The effect of nitrogen concentra– tion and sucrose on potato microtuber production of c v granola

PENGARUH KONSENTRASI NITROGEN DAN SUKROSA
TERHADAP PRODUKSI UMBI MIKRO KENTANG
KULTIVAR GRANOLA

JOAN JOULANDA GRACE KAILOLA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Konsentrasi Nitrogen
dan Sukrosa terhadap Produksi Umbi Mikro Kentang Kultivar Granola adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2011

Joan Joulanda Grace Kailola
NRP A252070011

ABSTRACT
JOAN JOULANDA GRACE KAILOLA. The Effect of Nitrogen Concentra–
tion and Sucrose on Potato Microtuber Production of c.v Granola Under direction
of WINARSO DRAJAD WIDODO and GUSTAAF ADOLF WATTIMENA.
The problem of potato production in Indonesia is the production of high
quality virus free propagules. The virus free potato propagules is derived from
microtuber through tissue culture methods. The experiments was conducted in
two steps : the first steps was the production of shoot on semisolid medium and
the second steps was the addition of liquid medium. The first and the second
medium has the same treatment combination of nitrogen and sucrose. The
experiment was arranged in Completely Randomized Design consist of two factor.
The first factor was nitrogen concentration (30, 60, 90 and 120 mM) and the
second factor was sucrose concentration (30, 45, 60, 75 and 90 g/l). The result
showed there was an optimum concentration of sucrose and combination between
nitrogen and sucrose on the number of shoots, number of tubers and percentage

of tuber dry weight. The treatment of 60 mM nitrogen and 60 g/l sucrose produced
the highest numbers of qualified microtubers.
Keywords : potato microtuber, nitrogen, sucrose

RINGKASAN
JOAN JOULANDA GRACE KAILOLA. Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan
Sukrosa terhadap Produksi Umbi Mikro Kentang Kultivar Granola. Dibimbing
oleh WINARSO DRAJAD WIDODO dan GUSTAAF ADOLF WATTIMENA.
Salah satu masalah dalam budidaya kentang di Indonesia adalah
penyediaan bibit melalui pengembangan propagul kentang bermutu. Usaha untuk
mendapatkan bibit kentang yang berkualitas baik dapat dilakukan melalui teknik
kultur jaringan berupa umbi mikro. Komposisi media merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi produksi umbi mikro. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui konsentrasi nitrogen yang optimum untuk pertumbuhan stek dan
pengumbian mikro kentang, mengetahui konsentrasi sukrosa yang optimum untuk
pertumbuhan stek dan pengumbian mikro kentang dan mengetahui kombinasi
antara konsentrasi nitrogen dan sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan stek
dan pengumbian mikro kentang. Penelitian ini terdiri dari dua tahap percobaan:
pertama pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pertumbuhan stek mikro
kentang dan kedua pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pengumbian

mikro kentang. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap yang
terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi nitrogen dengan 4 taraf
( 30, 60, 90 dan 120 mM). Faktor kedua adalah konsentrasi sukrosa dengan 5 taraf
( 30, 45, 60, 75 dan 90 g/l). Data diuji dengan Sidik ragam (uji F), uji beda nilai
tengah menggunakan DMRT dan uji Polinomial Orthogonal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi
nitrogen dan sukrosa berpengaruh nyata terhadap jumlah buku 4 MST, jumlah
akar 4 MST, jumlah umbi 8 MSP, bobot basah umbi 8 MSP, ukuran (diameter)
umbi 8 MSP dan persentase bobot kering umbi 8 MSP. Konsentrasi nitrogen
sebagai faktor tunggal berpengaruh nyata terhadap bobot basah planlet 4 MST,
persentase bobot kering planlet 4 MST, panjang ruas 4 MST dan tinggi tanaman
4 MST. Konsentrasi sukrosa sebagai faktor tunggal berpengaruh nyata terhadap
jumlah tunas 4 MST, bobot basah planlet 4 MST, persentase bobot kering planlet
4 MST, panjang ruas 4 MST dan tinggi tanaman 4 MST.
Terdapat korelasi positif antara tinggi tanaman dengan panjang ruas dan
jumlah buku karena tinggi tanaman secara langsung dipengaruhi oleh jumlah buku
dan panjang ruas. Jumlah akar berkorelasi positif dengan jumlah tunas, panjang
ruas, tinggi tanaman, jumlah buku, jumlah umbi, bobot basah umbi, ukuran
(diameter) umbi dan persentase bobot kering umbi. Jumlah akar yang banyak
menyebabkan penyerapan hara dan air yang banyak dari media sehingga

meningkatkan jumlah tunas, panjang ruas, tinggi tanaman dan jumlah buku.
Pertumbuhan planlet yang baik akan menghasilkan jumlah umbi, bobot basah
umbi, ukuran (diameter) umbi dan persentase bobot kering umbi yang baik pula.
Ukuran (diameter) umbi berkorelasi positif dengan bobot basah umbi dan
persentase bobot kering umbi, dimana umbi yang berukuran (diameter) besar
memiliki bobot basah yang tertinggi sedangkan umbi yang berukuran (diameter)
kecil bobot basahnya lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya
bobot basah umbi dan ukuran (diameter) umbi sejalan dengan meningkatnya
ketersediaan hasil-hasil metabolisme yang diakumulasikan di dalam umbi.

Jika media pertunasan stek mikro dan pengumbian mikro kentang menggunakan
kombinasi nitrogen dan sukrosa yang sama maka kombinasi 60 mM nitrogen dan
60 g/l sukrosa adalah yang terbaik. Kombinasi tersebut pada 8 MSP
menghasilkan jumlah umbi terbanyak dan memenuhi kriteria umbi mikro untuk
bibit. Kombinasi ini menghasilkan 6.4 umbi/botol dengan bobot basah umbi
214.54 mg/umbi, ukuran (diameter) umbi 5.57 mm/umbi dan persentase bobot
kering umbi 17.64%.
Kata kunci : umbi mikro kentang, nitrogen, sukrosa

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB

PENGARUH KONSENTRASI NITROGEN DAN SUKROSA
TERHADAP PRODUKSI UMBI MIKRO KENTANG
KULTIVAR GRANOLA

JOAN JOULANDA GRACE KAILOLA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Agronomi dan Hortikultura


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si.

Judul Tesis : Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Sukrosa terhadap Produksi
Umbi Mikro Kentang Kultivar Granola
Nama
: Joan Joulanda Grace Kailola
NRP
: A252070011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir.Winarso D.Widodo, M.S.
Ketua


Prof. Dr. Ir. Gustaaf A.Wattimena,M.Sc.
Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Agronomi dan
Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.

Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian : 21 Juni 2011

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan

anugerah-Nya sehingga penelitian serta penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dr Ir. Winarso D.Widodo, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Gustaaf A. Wattimena,
M.Sc. atas bimbingan dan pengarahannya selama kegiatan penelitian dan
penulisan tesis ini.
2. Dr. Dewi Sukma S.P., M.Si. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi.
3. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. (Koordinator Mayor Agronomi dan
Hortikultura) atas waktu dan masukan yang diberikan selama ujian akhir
tesis ini.
4. Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Lembaga
Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor atas
fasilitas yang diberikan selama pelaksanaan penelitian.
5. Rektor Universitas Pattimura yang telah memberikan ijin kepada penulis
untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
6. Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM) dan Yayasan Tahija di Jakarta atas
bantuan dana dalam rangka penyelesaian penelitian dan penulisan tesis.
7. Staf Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat Institut Pertanian Bogor atas bantuannya selama pelaksanaan

penelitian.
8. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana (S2/S3) tahun 2007/2008 dan
2008/2009 Mayor AGH, PBT dan ITB atas bantuan moril maupun fisik serta
kebersamaannya, khususnya rekan-rekan angkatan seperjuangan : Arrin, Odit,
Mba Pien, Aries, Mba Puji, Usi Enny, Leo, Syukur, Mba Dian dan Tisna.
9. Rekan-rekan Persatuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) di Bogor atas
bantuan dan doanya.
Mengakhiri lembaran ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
mendalam kepada Mama, Papa (alm), Usi Eda, Bung Okto (Nyongkai), untuk
segala kasih, perhatian, bantuan dan doa yang telah penulis terima selama ini
kiranya Tuhan Yesus Putra Allah yang Maha Kudus senantiasa memberkati kita
semua. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2011

Joan Joulanda Grace Kailola

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 23 Januari 1979 dari Bapak

Markus Christian Kailola (alm) dan Ibu Susana Sophia Kailola/Alfons. Penulis
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA
Negeri 1 Ambon dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas
Pattimura Ambon melalui jalur PSSB (Program Seleksi Siswa Berprestasi),
penulis memilih Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian.
Tahun 2005 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
ditempatkan sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
Ambon sampai saat ini. Tahun 2007 penulis mendapatkan bantuan BPPS
(Beasiswa Program Pascasarjana) dari DIKTI Departemen Pendidikan Nasional
untuk melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor dengan mengambil Mayor Agronomi dan Hortikultura.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………...
xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………..

xv


DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………...

xvi

PENDAHULUAN…………………………………………………………..….
Latar Belakang………………………………………………………….
Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran…………………………
Tujuan Penelitian……………………………………………………….
Hipotesis Penelitian…………………………………………………….

1
1
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………..
Botani Tanaman Kentang………………………………………………
Perbanyakan Kentang Secara In Vitro………………………………….
Perbanyakan Kentang dengan Umbi Mikro…………………………….
Sukrosa………………………………………………………………….
Nitrogen………………………………………………………………...
Zat Pengatur Tumbuh…………………………………………………..

6
6
7
8
12
13
15

BAHAN DAN METODE………………………………………………………
Tempat dan Waktu……………………………………………………...
Bahan dan Alat………………………………………………………….
Metode Penelitian………………………………………………………
Pelaksanaan Penelitian………………………………………………….
Pengamatan Penelitian………………………………………………….

19
19
19
19
22
24

HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………...
Hasil…………………………………………………………………….
Jumlah Tunas…………………………………………………….
Jumlah buku……………………………………………………...
Bobot Basah Planlet dan Persentase Bobot Kering ……………
Jumlah akar………………………………………………………
Panjang Ruas……………………………………………………..
Tinggi Tanaman………………………………………………….
Waktu Pembentukan Umbi………………………………………
Kecepatan dan Keseragaman Pembentukan Umbi……………….
Jumlah Umbi……………………………………………………..
Bobot Basah Umbi, Ukuran (Diameter) Umbi dan Persentase
Bobot Kering Umbi………………………………………………
Pembahasan…………………………………………………………….
Pertumbuhan Stek Mikro…………………………………………

26
26
26
26
28
28
30
30
32
32
34
37
39
39

Pengumbian Mikro……………………………………………….
Korelasi antara Pertumbuhan Stek Mikro dan Pengumbian
Mikro……………………………………………………………..

41

SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………….

47

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..

48

LAMPIRAN…………………………………………………………………....

54

45

DAFTAR TABEL

Halaman
1.

Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap jumlah tunas dan
jumlah buku………………………………………………………………

27

Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap bobot basah planlet,
persentase bobot kering planlet dan jumlah akar... ………………………

29

Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap panjang ruas dan
tinggi tanaman………………………………………………………….....

31

Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap kecepatan dan
keseragaman pembentukan umbi………………………………………....

33

5.

Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap jumlah umbi………

35

6.

Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap bobot basah umbi,
ukuran (diameter) umbi dan persentase bobot kering umbi……………...

38

2.

3.

4.

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.

2.

Kerangka pemikiran pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap
produksi umbi mikro kentang kultivar granola…………………………….

5

Bagan alur penelitian……………………………………………………….

20

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah pertumbuhan stek mikro dan
pengumbian mikro kentang………………………………………………

54

2.

Komposisi media Murashige dan Skoog (MS) (1962)………………....

55

3.

Sidik ragam jumlah tunas 2 MST dan 4 MST……………………………

56

4.

Sidik ragam jumlah buku 2 MST dan 4 MST……………………………

56

5.

Sidik ragam bobot basah planlet 4 MST………………………………….

57

6.

Sidik ragam persentase bobot kering planlet 4 MST……………………..

57

7.

Sidik ragam jumlah akar 2 MST dan 4 MST………………………….....

58

8.

Sidik ragam panjang ruas 2 MST dan 4 MST……………………………

59

9.

Sidik ragam tinggi tanaman 2 MST dan 4 MST………………………….

59

10.

Sidik ragam jumlah umbi pada 1 – 8 MSP (Trans √x + 0.5)……………..

60

11.

Sidik ragam bobot basah umbi 8 MSP……………………………………

62

12.

Sidik ragam ukuran umbi 8 MSP…………………………………………

62

13.

Sidik ragam persentase bobot kering umbi 8 MSP……………………….

62

14.

Rekapitulasi persamaan regresi peubah pertumbuhan stek mikro dan
pengumbian mikro kentang………………………………………………

63

Matriks korelasi pertumbuhan stek mikro dan pengumbian mikro
kentang……………………………………………………………………

69

16.

Penampilan umbi mikro pada 8 minggu setelah pengumbian……………

71

17.

Ukuran umbi mikro dari berbagai kombinasi perlakuan pada 8 minggu
setelah pengumbian……………………………………………………….

75

15.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia merupakan salah satu
komoditas sayuran yang mendapat prioritas pengembangan, karena dapat
digunakan sebagai sumber karbohidrat, bergizi tinggi terutama vitamin dan
mineral dan mempunyai potensi dalam diversifikasi pangan. Permintaan pasar
terhadap kentang dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat sejalan
dengan berkembangnya jumlah penduduk yang menggunakan kentang sebagai
sayuran

sehari-hari

dan

berkembangnya

industri

pengolahan

makanan

(Karjadi 2002). Secara umum produksi kentang di Indonesia masih relatif rendah,
yaitu 1.060.579 ton dengan luas panen 66.508 ha dan produktivitas 15.95 ton/ha
(BPS 2010), sedangkan produktivitas kentang negara subtropis seperti USA dan
Belanda sudah mencapai 37.40 ton/ha dan 45.10 ton/ha (Rubatsky & Yamaguchi
1998).
Kendala penting produksi kentang di Indonesia adalah ketersediaan
kultivar standar yang sesuai dengan lingkungan di Indonesia, bibit kentang masih
diimpor dari luar negeri, dan adanya beberapa penyakit yang sukar dikendalikan
seperti virus (PVX, PVY, PVLR), hawar daun, layu bakteri dan nematoda, yang
dapat tertular melalui bibit (seed borne disease). Penyakit-penyakit seed borne
akan terakumulasi sepanjang terus diperbanyak secara vegetatif dengan umbi
(konvensional). Oleh karena itu terdapat dua masalah utama yang harus segera
diatasi dalam budidaya kentang yaitu : (1) masalah ketersediaan bibit melalui
pengembangan propagul kentang bermutu dan (2) masalah hama dan penyakit
melalui perakitan kultivar unggul (Purwito et al. 1995, Wattimena 2000). Apabila
petani menggunakan bibit impor maka 40–50% dari total biaya produksi kentang
sudah dikeluarkan hanya untuk pengadaan bibit. Kondisi ini mengakibatkan
petani yang umumnya berkemampuan ekonomi rendah tidak mungkin
melakukannya

sehingga

untuk

memenuhi

kebutuhan

bibitnya,

petani

mempergunakan bibit lokal yang kurang bermutu (Wattimena et al. 1983,
Wattimena 1992).

2

Usaha untuk mendapatkan bibit kentang yang berkualitas baik dapat
dilakukan melalui teknik kultur jaringan. Teknik ini dapat menyediakan bibit yang
bebas pathogen, seragam dan tidak tergantung musim. Wattimena et al.
(1983) memperkenalkan dua teknik dalam produksi propagula melalui
perbanyakan mikro yaitu dengan stek mikro dan umbi mikro. Umbi mikro
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan stek mikro karena lebih mudah
ditangani, dapat ditransportasikan dalam jarak jauh tanpa mengurangi
viabilitasnya serta lebih tahan bila dipindahkan ke media non aseptik (Wattimena
et al. 1983, Wang & Hu 1982).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh media yang
digunakan terhadap produksi umbi mikro antara lain Wattimena et al. (2001),
Kailola (2002) menggunakan media pengumbian MS cair + sukrosa 90 g/l +
cycocel 600 mg/l + air kelapa 15% dengan konsentrasi aspirin 30 mg/l
menghasilkan bobot basah umbi tertinggi yaitu 236.60 mg/umbi. Mustika (2005)
melakukan percobaan pada kultivar Granola diperoleh jumlah umbi terbanyak
7.8 umbi dengan diameter 5.37 mm, diameter umbi diatas 5 mm 55.03%, bobot
basah umbi 179.82 mg, bobot basah umbi diatas 100 mg 47.08% dan persentase
bobot kering umbi tertinggi 20.17% dihasilkan oleh media dengan 30 mg/l
coumarin dan 60 mM nitrogen. Stallknecht et al. (1979) mendapatkan persentase
pengumbian sebesar 15–20% pada media MS yang diinduksi coumarin dengan
konsentrasi N yang tinggi (60 mM N/l) sedangkan pada media Katsura dengan
konsentasi N rendah (2.5 mM N/l) menghasilkan persentase pengumbian sebesar
95–100%. Penghambatan pengumbian yang diinduksi coumarin oleh N tinggi
dapat dimodifikasi dengan menaikkan karbohidrat misalnya pada media Katsura
dengan N 15 mM dan sukrosa yang dinaikkan dari 6-12% mengakibatkan
persentase pengumbian menjadi 100%. Menurut Wattimena (1983) unsur hara
nitrogen pada media pertunasan maupun pengumbian secara in vitro sangat
mempengaruhi proses pembentukan umbi mikro dan kualitas umbi mikro yang
diinduksi oleh coumarin.
Penelitian tentang pengaruh nitrogen dan sukrosa pada media pertunasan
dan pengumbian yang sama belum pernah dilakukan. Secara umum penggunaan
konsentrasi nitrogen yang tinggi pada media pengumbian akan menghasilkan

3

umbi mikro yang besar tetapi memiliki persentase pengumbian yang rendah, hal
ini dapat diimbangi dengan pemberian sukrosa sehingga menghasilkan persentase
pengumbian dan bobot kering umbi yang tinggi. Diharapkan dengan
memanipulasi konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada media pertunasan dan
pengumbian maka akan dihasilkan umbi mikro yang besar dengan bobot kering
dan persentase pengumbian yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai umbi
bibit G0. Bibit G0 harus mempunyai mutu prima yang dapat ditanam pada umur
fisiologi bibit yang optimal sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi
kentang rata-rata nasional (Wattimena 2000). Penelitian tentang manipulasi
konsentrasi nitrogen dan sukrosa perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan
ketersediaan bibit bermutu. Penelitian ini menggunakan kultivar Granola karena
pada saat ini kultivar kentang yang banyak dibudidayakan petani adalah kultivar
Granola. Keunggulan kultivar Granola adalah berumur genjah (90 hari), hasil
tinggi, agak tahan terhadap penyakit hawar daun, resisten terhadap virus kentang
PVX dan PVY dan agak tahan terhadap penyakit layu bakteri. Kelemahan kultivar
Granola adalah kandungan air tinggi sekitar 85% sehingga tidak cocok untuk
kentang olahan (Warnita 2006).

Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran
Kentang adalah salah satu sumber makanan pokok harapan kedepan yang
bergizi dengan perbandingan kalori dan gizi yang berimbang. Kebutuhan yang
meningkat akan kentang segar maupun olahan baik untuk pasar domestik maupun
ekspor memberi peluang peningkatan produksi kentang di Indonesia. Dari segi
budidaya tanaman kentang memiliki dua masalah utama yang harus segera diatasi
yaitu masalah penyediaan bibit melalui pengembangan propagul kentang bermutu
dan masalah hama dan penyakit melalui perakitan kultivar unggul.
Usaha untuk mendapatkan bibit kentang yang berkualitas baik dapat
dilakukan melalui teknik kultur jaringan. Keunggulan teknik kultur jaringan
tanaman adalah dapat menghasilkan propagul tanaman dalam jumlah banyak dan
dalam waktu yang singkat bebas hama dan penyakit (sistemik dan non sistemik)
serta sama dengan induknya. Kultur jaringan kentang dapat berupa stek mikro
dan umbi mikro.

4

Komposisi media merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
produksi umbi mikro. Menurut Wattimena (1983) unsur hara nitrogen pada media
pertunasan maupun pengumbian secara in vitro sangat mempengaruhi proses
pembentukan umbi mikro dan kualitas umbi mikro yang diinduksi oleh coumarin.
Penelitian tentang pengaruh nitrogen dan sukrosa pada media pertunasan
dan pengumbian yang sama belum pernah dilakukan. Secara umum penggunaan
konsentrasi nitrogen yang tinggi pada media pengumbian akan menghasilkan
umbi mikro yang besar tetapi memiliki persentase pengumbian yang rendah, hal
ini dapat diimbangi dengan peningkatan konsentrasi sukrosa yang diharapkan
dapat menghasilkan persentase pengumbian dan bobot kering umbi yang tinggi.
Diharapkan dengan memanipulasi konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada media
pertunasan dan pengumbian maka akan dihasilkan umbi mikro yang besar dengan
bobot kering dan persentase pengumbian yang tinggi sehingga dapat digunakan
sebagai umbi bibit G0. Kerangka pemikiran pengaruh konsentrasi nitrogen dan
sukrosa terhadap produksi umbi mikro kentang kultivar Granola disajikan pada
gambar 1.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yaitu: (1) Mengetahui konsentrasi nitrogen yang
optimum

untuk

pertumbuhan

stek

dan

pengumbian

mikro

kentang,

(2) Mengetahui konsentrasi sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan stek dan
pengumbian mikro kentang, (3) Mengetahui kombinasi antara konsentrasi
nitrogen dan sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan stek dan pengumbian
mikro kentang.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah (1) Terdapat
konsentrasi nitrogen yang optimum pada pertumbuhan stek dan pengumbian
mikro kentang, (2) Terdapat konsentrasi sukrosa yang optimum pada
pertumbuhan stek dan pengumbian mikro kentang, (3) Terdapat kombinasi antara
konsentrasi nitrogen dan sukrosa yang optimum pada pertumbuhan stek dan
pengumbian mikro kentang.

5

Produksi Kentang

Bibit Kentang Bermutu

Bibit Kultur Jaringan

Umbi Mikro

Nisbah Sukrosa – Nitrogen (N S N) – Media Kultur Jaringan

Media Planlet

Peubah
Jumlah
buku
Panjang
ruas

Media Umbi Mikro

NSN
Rendah
+

NSN
Tinggi
-

NSN
Rendah
-(?)

NSN
Tinggi
+(?)

+

-

+

-

-

+

+(?)

-(?)

Peubah
Jumlah
umbi
Bobot basah
umbi

Ukuran
(diameter)
umbi
+
+
Persentase
bobot
kering umbi
+ atau - : korelasi positif atau negatif antara peubah dengan tinggi atau rendahnya
nisbah sukrosa nitrogen
Persentase
bobot kering
planlet
Tinggi
tanaman

(?) : kemungkinan korelasi positif atau negatif antara peubah dengan tinggi atau
rendahnya nisbah sukrosa nitrogen
Gambar 1 Kerangka pemikiran pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa
terhadap produksi umbi mikro kentang kultivar granola.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kentang
Kentang merupakan tanaman herba dikotil dan bersifat semusim atau
annual (Nonnecke 1989). Tanaman kentang termasuk dalam famili Solanaceae
dengan genus Solanum dan spesies Solanum tuberosum L. Tanaman kentang
berasal dari benua Amerika Selatan. Beberapa spesies kentang liar terdapat di
wilayah pegunungan Andes mulai dari Kolombia sampai Chilli, tanaman ini
menyebar ke seluruh dunia melalui Eropa dan menjadi salah satu bahan pangan
penting dunia (Smith 1986).
Nonnecke (1989) mengemukakan bahwa perbanyakan suatu kultivar
kentang umumnya adalah melalui umbi. Apabila dikehendaki perubahan pada
suatu tipe, maka perbanyakan dilakukan melalui biji. Permadi et al. (1989)
menyatakan bahwa tanaman kentang biasanya diperbanyak dari umbi (vegetatif)
sehingga sifat tanaman generasi berikutnya sama dengan induknya. Penanaman
dengan biji dilakukan untuk menciptakan varietas-varietas baru.
Kentang memiliki bentuk perakaran tunggang dengan banyak akar lateral
dan adventisius. Akar muncul dari buku batang yang terletak di dalam tanah
(Edmond et al. 1977). Nonnecke (1989) menyatakan bahwa akar pada kentang
memiliki peranan yang lebih kecil dalam penyimpanan fotosintat dibandingkan
kebanyakan tanaman lainnya karena umbi merupakan tempat penyimpanan hasil
fotosintesis daun, menggantikan peranan penting akar sebagai tempat makanan.
Menurut Edmond et al. (1977) terdapat dua tipe batang pada tanaman
kentang. Batang yang di atas permukaan tanah (aerial) bentuknya angular
berwarna hijau kemerahan atau hijau keunguan tergantung varietas. Batang yang
berada di dalam tanah terdiri dari stolon dan umbi.
Nonnecke (1989) mengemukakan bahwa pada fase perkembangan, bentuk
batang tegak lurus tetapi dengan bertambahnya umur tanaman, batang menjadi
tergeletak dan terlentang. Pada mulanya batang lunak dan padat, tetapi kemudian
berkembang menjadi bersegi (angular) dan berongga. Permadi et al. (1989)
menyatakan bahwa batang tanaman kentang berongga dan tidak berkayu kecuali
pada tanaman yang sudah tua, bagian bawah batang dapat berkayu. Daun-daun

7

pertama tanaman kentang berupa daun tunggal, kemudian daun-daun berikutnya
muncul berupa daun-daun majemuk dengan anak daun primer dan anak daun
sekunder. Daun menyirip majemuk dengan lembar daun bertangkai memiliki
ukuran, bentuk dan tekstur yang beragam (Rubatzky & Yamaguchi 1998).
Bunga tanaman kentang adalah zygomorph dan berjenis kelamin dua
(Tjitrosoepomo 1997). Bunga berwarna putih, merah jambu sampai keunguan
tergantung varietas. Daun kelopak, daun mahkota dan benang sari masing-masing
berjumlah lima buah dengan satu buah putik yang mempunyai sebuah bakal buah
yang beruang dua (Smith 1986). Menurut Nonnecke (1989) bunga kentang tidak
menghasilkan nektar madu sehingga tidak didatangi lebah, angin merupakan
perantara penyerbukan.
Thompson dan Kelly (1957) menyatakan bahwa umbi merupakan hasil
pembengkakan dari ujung stolon, tetapi tidak semua stolon dapat membentuk
umbi. Menurut Sunarjono (1975) ukuran stolon tergantung pada varietas kentang.
Ukuran stolon bisa pendek sehingga seolah-olah tidak berstolon. Menurut
Edmond et al. (1977) umbi kentang merupakan batang yang berfungsi sebagai
bagian penyimpanan cadangan makanan dengan kandungan tepung yang cukup
tinggi. Umbi berada di ujung stolon dengan ciri pendek, gemuk dan berdaging.
Menurut Permadi et al. (1989) umbi akan terputus dari stolon pada saat stolon
mengering bersamaan dengan matinya tanaman.

Perbanyakan Kentang Secara In Vitro
Ketersediaan bibit kentang bermutu merupakan salah satu masalah dalam
peningkatan produksi kentang di Indonesia. Penyediaan bibit kentang bermutu
sangat terbatas karena perbanyakan kentang yang lambat dan adanya penyakit
yang

menyerang

bibit

sehingga

menurunkan

hasil

panen

kentang

(Vander Zaag & Wei 1991). Bibit impor terbatas dengan harganya mahal.
Pemenuhan kebutuhan bibit ini terpaksa menggunakan bibit lokal yang kurang
bermutu (Wattimena 1992).
Cara perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan atau
mikropropagasi merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah dalam
pembibitan kentang. Keunggulan sistem mikropropagasi tanaman adalah dapat

8

menghasilkan propagul tanaman dalam jumlah banyak, dalam waktu yang singkat,
bebas hama dan penyakit (sistemik dan nonsistemik) serta sama dengan induknya
(Wattimena 2000).
Penerapan teknik kultur jaringan didasarkan pada prinsip bahwa tanaman
dapat ditumbuhkan dan diperbanyak secara in vitro dari sekelompok sel atau
sebagian kecil jaringan tanaman dalam media aseptik, yang nutrisi dan keadaan
lingkungannya terkendali dengan baik, sehingga dapat dihasilkan tanaman baru
yang mampu tumbuh pada media non aseptik (Winata 1987).
Wattimena (2000) menyatakan bahwa pembibitan mikropropagasi kentang
untuk subtitusi propagul umbi biasa harus memenuhi beberapa kriteria yaitu :
(1) bibit mikropropagasi tersebut sangat diperlukan, (2) harus menguntungkan
baik dalam produksi propagulnya maupun dalam sistem budidaya kentang
(cost effective), (3) sistem distribusi yang memenuhi persyaratan kuantitas dan
kualitas, serta (4) sistem yang dapat beradaptasi terhadap sistem transportasi dan
penanganan di Indonesia.

Perbanyakan Kentang dengan Umbi Mikro
Pada dasarnya umbi kentang merupakan modifikasi batang dengan sumbu
utama yang memendek dan bagian lateralnya terhambat (Artschwager 1924 dalam
Slater 1963). Umbi kentang dianggap penting karena 75–85% bahan kering total
yang diproduksi tanaman diakumulasi di dalam umbi (Ivins & Bremner 1964
dalam Cutter 1978). Di lapang umbi terbentuk pada stolon yaitu cabang-cabang
aksilar dari batang yang tumbuh di bawah tanah. Pada kondisi tertentu umbi dapat
tumbuh pada setiap mata tunas aksilar (Werner 1954 dalam Cutter 1978).
Berdasarkan prinsip tersebut, dengan proses penginduksian yang sesuai,
setiap mata tunas aksilar pada ketiak daun dari tunas yang ditumbuhkan secara
in vitro mampu menghasilkan umbi. Pembentukan umbi secara in vitro
(umbi mikro) dapat terjadi pada ketiak daun dari tunas eksplan (sesil/duduk) dan
pada pucuk atau ketiak daun dari tunas samping yang baru terbentuk (terminal
serta aksilar). Umbi mikro berukuran kecil (beberapa mm sampai lebih dari
10 mm) dengan bobot basah 50–150 mg/umbi (Wattimena 1992). Secara

9

morfologis umbi mikro identik dengan umbi yang diproduksi di lapang
(Wattimena 1983, Wang & Hu 1985).
Persiapan umbi mikro sampai siap pindah lapang terdiri dari 4 fase yaitu:
(1) produksi tunas mikro selama 4 minggu, (2) produksi umbi mikro selama
8 minggu, (3) pertunasan umbi mikro selama 8–16 minggu dan (4) pembuatan
semai (seedling) selama 4–6 minggu. Di daerah tropis seperti di Indonesia dapat
ditanam umbi mikro yang telah bertunasan secara langsung di lapang asal panjang
tunas sudah mencapai 1 cm atau lebih. Di USA (iklim dingin) hal itu tidak dapat
dilakukan karena pada waktu tanam suhu tanah masih dingin dan tunas umbi
mikro itu tidak sanggup untuk tumbuh ke permukaan tanah Wattimena (1992).
Menurut Wattimena (2000) keuntungan dari penggunaan propagul umbi
mikro adalah : (1) propagul umbi mikro yang berasal dari eksplan bebas penyakit
akan menghasilkan umbi mikro bebas penyakit, (2) umbi mikro akan
menghasilkan tanaman yang seragam dan umur panen sama dengan propagul
umbi biasa, (3) kebutuhan umbi mikro hanya 4–5 kg per hektar dibandingkan
dengan umbi biasa yang memerlukan 1–2 ton bibit per hektar, (4) mudah dalam
penyimpanan, transportasi dan penanganan, (5) mudah memenuhi persyaratan
karantina untuk lalu lintas propagul baik dalam maupun luar negeri.
Disamping keuntungan yang telah disebut, propagul umbi mikro juga
mempunyai kelemahan antara lain : (1) keadaan cekaman pada awal pertumbuhan
lebih berdampak negatif dibandingkan dengan propagul umbi biasa, (2) masa
dormansi yang panjang dan pecah dormansi tidak serentak. Lamanya waktu
dormansi tergantung dari genotipe dan retardan yang digunakan. Penggunaan
retardan paclobutrazol memperpanjang masa dormansi. Kultivar-kultivar berumur
genjah mempunyai dormansi yang lebih pendek dibanding dengan kultivarkultivar berumur dalam, (3) produksi umbi mikro sampai panen memerlukan
waktu yang lebih lama (12 minggu) dibandingkan dengan stek mikro (4 minggu).
Ongkos produksi per satuan propagul pun pada umbi mikro 3 kali lebih mahal
dari stek mikro. Penelitian mengenai umbi mikro perlu dilanjutkan terutama
didalam produksi secara masal. Sistem produksi dengan mempergunakan media
cair, maupun sistem satu jenis atau dua jenis media membuka peluang untuk
melakukan produksi masal dengan menggunakan bioreaktor.

10

Pembentukan umbi terbagi menjadi dua tahap, yaitu : (1) induksi
pengumbian dan (2) pembesaran atau pertumbuhan umbi. Tahap pembesaran
umbi merupakan tanda pertama yang dapat dilihat dari terjadinya induksi
pengumbian (Chapman 1958). Menurut Plaisted (1957) dalam Slater (1963),
pembesaran umbi terjadi terutama karena meningkatnya jumlah sel di dalam umbi
dan bukan karena peningkatan ukuran sel.
Keberhasilan pengumbian kentang tergantung dari ketepatan memilih
proses-proses yang dapat memanipulasi tahap induksi pengumbian dan tahap
pembesaran atau pertumbuhan umbi (Ewing 1981). Di dalam kultur in vitro,
keberhasilan pembentukan umbi dapat tercapai dengan pemilihan eksplan, media
tumbuh dan kondisi lingkungan yang tepat (Hussey 1980, Locy 1984, Wang & Hu
1985).
Pemilihan

eksplan

yang

tepat

akan

mempengaruhi

keberhasilan

pengumbian kentang secara in vitro. Ukuran, sumber atau letak dan umur
fisiologis eksplan perlu diperhatikan. Secara umum, semakin kecil ukuran eksplan
semakin kecil daya hidupnya. Letak eksplan pada tanaman juga berpengaruh,
misalnya ujung pucuk apikal merupakan eksplan yang lebih baik dari ujung pucuk
aksilar (Locy 1984). Sel-sel yang telah mengalami diferensiasi lanjut lebih sukar
ditumbuhkan daripada sel-sel yang masih bersifat meristematis (Winata 1987).
Eksplan untuk pembentukan umbi mikro kentang dapat berupa tunas umbi
yang teretiolasi atau stolon apikal (Palmer & Smith 1969, 1970, Stallknecht &
Farnsworth 1979, 1982), stek berbuku tunggal, yang berasal dari lapang atau dari
kultur in vitro (Roca et al. 1979, Hussey & Stacey 1981,Wattimena 1983,Estrada
et al. 1986) atau tunas berakar yang ditumbuhkan di dalam kultur in vitro (Wang
& Hu 1985). Menurut Stallknecht dan Farnsworth (1979), penggunaan jaringan
yang besar, seperti stolon apikal dan stek mikro, dapat memberikan hasil
pengumbian yang lebih kompleks. Wang dan Hu (1985) berpendapat bahwa
kondisi optimum dari faktor-faktor yang mempengaruhi pengumbian dapat
berbeda tergantung jenis jaringan eksplan dan kultivar yang digunakan. Setiap
eksplan yang digunakan untuk proses pengumbian secara in vitro terdiri dari
sejumlah buku. Pada tiap buku terdapat mata tunas aksilar. Mata tunas aksilar ini

11

dapat didorong untuk membentuk tunas, stolon, atau umbi in vitro tergantung dari
komposisi media dan kondisi lingkungan tumbuh (Chapman 1958).
Media kultur jaringan merupakan campuran dari unsur hara makro, unsur
hara mikro, karbon (gula), vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh
(Winata 1988). Pertumbuhan tanaman kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh
komposisi media ini. Media yang sering digunakan untuk kultur in vitro kentang
adalah media MS (Murashige dan Skoog).
Suhu

dan

cahaya

merupakan

dua

faktor

eksogen

yang

dapat

mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan (George &
Sherrington 1984). Kedua faktor tersebut juga mempengaruhi pertumbuhan
vegetatif dan pengumbian kentang dalam kultur in vitro. Menurut Madec (1963)
dan Ewing (1981), fotoperiode dan suhu mempengaruhi keseimbangan atau rasio
dari zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pengumbian kentang seperti
giberelin dan sitokinin, serta ketersediaan karbohidrat yang dibutuhkan untuk
inisiasi dan pertumbuhan umbi.
Hussey (1980) serta Wang dan Hu (1985) menyatakan bahwa suhu yang
umum digunakan dalam pertumbuhan tunas mikro kentang adalah 15–25oC.
Untuk pengumbian secara in vitro, suhu optimum yang konstan memberikan hasil
produksi umbi mikro yang lebih tinggi daripada bila perbedaan suhu siangnya
tinggi dan suhu malamnya rendah (Wang & Hu 1982). Menurut Stallknecht dan
Farnsworth (1982), pada suhu yang < 15oC serta > 30oC pembentukan umbi mikro
akan terhambat. Suhu optimum yang dibutuhkan dalam pembentukan umbi dalam
kultur in vitro adalah 18–20oC (Wang & Hu, 1985). Untuk produksi tunas mikro
kentang digunakan suhu 20–25oC, sedangkan untuk produksi umbi mikro
digunakan suhu 15–20oC (Wattimena et al. 1983).
Cahaya

mempengaruhi

proses

morfogenesis,

diferensiasi,

dan

embriogenesis somatik (Wang & Hu, 1982). Untuk pertumbuhan tunas in vitro
kentang dibutuhkan cahaya dengan intensitas sebesar 1000–5000 luks (Wang &
Hu 1985) serta panjang hari sekitar 16 jam per hari (Hussey 1980, Wang & Hu
1985) atau penyinaran terus-menerus (Wattimena et al. 1983).Wang dan Hu
(1985) berpendapat bahwa pembentukan umbi mikro kentang memerlukan
intensitas penyinaran kurang lebih 100 luks selama 8 jam. Wattimena (1983)

12

menggunakan keadaan gelap terus-menerus selama masa inkubasi (8 minggu) di
dalam media pengumbian.

Sukrosa
Karbohidrat merupakan sumber energi untuk sel-sel tanaman dalam kultur
yang belum dapat melaksanakan fotosintesis. Karbohidrat yang terpenting dan
biasa digunakan adalah sukrosa. Menurut Prawiranata et al. (1994) sukrosa dan
pati merupakan bentuk karbohidrat cadangan yang penting dalam sel tumbuhan.
Selain

itu

sukrosa

merupakan

bentuk

senyawa

organik

utama

yang

ditransportasikan ke dalam sel tumbuhan. Senyawa organik tersebut berperan
dalam menghasilkan energi dalam proses respirasi dan sebagai bahan pembentuk
sel baru.
Menurut Gautheret dalam George dan Sherrington (1984) sumber
karbohidrat yang paling baik yaitu dalam bentuk sukrosa, glukosa, maltosa dan
rafinosa. Pierik (1987) menyatakan bahwa gula yang dijual di supermarket terdiri
dari sukrosa 99.94%, air 0.02%, rafinosa, fruktosa dan glukosa 0.04%.
Untuk pertumbuhan tunas mikro yang baik dibutuhkan sukrosa sebesar
2–3% (Roca et al. 1979, Hussey & Stacey 1981, Wang & Hu 1982, Wattimena
1983). Menurut Wang dan Hu (1985), konsentrasi sukrosa untuk pengumbian
kentang secara in vitro harus lebih tinggi dari konsentrasi sukrosa yang umum
digunakan. Untuk pengumbian kentang di lapang, karbohidrat yang akan
diakumulasi di dalam umbi merupakan hasil fotosintesa pada kondisi lingkungan
yang intensitas cahayanya tinggi. Intensitas cahaya yang tinggi seperti di lapang
tidak dapat diterapkan di dalam ruang inkubasi kultur, karena suhu di dalam botol
kultur akan meningkat melebihi batas maksimum yang dapat diterima oleh tunas
in vitro. Dengan demikian, karbohidrat yang dibutuhkan untuk pengumbian
in vitro disediakan dari penambahan sukrosa di dalam media. Konsentrasi sukrosa
yang umum digunakan sekitar 6–8% (Palmer & Smith 1969, Wattimena 1983,
Estrada et al. 1986). Hasil penelitian Puspitaningtyas (1988) dan Meilinda (1990)
menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa 9% memberikan pengaruh yang terbaik
terhadap jumlah, ukuran dan bobot basah umbi. Selanjutnya Wattimena (1992)
menyatakan bahwa konsentrasi yang lebih tinggi diperlukan untuk pertumbuhan

13

tunas bila dalam kondisi gelap. Penggunaan sukrosa dalam media pembibitan
in vitro ditujukan untuk menciptakan ketahanan bibit mikro kentang tersebut.
Menurut Haryadi (1993) sukrosa merupakan karbohidrat cadangan yang penting
dalam sel tumbuhan. Pada awal pertumbuhan atau fase vegetatif karbohidrat
dibutuhkan untuk pembentukan akar, batang dan daun.

Nitrogen
Unsur nitrogen (N) merupakan unsur yang paling banyak berperan pada
fase pertumbuhan vegetatif dan pengumbian kentang. Unsur N media dipenuhi
dalam bentuk nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+). Konsentrasi nitrat biasanya
antara 25–40 mM dan konsentrasi amonium antara 2–20 mM (Gamborg & Shyluk
1981). Pada kultur jaringan tanaman kentang tidak dapat tumbuh dalam bentuk
nitrat atau amonium saja (Winarso 1986). Pertumbuhan yang terbaik adalah dalam
perbandingan 1:1, 2:1 atau 3:1 (nitrat:amonium). Perbandingan 3:1 menunjukkan
pertumbuhan kentang lebih vigor (Mahasin 1988). Perbandingan unsur N dalam
media Murashige dan Skoog adalah 2:1 (Wattimena 1995). Media MS
menyediakan 60 mM dalam bentuk nitrat dan amonium, masing-masing sebanyak
40 mM dan 20 mM.
Pembentukan umbi mikro tidak hanya dipengaruhi komposisi media
pengumbian tetapi juga oleh jumlah nitrogen yang digunakan untuk pertunasan.
Konsentrasi nitrogen pada media pertunasan berpengaruh terhadap keadaan
fisiologis dari tunas yang ditumbuhkan secara in vitro sehingga akan
mempengaruhi pembentukan umbi mikro. Wattimena (1983) menyatakan bahwa
tunas mikro kentang dapat tumbuh dengan baik pada konsentrasi N tinggi
(60–120 mM) dan pada konsentrasi N rendah (6 mM) pertumbuhan tunas sangat
terhambat.
Respon tanaman terhadap nitrogen juga dipengaruhi oleh kultivar
(genotipe), sehingga pertumbuhan tanaman dengan kultivar tertentu akan berbeda
dibandingkan kultivar lain pada konsentrasi N yang sama. Misalnya kultivar
Red Pontiac memberikan respon pertumbuhan yang tinggi terhadap peningkatan
konsentrasi N di dalam media dari 6–60 mM dibandingkan dengan kultivar
Superior dan Norland. Produksi umbi mikro pada media pertunasan dengan

14

konsentrasi N rendah (4 mM) dan konsentrasi N tinggi (60 mM) pada media
pengumbian atau sebaliknya akan lebih baik daripada produksi umbi pada media
pertunasan dan pengumbian dengan konsentrasi N tinggi (60 mM), untuk ketiga
kultivar tersebut di atas. Tidak semua kultivar tanaman kentang dapat tumbuh
dengan baik pada media pertunasan yang konsentrasi N-nya rendah. Padahal
untuk memperoleh produksi umbi mikro dengan kualitas tinggi dibutuhkan tunas
mikro yang berkualitas tinggi sebagai sumber eksplan (Wattimena 1983).
Pemberian N secara berlebihan juga dapat menimbulkan masalah, yaitu
menurunnya kandungan karbohidrat dan kualitas umbi (Thompson & Kelly 1957).
Peningkatan N akan meningkatkan kandungan protein umbi yang diikuti dengan
menurunnya kandungan karbohidrat, akibatnya kandungan bahan kering
cenderung menurun. Konsentrasi N tinggi (60 mM) baik pada media eksplan
maupun media pengumbian dapat menghambat translokasi coumarin sehingga
pembentukan umbi terhambat. Akan tetapi konsentrasi N rendah (2.5 mM) akan
menginduksi pengumbian sampai 95–100% (Stallknecht & Farnsworth 1979).
Selain itu juga dikemukakan bahwa penghambat pembentukan umbi oleh
konsentrasi N tinggi dapat diatasi dengan meningkatkan konsentrasi karbohidrat
(sukrosa) dalam media. Wattimena (1995) mendapatkan konsentrasi nitrogen yang
tepat yaitu 15 mM untuk menghasilkan respon terbaik pada jumlah umbi, ukuran
umbi, bobot basah dan persentase bahan kering umbi mikro yang diiinduksi oleh
coumarin dan kinetin pada keempat taraf pH yang digunakan ( 4.7, 5.7, 6.7 dan
7.7). Meilinda (1990) mengemukakan bahwa pembentukan umbi dihambat oleh
konsentrasi nitrogen yang tinggi (60 mM) dapat diatasi dengan menambahkan
sukrosa dalam konsentrasi yang tinggi (12%).

15

Zat Pengatur Tumbuh
Menurut Wattimena (1988) zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan
senyawa organik yang dapat digunakan untuk memodifikasi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dan diarahkan untuk perbaikan komponen hasil yang
mendukung produksi. ZPT ini menentukan perkembangan tanaman, baik alamiah
maupun sintetik. Selanjutnya Abidin (1993) menyatakan bahwa zat pengatur
tumbuh pada tanaman merupakan senyawa bukan hara yang dalam jumlah sedikit
dapat mendukung, menghambat dan merubah proses fisiologis tanaman. Menurut
Wattimena (1992) terdapat 6 kelompok ZPT, yaitu auksin, giberelin, sitokinin,
asam absisi (ABA), etilen dan retardan. Senyawa-senyawa poliamin (putresin,
spermidin, spermin), polifenolik dan alkohol berantai panjang (triakontanol)
sering digolongkan ke dalam ZPT. Fitokrom walaupun bukan ZPT tetapi
mempunyai pengaruh yang sama dengan ZPT, hanya fitokrom bukan senyawa
organik tetapi jenis pigmen tumbuhan.
Setiap proses morfogenesis ada ZPT yang menghambat dan ada ZPT yang
mendorong, praktek pemberian ZPT untuk proses morfogenesis suatu organ
adalah pemberian ZPT yang mendorong dan senyawa atau ZPT yang menghambat
ZPT penghambat, pada proses pembentukan umbi mikro, sitokinin adalah
pendorong dan giberelin adalah penghambat, karena itu pemberian ZPT untuk
pengumbian in vitro terdiri dari sitokinin, retardan dan inhibitor (coumarin),
retardan sebagai penghambat biosintesis giberelin dan inhibitor sebagai antagonis
terhadap proses penghambatan dari giberelin (Wattimena 1992).
Menurut Suryowinoto dalam Haryadi dan Pamenang (1983) air kelapa yang
baik untuk campuran kultur jaringan adalah kelapa muda yang dagingnya
(endospermanya) sudah berwarna putih tetapi masih dapat disendok. Secara
alamiah air kelapa memberi makan pada embrio. Air kelapa merupakan sumber
unsur hara dan sebagai stimulasi pertumbuhan (Scully 1967). Kemampuan air
kelapa untuk menyokong pertumbuhan jaringan tanaman mula-mula didapatkan
oleh Van Overbeck pada tahun 1944 pada potongan embrio Datura stramonium
(Winata 1995) yang memerlukan faktor untuk pertumbuhannya dan keperluan ini
dicukupi dengan menggunakan air kelapa. Dengan penambahan air kelapa dalam

16

medium aseptik, jaringan tanaman Datura stramonium menjadi tanaman lengkap.
Air kelapa dikenal sebagai salah satu sumber sitokinin (Letham 1974).
George dan Sherrington (1984) menyatakan beberapa penelitian yang telah
dilakukan

memperlihatkan

hasil

bahwa

penambahan

air

kelapa

dapat

meningkatkan pertumbuhan jaringan dalam kultur, baik mendorong pertumbuhan
kalus dan kultur suspensi maupun morfogenesis. Pengaruh air kelapa yang
mendorong pertumbuhan dapat juga disebabkan karena air kelapa dapat
menyangga perubahan pH media. Makin besar konsentrasi air kelapa perubahan
pH media makin menurun (Mandang 1993). Burnet dan Ibrahim (1973) dalam
George dan Sherrington (1984) mendapatkan bahwa penambahan 20% air kelapa
(1/5 bagian dari volume media) diperlukan untuk inisiasi dan pertumbuhan kalus
pada beberapa spesies jeruk dalam media MS (Murashige dan Skoog). Rangan
(1974) dalam George dan Sherrington (1984) memperoleh peningkatan
pertumbuhan Panicum miliaceum yang ditumbuhkan dalam media MS yang
menggunakan 2.4-D dan air kelapa 15%. Steward dan Chaplin (1951) dalam
George dan Sherrington (1984) menunjukkan adanya kerjasama sinergisme antara
2.4-D dan air kelapa dalam menstimulasi pertumbuhan jaringan umbi kentang.
Wattimena (1995) menyatakan bahwa konsentrasi air kelapa 15% adalah yang
optimum pada pengumbian in vitro kentang.
Air kelapa telah diketahui sebagai sumber zat pengatur tumbuh yang kaya,
bagi perkembangan embrio. Salah satu zat tumbuh diantaranya yaitu sitokinin
endogen (Prawiranata et al. 1994). Sitokinin diperlukan dalam pengumbian
kentang secara in vitro. Menurut Wattimena (1983), zat pengatur tumbuh sitokinin
dibutuhkan jika proses pengumbian terjadi dalam keadaan gelap tanpa cahaya.
Sitokinin bekerja dengan memobilisasi hasil metabolisme ke arah lokasi dimana
umbi dibentuk. Palmer dan Smith (1969) mengemukakan bahwa pati aktif dan
sintesa protein dibutuhkan oleh umbi yang sedang terbentuk. Efek mobilitas
sitokinin akan membuat substrat-substrat esensial tersedia untuk proses tersebut.
Peran lain sitokinin dalam pengumbian adalah kemampuannya dalam merangsang
pembelahan

sel

sepanjang

sumbu

longitudinal

yang

berakibat

adanya

pembengkakan umbi. Selain sitokinin air kelapa mengandung IAA (Indole Acetic
Acid) yang merupakan kelompok auksin (Mandang 1993).

17

Air kelapa memiliki pH 4.8–5.3 (Thampan 1981). Hal ini disebabkan
kandungan asam organik yang dijumpai pada air kelapa, dimana asam organik
berfungsi sebagai buffer terhadap perubahan pH (Wattimena et al. 1990).
Beberapa zat pada air kelapa meliputi asam amino, asam nukleat, asam organik,
purin, gula alkohol, gula, vitamin, zat tumbuh dan mineral. Gula yang merupakan
sumber karbohidrat terdapat di dalam air kelapa meliputi sukrosa, glukosa,
fruktosa dan manitol (George & Sherrington 1984). Gula dan alkohol berfungsi
sebagai sumber energi. Gula alkohol yang terkandung dalam air kelapa (inositol)
dalam jumlah 100 mg/l selalu diberikan karena dapat memperbaiki pertumbuhan
tanaman in vitro (Wattimena et al. 1990).
Menurut Dicks (1979) dalam Wattimena (1988) retardan merupakan
senyawa organik sintetik yang bila diberikan pada tanaman yang responsif akan
menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apikal, mengurangi
perpanjangan batang tanpa mempengaruhi per