Manifestasi Kardiovaskular Pada Penderita HIV

MANIFESTASI KARDIOVASKULAR
PADA PENDERITA HIV

OLEH :
ANGGIA CHAIRUDDIN LUBIS

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN
KEDOKTERAN VASKULER
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara

MANIFESTASI KARDIOVASKULAR
PADA PENDERITA HIV
Pendahuluan
Sejak pertama kali ditemukan pada sekumpulan pria homoseksual pada 1981 infeksi
human immunodeficiency virus (HIV) terus berkembang menjadi penyakit pandemik
yang melibatkan berbagai organ, termasuk sistem kardiovaskular. Kondisi ini dapat
dibabkan oleh virus HIV secara langsung maupun infeksi oportunistik yang

memeperberatnya. Kaposi Sarkoma merupakan keterlibatan jantung pada HIV yang
pertama ditemukan, sementara penyakit jantung koroner prematur pada penderita HIV
menjadi fokus perhatian belakangan ini. 1-3
Penderita HIV dapat memiliki berbagai manifestasi terhadap jantung, sebelum era
HAART kelainan yang paling sering ditemui antara lain kardiomiopati, pankarditis,
hipertensi pulmonal, gangguan sistem konduksi dan infiltrasi neoplasma. Setelah
memasuki era HAART, usia hidup penderitanya semakin panjang, di Amerika Serikat
angka kematian turun hingga 47%, meski begitu hanya 1 diantara 5 penderita yang
membutuhkan terapi HAART memiliki akses untuk memperolehnya. Pasca era HAART
muncul manifestasi kardiovaskular baru yang tidak dijumpai sebelum era HAART,
seperti hipertensi, kelainan metabolik, dan atherosclerosis yang dipercepat, termasuk
penyakit jantung koroner. Pada tahun 2005 diperkirakan 38,6 juta orang dewasa dan anak
terinfeksi HIV, dengan prevalensi manifestasi jantung berkisar antara 28% hingga 73%. 1,
3-5

Kelainan Perikard
Perikarditis dan efusi perikard merupakan komplikasi HIV yang paling sering ditemukan
pada jantung, dengan prevalensi dari studi autopsi dijumpai sebanyak 37 %, sementara
berdasarkan ekokardiografi sebesar 59 %, dengan insidens 11 % tiap tahunnya. Berbagai
variasi manifestasi klinis dapat ditimbulkan, efusi perikard tanpa gejala, perikarditis,

tamponade maupun perikarditis konstriktiva. Etiologi dari efusi perikard hingga kini
masih belum jelas, dapat dihubungkan dengan infeksi HIV ataupun infeksi oportunistik,
kelainan metabolik, ataupun keganasan, dan biasanya penyebab tidak dapat ditegakkan.
Sebuah studi yang menggunakan gabungan autopsi dan ekokardiografi terhadap 1139
pasien HIV, didapati pada penderita dengan efusi perikard yang tidak disertai gejala, dua
pertiga diantaranya disebabkan infeksi atau keganasan, sementara sepertiga lainnya tidak
dapat ditegakkan penyebabnya. Efusi juga dapat merupakan bagian dari sindroma
kebocoran kapiler, yang juga melibatkan lapisan pleura dan peritoneal, yang disebabkan
peningkatan produksi cytokine pada infeksi tahap lanjut. 1, 3, 5-8
Efusi perikard merupakan prediktor mortalitas yang independen dari kadar CD 4.
Meski mayoritas efusi perikard tidak disertai gejala, angka mortalitas pada 6 bulan
sebesar 62 %, dibandingkan 7 % penderita tanpa efusi perikard. Pada penderita dengan
efusi perikard minimal yang tidak disertai dengan gejala, diperlakukan secara konservatif

Universitas Sumatera Utara

dengan ekokardiografi serial tanpa tindakan diagnostikataupun terapeutik khusus, dengan
perbaikan spontan didapati pada 13 - 42 % penderitanya.

Tabel 1. Penyebab Efusi Perikard pada penderita infeksi HIV 7

Tetapi bila dijumpai adanya tamponade, dibutuhkan intervensi segera. Flum dkk.
melaporkan 29 pasien yang menjalani tindakan bedah pericardial window, dan hanya 2
pasien yang menunjukkan perbaikan secara klinis, dan mortalitas 8 minggu setelah
intervensi sebesar 69 %. Secara umum direkomendasikan pada penderita dengan efusi
perikard luas dan etiologi yang belum dapat ditegakkan, dapat diterapi secara empiris
untuk tuberculosis. Dan untuk pericarditis tuberculous dapat diberikan prednisone selama
satu bulan, untuk mempercepat perbaikan dan menurunkan mortalitas.1, 4, 6, 8, 9

Gambar 1. Prevalensi Efusi Perikard dihubungkan dengan HIV. Garis vertikal
menunjukkan diperkenalkannya terapi HAART sebagai pengobatan infeksi HIV.9
Kelainan Miokard
Pada 1986 Cohen dkk. melaporkan 3 kasus AIDS dengan gambaran klinis, ekokardiografi dan
morfologi yang sesuai dengan kardiomiopati dilatasi. Barbaro dkk kemudian melalui sebuah studi
prospektif terhadap 952 penderita HIV asimtomatik selama ± 60 bulan menggunakan

Universitas Sumatera Utara

ekokardiografi, mampu mendiagnosa kardiomiopati dilatasi pada 8 % pasien, dengan angka
kejadian 15.9 per 1000 pasien setiap tahunnya. Laporan-laporan selanjutnya menunjukkan angka
keterlibatan yang bervariasi bergantung dengan metode yang dipergunakan. Gangguan fungsi

ventrikel yang terjadi meliputi fungsi sistolik ventrikel kiri, fungsi diastolik ventrikel kiri dan
fungsi sistolik ventrikel kanan. 3,7,8

Berbagai macam teori telah dikembangkan untuk menjelaskan. Infeksi miokard
(miokarditis) merupakan etiologi yang paling banyak ditemukan dan dipahami, baik
infeksi dari virus HIV sendiri ataupun oleh infeksi oportunistik lainnya. Barbaro dkk.
melakukan biopsi miokard terhadap penderita kardiomiopati dilatasi pada HIV dan
mendapatkan gambaran miokarditis pada sebesar 83 %. Biopsi endomiokard yang
dilakukan Herskowitz dkk. terhadap 37 penderita HIV yang mengalami disfungsi
ventrikel kiri global yang tidak bisa dijelaskan (28 diantaranya dengan gagal jantung
NYHA III – IV), berhasil menemukan 21 penderita dengan miokarditis dan
menyimpulkan miokarditis berperan penting dalam patogenesa kardiomiopati pada HIV.
3, 5-7, 9, 15

Berbagai penyebab lainnya adalah perubahan metabolik atau endokrin, cytokine,
immunodefisiensi, obat-obatan dan sistem autoimmun. Infeksi HIV juga meningkatkan
produksi sitokin (TNF, interleukin-1, interleukin-2, alfa-interferon) yang akan mengubah
homeostasis kalsium intra-seluler dan meningkatkan produksi nitric oxide, mengubah
faktor pertumbuhan-beta dan regulasi endothelin-1. Kadar nitric oxide yang tinggi secara
eksperimental menimbulkan efek inotropik negatif dan bersifat sitotoksik terhadap

miosit. 3,5

Gambar 2. Mekanisme kardiomiopati pada HIV. 9

Universitas Sumatera Utara

Defisiensi nutrisi yang lazim ditemui pada penderita HIV (terutama pada stadium
lanjut), dikatakan turut berperan dalam terjadinya disfungsi miokard. Absorpsi yang
buruk serta diare menyebabkan gangguan elektrolit dan defisiensi nutrisi. Defisiensi
elemen-elemen penting ini kemudian dihubungkan dengan terjadinya kardiomiopati.
Analisa wall motion pada ekokardiografi Doppler 2-dimensi ditemukan abnormal pada 8
dari 14 penderita dengan defisiensi nutrisi. Teori ini selanjutnya dikonfirmasi dengan
membaiknya fungsi ventrikel kiri dan kardiomiopati pada penderita dengan defisiensi
Selenium setelah dilakukan subsitusi Selenium.3,5,9
Perubahan fungsi yang terjadi dapat melibatkan baik fungsi sistolik maupun fungsi
diastolik ventrikel, dengan prevalensi disfungsi diastolik yang melebihi disfungsi sistolik.
Mayoritas disfungsi ventrikel kiri justru tanpa gejala, terutama pada penderita infeksi
tahap lanjut dan kadar CD 4 lebih rendah, dengan prevalensi disfungsi sistolik ventrikel
kiri pada kelompok usia 35 – 44 tahun kurang dari 1 %. Hanya 8 % dari penderita
kardiomiopati dilatasi pada penderita HIV yang disertai dengan gejala. 1, 8, 15, 16, 24

Disfungsi ventrikel dan kardiomipati dilatasi yang ditemui pada penderita HIV sudah
mulai terjadi sebelum infeksi HIV memasuki tahapan lanjut, tetapi perubahan fungsi ini
biasanya terjadi pada tahapan infeksi yang lebih lanjut. 1, 5, 13 Pemahaman lebih
mendalam tentang kondisi disfungsi ventrikel kiri juga menunjukkan bahwa pada
beberapa kondisi dapat bersifat reversibel. 6, 16
Penurunan fungsi ventrikel secara langsung juga mempengaruhi mortalitas, tanpa
memandang kadar CD 4, usia, jenis kelamin dan resiko HIV lainnya. Mortalitas penderita HIV
dengan kardiomiopati lebih tinggi dibandingkan penderita HIV tanpa kardiomiopati maupun
penderita kardiomiopati tanpa HIV. Currie PF dkk. menemukan pebedaan bermakna pada
berbagai kadar CD 4 dan fungsi jantung, median survival AIDS terhadap kematian untuk
penderita dengan disfungsi ventrikel adalah 101 hari, dibandingkan dengan 472 hari pada
penderita dengan tahapan infeksi yang sama dan fungsi jantung normal, dengan hazard ratio yang
disebabkan gagal jantung sebesar 5.86. Penemuan Barbaro dkk. selanjutnya mengkonfirmasi
buruknya pengaruh disfungsi ventrikel, penurunan fungsi ventrikel yang disertai dengan gagal
jantung merupakan pertanda yang sangat buruk, dengan sekitar setengah penderitanya meninggal
dalam 6 bulan hingga 1 tahun. 3, 5, 8, 9

Gambar 3. Kiri: Kurva survival 296 penderita terinfeksi HIV dengan struktur jantung
normal, kardiomiopati dilatasi, disfungsi ventrikel kiri dan disfungsi ventrikel kanan.


Universitas Sumatera Utara

Kanan: Waktu hingga kematian pada 81 penderita HIV dengan kadar CD 4 kurang dari
20 x 106 sel / mm3
Endokarditis
Infektif Endokarditis (IE) memiliki prevalensi sebesar 6.4 % - 34 % pada penderita HIV,
dan tidak berhubungan dengan regimen HAART. Angka insidens-nya sama besar pada
penderita HIV maupun tanpa HIV, dan setelah ditemukannya HAART insidens
berkurang dari 20.5 menjadi 6.6 per 1000 pasien tiap tahunnya. Pada negara berkembang
angka insidens didapati lebih tinggi (10% - 15%). Pengguna obat intravena merupakan
resiko terbesar untuk IE, dengan lokasi vegetasi paling sering ditemukan pada katup
tricuspid, dan menyebabkan kematian terhadap 5 – 10 % penderitanya. Cicalini dkk.
melaporkan dijumpai 108 episode IE pada 105 penderita infeksi HIV, dan 94.3 %
merupakan pengguna obat intravena.1, 5, 8, 9
Manifestasi klinis yang ditampilkan dan angka survival sama seperti penderita
tanpa infeksi HIV (85 % versus 93 %), kecuali pada infeksi HIV tahap lanjut yang
memliki mortalitas 30 % lebih tinggi dibandingkan asimptomatik HIV. Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan penyebab terbanyak (lebih dari 75 % kasus), diikuti
oleh Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenza dan Candida albicans. IE
bertanggung jawab terhadap Bagaimanapun manajemen dari IE tidak berbeda dari

penderita tanpa infeksi HIV. Endokarditis nonbacterial (marantic endocarditis) dijumpai
pada 3% - 5% penderita HIV, terutama penderita dengan sindrom wasting. Ditandai
dengan vegetasi endokard yang membeku. 1, 5, 6

Gambar 4. Kiri: Vegetasi yang melekat pada katup mitral anterior, terdeteksi
menggunakan ekokardiografi trans-esophageal. Kanan: Vegetasi yang melekat pada
katup aorta 9
Kelainan Pembuluh Darah
Penyakit Jantung Koroner
Sebelum memasuki era HAART, hubungan antara penyakit jantung koroner dengan
infeksi HIV telah coba dihubungkan melalui peran cytomegalovirus ataupun HIV itu
sendiri, meski begitu teori ini masih belum jelas dan lebih bersifat kontroversial. Pada
tahun 1998, 2 kasus penyakit jantung koroner yang premature untuk pertama kali
dilaporkan pada 2 orang lelaki muda yang menerima terapi HAART, terutama PI.

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan HAART berhasil memperpanjang survival penderitanya, tetapi berbagai
kompliaksi metabolik juga turut menyertai, hal inilah yang menjadi fokus perhatian
berhubungan dengan kemungkinan meningkatnya resiko kardiovaskular. 6, 8, 17

Sebuah studi retrospektif selama periode 1993 – 2001 terhadap 36 766 penderita
HIV, menunjukkan tidak didapati peningkatan kejadian kardiovaskular ataupun
cerebrovaskular pada penderita dalam terapi HAART yang diikuti selama 40 bulan. Hasil
yang serupa juga diperoleh pada sebuah meta-analisis dari 30 studi klinis acak, dengan
angka kejadian dari penggunaan PI tidak lebih tinggi dibandingkan penggunaan
nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NRTI); bagaimanapun kelemahan dari studi ini
adalah masa penggunaan terapi yang singkat (1 tahun) dan angka kejadian yang rendah.
Penemuan selanjutnya merubah pendapat sebelumnya, di mana frekuensi infark miokard
meningkat setelah dipergunakannya PI. Studi selanjutnya terhadap 23 468 penderita HIV
yang sudah mengkonsumsi ARV selama rerata 1.9 tahun diikuti selama 1.6 tahun, dan
didapati kesimpulan semakin lama konsumsi kombinasi ARV akan meningkatkan resiko
infark miokard. Secara menyeluruh, penelitian-penelitian ini mengasumsikan resiko
terjadinya infark miokard meningkat pada penderita HIV yang mengkonsumsi PI, dan
resiko ini semakin meningkat seiring bertambahnya durasi penggunaan. Angka kejadian
pada studi ini masih tergolong rendah, tetapi diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan meningkatnya usia populasi penderita HIV. 6, 17

Tabel 2. Berbagai macam penelitian yang membandingkan angka kejadian koroner pada
penggunaan dan tanpa penggunaan protease inhibitor (PI).17
Resiko kejadian kardiovaskular yang ditimbulkan penggunaan terapi HAART

tertutupi oleh manfaat yang diperoleh, sehingga tidak boleh menjadi alasan untuk
menghentikan terapi. Penderita yang sudah memiliki faktor resiko kardiovaskular
sebelumnya ataupun riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular memiliki resiko
yang lebih tinggi untuk terjadinya sindroma koroner akut. Sebuah studi retrospektif
berhasil mengungkap angka kejadian infark miokard meningkat hingga 4 kali lipat
setelah memasuki era HAART dibandingkan periode sebelumnya. Bila terjadi suatu
sindrom koroner akut, skor TIMI biasanya rendah, dan seperti populasi umum
kebanyakan hanya satu pembuluh darah koroner. 6,8, 17

Universitas Sumatera Utara

Intervensi koroner perkutaneous menunjukkan hasil jangka pendek yang sangat
baik, bagaimanapun tingkat restenosis lebih tinggi dibandingkan penderita tanpa infeksi
HIV. Sebuah studi mendapatkan terjadi restenosis pada 15 dari 29 subjek HIV
dibandingkan 3 dari 21 subjek non-HIV (52 % vs 14 %; p=0.006). Studi lainnya oleh
Matezky dkk. juga menunjukkan angka restenosis yang memerlukan revaskularisasi pada
6 dari 14 penderita HIV dibandingkan 4 dari 38 kontrol yang non-HIV (43% vs 11%;
p=0.02). Angka restenosis tinggi baik pada prosedur balon angioplasty maupun
pemasangan stent, dan belum didapati data mengenai penggunaan stent bersalut obat.
Untuk operasi CABG, didapati sebuah studi pada 37 penderita HIV yang diikuti selama

rerata 28 bulan, didapati angka bebas kejadian sebesar 81 % pada 3 tahun. Data yang
mengejutkan dari studi ini adalah median usia penderita yang dilakukan operasi adalah 44
tahun. Hingga saat ini belum didapati studi mengenai patensi graft CABG pada penderita
HIV.17
Hipertensi Pulmonal
Hubungan antara HIV dan hipertensi pulmonal pertama kali dijabarkan oleh Kim dkk.
pada 1987. Angka kejadian hipertensi pulmonal pada HIV yang sebesar 0.5 %, 2500 kali
lebih besar dibandingkan populasi umum, dan dijumpai pada 10 % dari penderita HIV
dengan komplikasi kardiovaskular. Faktor resiko yang dihubungkan adalah pengguna
obat-obatan intra-vena, infeksi paru berulang, tromboemboli vena dan disfungsi ventrikel
kiri. Bagaimanapun banyak dijumpai kasus yang tidak memiliki resiko hipertensi
pulmonal selain infeksi HIV itu sendiri.3, 7, 8, 17
Patofisiologi dari kondisi ini masih belum jelas, dan tidak diperoleh bukti bahwa
virus HIV secara langsung menginfeksi endothel arteri pulmonalis. Usaha untuk
mendeteksi HIV atau protein-nya pada jaringan paru menggunakan electron microscopy,
immunohistochemical ataupun tehnik molekular tidak berhasil membuktikannya. Peran
HIV secara tidak langsung melalui pelepasan sitokin juga sudah diajukan. Penemuan
histopatologi pada hipertensi pulmonal pada HIV serupa dengan yang dijumpai pada
populasi tanpa HIV. Hubungan langsung antara kadar CD 4 dengan terbetuknya serta
perburukan dari hipertensi pulmonal tidak terbukti. 7, 8
Gejala klinis, penampakan klinis dan hasil dari studi diagnostik menunjukkan
gambaran yang sama seperti hipertensi pulmonal tanpa HIV, dispneu yang progresif
merupakan gejala yang paling sering ditemui. Pengobatan hipertensi pulmonal pada HIV
juga serupa dengan pengobatan standar. Efek dari terapi anti retro-viral pada hipertensi
pulmonal masih controversial, beberapa studi menunjukkan manfaat sementara beberapa
lainnya menunjukkan hasil berbeda. Penampilan klinis yang memberat dengan terapi anti
retro-viral juga pernah dilaporkan. Angka survival pada 1, 2 dan 3 tahun sebesar 73%,
60% dan 47%, sementara pada NYHA fc III – IV dengan survival yang lebih buruk 60%,
45% dan 28%. 3, 8, 17
Penyakit Arteri Perifer
Pada populasi umum, penyakit arteri perifer merupakan sebuah penyakit yang
dihubungkan dengan faktor resiko kadiovaskular tradisional, seperti merokok, diabetes,
hipertensi dan hiperkolesterolemia. Pada kondisi HIV, pemahaman masih sangat
terbatas. Sebuah studi terhadap 92 penderita HIV, menggunakan kuesioner dan

Universitas Sumatera Utara

pengukuran indeks tekanan darah sistolik ankle-brachial (ABI) pada saat istirahat dan
setelah latihan. Berdasarkan kuesioner didapatkan 15 % penderita dengan klaudikasio,
dan berdasarkan ABI didapatkan 16 pasien dengan ABI yang tidak normal, hasil pada 16
pasien tersebut dikonfirmasi adanya atherosclerosis dengan menggunakan scanning
duplex. Usia, diabetes, merokok dan kadar CD 4 yang rendah didapatkan sebagai
prediktor independen. Bagaimanapun pada studi lainnya terhadap 91 penderita HIV
dengan minimal 2 resiko kardiovaskular, didapatkan prevalensi yang lebih rendah. 4
Trombosis Vena
Laporan kejadian thrombosis vena dalam terus meningkat, dan didapati fakta bahwa pada
penderita HIV dijumpai gangguan koagulasi, yang dapat menyebabkan prothrombotic
state. Mesi kebanyakan perubahan yang dipaparkan adalah sitopenia (anemia, nutropenia
dan trombositopenia), ternyata didapati juga peningkatan protein S, defisiensi kofaktor II
heparin dan plasminogen activator inhibitor type 1.
Studi observasi yang dilakukan terhadap 42,935 penderita HIV selama 2,4 tahun
mendapatkan angka kejadian thrombosis sebesar 2,6 per 1000 tahun-orang, faktor yang
berpengaruh secara signifikan penyakit oportunistik, rawat inap dan usia lanjut. Studi
lainnya terhadap 4752 penderita HIV/AIDS mendapati kejadian thrombosis vena dalam
10 kali lipat lebih besar dibandingkan populasi umum. Penelitian retrospektif pada 131
penderita infeksi HIV selama 5 tahun, mendapatkan 10 kejadian thrombosis vena dalam,
dan 9 diantaranya dengan kadar CD 4 < 200 sel/micL. Secara menyeluruh, abnormalitas
hasil laboratorium yang paling banyak ditemui adalah defisiensi protein S bebas (60 %),
diikuti dengan peningkatan konsentrasi faktor VIII (41%), konsentrasi fibrinogen yang
tinggi (22%) dan defisiensi protein C (9%). 4, 18
Hipertensi
Prevalensi hipertensi pada penderita HIV didapati sebesar 20 % - 25 % sebelum
memasuki era HAART. Laporan terkini pada era HAART menunjukkan peningkatan
tekanan darah berhubungan dengan penggunaa terapi protease inhibitor (PI) yang
memicu lipodistrifi dan sindroma metabolik, dengan prevalensi sebesar 74 %. Hipertensi
sistemik pada penderita HIV secara signifikan mempengaruhi resiko kardiovaskular
premature: bila dibandingkan dengan penderita HIV normo-tensi, penderita hipertensi
memiliki frekuensi penyakit jantung koroner lebih tinggi (16.1 % vs 1.3 %) dan angka
kejadian infark miokard lebih tinggi (8.1 % vs 0.7 %). 6, 18
Long QT Syndrome (LQTS)
Pemanjangan dari interval QT (long QT syndrome) dan Torsade de Pointes (TdP) telah
dijabarkan pada penderita infeksi HIV, meski penderita tidak dalam pengaruh obatobatan. Pada salah satu studi didapatkan prevalensi LQTS sebesar 29 % pada penderita
HIV rawat inap. Hepatitis C sendiri yang juga memperpanjang QT interval, bila disertai
dengan infeksi HIV akan melipat gandakan resiko pemanjangan interval QT yang disertai
gejala. Resiko pemanjangan interval QT sebesar 16 % pada penderita HIV, dan 30 %
pada penderita HIV disertai infeksi hepatitis C. Mekanisme yang masih berkembang
sebagi penyebabnya termasuk miokarditis, kardiomiopati sub-klinis dan neuropati
autonomis.3,4

Universitas Sumatera Utara

Tumor Jantung
Terdapat dua tipe neoplasma malignan yang dijumpai pada jantung penderita HIV:
Sarcoma Kaposi dan limfoma malignan.
Kaposi Sarcoma
Pada tahun 1983, Autran dkk untuk pertama kali melaporkan Kaposi Sarcoma pada
penderita HIV. Kaposi Sarcoma pada jantung biasanya ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan autopsy, dan jarang karena gejala yang melibatkan jantung. Berdasarkan
studi autopsi retrospektif didapatkan insidens sebesar 12 % hingga 28 %, tetapi
keterlibatan ini jarang dihubungkan dengan tumor jantung primer. Sarcoma Kaposi pada
HIV dapat melibatkan miokardium, pericardium dan penemuan klasik efusi perikard.
Gejala spesifik yang dapat ditimbulkan berhubungan dengan efusi perikard, dengan
cairan perikard yang serosanguineous, dan tidak dijumpai sel malignan atau infeksi.
Penanganan Kaposi Sarcoma cukup sulit, meski kebanyakan penderita meninggal lebih
karena status imun yang menurun daripada keganasan itu sendiri.1, 3, 6-8
Limfoma Malignan
Limfoma non-hodgkin dijumpai 25 – 60 kali lebih banyak pada penderita HIV
dibandingkan populasi umum. Manifestasi yang ditimbulkan seperti gagal jantung atau
aritmia ventrikel yang dapat disebabkan infiltrasi difus dinding ventrikel atau yang lebih
jarang lagi obstruksi mekanis dari katup. Penggunaan kemoterapi dan radiasi biasanya
bermanfaat, tetapi secara umum prognosis penderitanya buruk. Semenjak
dipergunakannya HAART kejadian Kaposi sarcoma dan limfoma berkurang, hal ini
diperkirakan karena perbaikan dari status imunologis dan pencegahan dari infeksi
oportunistik. 1, 3, 6-8

Gambar 5. Prevalensi keterlibatan tumor jantung pada penderita HIV dalam periode 1995
– 2005. Garis vertikal menunjukkan dimulainya penggunaan terapi HAART.9
Kelainan Metabolik
Sebelum memasuki era HAART, kelainan metabolik seperti hipertrigliserid dan
rendahnya high-density lipoprotein (HDL) sudah dijumpai pada penderita infeksi HIV,
tetapi yang menarik peningkatan kadar low-density lipoprotein (LDL) dan total kolesterol
baru dijumpai setelah memasuki era HAART, terutama pada penggunaan terapi protease

Universitas Sumatera Utara

inhibitor (PIs). Penggunaan terapi PIs dalam HAART selanjutnya diketahui memberikan
pengaruh peningkatan kejadian metabolik (hiperlipidemia, resistensi insulin) dan somatik
(lipodistrofi / lipoatrofi), perubahan yang pada populasi umum meningkatkan resiko
kejadian kardiovaskular.1,9

Tabel 3. Penampilan klinis penderita HIV yang berhubungan dengan syndrome
lipodistrofi 19
Patogenesis HIV – Dislipidemia
Dua mekanisme dihubungkan dengan terjadinya dislipidaemia pada penderita HIV, yang
pertama adalah viraemia HIV. Dilipidaemia yang disebabkan viraemia ditandai dengan
penurunan konsentrasi plasma kolesterol total, LDL dan HDL, yang selanjutnya diikuti
dengan peningkatan trigliserida. HIV yang menyebabkan dislipidemia sangat mirip
dengan yang terjadi pada infeksi kronis, peningkatan interferon α pada HIV lanjut
berhubungan dengan peningkatan trigliserida. Tumour necrosis factor (TNF) α yang
meningkat pada penderita HIV yang belum diterapi juga mengambil peran, terlebih lagi
kadarnya yang meningkat selama terjadi infeksi oportunistik. TNF α akan berinteraksi
dengan metebolisme asam lemak bebas dan oksidasi lemak, sehingga mempercepat
proses liposisis. Status nutrisi yang kurang pada penderita HIV, termasuk penurunan
berat badan dan kekurangan protein juga berkontribusi dalam penurunan kolesterol total,
HDL dan LDL. 19
Mekasnisme kedua adalah antiretroviral yang memicu dislipidemia, mekanisme
kompleks yang melibatkan perubahan hormonal dan imunologis dan juga dipengaruhi
oleh predisposisi genetik. Beberapa studi menunjukkan reistensi insulin mendahului
terjadinya lipodistrofi, yang memnerikan asumsi bahwa resistensi insulin-lah yang faktor
terpenting dalam sindrom metabolik. PI terbukti mempengaruhi glucose transporter
(GLUT), yang memiliki peran penting dalam homeostasis glucose. Homeostasis lemak
pada penderita HIV tidak normal, dengan peningkatan sekresi very-low density

Universitas Sumatera Utara

lipoprotein cholesterol (VLDL) dan penurunan pembuangannya. Sebagai tambahan PI
juga meningkatkan kadar trigliserida.9,19,20

Gambar 6. Patofisiologi HAART menyebabkan sindroma metabolik
Hingga saat kini belum didapati studi prospektif, double-blinded, dan acak yang
membuktikan keuntungan kardiovaskular dari penurunan lemak secara agresif, karenanya
rekomendasi untuk evaluasi dan pengobatan hingga saat ini masih mengikuti anjuran dari
National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III. Bagaimanapun
terapi PI merupakan pilihan yang penting dalam penatalaksanaan infeksi HIV, masalah
yang mungkin ditimbulkan adalah obat ini dimetabolisme oleh cytochrome P450 CYP4A pada hepar, sehingga penggunaan terapi lainnya yang dimetabolisme pada tempay
yang sama harus dengan pertimbangan. Pada sebuah studi terhadap 45 penderita HIV
yang mengkonsumsi PI, dan mengalami peningkatan abnormal lemak, dan dilakukan
tatalaksana mengikuti National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel
III. Setelah penggunaan PI kadar kolesterol meningkat dari 170 mg/dL ke 289 mg/dL dan
setelah pengguanaan gemfibrozil tunggal atau dikombinasikan dengan atorvastatin turun
hingga 201 mg/dL (p=0,01) dalam durasi 10 bulan. Kadar trigliserida yang sebelumnya
879 mg/dL dan tidak berhasil diturunkan dengan diet, setelah penggunaan bezafibrate
selama 6 bulan sebanyak 35 %. 5, 19

Universitas Sumatera Utara

Gambar 7. Insidens infark miokard per 10.000 tahun-orang pada penderita HIV pria
berdasarkan lama penggunanan terapi PI (dalam bulan) dan dibandingkan dengan
populasi pria umum dalam usia yang sama.9
Disfungsi Autonomis
Tanda-tanda awal dari suatu disfungsi autonomis pada penderita infeksi HIV meliputi
syncope, pre-syncope, keringat yang berkurang, diare, disfungsi ginjal dan impotensi.
Pada sebuah studi yang menilai variabilitas denyut jantung, rasio vasalva, respon
hemodinamik terhadap latihan isometric dan tes tilt-table menunjukkan adanya gangguan
autonomis pada penderita infeksi HIV dan semakin nyata padapenderita AIDS.
Gangguan yang disebabkan pada sistem saraf autonom mempengaruhi divisi simpatis
maupun parasimpatis.3, 4
Kesimpulan
Infeksi HIV mempengaruhi sistem kardiovaskular melalui berbagai aspek, dan secara
langsung memperburuk prognosis penderitanya. Diperkenalkannya terapi HAART pada
ujung abad ke-20 telah membawa perjalanan HIV/AIDS menuju era baru yang jauh lebih
baik, yang juga memperbaiki komplikasi klasik kardiovaskular yang disebabkan infeksi
HIV.
Penggunaan terapi HAART ternyata juga membawa permasalahan baru terhadap
ahli jantung, ditandai dengan munculnya kelainan yang tidak dijumpai sebelum era
HAART, seperti kelainan metabolik dan penyakit jantung koroner yang prematur.
Bagaimanapun terapi HAART masih merupakan barang langka yang sulit diperoleh,
dengan hanya 20 % penderita yang membutuhkan memiliki akses untuk memperolehnya,
dengan demikian komplikasi klasik dari HIV akan terus mewarnai perjalanan
penderitanya. Data yang lebih lengkap masih dibutuhkan, untuk dapat menciptakan acuan
tatalaksana komplikasi kardiovaskular penderita HIV yang paling sesuai pada era
HAART.

Universitas Sumatera Utara

Daftar Pustaka 
1. Khunnawat  C,  Mukerji  S,  Havlichek  D,  et  al.  Cardiovascular  Manifestations  in  Human 
Immunodeficiency Virus‐Infected Patients. Am J Cardiol 2008; 102:635‐642. 
2. Quinn  TC,  Bartlett  JG,  McGovern  BH.  The  global  human  immunodeficiency  virus 
pandemic. Up to date version 17.1, 2009. 
3. Zipes  DP,  Libby  P,  Bonow  RO,  et  al,  editors.  Braunwald’s  Heart  Disease  A  Textbook  of 
Cardiovascular Medicine. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005. 
4. Cheitlin  MD,  Bartlett  JG,  McGovern  BH,  et  al.  Cardiac  involvement  in  HIV‐infected 
patients. Up to date version 17.1, 2009. 
5. Fuster V, Alexander RW, O’Rourke RA, editors. Hurst’s The Heart. 11th ed. New York: Mc 
Graw Hill, 2004. 
6. Barbaro  G.  Cardiovascular  manifestations  of  HIV  infection.  Circulation  2002;106:1420‐
1425. 
7. Rerkpattanapipat  P,  Wongpraparut  N,  Jacobs  LE,  et  al.  Cardiac  manifestations  of 
acquired immunodeficiency syndrome. Arch Intern Med 2000;160:602‐608.MAYO 
8. Murphy  JG,  Lloyd  MA,  editors.  Mayo  Clinic  Cardiology.  3rd  ed.  Minnesota:  Mayo  Clinic 
Scientific Press. 
9. Barbaro G, Boccara F. Cardiovascular Disease in AIDS. Verlag: Springer, 2005. 
10. Nasronudin.  HIV  &  AIDS  Pendekatan  Biologi  Molekuler,  Klinis  dan  Sosial.  1st  ed. 
Surabaya: Airlangga University Press, 2007. 
11. Schuster  I,  Thoni  GJ,  Edhery  S,  et  al.  Subclinial  Cardiac  Abnormalities  in  Human 
Immunodeficiency  Virus‐Infected  Men  Receiving  Antiretroviral  Therapy.  Am  J  Cardiol 
2008; 101:1213‐1217. 
12. Barbaro  G,  Lorenzo  GD,  Grisorio  B,  et  al.  Incidence  of  Dilated  Cardiomyopathy  and 
detection  of  HIV  in  myocardial  cells  of  HIV‐positive  patients.  N  Engl  J  Med  2002; 
347(2):140. 
13. Castro  SD,  d’Amati  G,  Gallo  P.  et  al.  Frequency  of  development  of  acute  global  left 
ventricular  dysfunction  in  human  immunodeficiency  virus  infection.  J  Am  Coll  Cardiol 
1994;24:1018‐24. 
14. Sudano  I,  Spieker  LE,  Noll  G,  et  al.  Cardiovascular  disease  in  HIV  infection.  Am  Heart  J 
2006;151:1147‐55. 
15. Herskowitz  A,  Wu  TC,  Willoughby  SB,  et  al.  Myocarditis  and  cardioropic  viral  infection 
associated  with  severe  left  ventricular  dysfunction  in  late  stage  infection  with  human 
immunodeficiency virus. J Am Coll Cardiol 1994;24:1025‐32. 
16. Blanchard  DG,  Hagenhoff  C,  Chow  LC,  et  al.  Reversibility  of  cardiac  abnormalities  in 
human  immunodeficiency  virus  (HIV)‐infected  individuals:  a  serial  echocardiographic 
study. J Am Coll Cardiol 1991;17(6):1270‐6 
17. Hsue  PY,  Waters  DD.  What  a  cardiologist  needs  to  know  about  patients  with  human 
immunodeficiency virus infection. Circulation 2005;112:3947‐57. 
18. Restrepo  CS,  Diethelm  L,  Lemos  JA,  et  al.  Cardiovascular  complications  of  human 
immunodeficiency virus infection. Radiographics 2006;26:213‐231. 

Universitas Sumatera Utara

19. Oh  J,  Hegele  RA.  HIV‐associated  dyslipidaemia:pathogenesis  and  treatment.  Lancet 
Infect Dis 2007;7:787‐96. 
20. Grinspoon SK. Metabolic syndrome and cardiovascular disease in  patients with human 
immunodeficiency virus. Am J Med 2005;118:23s‐28s. 

Universitas Sumatera Utara