Pembuatan Magnet Barium Heksaferit (BaFe12O19) dengan Metode Metalurgi Serbuk dan Karakterisasinya

(1)

LAMPIRAN A

Gambar Bahan dan Alat

1. Bahan

2. Alat

Serbuk BaCO3 Murni (p.a)

Serbuk Fe2O3 Murni (p.a)

Spatula Neraca Digital Saringan

Serbuk Fe2O3 Mill scale


(2)

Beaker glass 500 ml

Cawan Keramik Jangka Sorong Digital

Beaker glass 25 ml

Hand Mortar

Ball Mill


(3)

High Energy Milling (HEM) Ball Mill

Hydraulic Press Magnetic Field Press


(4)

LAMPIRAN B

Magnetizer


(5)

Data Pengujian Densitas, Susut Bakar dan Porositas

A. Perhitungan Densitas 1. True Density

= �3−�1

�2−�1 − �4−�3 � ��

Dimana:

ρ : True density

m1 : Massa piknometer (gr)

m2 : Massa aquades + Massa piknometer (gr) m3 : Massa serbuk + Massa piknometer (gr)

m4 : Massa aquades + Massa serbik + Massa piknometer (gr)

Jenis Sampel m1 (gr)

m2 (gr)

m3 (gr)

m4 (gr)

ρair (gr/cm3)

ρs (gr/cm3)

A 14.09 23.81 14.60 24.17 1 3.40


(6)

2. Bulk Density �= 4 � 2 = � � Dimana:

D : Diameter akhir (cm) t : Tebal sampel (cm) m : massa sampel

v : Volume (cm3)

ρ : Massa Jenis sampel (gr/cm3) Cetak

Isotropi

Suhu (oC)

D (cm) t (cm) m (gr) v

(cm3)

ρ (gr/cm3)

Samel A

1150 1.672 0.407 3.87 0.89 4.35

1200 1.651 0.401 3.85 0.86 4.48

1250 1.686 0.409 3.84 0.91 4.22

1300 1.650 0.397 3.83 0.85 4.51

Sampel B

1150 1.831 0.443 3.79 1.17 3.24

1200 1.795 0.445 3.85 1.13 3.41

1250 1.767 0.444 3.88 1.09 3.56

1300 1.706 0.430 3.75 0.98 3.83

Cetak Anisotropi

Suhu (oC)

D (cm) t (cm) m (gr) v

(cm3)

ρ (gr/cm3)

Sampel A

1150 1.678 0.353 3.35 0.78 4.29

1200 1.689 0.335 3.36 0.75 4.48

1250 1.711 0.339 3.30 0.78 4.23

1300 1.690 0.325 3.29 0.73 4.51

Sampel B

1150 1.809 0.359 3.40 0.92 3.69

1200 1.765 0.359 3.45 0.88 3.92

1250 1.721 0.356 3.26 0.83 3.93


(7)

B. Perhitungan Susut Bakar Sampel Susut Bakar = ��−�

�� � 100% Dimana:

Do : Diameter awal (cm) D : Diameter akhir

Cetak Isotropi

Suhu (oC)

Do (cm) D (cm) Susut Bakar (%) Sampel A

1150 1.892 1.672 11.63

1200 1.891 1.651 12.59

1250 1.897 1.686 11.12

1300 1.891 1.650 12.75

Sampel B

1150 1.891 1.831 3.17

1200 1.890 1.795 5.03

1250 1.892 1.767 6.61

1300 1.891 1.706 9.78

Cetak Anisotropi

Suhu (oC)

Do (cm) D (cm) Susut Bakar (%) Sampel A

1150 1.893 1.678 11.36

1200 1.892 1.689 10.73

1250 1.890 1.711 9.47

1300 1.891 1.690 10.63

Sampel B

1150 1.895 1.809 4.54

1200 1.895 1.765 6.86

1250 1.890 1.721 8.94


(8)

C. Porositas

P =�2−�1

�1 �

100%

Dimana:

P : Porositas (%) m1 : Massa kering (gr) m2 : Massa basah (gr)

Cetak Isotropi

Suhu (oC)

m1 (gr) m2 (gr) P (%) Sampel A

1150 3.87 3.91 1.03

1200 3.85 3.88 1.04

1250 3.84 3.90 1.56

1300 3.83 38.5 0.52

Sampel B

1150 3.79 4.17 10.03

1200 3.85 4.17 8.31

1250 3.88 4.09 5.41

1300 3.78 3.89 2.91

Cetak Anisotropi

Suhu (oC)

m1 (gr) m2 (gr) P (%) Sampel A

1150 3.35 3.40 1.49

1200 3.36 3.40 1.19

1250 3.30 3.39 2.73

1300 3.29 3.32 0.91

Sampel B

1150 3.40 3.60 5.88

1200 3.44 3.58 4.07

1250 3.26 3.32 1.84


(9)

LAMPIRAN C

Data Pengujian VSM (Vibrating Sample Magnetometer)

Sampel Remanence

σr (emu/g) Koersifitas Hc (kOe)

Magnet Saturasi σs (emu/g)

A 17.80 1.488 38.45


(10)

(11)

LAMPIRAN D


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Afza, E. 2011. Pembuatan Magnet Permanent Ba-Hexa Ferrite (Bao.6Fe2O3) Dengan Metode Koopresipitasi Dan Karakterisasinya. Medan: Universitas Sumatera Utara. Program Sarjana S-1.Jurusan FMIPA Fisika.

Bahadur D.S.R and Ankit Kumar. 2006. Influence of Fuel Ratios on Auto Combustion Synthesis of Barium Ferrite Nano Particles. J. Chem. Sci. Vol. 118 No. 1.

Cahyanigrum, dkk. 2010. Kajian Variasi Suhu Sintering Pada Pembentukan Kristal Nano Magnetit Fe3O4 Dengan Menggunakan Metode High Energy Milling (HEM) 1-4.

Chauhan, Pooja. 2010. Preparation And Characterization Of Barium Hexaferrite By Barium Monoferrite. (In Materials and Metalulurgical Engineering School of physics and Material Science). Punjab: Thapal University Patiala.

Darminto, dkk. 2011. Sintesis Serbuk Barium Heksaferit Dengan Metode Kopresipitasi. Surabaya : ISBN.

German, R.M. 1994. Powder metalurgy Science. Metal Powder Industries Federation. Princeton, New Jersey.

Ginting, Delovita. 2014. Efek Penambahan Boron Terhadap Mikrostruktur, Sifat Fisis, Dan Magnet Barium Hexaferite. Medan: Universitas Sumatera Utara. Habibi, Taufik. 2006. Pembuatan Magnet Komposit Berbasis Karet Alam dan

Serbuk Magnet Barium Ferrite. Semarang: UniversitasNegeri Semarang. Jiles.D.1998. Introduction Ti magnetism and magnectic material, 2nd Ed. London

and New York: chapman and hall.

Kim, Seong H.2013. Characterization Of Crystalline Cellulose In Biomass: Basic Principles, Applications, And Limitations Of XRD, NMR, IR, Raman, And SFG. Korean Journal of Chemical Engineering 30.12 2127-2141. Klar, E. Coordinator. 1993. ASM Handbook Powder Metallurgy vol. 7. ASM


(13)

Mayasari, Ika. 2012. Pengaruh Temperatur Sinter Terhadap Sifat Fisis Dan Sifat Magnet Pada magnet Permanen Stronsium Heksaferit. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Moulson A.J and J.M. Herbert. 1985. Electroceramics: Materials, Properties and

Application. New York: Chapman and Hall London

Muhajir, Arif.M. 2013. Sintesis dan Karakterisasi Bahan Magnet Barium Hexaferit (BaFe12O19) Menggunakan Bahan Dasar Barium Karbonat (BaCO3) dan Pasir Besi Dari Daerah Pesisir Selatan Pandeglang-Banten. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Program Sarjana S-1.

Mujiman. 2004. Sintesis Dan Karekterisasi Keramik Alumina (Al2O3) Terhadap Aditif Titania (TiO2) Heksaferit. Lampung: Universitas Lampung Bandar Lampung.

Ningsih, Henni S. 2015. Pengaruh Komposisi Fe2O3 Terhadap Sifat Fisis, Mikrostruktur dari Barium Hrxaferit. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Noer Af’idah, dkk. 2011. Sintesis Barium M-Heksaferit BaFe12O19 Dengan

Variasi Temperatur Kalsinasi. Surabaya : ISBN.

Priyono dan Musni. A. 2010. Sintesis Barium Hexaferit Yang Disubsitusi Ion Mn-Co Melalui Reaksi Padat dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Struktur Dan Sifat Magnetik. Depok: Universitas Indonesia.

Rusianto, Toto. 2009. Hot Pressing Metalurgi Serbuk Aluminium Dengan Variasi Suhu Pemanasan. Jurnal Teknologi 89 Volume 2 Nomor 1. Yogyakarta: Institu Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.

Vlack, Lawrence H. Van. 2004. Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material. Diterjemahkan oleh Sriati Djaprie. Jakarta : Erlangga.


(14)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian Fisika (PPF) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek Serpong.

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini di mulai pada 1 Februari 2016 sampai dengan 2 Mei 2016.

3.2

Bahan dan Alat: 3.2.1 Bahan

Bahan – bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah : a. Serbuk BaCO3

Sebagai bahan baku untuk membuat magnet permanen b. Serbuk Fe2O3

Sebagai bahan baku untuk membuat magnet permanen

c. Perekat polimer Celuna WE-518

Berfungsi sebagai perekat. d. Aquades (H2O)

Berfungsi sebagai medium pencampur larutan dengan kualitas standar air minum.

3.2.2 Alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Peralatan Proses

a. Spatula

Untuk mengambil sampel yang berbentuk serbuk dan untuk mengaduk sampel serbuk Barium Heksaferit dengan perekat seluna (WE-518) agar tecampur secara homogen


(15)

Untuk menimbang massasampel c. Beaker Glass (500 ml/25 ml)

Untuk mengukur volume aquades dan sebagai wadah menghomogenkan serbuk Barium heksaferit dengan binder

d. Ball Mill

Untuk mencampur bahan baku agar lebih homogen

e. Bola – bola besi

Untuk penghalus bahan pada saat proses milling agar menghasilkan diameter kecil

f. Oven pengering

Untuk mengeringkan sampel g. Tungku Thermolyne

Untuk mengkalsinasi dan mensintering dengan temperatur maksimal 1300oC.

h. Hand Mortar

Sebagai alat bantu penghancuran serbuk stelah proses kalsinasi sehingga menjadi butiran

i. High Energy Milling (HEM)

Untuk menghaluskan/meratakan campuran bahan dan membentuk paduan dari unsur yang dimasukkan.

j. Cetakan sample terbuat dari besi

Sebagai tempat untuk mencetak berupa sampel uji silinder, dengan dimensi diameter 10 mm.

k. Hydraulic press (Hydraulic Jack).

Untuk menekan pada proses cold compaction sampel yang telah dimasukan kedalam cetakan dengan kekuatan tekanan 8 ton

l. Magnetic Fild Press

Sebagai cetakan yang memiliki medan magnet dengan tekanan 50-80 kgf/cm3 dan arus 10 Ampere serta tegangan 100 Volt

m. Cawan keramik

Sebagai tempat sampel saat proses kalsinasi dan sintering. n. Magnetizer


(16)

Untuk memberikan medan magnetik pada sampel (magnetisasi) o. jangka Sorong Digital

Untuk mengukur diameter dan tebal sampel. p. Stopwatch

Sebagai penghitung waktu saat proses kalsinasi, milling dan sintering 2. Peralatan Pengujian

a. Pengujian Densitas dan Porositas

- Densitas dengan metode perhitungan langsung - Porositas dengan sistem penyerapan air

b. Sifat Magnet - Gaussmeter

Untuk mengukur besar medan magnet pada bahan (Fluks magnetik) - VSM (Vibrating Sample Magnetometer)

Untuk mengetahui nilai remanence, koersifitas dan magnet saturasi c. XRD (X-Ray Diffraction).

Untuk mengetahui struktur kristal dari sampel.

3.3Variabel Eksperimen 3.3.1 Variabel Penelitian

Variabel dari penelitian ini adalah suhu sintering yang mulai dari suhu 1150, 1200, 1250 dan 1300oC dengan waktu tahan (holding time) selama 1 jam.

3.3.2 Variabel percobaan yang akan di uji

Variabel yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah : a. Sifat Fisis.

- Densitas (Density). - Porositas (Porosity). b. Analisa Struktur Kristal

- XRD (X-Ray Diffraction) c. Sifat Magnet.


(17)

- VSM (Vibrating Sample Magnetometer)

3.4Diagram Alir Penelitian

Ditimbang Serbuk BaCO3

Ditimbang Serbuk Fe2O3

Campur dalam Ball Mill H2O

Pengeringan dalam oven Suhu 100oC selama 24

jam

Serbuk

Kalsinasi (1100oC selama 1 jam)

Serbuk BaO.6Fe2O3

Celuna 3 %

Milling Menggunakan HEM Selama 60 menit

Sintering dengan variasi temperatur 1150, 1200, 1250 dan 1300oC dengan waktu penahanan 1 jam

Magnetisasi

Magnet permanen BaO6Fe2O3 Karakterisasi :

Sifat Fisis Sifat Magnet Analisa Data Hasil / Laporan Akhir

Serbuk Halus

Cetak

(Isotropisdan Anisotropis)

Pencampuran

UJI: XRD VSM


(18)

3.5Prosedur Penelitian

Prosedur yang dilakukan dalam pembuatan magnet permanen Barium Heksaferit (BaFe12O19) dengan metode metalurgi serbuk dan karakterisasinya dimulai dengan pencampuran bahan baku, proses pengeringan, proses kalsinasi, proses milling, pembuatan sampel uji, sintering, dan pengujian.

3.5.1 Pencampuran bahan baku

Tahapan preparasi bahan baku serbuk Barium Heksaferit dilakukan dengan menggunakan bahan baku serbuk Barium Carbonate (BaCO3) dan serbuk Iron

Oxide (Fe2O3). Serbuk tersebut ditimbang sesuai dengan massa yang di

butuhkan yaitu dengan perbandingan 1 : 6 sesuai dengan persamaan:

BaCO3+ 6Fe2O3→ BaO.6Fe2O3 + CO2 (3.1) Proses pencampuran yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan proses kimia basah (wet chemical process).

Dalam percobaan ini bahan baku serbuk barium karbonat dan besi oksida disiapkan dengan perbedaan kualitas bahan baku pembentuk magnet berbeda seperti dalam Tabel 3.1

Tabel 3.1 Komposisi bahan baku magnet Barium Ferrite

Bahan Baku

Kode Sampel

A B

BaCO3 Murni 11.955 gr Murni 11.955 gr

Fe2O3 Murni 58.045 gr Mill Scale 58.045 gr

Massa Setelah Pencampuran 70 gr 70 gr

Dimana: Sampel A adalah Barium Heksaferit yang dihasilkan dari Fe2O3 murni Sampel B adalah Barium Heksaferit yang dihasilkan dari Fe2O3 mill scale

Barium Karbonat dan Besi Oksida dicampur dengan media aquades sesuai dengan yang dibutuhkan dengan menggunakan Ball Mill selama 24 jam hingga larut sempurna. Kemudian larutan dibiarkan hingga benar-benar mengendap. Endapan yang terbentuk kemudian disaring dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 100oC selama 24 jam.


(19)

3.5.2 Proses Pengeringan

Tahap selanjutnya adalah pengeringan yang bertujuan untuk mendapatkan campuran hematite dan barium carbonat berbentuk solid untuk selanjutnya dikalsinasi. Pengeringan dilakukan pada temperatur 100oC selama 24 jam dengan menggunakan oven.

3.5.3 Proses Kalsinasi

Setelah proses pengeringan, sampel yang berbentuk serbuk kemudian dikalsinasi dengan suhu 1100oC selama 1 jam. Proses kalsinasi ini dilakukan untuk mendapatkan serbuk keramik yang dengan ukuran yang optimum serta menguraikan senyawa-senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi oksida, membentuk fase Kristal.

3.5.4 Milling dengan menggunakan High Energy Milling (HEM)

Setelah proses kalsinasi, sampel yang berbentuk serbuk akan dihancurkan menggunakan high energy milling (HEM) dengan waktu selama 60 menit agar memperoleh serbuk yang lebih halus. Dalam proses penggilingan, HEM bekerja dengan cara menghancurkan campuran serbuk melalui mekanisme pembenturan bola-bola giling yang bergerak mengikuti pola gerakan wadahnya yang berbentuk elips tiga dimensi inilah yang memungkinkan pembentukan partikel-pertikel serbuk berskala nanometer akibat tingginya frekuensi tumbukan. Tingginya frekuensi tumbukan yang terjadi antara campuran serbuk dengan bola-bola giling disebabkan karena wadah yang berputar dengan kecepatan tinggi, yaitu mencapai 500 rpm. Prinsip kerja HEM tampak pada gambar berikut ini.


(20)

3.5.5 Pembuatan Sampel Uji

Serbuk yang telah dihaluskan dengan proses HEM kemudian dicetak dan diberi perekat polimer Celuna WE-518 sebanyak 3%. Pembuatan sampel uji dilakukan dengan proses isotropis (tanpa pengaruh medan luar) dan anisotropis (pengaruh medan luar) dengan tekanan sekitar 50-80 kgf/cm2 dengan cetakan die compact menggunakan hydraulic press (isotropis) dan magnetic fild press (an-isotropis). Serbuk campuran diletakkan dalam cetakan berdiameter 10 mm. Untuk serbuk sempel A dan B pada pencetakan isotropi deperlukan gaya sebesar 8 ton dengan waktu penahanan kompaksi selama 2 menit untuk memperoleh sampel dengan kekuatan yang mencukupi agar mudah dikeluarkan dari cetakan dan tidak hancur pada saat dipegang. Sedangkan untuk sampel A dan B pada pencetakan anisotropi diperlukan gaya sebesar 50-80 kgf dengan waktu penahanan kompaksi 1 menit. Hasil pencetakannya berupa pellet yang diameter 10 mm

3.5.6 Sintering

Sintering merupakan tahapan penting dalam memproses suatu bahan padat, baik pada bahan unsur, paduan, komposit, hingga keramik. Dalam sintering akan terjadi fenomena penyusutan (shrinkage) yaitu proses eliminasi dan porositas pada saat pemadatan belum mencapai kejenuhan, setelah itu akan terjadi fenomena pertumbuhan butir pada saat pemadatan mencapai kejenuhan. Fenomena yang terjadi pada proses sintering dipengaruhi oleh siklus yang melibatkan temperatur, kecepatan pemanasan, waktu penahanan (holding time), kecepatan pendinginan dan tekanan. Proses sintering pada magnet keramik BaFe12O19 dilakukan dengan cara pemanasan sampel dalam tungku listrik (furnace) dengan variasi suhu 1150, 1200,1250 dan 1300oC yang ditahan selama 1 jam


(21)

3.6Pengujian 3.6.1 Sifat fisis

3.6.1.1Densitas, Susut Bakar dan Porositas

Tujuan dilakukannya pengujian densitas dan Porositas adalah untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.

a. Densitas dan Susut Bakar

Nilai densitas suatu sampel adalah ukuran kepadatan dari suatu sampel. Sedangkan Susut bakar merupakan penyusutan dari sampel sebelum dilakukan sintering dan setelah dilakukan sintering. Penyusutan terjadi karena adanya reaksi pembakaran yaitu pelepasan CO2 dan difusi partikel. Pengkuran densitas dan susut bakar dilakukan dengan metode perhitungan langsung sebagai berikut:

a. Sampel yang telah di cetak diukur diameternya sebagai diameter awal (Do) dengan menggunakan jangka sorong

b. Sampel disinterring dengan temperature yang telah ditentukan

c. Sampel yang telah disintering diukur kembali diameter dan tebalnya sebagai diameter kedua (D) dan tebal (t)

d. Timbang massa sampel (m)

e. Dihitung volume (�) sampel, dengan persamaan: �=

4� 2

f. Dihitung massa jenis sampel, dengan persamaan:

=�

g. Dihitung penyusutan yang terjadi dengan persamaan: �0− �

�0 � 100%

b. Porositas

Porositas didefenisikan sebagai banyaknya lubang atau pori yang terdapat dalam suatu sampel yang telah selesai dibuat. Pengujian porositas dilakukan dengan sistem penyerapan air. Prosedur kerja untuk menentukan besarnya porositas suatu bahan sebagai berikut:


(22)

b. Tuangkan aquades kedalam beaker glas kira-kira ¾ dari volume beaker glas.

c. Masukkan sampel yang telah ditimbang kedalam beaker glas yang berisi aquades, rendam selama 24 jam

d.

Sampel di timbang sebagai massa basah (m2)

e. Sampel dikeringkan dalam oven dengan temperature 100oC selama 2 jam f. Dihitung porositas sampel dengan persamaan:

�� � � � = �2−�1

�1 �

100% (3.3)

3.6.2 Sifat Magnet

Sifat-sifat magnet permanen berdasarkan kurva histerisis adalah sebagai berikut: Sulit dimagnetisasi dan didemagnetisasi, Koersivitas tinggi (Hc), dengan Hc yang tinggi maka dapat mempertahankan orientasi momen magnetiknya untuk waktu yang lama, sebagai sumber gaya gerak magnet dalam kumparan magnetik, remanensi tinggi (Br), histeris loss besar, permeabilitas (μ) kecil.

Untuk mengukur sifat-sifat magnet tersebut alat yang digunakan yaitu

Vibrating Sample Magnetometer (VSM). Alat VSM merupakan salah satu jenis

peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetik bahan. Dengan alat ini akan diperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histerisis.

Semua bahan mempunyai momen magnetik jika ditempatkan dalam medan magnetik. Momen magnetik per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi. Secara prinsip ada dua metode mengukur besar magnetisasi tersebut, yaitu metode induksi (induction method) dan metode gaya (force

method). Pada metode induksi, magnetisasi diukur dari sinyal yang

ditimbulkan/diinduksikan oleh cuplikan yang bergetar dalam lingkungan medan magnet pada sepasang kumparan. Sedangkan pada metode gaya pengukuran dilakukan pada besarnya gaya yang ditimbulkan pada cuplikan yang berada dalam gradient medan magnet. VSM adalah salah satu alat ulur magnetisasi yang bekerja berdasarkan metode induksi (Mujamilah et al., 2000).


(23)

Pada metode ini, cuplikan yang akan diukur magnetisasinya dipasang pada ujung bawah batang kaku yang bergetar secara vertikal dalam lingkungan medan magnet luar H. Jika cuplikan termagnetisasi secara permanen ataupun sebagai respon dari adanya medan magnet luar, getaran ini akan mengakibatkan perubahan garis gaya magnetik. Perubahan ini akan menginduksi/menimbulkan suatu sinyal tegangan AC pada kumparan pengambil (pick-up atau sense coil) yang ditempatkan secara tepat dalam sistem medan magnet ini.

Selanjutnya sinyal AC ini akan dibaca oleh rangkaian pre-amp dan

Lock-in amplifier. Frekuensi dari Lock-in amplifier diset sama dengan

frekuensi getaran sinyal referensidari pengontrol getaran cuplikan. Lock-in

amplifier ini akan membaca sinyal tegangandari kumparan yang sefasa dengan

sinyal referensi. Kumparan pengambil biasanya dirangkai berpasangan dengan kondisi lilitan yang berlawanan. Hal ini untuk menghindari terbacanya sinyal yang berasal dari selain cuplikan, misalnya dari akibat adanya perubahan medan magnet luar itu sendiri. selanjutnya dalam proses pengukuran, medan magnet luar yang diberikan, suhu cuplikan, sudut dan interval waktu pengukuran dapat divariasikan melalui kendali komputer. Komputer akan merekam data tegangan kumparan sebagai fungsi medan magnet luar, suhu, sudut ataupun waktu.

3.6.3 Difraksi Sinar-X (X-Ray Diffraction)

X-Ray Diffractometer adalah alat yang dapat memberikan data-data difraksidan kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi (2) dari suatu bahan. Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk mengetahui perubahan fase struktur bahan dan mengetahui fase-fase apa saja yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji. Tahap pertama yang dilakukan dalam analisa sinar-X adalah melakukan analisa pemeriksaan terhadap sampel x yang belum diketahui strukturya. Sampel ditempatkan pada titik fokus hamburan sinar-X yaitu tepat ditengah-tengah plate yangdigunakan sebagai tempat yaitu sebuah plat tipis yang berlubang ditengah berukuran sesuai dengan sampel (pellet) dengan perekat pada sisi baliknya


(24)

Gambar 3.2 Prinsip Kerja XRD

Secara umum prinsip kerja XRD ditunjukkan oleh gambar 3.3 berikut:

1. Generator tegangan tinggi (A) berfungsi sebagai catu daya sumber sinar-X (B).

2. Sampel berbentuk pellet (C) diletakkan diatas tatakan (D) yang dapat diatur. 3. Berkas sinar-X didifraksikan oleh sampel dan difokuskan melewati celah

(E),kemudian masuk ke alat pencacah (F). Apabila sampel berputar sebesar 2θ maka alat pencacah berputar sebesar θ.

4. Intensitas difraksi sinar-X direkam dalam bentuk kurva terhadap jarak antara bidang d.

Untuk mengetahui fasa dan struktur material yang diamati dapat dilakukan dengancara sederhana, yaitu dengan cara membandingkan nilai d yang terukur dengan nilai d pada data standar. Data standar dapat diperoleh melalui Joint Committee of Powder Difraction Standart (JCPDS) atau dengan hanawalt.


(25)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Karakterisasi Struktur Kristal Dengan Menggunakan XRD

(X-Ray Difraction)

Untuk mengetahui dan mengidentifikasi fasa-fasa yang terdapat pada sample uji, maka dilakukan pengujian difraksi sinar-X (XRD) dengan menggunakan alat X-ray diffractometer yang kemudian dianalisis secara kuantitatif. Proses analisa tersebut dilakukan dengan cara mencocokkan data hasil pengukuran difraksi yang didapat dari sampel dengan data hasil difraksi sinar-X yang terdapat pada database ICDD (International Center for Diffraction Data). Adapun hasil pengujian dari masing-masing sampel adalah sebagai berikut:

4.1.1 Sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni yang dihasilkan

Hasil pengukuran pola difraksi sinar-X yang bertujuan untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk setelah proses pemanasan 1100oC dengan menggunakan X-ray diffractometer pada sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni diperlihatkan pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Pola Difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni yang dihasilkan

In

te

n

s

it

y

(

c

o

u

n

ts

)

0 50 100 150

2-theta (deg)

20 40 60 80

: BaFe12O19


(26)

Hasil identifikasi fasa sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni menunjukkan bahwa sampel memiliki dua fasa berdasarkan percocokan pola difraksi sinar-X menurut hasil penelitian BaFe12O19 seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Identifikasi fasa pola difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni yang dihasilkan

Sedangkan data puncak-puncak difraksi sinar-X sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Puncak-puncak difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni yang dihasilkan

No Sudut Intensitas Bidang (hkl) Fasa

h K L

1 30.35 29 1 1 0 Barium Heksaferit

2 30.77 18 0 0 8 Barium Heksaferit

3 32.135 71 1 0 7 Barium Heksaferit

4 33.13 27 1 0 4 Iron Oxide

5 34.155 56 1 1 4 Barium Heksaferit

6 35.64 20 1 1 0 Iron Oxide

7 37.08 30 2 0 3 Barium Heksaferit

8 40.37 9 2 0 5 Barium Heksaferit

In

te

n

s

it

y

(

c

o

u

n

ts

)

0 50 100 150

Barium Iron Oxide, Ba Fe12 O19, 04-008-0274

2-theta (deg)

20 40 60 80


(27)

9 54.07 13 3 0 2 Barium Heksaferit

10 55.04 22 2 1 7 Barium Heksaferit

11 56.43 20 3 0 4 Barium Heksaferit

12 56.58 23 2 0 11 Barium Heksaferit

13 57.6 0 2 1 8 Barium Heksaferit

14 63.28 22 2 2 0 Barium Heksaferit

Pola difraksi pada gambar 4.1 memperlihatkan bahwa terdapat 14 peak tertinggi yang memiliki dua fasa yaitu Barium Heksaferit (BaFe12O19) dan Hematit (Fe2O3) dimana fasa mayor adalah Barium Heksaferit (BaFe12O19) dan minor adalah Hematit (Fe2O3). Hal ini sesuai dengan hasil data standar ICDD No 04-008-0274 untuk BaFe12O19 yang memiliki struktur kristal hexagonal dengan parameter kisi a=b= 5.887 Å, c = 23.224 Å, serta volume cell-nya 697. Å3 dan ICDD No 01-089-0596 untuk Fe2O3 yang memiliki struktur kristal rhombohedral dengan parameter kisi a=b= 5.0425 Å, c = 13.767 Å, serta volume cell-nya 303.1 Å3.

4.1.2 Sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale yang dihasilkan

Hasil pengukuran pola difraksi sinar-X yang bertujuan untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk setelah proses pemanasan 1100oC dengan menggunakan X-ray diffractometer pada sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale diperlihatkan pada gambar 4.3.

Gambar 4.3 Pola Difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale yang dihasilkan

In

te

n

sit

y

(c

o

u

n

ts

)

0 50 100

2-theta (deg)

20 40 60 80

: BaFe12O19


(28)

Hasil identifikasi fasa sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale menunjukkan bahwa sampel memiliki dua fasa berdasarkan percocokan pola difraksi sinar-X menurut hasil penelitian BaFe12O19 seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Identifikasi fasa pola difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale yang dihasilkan

Sedangkan data puncak-puncak difraksi sinar-X sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Puncak-puncak difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale yang dihasilkan

No Sudut Intensitas Bidang (hkl) Fasa

h K L

1 30.358 31 1 1 0 Barium Heksaferit

2 30.81 21 0 0 8 Barium Heksaferit

3 32.162 80 1 0 7 Barium Heksaferit

4 33.047 11 1 0 4 Iron Oxide

5 34.121 11 1 1 4 Barium Heksaferit

6 35.64 22 1 0 8 Barium Heksaferit

7 37.12 45 2 0 3 Barium Heksaferit

In

te

n

s

it

y

(

c

o

u

n

ts

)

0 50 100

Barium Iron Oxide, Ba Fe12 O19, 00-043-0002

2-theta (deg)

20 40 60 80


(29)

8 40.295 33 2 0 5 Barium Heksaferit

9 42.413 58 2 0 8 Barium Heksaferit

10 46.4206 108 1 0 11 Barium Heksaferit

11 49.2857 53 0 2 4 Iron Oxide

12 55.095 43 2 1 7 Barium Heksaferit

13 56.58 28 2 0 11 Barium Heksaferit

14 63.09 24 3 0 10 Barium Heksaferit

15 72.59 14 3 1 7 Barium Heksaferit

Pola difraksi pada gambar 4.3 memperlihatkan bahwa terdapat 15 peak tertinggi yang memiliki dua fasa yaitu Barium Heksaferit (BaFe12O19) dan Hematit (Fe2O3) dimana fasa mayor adalah Barium Heksaferit (BaFe12O19) dan minor adalah Hematit (Fe2O3). Hal ini sesuai dengan hasil data standar ICDD No 00-043-0002 untuk BaFe12O19 yang memiliki struktur kristal hexagonal dengan parameter kisi a=b= 5.8946 Å, c = 23.220 Å, serta volume cell-nya 698.7 Å3 dan ICDD No 00-001-1053 untuk Fe2O3 yang memiliki struktur kristal rhombohedral dengan parameter kisi a=b= 5.0381 Å, c = 13.815Å, dan volume cell-nya 303.68 Å3

Dari kedua gambar diatas dapat diliht bahwa struktur kristal dari bahan mill scale lebih teratur dibandingkan dengan bahan murni serta puncak intensitas dari mill scale lebih tinggi dibandingkan yang murni, semakin tinggi puncak intensitas dan semakin sempit sudut 2θ maka struktur kristalnya dikatakan sempurna.

4.2 Hasil Analisa Magnetik Dengan Menggunakan VSM (Vibrating Sample

Magnetometer)

Vibrating sample magnetometer dalah salah satu peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat magnet dari sutu bahan. Dengan alat ini akan diperoleh besaran-besaran sifat magnet dipengaruhi akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histersis dan dijelaskan pada tabel. Hasil karakterisasi


(30)

sifat magnet diperlihatkan pada tabel 4.3 dan digambarkan pada kurva histerisis berikut ini:

Tabel 4.3 Nilai perbandingan uji VSM BaFe12O19 dari Fe2O3 murni dengan Fe2O3 mill scale yang dihasilkan

Sampel Remanence σr (emu/g)

Koersifitas Hc (kOe)

Magnet Saturasi σs (emu/g)

Bhmax

(MGOe)

A 17.80 1.488 38.45 0.101

B 20.78 1.993 45.16 0.178

Gambar 4.5 Kurva histerisis BaFe12O19 dari Fe2O3 murni dan mill scale yang dihasilkan

Karakterisasi menggunkan VSM menghasilkan kurva histerisis yang memberikan informasi besar nilai remanen (σr), magnetisasi saturasi (σs) dan medan koersifitas (Hc). Remanensi menunjukkan nilai yang tersisa akibat reduksi medan magnet menjadi nol. Pada persamaan H = 0 maka pada persamaan tersebut hanya terdapat magnetisasi M. Hal ini berarti induksi remanen merupakan medan yang timbul akibat magnetisasi spontan pada suatu metrial (Athesia, 2014). Pola histerisis terjadi karena proses magnetisasi dan demagnetisasi pada material

Emu/g (Fe2O3 murni)


(31)

magnet. Grafik kurva histerisi menunjukan medan magnet eksternal (H) terhadap magnetisasi (σ). Kurva histerisis terdiri dari Magnetization saturation (σs),

remanence (σr) dan coercivity (Hc). Magnetization saturation (σs) adalah keadaan

dimana material tidak dapat menyerap medan magnet yang lebih kuat sehingga peningkatan gaya magnetisasi tidak akan mengubah secara signifikan magnetic

flux density. Remanence (σr) memperlihatkan magnetisasi berada di sebelah kiri

dalam magnet permanen setelah medan magnet eksternal dihilangkan. Coercivity juga disebut coercive force material yang sama dengan gaya demagnetisasi yang dibutuhkan pada pengurangan induksi sisa terhadap nilai nol dalam medan magnet setelah magnetisasi ke saturasi.

Berdasarkan tabel 4.3 dan gambar 4.5 di atas dapat dianalisis bahwa kurva histerisis sampel tersebut bersifat material magnetic lunak (soft magnetic

material) dan memiliki lebar kurva yang sempit. Sifat material magnetic lunak

yang diharapkan terjadi adalah terjadinya penurunan nilai koersivitas (Hc) dan peningkatan magnetisasi saturasi (σs). Untuk magnet permanen semakin lebar kurva akan semakin baik karena gaya koersifitas akan semakin besar. Adanya penyempitan lebar kurva disebabkan pada sampel tersebut struktur kristalnya tidak hanya Barium Heksaferit tetapi terdapat Fe2O3, dimana fasa Fe2O3 bersifat non magnetik dan cenderung soft magnetik oleh karena itu lebar kurva menyempit.

4.3 Hasil Karakterisasi Sifat Fisis

Sifat fisis yang diamati dalam penelitian pembuatan Barium Heksaferit dengan metode metalurgi serbuk yang berbahan dasar BaCO3 (murni) dan Fe2O3 (murni dan mill scale) berbentuk powder meliputi densitas dan porositas.

4.3.1 True Density (ρ)

Pengukuran true density dari serbuk yang digiling selama 24 jam, menggunakan prinsip piknometer dengan cairan pembanding yaitu aquades. Hasil pengukuran

true density serbuk Barium Hekseferit dari Fe2O3 murni lebih kecil di bandingkan


(32)

murni dan 3.57g/cm3 untuk bahan mill scale. Sedangkan secara nilai teori true density untuk barium heksaferite yaitu 5.3 – 5.6 g/cm3, nilai hasil secara praktek lebih kecil dibandingkan dengan teori.

4.3.2 Bulk Density (ρ)

Pengukuran bulk density magnet permanen Barium Heksaferit yang telah disinter pada suhu: 1150, 1200, 1250, dan 1300 oC, masing-masing ditahanselama 1 jam dilakukan dengan metode pengukuran langsung. Secara teori nilai bulk densitas berkisar 4 g/cm3. Dibawah ini adalah hasil dari pengukuran densitas magnet barium heksaferit.

4.3.2.1 Sampel BaFe12O19yang dicetak secara isotropi

Data hasil pengujian densitas sampel BaFe12O19yang dicetak secara isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Nilai densitas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering

Sampel

Densitas (ρ = gr/cm3)

1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC

A 4.35 4.48 4.22 4.51

B 3.24 3.41 3.56 3.83

Dari Tabel 4.4 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai densitas dengan perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:


(33)

Gambar 4.6 Kurva densitas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering

4.3.2.2 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi

Data hasil pengujian densitas sampel BaFe12O19yang dicetak secara anisotropi ditunjukkan pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Nilai densitas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering

Sampel

Densitas (ρ = gr/cm3)

1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC

A 4.29 4.48 4.23 4.51

B 3.69 3.92 3.93 4.32

Dari Tabel 4.5 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai densitas dengan perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:

3 3.2 3.4 3.6 3.8 4 4.2 4.4 4.6

1100 1150 1200 1250 1300 1350

De

n

sit

as

(

gr

/cm

3)

Suhu Sintering (oC)

Grafik Densitas -Vs- Suhu

Sampel A Sampel B


(34)

Gambar 4.7 Kurva densitas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering

Dari gambar 4.6 dan 4.7 dapat dilihat bahwa nilai densitas meningkat dengan naiknya suhu sintering karena selama proses sintering berlangsung terjadi proses difusi, dan suhu sintering ditingkatkan dapat mengakibatkan adanya pertumbuhan butir sehingga pori – pori diantara butir dapat berkurang semakin banyak (Ristic, 1989). Densitas merupakan perbandingan massa dengan volume benda, dimana setelah proses sintering terjadi penyusutan yang semakin besar dengan naiknya suhu sintering, sehingga volume benda semkin berkurang, maka nilai densitasnya cenderung meningkat.

Nilai densitas maksimum untuk kedua sampel terdapat pada suhu 1300oC. Sedangkan pada suhu 1250oC untuk sampel dengan bahan murni mengalami penurunan, hal ini mungkin disebabkan karena tingkat kemurnian bahan baku. Pada saat proses pencampuran dimungkinkan masuknya pengotor dalam bahan baku. Karena pengotor dan bahan secara mikro tidak dapat bersatu, sehingga mengakibatkan terjadinya jarak atom (terjadinya rongga) antara bahan dan pengotor, akibatnya volume bahan menjadi bertambah. Bertambahnya volume mengakibatkan turunnya nilai densitas (Billah, 2006).

3 3.2 3.4 3.6 3.8 4 4.2 4.4 4.6

1100 1150 1200 1250 1300 1350

De

n

sit

as

(

gr

/cm

3)

Suhu Sintering (oC)

Grafik Densitas -Vs- Suhu

Sampel A Sampel B


(35)

4.3.3 Susut Bakar

4.3.3.1 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi

Data hasil pengujian susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.6

Tabel 4.6 Nilai Susut Bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi dengan variasi suhu sintering

Sampel

Susut Bakar (%)

1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC

A 11.63 12.59 11.12 12.75

B 3.17 5.03 6.61 9.78

Dari Tabel 4.6 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai susut bakar dengan perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.8 Kurva susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering

4.3.3.2 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi

Data hasil pengujian susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.7

2 4 6 8 10 12 14 16

1100 1150 1200 1250 1300 1350

S u su t B ak ar ( % )

Suhu Sintering (oC)

Grafik Susut Bakar -Vs- Suhu

Sampel A Sampel B


(36)

Tabel 4.7 Nilai Susut Bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi dengan variasi suhu sintering

Sampel

Susut Bakar (%)

1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC

A 11.36 10.73 9.47 10.63

B 4.54 6.86 8.94 10.16

Dari Tabel 4.7 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai susut bakar dengan perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.9 Kurva susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering

Dari gambar 4.8 dan 4.9 di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu sintering, penyusutan yang terjadi juga cenderung semakin besar. Hal ini karena pada proses sintering terjadi pemadatan akibat difusi atom pada bagian titik kontak partikel. Pada saat pemberian energi panas di dalam furnace sama artinya dengan memberi energy aktivasi pada atom penyusun bahan tersebut, sehingga dengan adanya energi aktivasi menyebabkan atom penyusun bahan akan bervibrasi kemudian melepaskan ikatannya dan bergerak ke posisi baru atau berpindah ke kisi yang lain, proses tersebut sering disebut dengan proses difusi. Sehingga semakin tinggi suhu sintering, semakin banyak atom-atom yang mempunyai energi yang sama atau melebihi energi aktivasi untuk dapat tersebar dari posisinya dan bergerak

0 2 4 6 8 10 12

1100 1150 1200 1250 1300 1350

S u su t B ak ar ( % )

Suhu Sintering (oC)

Grafik Susut Bakar -Vs- Suhu

Sampel A Sampel B


(37)

menuju ke tempat-tempat kekosongan (Vacant Site) yang menyebabkan proses pemadatan dan penghilangan pori semakin cepat (Efendi dkk, 2003).

4.3.4 Porositas

4.3.4.1 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi

Data hasil pengujian porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.8

Tabel 4.8 Nilai Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi dengan variasi suhu sintering

Sampel

Porositas (%)

1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC

A 1.03 1.04 1.56 0.52

B 10.03 8.31 5.41 2.91

Dari Tabel 4.8 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai porositas dengan perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.10 Kurva Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropis dengan variasi suhu sintering

4.3.4.2 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi

Data hasil pengujian porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.9

0 2 4 6 8 10 12

1100 1150 1200 1250 1300 1350

P

or

os

it

as

(

%

)

Suhu Sintering (oC)

Garfik Porositas -Vs- Suhu

Sampel A Sampel B


(38)

Tabel 4.9 Nilai Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi dengan variasi suhu sintering

Sampel

Porositas (%)

1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC

A 1.49 1.19 2.73 0.91

B 5.88 4.07 1.84 1.69

Dari Tabel 4.9 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai porositas dengan perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.11 Kurva Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropis dengan variasi suhu sintering

Dari gambar 4.10 dan 4.11 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu sintering, nilai porositas cenderung menurun. Pada gambar 4.10 dan 4.11 nilai porositas terendah terdapat pada suhu 1300oC untuk sampel dari bahan murni sedangkan untuk nilai tertinggi terdapat pada suhu 1150oC untuk sampel dari bahan mill scale dengan proses pencetakan isotropis dan an-isotropis. Hal ini sesuai dengan mekanisme proses sintering yaitu terjadi proses pemadatan akibat pengaruh sintering yang menyebabkan rongga-rongga semakin kecil. Kejadian ini menyebabkan butiran-butiran partikel bersebelahan bereaksi dan berikatan, artinya sudah mulai melebur dan menutup sebagian pori-pori. Temperatur sintering yang semakin meningkat menyebabkan ukuran butiran lebih merata dan sampel memiliki sedikit pori. (Priyo Sardjono dkk, 2012). Pada suhu 1250oC

0 1 2 3 4 5 6 7

1100 1150 1200 1250 1300 1350

P or os it as ( % )

Suhu Sintering (oC)

Grafik Porositas -Vs- Suhu

Sampel A Sampel B


(39)

untuk sampel murni yang dicetak secara isotropis mengalami kenaikan hal ini mungkin disebabkan adanya pengotor pada sampel sehingga terjadi perbesaran rongga pada saat proses sintering. Butiran bersebelahan tidak dapat beraksi dan berikatan dan memungkinkan terjadinya rongga dan perbesaran butir sehingga tidak menutup pori yang ada pada sampel.

4.4 Hasil Karakterisasi Sifat Magnet

4.4.1 Fluks Magnetik

Sifat magnet suatu bahan dapat diketahui melalui pengukuran kuat medan magnet (fluks density) dengan menggunakan alat gaussmeter. Hasil pengukuran Gaussmeter (kuat medan magnet) untuk proses pencetakan isotropi dan anisotropi dapat dilihat pada:

4.4.1.1Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi

Data hasil pengujian fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.10

Tabel 4.10 Nilai Fluks Magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi dengan variasi suhu sintering

Sampel

Fluks Magnetik (Gauss)

1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC

A 381.1 361.6 358.7 332.5

B 349.1 344.5 342.1 348.0

Dari Tabel 4.10 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai fluks magnetik dengan perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:


(40)

Gambar 4.12 Kurva Fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak dengan isotropi dengan variasi suhu sintering

Berdasarkan hasil pengukuran nilai kuat medan magnet pada Tabel 4.10 diatas terlihat bahwa pada suhu sintering 1150°C diperoleh nilai fluks magnetik tertinggi yaitu 381.1 Gauss untuk sampel dari bahan murni dan 349.1 Gauss untuk bahan mill scale yang dicetak secara isotropi. Sedangkan nilai fluks magnetik terendah pada bahan murni yaitu 332.5 gauss pada suhu 1300oC dan 342.1 gauss untuk bahan mill scale dengan suhu sintering 1250oC. Nilai fluks magnetik dengan naiknya suhu cenderung menurun. Hal ini disebabkan pada saat proses sintering tidak hanya terjadi pengurangan pori, tetapi juga terjadinya perbesaran butir, dimana bila ukuran butir tumbuh besar melebihi ukuran butir yang ideal yaitu 1-2 µm untuk ukuran ideal magnet ferrite maka kekuatan magnetnya juga akan turun. (Kharismayanti, 2013)

4.4.1.2Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi

Data hasil pengujian fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.11

330 340 350 360 370 380 390

1100 1150 1200 1250 1300 1350

F

lu

k

s

M

agn

et

ik

(

Gau

ss

)

Suhu Sintering (oC)

Grafik Fluks Magnetik -Vs- Suhu

Sampel A Sampel B


(41)

Tabel 4.11 Nilai Fluks Magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi dengan variasi suhu sintering

Sampel

Fluks Magnetik (Gauss)

1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC

A 316.0 319.9 318.6 311.0

B 336.2 342.6 324.0 318.1

Dari Tabel 4.11 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai fluks magnetik dengan perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.14 Kurva Fluks magnetik sampel BaFe12O19yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering

Berdasarkan hasil pengukuran nilai kuat medan magnet pada Tabel 4.11 diatas terlihat bahwa pada suhu sintering 1200°C diperoleh nilai fluks magnetik tertinggi yaitu 319.9 Gauss untuk sampel dari bahan murni dan 342.6 gauss untuk bahan mill scale. Sedangkan nilai fluks magnetik terendah pada suhu 1300oC yaitu 311.0 gauss untuk bahan murni dan 318.1 untuk bahan mill scale.

Dari hasil proses pencetakan tersebut dapat dilihat bahwa nilai fluks magnetik pada proses isotropi jauh lebih besar dari pada anisotropi. Sampel yang diproses dengan cara anisotropi pada pembentukkan dilakukan didalam medan magnet sehingga arah domain magnet partikel-partikelnya mengarah pada satu arah tertentu. Sedangkan proses pembentukan yang dilakukan dengan cara isotropi yaitu dimana pada proses pembentukkan arah domain magnet

partikel-305 310 315 320 325 330 335 340 345

1100 1150 1200 1250 1300 1350

F lu k s m agn et ik ( Gau ss )

Suhu Sintering(oC)

Grafik Fluks Magnetik -Vs- Suhu

Sampel A Sampel B


(42)

partikelnya masih acak. Magnet permanen isotropi memiliki sifat magnet atau remanensi magnet yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan magnet permanen anisotropi. [Moulson A.J, et all., 1985]. Akan tetapi pada prakteknya nilai fluks magnetik pada pencetakan isotropi lebih besar dibandingkan dengan pencetakan anisotropi. Hal ini dikarenakan waktu kompaksi pada anisotropi lebih rendah dibandingkan dengan isotropi yaitu 1 menit. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Novrita dan Dedi (2003) menyatakan bahwa semakin lama waktu yang diterapkan pada saat megnetisasi ketika proses kompaksi berlangsung, menyebabkan meningkatnya karakteristik magnet.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Dari hasil penelitian pembuatan magnet permanen Barium Hexaferite BaFe12O19 dengen metode metalurgi serbuk dan karakterisasinya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Hasil uji XRD menunjukkan terdapat dua fasa yang terbentuk yaitu, fasa BaFe12O19 dan Fe2O3. Dimana yang menjadi fasa mayor adalah BaFe12O19 dan fasa minor Fe2O3, hal ini diakibatkan karena BaFe12O19 dapat menghasilkan fasa pengotor yaitu hematite (Fe2O3).

2. Hasil uji VSM BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale memiliki kurva yang lebih sempit dibandingkan BaFe12O19 dari Fe2O3 murni, semakin lebar kurva maka gaya koersifitas akan semakin besar.

3. Suhu sintering optimum diperoleh pada suhu 1300oC untuk sampel dari bahan murni yang dicetak secara isotropi yaitu memiliki sifat-sifat sebagai berikut: sifat fisis dengan nilai bulk density yaitu 4.51 g/cm3, susut bakar 12.75% dan porositas sebesar 0.52%. Sifat magnet dengan nilai fluks magnetik yaitu 332.5 Gauss.

5.2Saran

1. Sebaiknya memperhatikan tingkat kemurnian bahan baku

2. Sebaiknya meningkatkan waktu kompaksi untuk pencetakan anisotropi 3. Sebaiknya pencetakan dilakukan dengan pencetakan basah


(44)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Magnet

Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet. Asal kata magnet diduga dari kata magnesia yaitu nama suatu daerah di Asia kecil. Menurut cerita di daerah itu sekitar 4.000 tahun yang lalu telah ditemukan sejenis batu yang memiliki sifat dapat menarik besi atau baja atau campuran logam lainnya. Benda yang dapat menarik besi atau baja inilah yang disebut magnet.

Di dalam kehidupan sehari-hari kata “magnet” sudah namun sering juga berpikir bahwa jika mendengar kata magnet selalu berkonotasi menarik benda.Untuk bisa mengambil suatu barang dari logam (contoh obeng besi) hanya dengan sebuah magnet, misalkan pada peralatan perbengkelan biasanya dilengkapi dengan sifat magnet sehingga memudahkan untuk mengambil benda yang jatuh di tempat yang sulit dijangkau oleh tangan secara langsung. Bahkan banyak peralatan yang sering digunakan, antara lain bel listrik, telepon, dinamo, alat-alat ukur listrik, kompas yang semuanya menggunakan bahan magnet. (Anonim, 2014).

Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah banyak dimanfaatkan untuk industri otomotif dan lainnya. Sebuah magnet terdiri atas magnet-magnet kecil yang memiliki arah yang sama (tersusun teratur), magnet-magnet kecil ini disebut magnet elementer. Pada logam yang bukan magnet, magnet elementernya mempunyai arah sembarangan (tidak teratur) sehingga efeknya saling meniadakan, yang mengakibatkan tidak adanya kutub-kutub magnet pada ujung logam. Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu: utara dan selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub-kutubnya. Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam mempunyai daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja adalah dua


(45)

contoh materi yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. Sedangkan oksigen cair adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang rendah oleh magnet. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber (1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi (Anonim, 2014).

2.2 Macam-macam magnet

Berdasarkan sifat kemagnetannya magnet dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Magnet permanen.

Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap. Magnet permanen dibuat orang dalam berbagai bentuk dan dapat dibedakan menurut bentuknya menjadi :

- Magnet batang

- Magnet ladam (sepatu kuda) - Magnet jarum

- Magnet silinder - Magnet lingkaran b.Magnet remanen

Magnet remanen adalah suatu bahan yang hanya dapat menghasilkan medan magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan dengan cara mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet alam. Bila suatu bahan pengantar dialiri arus listrik, besarnya medan magnet yang dihasilkan tergantung pada besar arus listrik yang dialirkan. Medan magnet remanen yang digunakan dalam praktek kebanyakan dihasilkan oleh arus dalam kumparan yang berinti besi. Agar medan magnet yang dihasilkan cukup kuat, kumparan diisi dengan besi atau bahan sejenis besi dan sistem ini dinamakan electromagnet. Keuntungan electromagnet adalah bahwa kemagnetannya dapat dibuat sangat kuat, tergantung dengan arus yang


(46)

dialirkan. Dan kemagnetannya dapat dihilangkan dengan memutuskan arus listriknya. (Erni, 2011)

2.3 Sifat – Sifat Magnet Permanen

Sifat – sifat kemagnetan permanen magnet (hard ferrite)dipengaruhi oleh kemurnian bahan, ukuran bulir (grain size), dan orientasi kristal. Parameter kemagnetan juga dipengaruhi oleh temperatur. Koersivitas dan remenensi akan berkurang apabila temperaturnya mendekati temperatur curie (Tc) dan akan kehilangan sifat kemagnetannya (Taufik, 2006).

2.3.1 Koersivitas

Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet. Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya. Tinggi koersivitas, juga disebut medan koersif, dari bahan feromagnetik. Koersivitas biasanya diukur dalam Oersted atau ampere / meter dan dilambangkan Hc (Pooja, 2010).

2.3.2 Remanen

Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu. Bagaimanapun juga koersivitas sangat dipengaruhi oleh nilai remanensinya. Oleh karena itu besar nilai remanensi yang dikombinasikan dengan besar koersivitas pada magnet permanen menjadi sangat penting (Jiles, 1996).

2.3.3 Temperatur Currie

Temperature Currie c dapat didefinisikan sebagai temperatur kritis dimana fase magnetik bertransisi dari konfigurasi struktur magnetik yang teratur menjadi tidak teratur.

Takanori, 2011 menganalisa sifat magnet dan pengaruhnya terhadap temperatur Curriedengan pensubsitusian ion TI dan Co. Dari hasil penelitiannya padakomposisi x = 2,5, sifat ferrimagnetikberubah menjadi paramagnetik dannilai temperature Currienya naik seiring naiknya komposisi


(47)

subsitusi Ti dan Co. Dimana untuk x = 2,5 temperatur currienya adalah 692 o

Csedangkan pada x=5 temperatur Currienya 730oC. Hal tersebut juga mempengaruhi penurunan nilai remanensinya.

2.3.4 Medan anisotropi (HA)

Medan anisotropi (HA), juga merupakan nilai instrinsik yang sangat penting dari magnet permanen karena nilai ini dapat di definisikan sebagai koersivitas maksimum yang menunjukkan besar medan magnet luar yang diberikan dengan arah berlawanan untuk menghilangkan medan magnet permanen. Anisotropi magnet dapat muncul dari berbagai sebab seperti bentuk magnet, struktur kristal, efek stress, dan lain sebagainya (konsorsium magnet).

2.4 Sifat Kemagnetan Bahan

Sifat – sifat kemagnetan bahan pada material magnet dapat diklasifikasikan antara lain diamagnetik, paramagnetik, ferromagnetik, antiferromagnetik dan ferrimagnetik.

2.4.1 Ferromagnetik

Ferromagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas magnetikpositif yang sangat tinggi. Dalam bahan ini sejumlah kecil medan magnetik luar dapat menyebabkanderajat penyearahan yang tinggi pada momen dipol magnetik atomnya. Dalam beberapa kasus, penyearahan ini dapat bertahan sekalipun medan kemagnetannya telah hilang. Hal ini terjadi karena momen dipol magnetik atom dari bahan – bahan ferromagnetik ini mengarahkan gaya – gaya yang kuat pada atom disebelahnya.Sehingga dalam daerah ruang yang sempit, momen ini disearahkan satu sama lain sekalipun medan luarnya tidak ada lagi. Daerah ruang tempat momen dipol magnetik yang disearahkan ini disebut daerah magnetik. Dalam daerah ini, semua momen magnetik disearahkan, tetapi arah penyearahnya beragam dari daerah sehingga momen magnetik total dari kepingan mikroskopi bahan ferromagnetik ini adalah nol dalam keadaan normal (Tipler, 2001).


(48)

2.4.2 Ferrimagnetik

Pada bahan yang bersifat dipol yang berdekatan memiliki arah yang berlawanan tetapi momen magnetiknya tidak sama besar. Bahan ferrimagnetik memiliki nilai susepbilitas tinggi tetapi lebih rendah dari bahan ferromagnetik, beberapa contoh dari bahan ferrimagnetik adalah ferrite dan

magnetite (Mujiman, 2004).

Gambar 2.2 Momen Magnetik Dari Sifat Ferrimagnetik 2.4.3 Paramagnetik

Bahan paramagnetik adalah bahan – bahan yang memiliki suseptibilitas magnetik Xm yang positif dan sangat kecil. Paramagnetik muncul dalam bahan yang atom – atomnya memiliki momen magnetik hermanen yang berinteraksi satu sama lain secara sangat lemah. Apabila tidak terdapat Medan magnetik luar, momen magnetik ini akan berorientasi acak. Dengan adanya medan magnetik luar, momen magnetik ini arahnya cenderung sejajar dengan medannya, tetapi ini dilawan oleh kecenderungan momen untuk berorientasi acak akibat gerakan termalnya. Perbandingan momen yang menyearahkan dengan medan ini bergantung pada kekuatan medan dan pada temperaturnya. Pada medan magnetik luar yang kuat pada temperatur yang sangat rendah, hampir seluruh momen akan disearahkan dengan medannya (Tipler, 2001).

Gambar 2.3 Momen Magnetik Dari Sifat Paramagnetik

Karakteristik dari bahan yang bersifat paramagnetik adalah memiliki momen magnetik permanen yang akan cenderung menyearahkan diri sejajar dengan arah medan magnet dan harga suseptibilitas magnetiknya berbanding terbalik terbalik dengan suhu T adalah merupakan hukum Currie (Tipler, 2001).

2.3.4 Diamagnetik

Bahan diamagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas negatif dan sangat kecil. Sifat diamagnetik ditemukan oleh Faraday pada


(49)

tahun 1846 ketika sekeping bismuth ditolak oleh kedua kutub magnet, hal ini memperlihatkan bahwa medan induksi dari magnet tersebut menginduksi momen magnetik pada bismuth pada arah berlawan dengan medan induksi pada magnet (Tipler, 2001).

2.5 Kurva Histerisis

Kurva histerisis pada bahan merupakan bentuk disipasi energi yang terjadi selama proses pembentukan kurva B-H. Besarnya energi yang didisipasikan pada frekuensi rendah umumnya dipengaruhi oleh porositas, ukuran grain dan impuritasBentuk umum kurva medan magnetB sebagai fungsi intensitas magnet H terlihat pada gambar 2.4 kurva B (H) seperti ini disebut kurva induksi normal.

Gambar 2.4 Kurva Induksi Normal

Pada gambar di atas tampak bahwa kurva tidak berbentuk garis lurus sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan kenaikan harga H, mula-mula B turut naik cukup besar, tetapi mulai dari nilai H tertentuterjadi kenaikan nilai B yang kecildan menuju nilai B yang konstan. Harga medan magnet untuk keadaan saturasi disebut dengan Bs atau medan magnet saturasi. Saturasi magnetisasi merupakan keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H dinaikkan terus. (Ika Mayasari, 2012).

Gambar 2.5 Kurva Histerisis

Sesudah mencapai saturasi ketika intensitas magnet H diperkecil hingga mencapai H = 0, ternyata kurva B tidak melewati jalur kurva semula. Pada harga H = 0,


(50)

pada kurva histerisis pada gambar 2.5. Harga Br ini disebut dengan induksi remanen atau remanensi bahan. Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu.

Setelah harga intensitas magnet H = 0 atau dibuat negatif (dengan membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B = 0 atau menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut koersivitas bahan. Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet. Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya (Ika Mayasari, 2012).

Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H yang besar. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik untuk membuat magnet permanen (Ika Mayasari, 2012).

Material magnetik diklasifikasikan menjadi dua yaitu material magnetik lemah atau soft magnetik materials maupun material magnetik kuat atau hard magnetic materials.

Gambar 2.6 Histeris material magnet (a) lunak, (b) keras

Bahan magnetik lunak (soft magnetic) dapat dengan mudah termagnetisasi dan mengalami demagnetisasi. Magnet lunak (soft magnetic) menunjukkan histerisis loop yang sempit. Magnet lunak (soft magnetic)


(51)

digunakan untuk meningkatkan fluks, yang dihasilkan oleh arus listrik didalamnya. Faktor kualitas dari bahan magnetik lunak adalah untuk mengukur permeabilitas yang sehubungan dengan medan magnet yang diterapkan. Parameter utama lainnya adalah koersivitas, magnetisasi saturasi dan konduktivitas listrik. Bahan magnetik lunak ideal akan memiliki koersivitas rendah (Hc), saturasi yang sangat besar (Ms), remanen (Br) nol, hysterisis loss dan permeabilitas yang sangat besar. Beberapa bahan penting magnetik lunak diantaranya Fe, paduan Fe-Si, Ferit lunak (MnZnFe2O4), besi silikon dll (Poja Chauhan, 2010)

Bahan magnet keras (hard magnetic) juga disebut sebagai magnet permanen yang digunakan untuk menghasilkan medan yang kuat tanpa menerapkan arus ke koil. Magnet permanen memerlukan koersivitas tinggi, yang membutuhkan koersivitas tinggi. Dalam bahan magnet keras (hard magnetic) anisotropi diperlukan magnetik uniaksial dan sifat magnetik berikut :

1. Koersivitas tinggi (high coersivity) : koersivitas, juga disebut medan magnet koersif. Koersivitas biasanya diukur dalam satuan oersted atau ampere / meter dan dilambangkan Hc. Bahan dengan koersivitas tinggi disebut bahan ferromagnetik keras dan digunakan untuk membuat magnet permanen.

2. Magnetisasi besar (large magnetization) : proses pembuatan substansi sementara atau magnet permanen, dengan memasukkan bahan medan magnet.

2.6Barium Heksaferit

Heksaferit tergolong dalam ferimagnetik, Ferimagnetik memiliki arah atom-magnetik yang berlawanan, tetapi tidak seimbang, jadi magnet ini memiliki suatu magnetisasi total. Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya, Barium Heksaferit merupakan tipe-M. Tipe-M yang lebih dikenal dengan sebutan barium heksagonal ferit (BaM) merupakan oksida keramik yang paling banyak dimanfaatkan secara komersial dan hingga kini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan material tersebut baik dari segi fabrikasinya maupun penggunaannya.( Darminto dkk, 2011)


(52)

Barium M-heksaferit atau dikenal dengan sebutan BaM memiliki rumus kimia BaO.6Fe2O3 (BaFe12O19) dan struktur heksagonal yang sesuai dengan

space group P 63/mmc. Sel komplek BaM tersusun atas 2 sistem kristal yaitu

struktur kubus-pusat-sisi (face-centered-cubic) dan heksagonal mampat

(hexagonal-close-packed) seperti terlihat pada gambar 2.7. Keduanya tersusun

dengan lapisan atom yang sama, satu lapisan di atas lapisan yang lain, dalam setiap lapisan, atom terletak di pusat jaringan.

Gambar 2.7 Struktur kristal BaO.6Fe2O3

Sel satuan BaM berisi 2 molekul, atau totalnya 2 x 32 = 64 atom. Inilah yang membuat strukturnya sangat panjang ke arah sumbu z dengan c = 23,2 Ao dan a = 5,88Ao. Ion-ion Ba2+ dan O2- memiliki ukuran yang besar, hampir sama dan bersifat non magnetik. Keduanya tersusun dalam model close packed (tertutup). Ion Fe3+ menempati posisi interstisi.

Dalam sel satuan BaM, terdapat 10 lapisan dari ion-ion besar (Ba2+ dan O2), dengan 4 ion di setiap lapisannya. Delapan dari lapisan-lapisan tersebut adalah oksigen, sedangkan 2 lainnya berisi masing-masing satu ion barium. Seluruh blok dari 10 lapisan tersusun atas 4 blok, 2 blok kubus dan 2 blok heksagonal. Dalam blok kubus tersusun atas ion-ion oksigen yang memenuhi struktur tetrahedral dan oktahedral. Dalam setiap blok heksagonal, ion barium mengganti ion oksigen den letaknya di lapisan tengah.

Ion yang bersifat magnet dalam barium ferit hanyalah ion Fe3+, tiap-tiap ion dengan nilai momen magnetik 5 μB kristalografi yang berbeda jenisnya yaitu tetrahedral, oktahedral dan heksahedral. Ion - ion Fe3+ searah dengan bidang lapisan oksigen, yang bisa sejajar atau tegak lurus dengan sumbu-z dalam <0001>. Dalam setiap sel satuan terdapat 24 ion Fe3+, 4 ion berada di sistem


(53)

tetrahedral, oktahedral dan 2 ion dalam heksahedral. Terdapat 16 ion dengan spin searah dan 8 ion dengan spin berlawanan.

Barium heksaferit merupakan material magnetik dengan medan anisotropik yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan pada frekuensi yang lebih tinggi dari pada ferit spinel atau garnet (di atas 30 GHz). Kristal magnet anisotropik berasal dari strukturk kristal dengan anisotropik yang tinggi. Pertumbuhan butir struktur kristal tersebut juga bersifat anisotropik, dengan bentuk morfologi seperti bidang heksagonal yang memberikan peningkatan sisi anisotropiknya. Akibatnya, BaM menghasilkan koersifitas tinggi. Syarat itulah yang mestinya harus dimiliki oleh magnet. (Noer A’idah, dkk, 2011)

2.7 Karakterisasi Magnet Permanen 2.7.1 Densitas dan Porositas

Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. Pengukuran densitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah true density dan bulk

density. True density densitas nyata dari partikel atau kepadatan sebenarnya

dari partikel padat atau serbuk (powder) berbeda dengan bulk density, yang mengukur kepadatan rata-rata volume terbesar dari serbuk yang sudah dipadatkan. Pada pengujian true density menggunakan piknometer. Bulk

density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel

termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian Bulk density dilakukan untuk megukur benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun yang tidak beraturan. Pada pengujian Bulk density menggunakan metode

Archimedes.

Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong) dengan jumlah dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat. Porositas pada suatu material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari suatu rongga yang ada di dalam material tersebut. Besarnya porositas pada suatu material bervariasi mulai dari 0% sampai dengan 90% tergantung dari jenis dan aplikasi material tersebut. Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka dan porositas tertutup. Porositas yang tertutup pada umumnya sulit


(54)

untuk ditentukan karena pori tersebut merupakan rongga yang terjebak di dalam padatan dan serta tidak ada akses ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih ada akses ke permukaan luar, walaupun ronga tersebut ada ditengah-tengah padatan. (Delovita, 2014)

2.7.2 Uji Difraksi Sinar-X (XRD)

Uji difraksi sinar-X (XRD) dilakukan untuk menentukan fasa yang terbentuk setelah serbuk mengalami proses kalsinasi. Dari data yang akan dihasilkan dapat diprediksi ukuran kristal serbuk dengan bantuan software X-powder. Ukuran kristalin ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Makin lebar puncak difraksi yang dihasilkan maka makin kecil ukuran kristal serbuk.

Gambar 2.8 Geometri sebuah Difraktometer sinar –X Ada 3 komponen dasar suatu difraktometer sinar X yaitu: 1. Sumber Sinar X

2. Spesimen (Bahan Uji) 3. Detektor sinar X

Ketiganya terletak pada keliling sebuah lingkaran yang disebut lingkaran pemfokus. Sudut antara permukaan bidang spesimen dan sumber sinar X adalah sudut Bragg (Ө). Sudut antara projeksi sumber sinar X dan detektor adalah 2Ө. Atas dasar ini pola difraksi sinar X yang dihasilkan dengan geometri ini sering dikenal sebagai penyidikan (scans) Ө- 2Ө (theta-dua theta). Pada geometri Ө-2Ө sumber sinar X-nya tetap, dan detektor bergerak melalui suatu jangkauan (range) sudut. Jejari (radius) lingkaran pemfokus tidak konstan tetapi bertambah besar bila 2Өberkurang. Range pengukuran 2Ө biasanya dari 0o hingga sekitar 170o. Pada eksperimen tidak diperlukan menyidik seluruh sudut tersebut, pemilihan rangenya tergantung


(55)

pada struktur kristal material (jika dikenal) dan waktu yang diperlukan untuk memperoleh pola difraksinya. Geometri Ө - 2Ө umumnya digunakan, walaupun masih ada geometri yang lain seperti geometri Ө- Ө(theta-theta) dimana detektor dan sumber sinar-X keduanya bergerak pada bidang vertikal dalam arah yang berlawanan di atas pusat spesimennya. Pada beberapa bentuk analisis difraksi sinar-X sampel dapat dimiringkan dan dirotasikan

sekitar suatu sumbu (psi).

Lingkaran difraktometer pada gambar 2.8 berbeda dari lingkaran pemfokusnya. Lingkaran difraktometer berpusat pada specimen dan detektor dengan sumber sinar-X keduanya berada pada keliling lingkarannya. Jejari lingkaran difraktometer adalah tetap. Lingkaran difraktometer juga dinyatakan sebagai lingkaran goniometer. Goniometer adalah komponen sentral dari suatu difraktometer sinar-X dan mengandung pemegang sampel (sample holder). Pada kebanyakan difraktometer serbuk goniometernya adalah vertical (Kim S, 2013).

2.7.3

Vibrating Sampel Magnetometer (VSM)

a. Vibrating Sampel Magnetometer (VSM)

Vibrating sampel magnetometer merupakan perangkat yang bekerja untuk

menganalisis sifat kemagnetan suatu bahan. Alat ini ditemukan oleh Simon Foner pada tahun 1955 di Laboratorium Lincoln MIT.

b. Komponen Vibrating Sampel Magnetometer

Vibrating sampel magnetometer mempunyai komponen yang dapat dibedakan

berdasarkan fungsi dan sifat fisinya. Komponen-komponen tersebut tersusun membentuk satu set perangkat VSM yang menjalankan fungsinya masing-masing. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 2.9


(56)

Gambar 2.9 Komponen vibrating sampel magnetometer (VSM).

Berdasarkan gambar 5 dapat diuraikan beberapa komponen dari vibrating sampel

magnetometer (VSM), yaitu:

1. Kepala generator: Sebagai tempat melekatnya osilasi sampel yang dipindahkan oleh transduser piezoelectric.

2. Elektromagnet atau kumparan hemholtz

Berfungsi untuk menghasilkan medan magnet untuk memagnetisasi sampel dan mengubahnya menjadi arus listrik. Resonansi sampel oleh transduser piezoelectric juga dilairkan kebagian ini dengan capaian frekuensi sama dengan 75 Hz.

4. Pick-up coil: Berfungsi untuk mengirim sinyal listrik ke amplifier. Sinyal

yang telah diinduksi akan ditransfer oleh pickup coil ke input diferensial dari lock-in amplifier. Sinyal dari pick-up koil terdeteksi oleh lock-in

amplifier diukur sebagai fungsi dari medan magnet dan memungkinkan

kita untuk mendapatkan loop histeresis dari sampel diperiksa. Untuk osilasi harmonik dari sampel, sinyal (e) induksi di pick-up coil sebanding

dengan amplitudo osilasi (K), frekuensi osilasi sampel ( ) dan momen

magnet (m) dari sampel yang akan diukur pada vibrating sampel

magnetometer (VSM).

5. Sensor hall Digunakan untuk mengubah dan mentransdusi energi dalam medan magnet menjadi tegangan (voltase) yang akan menghasilkan arus listrik. Sensor hall juga digunakan untuk mengukur arus tanpa mengganggu alur arus yang ada pada konduktor. Pengukuran arus ini akan menghubungkan sensor hall dengan teslameter.

6. Sensor kapasitas Berfungsi memberikan sinyal sebanding dengan amplitudo osilasi sampel dan persediaan tegangan untuk sistem elektronik


(57)

yang menghasilkan sinyal referensi. Selanjutnya sinyal akan diberikan kepada masukan referensi dari lock-in amplifier. Output konverter digital akan dikirim ke analog (DAC1out) dan output digital (D1out) dari lock-in akan mengontrol penguat arus yang mengalir melalui elektromagnet dan menunjukkan arahnya masing-masing.

Selain itu, VSM juga memiliki beberapa komponen pendukung misalnya teslameter yang berfungsi untuk mengukur medan magnet berdasarkan sinyal yang di transdusi oleh sensor hall. Alat pendukung lainnya yaitu voltmeter yang berfungsi untuk mengukur tegangan listrik yang dikirim oleh pick up koil ke

amlpifier VSM (M. Arif, 2013)

2.7.4 Flux Density

Flux density adalah jumlah garis gaya tiap satuan luas yang tegak lurus kuat

medan. Flux density dapat dirumuskan sebagai berikut :

= ∅ (2.1)

B = Jumlah sebelumnya magnetik ∅ = Jumlah flux magnet

A = Luas daerah

Hasilnya adalah SI unit untuk flux density adalah weber per meter persegi (WB/m2) satu weber per meter persegi sama dengan satu tesla (Jiles. D, 1998).

Garis gaya magnet adalah lintasan kutub utara dalam medan magnet atau garis yang bentuknya demikian hingga kuat medan di tiap titik dinyatakan oleh garis singgungnya. Garis-garis gaya keluar dari kutub-kutub dan masuk ke kutub selatan.


(58)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Material BaFe12O19 digunakan sangat luas digunakan sebagai primadona magnet permanen, bahkan hingga sekarang masih menguasai 52% pangsa pasar magnet permanen dunia. Beberapa kelebihan yang dimiliki material ini adalah anisotropi magnetokristallin dan temperature curie yang tinggi serta saturasi magnetisasi yang besar. Kelebihan lain material tersebut adalah memiliki stabilitas kimia yang baik serta tahan terhadap korosi, disamping itu memiliki sifat seritivitas listrik yang relative tinggi sehingga memiliki peluang untuk digunakan sebagai material magnet untuk aplikasi pada gelombang electromagnet. Barium Hexaferrite (BaFe12O19) adalaha material magnet kelas ferrimagnetik dengan lima ion Fe menenpati kisi berbeda. Ferrimagnetik ini memiliki saturasi magnetik total dan koersivitas magnetik yang paling tinggi diantara kelas ferrite lainnya sehingga telah banyak dieksplorasi untuk berbagai aplikasi teknologi seperti permanen magnet dan penyimpanan data memori. Sifat-sifat ekstrinsik material kelas Barium Hexaferrite sangat bergantung pada mekanika proses dan metoda yang digunakan (Priyono, 2010).

Sejak tahun 2001, industri metalurgi serbuk mengalami pertumbuhan yang signifikan sebesar 11% pertahun. Tahun 2002, Amerika utara membutuhkan 368.000 ton besi dalam komponen manufaktur metalurgi serbuk. Akan tetapi, penelitian dibidang metalurgi serbuk di Indonesia relatif sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara maju, seperti dikawasan Asia, misalnya Jepang, Cina dan India, yang merupakan pioneer pengembangan teknologi metalurgi serbuk untuk aplikasi komponen otomotif (Klar, 1993).

Metalurgi serbuk adalah teknik pembentukan logam dalam keadaan padat, di mana bahan logam dibuat dengan ukuran partikel yang halus. Proses pembentukan adalah bahan serbuk dimasukkan ke dalam cetakan kemudian dilakukan kompaksi. Setelah dilakukan kompaksi, serbuk membentuk green


(59)

body yang sesuai dengan bentuk cetakan yang diinginkan. Green body tersebut

disinter dengan tujuan agar terjadi pergerakan atom dalam bahan partikel serbuk sehingga menghasilkan rongga di dalam bahan yang akan mempengaruhi berat jenisnya. (German, 1994)

Beberapa produk hanya dapat dibuat melalui proses serbuk, produk lainnya mampu bersaing dengan proses lainnya karena ketepatan ukuran sehingga tidak diperlukan penyeleseian lebih lanjut. Ini merupakan salah satu keunggulan dari proses serbuk metalurgi serbuk dibandingkan dengan proses lainnya. Keuntungan metalurgi serbuk yaitu dapat menghasilkan produk yang lebih baik dan lebih ekonomis. Proses ini dapat menghasilkan produk dengan porositas yang terkendali. Serbuk yang murni menghasilkan produk yang murni pula. Proses ini sangat ekonomis karena tidak ada bahan yang terbuang selama proses produksi. Tidak diperlukan keahlian khusus untuk menjalankan mesin pres dan mesin-mesin lainnya.

Keterbatasan metalurgi serbuk antara lain; serbuk logam mahal dan terkadang sulit penyimpanannya karena mudah terkontaminasi, alat peralatan mahal, beberapa jenis produksi tidak dapat dibuat secara ekonomis karena keterbatasan kapasitas mesin pres dan rasio kompresi berbagai jenis serbuk. Bentuk yang sulit atau rumit tidak dapat dibuat karena selama penekanan (pemampatan) serbuk logam tidak mampu mengalir mengisi ruangan cetakan. (Toto, 2009)

Pembuatan magnet ferrite ada 2 cara yaitu pembuatan dengan cara isotropik dan anisotropik. Kedua proses tersebut akan menghasilkan produk dengan karakteristik (sifat kemagnetan) yang berbeda. Proses isotropik adalah pembuatan ferrite dimana pada proses pembentukannya dilakukan secara cetak kering (dry press) tanpa dilakukan orientasi partikel dengan medan magnet. Sedangkan proses secara anisotropik adalah proses pembuatan ferrite dimana pada waktu proses pembentukannya dilakukan dalam medan magnet sehingga patikel-partikel ferrite terorientasi dan umumnya dilakukan secara cetak basah. Sifat-sifat kemagnetan permanen magnet (hard ferrite dipengaruhi oleh kemurnian bahan,ukur bulir (grain size), kepadatan (densitas) dan orientasi kristal.


(1)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1Tempat dan Waktu Penelitian 20

3.1.1 Tempat Penelitian 20

3.1.2 Waktu Penelitian 20

3.2Alat dan Bahan 20

3.2.1 Bahan 20

3.2.2 Alat 20

3.3Variabel Eksperimen 22

3.3.1 Variabel Penelitian 22

3.3.2 Variabel Percobaan yang akan diuji 22

3.4Diagram Alir Penelitian 23

3.5Prosedur Penelitian 24

3.5.1 Pencampuran Bahan Baku 24

3.5.2 Proses Pengeringan 25

3.5.3 Proses Kalsinasi 25

3.5.4 Milling dengan Menggunakan High Energy Milling (HEM) 25

3.5.5 Pembuatan Sampel Uji 26

3.5.6 Sintering 26

3.6Pengujian 27

3.6.1 Sifat Fisis 27

3.6.1.1 Densitas, Susut Bakar dan Porositas 27

3.6.2 Sifat Magnet 28

3.6.3 Difraksi Sinar X (X-Ray Diffraction) 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Karakterisasi Struktur Kristal Dengan Menggunakan XRD 31 (X-Ray Diffraction)

4.1.1 Sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni 31 4.1.2 Sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill sacle 33 4.2 Hasil Analisa Magnetik Dengan Menggunakan VSM (Vibrating 35

Sampel Magnetometer)

4.3 Karakterisasi Sifat Fisis 37

4.3.1 True Density 37

4.3.2 Bulk Density 38

4.3.3 Susut Bakar 41

4.3.4 Porositas 43

4.4 Karakterisasi Sifat Magnet 45

4.4.1 Fluks Magnetik 45

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan 49


(2)

DAFTAR PUSTAKA 50


(3)

DAFTAR TABEL Nomor

Tabel Judul Halaman

3.1 Komposisi bahan baku magnet Barium Ferrite 24 4.1 Puncak-puncak difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3

murni

32

4.2 Puncak-puncak difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale

34

4.3

4.4

Nilai perbandingan uji VSM BaFe12O19 dari Fe2O3 murni dengan Fe2O3 mill scale

Nilai densitas dari Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering

36

38

4.5 Nilai densitas dari Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Ansotropi dengan variasi suhu sintering

39

4.6 Nilai Susut Bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering

41

4.7 Nilai Susut Bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering

42

4.8 Nilai Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropis dengan variasi suhu sintering

43

4.9 Nilai Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropis dengan variasi suhu sintering

44

4.10

4.11

Nilai Fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering

Nilai Fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering

45


(4)

DAFTAR GAMBAR Nomor

Tabel Judul Halaman

2.1 Momen Magnetik Dari Sifat Ferromagnetik 9

2.2 Momen Magnetik Dari Sifat Ferrimagnetik 10

2.3 Momen Magnetik Dari Sifat Paramagnetik 10

2.4 Kurva Induksi Normal 11

2.5 Kurva Histerisis 11

2.6 Histeris material magnet 12

2.7 Struktur kristal BaO.6Fe2O3 14

2.8 Geometri sebuah Difraktometer sinar –X 16

2.9 Komponen Vibrating Sampel Magnetometer (VSM) 18

2.10 Garis gaya magnet 19

3.1 Prinsip Kerja HEM (High Energy Milling) 25

3.2 Prinsip Kerja XRD 30

4.1 Pola Difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 Murni yang dihasilkan

31

4.2

4.3

Identifikasi fasa pola difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 Murni yang dihasilkan

Pola Difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 Mill Scale yang dihasilkan

32

33

4.4

4.5

Identifikasi fasa pola difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 Mill sacle yang dihasilkan

Kurva Histerisis BaFe12O19 dari Fe2O3 Murni dan Mill Scale yang dihasilkan

34

36


(5)

Nomor

Tabel Judul Halaman

4.9 Kurva susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Ansotropi dengan variasi suhu sintering

42

4.10 Kurva Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering

43

4.11 Kurva Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering

44

4.12

4.13

Kurva Fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering

Kurva Fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering

46


(6)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1

Lampiran 2 Lampiran 3