“Ditembak di Depan
“Ditembak di Depan
Rumah.”
s tr a d ok . K on
SAYA menghadiri pengajian di Jalan Sindang pada 12 September 1984 malam. Tetapi saya tidak sampai ke podium atau panggung, ter-
MEREKA BILANG DI SINI TIDAK ADA TUHAN
lebih lagi karena massa sudah menyemut. Saya hanya mendengarkan melalui loudspeaker di Jalan Lorong 100 Timur. Menjelang jam 23.00 WIB, saya mendengar ada suara riuh yang mengajak massa untuk membebaskan empat orang yang ditahan Kodim. Karena penasaran, saya berusaha menuju podium. Belum juga sampai di podium, massa sudah beramai-ramai berjalan kaki menuju Kodim 0502 Jakarta Utara. Saya ikut di barisan belakang. Saat saya berada di sekitar gedung bioskop Lido, saya mendengar bunyi tembakan beruntun. Saya lalu berbelok ke kanan mengarah ke kantor Dinas Kebakaran Jakarta Utara. Saat itu saya menyaksikan ribuan orang itu berlarian kocar- kacir. Mereka mencari perlindungan untuk menghindari sasaran tembakan. Saya tetap berjalan di trotoar.
Sampai di Perempatan Permai saya menye- berang Jalan Yos Sudarso. Saat melangkah itu, saya dengar tembakan terus-menerus dari arah Polres Jakarta Utara. Dengan cepat saya ber- usaha menyelamatkan diri. Saya merunduk dan menjatuhkan diri di aspal. Saat itu saya men- dengar rintihan kesakitan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar….” Tetapi suasana malam itu begitu panik dan kacau. Saya terus berlindung
ISHAKA BOLA
agar tak kena peluru yang dimuntahkan ten- tara. Saya bisa mencapai Jalan Lorong 103 Barat dan terus menuju rumah di Jalan Lorong 100 Barat. Saya segera masuk ke rumah.
Akan tetapi rumah gelap, karena lampu mati. Untungnya masih ada sinar dari lampu jalan. Saya lalu keluar untuk mengecek meteran listrik, apakah turun atau tidak? Ternyata memang meteran listrik tidak turun. Rupanya listrik di rumah-rumah dipadamkan oleh PLN. Pada saat itulah saya ditembak tentara. Peluru menembus paha kiri saya. Darah mengucur. Saya merintih kesakitan dan minta tolong. Tetangga saya keluar dan begitu melihat saya tergeletak di pinggir rumah, tetangga saya itu langsung mengeluarkan mobilnya dari garasi. Dia membawa saya ke RS Sukmul di Jalan Tawes. Namun belum sampai di RS, begitu melintas di depan asrama Arhanud, mobil di- berhentikan. Tentara-tentara itu memeriksa, dan begitu melihat saya tertembak, saya disuruh turun. Saya disuruh naik becak. Mobil tetangga saya itu disuruh balik. Di RS Sukmul saya lang- sung diberi pertolongan. Jam 01.30 WIB, saya lihat ada seorang korban yang datang ke RS itu. Petugas medis langsung memberikan per- tolongan.
MEREKA BILANG DI SINI TIDAK ADA TUHAN
Jam 05.00 WIB sebuah mobil ambulans masuk RS Sukmul. Ternyata ambulans itu tidak membawa korban tetapi justru menjemput saya dan korban yang satunya lagi. Ambulans jemputan itu mengangkut kami ke RSPAD di Jakarta Pusat. Saya langsung dibawa ke lantai
8 bersama tentara-tentara yang kena tembak di Timor-Timur. Sekitar pukul 08.00, semua korban Tanjung Priok dicek, selanjutnya di- kumpulkan di lantai 3. Setengah jam kemudian saya dirawat di lantai 1. Luka saya dibersihkan. Setelah paha saya dibersihkan, saya dikemba- likan lagi ke lantai 3. Di sanalah saya dirawat sampai luka di paha kiri saya benar-benar sem- buh. Barulah saya dioperasi penyambungan tulang. Saya hitung saya dirawat di RSPAD selama 42 hari.
Dari RSPAD saya dibawa ke Guntur. Saya diperiksa bersama 7 korban lainnya. Setelah itu, saya dibawa ke Kodim 0502 Jakarta Utara. Kembali saya diinterogasi. Saya bersama 7 orang korban itu akhirnya diperbolehkan pulang. Tetapi kami diwajibkan untuk melapor Senin- Kamis ke Kodim. Tetapi, saya tidak sekalipun melakukannya. Saya langsung pindah rumah ke rumah orangtua saya di daerah Makasar, Jakarta Timur.
ISHAKA BOLA
Berjuang untuk Keadilan Bertahun-tahun kasus Tanjung Priok terku-
bur. Tanpa ada yang peduli. Syukurlah harapan saya dan juga para korban lainnya ada titik terang di masa reformasi. Mulanya tergugah oleh ceramah Bapak Amien Rais di Mesjid Al- Husna, dekat Terminal Tanjung Priok. Ketika Amien Rais mengatakan para korban bisa me- nuntut, segeralah para korban mendaftarkan diri di mesjid PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyah) yang dirancang oleh Sontak yang dipimpin Syarifin Maloko. Setelah ada rapat untuk mendirikan Yayasan 12 September 84 yang kemudian dipimpin Ibu Dewi Wardah.
Yayasan dan Sontak bersama Asosiasi Pembela Islam (API) dan Kontras kemudian mendatangi Komnas HAM. Saya sendiri tak henti-hentinya bersama Kontras, mencari kuburan para korban peristiwa Tanjung Priok. Saya ikut mendatangi makam-makam di daerah Condet dan Pondok Rangon di Jakarta Timur, juga di Mengkok, Jakarta Utara. Berikutnya makam-makam di Mengkok digali. Ditemukan- lah 8 kerangka korban kasus Tanjung Priok. Setelah itu digali pula makam-makam di Pondok Rangon. Kami temukan pula 8 kerangka korban Tanjung Priok. Hanya di Condet yang
MEREKA BILANG DI SINI TIDAK ADA TUHAN
tidak berhasil digali, karena makam-makam para korban Tanjung Priok itu sudah ditumpuk dengan kerangka warga setempat. Sampai akhirnya kasus Tanjung Priok diproses secara hukum.
Namun rupanya ada gerakan lain. Sejumlah korban melakukan islah dengan Pak Try Su- trisno. Pak Try menjanjikan dana abadi kepada para korban Tanjung Priok. Namun itu semua cuma janji kosong. Sebagian korban menuntut lebih keras agar para pelaku penembakan atau- pun yang bertanggung jawab segera diadili di pengadilan. Sebanyak 14 korban terus berjuang untuk mencari keadilan, meski diteror dan diintimidasi. Karena, kami cuma menuntut hukum ditegakkan seadil-adilnya.
AMINATUN