Keragaan pembangunan perikanan tangkap suatu analisis program pemberdayaan nelayan kecil

(1)

KERAGAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP:

SUATU ANALISIS PROGRAM PEMBERDAYAAN

NELAYAN KECIL

IWAN SETIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

IWAN SETIAWAN. Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap: Suatu Analisis Program Pemberdayaan Nelayan Kecil.(Pembimbing:DANIEL R. MONINTJA, M.FEDI A. SONDITA, VICTOR P.H. NIKIJULUW).

Pembangunan perikanan tangkap sampai saat ini dinilai belum secara signifikan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil, sebagian besar nelayan kecil menurut kriteria

Millenium Development Goals (MDGs) tergolong ke dalam extreme poverty karena berpendapatan lebih kecil dari US$ 1 per hari.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh model pemberdayaan nelayan kecil yaitu program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sebagai kebijakan Pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan) terhadap keragaan pembagunan perikanan tangkap skala kecil. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode analisis

Structural Equation Modeling (SEM) terhadap faktor-faktor PEMP sebagai kebijakan publik, PEMP sebagai bentuk rekayasa kelembagaan, PEMP sebagai pengembangan kemampuan berbisnis individu nelayan, dan keragaan pemberdayaan/pembangunan perikanan tangkap skala kecil. Penelitian dilakukan di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu bulan Oktober 2006-Pebruari 2007.

Dalam penelitian ini secara simultan dilakukan analisis ketergantungan daerah perikanan dengan mengunakan metode analisis kriteria ganda (Multi Criteria Analysis/MCA), dan analisis SWOT.

Kedua kabupaten memiliki ketergantungan terhadap sektor perikanan, namun ketergantungan Kabupaten Indramayu lebih lebih tinggi daripada Kabupaten Cirebon. Analisis SEM menunjukkan bahwa seluruh faktor secara signifikan berpengaruh positif terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap, dan memiliki saling keterkaitan. Analisis SWOT menyimpulkan bahwa strategi untuk memperbaiki keragaan pembangunan perikanan tangkap skla kecil adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia, introduksi teknologi tepat guna, peningkatan akses pasar dan akses modal.

Keywords: Cirebon, perikanan tangkap skala kecil, Indramayu, Multi Criteria Analysis (MCA), Structural Equation Modeling (SEM)


(3)

RINGKASAN

IWAN SETIAWAN.

Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap: Suatu Analisis

Program Pemberdayaan Nelayan Kecil.

Pembimbing:

DANIEL R. MONINTJA,

M.FEDI A. SONDITA, VICTOR P.H. NIKIJULUW).

Dalam struktur perekonomian nasional, sektor perikanan diharapkan memiliki

peran strategis sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa bagi negara.

Namun ternyata hal tersebut masih jauh dari kenyataan, sebagai gambaran

Departemen Kelautan dan Perikanan (2004) melaporkan, bahwa berdasarkan data

BPS tahun 2004, dari 8.090 desa pesisir di Indonesia sebanyak 3,91 juta KK (16,42

juta jiwa) penduduknya termasuk ke dalam peduduk miskin dengan

Poverty

Headcount Index

(PHI) sebesar 0,32.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebenarnya Pemerintah telah banyak

mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan perikanan yang ditujukan untuk

meningkatkan kesejahteraan nelayan dan mengentaskan kemiskinan. Namun

demikian pembangunan perikanan sampai saat ini belum secara signifikan

memberikan kontribusi ekonomi yang berarti bagi perolehan devisa negara,

penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka dipandang perlu untuk dilakukan kajian

secara lebih mendalam terhadap program-program pemberdayaan nelayan terutama

nelayan kecil yang masih berjalan, dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor

penentu atau variabel-variabel yang mempengaruhi keragaan pembangunan perikanan

tangkap skala kecil.

Salah satu program pemberdayaan nelayan kecil yang saat ini masih berjalan

adalah program Pemberdayaan Ekonomin Masyarakat Pesisir (PEMP) yang diinisiasi

oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sejak tahun 2000. Program yang

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui

pengembangan kultur kewirausahaan, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), partisipasi

masyarakat, dan usaha ekonomi produktif ini dalam pelaksanaannya dibagi ke dalam

tiga tahapan proses, yaitu 1) periode inisiasi, yakni introduksi kebijakan dan

penggalangan partisipasi, serta perintisan kelembagaan sesuai dengan potensi dan

kebutuhan masyarakat sasaran, 2) periode institusionalisasi, yakni proses lanjutan

dari periode inisiasi berupa penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat, baik secara

organisasi maupun tatalaksana, dan 3) periode diversifikasi, yaitu tahap

pengembangan dan diversifikasi usaha ekonomi produktif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh model pemberdayaan

nelayan kecil yaitu program PEMP sebagai kebijakan publik (Departemen Kelautan

dan Perikanan) terhadap keragaan pembagunan perikanan tangkap skala kecil.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, Provinsi

Jawa Barat mulai bulan Oktober 2006 sampai dengan Pebruari 2006.


(4)

Pemilihan lokasi didasari oleh: 1) kedua kabupaten telah beberapa kali

mendapatkan program PEMP. Yaitu Kabupaten Cirebon sebanyak enam kali

berturut-turut (2000 sampai dengan 2005), dan Indramayu sebanyak lima kali

berturut-turut (20001 sampai dengan 2005). Dengan kondisi demikian maka

diasumsikan bahwa dampak program pemberdayaan nelayan tersebut akan relatif

kelihatan, 2) kedua lokasi yang berada di pantai utara Laut Jawa yang telah

mengalami tangkap lebih (

Overfishing

), seperti disebutkan Suyasa (2006), bahwa

salah satu perairan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil yang

telah melampaui potensi lestari adalah perairan Laut Jawa.

Analisis yang dilakukan adalah: 1) Analisis Ketergantungan Daerah Perikanan

(Fisheries Dependent Region)

, yang ditujukan untuk mengkaji tingkat

ketergantungan daerah perikanan dengan metode

Multi Criteria Analysis (MCA),

menggunakan 5 indikator (rasio jumlah nelayan, rasio hasil tangkapan, PAD, rasio

jumlah tenaga kerja perikanan, rasio jumlah perahu perikanan). 2) Analisis

Structural

Equation Modeling

(SEM), yang ditujukan untuk menguji pengaruh model

pemberdayaan terhadap faktor-faktor PEMP sebagai kebijakan publik, PEMP sebagai

bentuk rekayasa kelembagaan, PEMP sebagai pengembangan kemampuan berbisnis

individu nelayan, dan keragaan pemberdayaan/pembangunan perikanan tangkap skala

kecil. 3) Analisis SWOT (

Strength-Weaknessess-Opportunities-Threaths)

, yang

ditujukan untuk menentukan strategi kebijakan pemberdayaan nelayan kecil ke

depan yang didasarkan pada kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan.

Kedua kabupaten memiliki ketergantungan terhadap sektor perikanan, namun

ketergantungan Kabupaten Indramayu lebih lebih tinggi daripada Kabupaten Cirebon.

Analisis SEM menunjukkan bahwa seluruh faktor secara signifikan berpengaruh

positif terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap, dan satu dengan lainnya

memiliki saling keterkaitan. Variabel yang berperan dalam kebijakan publik (PEMP)

adalah tersedianya dana program pemberdayaan, adanya skim pembiayaan, dan

keberadaan bank mitra. Variabel yang berperan pada faktor perekayasaan

kelembagaan adalah keberadaan koperasi LEPP-M3, kelembagaan nelayan, dan LKM

Swamitra Mina. Variabel yang berperan pada faktor kemampuan berbisnis individu

adalah keberanian mencoba usaha baru, pengalaman, dan pengetahuan individu

nelayan. Analisis SWOT menyimpulkan bahwa strategi untuk memperbaiki keragaan

pembangunan perikanan tangkap skla kecil adalah peningkatan kapasitas sumber

daya manusia, introduksi teknologi tepat guna, peningkatan akses pasar dan akses

modal.

Kata kunci

:

Cirebon, perikanan tangkap skala kecil, Indramayu, Multi Criteria


(5)

KERAGAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP:

SUATU ANALISIS PROGRAM PEMBERDAYAAN

NELAYAN KECIL

IWAN SETIAWAN

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Disertasi : Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap: Suatu Analisis Program Pemberdayaan Nelayan Kecil

Nama Mahasiswa : Iwan Setiawan

Nomor Pokok : C 526010114

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Ketua

Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. Dr. Ir. M. Fedi A.Sondita, M.Sc.

Anggota Anggota

.

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S.


(7)

Penguji luar komisi ujian tertutup tanggal 16 Pebruari 2008: Dr. Sugeng Hari Wisodo, M.Si.

Penguji luar komisi ujian terbuka tanggal 14 April 2008: 1. Dr. Sudirman Saad, SH, M.Hum


(8)

SURAT PERNYATAAN

Dengan rasa penuh tanggung jawab dengan ini saya menyatakan, bahwa disertasi

yang berjudul “KERAGAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP:

SUATU ANALISIS PROGRAM PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL”, adalah

karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum pernah diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam

teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, April 2008

Iwan Setiawan

NIM: C 526010114


(9)

ABSTRAK

IWAN SETIAWAN.

Kinerja Pembangunan Perikanan Tangkap: Suatu Analisis

Program Pemberdayaan Nelayan Kecil.

(Pembimbing:

D.R. MONINTJA, M.F.A.

SONDITA, V.P.H. NIKIJULUW).

Kinerja pembangunan perikanan tangkap sampai saat ini belum secara signifikan

meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil, terbukti sebagian besar nelayan masih

berpendapatan kurang dari US$ 10 per kapita per bulan, yang menurut

Millenium

Development Goals

(MDGs) pendapatan sebesar itu sudah termasuk dalam

extreme

poverty

karena lebih kecil dari US$ 1 per hari. Penelitian ini bertujuan mengkaji

kinerja program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sebagai

program pemberdayaan nelayan kecil, dengan mengkaji pengaruh kebijakan publik,

rekayasa kelembagaan dan kemampuan berbisnis individu nelayan di Kabupaten

Cirebon dan Indramayu tahun 2006.

Tahap pertama dikaji ketergantungan relatif daerah terhadap perikanan dengan

metode

multi criteria analysis (MCA)

dengan 5 indikator (rasio nelayan, rasio hasil

tangkapan, rasio pendapatan, rasio jumlah tenaga kerja sektor penangkapan ikan,

rasio jumlah perahu perikanan). Kabupaten Indramayu cenderung mempunyai tingkat

ketergantungan perikanan relatif lebih tinggi (empat indikator bernilai lebih tinggi)

dibandingkan Cirebon.

Tahap kedua dengan metode SEM

(Structural Equation Modeling)

dikaji faktor yang

mempengaruhi kinerja pembangunan perikanan tangkap skala kecil, yaitu kebijakan

publik, rekayasa kelembagaan, dan kemampuan berbisnis individu, dihubungkan

dengan kinerja pembangunan perikanan tangkap. Hasil analisis: program PEMP di

Cirebon dan Indramayu dapat diterima dengan baik. Rata-rata pengalaman berbisnis

responden di kedua lokasi 9 tahun, dengan rentang waktu 2-22 tahun. Selanjutnya

dilakukan analisis SWOT untuk menyusun langkah dan strategi pembangunan

perikanan tangkap skala kecil melalui perbaikan faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

Keywords

:

Cirebon, ketergantungan perikanan, Indramayu, multi criteria analysis

(MCA), SEM (Structural Equation Modeling)


(10)

IWAN SETIAWAN. The Performance of Fish-Catching Development: An Analysis of Empowerment Program for Fisherman. (Advisors: D. R. MONINTJA, M.F.A. SONDITA, V.P.H. NIKIJULUW).

Until present, the performance of capture fisheries development was still considered

insignificant in improving fisherman’s welfare status; most of them still earned less than US$ 10/capita/month which belonged to ‘extreme poverty’ category according to Millennium Development Goals, i.e. less than US$1/day. This research was to scrutinize the actual performance of small-scale capture fisheries development through the study of fisherman empowerment program (PEMP), i.e. to learn the impact of this particular public policy, the institutional engineering that took place, and the development of individual skill in business among fishermen in Cirebon and Indramayu districts in 2007.

The first stage of the study was to learn the dependency of those regions on fishery sector through the method of multi-criteria analysis (MCA) with five indicators (i.e. fisherman ratio, yield ratio, income ratio, fishery sector manpower ratio, fishing-boat number ratio).

Indramayu district was proved to be more dependent on its fishery sector (four of five indicators were higher) than Cirebon district.

At the second stage, the method of structural equation modeling (SEM) was used that took into account factors affecting the performance of small-scale fish-catching development; i.e. public policy (indicated by the existence of empowerment program, aid schemes, and bank in partner), institutional engineering took place (indicated by the existence of Swamitra Mina micro financial institutions, LEPP-M3 cooperatives, and fisherman’s institutions), and the individual skill in business (measured by business experience indicator, level of knowledge, and risk-taking attitude for new ventures/opportunities); all were correlated with the fish-catching development performance (measured by indicators oriented in welfare

improvement, local-based, and sustainable in the implementation). Results of the analysis: in general, the PEMP programs in Cirebon and Indramayu were well-accepted (30%-35%). About much as 30%-40% (respondents that have never been involved in the program). As much as 40%-50% of respondents at the two locals gave out value of 4-5 toward the occurred institutional engineering. Between 40%-50% of respondents in Cirebon and 42%-62% in Indramayu had relatively good development in experience, the knowledge and skill, and the risk-taking attitude toward business. The average business experience of respondents in the two locals was nine years; with the range of 2-22 years. About 53% of respondents in Cirebon and 58% of respondents in Indramayu appreciated capture fisheries the performance of fish-catching development. The institutional engineering that took place in the two locals had significantly affected the fish-catching development performance at 1% level of

significance. Indicator of LEPP-M3 cooperative had contributed the most to the variable of institutional engineering.

The SEM analysis result was then followed by SWOT analysis in order to set up follow-up steps and strategy for further development of small-scale fish-catching through the

improvement of the affecting factors.

Keywords: Cirebon, dependency in fishery sector, Indramayu, multi-criteria analysis (MCA), structural equation modeling (SEM)


(11)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak

sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(12)

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT-Tuhan yang maha kuasa,

atas rahmat dan karunianya yang maha besar sehingga penulis dapat menyelesaikan

disertasi sebagai tahap akhir program doctor pada program Studi Teknologi Kelautan

(TKL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan

penghargaan secara khusus kepada Prof. Dr. Daniel R. Monintja sebagai Ketua

komisi pembimbing, Dr. Ir. M. Fedi Sondita, M.Sc. dan Dr. Ir.Victor PH. Nikijuluw,

M.Sc. masing-masing sebagai Anggota, yang dengan penuh keseriusan dan kesabaran

memberikan bimbingan dan pengkayaan wawasan kepada penulis hingga disertasi ini

dapat terwujud. Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. John Haluan sebagai

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, dan Prof. Mulyono Baskoro sebagai Ketua

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo

sebagai penguji luar komisi pada sidang tertutup pada tanggal 24 Februari 2008, Prof.

Dr. Gunawan Sumodiningrat dan Dr.Ir. Eko Sriwiyono sebagai penguji luar komisi

pada sidang terbuka tanggal 14 April 2008.

Terimakasih kepada: Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., Dr. Victor PH.

Nikijuluw, MSc., dan Dr. Ir. Asep Saefudin, MSc., atas rekomendasi yang diberikan

kepada penulis untuk dapat mengikuti program S3 di IPB. Direktur Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir (Dr. Ir. Victor PH. Nikijuluw, MSc. dan Dr. Sudirman Saad, SH,

M.hum), sebagai atasan langsung penulis saat itu. Teman-teman di secretariat TKL

(Mbak Shinta dkk.), Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Direktorat

Pulau-pulau Kecil -KP3K-DKP, Yayasan Crescent dan Plarenco, serta teman-teman

dan sahabat lain yang tidak bisa penulis sebutkan satau per satu, atas segala bantuan

dan dorongannya. Terakhir terimakasih kepada Isteriku Nina Marlina, ananda

Andiansyah Setiawan dan Prihadi Adikusumah, atas doa, dorongan dan perhatian,

serta atas waktu yang tersita.

Bogor, April 2008

Iwan Setiawan

RIWAYAT HIDUP


(13)

Penulis lahir di Sukabumi pada tanggal 22 Juni 1952, dari pasangan

Darmasasmita dengan Hj. Rukoyah (keduanya almarhum). Pendidikan dasar dan

menengah pertama di selesaikan di Sukabumi, sedangkan sekolah menengah atas

ditempuh di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Negeri Bogor, di Bogor, dan

dilanjutkan di Akademi Perkebunan (AKAPER) Surabaya di Surabaya. Pendidikan

strata 1 ditempuh di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam jurusan

Biologi di Universitas Pakuan Bogor, dan strata 2 di Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, lulus tahun 1997.

Sejak tahun 2001 penulis mengikuti program S3 Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor Program Studi Teknologi Kelautan.

Pada tahun 1976 sampai dengan tahun1980 penulis bekerja di Balai Penelitian

Perkebunan Bogor, tahun 1981 sampai dengan tahun 1995 bekerja di

Seameo

Regional Center for Tropical Biology (BIOTROP

), dari mulai sebagai

technician,

research assistant

, dan terakhir tercatat sebagai

Yunior Scientist

, dan sejak tahun

1986 tercatat sebagai staf Institut Pertanian Bogor. Tahun 1999 bersamaan dengan

berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan, penulis diperbantukan di Direktorat

Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai: Tahun 2000-2001 Kepala

Subdirektorat Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat, 2001-2002 Kepala

Subdirektorat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2002-2004 Kepala Subdirektorat

Akses dan Usaha Permodalan, 2004-2006 sebagai Kepala Subdirektorat Akses

Permodalan, 2006 sampai saat ini sebagai Kepala Subdirektorat Pengelolaan

Ekosistem Pulau-Pulau Kecil.

Penulis menikah pada tahun 1979 dengan Nina Marlina, dan dikaruniai dua

orang putra, yaitu Andriansyah Setiawan dan Prihadi Adikusumah, keduanya lulusan

pendidikan strata satu Institut Pertanian Bogor.


(14)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(15)

PRAKATA

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan dan rasa ingin tahu penulis

terhadap kondisi masyarakat pesisir khususnya nelayan yang tinggal di wilayah

pesisir, di tengah “berlimpahnya” sumberdaya kelautan dan perikanan namun masih

hidup dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Walaupun telah banyak upaya

pemerintah yang ditujukan untuk memberdayakan mereka, namun program-program

tersebut belum secara signifikan menunjukkan hasil yang diharapkan. Hal ini

mengundang penulis untuk melakukan kajian terhadap satu model program

pemberdayaan nelayan kecil yang direpresentasikan oleh program Pemberdayaan

Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), yang setelah lebih dari lima tahun masih eksis

di kalangan masyarakat pesisir. Dengan biaya sendiri penelitian ini saya lakukan di

Kabupaten Cirebon dan Indramayu dalam kurun waktu 6 bulan, terhitung mulai bulan

Oktober 2006 sampai dengan Pebruari 2007.

Hasil kajian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan, “apakah program ini

dapat diterima oleh masyarakat pesisir?”, atau dengan kata lain program ini ada

manfaatnya bagi mereka. Jika “ya”, maka faktor-faktor apa saja yang membuat

program ini ada manfaatnya.

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan acuan kepada kita terutama

Pemerintah, dalam menentukan langkah-langkah strategis menuju kepada perubahan

dan penyempurnaan program-program pemberdayaan sejenis.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak, yang baik

langsung maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya

penelitian ini, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi semua.

Bogor, April 2008


(16)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT-Tuhan yang maha kuasa,

karena penulis dapat menyelesaikan studi program doktor pada program Studi

Teknologi Kelautan (TKL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin menyampaikan terimakasih secara khusus kepada Prof. Dr.

Daniel R. Monintja sebagai Ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. M. Fedi A.

Sondita, M.Sc. serta Dr. Ir.Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. sebagai Anggota komisi,

yang telah membimbing penulis sampai disertasi ini dapat terwujud. Terimakasih

kepada Dekan FPIK, Ketua Departemen PSP-FPIK, Ketua Program Studi TKL-FPIK,

Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo (penguji luar komisi pada sidang tertutup), Dr. Sudirman

Saad, SH,M.Hum. dan Dr.Ir. Eko Sriwiyono, M.S. (penguji luar komisi pada sidang

terbuka), sehingga proses studi dan ujian dapat berjalan dengan baik.

Terimaksih kepada Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., Dr. Ir. Asep Saefudin,

M.Sc, Dr. Victor PH. Nikijuluw, M.Sc., atas rekomendasi yang diberikan untuk dapat

mengikuti program S3 di IPB. Terimakasih kepada Ketua LPPM IPB, Dirjen KP3K,

Direktur PMP-KP3K, dan Direktur Pemberdayaan PPK-KP3K, atas kesempatan yang

diberikan. Terimakasih kepada Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc., Ir. Aminudin, M.Sc.,

Dr.Ir. Sugeng Budiharsono, Ir. Sri, MM, dan Ir. Tatit, MM, yang telah membantu

dalam proses analisis data. Teman-teman di sekretariat TKL (Mbak Shinta yang baik

dkk.), Kasubdit dan staf di Direktorat PMP-KP3K, terutama di Subdit Akses Modal.

Teman-teman di Direktorat PPPK khususnya di Subdit Pengelolaan Ekosistem PPK.

Teman-teman di Crescent dan Plarenco, serta teman dan sahabat yang tidak bisa

penulis sebutkan satu per satu, atas segala bantuan dan dorongannya.

Terakhir terimakasih kepada Isteriku Nina Marlina, ananda Andiansyah

Setiawan dan Prihadi Adikusumah Setiawan, atas doa, dorongan dan perhatian, serta

atas waktu yang tersita.

Bogor, April 2008


(17)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sukabumi pada tanggal 22 Juni 1952, dari pasangan

Darmasasmita dengan Hj. Rukoyah (keduanya almarhum). Pendidikan dasar dan

menengah pertama di selesaikan di Sukabumi, sekolah menengah atas ditempuh di

Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Negeri Bogor, dilanjutkan di Akademi

Perkebunan (AKAPER) di Surabaya. Pendidikan strata 1 ditempuh di Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam jurusan Biologi Universitas Pakuan Bogor, dan

strata 2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPS-IPB) Program Studi Ilmu

Pengetahuan Kehutanan, lulus tahun 1997. Sejak tahun 2001 penulis mengikuti program

doktor di Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Teknologi Kelautan.

Tahun 1976-1980 penulis bekerja di Balai Penelitian Perkebunan Bogor.

1981-1995 bekerja di

Seameo Regional Center for Tropical Biology (BIOTROP

), terahir

tercatat sebagai

Yunior Scientist

. Sejak tahun 1986 disamping sebagai staf BIOTROP

juga tercatat sebagai staf IPB. Sejak tahun 1999 sampai saat ini diperbantukan penuh di

Departemen Kelautan dan perikanan, pada Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil sebagai: Kepala Subdirektorat Pengelolaan Sumberdaya Berbasis

Masyarakat (2000-2001), Kepala Subdirektorat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

(2001-2002), Kepala Subdirektorat Akses dan Usaha Permodalan (2002-2004 Kepala

Subdirektorat Akses Permodalan (2004-2006), Kepala Subdirektorat Pengelolaan

Ekosistem Pulau-Pulau Kecil (2006 sampai saat ini).

Pelatihan yang pernah diikuti: Training Course on Basic of Mycorrhizal Research

and its application in the field, University of Guelph, Canada (1989). Training Course on

Biology and Technology of

Mycorriza

, Chiangmai University, Chiangmai, Thailand

(1991). Pelatihan Rekayasa Genetika Rhizibium, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi LIPI, Bogor (1993). Pelatihan Ekplorasi, Koleksi dan Konservasi Benih

Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI, Bogor (1993).

Training Course on Seed Precurement. Indonesian Tree Seed Centre Project (Forestry

Departement, Indonesia) and Danida Forest Seed Centre (Denmark), Bogor (1994).

Pelatihan kedinasan SPAMA III (2001), dan pelatihan-pelatihan lain dari DKP.


(18)

Penulis menikah pada tahun 1979 dengan Nina Marlina, dan dikaruniai dua orang

putra, yaitu Andriansyah Setiawan dan Prihadi Adikusumah Setiawan keduanya lulusan

pendidikan strata satu IPB.


(19)

DAFTAR ISI

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Kondisi Umum PerikananTangkap Indonesia ... 11

2.1.1 Karakteristik perikanan tangkap skala kecil ... 12

2.1.2 Kondisi umum nelayan Indonesia ... 15

2.1.3 Kemiskinan nelayan di Indonesia ... 18

2.1.4 Tingkat kemiskinan ... 24

2.1.5 ”The tragedy of the commons”, akar penyebab kemiskinan nelayan ... 25

2.2 Pemberdayaan Nelayan dalam Penanggulangan Kemiskinan .. 29

2.2.1 Strategi pemberdayaan nelayan ... 32

2.2.2 Tingkat kesejahteraan ... 36

2.3 Kebijakan Publik ... 39

2.3.1 Hirarki kebijakan publik ... 40

2.3.2 Kebijakan publik dalam pembangunan perikanan ... 43

2.4 Kelembagaan ... 63

2.5 Kewirausahaan (entrepreneurship) ... 68

3 METODE PENELITIAN ... 72

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 72

3.2 Pengumpulan Data ... 72

3.3 Analisis Data ... 73

3.3.1 Analisis ketergantungan daerah perikanan (Fisheries Dependent Region) ... 74

3.3.2 Analisis SEM (Structural Equation Modeling) ... 78


(20)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 84

4.1 Kabupaten Cirebon... 84

4.1.1 Letak geografis dan wilyah administrasi ... 84

4.1.2 Iklim ... 85

4.1.3 Perikanan ... 85

4.1.4 Sosial-Ekonomi ... 86

4.2 Kabupaten Indramayu ... 88

4.2.1 Letak geografis dan wilyah administrasi ... 88

4.2.2 Iklim ... 89

4.2.3 Perikanan ... 89

4.2.4 Kependudukan ... 96

4.3 Keragaan Perikanan ... 96

4.4 Ketergantungan Perikanan ... 99

5 PENGARUH KEBIJAKAN PUBLIK, PERAKAYASAAN KELEMBAGAAN, KEMAMPUAN BERBISNIS INDIVIDU TERHADAP KERAGAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL ... 102

5.1 Pendahuluan ... 102

5.2 Metodologi ... 104

5.2.1 Metode pengumpulan data ... 104

5.2.2 Model keragaan pembangunan perikanan tangkap ... 105

5.2.3 Metode analisis ... 107

5.2.4 Hipotesis operasional ... 109

5.3 Hasil dan Pembahasan ... 110

5.3.1 Hasil ... 110

5.3.1.1 Kebijakan publik ... 110

5.3.1.2 Perekayasaan kelembagaan ... 113

5.3.1.3 Kemampuan berbisnis individu (entrepreneurship) ... 118

5.3.1.4 Keragaan pembangunan perikanan tangkap... 121

5.3.1.5 Pengaruh kebijakan publik, perekayasaan Kelembagaan dan kemampuan berbisnis individu terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil ... 123

5.3.2 Pembahasan ... 127

5.4 Kesimpulan ... 130

6 PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERIKANAN DALAM PENINGKATAN KERAGAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP ... 132

6.1 Pendahuluan ... 132

6.2 Tujuan ... 132

6.3 Metodologi ... 132

6.3.1 Metode pengumpulan data ... 132

6.3.2 Analisis data ... 134


(21)

6.4.1 Hasil ... 134

6.4.1.1 Pengembangan kebijakan publik dalam peningkatan keragaan pembangunan perikanan tangkap ... 134

6.4.1.2 Pengembangan kelembagaan untuk peningkatan dalam keragaan pembangunan perikanan tangkap ... 140

6.4.1.3 Pengembangan kemampuan berbisnis individu (entrepreneurship) dalam peningkatan keragaan pembangunan perikanan tangkap ... 146

6.4.2 Pembahasan ... 151

6.4.2.1 Kebijakan publik ... 151

6.4.2.2 Pengembangan kelembagaan ... 157

6.4.2.3 Kemampuan berbisnis individu ... 161

6.5 Kesimpulan ... 164

7 PEMBAHASAN UMUM ... 165

7.1 Kebijakan publik pembangunan nelayan kecil ... 167

7.2 Perekayasaan kelembagaan ... 172

7.3 Kemampuan berbisnis individu ... 177

7.4 Keragaan pembangunan perikanan tangkap... 179

7.5 Pengaruh kebijakan publik, rekayasa kelembagaan, kemampuan bisnis individu terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap ... 181

8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 184

8.1 Kesimpulan ... 184

8.2 Saran ... 185

DAFTAR PUSTAKA ... 186


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan situasi sosioekonomi-teknis antara nelayan

tradisional dengan nelayan industri ... 14

2 Indikator keberhasilan dalam konsep Co-Management ... 32

3 Matrik SWOT dan penyusunan kebijakan ... 83

4 Perkembangan jumlah perahu dan kapal motor Kabupaten

Cirebon per Kecamatan tahun 2004 – 2005 ... 85

5 Perkembangan jumlah alat tangkap kabupaten Cirebon

menurut jenis alat tangkap tahun 2004 – 2005... 85

6 Proyeksi dan realisasi produksi perikanan Kabupaten Cirebon

tahun 2005 … ... 86

7 Jenis-jenis ikan laut ekonomis penting yang didaratkan di

Kabupaten Indramayu ... 91

8 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut

di Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004 ... 92

9 Perkembangan jumlah RTP dan armada berbagai jenis kapal

di Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004 ... 93

10 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Indramayu

pada tahun 1995-2004 ... 94

11 Perkembangan luas lahan (ha) budidaya tambak di Kabupaten

Indramayu, tahun 1996-2000 ... 96

12 Keragaan perikanan tangkap Kabupaten Cirebon ... 98

13 Keragaan perikanan tangkap Kabupaten Indramayu ... 99

14 Tingkat ketergantungan daerah terhadap perikanan Kabupaten

Indramayu dan Cirebon ... 100

15 Hasil analisis pengaruh indikator pembangunan perikanan tangkap

di Kabupaten Cirebon dan Indramayu 2006 ... 124

16 Faktor-faktor penentu keragaan pembangunan perikanan tangkap


(23)

17 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, 2006 ... 126

18 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi keragaan pembangunan

perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon dan Indramayu 2006 ... 127

19 Bobot dan rating unsur pembentuk SWOT pada komponen

pengembangan kebijakan publik ... 136

20 Alternatif kebijakan publik dalam peningkatan keragaan perikanan

tangkap ... 138

21 Penentuan bobot dan rating unsur pembentuk SWOT pada

komponen pengembangan kelembagaan... 142

22 Alternatif kebijakan kelembagaan untuk peningkatan keragaan

perikanan tangkap ... 144

23 Penentuan bobot dan rating unsur pembentuk SWOT pada

komponen pengembangan kemampuan berbisnis individu ... 147

24 Alternatif kemampuan berbisnis individu untuk peningkatan


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian ... 10

2 Perangkap kemiskinan (Chambers, 1983) ... 23

3 Model hirarki kebijakan publik ... 42

4 Proses pertumbuhan lembaga sosial (Adiwibowo, 2000) ... 68

5 Rantai nilai pengembangan kewirausahaan ... 71

6 Pendekatan penelitian ... 74

7 Kuadran SWOT ... 82

8 Konseptualisasi model keragaan pembangunan perikanan tangkap

sekala kecil di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, 2006 ... 106

9 Persepsi responden terhadap program pemberdayaan di Cirebon ... 112

10 Persepsi responden terhadap program pemberdayaan di

Indramayu ... 113

11 Persepsi responden terhadap perekayasaan kelembagaan di

Cirebon ... 117

12 Persepsi responden terhadap perekayasaan kelembagaan di

Indramayu ... 118

13 Persepsi responden terhadap kemampuan berbisnis individu

di Cirebon ... 120

14 Persepsi responden terhadap kemampuan berbisnis individu

di Indramayu ... 120

15 Persepsi responden terhadap keragaan pembangunan perikanan

tangkap di Cirebon ... 122

16 Persepsi responden terhadap keragaan pembangunan perikanan

tangkap di Indramayu ... 122

17 Hasil uji empiris keragaan pembangunan perikanan tangkap


(25)

18 Kuadran kebijakan publik dalam peningkatan keragaan

pembangunan perikanan tangkap ... 137

19 Kuadran pengembangan kelembagaan dalam rangka

peningkatan keragaan pembangunan perikanan tangkap ... 143

20 Kuadran pengembangan kemampuan berbisnis individu dalam


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Cirebon ... 192 2. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Indramayu ... 193 3. Model Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap di


(27)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan perikanan Indonesia dengan potensi sumberdaya yang begitu besar diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional Indonesia, terutama terhadap tiga komponen penting pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat kemiskinan. Seperti disebutkan Jatmiko (2007), bahwa dalam struktur perekonomian nasional, sektor perikanan memiliki peran strategis sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa bagi negara.

Namun ternyata harapan tersebut masih jauh dari kenyataan. Sebagai gambaran Departemen Kelautan dan Perikanan (2004a) melaporkan, bahwa berdasarkan data BPS tahun 2004, dari 8.090 desa pesisir di Indonesia sebanyak 3,91 juta KK (16,42 juta jiwa) penduduknya termasuk ke dalam peduduk miskin dengan Poverty Headcount Index (PHI) sebesar 0,32. Hal serupa juga dikemukanan Fauzi (2005), bahwa sebagian besar nelayan Indonesia yaitu pelaku perikanan tangkap berskala kecil (perikanan pantai) masih tergolong masyarakat miskin dengan pendapatan kurang dari US$ 10 per kapita per bulan, yang jika dilihat dari konteks Millenium Development Goals (MDGs) pendapatan sebesar itu sudah termasuk ke dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari US$ 1 per hari. Gambaran lainnya, hasil perhitungan program COREMAP (Coral Reef Management Programe) di 10 propinsi menunjukkan bahwa pendapatan nelayan pada tahun 1996/1997 masih berkisar antara Rp 82.000 sampai Rp 200.00 per bulan. Kondisi seperti demikian menggambarkan bahwa potensi sumberdaya kelautan dan perikanan belum dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan.

Masalah kemiskinan masyarakat pesisir terutama nelayan, sangat berkaitan dengan kondisi potensi sumberdaya perikanan, kualitas sumberdaya manusia, dan sarana-prasarana yang tersedia. Penurunan sumberdaya perikanan tersebut


(28)

semakin meningkat akibat kurang bertanggungjawabnya nelayan terhadap keberlanjutan sumberdaya. Sebagai contoh bebasnya nelayan melakukan penangkapan ikan secara berlebihan, tidak adanya kuota penangkapan ikan, tidak adanya penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap; tidak adanya peraturan yang mengatur musim penangkapan ikan kecuali untuk beberapa lokasi di Indonesia Timur, dan belum ditaatinya peraturan yang menetapkan macam dan ukuran alat penangkapan ikan, ukuran dan jumlah kapal ikan yang dibolehkan. Sebagai akibatnya seperti disebutkan Nikijuluw (2005), bahwa kondisi perikanan tangkap di Indonesia sudah berada pada titik jenuh. Dikatakannya, bahwa meskipun secara nasional potensi lestari (Maximum Sustainable Yield atau MSY) sumberdaya perikanan diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun, saat ini telah dimanfaatkan hampir 72%, dan apabila yang menjadi acuan adalah Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) yaitu 80% dari potensi lestari (5,12 juta ton), maka sebetulnya pemanfaatan sumberdaya ikan telah mencapai 90%. Kondisi ini tidak jauh berbeda dari laporan FAO (1997) yang menyebutkan bahwa sumberdaya ikan dunia cenderung telah dimanfaatkan secara penuh.

Permasalahan kemiskinan, penurunan hasil tangkapan, dan kerusakan ekosistem perairan pada hakikatnya merupakan proses sebab-akibat yang tidak terpisahkan. Kemiskinan diyakini menjadi salah satu pendorong menurunnya sumberdaya ikan, sedangkan ketiadaan mata pencaharian alternatif dan minimnya pengetahuan, serta permodalan, menjadikan pantai (zona yang produktivitas dan keberagaman sumberdayanya paling tinggi) mengalami tekanan penangkapan yang luar biasa, sehingga hasil tangkapannya menurun dari waktu ke waktu. Akibat lanjutannya, kompetisi antar alat tangkap semakin meningkat dan kegiatan menangkap ikan semakin susah. Kecenderungan tersebut, telah mendorong nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang merusak ekosistem, seperti penggunaan bahan peledak, potasium dan pengoperasian alat-alat tangkap yang merusak lainnya.

Kemiskinan, ternyata juga telah menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat pesisir khususnya nelayan. Rendahnya kapasitas masyarakat nelayan, dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang mereka lakukan. Usaha nelayan


(29)

biasanya bersifat individual, tradisional, dan biasanya hanya terpaku pada kegiatan penangkapan ikan saja, yaitu berupa ikan segar hasil tangkapan. Sedangkan kegiatan pasca-panen yang dapat menghasilkan nilai tambah justru dilakukan oleh pedagang dan pengolah ikan yang mengambil alih tugas-tugas peningkatan nilai tambah melalui perubahan bentuk produk (proses pengolahan), perubahan waktu penjualan (proses penyimpanan), dan perubahan tempat penjualan (proses transportasi). Akibatnya porsi nilai tambah yang didapatkan oleh nelayan relatif kecil.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tadi, sebenarnya Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan perikanan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan mengentaskan kemiskinan. Sebagai contoh untuk mengatasi kebutuhan permodalan masyarakat pesisir terutama nelayan kecil, Pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan lembaga-lembaga keuangan sudah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kendala financial capital di sektor perikanan. Namun demikian pembangunan perikanan sampai saat ini belum secara signifikan memberikan kontribusi ekonomi yang berarti bagi perolehan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Seperti dikemukakan Dahuri (2004), bahwa sumbangan sektor kelautan dan perikanan secara keseluruhan sekitar 20,06 % dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun 1998. Sedangkan khusus subsektor perikanan pada tahun 2004 menyumbang 15,0 % terhadap PDB sektor pertanian berdasarkan harga konstan tahun 2000 (BPS, 2004). Pada saat bersamaan China dan Korea yang potensi sumberdaya kelautan dan perikanannya lebih kecil, menyumbang PDB masing-masing sebesar 48,4% dan 54,0%. Dengan kata lain, sumberdaya kelautan dan perikanan kita belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka dipandang perlu untuk dilakukan kajian secara lebih mendalam terhadap program-program pemberdayaan nelayan terutama nelayan kecil yang masih berjalan, dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor penentu atau variabel-variabel yang mempengaruhi keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil.


(30)

Salah satu program pemberdayaan nelayan kecil yang saat ini masih berjalan adalah program Pemberdayaan Ekonomin Masyarakat Pesisir (PEMP) yang diinisiasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sejak tahun 2000. Program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), partisipasi masyarakat, dan usaha ekonomi produktif ini dalam pelaksanaannya dibagi ke dalam tiga tahapan proses, yaitu 1) periode inisiasi, yakni introduksi kebijakan dan penggalangan partisipasi, serta perintisan kelembagaan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat sasaran, 2) periode institusionalisasi, yakni proses lanjutan dari periode inisiasi berupa penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat, baik secara organisasi maupun tatalaksana, dan 3) periode diversifikasi, yaitu tahap pengembangan dan diversifikasi usaha ekonomi produktif.

1.2 Perumusan Masalah

Keragaan pembangunan perikanan tangkap, terutama pembangunan perikanan tangkap skala kecil seperti diungkapkan sebelumnya disebabkan oleh banyak variabel yang mempengaruhinya. Seperti disebutkan Fatchudin (2006), bahwa keragaan tesebut diantaranya disebabkan oleh: (1) Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum kondusif untuk suatu kemajuan; (2) Struktur armada penangkapan yang masih didominasi oleh skala kecil dengan kemampuan IPTEK yang rendah; (3)Tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan lainnya masih timpang; (4) Masih banyaknya illegal, unreported, unregulated (IUU)

fishing yang terjadi karena lemahnya sistem monitoring dan pengawasan, serta kurangnya law enforcement di perairan laut Indonesia; (5) Infrastruktur perikanan untuk usaha penangkapan ikan belum memadai; (6) Masalah kerusakan ekosistem dan lingkungan laut akibat penambangan dan aktivitas manusia lainnya; (7) Rendahnya kemampuan pasca panen maupun pengolahan hasil perikanan; (8) Lemahnya market inteligence, yang meliputi penguasaan informasi pesaing, segmen pasar, selera konsumen, dan akses pasar; (9) Lemahnya management information system yang berbasis teknologi informasi dalam penyediaan data


(31)

yang akurat dan tepat waktu; (10) Belum berkembangnya bioteknologi kelautan dan perikanan; (11) Kualitas infrastruktur dan kapasitas kelembagaan di bidang kelautan dan perikanan belum optimal; (12) Lemahnya Public Policy (kebijakan publik) dan peraturan-peraturan di bidang perikanan yang terintegrasi dengan pemangku kepentingan (stakeholders) perikanan yang lain, serta lemahnya akses permodalan.

Variabel-variabel yang dianggap menyebabkan rendahnya keragaan pembangunan perikanan tangkap tersebut, merupakan acuan bagi kita bahwa program-program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil harus dapat mengakomodasi variabel-variabel tersebut berdasarkan skala prioritas.

Berkaitan dengan program pemberdayaan yang sedang berjalan yaitu program PEMP, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil melalui pengembangan kultur kewirausahaan, LKM, partisipasi masyarakat, dan usaha ekonomi produktif, maka penelitian ini bertujuan menkaji faktor-faktorr yang diasumsikan mpengaruhi keragaan perikanan tangkap skala kecil, yaitu kebijakan publik (program PEMP sebagai kebijakan publik), perekayasaan kelembagaan (program PEMP sebagai bentuk perekayasaan kelembagaan pemberdayaan), dan kemampuan bisnis individu nelayan (program PEMP sebagai pengembangan kemampuan berbisnis individu nelayan kecil).

Hal ini perlu dilakukan karena dari ketiga faktor tersebut sampai saat ini belum diketahui secara pasti sejauhmana mempengaruhi keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil. Adapun indikator keragaan pembangunan perikanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah kapal ikan (unit), jumlah nelayan (RTP dan RTBP), jumlah produksi perikanan laut (ton), jumlah tenaga kerja perikanan, dan sumbangan sektor perikanan terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Pengukuran keragaan pemberdayaan/prestasi tersebut dilakukan oleh para stakeholders yang dalam hal ini adalah nelayan kecil, sehingga persepsi mereka terhadap keragaan perikanan tangkap skala kecil dalam penelitian ini dapat dipakai sebagai ukuran keragaan.


(32)

Dari permasalahan-permasalahan yang dikemukakan tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:

1) Apakah faktor kebijakan publik mempengaruhi keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh?

2) Apakah faktor rekayasa kelembagaan mempengaruhi keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh?

3) Apakah faktor kemampuan berbisnis individu (Fishery Entrepreneurship) mempengaruhi keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh

4) Apakah antara ketiga faktor pada butir (1), (2), dan (3) saling berhubungan, dan bagaimana kekuatan hubungan tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Mengkaji model pemberdayaan nelayan kecil, yaitu program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).

Tujuan Khusus

Mengkaji pengaruh kebijakan publik, perekayasaan kelembagaan dan kemampuan berbisnis individu dalam model pemberdayaan program PEMP, terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil.

1.4 Hipotesis

Hipothesis dalam penelitian ini adalah:

1) Faktor kebijakan publik program PEMP berpengaruh positip terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil

2) Faktor perekayasaan kelembagaan dalam program PEMP berpengaruh positip terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil


(33)

3) Faktor kemampuan berbisnis individu dalam program PEMP berpengaruh positip terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil

4) Faktor kebijakan publik, rekayasa kelembagaan, dan kemampuan berbisnis individu dalam program PEMP bersifat saling mempengaruhi.

1.5 Manfaat Penelitian

1) Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan publik tentang pemberdayaan nelayan kecil.

2) Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini menjadi bahan studi lanjutan bagi pengembangan model pemberdayaan nelayan skala kecil.

3) Bagi masyarakat pesisir (nelayan), hasil penelitian ini sebagai informasi tentang model pemberdayaan yang sesuai untuk pemberdayaan nelayan kecil.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Campbell (2000) tentang mata pencaharian yang berkelanjutan (The Sustainable Livelihoods Framework), maka seyogyanya setiap kebijakan pemberdayaan masyarakat perikanan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia. Konsep tersebut mengemukakan bahwa untuk membangun mata pencaharian yang berkelanjutan perlu memperhatikan aset-aset yang dimiliki oleh masyarakat pesisir (nelayan), yaitu diantaranya (1) human assets, meliputi pengetahuan, kecakapan dan kemampuan; (2) natural assets, aset sumberdaya yang ada di sekitarnya; (3) social assets, dukungan yang didapat dari masyarakat sekitar dan keluarga; (4) physical assets, infrastruktur yang dapat dimanfaatkan, serta (5) financial assests, modal yang dapat diperoleh untuk aktivitas usaha yang dijalankan


(34)

Berdasarkan konsep tersebut yang dihubungkan dengan program pemberdayaan yang sedang dilakukan, serta asumsi bahwa keberhasilan program pemberdayaan perikanan akan dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan daerah perikanan, maka penelitian ini didahului oleh analisis ketergantungan daerah perikanan (Fisheries Dependent Region). Analisis ini diperlukan untuk mengetahui tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap potensi perikanan secara relatif.

Selanjutnya, dengan asumsi bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil adalah kebijakan publik, rekayasa kelembagaan, dan kemampuan berbisnis individu, maka penelitian ini akan menelaah masing-masing faktor baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Selain mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh, dianalisis juga variabel-variabel yang mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Analisis selanjutnya adalah mengetahui hubungan dari masing-masing variabel apakah hubungan tersebut bersifat sinergis (saling memperkuat) atau antagonis (saling melemahkan). Untuk mengetahui keterkaitan variabel-variabel penting yang berpengaruh dan saling mempengaruhi tersebut dilakukan dengan menggunakan metode analisis Structural Equation Modeling (SEM), seperti yang dikembangkan oleh Ghozali dan Fuad (2005).

Secara paralel disusun pula strategi pemberdayaan untuk meningkatkan keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil ke depan berdasarkan potensi yang tersedia, melalui perbaikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Analisis yang digunakan untuk tujuan ini adalah analisis SWOT ( Strengths-Weaknessess-Opportunities-Threaths), seperti digunakan oleh David (1997). Dalam analisis ini, kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan pada program yang telah dilaksanakan sebagai acuan dalam pembuatan kebijakan/program yang lebih baik di masa mendatang.

Dari serangkaian analisis tersebut diharapkan dapat diketahui sejauhmana tingkat ketergantungan relatif daerah perikanan kedua lokasi penelitian; sejauhmana faktor-faktor kebijakan publik, perekayasaan kelembagaan, dan kemampuan bisnis individu mempengaruhi pemberdayaan nelayan kecil; dan


(35)

strategi pengembangan apa yang perlu dilakukan berdasarkan potesi dan permasalahan perikanan yang ada.

Skema pada Gambar 1 menjelaskan bahwa penelitian ditujukan untuk mengkaji model program PEMP sebagai suatu pengembangan model pemberdayaan nelayan, yang difokuskan pada faktor kebijakan publik, perekayasaan kelembagaan dan kemampuan berbisnis individu terhadap kondisi nelayan dan sumberdaya saat ini, yang hasilnya digambarkan sebagai keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil yang berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan.


(36)

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP)

KERAGAAN PERIKANAN TANGKAP SEKALA KECIL MENINGKAT – NELAYAN SEJAHTERA PERBAIKAN KERAGAAN

PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP

SEKALA KECIL

Baik ?

Tidak

Ya

PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBAGAI SEKTOR

SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. PerikananTangkap

2. PerikananBudidaya

3. Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulauKecil

SUMBERDAYA PERIKANAN 1. Pemanfaatanbelumoptimal 2. Degradasiekosistem

OTONOMI DAERAH NELAYAN KECIL:

1. Aksesmodal lemah 2. Sumberdayamanusiarendah 3. Kemampuanberbisnislemah 4. Kelembagaanlemah

KONDISI PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL SAAT INI

FAKTOR PENENTU KINERJA PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP

KEBIJAKAN PUBLIK

REKAYASA KELEMBAGAAN

KEMAMPUAN BERBISNIS INDIVIDU


(37)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Perikanan Tangkap Indonesia

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan, sedangkan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan atau mengawetkannya. Usaha perikanan selanjutnya didefinisikan sebagai semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap dan membudidayakan ikan untuk tujuan komersil. Usaha perikanan mencakup aspek produksi, pengolahan/pasca panen dan pemasaran, sehingga terdapat rangkaian kegiatan yang membentuk suatu sistem usaha perikanan.

Secara umum, kegiatan usaha perikanan laut di Indonesia dilakukan di wilayah pantai, dan secara historis perairan pantai Indonesia merupakan daerah penangkapan (fishing ground) bagi perikanan rakyat (artisanal fisheries). Perikanan rakyat ini sejak tahun 1975 menghasilkan hampir 90% produksi perikanan laut Indonesia (Soegiarto, 1976). Produksi perikanan laut meningkat dari 970 ribu ton pada tahun 1975 menjadi 3,6 juta ton pada tahun 1997 dan menjadi 4,07 juta ton pada tahun 2002 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004a). Kenaikan produksi tersebut disebabkan antara lain oleh modernisasi armada penangkapan dan adanya penemuan baru potensi sumberdaya perikanan laut dan perluasan daerah penangkapan ikan. Meskipun demikian, daerah penangkapan perikanan rakyat yang merupakan ciri dominan perikanan Indonesia tetap terkonsentrasi di wilayah pesisir/pantai.


(38)

bahwa perikanan rakyat tersebut mengandalkan sumberdaya ikan di perairan yang relatif sempit dan dieksploitasi oleh relatif banyak nelayan.

2.1.1 Karakteristik perikanan tangkap skala kecil

Klasifikasi perikanan skala kecil atau besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas. Sering kali pengelompokkannya berdasarkan atas ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap, dan jarak daerah penangkapan dari pantai (Smith, 1983).

Menurut Charles (2001), skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek, diantaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan daerah penangkapan yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan, dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokkan tersebut dilakukan melalui perbandingan perikanan skala kecil (small-scale fisheries) dengan perikanan skala besar (big-scale fisheries), walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Lebih lanjut karakteristik perikanan skala kecil diungkapkan oleh Smith (1983), bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan tradisional.

Perikanan tradisional menurut Smith (1983) diantaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali.

2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan di luar penangkapan.

3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri.

4) Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin.


(39)

6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai sangat rendah.

7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisir dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau dijual dilaut.

8) Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya.

9) Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal.

Kesteven (1973) mengelompokkan nelayan ke dalam tiga kelompok yaitu nelayan industri, artisanal dan subsisten, di mana nelayan industri dan artisanal berorientasi komersial sedangkan hasil tangkapan nelayan subsisten biasanya tidak untuk dijual di pasar tetapi lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri beserta keluarga atau untuk dijual secara barter. Lebih lanjut Smith (1983) yang dilengkapi oleh referensi Kesteven (1973), membuat rincian perbandingan perikanan skala tradisional dan industri berdasarkan technico-socio-economic yang di dalamnya termasuk karakteristik perikanan skala kecil (Tabel 1).


(40)

Tabel 1 Perbandingan situasi sosioekonomi-teknis antara nelayan tradisional dengan nelayan industri.

Katagori

Komersial Subsisten Artisanal

Industrial Tradisional

1. Unit penangkapan Tepat, dengan divisi pekerjaan dan prospek jelas

Tepat, kecil, spesialisasi dengan pekerjaan yang tidak terbagi

Tenaga sendiri, atau keluarga, atau grup masyarakat 2. Kepemilikan Dikonsentrasikan pada

beberapa pengusaha, kadang bukan nelayan

Biasanya dimiliki oleh nelayan yang berpengalaman, atau nelayan-nelayan gabungan Tersebar diantara partisipan-partisipan

3. Komitmen waktu Biasanya penuh waktu Seringkali merupakan pekerjaan sampingan

Kebanyakan paruh waktu

4. Kapal Bertenaga, dengan

peralatan yang memadai

Kecil; dengan motor di dalam (atau motor tempel kecil di luar)

Tidak ada, atau berbentuk kano

5. Perlengkapan Buatan mesin, atau pemasangan lainnya

Sebagian atau seluruhnya

menggunakan material-material buatan mesin

Material-material buatan tangan, dipasang oleh pemilik

6. Sifat Pekerjaan Dengan bantuan mesin Bantuan mesin yang minim

Dioperasikan dengan tangan

7. Investasi Tinggi, dengan proporsi yang besar di luar nelayan

Rendah; penghasilan nelayan (seringkali diambil dari pembeli hasil tangkapan)

Sangat rendah sekali

8. Penangkapan (per unit penangkapan)

Besar Menengah atau rendah Rendah hingga sangat

rendah 9. Produktivitas (per

orang nelayan)

Tinggi Menengah atau rendah Rendah hingga sangat rendah

10. Pengaturan Hasil Tangkapan

Dijual ke pasar yang terorganisir

Penjualan untuk lokal yang tak terorganisir, sebagian dikonsumsi sendiri

Umumnya dikonsumsi oleh nelayan itu sendiri, keluarganya, dan kerabatnya; atau ditukar 11. Pengolahan Hasil

Tangkapan

Diolah menjadi tepung ikan atau untuk bahan konsumsi bukan untuk manusia

Beberapa dikeringkan, diasap, diasinkan; untuk kebutuhan manusia

Kecil atau tidak ada sama sekali; semuanya untuk dikonsumsi

12. Keberadaan Ekonomi Nelayan

Seringkali kaya Golongan ke bawah Minimal

13. Kondisi Sosial Terpadu Kadang terpisah Masyarakat yang terisolasi

Keterangan: Kategori (1), (4)-(10) dan (13) dari Kesteven (1973). Ungkapan di dalam kurung adalah tambahan perubahan karakteristik menurut Kesteven.


(41)

2.1.2 Kondisi umum nelayan Indonesia

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia.

Dari sisi sumberdaya, wilayah pantai merupakan kawasan yang memiliki sumberdaya alam paling kaya dan merupakan bagian paling produktif di antara seluruh perairan bahari. Bahkan menurut Mulyana (1999) wilayah pesisir atau pantai menghasilkan sebagian besar (80%) produksi perikanan dunia. Walaupun demikian masyarakatnya dalam kondisi miskin bahkan secara ekonomi dianggap kelompok dengan opportunity cost yang rendah. Pendapat lain diungkapkan oleh Subade dan Abdullah (1993), bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Oleh karenanya hampir seluruh kegiatan di wilayah ini menarik dipelajari dan diteliti termasuk kegiatan perikanan yang sebagian besar dilakukan di wilayah ini.

Dalam berbagai hal terutama yang berkaitan dengan badan legal seperti perbankan, nelayan tidak mudah memperoleh akses yang diharapkannya karena ada penilaian rendahnya opportunity cost tersebut. Opportunity cost nelayan adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau kegiatan ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain

opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan kegiatannya meskipun kegiatan tersebut tidak lagi menguntungkan dan tidak efisien. Ada lagi yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan sebagai mata pencahariannya, yaitu tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Panayatou (1992) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou ini dijelaskan oleh Subade dan


(42)

Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih puas hidup dari menangkap ikan daripada sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena prinsip yang demikian, maka apapun yang terjadi dengan keadaannya tidak dianggap sebagai masalah bagi mereka. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya.

Smith (1979), menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama nelayan tetap terperangkap dalam kemiskinan, dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kapal dan alat penangkap ikan sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu walaupun rendah produktivitasnya, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang mungkin tidak efisien secara ekonomis.

Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar terhadap produksi perikanan. Bahkan sekitar 85% tenaga yang bergerak di sektor penangkapan ikan masih merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain (Widiyanto et al., 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidakberdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha. Hal ini juga terjadi karena rendahnya pendidikan dan penguasaan keterampilan bidang perikanan. Oleh karena itu pemberdayaan perikanan laut sudah semestinya dilakukan melalui pendekatan dengan nelayan, antara lain dengan melakukan pemberdayaan kepada kelompok nelayan kecil agar mereka dapat mengorganisasikan kegiatan usahanya.

Walaupun nelayan skala kecil menjadi kontributor terbesar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan masih selalu diidentikkan dengan kemiskinan (Elfindri, 2002). Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001).


(43)

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan, yaitu struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau dilingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.

Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, antar institusi sehingga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah pusat dan daerah memiliki komitmen khusus bagi kepentingan masyarakat miskin, dengan kata lain perlu dilakukan affirmmative actions.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan kultural ini sulit diatasi terutama karena pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal maupun informal, yang sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural


(44)

(Nikijuluw, 2001). Seperti yang dinyatakan Shari (1990) dan Mashuri (1993) bahwa penyebab utama kemiskinan nelayan yang dapat dikategorikan kultural adalah masa kerja yang terbatas dan tidak pasti, nilai produksi dibagi bersama terutama nelayan buruh. Selain itu, keluarga nelayan juga memiliki mutu modal manusia yang relatif rendah (Saedan, 1999).

2.1.3 Kemiskinan nelayan di Indonesia

Masyarakat pesisir (nelayan) di Indonesia identik dengan kemiskinan meskipun dari banyak literatur menyebutkan bahwa kemiskinan nelayan adalah suatu atribut global, terkecuali untuk negara-negara maju seperti Jepang. Kemiskinan nelayan dapat disebabkan karena suatu kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan, dimana sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya (Subade and Abdullah, 1993; Panayotou, 1992; Johnston, 1992). Sementara itu, Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas disekonomi yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga (kecil), maka nelayan kecil yang menanggung eksternalitas disekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan serta deplesi sumberdaya ikan.

Secara terstuktur, Dahuri (2000) mengajukan alasan kemiskinan nelayan, yang intinya kemiskinan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu biaya tinggi yang harus dibayar dan penerimaan yang rendah dari penjualan ikan hasil tangkapan. Seterusnya bila, diteliti lebih jauh, biaya tinggi disebabkan karena struktur pasar yang cenderung merugikan nelayan, sedangkan penerimaan yang rendah adalah karena volume hasil tangkapan dan/atau harga ikan yang rendah. Dahuri (2000) mengklasifikasikan alasan kemiskinan nelayan kedalam empat hal yaitu (1) kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya ikan, (2) kemiskinan karena kekurangan prasarana, (3) kemiskinan karena kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan (4) kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dan memberikan insentif usaha. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait


(45)

karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.

Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti demikian tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.

Panayotou (1992) mengatakan bahwa nelayan tetap bertahan dalam kemiskinan, karena tidak ada pilihan untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1992) ini dikuatkan oleh Subade dan Abdullah (1993), yang menekankan bahwa nelayan lebih senang dan memiliki kepuasaan hidup dari menangkap ikan dan bukan semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Sehingga dengan way of life yang demikian, maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, bukanlah masalah baginya, sementara prinsip hidup sangat sukar untuk diuah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia menyimpulkan, bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama mengapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan tersebut. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu, meskipun rendah


(46)

produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya secara ekonomis tidak lagi efisien.

Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu, bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost

mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila

opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.

Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Dengan demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks, karena tidak saja berkenaan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik (powerlessness), ketidakmampuan menyampaikan aspirasi (voicelessness), serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan manusia (human development).

Kemiskinan berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Rumusan pengertian kemiskinan mencakup unsur-unsur: (i) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan perumahan air bersih, transportasi dan sanitasi); (ii) kerentanan; (ii) ketidakberdayaan; dan (iv) ketidakmampuan untuk menyalurkan aspirasinya.

Berdasarkan definisinya, Adiwibowo (2000) menyebutkan bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi kekurangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak. Sedangkan ahli ekonomi lebih sering mendefinisikannya sebagai fenomena ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang cukup mapan sebagai


(47)

tempat untuk menggantungkan hidup. Namun sesungguhnya tidak semata-mata diakibatkan oleh kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, melainkan lebih dari itu. Esensi Kemiskinan adalah menyangkut kemungkinan orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan perekonomiaanya.

Secara lebih mendalam, Adiwibowo (2000) membedakan paling sedikit ada 6 (enam) macam kemiskinan, yaitu: (1) kemiskinan subsisten (penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.), (2). Kemiskinan perlindungan (lingkungan buruk: sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan, (3) kemiskinan pemahaman (kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan), (4) kemiskinan partisipasi (tidak ada akses dan control atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas), (5) kemiskinan identitas (terbatasnya pembauran, terfragmentasi antara kelompok sosial), dan (6) kemiskinan kebebasan (stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik tingkat pribadi maupun komunitas).

Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar permasalahannya yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu; (1) kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya sumberdaya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah, (2) kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yang terjadi karena strutur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.Definisi lain mengenai kemiskinan adalah seperti yang disebutkan oleh KPK (Komisi Penanggulangan Kemiskinan), yang mendefiniskan penduduk miskin ke dalam beberapa golongan, masing-masing:

(4) Usia di atas 55 tahun (aging poor), yaitu kelompok masyarakat yang tidak produktif (usia lanjut dan miskin). Program untuk kelompok ini bersifat pelayanan sosial.


(48)

(5) Usia antara 15-55 tahun (productive poor), yaitu usia sedang tidak produktif (usia kerja tetapi menganggur). Program yang dilakukan adalah investasi ekonomi dan merupakan fokus penanggulangan kemiskinan.

(6) Usia di bawah 15 tahun (young poor), yaitu kelompok yang belum produktif. Program yang dilakukan yaitu penyiapan sosial.

Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan di berbagai bidang yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, kondisi miskin dapat berakibat antara lain: (i) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, (ii) rendahnya kualitas dan produktifitas masyarakat, (iii) rendahnya partisipasi aktíf masyarakat, (iv) menurunnya ketertiban umum dan ketenteramaman masyarakat; (v) menurunnya kepercayaan masayarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; dan (vi) kemungkinan pada merosotnya mutu generasi (lost generations).

Pengalaman pada masa lalu memperlihatkan beberapa kelemahan pembangunan antara lain (i) masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro dari pada pemerataan; (ii) sentralisasi kebijakan daripada desentralisasi kebijakan; (iii) lebih bersifat karitatif daripada transformatif; (iv) memposisikan masyarakat sebagai objek dari pada subyek; (v) cara pandang tentang penanggulangan kemiskinan yang masih berorientasi pada karitatif daripada produktivitas; (vi) asumsi permasalahan dan solusi kemiskinan sering dipandang sama (uniformitas} daripada pluralistik.

Tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan kemiskinaan saat ini adalah tuntutan untuk menerapkan paradigma: (i) pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance); (ii) otonomi daerah dan desentralisasi, dan (iii) upaya pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin.

Dalam rangka mempertajam kebijakan penanggulangan kemiskinan maka orientasi penanggulangan kemiskinan diarahkan pada : (1) upaya mengkatkan produktvitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan dengan basis pengembangan ekonomi lokal melalui dukungan pendanaan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya, dan (ii) upaya meringankan beban pengeluaran


(49)

miasyarakat miskin dengan peningkatan akses terhadap kebutuhan pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan penyediaan infrastruktur sosial ekonomi lokal melalui intervensi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Kemiskinan merupakan suatu proses panjang yang melibatkan tarik-menarik serta interaksi berbagai faktor. Kemiskinan muncul bukan sebagai sebab tetapi lebih sebagai akibat dari adanya situasi ketidakadilan, ketimpangan dan ketergantungan dalam struktur masyarakat. Adiwibowo (2000) mengatakan bahwa inti dari masalah kmiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut perangkap kemiskinan (deprivation trap) seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Perangkap kemiskinan (Chambers, 1983)

Kelima unsur tersebut saling terkait satu dengan yang lain dalam suatu jalinan yang timbal balik, sehingga benar-benar merupakan perangkap kemiskinan yang berbahaya dan mematikan peluang hidup masyarakat.

Kemiskinan Keterasingan

Ketidak-berdayaan

Kerentanan

Kelemahan Fisik Kemiskinan

Keterasingan

Ketidak-berdayaan

Kerentanan


(50)

2.1.4 Tingkat kemiskinan

Fauzi (2005) mendeifinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa). Secara anatomis, pada dasarnya kemiskinan dapat diklasifikasikan dalam 2 katagori yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah dapat timbul karena faktor alam yang tidak mendukung, misalnya sumberdaya yang langka atau tidak bisa lagi menjadi daya dukung kebutuhan manusia. Kemiskinan struktural terjadi karena struktur sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Birokrasi yang berbelit-belit dan sistem mekanisme pasar yang tidak sehat misalnya merupakan beberapa sebab kemiskinan struktural.

Menurut Rasdani (1993), kemiskinan struktural disebabkan oleh kurang modal, kurang pendidikan, tidak punya keahlian yang lebih produktif, tidak punya pendukung yang kuat dalam masyarakat dan tidak punya semangat untuk memperbaiki nasibnya. Selain itu, tidak punya kemampuan dari dalam untuk mengembangkan diri, posisinya lemah dan pasrah sehingga tercipta kebudayaan kemiskinan (culture of poverty).

Kusnadi (2002) menyatakan bahwa kemiskinan dan tekanan sosial ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Faktor tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor alami dan faktor non-alami. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non-alamiah, berkaitan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial yang pasti, lemahnya penguasaan jaring pemasaran dan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini.

Kusnadi (2002) mengklasifikasikan tingkat kemiskinan berdasarkan nilai konsumsi total 9 bahan pokok dalam setahun yang dinilai dengan harga setempat. Kebutuhan hidup minimum yang dipergunakan sebagai tolok ukur adalah 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg inyak goreng, 9 kg garam, 60 liter


(51)

minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar dan 2 meter batik kasar. Besarnya standar kebutuhan hidup minimum per kapita per tahun dijadikan sebagai garis batas kemiskinan. Tingkat kemiskinan tersebut dibagi dalam beberapa katagori sebagai berikut:

1) Tidak miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari 200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

2) Hampir miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 125-200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

3) Miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 75-125% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

4) Miskin sekali, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari 75% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

2.1.5 ”The tragedy of the commons” akar penyebab kemiskinan nelayan

Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas dis-ekonomi (kejadian-kejadian yang terjadi di luar sumberdaya ikan yang menimbulkan biaya yang harus dibebankan kepada masyarakat nelayan, sedangkan keuntungan diterima oleh orang lain) yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga (kecil), maka nelayan kecilah yang akan menanggung eksternalitas dis-ekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan dan deplesi sumberdaya ikan. Hal tersebut terjadi karena sumberdaya ikan tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya. Seperti dikemukakan oleh Feeny (1990) bahwa sumberdaya milik bersama setidaknya memiliki 2 karakteristik, yaitu eksludabilitas (exludability) yaitu kondisi dimana pengawasan terhadap sumberdaya oleh penggunanya cukup sulit dilakukan atau hampir tidak mungkin dilakukan dan substraktabilitas (substractability), yaitu situasi persaingan dimana bila yang seseorang memperoleh lebih banyak, maka


(1)

(2)

(3)

1

Lampiran 3. Hasil EmpirisModel Kinerja Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, 2006

Keterangan: X33 X32 X31 X23 X22 X13 X12 X11 0 Y Y1 Y2 Y3 "1?" "1?" "1?" 0; erry1 0; erry2 0; erry3 0; err33 0; err32 0; err31 0; err23 0; err22 0; err13 0; err12 0; err11 1 1 1 1 1 1 1 0; X3 0; X2 0; X1 "1?" "1?" 1 X21 0; err21 1 "1?" "1?" "1?" "1?" 1 "1?" "1?" "1?" "1?" 1 1 "1?" "1?" 0; errY 1


(4)

Observed, endogenous variables Y1

Y3 Y2 X31 X22 X13 X12 X23 X33 X32 X21 X11

Unobserved, endogenous variables Y (PEM)

Unobserved, exogenous variables erry1 (error Y1)

erry2 erry3 err31 err22 err13 err12 X2 X3 err32 err21 err11 X1 err33 err23 errPEM

Variable counts (Group number 1)

Number of variables in your model: 29

Number of observed variables: 12

Number of unobserved variables: 17

Number of exogenous variables: 16


(5)

3 Parameter summary (Group number 1)

Weights Covariances Variances Means Intercepts Total

Fixed 13 0 0 0 0 13

Labeled 15 0 0 0 0 15

Unlabeled 0 3 16 0 12 31

Total 28 3 16 0 12 59

Notes for Model (Default model)

Computation of degrees of freedom (Default model)

Number of distinct sample moments: 90 Number of distinct parameters to be estimated: 32 Degrees of freedom (90 - 32): 58

Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate S.E. C.R. P Label

PEM <--- X3 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

PEM <--- X2 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

PEM <--- X1 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

Y1 <--- PEM ,244 ,035 7,054 *** "1?"

Y3 <--- PEM ,244 ,035 7,054 *** "1?"

Y2 <--- PEM ,244 ,035 7,054 *** "1?"

X23 <--- X2 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

X33 <--- X3 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

X21 <--- X2 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

X22 <--- X2 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

X31 <--- X3 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

X32 <--- X3 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

X11 <--- X1 ,244 ,035 7,054 *** "1?"

X13 <--- X1 ,244 ,035 7,054 *** "1?"


(6)

Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate

PEM <--- X3 ,220

PEM <--- X2 ,232

PEM <--- X1 ,219

Y1 <--- PEM ,644

Y3 <--- PEM ,666

Y2 <--- PEM ,627

X23 <--- X2 ,598

X33 <--- X3 ,517

X21 <--- X2 ,594

X22 <--- X2 ,578

X31 <--- X3 ,636

X32 <--- X3 ,587

X11 <--- X1 ,548

X13 <--- X1 ,531

X12 <--- X1 ,601

Correlations: (Group number 1 - Default model)

Estimate

X2 <--> X3 ,197

X1 <--> X2 ,651