Studi Efektivitas Surfaktan Dietanolamida (DEA) dari Metil Ester Olein Minyak Sawit pada Proses Bioremediasi Tanah Tercemar Minyak Bumi

STUDI EFEKTIVITAS SURFAKTAN DIETANOLAMIDA (DEA)
DARI METIL ESTER OLEIN MINYAK SAWIT PADA PROSES
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR MINYAK BUMI

NANDA ARISANDIKA SURYA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Studi Efektivitas
Surfaktan Dietanolamida (DEA) dari Metil Ester Olein Minyak Sawit pada Proses
Bioremediasi Tanah Tercemar Minyak Bumi” adalah benar karya saya dengan
arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Nanda Arisandika Surya
NIM F34100101

iii

ABSTRAK
NANDA ARISANDIKA SURYA. Studi Efektivitas Surfaktan Dietanolamida
(DEA) dari Metil Ester Olein Minyak Sawit pada Proses Bioremediasi Tanah
Tercemar Minyak Bumi. Dibimbing oleh ERLIZA HAMBALI dan MOHAMAD
YANI.
Bioremediasi merupakan salah satu alternatif teknologi ramah lingkungan
yang cukup efektif, efisien dan ekonomis yang dapat digunakan untuk
menanggulangi pencemaran limbah minyak. Penambahan surfaktan pada proses
bioremediasi berperan untuk meningkatkan kelarutan minyak dalam fase cairan
sehingga minyak yang dapat didegradasi oleh bakteri bertambah. Tujuan
penelitian ini adalah pengujian kinerja surfaktan dietanolamida pada proses
bioremediasi tanah tercemar minyak bumi. Tanah tercemar minyak bumi

disimulasikan dengan mencampur minyak mentah (crude oil) kedalam tanah yang
kemudian ditambahkan surfaktan DEA, urea dan TSP 36 dalam berbagai
komposisi sebagai bentuk perlakuan. Analisa yang digunakan pada penelitian ini
yaitu uji Total Petroleum Hidrocarbon (TPH), pH, kadar air dan suhu.
Penambahan surfaktan DEA, pupuk urea dan TSP 36 dapat meningkatkan
degradasi TPH pada tanah terkontaminasi minyak bumi. Perlakuan terbaik yang
mampu mendegradasi TPH adalah perlakuan dengan penambahan surfaktan DEA
(2,5%) dengan rasio C:N:P = 100:7:1,4 dengan persentase degradasi sebesar
65,98% selama 42 hari masa inkubasi.
Kata kunci: bioremediasi, degradasi, total petroleum hidrokarbon, surfaktan, DEA

ABSTRACT
NANDA ARISANDIKA SURYA. Effectiveness Study of Surfactant
Diethanolamide (DEA) of Olein Palm Oil Methyl Ester on Soil Bioremediation
Process Contaminated with Petroleum. Supervised by ERLIZA HAMBALI and
MOHAMAD YANI.
Bioremediation is an alternative environmentally friendly technologies that
quite effective, efficient, and economical which can be used to solve pollution of
waste oil. The addition of surfactant in bioremediation processes is to increase the
solubility of the oil in the liquid phase so that oil can be degraded by bacteria

increase. The purpose of this study is testing the performance of surfactant
diethanolamide on bioremediation of petroleum contaminated soil. Petroleum
contaminated soil was simulated by mixing crude oil into the soil which is then
added surfactant DEA, urea and TSP 36 in various compositions as a form of
treatment. The analysis used in this study is the value of Total Petroleum
Hydrocarbon (TPH), pH, moisture content, and temperature. The addition of
surfactant DEA, urea and TSP 36 can increase the degradation of TPH in soil
contaminated with petroleum. The best treatment that can degrade TPH is treated
with the addition of surfactant DEA (2,5%) with a ratio of C: N: P = 100: 7: 1,4
with 65,98% degradation of TPH during the 42 days incubation period.
Keyword: bioremediation, degradation, total petroleum hidrocarbon,
surfactant, DEA

v

STUDI EFEKTIVITAS SURFAKTAN DIETANOLAMIDA (DEA)
DARI METIL ESTER OLEIN MINYAK SAWIT PADA PROSES
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR MINYAK BUMI

NANDA ARISANDIKA SURYA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

vii

Judul Skripsi : Studi Efektivitas Surfaktan Dietanolamida (DEA) dari Metil Ester
Olein Minyak Sawit pada Proses Bioremediasi Tanah Tercemar
Minyak Bumi
Nama
: Nanda Arisandika Surya

NIM
: F34100101

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Erliza Hambali
Pembimbing I

Dr Ir Mohamad Yani MEng
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

ix


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu “Studi Efektivitas Surfaktan Dietanolamida
(DEA) dari Metil Ester Olein Minyak Sawit pada Proses Bioremediasi Tanah
Tercemar Minyak Bumi”. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
teristimewa kepada:
1.
Prof Dr Ir Erliza Hambali dan Dr Ir Mohamad Yani, M.Eng selaku
Pembimbing Akademik atas perhatian dan bimbingannya selama penelitian
dan penyelesaian skripsi.
2.
Ayahanda Hendra Surya dan Ibunda Sipurweni, kakak, beserta seluruh
keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya.
3.
Handayani Dwirianti, Eko Harsono, Fitrian Rahmat Hartanto, Giovanni
Nurpratiwi, dan Mulia Wita atas semangat dan dukungannya.
4.
Keluarga besar TIN 47 atas keceriaan dan kenangan indah tak terlupakan.

5.
Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015
Nanda Arisandika Surya

xi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN


vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Surfaktan
Analisis pH
Analisis Kadar Air dan Suhu
Analisis Kadar TPH
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

1
1
2
2
2
2
2
3
5
5
6
8
10
14
14
15
15
17

25

DAFTAR TABEL
1 Komposisi dari masing-masing perlakuan
2 Karakteristik surfaktan DEA
3 Degradasi dan laju penurunan kadar TPH masing-masing perlakuan

4
5
12

DAFTAR GAMBAR
1
2

Tahapan penelitian
Pengaruh konsentrasi surfaktan DEA terhadap nilai tegangan
permukaan air
3 Perubahan pH pada masing-masing perlakuan selama 42 hari masa
inkubasi

4 Hasil pengukuran kadar air (%) masing-masing perlakuan pada hari
ke-0 dan hari ke-42
5 Hasil pengukuran suhu (ºC) pada masing-masing perlakuan selama
42 hari masa inkubasi
6 Penurunan kadar TPH (%) pada masing-masing perlakuan selama
42 hari masa inkubasi

3
6
7
9
10
11

7

Persentase degradasi TPH (%) dari masing-masing perlakuan

13

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Prosedur analisis surfaktan
Prosedur analisis uji kinerja bioremediasi
Data analisis kadar TPH (%) masing-masing perlakuan selama
42 hari masa inkubasi
Data analisis degradasi TPH (%) masing-masing perlakuan
Data pengukuran suhu (ºC) masing-masing perlakuan
Data pengukuran pH masing-masing perlakuan
Data analisis kadar air (%) masing-masing perlakuan
Data perhitungan tegangan permukaan surfaktan DEA

17
18
20
21
22
22
23
24

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Minyak bumi merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi
pembangunan nasional. Minyak bumi berpotensi menghasilkan limbah yang dapat
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Berbagai kegiatan eksplorasi,
eksploitasi, transportasi, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi minyak mentah
maupun minyak olahan dapat menimbulkan dampak kebocoran dan tumpahan
minyak ke lingkungan. Limbah minyak bumi dikategorikan sebagai limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No. 128 Tahun 2003. Untuk meminimalisir efek negatif yang dihasilkan
oleh limbah tersebut, maka perlu dilakukan upaya pengolahan.
Dalam mengatasi permasalahan mengenai pencemaran limbah minyak,
banyak upaya yang dilakukan baik secara fisika, kimia, maupun biologi. Menurut
Cookson (1995), perbandingan efektivitas biaya terhadap beberapa metode
penanganan limbah minyak yaitu proses insinerasi, landfill, thermal desorption,
pencucian tanah dan bioremediasi per tahun per kubik yard, diketahui bahwa pada
tahun pertama bila menggunakan proses bioremediasi terjadi penghematan biaya
sebesar 67% bila dibandingkan dengan proses insinerasi atau sekitar 74% bila
dibandingkan dengan landfill. Selain itu output yang dihasilkannya pun ramah
lingkungan karena tidak bersifat toksik. Hal ini karena penanganannya dilakukan
dengan cara memanfatkan mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau
daya racun bahan pencemar. Bioremediasi itu sendiri juga bertujuan untuk
memineralisasi kontaminan dengan mengubah senyawa kimia berbahaya menjadi
kurang berbahaya seperti karbon dioksida, senyawa anorganik, air, dan material
lain yang dibutuhkan oleh mikroba pendegradasi (Eweis et al. 1998). Cara ini
merupakan salah satu alternatif teknologi ramah lingkungan, cukup efektif dan
efisien serta ekonomis untuk menanggulangi pencemaran limbah minyak.
Minyak bumi yang memiliki karaktersitik tidak larut dalam air dan terjerap
pada partikel tanah dapat mengurangi bioavailabilitasnya terhadap bakteri
sehingga menjadi faktor pembatas laju biodegradasi. Aktivitas bakteri dalam
biodegradasi berlangsung pada antar muka air-minyak dalam tanah. Alternatif
yang dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menambahkan
surfaktan pada proses bioremediasi. Peran surfaktan dalam proses bioremediasi
adalah meningkatkan bioavailabilitas senyawa polutan yang memiliki kadar solid
yang tinggi sehingga dapat menjadikannya lebih terlarut dalam media. Surfaktan
melalui proses dispersi dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam fase cairan
sehingga permukaan minyak yang dapat didegradasi oleh bakteri bertambah.
Surfaktan telah diaplikasikan secara luas oleh industri perminyakan seperti
untuk membantu menghilangkan tumpahan minyak dan digunakan dalam proses
enhance oil recovery. Surfaktan merupakan teknologi alternatif yang dapat
digunakan untuk meningkatkan laju biodegradasi kontaminan hidrokarbon dari
tanah. Surfaktan yang digunakan umumnya menggunakan bahan baku berbasis
minyak bumi, seperti salah satunya surfaktan LAS (Linier alkylbenzene
sulfonate). Mengingat sifat minyak bumi yang tidak terbarukan dan ketersedian
minyak bumi yang semakin menipis, perlu dilakukannya pengembangan surfaktan

2

yang menggunakan bahan baku terbarukan. Salah satu alternatif yang dapat
digunakan adalah menggunakan surfaktan dietanolamida (DEA) yang berbahan
baku minyak sawit. Keuntungan menggunakan surfaktan berbasis bahan alami
adalah bersifat terbarukan dan bersifat lebih ramah lingkungan dalam proses
produksi dan aplikasi dibandingkan surfaktan yang menggunakan bahan baku
berbasis minyak bumi (Foster 1996). Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan
pengembangan formulasi surfaktan DEA yang dikombinasikan dengan aditif
lainnya agar mampu meningkatkan proses degradasi limbah minyak menjadi lebih
efektif dan efisien.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi hasil uji
kinerja surfaktan dietanolamida yang dihasilkan pada proses bioremediasi tanah
tercemar minyak bumi.
Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.
3.
4.

Sintesis surfaktan DEA menggunakan metil ester olein sawit dengan reaktan
dietanolamina
Pengayaan nutrisi bioremediation agent dilakukan dengan penambahan urea
dan TSP 36.
Model media tercemar yang digunakan adalah campuran tanah dengan
crude oil dari lapangan minyak
Analisis dan uji kinerja surfaktan DEA untuk aplikasi bioremediasi (Total
Petroleum Hidrocarbon, pH, kadar air dan suhu).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research
Center (SBRC) IPB dan Laboratorium Pengawasan Mutu Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Mei hingga November
2014.
Alat dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini meliputi pHmeter Schott, densitymeter DMA 4500M, viscometer Brookfield, gelas piala, labu
erlenmeyer, neraca analitik, pipet volumetric, pipet tetes, waterbath, labu ukur,
labu leher tiga, hot plate, gelas arloji, oven, desikator, corong, spinning drop
interfacial tensiometer, thermometer, cawan alumunium, dan soxhlet.
Bahan yang digunakan adalah metil ester,dietanolamina, minyak mentah
(crude oil) dari lapangan minyak Nglobo (Jawa Tengah), H2SO4 5%, NaOH 30%,
Na2SO4 anhidrat, silika gel, heksana, dolomit, media tanah dari wilayah Bogor,
pupuk urea dan TSP-36.

3

Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan proses (Gambar 1).

Metil Ester
Olein Sawit
Dietanolamina

Urea

Tanah

Sintesis Surfaktan DEA
Bioremediation Agent
Simulasi Tanah
Terkontaminasi
Minyak Bumi

Analisis Fisiko Kimia
Surfaktan DEA
TSP 36

Crude Oil

Inkubasi Media
Uji Kinerja
(pH, suhu, TPH, dan kadar air)
Gambar 1 Tahapan penelitian
Prosedur sintesis surfaktan dietanolamida mengacu pada prosedur yang
dilakukan oleh Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB.
Surfaktan dietanolamida disintesis dari dietanolamina dan metil ester dengan
perbandingan molar sebesar 2:1 yang kemudian ditambahkan katalis berupa
NaOH 30% sebanyak 0.4%. Dilanjutkan dengan proses amidasi selama 4 jam
pada suhu 140 oC dengan kecepatan pengadukan 150-300 rpm. Analisis surfaktan
dietanolamida dilakukan untuk mengetahui spesifikasi teknis bahan baku yang
dipakai selama penelitian. Analisis surfaktan dietanolamida yang dilakukan
meliputi pengukuran pH dengan menggunakan pH-meter Schott, pengukuran
densitas dengan menggunakan density meter DMA 4500M Anthon Paar,
penentuan viskositas menggunakan Rheometer Brookfield dan pengukuran
tegangan permukaan menggunakan spinning drop interfacial tensiometer.
Prosedur analisis surfaktan ditunjukkan pada Lampiran 1.
Pada penelitian ini dilakukan beberapa perlakuan, untuk kontrol yakni
tanah terkontaminasi minyak tanpa penambahan apapun diberi simbol P1, untuk
perlakuan pembanding dilakukan penambahan cairan pupuk khusus bioremediasi
komersial dengan simbol P2. Perlakuan lainnya yaitu adanya penambahan
surfaktan dietanolamida diberi simbol P3. Selain itu terdapat perlakuan yang
dilakukan berdasarkan rasio C:N:P nutrien yang ditambahkan yaitu rasio
100:7:1,4 diberi simbol P4, rasio 100:10,5:1,4 diberi simbol P5 dan rasio

4

100:14:1,4 dengan simbol P6. Selain itu terdapat perlakuan kombinasi antara rasio
C:N:P dengan penambahan surfaktan dietanolamida. Untuk perlakuan rasio C:N:P
100:7:1,4 dengan ditambahkan surfaktan diberi simbol P7, rasio 100:10,5:1,4
dengan ditambahkan surfaktan diberi simbol P8 dan P9 simbol untuk rasio
100:14:1,4 dengan penambahan surfaktan. Komposisi dari masing-masing
perlakuan disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi dari masing-masing perlakuan
Komposisi
Perlakuan

P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9

Tanah
(kg)
6
6
6
6
6
6
6
6
6

Crude
Oil
(ml)
720
720
720
720
720
720
720
720
720

Air
(ml)

Surfaktan
(gram)

Urea
(gram)

702
702
702
702
702
702
702

18
18
18
18

78,26
117,39
156,52
78,26
117,39
156,52

TSP
36
(gram)
20
20
20
20
20
20

Pupuk
khusus
(gram)
720
-

C:N:P
Kontrol
100:7:1,4
100:10,5:1,4
100:14:1,4
100:7:1,4
100:10,5:1,4
100:14:1,4

Pembuatan model tanah tercemar limbah minyak bumi dilakukan dengan
mencampur tanah sebanyak 6 kg dengan crude oil sebanyak 720 ml dan
dimasukkan ke dalam wadah sebagai tempat perlakuan. Tanah yang sudah
terkontaminasi tersebut didiamkan selama 24 jam untuk penstabilan (Dahuru
2003). Sampling dilakukan setiap seminggu sekali. Analisis uji kinerja dilakukan
secara periodik dengan beberapa parameter uji. Pengujian yang dilakukan adalah
TPH (gravimetri), kadar air, suhu (termometer) dan pH tanah (pH meter).
Prosedur analisis uji kinerja ditunjukkan pada Lampiran 2.

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) merupakan suatu senyawa yang memiliki
kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan (surface tension) suatu
medium dan menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) antara dua fase
yang berbeda derajat polaritasnya (Hambali et al. 2012). Surfaktan memiliki dua
gugus berlainan sifat dalam satu molekulnya. Gugus polar bersifat hidrofilik
sehingga mudah larut dalam air, sedangkan gugus non polar bersifat hidrofobik
sehingga larut dalam minyak. Surfaktan mengadsorpsi atau berkonsentrasi pada
permukaan atau pada antarmuka cairan untuk mengubah sifat permukaan secara
signifikan, khususnya untuk mengurangi tegangan permukaan atau tegangan
antarmuka.
Peran surfaktan dalam proses bioremediasi adalah meningkatkan
bioavailabilitas senyawa polutan yang memiliki kadar solid yang tinggi sehingga
dapat menjadikannya lebih terlarut dalam media. Surfaktan melalui proses
dispersi dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam fase cairan sehingga
permukaan minyak yang dapat didegradasi oleh bakteri bertambah (Herdiyantoro
2005). Perbandingan karakteristik surfaktan dietanolamida hasil dari sintesis
dengan penelitian lain disajikan pada Tabel 2. Perbedaan dari karakteristik
surfaktan DEA yang dihasilkan adalah kemampuannya dalam menurunkan
tegangan permukaan air yang lebih rendah dibandingkan dengan surfaktan DEA
hasil penelitian lain.
Tabel 2 Karakteristik surfaktan DEA
Karakteristik
Densitas (g/ml)
Viscositas (cP)
pH
Kemampuan menurunkan
tegangan permukaan air (%)
a
Sumber : Nurminah (2005)

Hasil
sintesis
0,99
675,86
11,09

Penelitian
laina
1,06
10,93

Cocodietanolamida
komersiala
0,98
10,85

33

45,57

42,54

Tegangan permukaan merupakan energi yang dibutuhkan untuk
meningkatkan luas permukaan cairan dalam satuan luas. Kondisi dimana nilai
tegangan permukaan hampir jenuh disebut critical micelle concentration (CMC)
(Purwadayu 2009). Tegangan permukaan dan CMC dapat diukur untuk
menentukan tingkat efektivitas dari surfaktan. Peningkatan konsentrasi surfaktan
mengakibatkan terjadinya penurunan nilai tegangan permukaan hingga mencapai
nilai CMC. Pada penambahan konsentrasi yang lebih tinggi dari nilai CMC,
hampir semua molekul surfaktan membentuk misel dan sedikit molekul yang
teradsorpsi di permukaan sehingga hanya sedikit terjadi perubahan nilai tegangan
permukaan.

6

Gambar 2 menunjukkan nilai tegangan permukaan surfaktan dietanolamida
pada berbagai konsentrasi. Nilai tegangan permukaan air tanpa penambahan
surfaktan sebesar 68,19 dyne/cm. Air mempunyai tegangan permukaan yang lebih
besar diantara kebanyakan cairan karena gaya kohesifnya lebih besar berdasarkan
ikatan hidrogennya (Purwadayu 2009). Hasil pengukuran tegangan permukaan
setelah penambahan surfaktan dietanolamida berkisar antara 45,40-47,20
dyne/cm. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan surfaktan dietanolamida
mampu menurunkan tegangan permukaan sekitar 30-33%. Dari hasil pengukuran
menunjukkan nilai tegangan permukaan terendah pada konsentrasi 2%, 2,5% dan
3% berturut-turut sebesar 45,51 , 45,40 , dan 45,66 dyne/cm. Hal tersebut
menunjukkan bahwa hanya sedikit terjadi perbedaan nilai tegangan permukaan
yang mengindikasikan bahwa pada rentang konsentrasi tersebut merupakan nilai
CMC dari surfaktan DEA. Nilai tegangan permukaan paling rendah diperoleh
pada konsentrasi 2,5% sebesar 45,40 dyne/cm. Menurut Singh (2006) aplikasi
penambahan surfaktan diatas nilai CMC-nya menghasilkan laju biodegradasi yang
lebih baik dibandingkan penambahan surfaktan dibawah nilai CMC-nya.
Sementara menurut Van Homme dan Word (1999), umumnya surfaktan tidak
bersifat racun terhadap mikroorganisme pada penambahan disekitar nilai CMCnya. Data pengukuran tegangan permukaan masing-masing perlakuan secara
lengkap ditunjukkan pada Lampiran 8.

Gambar 2 Pengaruh konsentrasi surfaktan DEA terhadap nilai tegangan
permukaan air
Analisis pH
Proses biodegradasi minyak bumi dipengaruhi oleh nilai pH yang terjadi
pada lingkungan. Nilai pH mempengaruhi kemampuan mikroorganisme dalam
menjaga kelangsungan aktivitas-aktivitas seluler, transpor membran sel, dan
kesetimbangan reaksi yang dikatalis enzim-enzimnya. Menurut Schneider dan
Billingsley (1990), mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
pada kondisi pH netral berkisar antara 6-8. Menurut Dibble dan Bartha (1979) pH

7

optimum untuk proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi oleh bakteri adalah
7,5-7,8 sedangkan fungi pada umumnya lebih toleran terhadap kondisi asam.

Gambar 3 Perubahan pH pada masing-masing perlakuan selama 42 hari masa
inkubasi
Berdasarkan pengukuran pH yang dilakukan setiap minggu, pH yang
terukur berkisar antara 7 – 9. Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa pada awal

8

masa inkubasi terjadi kenaikan pH pada semua perlakuan kecuali perlakuan P9.
Menurut Dwidjoseputro (2003) penguraian senyawa yang mengandung nitrogen
akan membentuk ammonium karbonat yang kemudian terurai menjadi amoniak,
karbondioksida dan air. Amoniak akan bereaksi dengan air menjadi NH4OH dan
dapat menaikkan pH media. Pada perlakuan P4, P5, P6, P7, P8 dan P9 memiliki
nilai pH awal yang terlalu basa akibat adanya penambahan konsentrasi bahan
organik sehingga perlu dilakukan penambahan senyawa asam setelah hari ke-7.
Larutan H2SO4 5% digunakan untuk mengembalikan nilai pH pada kondisi
optimum proses biodegradasi. Hasil penelitian menunjukkan pada umumnya
semua perlakuan mengalami penurunan nilai pH yang hampir sama dan setelah itu
nilai pH cenderung stabil sampai akhir masa inkubasi. Penurunan nilai pH yang
terjadi seperti pada perlakuan P4, P5, P6, P8, dan P9 pada hari ke-21 disebabkan
oleh adanya aktivitas konsorsium bakteri yang membentuk metabolit-metabolit
asam. Menurut Rosenberg et al.(1992) dalam Nugroho (2006), biodegradasi
alkana yang terdapat dalam minyak bumi akan membentuk alkohol dan
selanjutnya menjadi asam lemak yang kemudian akan dioksidasi lebih lanjut
membentuk asam asetat dan propionat sehingga dapat menurunkan nilai pH
medium. Setelah hari ke-21 pH untuk masing-masing perlakuan stabil hingga
akhir masa inkubasi, hal tersebut diduga karena tanah memiliki sifat buffer yang
baik sehingga dapat mempertahankan nilai pH-nya. Data pengukuran pH masingmasing perlakuan secara lengkap ditunjukkan pada Lampiran 6.
Analisis Kadar Air dan Suhu
Kandungan air sangat berpengaruh terhadap aktivitas metabolik dari
mikroorganisme. Komposisi sel mikroorganisme sebagian besar mengandung air
sehingga kandungan air tanah sangat penting untuk aktivitas metabolit pada
proses degradasi hidrokarbon minyak bumi. Oleh karena itu kadar air merupakan
salah satu faktor yang menentukan dalam proses bioremediasi. Menurut Fletcher
(1991) selama bioremediasi, jika kandungan air terlalu tinggi akan mengakibatkan
sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah, sedangkan tanpa air
mikroorganisme tidak dapat hidup dalam limbah minyak karena mikroba akan
hidup aktif di interfase antara minyak dan air. Menurut Santosa et al.(2004) pada
kondisi yang kaya akan oksigen banyak mikroba yang dapat merombak minyak
mentah.
Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan setiap minggu, rata-rata kadar
air perlakuan P1, P2, P3, P4, P5, P6, P7, P8, dan P9 berturut-turut adalah 22,39%,
22,03%, 22,22%, 21,80%, 21,83%, 22,21%, 21,13%, 20,67%, dan 22,09%.
Selama masa inkubasi perawatan kadar air pada seluruh perlakuan dipertahankan
minimal sebesar 20% agar suplai air untuk pertumbuhan mikroba selalu terpenuhi.
Menurut Santosa et al.(2004) pada proses bioremediasi sebaiknya kandungan air
dipertahankan pada kisaran 20-24% untuk tanah dan 13-17% untuk tanah
berpasir. Dibble dan Bartha (1979) menyatakan kelembaban optimum untuk
biodegradasi minyak dilingkungan tanah adalah 30-90% kapasitas penyangga air.
Gambar 4 menunjukkan kadar air pada masing-masing perlakuan pada hari ke-0
dan hari ke-42. Penurunan kadar air tanah ditiap minggunya dipengaruhi oleh
suhu. Suhu secara tidak langsung mempengaruhi tekanan uap atmosfer. Pada

9

cuaca cerah tekanan udara pada permukaan tanah lembab sangat tinggi. Adanya
perbedaan tekanan uap air yang besar antara tanah dengan atmosfer
mengakibatkan penguapan berlangsung cepat (Irawathi 2005). Data hasil
pengukuran kadar air masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Lampiran 7.
30

Kadar Air (%)

25
20

15

H-0

10

H-42

5

0
P1

P2

P3

P4

P5

P6

P7

P8

P9

Perlakuan

Gambar 4 Hasil pengukuran kadar air (%) masing-masing perlakuan pada hari
ke-0 dan hari ke-42
Pada proses biodegradasi, suhu akan mempengaruhi terhadap sifat fisik dan
kimia komponen-komponen minyak dan kecepatan degradasi oleh
mikroorganisme. Pada suhu rendah, viskositas minyak akan meningkat dan
volatilitas dari senyawa hidrokarbon berantai pendek serta kelarutan minyak
dalam air akan menurun sehingga dapat menghambat proses biodegradasi.
Biodegradasi minyak bumi berlangsung pada kisaran suhu yang luas tetapi tidak
selalu menjadi faktor utama yang membatasi biodegradasi jika faktor lingkungan
lain baik (Atlas 1981). Menurut Udiharto (1996) berdasarkan suhu lingkungannya
bakteri dapat digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu: psikrofilik memerlukan
suhu optimum antara 5-15°C, mesofilik memerlukan suhu optimum antara 2540°C dan thermofilik memerlukan suhu optimum antara 45-60°C. Proses
bioremediasi umumnya menggunakan bakteri mesofilik.
Gambar 5 menunjukkan suhu dari masing-masing perlakuan yang dilakukan
pengukuruan setiap tiga hari selama 42 masa inkubasi. Suhu terukur dari masingmasing perlakuan berkisar antara 24-30°C. Pada hari ke-15 terlihat peningkatan
suhu pada perlakuan P4 dan P7 sebesar 28,50 dan 30,50°C melebihi suhu pada
perlakuan lain yang berkisar pada rentang 25-27°C. Sementara pada perlakuan P2,
P5, P6, P8, dan P9 memiliki suhu optimum pada hari ke-18 yang berkisar antara
25,75-30,25°C. Peningkatan suhu dari masing-masing perlakuan hingga suhu
optimumnya diduga akibat adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi
hidrokarbon. Salah satu bentuk energi yang dihasilkan oleh mikroorganisme
dalam proses degradasi adalah panas. Mikroorganisme menghasilkan energi
melalui deretan reaksi redoks, oksidasi-reduksi yang rumit. Mikroorganisme
kemoheterotrof mendapatkan energinya melalui reaksi oksidasi-reduksi yang
menggunakan senyawa organik sebagai sumber karbon (Dahuru 2003). Data
pengukuran suhu secara lengkap ditunjukkan pada Lampiran 5.

10

Gambar 5 Hasil pengukuran suhu (°C) pada masing-masing perlakuan selama
42 hari masa inkubasi
Analisis Kadar TPH
Total petroleum hidrocarbon (TPH) merupakan faktor penting untuk
melihat keberhasilan degradasi hodrokarbon minyak bumi. Metode yang
digunakan pada analisis TPH didasarkan pada perbedaan bobot kering kontrol dan
sampel yang diekstrak dengan heksana. Selisih perbedaan bobot kering tersebut
disimpulkan sebagai total senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam sampel.

11

Nilai TPH awal masing-masing perlakuan yang terukur berkisar antara 5,1%6,3%. Kecilnya nilai TPH awal yang terukur dibandingkan dengan jumlah crude
oil yang ditambahkan pada masing-masing perlakuan mengindikasikan bahwa
crude oil yang digunakan termasuk kategori light crude oil atau minyak mentah
ringan yang memiliki kandungan hidrokarbon dengan rantai pendek dalam jumlah
yang cukup tinggi yang memiliki karakteristik mudah menguap. Menurut
Mulyono (1989) hidrokarbon dengan panjang rantai karbon kurang C15 (titik didih
kurang dari 250°C) bersifat lebih mudah menguap, rantai karbon C15-C25 (titik
didih 250-400°C) menguap lebih lambat sementara rantai karbon lebih dari C25
sulit untuk menguap.

Kadar TPH (% )

7

P1

6

P2

5

P3
y 1 = -0.0607x + 5.6354
R² = 0.97
y 3 = -0.0754x + 5.9814
R² = 0.9399

4
3
2

y 2 = -0.0829x + 5.4342
R² = 0.9019

1
0

0

7

14

21
28
Masa inkubasi (hari)

35

42

49

7

P4

Kadar TPH (% )

6

P5
P6

5
y 6 = -0.0782x + 5.5211
R² = 0.9247

4
3

y 5 = -0.0745x + 5.3905
R² = 0.9508

2

y 4 = -0.0853x + 5.4168
R² = 0.9208

1
0

Kadar TPH (% )

0

7

14

21
28
Masa inkubasi (hari)

35

42

49

7

P7

6

P8

5

P9
y 8 = -0.0949x + 6.0975
R² = 0.9763

4
3

y 9 = -0.0994x + 6.2482
R² = 0.9577

2

y 7 = -0.1061x + 6.1414
R² = 0.9245

1
0
0

7

14

21
28
Masa inkubasi (hari)

35

42

49

Gambar 6 Penurunan kadar TPH (%) pada masing-masing perlakuan selama 42
hari masa inkubasi
Berdasarkan Gambar 6, seluruh perlakuan mengalami penurunan kadar TPH
dari hari ke-0 sampai hari ke-42. Perlakuan P2 yang merupakan perlakuan

12

dengan penambahan pupuk khusus bioremediasi komersial memiliki rata-rata laju
penurunan TPH sebesar 0,0892% perhari. Besarnya laju penurunan tersebut tidak
jauh berbeda dengan perlakuan dengan penambahan nutrien yaitu P4 sebesar
0,0853% perharinya. Namun bila dibandingkan dengan perlakuan penambahan
surfaktan dan nutrien, laju penurunan TPH pada P2 dan P4 lebih kecil. Perlakuan
P7 merupakan perlakuan dengan rata-rata laju penurunan TPH tertinggi sebesar
0,1061% perharinya.
Pada perlakuan P7 dan P4 penurunan kadar TPH paling besar terjadi dihari
ke-21 sedangkan untuk P2 terjadi dihari ke-14. Bila dilihat dari korelasi yang
disajikan grafik penurunan nilai pH, grafik pengukuran suhu dan grafik penurunan
kadar TPH pada masing-masing perlakuan secara umum menunjukkan bahwa dari
periode H-14 hingga H-21 merupakan periode dimana mikroba mendegradasi
hidrokarbon secara optimum. Pada periode tersebut terjadi penurunan pH dan
peningkatan suhu pada perlakuan yang disinyalir merupakan akibat adanya
akitivitas mikroba dalam mendegradasi hidrokarbon minyak bumi yang
mengakibatkan penurunan kadar TPH yang cukup besar dari masing-masing
perlakuan.
Pada hari ke-28 sampai hari ke-42 laju penurunan TPH pada semua
perlakuan semakin lambat. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin
bertambahnya waktu inkubasi laju penurunan TPH semakin lambat yang
disebabkan pada awal inkubasi bakteri akan menggunakan hidrokarbon minyak
bumi yang lebih mudah untuk didegradasi terlebih dahulu sebagai sumber karbon.
Leahly dan Colwell (1990) menyatakan bahwa pada proses bioremediasi
hidrokarbon minyak bumi fraksi yang lebih mudah untuk didegradasi adalah
fraksi parafinik dibandingkan fraksi naftenik dan aromatik. Laju penurunan TPH
perharinya pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3. Perlakuan
dengan laju penurunan kadar TPH paling besar adalah perlakuan P7 dengan
konsetrasi TPH awal sebesar 6,09% dan konsentrasi akhir sebesar 2,07% dengan
rata-rata laju penurunan sebesar 0,1061% per hari. Berdasarkan persamaan regresi
(Gambar 6) dapat diduga penurunan kadar TPH agar mencapai 1% pada
perlakuan P7 membutuhkan waktu sekitar 49 hari. Data hasil analisis kadar TPH
masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Lampiran 3.
Tabel 3 Degradasi dan laju penurunan kadar TPH masing-masing perlakuan
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9

Degradasi
TPH (%)
46,54 ± 1,18
58,97 ± 7,92
47,56 ± 1,92
58,37 ± 3,35
54,26 ± 0,14
53,84 ± 1,04
65,98 ± 0,98
61,55 ± 4,25
61,17 ± 0,06

Laju penurunan
TPH (%/hari)
0,0607
0,0829
0,0754
0,0853
0,0745
0,0782
0,1061
0,0949
0,0994

13

Berdasarkan hasil analisa yang ditunjukkan oleh Gambar 7, degradasi TPH
terbesar terjadi pada perlakuan P7 (penambahan surfaktan DEA dan rasio C:N:P =
100:7:1,4) sebesar 65,98%, diikuti oleh perlakuan P8 (penambahan surfaktan
DEA dan rasio C:N:P = 100:10,5:1,4) sebesar 61,55%, kemudian perlakuan P9
(penambahan surfaktan DEA dan rasio C:N:P = 100:14:1,4) sebesar 61,17%,
kemudian perlakuan P2 (penambahan pupuk khusus bioremediasi komersial)
sebesar 58,97%, dan perlakuan P4 (tanpa penambahan surfaktan DEA dan rasio
C:N:P = 100:7:1,4), perlakuan P5 (tanpa penambahan surfaktan DEA dan rasio
C:N:P = 100:10,5:1,4), perlakuan P6 (tanpa penambahan surfaktan DEA dan rasio
C:N:P = 100:14:1,4), P3 (hanya dilakukan penambahan surfaktan DEA) serta
P1(kontrol) yang masing-masing mempunyai persentase degradasi sebesar
58,37%, 54,26%, 53,84%, 47,56%, dan 46,54%. Data analisis degradasi TPH
masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Lampiran 4.
80
70
Degradasi (%)

60
50
40
30
20
10
0
P1

P2

P3

P4
P5
P6
Kode perlakuan

P7

P8

P9

Gambar 7 Persentase degradasi TPH (%) dari masing-masing perlakuan
Ketersediaan nutrien sangat penting dalam proses bioremediasi, dipertegas
oleh Zhou dan Crawfer (1995) yang menyatakan bahwa mikroba dapat
menggunakan hidrokarbon minyak bumi sebagai sumber karbon untuk
pertumbuhannya, namun unsur hara lain seperti nitrogen dan fosfor juga
diperlukan dalam biosintesis dari metabolit primer dan pembentukan bagianbagian dari biomasa sel. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan P3 yang merupakan
perlakuan dengan penambahan surfaktan DEA tanpa adanya penambahan nutrien
memiliki pernurunan kadar TPH yang tidak jauh berbeda dengan kontrol yaitu
perlakuan P1. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Wrabel
dan Peckol (2000) yang mempelajari tentang efektivitas pemakaian nutrien (N dan
P) pada populasi mikroba laut asli sebagai teknik bioremediasi untuk merespon
tumpahan minyak disepanjang pantai Atlantik Utara, yang menunjukkan adanya
penguraian minyak yang lebih besar oleh mikroba pada lingkungan yang
diperkaya nutrien bila dibandingkan dengan lingkungan yang tidak diperkaya
nutrien.
Perlakuan yang memiliki persen degradasi yang tinggi adalah perlakuan P7,
P8, dan P9 yang bahkan lebih baik dibandingkan dengan perlakuan P2 yang
merupakan perlakuan dengan pupuk khusus bioremediasi komersial. Pada ketiga

14

perlakuan tersebut merupakan kombinasi dari penambahan surfaktan DEA dan
nutrien untuk meningkatkan biodegradasi minyak bumi. Dari ketiga perlakuan
tersebut yang membedakan adalah rasio penambahan nitrogen yang berbeda-beda.
Namun dalam hal ini penambahan urea sebagai sumber N tidak berbanding lurus
dengan persentase degradasi, hal tersebut ditunjukkan dengan penambahan urea
dalam jumlah yang lebih sedikit pada perlakuan P7 dibandingkan perlakuan P8
dan P9 namun memiliki tingkat degradasi yang lebih tinggi. Hal tersebut juga
terjadi pada perlakuan dengan penambahan nutrien saja, dimana perlakuan P4
memiliki tingkat degradasi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan P5 dan P6.
Hal ini mengindikasikan bahwa rasio optimum C:N:P yang dibutuhkan dalam
proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi sebesar 100:7:1,4. Penggunaan
rasio C/N pada penelitian ini didasarkan pada perbandingan C/N yang dibutuhkan
proses bioremediasi sebesar 100:10-100:1. Hal tersebut didukung dengan
pernyataan Rehm dan Reed (2000) dalam Surtiningsih (2007) bahwa
perbandingan karbon dengan nitrogen yang dibutuhkan untuk proeses
bioremediasi petroleum hidrokarbon berkisar antara 100:10 sampai 100:1.
Secara umum penambahan surfaktan DEA dan nutrien mampu menstimulasi
proses biodegradasi pada tanah yang terkontaminasi minyak bumi. Tiehm dan
Stieber (2001) menyatakan penambahan surfaktan dapat meningkatkan
bioavailabilitas secara signifikan dari tanah yang terkontaminasi. Surfaktan
mampu memperluas kontak permukaan minyak dengan air melalui pembentukan
mikro emulsi dan ketersediaan biologis untuk keperluan mikroorganisme. Dengan
meningkatnya kontak permukaan minyak dan air akan mempermudah masuknya
suplai oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme pada permukaan
senyawa hidrokarbon dimana kondisi ini sangat membantu mikroorganisme untuk
lebih cepat dalam mendegradasi limbah minyak bumi. Hal tersebut diperkuat oleh
Charlena et al. (2011) yang meneliti tentang biodegradasi limbah minyak berat
menggunakan isolat tunggal dan campuran dengan penambahan surfaktan liniear
alkylbenzene sulfonat (LAS), yang menunjukkan persentase degradasi perlakuan
dengan penambahan surfaktan LAS lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa
penambahan surfaktan LAS.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan surfaktan DEA serta
nutrien berupa urea dan TSP 36 sebagai sumber N dan P dapat meningkatkan laju
degradasi TPH dalam tanah terkontaminasi minyak bumi. Perlakuan terbaik yang
mampu mendegradasi TPH adalah P7, yaitu perlakuan penambahan surfaktan
DEA (2,5%) dengan rasio C:N:P = 100:7:1,4 dengan persentase degradasi sebesar
65,98% selama 42 hari masa inkubasi.

15

Saran
Perlu dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap degradasi hidrokarbon minyak bumi dalam
proses bioremediasi, serta perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai
penggunaan surfaktan DEA dengan karakteristik yang lebih baik untuk
mengoptimalkan efektivitas dalam proses bioremediasi.

DAFTAR PUSTAKA
Atlas RM. 1981. Microbial Degradation of Petroleum Hydrocarbons: an
Environmental Perspective. Microbiol Rev 45(1):180-209.
Charlena, Mas’ud ZA, Yani M, Sjahriza A, Tarigan JG. 2011. Biodegradasi
Limbah Minyak Berat Menggunakan Isolat Tunggal dan Campuran dengan
Penambahan Alkilbenzene Sulfonat Liniear. Di dalam: Seminar Nasional
Kimia Terapan Indonesia 2011 “Potensi Riset Kimia Terapan dalam
Mendukung Pembangunan Iptek Berbasis Inovasi”.Tangerang (ID). 24 Mei
2011. hlm 182-189.
Cookson JT Jr. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. New
York (US). Mc. GrawHill.
Dibble JT, Bartha R. 1979. Effet of Environmental Parameters on The
Biodegradation of Oil Sludge. Applied Environ Microbial. 37: 729-739.
Dahuru M. 2003. Pengaruh Mikroorganisme dari Kotoran Kuda dan Surfaktan
pada Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Disel [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dwidjoseputro D. 2003. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Eweis JB, Ergas SJ, Chang EDDPY, Schoroeder, Ed., 1998. Bioremediation
Principles. New York (US). McGrawHill, Inc.
Foster NC. 1996. Sulfonation and Sulfation Processes. In: Spitz L. (Ed). Soap and
Detergents: A Theoritical and Practical Riview. Champaign, Illinois: AOCS
Press.
Fletcher RD. 1991. Practical Consideration During Bioremediation. dalam Wise
DL dan DJ Trantolo. 1992. Remediation of Hazardous Waste Contaminated
Soils. New York (US). Marcel Dekker, Inc.
Hambali E, Suryani A, Rivai M. 2012. Teknologi Surfaktan dan Aplikasinya.
Bogor (ID) : IPB Pr.
Herdiyantoro D. 2005. Biodegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi oleh Bacillus Sp.
Galur ICBB 7859 dan ICBB 7865 dari Ekosistem Air Hitam Kalimantan
Tengah dengan Penambahan Surfaktan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Irawathi T, 2005. Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi dengan
Menggunakan Bacillus popilliae ICBB 7859 di PT. Caltex Pacific Indonesia
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Laehly JG, Colwell RR. 1990. Microbial Degradation of Hidrocarbon in The
Environmental. Microbiol Rev. hlm 305-315.

16

Mulyono M. 1989. Hidrokarbon di lingkungan perairan. Jakarta (ID): PPPTMGB
Lemigas.
Nugroho, A. 2006. Biodegradasi ‘Sludge’ Minyak Bumi dalam Skala
Mikrokosmos. Makara Teknologi. 10 (2): 82-89.
Nurminah M. 2005. Kajian Pengaruh Rasio Mol Reaktan, Suhu, Dan Lama
Reaksi Dalam Pembuatan Surfaktan Dietanolamida Dari Metil Ester Dominan
C12 Minyak Inti Sawit [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Purwadayu AS. 2009. Profil Kelarutan Minyak Bumi Dalam Air Akibat Pengaruh
Surfaktan Noninoik dan Laju Pengadukan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Rehm,J.H. & Reed,G (2000). Biotechnology, Weinheim:Wily-VCH.
Santosa, D. A, Listiyawati, T. Irawathi, D, Herdiyantoro, R. W. U Ananda, dan S.
Adiwibowo. 2004. Biotechnology for Remediation of Oil Sludge and
Petroleum Contaminated Ecosystem Using Bacteria Isolated from Indonesia
Region. Bogor (ID): Environmental Research Center, IPB.
Schneider DR dan RJ Billingsley. 1990. Bioremediation: A Desk Manual for the
Environmental Professional. Pudvan Publishing Company Incorporation.
Singh A, Van Hamme JD, Ward OP. 2006. Surfactant in Microbiology and
Biotechnology: Part 2, Application Aspects. Biotechnology Advance, 25: 99121.
Surtiningsih T. 2007. Bioremediasi Tumpahan Minyak Mentah Dengan Metode
Biostimulasi Nutrien Organik Di Lingkungan Pantai Surabaya Timur. Berkas
Penelitian Hayati, 13: hlm 91-96.
Tiehm A, Stieber M. 2001. Strategies to Improve PAH Bioavailability: Addition
of Surfactants Ozonation and Application of Ultrasound. Di dalam: Stegmann
R, Brunner G, Calmano W Matz G, editors. Treatment of Contaminated Soil.
Berlin, Heidelberg, New York Barcelona, Hongkong, London, Milan, Paris,
Singapore, Tokyo: Springer. hlm 299-323.
Udiharto M. 1996. Bioremediasi Minyak Bumi. Di dalam: Prosiding Pelatihan
dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan;
Cibinong (ID), 24-28 Juni 1996. hlm 24-39.
Van Hamme JD, Word OP. 1999. Influence of Chemical Surfactants on the
Biodegradation of Crude Oil by Mixed Bacteria Culture. Can J Mikrobiol, 45:
130-7.
Wrabel ML, Peckol P, 2000. Effects of Bioremediation on Toxicity and Chemical
Composition of No. 2 Fuel Oil: Growth Responses or the Brown Alga Fucus
vesiculosus. Marine Pollution Bulletin, 40(2): 135-1.
Zhou E, Crawford RL. 1995. Effect of Oxygen, Nitrogen and Temperature on
Gasoline Biodegradation in Soil. Biodegradation, 6: 127-140.

17

Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan
a.

Pengukuran pH dengan pH-meter Schott

Pengujian pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter Schott. Nilai pH
dari surfaktan ini menggunakan prinsip potensiometrik. Kesalahan pengukuran
dihindari dengan cara melakukan kalibrasi menggunakan larutan buffer standar.
Alat pH-meter Schott menggunakan buffer pH 4.0, 7.0, dan 10.0 sebagai larutan
standar.kalibrasi dilakukan dengan mencelupkan elektroda gelas ke dalam larutan
standar hingga alat menunjukkan nilai yang sesuai.
Elektroda gelas dicelupkan ke sampel yang berupa air injeksi. Pembacaan
dilakukan setelah alat menunjukkan nilai yang stabil. Untuk memperoleh tingkat
akurasi yang baik, pengukuran dilakukan secara duplo. Selisih maksimal angka
yang diperoleh dari dua kali pengukuran lebih dari 0,2. Jika selisihnya lebih dari
0,2 maka harus dilakukan kalibrasi alat dan pengukuran ulang.
b. Pengukuran densitas menggunakan Density Meter DMA 4500M
Densitymeter DMA 4500M dinyalakan. Sebelum dipakai, sel pengukuran
harus dipastikan dalam kondisi kering dan bersih. Suhu pengukuran diatur pada
70oC dan dilakukan kalibrasi. Sampel yang hendak diuji diinjeksikan ke dalam sel
pengukuran dan dibiarkan selama beberapa saat hingga suhu 70oC tercapai.
Setelah suhu tersebut tercapai, pengukuran dilakukan. Pembacaan dilakukan
setelahh alat menunjukkan nilai dan keterangan yang stabil dan valid.
c.

Penentuan viskositas menggunakan Viscometer Brookfield Model RV,
HA, HB

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Viscometer Brookfield model
RV, HA, HB. Spindle dipasang ke viskometer, kemudian diturunkan perlahan
hingga spindle masuk ke dalam sampel. Sampel yang diisikan tidak boleh
berlebihan karena volume contoh sangat menentukan sistem kalibrasi. Untuk
memperoleh contoh yang mewakili, ketinggian cairan harus setara dengan garis
kira-kira 3,2 mm di atas bagian atas spindle yang meruncing.
Viskometer kemudian dijalankan pada kecepatan 20 rpm. Setelah itu
pembacaan nilai viskositas dapat dilakukan setiap 60 detik dari setiap temperatur
yang diinginkan. Bila hasil pembacaan terletak pada rentang angka 2 dan 98,
maka pengujian dapat dilanjutkan. Bila pada hasil pembacaan terendah masih
diatas angka 98, pengukuran harus diulang dengan menggunakan spindle yang
lebih kecil. Untuk mendapatkan hasil pengukuran dalam centipoise (cP) maka
hasil pembacaan harus dikalikan dengan faktor viskositas.

18

d. Pengukuran tegangan
Tensiometer

permukaan

menggunakan

Spinning

Drop

Pengukuran tegangan permukaan dilakukan dengan menggunakan alat
Spinning drop tensiometer. Larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung sampel
hingga hampir penuh namun diberi sedikit ruang untuk udara didalamnya
kemudian tabung ditutup dan dimasukkan ke dalam alat Spinning Drop
Tensiometer. Kemudian suhu dan kecepatan rotasi alat diset. Nilai Tegangan
permukaan sampel diperoleh dari nilai diameter gelembung udara didalam tabung
yang kemudian dikonversikan menjadi tegangan permukaan secara otomatis oleh
alat.

Lampiran 2 Prosedur analisis uji kinerja bioremediasi
a.

Pengukuran TPH (Alef & Nannipieri 1995)

Pengukuran nilai TPH dilakukan dengan memodifikasi metode Alef &
Nannipieri (1995). Sebanyak 5 gram tanah diekstrak dengan n-heksana. Ekstrak
yang diperoleh dihilangkan kandungan airnya dengan Na2SO4 anhidrat lalu
disaring. Sampel kemudian ditambahkan silika gel untuk menghilangkan
senyawa-senyawa polar dan disaring. Pelarut kemudian diuapkan hingga kering.
Labu yang telah kering dipanaskan dalam oven pada suhu 70 ºC selama 45 menit
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Bobot yang terukur
merupakan residu minyak (nilai TPH).

% Degradasi =

TPH0 – TPHn
TPH0

x 100%

TPH0 = TPH minggu ke-0
TPHn = TPH minggu ke-n

b. Pengukuran kadar air (SNI 03-1965-1990)
Cawan dioven selama 1 jam, lalu dikering anginkan dalam desikator selama
15 menit. Diambil 2-3 gram masing-masing sampel dimasukkan ke dalam cawan
lalu ditimbang, kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105°C selama
5 jam. Sampel didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang bobot
akhirnya sampai bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan :
% Kadar air =

Berat sampel basah – berat sampel kering
Berat sampel basah

x 100%

19

c.

Pengukuran pH

Sebanyak 5 g sampel tanah ditimbang, kemudian ditambah aquades 45 ml
dengan perbandingan 1:9. Dilakukan pengadukan selama 30 menit, didiamkan
selama 10 menit, lalu diukur dengan pH meter.

d. Pengukuran suhu
Pengukuran suhu dilakukan setiap tiga hari dengan menggunakan
termometer. Termometer ditancapkan pada tanah selama 10 menit pada dua titik.

2

Lampiran 3 Data analisis kadar TPH (%) masing-masing perlakuan selama 42 hari masa inkubasi
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9

0
5.8674 ± 0.0934
5.7132 ± 0.0242
5.8756 ± 0.4561
5.5173 ± 0.1754
5.1148 ± 0.1080
5.2245 ± 0.0900
6.0917 ± 0.3830
6.2611 ± 0.0004
6.1627 ± 0.5757

7
14
5.1932 ± 0.2333 4.5192 ± 0.4086
5.2939 ± 0.3876 3.5417 ± 0.9156
5.6963 ± 0.2997 5.2396 ± 0.1715
4.8724 ± 0.4208 4.6141 ± 0.1559
4.9697 ± 0.2088 4.7113 ± 0.2462
5.1274 ± 0.0760 4.9735 ± 0.2415
5.3857 ± 0.0657 5.3411 ± 0.1617
5.5171 ± 0.1510 4.6978 ± 0.4402
5.8370 ± 0.6404 5.1107 ± 0.4472

Hari ke21
4.2396 ± 0.2840
3.4820 ± 0.1046
3.9950 ± 0.1119
3.1707 ± 0.0429
3.9922 ± 0.1763
3.8249 ± 0.4588
3.5957 ± 0.1267
3.9787 ± 0.0187
3.8203 ± 0.1695

28
3.9387 ± 0.1780
2.9613 ± 0.4950
3.5527 ± 0.0524
2.5138 ± 0.2966
2.9334 ± 0.0630
2.8452 ± 0.2297
2.4397 ± 0.6545
3.0447 ± 0.1982
2.9890 ± 0.1145

35
3.6286 ± 0.0844
2.5117 ± 0.6728
3.3574 ± 0.0143
2.3804 ± 0.3089
2.7181 ± 0.0103
2.7488 ± 0.0101
2.4594 ± 0.2289
2.8203 ± 0.0393
2.8081 ± 0.0683

42
3.1381 ± 0.1193
2.3423 ± 0.4424
3.0725 ± 0.1262
2.3028 ± 0.2577
2.3399 ± 0.0567
2.4128 ± 0.0959
2.0763 ± 0.1903
2.4077 ± 0.2658
2.3928 ± 0.2201

21

Lampiran 4 Data analisis degradasi TPH (%) masing-masing perlakuan
TPH H-0
(gr)
1 346.4399
2 357.6527
Rata-rata
1 344.2445
2 341.3451
Rata-rata
1 379.9030
2 325.1736
Rata-rata
1 341.5619
2 320.5095
Rata-rata
1 300.4071
2 313.3659
Rata-rata
1 308.0698
2 318.8703
Rata-rata
1 388.4818
2 342.5204
Rata-rata
1 375.6931
2 375.6394

Perlakuan Ulangan
P1

P2

P3

P4

P5

P6

P7

P8

P9

1 404.2997
2 335.2216
Rata-rata

TPH H- Degradasi
42 (gr)
(%)
181.1274
47.72%
195.4473
45.35%
46.54%
113.9953
66.89%
167.0782
51.05%
58.97%
191.9213
49.48%
176.7763
45.64%
47.56%
153.6319
55.02%
122.7039
61.72%
58.37%
136.9931
54.40%
143.7933
54.11%
54.26%
139.0127
54.88%
150.5243
52.79%
53.84%
135.9941
64.99%
113.1594
66.96%
65.98%
128.5151
65.79%
160.4058
57.30%
61.55%
156.7771
61.22%
130.3627
61.11%
61.17%

22
Lampiran 5 Data pengukuran suhu (ºC) masing-masing perlakuan
Perlakuan

0
25.25
25.25
25.25
25.50
25.50
26.25
25.75
25.25
25.25

P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9

3
25.25
25.50
26.75
24.75
24.50
24.50
26.25
24.75
25.00

6
25.25
25.25
25.25
26.00
25.75
25.25
25.25
24.75
24.50

9
26.00
25.75
26.00
25.00
25.00
25.25
24.50
24.75
24.25

12
26.25
26.75
26.00
28.50
24.50
24.75
25.50
25.00
24.75

15
25.50
27.00
26.25
28.50
27.25
25.75
30.50
27.25
25.75

18
25.75
27.75
25.50
27.75
30.25
30.25
28.50
30.25
28.75

Suhu (°C)
21
24.75
24.50
24.50
25.00
26.25
25.75
24.75
26.25
25.00

24
25.25
26.00
26.50
25.75
26.50
27.25
26.25
27.00
27.00

27
26.00
26.25
26.50
26.50
26.25
26.75
26.50
27.00
27.50

30
26.00
26.00
25.25
24.75
24.75
26.25
25.50
25.25
26.50

Lampiran 6 Data pengukuran pH masing-masing perlakuan
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9

H-0
7.33 ± 0.05
7.64 ± 0.06
7.43 ± 0.02
8.78 ± 0.01
8.95 ± 0.11
9.10 ± 0.08
8.51 ± 0.01
8.90 ± 0.01
9.12 ± 0.01

H-7
7.58 ± 0.12
7.70 ± 0.02
7.71 ± 0.03
9.08 ± 0.01
9.07 ± 0.07
9.12 ± 0.00
8.80 ± 0.01
8.92 ± 0.04
8.65 ± 0.23

H-14
7.63 ± 0.03
7.63 ± 0.02
7.63 ± 0.03
7.72 ± 0.00
7.83 ± 0.05
8.06 ± 0.04
7.62 ± 0.00
7.91 ± 0.01
7.89 ± 0.08

pH
H-21
7.62 ± 0.06
7.58 ± 0.03
7.62 ± 0.13
7.61 ± 0.00
7.55 ± 0.01
7.68 ± 0.00
7.61 ± 0.00
7.55 ± 0.03
7.56 ± 0.02

H-28
7.65 ± 0.03
7.57 ± 0.04
7.57 ± 0.02
7.71 ± 0.05
7.66 ± 0.01
7.65 ± 0.02
7.63 ± 0.05
7.57 ± 0.02
7.54 ± 0.05

H-35
7.57 ± 0.00
7.54 ± 0.04
7.54 ± 0.07
7.63 ± 0.00
7.61 ± 0.02
7.65 ± 0.01
7.55 ± 0.02
7.57 ± 0.03
7.53 ± 0.06

H-42
7.50 ± 0.03
7.51 ± 0.04
7.47 ± 0.03
7.64 ± 0.03
7.61 ± 0.02
7.63 ± 0.01
7.50 ± 0.02
7.57 ± 0.03
7.50 ± 0.06

33
26.75
26.50
26.25
25.75
26.25
26.25
26.00
26.50
25.75

36
26.00
26.00
25.75
25.25
26.00
26.00
25.75
25.75
25.50

39
25.50
25.50
24.25
24.50
25.50
25.00
24.75
24.50
25.50

42
25.00
24.75
25.50
24.75
24.75
25.50
25.25
25.25
25.25

Lampiran 7 Data analisis kadar air (%) masing-masing perlakuan

Perlakuan
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9

H-0
25.3209 ± 0.5847
25.4066 ± 0.2018
26.0082 ± 0.0883
25.7700 ± 0.4578
24.2165 ± 0.1012
26.4832 ± 1.1217
26.4430 ± 0.6006
24.3548 ± 0.8408
26.3848 ± 0.1547

H-7
19.7812 ± 0.1665
18.6598 ± 1.0334
18.6110 ± 0.5365
19.7221 ± 1.4238
22.0652 ± 0.1068
20.2512 ± 0.8748
20.5778 ± 0.8834
19.7743 ± 0.1660
21.0042 ± 1.3752

H-14
19.4784 ± 0.0392
19.3158 ± 0.2168
17.9536 ± 0.5815
21.0654 ± 1.5405
19.9395 ± 0.1649
20.2315 ± 0.0916
18.7336 ± 0.7216
18.2745 ± 1.1590
19.3795 ± 1.2074

Kadar air (%)
H-21
24.3789 ± 0.0099
23.1922 ± 0.8158
22.