Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik

ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP
NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik

CANDRI YUNIAR ROISY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kebijakan
Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Candri Yuniar Roisy
NIM H14100066

ABSTRAK
CANDRI YUNIAR ROISY. Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap
Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh DIDIN S.
DAMANHURI
Orientasi pembangunan sektor perikanan adalah peningkatan produksi
nasional melalui modernisasi dengan kapitalisasi yang justru akan membuka
peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya
terhadap nelayan serta mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi
dalam perikanan tangkap di Kota Semarang. Metode penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan data berupa data primer dan data
sekunder. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisis ketimpangan distribusi
pendapatan, sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan
wawancara mendalam (indepth interview) dengan analisis ekonomi politik dan
analisis gejala kompradorisasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

terdapat ketimpangan distribusi pendapatan nelayan responden dalam kategori
sedang akibat kebijakan yang tidak menyeluruh pada lapisan masyarakat nelayan.
Gejala kompradorisasi terdapat pada aliran masuk modal melalui pola pemasaran
dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang sebagai kelas komprador.
Kata kunci: ekonomi politik, kebijakan perikanan tangkap, kompradorisasi,
nelayan.

ABSTRACT
CANDRI YUNIAR ROISY. Analysis of Capture Fisheries Policy toward
Fisherman of Semarang City : Political Economy Perspective. Supervised by
DIDIN S. DAMANHURI.
The orientation of development on the fisheries sector is increasing national
production through the modernization with a capitalization that it would open the
risks of poverty for the fishermen. This research aims to analyse capture fisheries
policy of Semarang City and its impact on fishermen and identify whether or not
the symptoms of compradorization of capture fisheries in Semarang City. This
research method used qualitative and quantitative approaches using primary and
secondary data. The quantitative approach using analysis of unequal distribution
income, while a qualitative approach using indepth interview with analysis of
political economy and analysis of compradorization symptoms. The result of this

research shows that there are disparities in the distribution income of respondents
in the average category due to policies that did not extend to the fisherman
community. Compradorization symptoms are found on the capital inflow of
marketing system with the Department of Marine and Fisheries of Semarang City
as the comprador class.
Keywords: capture fisheries policy, compradorization, fisherman, political
economy.

ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP
NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik

CANDRI YUNIAR ROISY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis
Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif
Ekonomi Politik” dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini ditujukan untuk
memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri,
SE MS DEA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan,
saran, nasihat dan motivasi selama penulisan skripsi ini. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Sjahbuddin
Ezzat dan Ibu Sri Dwiana Rusmiwahjani atas doa, motivasi serta kasih sayang
kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara Aga
Haditaqy, kakak tercinta Okti Syah Isyani Permatasari serta adik-adik tersayang
Adam, Arif, Hasna dan Usman yang selalu memberikan motivasi, doa serta

bantuan dalam proses penulisan skripsi. Tidak lupa terima kasih penulis ucapkan
kepada Anggi, Anggit, Nisa, Dita, Mpy, Aka, Itoh, teman-teman satu bimbingan,
teman-teman Ilmu Ekonomi 47, 48 dan 49, keluarga besar HMI cabang Bogor dan
HMI cabang Bogor Komisariat FEM serta sahabat-sahabat yang selalu memberi
semangat dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih
tak lupa penulis sampaikan kepada Beasiswa Penelitian Bidik Misi yang telah
membantu dalam biaya penelitian skripsi ini. Terima kasih juga kepada semua
pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam proses penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2015
Candri Yuniar Roisy

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR


xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian


5

Manfaat Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

6

Teori Ekonomi Politik
Teori Surplus Values dan Teori Ketergantungan
Kebijakan Perikanan Tangkap

6
8
9

Karakteristik Nelayan


11

Penelitian Terdahulu

12

Kerangka Pemikiran

14

METODE PENELITIAN

15

Lokasi dan Waktu Penelitian

16

Jenis dan Sumber Data


16

Metode Analisis

17

Analisis Ekonomi Politik

18

Analisis Gejala Kompradorisasi

18

Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan

18

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


21

Kondisi Geografi Kota Semarang

21

Kondisi Demografi Kota Semarang

22

Kondisi Perekonomian Kota Semarang

23

Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

23

Distribusi Pendapatan


24

Kondisi Perikanan Tangkap Kota Semarang
KARAKTERISTIK RESPONDEN

25
26

HASIL DAN PEMBAHASAN

28

Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Kota Semarang

28

Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang

33

Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap

33

Program Pemberdayaan Nelayan

36

Pola Bagi Hasil dan Permodalan Penangkapan Ikan

39

Sistem Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan

42

Distribusi Pendapatan Nelayan Responden

43

Kemiskinan Struktural dan Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota
Semarang
45
Kemiskinan Struktural Nelayan Kota Semarang

45

Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang

47

SIMPULAN DAN SARAN

49

Simpulan

49

Saran

50

DAFTAR PUSTAKA

51

LAMPIRAN

54

RIWAYAT HIDUP

58

DAFTAR TABEL
Tabel
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Halaman
Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011
Peraturan Perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan
konflik
Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap
luas Kota Semarang
Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis
kelamin tahun 2013
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang menurut
lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010-2012
Pendapatan regional per kapita dan laju pertumbuhan PDRB Kota
Semarang
Ketimpangan pendapatan di Kota Semarang tahun 2007-2011
berdasarkan koefisien gini dan Bank Dunia
Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota
Semarang tahun 2007-2012
Karakteristik nelayan responden
Program-program pembangunan kelautan dan perikanan Kota
Semarang 2010-2014
Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada
TPI Tambaklorok dan kelompok nelayan tahun 2004-2013
Jumlah nelayan Kota Semarang
Jumlah nelayan per kecamatan pesisir Kota Semarang tahun 20082013
Jumlah kapal motor tempel dan produksi perikanan tangkap Kota
Semarang tahun 2008-2013
Jumlah alat tangkap perikanan Kota Semarang berdasarkan
jenisnya tahun 2004-2013
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang tahun 2011-2013
dari TPI Tambaklorok
Besarnya dana bantuan Program PEMP berdasarkan penerima
program di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2003
Pinjaman pokok macet di Kelurahan Tanjung Mas sampai dengan
bulan April 2004
Distribusi pendapatan responden

2
10
21
22
23
24
25
25

27
29
30
30
31
31
32
34
37
37
45

DAFTAR GAMBAR
Gambar
1
2
3
4

Halaman
Kerangka pemikiran
Kurva Lorenz
Jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan menurut
jenis penangkapan tahun 2013
Pola pemasaran komoditas rajungan

15
20
26
43

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1
2
3

Halaman
Peta lokasi penelitian
Distribusi pendapatan nelayan responden
Rencana kegiatan penelitian

54
55
57

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dikaruniai potensi sumber daya kelautan
yang besar, baik itu keragaman hayati maupun keragaman non hayati kelautan.
Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104 000 km2 dengan luas wilayah laut
sebesar 5.8 juta km2 yang terdiri dari 2.3 juta km2 perairan kepulauan, 0.8 juta
km2 perairan teritorial dan 2.7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Potensi tersebut disadari oleh pemerintah dilihat dari pembangunan ekonomi di
Indonesia yang telah memperhatikan sektor kelautan dan perikanan secara serius.
Terbukti sejak reformasi tahun 1998 dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi
Laut dan Perikanan (DELP) yang kemudian diubah menjadi Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) hingga menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) serta dibentuknya Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang berubah menjadi
Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) yang diketuai oleh Presiden.
Sejak Orde Baru, berbagai kebijakan dalam rangka pembangunan sektor
kelautan dan perikanan telah digulirkan. Secara nasional kebijakan-kebijakan
yang telah dicanangkan berdampak pada kenaikan volume produksi perikanan.
Namun kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan hingga saat ini
masih bersifat top down. Damanhuri (2000) mengatakan bahwa kebijakan yang
bersifat top down dan sentralistik akan berujung pasa rusaknya nilai-nilai
tradisional yang positif serta pendekatan kebijakan yang seragam antar wilayah
satu dengan yang lain akan mematikan insiatif lokal dan kreativitas para pelaku
ekonomi.1 Sehingga program-program yang dilaksanakan belum dapat memberi
dampak yang optimal terhadap kinerja ekonomi kelautan dan perikanan secara
keseluruhan, kesejahteraan nelayan serta kelestarian sumber daya.
Pada tahun 2003 Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP)
mencanangkan program peningkatan produksi ikan (Protekan 2003). Target dari
Protekan 2003 adalah peningkatan produksi ikan pada tahun 2003 menjadi 9 juta
ton dengan nilai ekspor diharapkan mencapai US$ 10 miliar.2 Namun data Food
and Agriculture Organization (FAO 2007) menunjukkan hingga tahun 2004
produksi ikan nasional hanya mencapai sekitar 5.6 juta ton dengan nilai ekspor
sebesar US$ 1.7 miliar (lihat Tabel 1). Pada Oktober 2003 dicanangkan program
baru yaitu Program Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo.
Target dari Program Mina Bahari tersebut adalah peningkatan produksi ikan
nasional sebesar 9.5 juta ton pada tahun 2006 dan target nilai devisa ekspor
sebesar US$ 10 miliar.3 Kegagalan program ini ditunjukkan dengan produksi ikan
nasional pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar 6.1 juta ton dengan nilai ekspor
produk perikanan hanya mampu mencapai US$ 2 miliar (FAO 2007) (lihat Tabel
1).
1

Didin S. Damanhuri [Orasi Ilmiah]: Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan (Bogor: Institut Pertanian
Bogor, 25 November 2000), h. 56
2
Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana: Ekonomi Kelautan dan Pesisir (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h.121
3
Ibid, h. 121

2
Tabel 1 Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011
Produk perikanan
2004
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Perikanan tangkap
4.6
4.7
4.8
5.1
5.0
5.1
5.4
(juta ton)
Perikanan
1.0
1.2
1.3
1.4
1.7
1.7
2.3
budidaya (juta ton)
Ekspor (US$
1.7
1.8
2.0
2.1
2.5
2.3
2.6
miliar)
Impor (US$ miliar)
0.1
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.3

2011
5.7
2.7
3.2
0.4

Sumber: Food and Agriculture Organization, 2007-2013.
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2005 belum
mengalami perubahan yang signifikan. Dilihat dari lima indikator, pertama arah
kebijakan pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan nasional masih
belum jelas. Kedua, ketidakjelasan arah kebijakan desentralisasi sektor kelautan
dan perikanan yang menyebabkan semakin parahnya konflik dalam
memperebutkan wilayah tangkapan ikan. Ketiga, kenaikan harga BBM
menyebabkan banyak nelayan yang tidak dapat melaut. Keempat, kinerja ekspor
produk perikanan nasional mengalami penurunan. Kelima, daya tarik investor
sektor perikanan masih rendah.4
Pada tahun 2007 kegagalan juga terjadi pada Program Revitalisasi Kelautan
dan Perikanan. Produksi ikan nasional pada tahun 2009 sebesar 6.8 juta ton
dengan nilai ekspor sebesar US$ 2.3 miliar (FAO 2009), sedangkan target dari
program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan yaitu peningkatan produksi ikan
pada tahun 2009 sebesar 9.7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 5 miliar.5
Hal tersebut membuktikan bahwa target dari Program Revitalisasi Kelautan pada
tahun 2009 tidak dapat tercapai.
Pada periode 2009-2014 KKP mencanangkan Kebijakan Minapolitan
dengan target volume produksi ikan sebesar 50 juta ton dan nilai ekspor sebesar
US$ 11 miliar.6 Namun yang terjadi, kesejahteraan nelayan cenderung menurun
dilihat dari Nilai Tukar Nelayan (NTN) bulan Juli turun sebesar 111.55 dibanding
bulan sebelumnya sebesar 111.57 (BPS 2013)7. Namun pada periode yang sama
harga ikan segar di pasar domestik mengalami kenaikan sebesar 0.08%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga ikan di pasar tidak berpengaruh
langsung terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan karena masih tingginya
biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh nelayan dan pembudidaya ikan.
Orientasi pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah peningkatan
produksi perikanan nasional jika dilihat dari berbagai program yang telah
dilaksanakan. Program-program dilaksanakan untuk mendorong terjadinya
modernisasi perikanan dengan kapitalisasi. Kapitalisasi dalam sektor perikanan
4

Suhana: Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia (Malang: Intrans Publishing, 2011),
h.46-49
5
Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 121
6
Ibid, h. 121
7
Badan Pusat Statistika 2013 dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
dan Japan International Coorperation Agency (JICA): Analisis Pencapaian Nilai Tukar Nelayan
(NTN) (Jakarta: Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas, 2014), h. 172

3
selanjutnya akan menciptakan unit usaha yang besar dan padat modal yang justru
akan membuka peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Kemiskinan
nelayan diperparah dengan program bantuan pemerintah dalam pemberdayaan
nelayan yang hingga saat ini belum mampu diakses oleh seluruh pelaku usaha
perikanan, termasuk sistem teknologi modern yang belum mampu diakses oleh
nelayan tradisional. Akibatnya, modernisasi melalui program pemerintah semakin
meningkatkan eksploitasi terhadap nelayan yang berada dalam posisi lemah dalam
pola bagi hasil yang cenderung menguntungkan pihak pemilik modal.
Seperti yang dijelaskan oleh Satria (2009) bahwa di dalam masyarakat
nelayan terdapat struktur sosial yang sangat khas yaitu hubungan patron-client.
Dia menjelaskan hubungan patron-client terbentuk sebagai pola adaptasi dari
kondisi risiko dan ketidakpastian lingkungan laut yang kemudian mempengaruhi
pekerjaan dan pendapatan para nelayan.8 Dalam masyarakat nelayan, hubungan
patron-client biasanya terjadi antara nelayan buruh dan pemilik modal serta antara
pemilik modal dengan pedagang. Adanya hubungan patron-client membawa
keuntungan bagi masing-masing pihak, nelayan diuntungkan dengan adanya
jaminan bagi kepentingan sosial ekonomi mereka dan pemilik modal mendapat
keuntungan berupa hasil tangkapan nelayan yang dijual kepada mereka. Namun
beberapa studi membuktikan bahwa keuntungan yang diterima oleh pemilik
modal lebih besar dibandingkan para nelayan. Hubungan patron-client ini tidak
lagi sebagai hubungan yang saling menguntungkan tapi lebih mengarah kepada
bentuk eksploitasi para pemilik modal.
Masyarakat nelayan yang merupakan komunitas masyarakat pesisir
terpinggirkan juga dihadapkan dengan permasalahan politik, sosial, dan ekonomi
yang kompleks. Goodwin (1990) dalam Satria (2009) mengemukakan bahwa
nelayan kecil (small scale fisher) tidak memiliki kemampuan dalam
mempengaruhi kebijakan publik atau proses politik apapun sehingga nelayan kecil
selalu berada pada posisi dependen dan marginal. 9 Menurutnya faktor kapital
mempengaruhi posisi nelayan, semakin besar penguasaan terhadap kapital maka
kesempatan untuk mempengaruhi proses politik pun semakin besar. Dalam
perspektif Marxis semakin besar penguasaan kapital maka semakin ke atas kelas
sosialnya sehingga semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses
politik dan kebijakan publik.
Dasar pemikiran tersebut melatarbelakangi penelitian ini mengkaji dampak
dari kebijakan perikanan tangkap yang justru membuka peluang terhadap
terpinggirkannya posisi nelayan. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota
Semarang karena secara geografis daerah ini terletak di Pantai Utara Jawa dengan
garis pantai sepanjang 13.6 kilometer. Implementasi kebijakan dan programprogram pemberdayaan perikanan tangkap di Kota Semarang masih berpihak
kepada kepentingan pemilik modal dan belum sepenuhnya membebaskan nelayan
dari proses eksploitasi oleh para pemilik modal. Oleh karena itu, penting untuk
diteliti lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh kebijakan perikanan tangkap
terhadap nelayan di Kota Semarang.

8
9

Arif Satria: Ekologi Politik Nelayan (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 338
Ibid, h. 340

4
Perumusan Masalah
Unsur-unsur terpenting dalam pembangunan perekonomian di sektor
kelautan dan perikanan adalah pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan
masyarakat sekitar. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sering
memunculkan permasalahan diantara pemegang unsur-unsur penting tersebut,
antara lain permasalahan hubungan antara pemerintahan daerah dengan
pemerintahan pusat, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, serta
pembangunan ekonomi (kemiskinan, kesenjangan dan kebijakan ekonomi makro).
Satria (2009a) mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi makro Indonesia
hingga saat ini masih difokuskan terhadap pemberian konsesi pada perusahaanperusahaan swasta dengan skala yang besar. Izin yang diberikan oleh pemerintah
mencakup hak-hak eksklusif yang memungkinkan pihak swasta untuk mengakses,
mengambil, bahkan melarang pihak lain mengambil sumber daya tersebut,
sehingga memarginalkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumber daya alam
secara politik dan ekonomi.10 Kebijakan yang lebih menguntungkan pihak swasta
tersebut pada akhirnya memposisikan nelayan secara ekonomi politik tidak
memiliki akses di wilayah pesisir dan lautan.
Di Indonesia, hingga saat ini belum ada institusi yang dapat menjamin
kehidupan nelayan. Nelayan bukan hanya tidak mampu secara ekonomi tetapi
juga tidak diperhitungkan secara politik dengan adanya kebijakan yang tidak
berpihak kepada nelayan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa di
dalam lingkungan masyarakat pesisir terdapat kesenjangan pendapatan antara
nelayan pemilik (patron) dan nelayan buruh (client). Tingkat kesenjangan
ditunjukkan oleh koefisien gini (KG) berbasis pendapatan yaitu mencapai 0.73.
Angka tersebut menunjukkan kesenjangan pendapatan antara nelayan pemilik
(patron) dan nelayan buruh (client) ditunjukkan dengan KG mendekati 1 (sangat
senjang).11
Kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan nelayan bukan
hanya karena faktor lingkungan berupa ketidakpastian cuaca akan tetapi terdapat
unsur ekonomi politik di dalamnya. Karim (2003) menyatakan problem
kemiskinan nelayan adalah, pertama tekanan-tekanan struktural yang bersumber
dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam membangun sektor perikanan. Kedua,
ketergantungan yang berbentuk patron client antara pemilik faktor produksi
(kapal, alat tangkap) dengan buruh nelayan yang membuat pemilik modal
menikmati pendapatan yang lebih besar serta dapat menguasai akses terhadap
pasar. Ketiga, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya perikanan akibat
modernisasi yang tidak terkendali. Keempat, pengambilalihan wilayah perikanan
tradisional yang dilakukan oleh perusahaan perikananan modern. Kelima, adanya
fenomena kompradorisasi.12
10

Arif Satria: Pesisir dan Laut untuk Rakyat (Bogor: IPB Press, 2009), h.10
Tridoyo Kusumastanto: Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di
Era Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah (Bogor: PKSPL-IPB, 2002), h.44
12
Muhamad Karim: Problem Ekonomi Politik Kemiskinan Nelayan (Opini Sinar Harapan 20
Agustus 2003), h. 2-3. Kompradorisasi berdasarkan pemikiran Neo-Marxis yaitu proses pelancaran
dan perlindungan terhadap modal asing melalui jaringan kerjasama antara pemodal asing,
pengusaha domestik dan elite yang berkuasa yang kemudian menyebabkan terjadinya pengalihan
keuntungan (surplus transfer) dari lokal ke luar. Lihat Sritua Arief dan Adi Sasono:
Ketergantungan dan Keterbelakangan (Jakarta: Sinar Harapan, 1984 cetakan kedua), h. 22

11

5
Di Kota Semarang beberapa kebijakan perikanan tangkap belum
sepenuhnya melindungi nelayan. Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas
nelayan yang hingga saat ini masih tergolong rendah karena penggunaan armada
perikanan di daerah tersebut didominasi oleh kapal berukuran kecil, yaitu perahu
motor tempel. Kondisi tersebut diperparah dengan keterbatasan untuk
memanfaatkan dana perbankan oleh para nelayan. Selain itu, masalah sarana
prasarana perikanan tangkap di Kota Semarang juga menjadi salah satu faktor
produksi perikanan tangkap yang rendah. Di Kota Semarang fungsi dari TPI
sebagai sarana yang disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam
memasarkan hasil ternyata belum optimal. Penyebabnya yaitu nelayan telah
menjalin hubungan patron-client dengan bakul atau pedagang pengumpul yang
telah memberikan fasilitas kredit sehingga nelayan harus memenuhi kewajibannya
untuk menjual hasil tangkapannya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya
terhadap nelayan?
2. Apakah terdapat gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota
Semarang?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini
bertujuan:
1. Menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan
dampaknya terhadap nelayan.
2. Mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi dalam perikanan
tangkap di Kota Semarang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi
yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat berbagai pihak, yaitu:
1. Bagi penulis, penelitian ini berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang telah
diterima penulis selama masa perkuliahan.
2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk menambah
literatur mengenai ekonomi politik kebijakan perikanan tangkap terhadap
nelayan.
3. Bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Kota Semarang, penelitian
ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta sebagai bahan
pertimbangan atau masukan dalam pengambilan keputusan dan perumusan
berbagai kebijakan yang relevan dengan kondisi nelayan, agar program atau
kebijakan dapat terimplementasi dengan baik dan tidak adanya tumpang
tindih kebijakan pusat dan kebijakan daerah.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok bahasan yaitu analisis kebijakan
perikanan tangkap, analisis tentang dampak kebijakan terhadap distribusi
pendapatan nelayan di Kota Semarang, dan pada pembahasannya akan lebih
diperdalam dengan analisis ekonomi politik terhadap kompradorisasi dalam
perikanan tangkap di Kota Semarang. Pada bab tinjauan pustaka ini terdiri dari
teori, konsep dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini serta
kerangka pemikiran yang menjelaskan alur pemikiran penelitian ini yang
didasarkan pada teori dan konsep yang berkaitan dan relevan.
Teori Ekonomi Politik
Ide ekonomi politik didasarkan pada pemisahan antara ilmu ekonomi dan
ilmu politik yang secara analitis keduanya berbeda. Pemisahan antara ilmu
ekonomi dan ilmu politik ini bukan berarti keduanya tidak saling mempengaruhi
satu sama lain. Terdapat hubungan-hubungan teoritis antara ekonomi dan politik.
Hubungan antara ekonomi dan politik ini kemudian disebut dengan ekonomi
politik.13 Sebelum penjelasan lebih lanjut mengenai ekonomi politik, maka akan
diidentifikasikan pemahaman yang berbeda antara ilmu ekonomi dan ilmu politik.
Dalam memahami ilmu politik terdapat tiga pandangan tentang politik, yaitu
politik sebagai pemerintahan, politik sebagai kehidupan publik, dan politik
sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang. Sedangkan ilmu ekonomi
didefinisikan menjadi tiga makna, yaitu ekonomi kalkulasi, ekonomi sebagai
kegiatan pemenuhan kebutuhan (provisioning), dan ekonomi sebagai
perekonomian.
Politik sebagai pemerintahan merupakan pandangan bahwa politik sama
dengan kegiatan, proses, dan struktur dalam pemerintahan itu sendiri. Dimana
pemerintahan yang dimaksud yaitu institusi, undang-undang, kebijakan publik dan
pelaku-pelaku utama dalam pemerintahan. 14 Konsep politik sebagai publik
melihat ada dua tujuan yang ingin dicapai individu, yaitu tujuan yang bersifat
pribadi dan tujuan yang melibatkan publik. Caporaso dan Levine (2008)
mendefinisikan pribadi sebagai urusan-urusan yang sifatnya terbatas pada
individu sedangkan publik sebagai kegiatan yang melibatkan orang lain.15
Politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang memandang bahwa
politik dan ekonomi memiliki kesamaan yaitu sebagai cara untuk melakukan
alokasi terhadap sumber daya yang langka. Perbedaannya politik sebagai cara
khusus untuk membuat keputusan dalam memproduksi dan mendistribusikan
sumber daya, sedangkan ekonomi merupakan pertukaran secara sukarela. Politik
sebagai alokasi nilai tidak lagi memandang politik sebagai struktur dari
pemerintahan tetapi sebagai cara mengalokasikan nilai kepada masyarakat dengan
menggunakan wewenang.16
13

James A Caporaso dan David P. Levine: Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan oleh:
Suraji (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 1-2
14
Ibid, h. 4
15
Ibid, h. 11-12
16
Ibid, h. 22-23

7
Konsep ekonomi kalkulasi merujuk kepada pandangan terhadap tindakan
manusia sebagai upaya untuk mencapai tujuan yang dihadapkan dengan faktorfaktor hambatan berupa keterbatasan sumber daya. Fokus pendekatan ekonomi
kalkulasi yaitu pada masalah efisiensi dan pilihan yang dibatasi. Dimana individu
dihadapkan dengan peluang dan hambatan dan berusaha melakukan yang terbaik
untuk memenuhi kebutuhannya.17 Konsep kedua yaitu ekonomi sebagai kegiatan
pemenuhan kebutuhan (provisioning) berbeda dengan konsep sebelumnya karena
lebih mengarahkan pada proses produksi dan reproduksi barang untuk
mempertahankan kelangsungan hidup ekonomi. Konsep ekonomi yang kedua ini
tidak mempertimbangkan apakah kegiatan produksi dilakukan secara efisien atau
tidak.18 Konsep yang terakhir adalah ekonomi sebagai perekonomian yaitu konsep
yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan institusi yang memiliki sifat-sifat
sosial dan historis khusus. Kegiatan ekonomi dalam konsep ini diberi wilayah
terpisah dan menjadi sebuah institusi yang berdiri sendiri.19
Definisi ekonomi politik menurut Yustika (2012)20:
“interrelasi di antara aspek, proses, dan institusi politik dengan
kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga,
perdagangan, konsumsi, dan lain sebagainya)”
Dari definisi tersebut Yustika (2012) menjelaskan bahwa ekonomi politik
menghubungkan seluruh penyelengaraan politik baik aspek, proses, maupun
kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun
pemerintah.
Menurut Damanhuri (2010) analisis ekonomi politik diperlukan untuk
memahami berbagai pendekatan teori secara komparatif seperti teori liberal, teori
radikal atau struktural dan teori heterodoks. 21 Berdasarkan teori liberal setiap
individu diberi kebebasan dalam menguasai dan mengelola sumber daya untuk
memenuhi kepentingannya. Perekonomian dalam teori liberal tidak memerlukan
intervensi dari pemerintah karena perekonomian akan berjalan menurut
mekanisme pasar. Menurut teori liberal ada dua cara dalam mengatasi
keterbelakangan negara berkembang yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
perdagangan bebas internasional. 22
Sedangkan teori radikal atau struktural (Marxis dan Neo Marxis) muncul
berdasarkan kritikan terhadap teori liberal. Para pencetus teori radikal
menganggap keterbelakangan negara sedang berkembang disebabkan oleh adanya
ekspansi kapital oleh negara maju. Ekspansi kapital tersebut menyebabkan adanya
surplus transfer produksi kepada kaum kapitalis dan berakibat pada pemiskinan
massa yang terjadi di negara sedang berkembang melalui ketergantungan modal
dan teknologi oleh negara berkembang kepada negara maju.23
17

Ibid, h. 37-39
Ibid, h. 44
19
Ibid, h. 54-55
20
Ahmad Erani Yustika: Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan ( Jakarta:
Erlangga, 2012), h. 100
21
Didin S. Damanhuri: Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi bagi
Indonesia (Bogor: IPB Press, 2010), h. 2
22
Ibid, h. 14-15
23
Ibid, h. 41-42
18

8
Pendekatan teori yang ketiga yaitu pendekatan teori heterodoks yang
merupakan teori yang menyempal dari teori liberal dan teori radikal. Teori
heterodoks didasarkan pada kenyataan yang terjadi di negara sedang berkembang.
Dalam teori ini ada pengakuan terhadap kebudayaan dan struktur sosial yang
disesuaikan dengan nilai-nilai modern, sehingga menjadi kekuatan dalam
pembangunan ekonomi yang lebih maju.24
Teori Surplus Values dan Teori Ketergantuan
Penelitian ini lebih difokuskan pada analisis ekonomi politik berdasarkan
teori radikal atau struktural dengan pendekatan teori surplus values dan teori
ketergantungan (dependency theory). Teori surplus values dikemukakan oleh Karl
Marx dengan membagi dua kelompok besar dalam kapitalisme yaitu pekerja yang
menjual tenaganya sesuai harga pasar dan kapitalis sebagai pemilik alat-alat
produksi. Marx melihat adanya transfer nilai surplus kepada kaum kapitalis akibat
eksploitasi terhadap pekerja. Kaum kapitalis terus menambah surplus values
dengan cara penambahan jam kerja dan pengurangan upah pekerja. Surplus values
tersebut berupa kelebihan tenaga yang diberikan oleh pekerja tanpa menerima
imbalan. 25
Teori ketergantungan muncul berdasarkan kerangka pemikiran Paul Baran.
Pemikiran Paul Baran menyatakan bahwa negara berkembang memperoleh
keuntungan dengan adanya pergerakan modal dari negara maju, akan tetapi
keuntungan ini tidak dapat diakumulasikan kembali oleh negara berkembang
seperti yang terjadi di negara maju. Penyebabnya adalah terjadinya perpindahan
akumulasi keuntungan dari negara berkembang ke negara maju yang diakibatkan
adanya pergerakan faktor modal tersebut. Selain itu menurut Baran, sektor
industri yang mengalami pertumbuhan dengan pesat hanyalah industri yang
memproduksi barang mewah, kondisi ini mengarah pada situasi monopolistis dan
oligopolistis. Pertumbuhan ekonomi seperti ini terjadi atas adanya kerjasama
antara pemodal asing dengan pengusaha domestik dan elite berkuasa yang
bertugas sebagai kelas komprador yang melindungi kepentingan pihak asing di
dalam negeri.26
Kerangka pemikiran Paul Baran kemudian dikembangkan oleh Andre
Gunder Frank dengan membuat empat hipotesis yaitu pertama, negara maju pasti
mengalami perkembangan yang pesat sedangkan negara berkembang akan terus
mengalami keterbelakangan dalam hubungan ekonomi antara keduanya. Kedua,
negara berkembang dapat mengalami perkembangan ekonomi apabila tidak
memiliki hubungan dengan kapitalis international atau hubungannya sangat lemah.
Ketiga, negara yang saat ini dalam kondisi yang terbelakang merupakan negara
yang pada masa lampau memiliki hubungan dengan negara maju dari sistem
kapitalis internasional dan merupakan negara pengekspor bahan mentah primer
dalam perdagangan internasional. Keempat, pertumbuhan kawasan-kawasan yang
maju bukanlah hasil dari proses penerapan sistem kapitalis asing akan tetapi
kawasan tersebut memang sudah mengalami pertumbuhan yang kuat dengan
dinamikanya sendiri.27
24

Ibid, h. 61-62
Ibid, h. 44-45
26
Sritua Arief dan Adi Sasono, op. cit, h. 17-22
27
Ibid, h. 25-27

25

9
Dos Santos mengembangkan hipotesis Gunder Frank dengan melihat pola
kerjasama antara elite penguasa dan golongan yang melindungi para elite tersebut.
Menurut Dos Santos, proses ketergantungan negara berkembang terhadap negara
maju bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar negeri tetapi juga harus
memperhatikan faktor dari dalam negeri. Sehingga untuk memutus
ketergantungan terhadap pihak asing tidak dapat hanya dengan melakukan isolasi
akan tetapi harus mengubah struktur di dalam negeri terlebih dahulu supaya tidak
menimbulkan kekacauan ekonomi dalam negeri.28
Selain Gunder Frank dan Dos Santos pendukung teori ketergantungan yang
lain yaitu Samir Amin. Samir Amin mengungkapkan terjadinya hubungan
perdagangan internasional dengan pertukaran yang tidak adil (unequal exchange)
antara negara maju atau sentral (centre atau core) dan negara miskin atau
pinggiran (peripheri). Rintangan yang muncul karena pertukaran yang tidak adil
menyebabkan pertumbuhan ekonomi prakapitalis menuju ekonomi kapitalis di
negara periphery sangat berbeda dengan negara centre. Sehingga mengakibatkan
negara periphery yang terbelakang tetap terus terbelakang.29
Kebijakan Perikanan Tangkap
Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan yang
meliputi kebijakan pemerintah dan peraturan yang mengatur mengenai perikanan
tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010) dalam melaksanakan
program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap menggunakan alokasi
dana sebesar Rp 8 145 000 000 000,00. Dana tersebut kemudian dialokasikan
untuk enam kegiatan di tingkat nasional yang akan dilaksanakan pada periode
2010-2014, yaitu30:
1. Pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI).
2. Pembinaan dan pengembangan kapal perikanan, alat penangkapan ikan, dan
pengawakan kapal perikanan.
3. Pengembangan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan.
4. Pelayanan usaha perikanan tangkap yang efisien, tertib, dan berkelanjutan.
5. Pengembangan usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala
kecil.
6. Peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Sehubungan dengan kebijakan perikanan ini, KKP telah berupaya untuk
membuat program-program pemberdayaan dan pembangunan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Secara umum
program ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama program ekonomi yang bertujuan
meningkatkan pendapatan nelayan melalui pemberdayaan, pemberian kredit,
penyuluhan pengembangan usaha, pengadaan fasilitas pemasaran produksi. Kedua,

28

Ibid, h. 27-28
Ibid, h. 31 dan 34. Lihat juga Didin S. Damanhuri (2010), op. cit, h. 48
30
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap: Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang
Perikanan Tangkap tahun 2010 (Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
2010), h. 72-75
29

10
program kesejahteraan rakyat seperti program kependudukan, kesehatan,
pendidikan serta perbaikan lingkungan.
Program-program tersebut selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Menteri (Permen) KKP tentang penugasan sebagian urusan
pemerintahan (tugas pembantuan) bidang kelautan dan perikanan tahun anggaran
2010 kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Kegiatan
pengembangan sumber daya perikanan tangkap di Provinsi Jawa Tengah adalah
peningkatan dan pengembangan pelabuhan perikanan/ pangkalan pendaratan
ikan. 31 Di Kota Semarang program pengembangan sumber daya perikanan
dikembangkan menjadi kegiatan pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya pelaku
usaha perikanan dan masyarakat pesisir.32
Program dari kebijakan yang telah disusun oleh KKP tersebut setelah
dilimpahkan kepada masing-masing pemimpin daerah harus mendapat
pengawasan. Kurangnya kontrol pemerintah dapat menyebabkan perbedaan
pemahaman yang dapat memunculkan konflik diantara para stakeholders di sektor
perikanan dan daerah-daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Adapun
permasalahan yang timbul diantaranya konflik dalam memperebutkan sumber
daya baik sumber daya air, lahan maupun ikan serta terbukanya celah terhadap
penguasaan asing melalui penanaman modal yang pada akhirnya mengakibatkan
terpinggirkannya nelayan kecil (Lihat Tabel 2).
Tabel 2 Peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik
No

1.

2.

Peraturan
Perundangundangan

Klausal Bermasalah

Dampak

Undang-undang
Nomor 7 Tahun
2004 tentang
Sumber Daya Air

Pasal 7, 8, dan 9 yang
mengatur Hak Guna Air
(HGA).

Menutup akses petani
tambak untuk
mendapatkan air dalam
usaha budidaya ikan.

Undang-undang
Nomor 25 tahun
2007 tentang
Penanaman Modal

Pasal 22 memberikan Hak
Guna Usaha (HGU)
selama 95 tahun, Hak
Guna Bangunan (HGB)
selama 80 tahun dan Hak
Pakai selama 70 tahun atas
tanah (termasuk wilayah
pesisir) kepada investor
baik domestik maupun
pihak asing.

Lahan tambak produktif
di Indonesia dapat
dikuasai oleh pemilik
modal dan hal tersebut
dapat melanggar hak
masyarakat pesisir
khususnya petani tambak
untuk mengakses sumber
daya lahan di wilayah
pesisir.

Sumber: Diadaptasi dari Tabel 5.1 dalam Apridar, et al. (2011)33

31

Ibid, h. 129
Ibid, h. 177
33
Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 123
32

11
Karakteristik Nelayan
Nelayan memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai
referensi perilaku mereka sehari-hari. Nelayan menurut Undang-undang nomor 31
tahun 2004 tentang perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan. Statistik perikanan tangkap mendefinisikan nelayan sebagai
orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan.
Pembuat jaring, pengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam kapal tidak termasuk
sebagai nelayan, sedangkan juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal
termasuk sebagai nelayan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Statistik perikanan tangkap membagi nelayan berdasarkan waktu yang
digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan34, yaitu:
1. Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan.
2. Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Selain melakukan pekerjaan
penangkapan ikan nelayan ini bisa memiliki pekerjaan yang lain.
3. Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.
Menurut Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil
Perikanan, nelayan dibagi ke dalam empat kategori yaitu nelayan pemilik, nelayan
penggarap, pemilik tambak dan penggarap tambak. Sementara Undang-undang
nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004
tentang perikanan mendefinisikan35:
1. Nelayan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan
ikan.
2. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT).
3. Pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan
budidaya ikan.
4. Pembudidaya ikan kecil adalah orang yang mata pencahariaannya
melakukan budidaya ikan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan berdasarkan kepemilikan alat tangkap nelayan dibagi menjadi
dua kategori, yaitu:
1. Nelayan pemilik (Juragan) adalah nelayan yang memiliki alat penangkapan
berupa perahu maupun jaringnya.
2. Nelayan penggarap (nelayan buruh) adalah nelayan yang tidak memiliki alat
penangkapan, mereka mengoperasikan alat tangkap dengan menyewa dari
pemilik alat penangkapan atau menjadi pekerja (buruh) pada pemilik alat
penangkapan.
Pola bagi hasil nelayan pemilik dan nelayan penggarap diatur dalam
Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pada pasal 3
ayat 1. Adapun bagi hasil untuk nelayan penggarap di perikanan laut yang
34

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Statistik Perikanan Tangkap 2010 (Jakarta: Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap, 2010) , h. xv
35
Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004
tentang Perikanan pasal 1 angka 10,11,12 dan 13.

12
menggunakan kapal layar yaitu minimal 75% dari hasil bersih, sedangkan yang
menggunakan kapal motor minimal 40% dari hasil bersih.36 Pasal 4 dari undangundang tersebut mengatur tentang beban-beban yang termasuk tanggungan
bersama dan tanggungan nelayan pemilik. Beban-beban yang menjadi tanggungan
bersama yaitu ongkos lelang, biaya perbekalan nelayan penggarap selama di laut,
biaya untuk sedekah laut serta iuran-iuran yang disahkan Pemerintah Daerah
Tingkat II. Sedangkan beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik
yaitu ongkos pemeliharaan dan perbaikan alat penangkapan, biaya penyusutan dan
juga biaya usaha penangkapan seperti BBM, minyak, es, dan sebagainya.37
Di Kota Semarang nelayan dikategorikan menjadi tiga yaitu nelayan pemilik
(juragan), nelayan buruh, dan nelayan perorangan. Nelayan perorangan adalah
nelayan yang memiliki alat penangkapan sendiri dan melakukan penangkapan
sendiri tanpa tenaga tambahan orang lain. Pola bagi hasil yang diberlakukan bagi
nelayan buruh di daerah ini diberlakukan sesuai dengan undang-undang tersebut
dengan pengawasan dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai kebijakan modernisasi
perikanan dan kaitannya dengan kemiskinan nelayan dan eksploitasi terhadap
nelayan. Nasikun (1995) dalam Karim (2005) yang melakukan penelitian terhadap
nelayan di daerah Muncar, Jawa Timur membuktikan bahwa penggunaan
teknologi tangkap yang lebih modern tidak diikuti dengan hubungan kerja antara
patron dan client yang saling menguntungkan. Dengan sistem bagi hasil yang
eksploitatif, pendapatan yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan tidak
dinikmati oleh para nelayan tetapi hanya dinikmati oleh pemilik kapal. Pada
tingkat pemasaran aksesnya dikuasai oleh kalangan pemilik modal yang dengan
mudah memainkan harga hasil produksi.38
Pangemanan (1994) melakukan penelitian mengenai peranan lembaga
pemasaran perikanan di Sulawesi Utara mengungkapkan bahwa TPI di Aer
Tembaga Bitung belum mampu menjalankan peranan dan fungsinya sebagai
lembaga pemasaran hasil perikanan. Masih banyak transaksi nelayan dengan
„petibo‟ atau pedagang yang tidak melalui proses lelang. Hal ini karena pedagang
besar kurang tertarik dengan proses lelang yang pada akhirnya akan mengurangi
keuntungan bagi mereka. Padahal lembaga pemasaran seperti tempat pelelangan
ikan tersebut dapat melindungi para nelayan dari permainan harga para pedagang
besar.39
Seperti yang diungkapkan Tjitroresmi dalam Masyhuri (2001) bahwa
meskipun nelayan dapat menangkap ikan bernilai ekonomis tinggi namun mereka
belum mampu untuk menjual langsung kepada eksportir, sehingga nelayan harus
puas dengan harga yang diberikan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul
36

Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pasal 3 ayat 1
Ibid, pasal 4
38
Muhamad Karim [Tesis]: Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan Di Kawasan
Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat (Bogor: IPB, 2005), h. 19
39
Jeannete F. Pangemanan [Tesis]: Tingkat Kesejahteraan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pendapatan Nelayan di Pessir Pantai Sulawesi Utara (Manado: KPK Institut Pertanian BogorUniversitas Sam Ratulangi, 1994), h.67-77
37

13
inilah yang nantinya menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan
nelayan. 40 Listianingsih (2008) dalam penelitiannya mengenai hubungan sistem
pemasaran dan kemiskinan nelayan di PPI Muara Angke mengemukakan bahwa
terdapat gejala eksploitasi dalam praktik pemasaran yang dilakukan pedagang
perantara sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan nelayan. Gejala
eksploitasi juga terlihat dalam praktik pola bagi hasil ABK dan juragan kapal.41
Tindjabate (2001) dalam Karim (2005) melakukan penelitian tentang
kemiskinan nelayan sebagai akibat dari kebijakan pembangunan perikanan
Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kebijakan dengan
merealisasikan kepentingan pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi
perikanan laut sebagai sumber devisa negara berlangsung secara intensif, melalui
intervensi birokrasi dan kapitalisasi dalam kegiatan nelayan di Kecamatan
Ampenan. Dampaknya yaitu adanya diskriminasi terhadap kepentingan nelayan
tradisional dari aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Poso. Intervensi kapital
telah menyebabkan hubungan kerja menjadi beragam. Hal tersebut ditandai
dengan munculnya buruh nelayan dan ponggawa, serta perubahan sumber
penghasilan nelayan menjadi bergantung pada upah yang diberikan oleh juragan
pemilik pukat cincin yang mengakibatkan eksploitasi kepada nelayan buruh.42
Satria (2000) dalam penelitiannya tentang modernisasi perikanan dan
mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor, Pekalongan Jawa Tengah
menyatakan bahwa modernisasi di Pekalongan terjadi dalam tiga tahap yaitu
pertama modernisasi melalui birokrasi pemerintah, kedua melalui jalur kapitalis,
dan yang ketiga kembali melalui jalur birokrasi pemerintah. Dalam modernisasi
yang kedua ternyata memunculkan adanya elit pengusaha perikanan yang
diwarnai gejala kompradorisasi. Hal tersebut menyebabkan surplus transfer dari
Pekalongan ke luar Pekalongan dan surplus tersebut berasal dari hasil eksploitasi
terhadap buruh nelayan melalui peran Primkopal (institusi milik Angkatan Laut)
dan HNSI (Himpunan Kerukunan Nelayan Indonesia) sebagai kelas komprador.43
Pranadji (1995) dalam Satria (2000) menjelaskan bahwa modernisasi
perikanan tangkap berupa perbaikan teknologi penangkapan masih
menguntungkan nelayan kaya (juragan) melalui kelembagaan bagi hasil dalam
kelompok kerja yang tidak memungkinkan nelayan buruh untuk menikmati hasil
dari modernisasi karena tidak adanya kesempatan untuk berinteraksi dengan
jaringan kerja di luar kelompok kerja nelayan.44 Oleh Sajogyo (1982) dalam Satria
(2000) dikatakan sebagai „modernization without development’ karena
modernisasi yang mengarah pada peningkatan produksi perikanan hanya
merupakan pertumbuhan ekonomi saja dan belum bisa dikatakan sebagai
pembangunan ekonomi. Sajogyo juga mengatakan modernisasi masih bias kepada
kepentingan elit nelayan yang memiliki akses terhadap modernisasi tersebut.45
40

Masyhuri (Ed). Adaptasi Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber daya Laut: Aspek Kelembagaan
Ekonomi (Jakarta: P2E-LIPI, 2001), h. 61-65
41
Windi Listianingsih [Skripsi]: Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan Nelayan
(Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2008),
h. 133
42
Muhamad Karim [Tesis], op.cit, h. 20
43
Arif Satria [Tesis]: Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan, Studi Kasus
Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah (Bogor: IPB, 2000), h. 121
44
Ibid, h. 32
45
Ibid, h. 32-33

14
Karim (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa desa pesisir dengan
perkembangan yang maju seperti Pelabuhanratu merupakan daerah yang sangat
miskin. Hal tersebut dibuktikan oleh Karim dengan tingginya pemukiman kumuh,
tingginya penduduk yang bermukim di bantaran sungai, tingginya angka
pengangguran, dan terjadi kesenjangan kesejahteraan distribusi pendapatan yang
besar di Desa Pelabuhanratu. Karim melihat penyebab kemiskinan tersebut dari
dimensi struktural. Masyarakat Desa Pelabuhanratu memiliki kemampuan secara
fisik dalam mengakses sumber daya alam akan tetapi kondisi kemiskinannya tetap
tinggi akibat tekanan struktural seperti kekuasaan, kelembagaan dan kebijakan.46
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
fokus pada bahasan mengenai dampak kebijakan dan program pemberdayaan
ekonomi serta pengembangan usaha perikanan tangkap terhadap distribusi
pendapatan nelayan di Kota Semarang serta bagaimana pola bagi hasil dan juga
struktur pemasaran komoditas perikanan tangkap. Pada pembahasannya akan
diperdalam dengan menggunakan analisis ekonomi politik dan analisis mengenai
fenomena kompradorisasi dalam perikanan tangkap Kota Semarang.
Kerangka Pemikiran
Sejak reformasi, pemerintah Indonesia mulai menyadari arti penting sektor
kelautan dan perikanan yang ditunjukan dengan dicanangkannya program dan
kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Dampaknya sangat
terlihat yaitu terjadinya peningkatan produksi perikanan karena adanya
modernisasi perikanan dengan dukungan usaha-usaha berskala besar dan juga
padat modal. Kondisi tersebut pada akhirnya meningkatkan kesenjangan antar
pelaku usaha perikanan, karena kurang memperhatikan aspek kesejahteraan
nelayan. Nelayan dituntut untuk melakukan kapitalisasi perikanan padahal tidak
semua nelayan dapat mengakses teknologi modern. Dalam penelitian ini akan
digunakan analisis ekonomi politik yang dibantu dengan analisis ketimpangan
distribusi pendapatan untuk melihat dampak kebijakan kelautan dan perikanan
terhadap distribusi pendapatan antar nelayan di Kota Semarang.
Modernisasi dalam bentuk kapitalisasi perikanan tidak terlepas dari proses
produksi di luar Kota Semarang baik i