor penghambat
lainnya yaitu rendahnya koordinasi, kerjasama dan penyamaan persepsi
mengakibatkan program ini belum maksimal operasionalnya.
Setiap wilayah di Kapet Biak memiliki laut, sehingga isu potensi laut
menjadi hal yang penting untuk diketahui dan juga laut di wilayah tersebut belum
dikelola secara terpadu dengan pembagian peran dan tanggungjawab yang jelas.
Pertumbuhan ekonomi di Kapet Biak tanpa ditunjang sarana prasarana
transportasi yang memadai maka tidak akan terjadi aliran barang dan manusia.

4

Mengacu pada berbagai isu persoalan diatas maka, peneliti menyusun pertanyaan
penelitian yang dapat mengarahkan peneliti yaitu :
1. Bagaimana tipologi wilayah di Kapet Biak ?
2. Sektor-sektor apa yang merupakan sektor unggulan di Kapet Biak ?
3. Bagaimana potensi sumber daya ikan (SDi) di Kapet Biak ?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis tipologi wilayah di Kapet Biak.
2. Menganalisis sektor-sektor unggulan di Kapet Biak.
3. Menganalisis potensi sumber daya ikan di Kapet Biak.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu Biak, sehingga menitikberatkan pada aspek ekonomi, data yang
digunakan adalah data time series tahun 2005 – 2012 yang merujuk pada PDRB
atas dasar harga konstan (ADHK) 2000 sehingga dapat mendeskrispsikan tipologi
wilayah menurut Klassen, sektor-sektor unggulan yang dapat meningkatkan
PDRB dan pendapatan per kapita, serta sumberdaya bersama yang di miliki
kawasan ini adalah laut, sehingga perlu untuk diketahui potensi lestari
sumberdaya ikan di kawasan tersebut yang dapat dikelola untuk mengembangkan
Kapet Biak.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilandasi prinsip bahwa ekonomi merupakan pemicu utama
pengembangan suatu wilayah tetapi tidak mengabaikan aspek sosial, kelembagaan
dan pertahanan keamanan, pendekatan ekonomi yang dilakukan dengan
merealisasi program Kapet Biak yang mengadopsi sistim nodal yaitu terdiri dari
wilayah inti (Biak Numfor) dan beberapa hinterland (Nabire, Waropen,
Kepulauan Yapen dan Supiori). Indikator pertumbuhan ekonomi yang
tervisualisasi melalui melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas
Dasar Harga Konstan 2000 di kawasan ini, merujuk pada nilai PDRB ADHK time
series 2005 – 2012 maka akan memberikan gambaran tentang pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan per kapita, indikator lainnya adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sehingga dapat dilakukan klasifikasi wilayah
menurut tipologi Klassen. Pengembangan wilayah berbasis potensi sektor lokal
menjadi ikon yang mendasar dan penting dewasa ini oleh karena itu pengembagan
Kapet Biak harus disentuh dengan pendekatan sektor unggulan lokal yang dapat
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan wilayah dan pendapatan per kapita
di kawasan tersebut, dalam proses pertumbuhan Kapet Biak laut merupakan
wilayah yang belum dikelola maksimal sehingga potensi laut khususnya sumber
daya ikan (SDi) menjadi penting untuk diketahui. Indikator-indikator

5

pertumbuhan dan potensi wilayah ini sebagai informasi dasar yang dapat
digunakan sebagai rekomendasi dalam mengembangkan wilayah Kapet Biak di
Provinsi Papua. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
Kondisi Eksisting
Disparitas Wilayah
Sumberdaya Manusia
Sumberdaya Buatan
Sumberdaya Sosial
Sumberdaya Alam

Pendekatan Pembangunan
Tujuan Pembanguan
Sumberdaya
Proses Pembangunan

Pengembangan Wilayah

Basis Ekonomi
Kapet Biak - Papua

Nabire

IPM

Waropen

PDRB

Tipologi Wilayah

Kep. Yapen

Supiori

Catch/Effort

DDL
Sektor Unggulan

Biak Numfor

Potensi Sumberdaya Ikan

Jmlh. Pddk
Sintesis

Rekomendasi Pengembangan
Kapet Biak di Provinsi Papua

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada
dunia akademis tentang pertumbuhan Kapet Biak di Provinsi Papua dan
memberikan informasi tambahan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi Papua dan
wilayah Kapet Biak dalam mempertimbangkan berbagai program yang akan
direncanakan serta sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Wilayah
Di Indonesia berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah”,
“kawasn”, “daerah”, regional”, “area”, “ruang” dan istilah-istilah sejenis banyak
dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masingmasing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda.
Ketidakkonsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman
dan sering menbingungkan. Secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur
antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat
diistilahkaan dengan wilayah (region). Istilah kawasan di Indonesia digunakan
karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu, definisi
konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan
komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian setiap kawasan atau
sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan
pendekatan program tertentu sesui dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
Secara yuridis dalam Undang-Undang No. 26/2007 tentang penataan ruang,
Wilayah didefinisikan ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional, sedangkan kawasan adalah wilayah
dengan fungsi utama lindung dan budidaya, sementara pengertian daerah
dimaknai sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.
Selanjut Isard (1975) dalam Rustiadi et al. (2011) mengatakan bahwa suatu
wilayah pada dasarnya bukan sekadar areal dengan batas-batas tertentu.
Menurutnya wilayah adalah suatu area yang memiliki arti (meaningful) karena
adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya. Johnston (1976) memandang
wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi spasial dan merekomendasi dua
tipe wilayah : (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki
kesamaan-kesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal,
merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan
antarkomponen atau lokasi/tempat. Murty (2000) mengartikan wilayah sebagai
suatu area gografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu
negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten) dan perdesaan. Konsep
wilayah yang paling klasik (Richardson, 1969; Hagger, Cliff dan Frey, 1977)
mengenai tipologi wilayah membagi wilayah ke dalam kategori: (1) wilayah
homogen (uniform atau homogeneous region), (2) wilayah nodal, dan (3) wilayah
perencanaan (planning region atau programming region). Blair (1991)
memandang konsep wilayah nodal terlalu sempit untuk menjelaskan fenomena
yang ada dan cenderung menggunakan konsep wilayah fungsional (functional
region), yaitu suatu konsep wilayah yang lebih luas, dimana konsep wilayah nodal
hanyalah salah satu bagian dari konsep wilayah fungsional, Blair juga
mengistilahkan wilayah perencanaan sebagai wilayah administratif. Rustiadi et al.
(2011) menyampaikan bahwa klasifikasi wilayah yang lebih mampu menjelaskan
berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah: (1) wilayah homogen
(uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan (planning
region atau programming region)

7

Manfaat melakukan proses pewilayahan yakni: (1) sebagai alat
penyederhanaan fenomena dunia nyata dan (2) sebagai alat pendeskripsian,
(Johnston, 1976 dalam Rustiadi et al. 2011). Secara sederhana tersaji pada Tabel
1, relasi antar konsep wilayah dan manfaat penggunaannya.

No.

Tabel 1. Hubungan antara Berbagai Konsep Wilayah
dengan Manfaat Penggunaannya
Ruang/Wilayah Tujuan dan Manfaat Penggunaan
Contoh

1.

Wilayah
Homogen

1. Penyederhanaan dan
pendeskripsian ruang/wilayah
2. Pewilayahan pengelolaan
(zonasi kawasan fungsional)

2.

Wilayah Nodal

1. Deskripsi hubungan nodalitas. 1. Keterkaitan
2. Identifikasi daerah
CBD dan
pelayanan/pengaruh
daerah
3. Penyusunan hierarki
pelayanannya.
pelayanan
2. “Growth pole”
area.
3. Central place
and periphery.
4. Sistem/ordo
kota /pusat
pelayanan.

3.

Wilayah Sistem
Ekologi

1. Pengelolaan sumberdaya
wilayah berkelanjutan.
2. Identifikasi carrying capacity
kawasan.
3. Siklus alam aliran
sumberdaya, biomasa, enerji,
limbah dll.
1. Percepatan Pertumbuhan
Wilayah.
2. Produktifitas dan mobilisasi
sumberdaya.
3. Efisiensi.

4.

Wilayah Sistem
Ekonomi

5.

Wilayah Sistem
Sosial

1. Pewilayahan menurut sistem
budaya, etnik, bangsa, dll
2. Identifikasi komunitas dan
society.
3. Optimalisasi interaksi sosial.
4. Community Development.

1. Pola
penggunaan /
penutupan
lahan.
2. Pewilayahan
Komoditas.

1. Pengelolaan
DAS.
2. Cagar Alam.
3. Ekosistem
Manggrove.
1. Wilayah
Pembangunan.
2. Kawasan
Andalan.
3. KAPET.
4. Kawasan
Agropolitan
5. Kawasan Cepat
Tumbuh
1. Kawasn Adat
2. Perlindungan /
Pelestarian
(cagar) budaya.
3. Pengelolaan -

8

Tabel 1 (Lanjutan).

6.

Wilayah Politik

7.

Wilayah
Administratif

4. Keberimbangan, pemerataan
dan keadilan.
5. Distribusi penguasaan
sumberdaya.
6. Pengelolaan Konflik
1. Menjaga keutuhan/integrasi
wilayah teritorial.
2. Menjaga pengaruh /
kekuasaan teritorial.
3. Menjaga pemerataan (equity)
antarsub-wilayah.
Optimasi fungsi-fungsi
administrasi dan pelayanan
publik pemerintahan

Kawasan
Publik Kota.

1.
2.
3.
4.

Negara
Provinsi
Kabupaten
Desa

1.
2.
3.
4.

Negara
Provinsi
Kabupaten
Kecamatan

Sumber : Rustiadi et al. (2011).
Merujuk pada Tabel 1, menggambarkan bahwa Kapet Biak merupakan
wilayah ekonomi tetapi menerapkan pola nodal yang terdiri dari inti dan
periphery, secara singkat wilayah nodal diteoritiskan sebagai wilayah dikotomis
(terbagi atas dua bagian). Konsep ini berasumsi bahwa suatu wilayah
diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti
(pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau permukiman sedangkan
plasma adalah daerah belakang (periphery/hinterland), yang mempunyai sifatsifat tertentu dan mempunai hubungan fungsional.
Konsep wilayah nodal lebih berfokus pada peran pengendalian/pengaruh
central atau pusat (node) serta hubungan ketergantungan pusat (nucleus) dan
elemen-elemen sekelilingnya dibandingkan soal batas wilayah (Richardson. 1969
dalam Rustiadi et al. 2011).
Secara filosofis batas wilayah nodal dapat memotong garis yang
memisahkan dua daerah administrasi karena adanya perbedaan orientasi terhadap
pusat pelayanan yang berbeda. Dengan demikian batas fisik dari setiap daerah
pelayanan bersifat sangat baur dan dinamis. Dalam praktiknya,tidaklah mudah
mengidentifikasi batas wilayah nodal, dan biasanya jauh lebih sulit
mengidentifikasi batas wilayah nodal daripada mengidentifikasi pusat-pusatnya
(nodes/poles).
Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk
(pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi
komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) lokasi pemusatan
industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan mengorganisasikan faktorfaktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu
Hinterland berperan sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah
dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan
commuting (menglaju); (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri
manufaktur; (4) penjaga keseimbangan ekologis. Gambar 2, menjelaskan
hubungan fungsional antara inti dan hinterland dalam wilayah nodal.

9

Bahan Mentah
Sejumlah Uang

Hinterland
Bahan Mentah
Tenaga Kerja

Barang Industri
Sejumlah Uang

Inti
Industri
Pengolahan

Sejumlah Uang/upah
Tenaga Kerja

Gambar 2. Hubungan Fungsional antara Inti dan Hinterland dalam Wilayah Nodal
Sumber : Rustiadi et al. (2011).
Pembangunan Wilayah
Todaro dalam Rustiadi et al. (2011) berpendapat bahwa pembangunan harus
dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai
perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi,
penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada
hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu
masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan
keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok-kelompok
sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan
yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Pembangunan juga harus
memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan
pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu
kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga
diri atau jati diri (self-esteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih.
Rustiadi et al. (2011) mengatakan bahwa secara filosofi suatu proses
pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan
berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai
alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik.
Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang
berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara
keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan
pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang
belum ada.

10

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya
pembangunan harus diarahkan pada “efisiensi (efficiency), pemerataan (equity),
dan berkelanjutan (sustainability) (Anwar, 2005: Rustiadi et al.2007) dalam
memberikan panduan pada alokasi segala sumberdaya (semua capital yang
berkaitan dengan natural, human, man – made maupun social), baik pada tingkat
nasional, regional maupun lokal.
Dalam rangka pembangunan Nasional di Indonesia, pada Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) tahun 1993, pembangunan daerah diarahkan untuk
memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkakan
kesejahteraan masyarakat, menggerakkan prakarsa dan peranserta masyarakat
dalam pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Pemerataan dan
keberimbangan dapat diwujudkan melalui pembangunan daerah yang mampu
mengembangkan potensi-potensi pembangunan sesuai kapasitasnya, sesuai
kapasitasnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 (Anonim. 2014).
Menurut Pravitasari (2009) paradigma baru pembangunan menuntut adanya
keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, atau growth
with equity. Strategi demikian juga merupakan koreksi atas kebijakan
pembangunan terdahulu, yang dikenal dengan istilah tricle down effect. Strategi
tricle down effect mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan
ekonomi terlebih dahulu, baru dilakukan pemerataan. Kenyataannya di banyak
negara termasuk Indonesia, teori gagal menciptakan kemakmuran untuk semua.
Sebagaiana konsep temuan Kuznets (1945): kurva U-terbalik yang mengatakan
bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, tumbuhnya perekonomian harus
mengorbankan pemerataan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan)
Indikator Pembangunan Wilayah
Indikator adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan
tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena
itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang dapat dihitung dan diukur
serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik
dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai
dan berfungsi. Rustiadi et al. (2011) membagi tiga kelompok cara dalam
menetapkan indikator pembangunan, yaitu : (1) indikator berbasis tujuan
pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3) indikator
berbasis proses pembanguan (Gambar 3).

11

Indikator
Berdasarkan “
Tujuan
Pembangunan”

“Growth” (Produktifitas, Efisiensi
dan Pertumbuhan)
“Equity” (Pemerataan, Keadilan, dan
Keberimbangan)
“Sustainability” (Keberlanjutan)

Sumberdaya Alam
Indikator Kinerja
Pembangunan
Wilayah

Indikator
Berdasarkan “
Kapasitas
Sumberdaya
Pembangunan”

Sumberadaya Manusia

Sumberdaya Buatan

Sumberdaya Sosial

Input

Implementasi/Proses
Indikator
Berdasarkan “
Proses
Pembangunan”

Output

Outcome

Benefit

Impact

Gambar 3. Sistematika Konsep-Konsep Indikator Kinerja Pembangunan Wilayah
Sumber : Rustiadi et al. (2011).
Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara
mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran
operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan
dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi
dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity),
dan (3) keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011).

12

Deskripsi indikator-indikator pembangunan wilayah ke dalam kelompokkelompok indikator berdasarkan klasifikasi tujuan pembangunan, kapasitas
sumberdaya pembangunan dan proses pembangunan, tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengelompokkan Indikator-Indikator Pembangunan Wilayah
Basisi/Pendekatan

Kelompok

Indikator-indikator Operasional
a.

b.

1. Produktivitas,
Efisiensi
dan
Pertumbuhan
(Growth)

c.

d.

Pendapatan Wilayah
(1) PDRB
(2) PDRB per Kapita
(3) Pertumbuhan PDRB
Kelayakan Finansial/Ekonomi
(1) NPV
(2) BC Ratio
(3) IRR
(4) BEP
Spesialisasi,
Keunggulan
Komparatif/Kompetitif
(1) LQ
(2) Shift and Share
utama
Produksi-produksi
(tingkat
produksi,
produktivitas, dll)
(1) Migas
(2) Produksi Padi/Beras
(3) Karet
(4) Kelapa Sawit

2. Pemerataan,
Keberimbangan dan
Keadilan (Equity)

a. Distribusi Pendapatan
(1) Gini Ratio
(2) Struktur (vertikal)
b. Ketenaga
kerjaan/Pengangguran
(1) Pengangguran Terbuka
(2) Pengangguran Terselubung
(3) Setengah Pengangguran
c. Kemiskinan
(1) Good-service Ratio
(2) % Konsumsi Makanan
Kemiskinan
(3) Garis
(Pendapatan Setara beras,
dll)
d. Regional Balance
(1) Spatial Balance (primacy
index,
entropy,
index
Williamson)
(2) Sentral Balance
(3) Capital Balance
(4) Sector Balance

3. Keberlanjutan

a. Dimensi Lingkungan
b. Dimensi Ekonomi

Tujuan Pembangunan

13

Tabel 2 (Lanjutan).
c. Dimensi Sosial

Sumberdaya

Proses Pembangunan

1. Sumberdaya
Manusia

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

2. Sumberdaya Alam

a. Tekanan (Degradasi)
b. Dampak
c. Degradasi

3. Sumberdaya Buatan/
Sarana
dan
Prasarana
4. Sumberdaya Sosial
(Social Capital)

a. Skalogram Fasilitas Pelayanan
b. Aksesibilitas Terhadap fasilitas

1. Input
2. Proses/
Implementasi
3. Output
4. Outcome
5. Benefit
6. Impact

Knowledge (Education)
Skill (Ketrampilan)
Competency
Etos Kerja/Sosial
Pendapatan/Produktivitas
Kesahatan
Indeks Pembangunan Manusia
(IPM)
atau
Human
Development Index (HDI)

a. Regulasi/Aturan-aturan Adat/
Budaya (norm)
b. Organisasi Sosial (network)
c. Rasa percata (trust)
a. Input Dasar (SDA,
Infrastruktur, SDS)
b. Input Antara
c. Total Volume Produksi

SDM,

Sumber : Rustiadi et al. (2011).
Pendapatan Wilayah
Aspek ekonomi adalah salah satu aspek terpenting dalam menentukan
indikator pembangunan/pertumbuhan wilayah. Di antara berbagai indikator
ekonomi, indikator mengenai pendapatan masyarakat di suatu wilayah merupakan
indikator yang terpenting. Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai konsepkonsep dan cara mengukur pendapatan masyarakat di suatu wilayah. Pendapatan
masyarakat di suatu wilayah tidaklah sama dengan nilai total produksi barang dan
jasa yang dihasilkan di suatu wilayah. Karena di dalam total nilai suatu barang
atau jasa terdapat komponen-komponen dari barang/jasa yang telah dihitung
sebagai hasil produksi di sektor atau wilayah lain yang menjadi input produksi. Di
Indonesia, istilah pendapatan wilayah (regional income) sebagai gambaran
pendapatan masyarakat di suatu wilayah sering dirancukan dengan istilah
pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam nomenklatur pembangunan di
Indonesia mencerminkan pendapatan yang diperoleh oleh pemerintah daerah.
Pendapatan pemerintah daerah di Indonesia bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Perimbangan Pembangunan, Pinjaman Daerah, Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya, Hibah, Dana Darurat dan lain-lain.
Dengan demikian perlu dipahami bahwa pendapatan daerah maupun PAD yang

14

tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di suatu
daerah (regional income). Namun demikian, tingginya pendapatan daerah dan
PAD dapat menjadi sumberdaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di
dalam pengembangan wilayah termasuk dalam peningkatan pendapatan
masyarakatnya (Rustiadi et al. 2011).
Selanjutnya dikemukakan bahwa total nilai barang dan jasa yang dihasilkan
di suatu wilayah yang telah di hilangkan unsur-unsur intermediate costnya dikenal
sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Domestic Product
(GDP). PDRB dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah yang paling
umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan
dalam skala wilayah dan negara, tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak
melakukan pengukuran PDRB. Oleh karenanya secara universal, walaupun
dianggap memiliki berbagai kelemahan, PDRB di nilai sebagai tolok ukur
pembangunan yang paling operasional dalam skala negara di dunia. PDRB pada
dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai
tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara atau wilayah
dalam periode satu tahun. Dengan demikian PDRB mempunyai arti nilai tambah
dari aktivitas manusia. Bila PDRB ini dibagi dengan jumlah penduduk yang ada
di wilayah tersebut mencerminkan pendapatan per kapita masyarakat suatu
negara/wilayah. Kenaikan/pertumbuhan ekonomi umumnya didasarkan atas dasar
pertumbuhan PDRB untuk melihat perubahan (kenaikan/penurunan). Nilai PDRB
dihitung berdasarkan “harga pasar” yang berlaku. Nilai PDRB sering digunakan
mengingat sebagian besar PDRB yang diperoleh pada satu wilayah akhirnya akan
berpotensi menjadi pendapatan masyarakat di wilayahnya. PDRB antar tahun
yang berbeda perlu didasari dengan pemahaman mengenai adanya pengaruh
faktor harga. Kenaikan penurunan riil antara dua titik tahun yang berbeda harus
mempertimbangkan unsur inflasi. Inflasi terjadi akibat adanya perubahan relatif
antara nilai uang dengan harga barang dan jasa secara umum.
Sektor Unggulan
Di Indonesia pembangunan ekonomi sccara umum dibagi ke dalam
sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tersebut secara
bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak
cukup, maka perlu adanya penetapan prioritas pembangunan. Biasanya sektor
yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan yang diharapkan dapat
mendorong (push factor) sektor-sektor lain untuk berkembang menjadi pendorong
utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah (Rustiadi et al. 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan menunjukkan bahwa dampak dari
pertumbuhan sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah lain
(dampak interregional) masih sangat kecil pengaruhnya dibandingkan dengan
dampak intraregional. Sejalan dengan penentuan sektor unggulan, James dan
Movshuk (2003) mengatakan bahwa keunggulan komparatif suatu wilayah dapat
pula dipengaruhi oleh kedekatan ekonomi wilayah-wilayah tersebut.
Secara garis besar, menurut Tarigan (2005); Widodo (2006); Rustiadi et
al. (2009) sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu
sektor basis (leading sector) dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam
proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor
dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan

15

jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sektor
non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di
daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang.
Rustiadi et al. (2011) lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan
terhadap sektor basis (leading sector) didasarkan pada dua kerangka konseptual
pembangunan wilayah yang dipergunakan secara luas. Pertama, konsep basis
ekonomi; konsep ini terutama dipengaruhi oleh kepemilikan masa depan terhadap
pembangunan daerah (dalam konteks nasional adalah merkantilisme). Teori basis
ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat
melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis
(ekspor) dan sektor non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor lokal
hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat. Tetapi peningkatan
pendapatan itu hanya terjadi bila sektor basis (ekspor) meningkat. Oleh karena itu,
menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu dalam
pembangunan ekonomi.
Dan juga dipengaruhi perbedaan tingkat imbalan (rate of return) adalah
lebih dibawakan oleh perbedaan dalam lingkungan dari atau prasarana, dari pada
ketidakseimbangan rasio modal tenaga. Dalam kerangka pemikiran ini, daerah
terbelakang bukan karena tidak beruntung atau karena kegagalan pasar, tetapi
karena produktivitasnya yang rendah. Oleh karena itu investasi dalam prasarana
adalah penting sebagai sarana pembangunan daerah. Namun demikian, tidak
seperti pendekatan basis ekonomi, tidak hanya terdapat studi empirik dengan
menggunakan konsep kedua. Hal ini disebabkan karena kelangkaan data (terutama
mengenai stok barang modal).
Metode LQ (location quotient) dan SSA (shift share analysis) merupakan
dua metode yang sering dipakai sebagai indikator sektor basis. Untuk mengetahui
potensi aktifitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis
dapat digunakan metode LQ, yang merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.
Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara
geografi dan produktifitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri
menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran pemakaian
LQ harus disesuaikan dengan kepentin