Akhlak dan Etika Pendidik
5. Akhlak dan Etika Pendidik
Dalam pandangan Mahmud Yunus guru mempunyai tugas yang amat penting, ia berfungsi mengembangkan ilmu pengetahuan dan mampu memperbaiki kehidupan masyarakat. Guru menjadi contoh tauladan digugu dan ditiru, pengaruh guru terhadap
murid-muridnya sama dengan pengaruh kedua orang tua terhadap anak-anaknya. 49 Bahkan dalam pandangan Mahmud Yunus, guru itu merupakan warisan para Nabi, yang
berfungsi menanamkan akhlak dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid- muridnya. Mahmud Yunus mengutip pendapat Syauqi: “Berdirilah terhadap guru dan sempurnakanlah kehormatan kepadanya, hampir guru itu mendekati derajat Rasul. ”
Selanjutnya Mahmud Yunus juga mengutip salah satu Hadis yang masyhur, sabda Rasulullah SAW.:
Ulama adalah pewaris para Nabi . (H.R. Bukhari). Dari uraian di atas jelaslah bahwa dalam pandangan Mahmud Yunus pendidik
(guru) menempati kedudukan yang tinggi dan mulia, bahkan lebih tinggi dari syuhada. Pendidik adalah pewaris Nabi, pembawa cahaya penerang dalam menuntun peserta didik ke jalan yang lurus, akhlak yang mulia dan keselamatan dunia dan ahirat. Setelah
48 Juwariyah, “Perbandingan Pendidikan Islam Perspektif Mahmud Yunus dan Muhammad „Athiyah al-Abrasyi,” Jurnal Pendidikan Islam: Volume IV, Nomor 1, Juni 2015/1436, h. 199
49 Ibid.,h. 59-60 50 Lihat Imam Bukhari, Shahīh al- Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), juz. I, h. 26.
Redaksi hadis yang lebih lengkap ditemukan dalam Sunan Ibnu Majah: “Sesungguhnya ulama/alim adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan harta benda (dinar dan dirham), tetapi warisan yang paling berharga dari para Nabi adalah ilmu pengetahuan.” (H.R. Ibnu Majah). Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Mājah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz. I, h. 81
POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 | 51 POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 | 51
Masalah akhlak dan etika pendidik mendapat perhatian yang sangat serius dari Mahmud Yunus. Dalam masalah ini Mahmud Yunus mengemukakan rumusan yang sangat panjang dan lengkap sebagaimana termuat dalam bukunya Pokok-pokok
Pendidikan dan Pengajaran. 51 Agaknya tepat apa yang dikatakan Ramayulis, bahwa pemikiran Mahmud Yunus dalam bidang pendidikan sangat memperioritaskan tentang
pembentukan akhlak, baik akhlak pendidik maupun akhlak peserta didik. Akhlak dan etika yang harus dimiliki pendidik menurut Mahmud Yunus sebagai berikut: Pertama , guru harus mengasihi dan menyayangi murid-muridnya seperti mengasihi dan menyayangi anaknya sendiri, memikirkan keadaan mereka seperti memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri. Dalam pandangan Mahmud Yunus seorang guru yang mampu mencurahkan segenap kasih sayang dan perhatian kepada anak didik
adalah bapak dan ibu guru yang suci murni. 52 Beliau mengutip hadis Rasulullah, SAW. yang artinya: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu, kecuali jika ia mampu
mengasihi saudaranya seperti mengasihi diri sendiri .” Mahmud Yunus juga mengutip hadis. Sabda Rasulullah SAW.:
Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang tidak mengasihi anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang besar di antara kami.(HR. Tirmizi) Guru yang cerdas dan memiliki kemampuan menguasai mata pelajaran dan
menguasai ilmu pendidikan tidak akan sukses dalam profesinya, sebelum ia mengasihi anak didik dengan sepenuh hati, serta menolong mereka dari kesulitan dalam belajar. Mahmud Yunus mencontohkan bahwa sebuah rumah tangga tidak akan sempurna, kecuali kedua orang tua mampu mencurahkan kasih dan sayang kepada putra putrinya. Selanjutnya Mahmud Yunus memberikan prioritas bahwa anak-anak didik yang harus mendapat perhatian lebih adalah anak didik yang berasal dari keluarga kurang mampu,
51 Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching, 2010), edisi revisi, h. 326
52 Mahmud Yunus, Pokok-pokok ..., h. 61-62 53 Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis no. 1.838
52 | POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 52 | POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017
semangat mereka yang telah padam dan menghidupkan jiwa mereka yang telah mati. Salah satu jalan untuk menghidupkan jiwa mereka pendidik harus mengetahui kejiwaan anak dan kecenderungan batinnya, serta berusaha menolong dengan penuh kasih sayang. Dalam hal ini Mahmud Yunus mencontohkan, seorang ahli didik yang profesional di zamannya yakni Pestalozzie. Pestalozzie pernah mengumpulkan 80 orang anak-anak gelandangan, pengemis, dan anak jalanan, kemudian anak-anak tersebut dididiknya dengan penuh kasih sayang dan persaudaraan, bukan dengan ancaman dan hukuman serta menakut-nakuti mereka. Hasil dari proses pendidikan yang dilakukan Pestalozzie menjadikan anak-anak tersebut orang yang cerdas dan kreatif.
Pandangan Mahmud Yunus sejalan dengan pemikiran al-Mawardi, al-Mawardi juga menekankan pentingnya seorang pendidik bersikap lemah lembut dan kasih sayang (al-rifq bi al-muta'allim). Menurut al-Mawardi sikap lemah lembut dan menghargai keterbatasan dan kekurangan mereka sangat penting untuk mendorong mereka agar lebih tekun menuntut ilmu untuk mencapai kemajuan. Sikap lemah lembut dan penyayang ini tercermin pada sikap sopan, ramah, berwajah ceria, bertutur kata yang lembut. Sikap lemah lembut yang dimaksud al-Mawardi adalah sikap lemah lembut dalam batas-batas yang wajar dan pada tempatnya sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW. dalam hadisnya: “penduduk surga adalah semua orangnya lembut, sopan dan berwajah ceria. ” Al-Mawardi menguatkan pendapatnya dengan mengutip bait syair “terkadang saya bersikap lembut dan tegas karena kelembutan tanpa ketegasan adalah tidak baik. 55 ”
Prinsip yang terkandung dalam pandangan al-Mawardi dalam konteks ini yaitu peran pendidik sebagai orang tua ke dua di sekolah. Pendidik hendaknya memperlakukan peserta didiknya sebagaimana ia memperlakukan anaknya di rumah. Sikap kasih sayang bagi pendidik sangat penting terutama bagi peserta didik di lembaga pendidikan tingkat dasar karena secara psikologis mereka sedang dalam fase
54 Dalam pandangan Mahmud Yunus anak-anak seperti ini sangat banyak dijumpai, dia menggambarkan keadaan mereka: datang dari rumah gubuk, bajunya kotor, kelakuannya buruk,
perkataannya kasar, mukanya masam, hatinya keras seperti batu, tiada mengasihi seorangpun, tidak mengenal aturan.
55 Al-Mawardi, Adāb al-Dunyā wa al-Dīn, (Kairo: Dar al-Fikr, tt.), h. 80
POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 | 53 POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 | 53
Sikap lemah lembut dan kasih sayang, sangat sesuai dengan psikologi manusia. Diketahui bahwa kegairahan dan semangat belajar seorang peserta didik atau sebaliknya sangat bergantung kepada adanya hubungan antara peserta didik dan pendidik. Apabila pendidik bersikap kasar dan berkeras hati serta menggunakan cara- cara mengajar yang tidak tepat seperti mengancam, menghina, mengeluarkan perkataan kasar, dan tindakan tidak mendidik lainnya maka niscaya anak didik akan lari dari dirinya. Firman Allah SWT.:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada- Nya. (Q.S. Ali Imran, 3:159).
Dalam hal ini Zakiah Daradjat 56 mengatakan bahwa pendidik yang keras dan pemarah akan membuat peserta didik menjadi takut dan tertekan mentalnya. Dari
perasaan ini akan muncul dan tumbuh sikap benci. Ketakutan akan menimbulkan ketegangan dalam jiwa anak, jika ia selalu tertekan dan mengalami penderitaan batin oleh gurunya, maka pendidik tersebut akan dijauhinya. Secara psikologis, setiap manusia lebih suka diperlakukan dengan cara-cara yang lembut dan halus daripada diperlakukan dengan cara-cara yang kasar dan keras.
Pentingnya sikap lemah lembut dan kasih sayang sebagaimana yang dikatakan Mahmud Yunus, agaknya dapat difahami karena pendidik dalam hal ini memegang peranan strategis dalam menyiapkan bekal dan membimbing peserta didik untuk berhasil dalam kehidupan dunia dan memperoleh kebahagiaan di akhirat.
56 Zakiah Daradjat, Keperibadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke 1, h. 14
54 | POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017
Sikap penyayang yang harus dimiliki seorang pendidik yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus sejalan juga dengan pandangan al-Qabisi 57 yang mengungkapkan
bahwa pendidik adalah orang tua kedua di sekolah terutama pada anak-anak pada jenjang pendidikan dasar, pengaruh pendidikan tersebut bahkan lebih besar dari pendidikan di rumah tangga yang dilakukan ayah bundanya. Pendapat yang sama juga didukung oleh al-Ghazali yang mengemukakan bahwa pendidik wajib memperlakukan peserta didiknya dengan lemah lembut dan kasih sayang, dan membangkitkan semangatnya untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat sebagai bekal meraih kehidupan
dunia dan akhirat. 59 Sejalan dengan pendapat Mahmud Yunus, Muhammad Nawawi juga mengungkapkan bahwa seorang pendidik harus bersifat lemah lembut dalam
menghadapi peserta didik yang tingkat intelektualnya masih rendah, serta membinanya secara sabar sampai kepada tingkat maksimal.
Kedua , guru menjaga hubungan baik dengan anak-anak didik. Dalam pandangan Mahmud Yunus hubungan yang dibangun oleh pendidik bukan saja terbatas pada
hubungan fisik namun lebih ditekankan adanya kedekatan batin. 60 Hubungan batin ini dijalin seperti pendidik menjalinnya dengan anak kandungnya di rumah. Mahmud
Yunus mengutip hadis Nabi Muhammad SAW.: Artinya : “Aku dengan kamu seperti ayah dengan anaknya, yakni perhubunganku dengan kamu seperti perhubungan ayah dengan anak-anaknya . ”
Pendidik tidak dibenarkan memberikan hukuman dengan kekerasan dan memukul peserta didik. Pendidik harus membuang pandangan bahwa memberikan perhatian lebih kepada anak didik dapat mengurangi kehormatan dan popularitasnya,
57 Al-Qabisi adalah seorang tokoh ulama ahli hadis seorang pendidik yang termasyhur, yang hidup pada 324-403 H di kota Qaerawan, Tunisia. Nama lengkapnya Abu Hasan Ali bin Muhammad bin
Khalaf al-Qabisi, lahir pada bulan Rajab 324 H/ 13 Mei 1936 M dan meninggal dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H/ 23Oktober 1012 M. Dia pernah tinggal di Mesir dan berguru pada salah seorang ulama di Iskandariyah. Dia memperdalam ilmu agama, dan al-Hadis dari ulama-ulama terkenal di Afrika Utara, seperti Abul AbbasAl-Ibyani dan Abul Hasan bin Masrur Ad-Dibaghi, dan Abu Abdillah bin Masrur al-Assali, serta ulama terkemuka lainnya. Al-Qabisi adalah ulama hadis yang terkemuka, mengetahui matan-matan dan sanad-sanad al-hadis sehingga dikenal sebagai ulama yang saleh, taqwa, dan wira‟i. Ia mengintegrasikan antara ilmu dan ibadah, yang takut kepada Allah, berbudi halus,bersih jiwanya dan pecinta orang fakir, berhati halus dan senantiasa menegakkan qiyam al-lail. Lihat: Ali al- Jumbulati: Perbandingan Pendidikan Islam,Jakarta: Rineka Cipta, 2002), cet. 2, h. 76-77
58 Imam Al-Ghazali, 59 Ihyā' 'Ulūm al-Dīn, (Beirut: Dar al-Ma‟arif, tt.), Juz I, h. 97 Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, Muraqqi al-Ubudiyah fi Syarkh al-Bidayah al-
Hidayah, (Bandung: al-Ma'arif, tt.), h. 88 60 Mahmud Yunus,op.cit., h. 63
POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 | 55 POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 | 55
Ketiga , pendidik harus memperhatikan kondisi kejiwaan anak didik. Dalam hal ini Mahmud Yunus mengkritisi anggapan masyarakat waktu itu yang memberikan justifikasi bahwa anak-anak yang melakukan tindakan kejahatan adalah karena sifat bawaan sejak lahir dan itu harus diberantas dan diberi hukuman dengan pukulan rotan dan tongkat. Pandangan yang demikian menurut Mahmud Yunus sama dengan mengorbankan masa depan peserta didik dan kelak akan menjadikannya sebagai
manusia yang tidak berharga atau tersisih di tengah masyarakat. 61 Mahmud Yunus mengutip hadis Rasulullah SAW.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya lah menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi. (H.R. Bukhari) Lebih lanjut Mahmud Yunus menjelaskan jika sekiranya anak-anak mendapat
didikan yang baik, dalam lingkungan yang baik, dengan perlakuan yang baik dan perhubungan antara guru dan murid, antara ayah dengan anak berjalan secara harmonis niscaya akan berubahlah anak itu dari akhlak yang tercela menjadi akhlak yang terpuji. Dalam bahasa Mahmud Yunus kanak-kanak itu terdiri dari daging, tulang dan darah mempunyai perasaan dan kesadaran, mempunyai tubuh yang harus dilatih, mempunyai akal yang harus dididik, mempunyai hati yang memiliki perasaan sayang atau benci. Mereka akan sayang kepada orang yang sayang kepada mereka. Mereka akan benci kepada orang yang membenci mereka, mereka akan percaya kepada orang yang percaya, dan curiga kepada orang yang mencurigai mereka. Begitulah sifat dasar kanak- kanak. Oleh sebab itu mempelajari jiwa dan psikis anak-anak sangat dipentingkan, seorang pendidik yang tidak menguasai jiwa anak-anak ibarat berjalan di dalam gelap
gulita. Sejalan dengan pendapat Mahmud Yunus di atas, Ramayulis 63 juga menekankan pentingnya seorang pendidik mempelajari ilmu jiwa anak-anak. Karena pada masa
anak-anak ini menurutnya terjadi perkembangan nilai-nilai keagamaan yang harus
61 Ibid., h. 64 62 Imam al-Bukhari, Shȃhih al-Bukhari, hadis no. 1.358 63 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet. ke 8, h.
80-81
56 | POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 56 | POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017
Yusuf, 64 berpendapat dengan mempelajari ilmu jiwa anak didik maka seorang pendidik akan memahami bahwa pada usia tersebut setiap anak mulai menyadari bahwa
pengungkapan emosi secara kasar sangat tidak mereka senangi. Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan pembiasaan. Dalam proses peniruan, maka kemampuan lingkungan anak tinggal sangat mempengaruhi. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang suasana emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil. Akan tetapi, apabila kebiasaan keluarga dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil dan tidak terkontrol (seperti, melampiaskan kemarahan dengan agresif, mudah mengeluh, kecewa atau pesimis dalam menghadapi masalah), maka perkembangan emosi anak cenderung kurang stabil. Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk tingkah laku dalam pembelajaran. Emosi yang positif, seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu untuk mengkosentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, membaca buku, aktif dalam berdiskusi, mengerjakan tugas, dan siplin dalam belajar. Sebaliknya apabila yang menyertai proses itu emosi negatif, seperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, maka proses belajar akan mengalami hambatan, dalam arti individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kesulitan dan kegagalan dalam belajarnya. Mengingat hal tersebut, maka guru semestinya mempunyai kepedulian untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan bagi terciptanya pembelajaran
64 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosda Karya, 2008), Cet. ke 8, h.181-182
POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 | 57 POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 | 57
memberikan nilai secara objektif; dan (4) menghargai karya peserta didik. 65 Keempat , guru haruslah sadar akan kewajibannya terhadap masyarakat. Mahmud
Yunus berpendapat bahwa guru harus menyadari sepenuh hati bahwa seluruh ilmu yang ajarkan adalah untuk kepentingan masyarakat. Guru mesti menanamkan akhlak yang mulia dan cinta tanah air ke dalam jiwa peserta didiknya. Hanya dengan usaha yang demikian guru dapat membentuk generasi baru dan umat yang sempurna dalam segala segi yang dibutuhkan masyarakat. Guru mesti memperhatikan materi-materi pembelajaran yang diberikan haruslah memberi manfaat dan berguna bagi masyarakat.
Jika dianalisis secara cermat terhadap pandangan Mahmud Yunus tentang akhlak dan etika pendidik ini dapat dikatakan bahwa Mahmud Yunus sangat memperioritaskan tentang pembentukan akhlak, baik akhlak pendidik maupun akhlak peserta didik. Hasil akhir pendidikan harus mampu menjadikan pendidik dan peserta didik yang berakhlak mulia.