Pengaruh Hukum Adat dan Program Keluarga Berencana terhadap Nilai Anak Laki - Laki dan Perempuan pada Masyarakat Bali yang sedang Berubah
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Bali merupakan masyarakat
agraris yang
mempunyai sistem irigasi tradisional yang disebut sistem
subak.')
Masyarakat Bali selain menunjukkan ciri-cirinya
yang tradisional, di pihak lain juga memperlihatkan sifatnya yang inovatif, dapat diketahui dari mudahnya anggota
masyarakat menerima ide-ide baru tanpa harus meninggalkan
tradisi yang telah ada. Anggota masyarakat Bali mayoritas
beragama Hindu. Mereka terbagi ke dalam kelompok-kelompok
kekerabatan yang
(dalam ikatan
gal
jumlah anggotanya
kuren2),
dadiam4) Mereka
kecil ataupun besar
tunggal sanggah3) maupun
(tung-
juga terikat5) pada kesatuan hidup
I) Teknologi pengairan sawah di Bali telah dikenal
abad IX. Hal tersebut dikaitkan dengan adanya istilah
Undagi Pengarung (Tukang trowongan) yang disebutkan dalam
Prasasti Bebetin (896 M). Di pihak lain ada juga disebutkan bahwa Subak dikenal di Bali sejak tahun 1071 M, yang
berasal dari kata kasuwakan (lihat Pemda. Tk.1, 1985.
Monografi Daerah Bali).
2). 3) dan 4) diuraikan dalam bab V.
5) Geertz, C. dalam karangannya Form and Variation in
Balinese Village Structure, tahun 1959 menyatakan bahwa
orang Bali terikat pada 7 segi kehidupan, yaitu: 1) pada
kewajiban dalam melakukan pemujaan terhadap pura tertentu.
2) pada suatu tempat tinggal bersama, 3) pada pemilikan
tanah pertanian dalam subak tertentu, 4) pada suatu status
soasial atas dasar kasta, 5) pada ikatan kekerabatan atas
dasar hubungan darah dan perkawinan, 6) pada keanggotaan
7) pada suatu kesatuan
terhadap sekeha tertentu d a n
administrasi tertentu.
setempat yang disebut banjar dan desa adat
bentuk
sekeha.
Perilaku di
dalam
serta berbagai
pergaulan
kerabat,
banjar, desa adat maupun sekeha, diatur oleh s u a t u , n o r m a
tradisional yang disebut hukum adat')
bercorak
patrilineal,
berfungsi
dan awig-awig yang
s e b a g a i alat k o n t r o l
sosial.
Ditinjau dari segi penduduknya, penduduk Bali termasuk cukup padat.
k e perioda
1980
(tahun 1930 : 195;
: 438; dan
(lihat Pemda.
Kependudukan
berbagai
Kepadatannya yang meningkat dari perioda
1961 : 316;
1971 : 376;
1990 : 493 orang per kilometer persegi
Tk.
dan
masalah,
I Bali,
1985;
Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
antara
lain,
1992),
masalah
menimbulkan
ekonomi, yakni
1) Tidak ada kesatuan pendapat dari para ahli tentang
batasan hukum adat.
Snouck Hurgronye yang pertama kali
menggunakan istilah adat (diambil dari bahasa Arab)
m e n g a r t i k a n h u k u m a d a t ( a d a t r e c h t ) sebagai adat y a n g
mempunyai akibat hukum,
dibedakan dari adat yang tidak
mempunyal akibat hukum (dikutip dalam V. Vollenhoven.
1987:142. Penemuan Hukum Adat. Jambatan. Jakarta).
V.
Vollenhopen sendiri mengartikan hukum adat itu s e b a g a i
adat yang mempunyai sanksi atau yang mengandung paksaan
(lihat V.Vollenhoven. 1981:lO.
Orientasi dalam Hukum Adat
Indonesia. Jambatan. Jakarta). Dalam bukunya Penemuan
H u k u m Adat, ia m e n y a t a k a n bahwa hukum adat itu p e r l u
"ditemukannndari kehidupan rakyat Indonesia.
Ter
Haar
d a l a m bukunya Azas-azas d a n S u s u n a n Hukum Adat t i d a k
secara tegas memberikan dif.inisi tentang hukum adat,
akan
tetapi ia memberi petunjuk bahwa hukum adat yang berlaku,
dapat diketahui d a r i keputusan-keputusan para
Petugas
Hukum (Kepala Adat, Rapat Desa) yang dinyatakan d i dalam
d a n d i luar sengketa.
Supomo dalam bukunya Bab-Bab tentang Hukum Adat,
menyatakan bahwa suatu tingkah laku pada
suatu saat akan mendapat sifat hukum,
ketika etugas hukum
mempertahankannya dari s i pelanggar, atau ketika Petugas
Hukum mencegah terjadinya pelanggaran tersebut.
menyempitnya
lahan pertanian sebagai sumber mata
penca-
harian utama, karena sebagian dari lahan tersebut digunakan untuk tempat pemukiman dan sarana pembangunan lainnya;
masalah sosial,
yakni melimpahnya tenaga kerja yang tidak
diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai; masalah
budaya, yakni terjadinya perubahan nilai dalam keluarga,
khususnya nilai anak.
Menyempitnya
luas lahan pertanian karena
sebagian
telah berubah fungsi menjadi tempat pemukiman dan sarana
pembangunan lainnya, menyebabkan penguasaan atau pemilikan
tanah menjadi relatif sempit.
Berdasarkan data tahun 1983
luas pemilikan tanah dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1.
No.
Luas Pentilikan Tanah Tahun 1983
Luas pemilikan tanah
Persentase
Ditinjau dari kebutuhan minimal penguasaan atas tanah
pertanian untuk hidup suatu keluarga dengan tiga orang1)
anak adalah
0,75 ha
(Sajogyo, 1974),
data tersebut mem-
perlihatkan bahwa lebih dari 45 % penduduk Bali memiliki
tanah di bawah standar minimal.
Dewasa ini, standar mini-
mal untuk pengembangan sumberdaya manusia tidak cukup
ha-
nya ditentukan berdasarkan luas penguasaan tanah, akan
tetapi, juga
dilihat
hatan yang
digambarkan dengan angka kematian bayi dan
angka harapan hidup;
dari indikator lain,
yaitu
kese-
pendidikan yang digambarkan dengan
jumlah penduduk yang telah melek huruf;
digambarkan dengan pendapatan per kapita
ekonomi yang
(UNDP., 1991).
Berdasarkan perhitungan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) tahun 1980 dan 1990, Bali ternyata mencapai IPM 3,2
(tahun 1980) dan 5,2 (tahun 1990).
Dibandingkan IPM Indo-
nesia secara keseluruhan yang mencapai,3,O tahun 1980 dan
4,8 tahun 1990, maka IPM yang dicapai propinsi Bali lebih
tinggi.
Berdasarkan angka IPM ini, propinsi Bali menem-
pati rangking 8 tahun 1980 dan rangking 4 tahun 1990.
(Suko Bandiyono. dkk. 1991)
.
Hal ini berarti, bahwa pro-
pinsi Bali dalam perioda 1980-1990 mencapai kemajuan.
Apabila ditinjau dari Indeks Pembangungan
Development Index/SDI)
Sosial (Social
tahun 1990, propinsi Bali mencapai
1) Di Bali kebutuhan fisik minimal pekerja (buruh)
dengan tiga orang anak, tahun 1990 adalah Rp 209.290,03
per bulan (Kantor Statisik Bali, 1990).
SDI 0,631, sedangkan Indonesia hanya mencapai 0,514.
Berdasarkan angka SDI ini, propinsi Bali menduduki rangking 11 (BPS, 1992).
Apabila dibandingkan antara IPM dan
SDI yang dicapai propinsi Bali, keduanya sama-sama memper-
lihatkan bahwa propinsi Bali mencapai kedudukan di atas
rata-rata Indonesia. Hal ini merupakan suatu petunjuk
bahwa masyarakat Bali relatif berhasil menanggulangi
permasalahan penduduk.
Masalah kependudukan yang berkaitan dengan
gakerjaan,
ketena-
dapat diatasi dengan munculnya berbagai pelu-
ang usaha dan bekerja di bidang industri, khususnya indust r i p a r i w i s a t a yang dapat menyerap cukup banyak tenaga
kerja.
Malahan dewasa ini ada kecenderungan mata penca-
haraian pertanian ditinggalkan oleh generasi muda yang
mempunyai bakat,
keterampilan dan pendidikan yang memung-
kinkan mereka mendapatkan pekerjaan non pertanian. Pergeseran mata pencaharian dari pertanian ke non per-tanian
telah mulai tampak dalam perioda tahun 1971-1980.
Tahun
1971 penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian mencapai
6 6 , 7 % dan non pertanian 3 3 , 3
%,
sedangkan pada tahun 1980
tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian hanya 50,7
%
dan di luar pertanian telah mencapai 49,3 %
(Kantor
Statistik Propinsi Bali, 1971, 1980).
Di lain pihak, masalah kependudukan juga dapat
diatasi dengan keberhasilan masyarakat Bali melaksanakan
program KB.
1) Menurunnya
Hal ini dapat dilihat antara lain dari:
laju pertumbuhan penduduk dari perioda
sebelum dan sesudah program KB dilaksanakan secara intensif.
Sebelum program
KB dilaksanakan
(perioda tahun
1961-1971) pertumbuhan penduduk mencapai 1,75 %,
program ini diintensifkan
setelah
(dalam perioda tahun 1971-1980)
pertumbuhan penduduk menurun menjadi 1,69 % dan dalam
Jika
perioda 1980-1990 telah menurun lagi menjadi l,l8 %.
ha1 ini dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk
Indonesia pada perioda yang sama, yang secara berturutturut mencapai 2,10 ;
2,32
dan
1,98 %,
tampak dengan
jelas laju pertumbuhan penduduk propinsi Bali telah menurun secara tajam.
2) Menurunnya angka fertilitas total
(TFR) dari perioda ke perioda dan dalam perioda tahun
1971-1990 propinsi Bali telah mencapai penurunan 61,67
dibandingkan Indonesia yang hanya mencapai 44,74
%,
%,
se-
dangkan dalam perioda yang sama program KB mengharapkan
penurunan sejumlah 50
%.
Hal ini berarti bahwa propinsi
Bali selain mencapai penurunan yang lebih tinggi dari
rata-rata Indonesia, juga telah melampaui jumlah yang
diharapkan oleh program KB (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1992; BKKBN, 1988). Penurunan
fertilitas di Bali erat kaitannya dengan rendahnya angka
kematian bayi (tahun 1971:130; tahun 1980:92 dan tahun
1990: 51 per 1000 kelahiran, dibandingkan Indonesia pada
tahun-tahun yang sama hanya mencapai 145, 109 dan 71 per
1000 kelahiran) (BPS, 1993). Hal ini membawa konsekuensi
bahwa suami istri tidak akan menambah anak sebagai cadangan karena khawatir anaknya yang lain akan meninggal.
3)
Telah berubahnya struktur penduduk dalam perioda tahun
1971
-
1990, dalam ha1 ini penduduk usia 0-14 tahun sema-
kin berkurang diikuti dengan peningkatan penduduk usia
produktif, yaitu dari 53,3
%
tahun 1971 menjadi 65,2 %
tahun 1990. Sebagai konsekuensi dari keadaan ini, rasio
beban tanggungan penduduk menjadi semakin rendah, yaitu
87,6 tahun 1971 menjadi 77.6
1990
tahun 1980 dan 53,4 tahun
(Lihat piramid penduduk tahun 1971, 1980, 1990).
4)
Meningkatnya proporsi peserta KB aktif dari tahun ke tahun
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2.
Proporsi
Peserta
KB
Aktif
dari
1976-1990
Tahun
Persentasa
Sumber : BKKBN Propinsi Bali : Laporan Tahunan
Tahun
UMUR
-
J U M W I PENDUDUK
(Jiwa)
G a m b a r 1 . P i r a m i d a Penduduk Bali M e n u r u t Hasil
SP 1971 ( BPS., 1973)
Keterangan:
u
Laki-laki
P e re m p u a n
UMUR
JUMLAH PENDUDUK ( J i w a )
G a m b a r 2.
P i r a m i d Penduduk B a l i M e n u r u t SP 1980
(BPS., 1 9 9 2 )
Keterangan:
D
Laki-laki
UMUR
-
JUMLAH
PENDUDUK
(Jiwa)
Gambar 3. Piramid Penduduk Bali Menurut SP 1990
(BPS., 1992)
Keterangan:
Laki-laki
Berhasilnya Bali melaksanakan program KB juga disebabkan karena diperanankannya banjar
sebagai
giatan pelaksanaan program KB di pedesaan.
wadah ke-
Banjar dikenal
sebagai lembaga tradisional yang mempunyai: 1) hari-hari
pertemuan rutin tiap bulan yang disebut sangkepan banjar,
2) hari-hari pertemuan insidental yang disebut pesamuan
untuk membicarakan hal-ha1 yang bersifat penting termasuk
di dalamnya memperbincangkan ide-ide baru yang berkaitan
dengan
pembangunan, 3) wewenang mengambil keputusan
berdasarkan musyawarah mufakat, 4) awig-awig
tertulis
maupun tidak tertulis sebagai kaidah/norma yang berlaku
lokal dan berfungsi sebagai alat kontrol sosial, 5) kentongan
(kulkul) sebagai lambang solidaritas kelompok
merupakan alat komunikasi
yang
efektif
untuk menyampai-
kan berita yang dapat diterima secara luas dan
serempak
oleh warga masyarakat dan 6) suara kentongan dengan kode
tertentu yang telah dirumuskan dalam awig-awig yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum.
Sehubungan dengan keberadaan banjar seperti itu,
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali pada tanggal 8
Nopember 1976 mengeluarkan instruksi, yaitu instruksi No:
002/Ins/2/1976 yang isinya bahwa banjar secara bertahap
dipakai
wadah kegiatan pelaksanaan program KB d i pedesaan
untuk lebih mempercepat proses pelembagaan)')
dan pembu-
dayaan2) Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
(NKKBS).
Pelaksanaan program KB dengan sistem ini kemudian dikenal
sebagai KB SISTEM BANJAR.
Keberhasilan program KB di Bali, selain dapat dikaitkan dengan
hal-ha1
tersebut di atas, juga
dapat
dihu-
bungkan dengan terjadinya pergeseran mata pencaharian dari
pertanian ke industri.
keluarga
keluarga
besar
dalam
Masyarakat
pertanian mementingkan
(jumlah anak banyak) sebagai tenaga kerja
pertanian,
sedangkan masyarakat
industri
bukan banyaknya tenaga kerja yang diperlukan, melainkan
kualitas tenaga kerja, dalam ha1 ini tenaga kerja yang
mempunyai keterampilan d a n pendidikan formal tertentu.
Untuk
dapat mewujudkan
berpendidikan,
keluarga
tenaga kerja yang
terampil dan
besar akan menjadi beban. Dalam
1) Istilah pelembagaan (institutionalization) dipergunakan oleh Leopold von Wiese dan Howard Becker ) yang
berarti proses yang dilalui oleh suatu norma kemasyarakat a n baru, untuk menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan, sehingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai ,
dan
selanjutnya ditaati dalam kehidupan sehari-hari.
( d i k u t i p dalam S e l o S u m a r d j a n d a n Soelaeman Soemadi.
1964.
Setangkai Bunga Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakult a s Ekonomi, UI, Jakarta.
2 ) Proses pelembagaan t e r s e b u t dapat berlangsung
lebih jauh fagi, sehingga suatu norma kemasyarakatan tidak
saja melembaga (institutionalized) juga membudaya (internalized) dalam jiwa para anggauta masyarakat tersebut.
Apabila ha1 ini terjadi,
maka anggauta masyarakat dengan
sendirinya ingin berperilaku sejalan dengan peri kelakuan
yang memang seharusnya ditempuh olehnya, menurut keperluan
masyarakat. Proses ini dapat dikatakan sebagai pyoses
pembudayaan (internalization).
- . ->+.,,.
keadaan
seperti ini,
akan membentuk
anggota
masyarakat
cenderung
keluarga kecil. .Oleh karena
itu, wajar
apabila masyarakat Bali dengan mudah dapat menerima gagasan keluarga kecil yang dianjurkan dalam program KB.
Diterimanya program KB yang menganjurkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
DUA ANAK CUKUP,
(NKKBS) dengan slogannya:
LAKI PEREMPUAN SAMA SAJA, mempunyai arti
penting bagi masyarakat Bali, mengingat masyarakat setempat tarikat pada hukum a d a t yang berfungsi sebagai alat
kontrol sosial melalui lembaga b a n j a r , d e s a adat dan kerabat. Hukum adat yang isinya sebagian berasal dari unsurunsur agama Hindu pada prinsipnya mengutamakan anak lakilaki dalam keluarga dan masyarakat.
Oleh karena iu, dalam
pelaksanaan agama dan hukum adat di satu pihak dan program
KB d i pihak yang lain,
akan timbul kesenjangan. apabila
tidak ada anak (keturunan) laki-laki.
Dalam ha1 ini, pro-
gram KB cenderung mengarahkan anggota masyarakat
untuk
membentuk keluarga kecil dengan "anak dual' tanpa mempersoalkan jenis kelamin anak,
sedangkan agama Hindu d a n
hukum a d a t cenderung mendorong anggota masyarakat supaya
mempunyai anak laki-laki minimal seorang, dengan konsekuensi adanya kemungkinan
seseorang berusaha menambah anak
selama dalam perkawinannya
laki.
belum memperoleh
anak laki-
Kesenjangan tersebut menimbulkan permasalahan, yakni
bagaimanakah nilai-nilai dalam keluarga khususnya nilai
anak akan berubah?
Secara ringkas,
permasalahannya dapat
digambarkan sebagai berikut.
Anak laki-la
Anak laki-la
ki & perempu
ki mempunyai
nilai tinggi ++an mempunyai
dl-keluarga
nilai sama
-1
Nilai-nilai
agama Hindu
1
'.
ttg. hubung- r
an anak dan-+ Kaidah -kaiorang tua
dah (h-adat)
dalam kekera
A batan banjar
Tradisi yg. e- & desa adat
berhubungan
dengan anak
orang tua
norma lama
4.
Perilaku
nyata da
keluarga
1
tinggi
Ganbar
T
tinggi
norma baru
Perubahan Nilai Anak dalam Proses Berpengaruhnya Hukum Adat dan Program KB terhadap Perilaku Suarni Istri dalam Pembenbentukan Keluarga.
Hubungan antara anak
(keturunan) dan orang tua
(leluhur) yang mempunyai nilai keagamaan adalah utang
(hutang) dan ayahan (kewajiban adat)
.
Hutang anak kepada
orang tua (guru rupaka atau guru reRa) antara lain disebutkan dalam Manusmrti I1 : 227 sebagai berikut:
Yan matapitaran kleqam
sekete sambhawe rnzm
na tasya niskrtih cakya
kartum warsa catairapi
Artinya:
Penderitaan yang dialami oleh ibu dan ayah pada
saat lahirnya bayi (anak), tidak dapat dibayar
walaupun dalam seratus tahun.
Masyarakat Bali sendiri mengibaratkan keadaan nyawa
si ibu ketika melahirkan anak seperti : megantung d i boke
akatih (bergantung pada sehelai rambut).
Hutang anak kepada orang tua harus dibayar oleh anak
dengan
cara melakukan yadnya
(korban), baik pada
orang t u a masih hidup maupun setelah meninggal.
orang tua masih hidup,
anak wajib
saat
Ketika
menyenangkan dan
menghormati mereka dan setelah meninggalnya anak wajib
m e l a k u k a n yadnya ngaben
(sawa wedana) y a n g b e r f u n g s i
mengembalikan unsur-unsur panca maha butha
(berupa z a t
cair, udara, cahaya, zat padat d a n zat aetherjyang ada
pada badan m a n u s i a
unsur-unsur
(buana agung
(buana alit atau m i k r o k o s m o s ) k e
panca maha butha yang
atau makro kosmos).
anak harus melanjutkan melakukan
ada d i alam
semesta
Setelah upacara itu, si
yadnya memukur
(atma
wedana) atau disebut juga upacara sraddha yang berfungsi
untuk membersihkan atma a t a u r o h sebagai sarana u n t u k
mengantarkan leluhur menuju asalnya (Tuhan). Fungsi upacara sraddha tersebut disebutkan dalam Yayur Weda XIX
: 30
sebagai berikut: Sraddhaya satyam apyati (dengan sraddha
manusia akan mencapai Tuhan).
Konsep purusha-prakirti
dalam ajaran agama Hindu
melambangkan jiwatman yang bersifat kekal [purusha) dan
badan kasar yang mempunyai sifat berubah
(prakirti). ~i
-
prakirti lebih
dalam masyarakat sendfri konsep purusha
dikenal dengan istilah
purusha-predana
yang digunakan
dalam konteks laki-laki (purusha) dan perempuan (predana).
Konsep ini dapat dijadikan landasan untuk membedakan
antara fungsi anak (keturunan) laki-laki
dan perempuan,
yang dalam hal-ha1 tertentu tidak dapat digantikan oleh
yang lain.
Fungsi anak laki-laki (keturunan laki-laki)
lain dapat diketahui dari ayat 137 bab IX
antara
Menawa Dharma-
yang menyebutkan sebagai berkut:
castra
Melalui anak laki-laki ia menundukkan
dunia,
kekekalan,
melalui cucu laki-laki ia mencapai
dan melalui anak dari cucunya itu, ia mancapai
alam matahari.
Artinya:
Melalui keturunan laki-laki (purusha) tujuan
hidup orang tua (mencapai sorga) dapat dicapai.
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa anak perempuan
tidak menjalankan fungsi seperti yang disebutkan itu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan bunyi
ayat
tersebut,
berbeda
.
fungsi anak laki-laki dan perempuan
Perbedaan fungsi tersebut
menjiwai kaidah-kaidah
hukum adat yang berlaku di lingkungan
rakat, khususnya
kerabat dan masya-
dalam bidang perkawinan dan pewarisan.
Kaidah-kaidah hukum adat dalam kekerabatan, antara lain
tampak dalam ha1 pewarisan harta kekayaan (material) dan
kewajiban (immaterial) kepada leluhur dan tempat pemujaannya yang berupa sanggah/pamerajan). Kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan
dalam ha1
masyarakat banjar dan desa adat tampak
pewarisan
ayahan (nyalukin ayahan)
. '
dari
orang tua kepada anak laki-laki (purusha).
Penerimaan nilai-nilai agama oleh hukum adat, ada
kalanya dengan suatu modifikasi.
Seperti halnya yang
disebutkan dalam Manawa Dharmacasra IX : 108 di mana kedudukan dan peranan orang tua digantikan oleh anak laki-laki
tertua, tetapi ternyata di dalam hukum adat yang berlaku
secara umum di Bali,
kedudukan dan peranan orang tua
digantikan oleh anak laki-laki tertua apabila orang yang
bersangkutan berasal dari tri wangsa
(brahmana, ksatria
dan wesya) dan kepada anak laki-laki terkecil apabila
orang bersangkutan berasal dari sudra -wangsa. Hal ini
merupakan suatu pertanda bahwa kewangsaan juga memberi
corak pada kaidah-kaidah hukum adat yang berlaku di masyarakat.
Nilai-Nilai dalam agama Hindu dan kaidah-kaidah dalam
hultum adat berpengaruh terhadap
perilaku anggota masya-
rakat dalam pembentukan keluarga.
ban agama dan adat, orang-orang
anak laki-laki
Untuk memenuhi kewajicenderung
menginginkan
sehingga nilai anak laki-laki tinggi dan
sebagai konsekuensinya mereka cenderung
membentuk keluar-
ga besar apabila pasangan suami istri belum mempunyai anak
laki-laki dalam perkawinannya.
Setelah program KB dilaksanakan, gagasan-gagasan baru
tentang hubungan anak clan orang tua mulai diperkenalkan.
Program
tersebut menganjurkan
kepada masyarakat
untuk
membentuk keluarga kecil dengan "anak dual1 tanpa mempersoalkan jenis kelamin anak. Walaupun gagasan semacam ini
merupakan gagasan baru bagi masyarakat Bali, akan tetapi
ternyata diterima dan berpengaruh terhadap perilaku anggot a masyarakat dalam membentuk keluarga.
Berpengaruhnya
t e r h a d a p perilaku
keluarga,
program
KB d i samping hukum
anggota masyarakat dalam
adat
membentuk
akan menimbulkan perubahan nilai dalam keluar-
ga, khususnya nilai anak.
Perubahan ini penting diteliti
k a r e n a p e r u b a h a n nilai a n a k dalam keluarga m e m p u n y a i
kaitan yang erat dengan berbagai aspek kehidupan, antara
lain,
aspek keagamaan
(religius), sosial,
ekonomi dan
psikologis.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perrnasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rumusan Masalah
1.2
1.2.1
Bagaimanakah proses berpengaruhnya hukum adat ter
hadap
-
perilaku suami istri dalam membentuk keluar-
ga ?
1.2.2
Bagaimanakah proses berpengaruhnya program KB terhadap
perilaku
suami
istri
dalam membentuk ke-
luarga?
1.2.3
Bagaimanakah proses berubahnya
generasi
yang
lebih
tua
ke
nilai anak dari
generasi yang lebih
muda?
1.2.4
Bagaimanakah
sung
proses pengambilan keputusan berlang-
dalam
k e l u a r g a berkaitan dengan m a s a l a h
perjodohan dan tempat tinggal anak setelah menikah
( y a n g d i a t u r oleh a d a t dan agama sebagai n o r m a
kelompok)
dan masalah
pendidikan serta pekerjaan
yang dapat diatur secara pribadi?
1.2.5
Mengapa
program
KB di
Bali dapat berhasil tanpa
mengganggu eksistensi hukum adat?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian
ini d i l a k u k a n
dengan
tujuan s e b a g a i
berikut :
1.3.1
Untuk mengambarkan dan menjelaskanan proses berpengaruhnya hukum adaf
terhadap perilaku suami istri
dalam membentuk keluarga,
khususnya
terhadap ke-
inginan mereka mempunyai anak laki-laki.
1.3.2
Untuk menqgambarkan
ngaruhnya
program
dan menjelaskan proses berpeKB terhadap perilaku
tri dalam membentuk keluarga,
suami is-
khususnya dalam me-
rencanakan jumlah anak.
1.3.3
Untuk menggambarkan
proses
berubahnya
nilai anak
dalam keluarga.
1.3.4
Untuk menggambarkan dan menjelaskan proses pengambilan keputusan dalam keluarga.
1.3.5
Untuk menjelaskan keberhasilan
program KB di Bali,
yang dalam pelaksanaannya tidak mengganggu eksistensi hukum adat.
4.
Nilai anak
Manfaat Penelitian
mempunyai kaitan dengan berbagai aspek
kehidupan dalam masyarakat, antara lain, aspek kehidupan
religius, sosial, ekonomi, psikologis.
ada hubungannya dengan
nagakerjaan.
Selain itu, juga
kependudukan, kesehatan dan kete-
Adanya keterkaitan ini, menyebabkan data
yanq akan diperoleh dalam penelitian ini mengenai
ubahan nilai
terhadap jumlah anak,
per-
dapat dijadikan dasar
untuk menganalisis perubahan dalam berbagai aspek tersebut, khususnya yang berhubungan dengan
terjadinya peruba-
han nilai anak dalam keluarga. Analisis terhadap perubahan
semacam ini akan berguna bagi
Pemerintah
Daerah dalam mengambil lanqkah-langkah
Pusat maupun
lebih jauh untuk
menentukan dan memperbaiki kebijaksanaan yang terkait
dengan aspek-aspek tersebut. Selain itu, hasil penelitian
ini juga akan memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu
sosial, khususnya mengenai perubahan
1.5.
sosial.
Kerangka Pemikiran.
Perubahan masyarakat dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks, telah banyak disoroti oleh para ahli.
Terjadinya perubahan tersebut,
dilihatnya dari berbagai
kriteria. Parsons, dalam ha1 ini
menggunakan kriteria
"otonomi relatif" masyarakat dengan alam sekelilingnya dan
I1ciri-ciri strukturalslmasyarakat dengan daya adaptasi
yang lebih besar.
Ia menggunakan
istilah "diferensiasi
sosial" yaitu di satu pihak meningkatnya otonomi dari
struktur-struktur yang terpenting dalam masyarakat (seperti agama , politik, pemerinahan, sistem hukum dan ekonomi)
dan di pihak lain, timbulnya bentuk-bentuk integrasi baru.
(dalam Pudjiwati Sajogyo, 1985).
Menurut
Parsons, perubahan masyarakat dari tradi-
sional ke masyarakat yang lebih modern itu, diikuti oleh
adanya proses diferensiasi-integrasi.
1988).
Ia berpendapat, bahwa
(dalam Harrison,
studi mengenai perubahan
sosial selalu didahului oleh analisis
struktural-fung-
sional.
Analisis struktural-fungsional, antara lain telah
digunakan oleh M.
J.
Levy dalam menganalisis sistem
kekerabatan masyarakat Cina.
daan
suatu sistem
Menurut Levy, untuk kebera-
kekerabatan,
diperlukan
adanya
lima
macam fungsi/substruktur yaitu:
1.
Diferensiasi
peranan, yakni cara mendudukkan
anggota-
anggota kerabat pada berbagai posisi dalam
kekerabatan itu berdasarkan
sistem
fungsi masing-masing
pertimbanqan perbedaan umur,
seks, generasi,
atas
posisi
ekonomi dan pembagian kekuasaan.
2.
Alokasi solidaritas,
yakni
berbagai tingkatan soli-
daritas yang diduddckan dalam berbagai hubungan antara
anggota-anggota kerabat menurut makna hubungan
(misal-
nya kasih sayang), antara s i a p a hubungan-hubungan
tersebut terjalin, kuatnya hubungan
macam
apa y a n g
lebih
kuat
(misalnya hubungan
dan diutamakan,
apakah
hubungan suami istri ataukah orang tua anak dan sebagainya) dan daya tarik timbal balik yakni perasaanperasaan macam apa (rasa takut, hormat dan sebagainya)
yang perlu dihubunqkan.
3.
Alokasi ekonomi, adalah keperluan komsumsi para anggot a kerabat akan barang dan jasa
perumahan dan
lain-lain) yanq
(makanan, pakaian,
harus dipenuhi dengan
usaha produksi barang d a n jasa para
anggotanya
itu
pula.
4.
Alokasi kekuasaan/kewibawaan,
s a a n kepada tokoh-tokoh
adalah pemberian kekua-
t e r t e n t u untuk m e n g o n t r o l
tindakan anggota-anggotanya,
dengan memberi
,
sanksi-r
,-
/-u-\,f
-7
'
sanksi serta mendudukkan tanggungjawab dalam ha1 itu,
ke dalam maupun terhadap pihak luar/masyarakat. Diperlukan adanya keseimbangan antara kekuasaan dan tanggungjawab, atas dasar kesamaan dan timbal balik ataupun atas dasar khirarki.
5.
Alokasi integrasi
dan ekspresi, yakni proses sosial-
isasi anak/anggota baru karena perkawinan atau dipungut, yaitu cara mendidik dan memelihara nilai-nilai
sikap dan tatacara sistem kekerabatan itu (integrasi)
dan cara-cara bagaimana seseorang anggota kerabat
dibenarkan menyatakan diri sebagai reaksi atas berbagai soal yang mengenai dirinya (ekspresi).
Model analisis ini relevan digunakan dalam menganalisis sistem kekerabatan di Bali yang bercorak patrilineal.
Berdasarkan analisis ini akan dapat dijelaskan berbagai
hubungan timbal balik antara orang tua dan anak di satu
pihak, antara anak laki-laki dan perempuan di pihak yang
lain.
Hubungan-hubungan tersebut dapat dilihat dari adanya
diferensiasi peranan berdasarkan atas pertimbangan perbedaan generasi (orang tua dan anak) dan atas dasar jenis
kelamin (anak laki-laki dan perempuan).
Dalam hubungan
antara orang tua dan anak tampak bahwa pada tahun-tahun
pertama seseorang menjadi anak, ia tergantung pada asuhan
orang tuanya dan pada tahap-tahap akhir di saat seseorang
usianya sudah lanjut, ia tergantung dari anak-anaknya yang
telah dewasa.
Dalam hubungan ini, dapat dilihat adanya
peranan yang berbeda antara anak laki-laki yang akan tetap
tinggal di dalam lingkungan kerabat dan anak perempuan
yang akan keluar dari lingkungan kerabat setelah menikah.
Analisis tentang hubungan
laki-laki &an
perempuan
dalam lembaga keluarga dapat dilengkapi dengan menggunakan
"analisis gender"1) yaitu dengan cara membandingkan posisi
d a n peran antara kedua j e n i s kelamin tersebut.
c a r a ini, dapat dilihat
peranan antara anak
adanya
perbedaan
Melalui
posisi d a n
laki-laki dan perempuan dalam ke-
hidupan kerabat dan masyarakat.
Hubungan antara orang t u a d a n anak dalam keluarga,
dapat juga dijelaskan dengan cara melakukan analisis tingkat solidaritas.
Hal ini dapat digunakan untuk mengetahui
apakah suatu keluarga lebih mengutamakan hubungan antara
orang tua dan anak ataukah antara suami d a n istri. H a l
yang pertama memperlihatkan
t u a dan anak lebih kuat.
bahwa hubungan antara orang
Ini berarti, bahwa anak mempu-
nyai posisi dan peranan penting dalam kehidupan orang tua.
Posisi ekonomi antara anggota keluarga terutama dalam
usaha pemenuhan konsumsi
atas barang dan jasa serta upaya
untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa tersebut, juga
I) Mengenai analisis gender dapat dibaca lebih lanjut
and Gender : The Human Experidalam J.A. Doyle. 1985:Sex
ence. Wm.C. Brown Publisher. Iowa. Lihatt juga R.W. Connell. 1987. Gender and Power: Society, T h e Person and
Sexual Politic. Polity Press. Cambridge.
dapat digunakan untuk menganalisis hubungan antara orang
t u a dan
anak dalam
sistem
kekerabatan
d i Bali.
Tampak
bahwa secara normatif pada tahap-tahap awal orang tualah
yaitu
suami dibantu
memelihara
anak
oleh
istri yang
termasuk m e m b u a t k a n
bertanggungjawab
berbagai
upacara
selamatan dan sebaliknya setelah orang tua lanjut usia,
anak-anak
yang
sudah dewasa
bertanggungjawab
memberi
jaminan hidup bagi orang t u a dan setelah meninggalnya,
anak mempunyai kewajiban melakukan yadnya ngaben (pembakaran jenasah orang tua).
Hubungan antara orang tua dan anak di dalam keluarga
dapat juga dijelaskan dengan melakukan analisis pembagian
kekuasaan dalam keluarga, yaitu dengan cara melihat siapakah merupakan
tokoh-tokoh
mengambil keputusan.
yang
d i b e r i wewenang
untuk
Dalam ha1 ini, pengambilan keputusan
tersebut merupakan ciri dari adanya kekuasaan dalam keluarga.
Menurut
Blood dan Wolfe,
kekuasaan dan pembagian
kerja merupakan ha1 yang paling mendasar dalam keluarga.
Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan atau masyarakatnya. Mereka mengatakan bahwa dalam hubungan pria dan
wanita
(suami dan istri) berdasarkan perkawinan, masing-
masing mempunyai potensi untuk mempengaruhi perilaku orang
lain. Kekuasaan masing-masing
suami dan istri oleh kedua
belah pihak dianggap "wajaru, karena itu diakuinya sebagai
wewenang
(authority) masing-masing.
penulis tersebut juga melihat
wewenang, yang mendorong
yaitu
adanya
sumberdaya
yakni
penguasaaan
Di samping itu, kedua
adanya faktor lain, selain
suami istri mengambil keputusan,
pribadi
(personal resources),
sumber-sumber
yang mempunyai
berharga, seperti tanah, uang, keterampilan,
pengetahuan
ritual dan sebagainya yang oleh masing-masing
istri disumbangkan k e dalam perkawinan.
nilai
suami dan
Hal ini dikatakan
pula oleh Rogers (dalam Pudjiwati Sajogyo, 1983).
D.H.
Olson dan R.E
Cromwell
k e k u a s a a n d a l a m keluarga.
(1975) melihat
t i d a k hanya
adanya
terbatas pada
kekuasaan suami dan istri, akan tetapi lebih luas dari
itu, mereka juga melihat kekuasaan yang ada pada setiap
anggota keluarga secara individu. Menurut mereka, kekuasaan keluarga adalah kemampuan atau potensi anggota keluarga secara individu untuk mengubah
perilaku
anggota
keluarga lainnya. Mereka mengatakan kekuasaan keluarga
tersebut mencakup
tiga bidang,
yaitu:
kekuasaan keluarga
(bases of family power) yang terdiri
1) dasar-dasar
dari sumberdaya pribadi yang dapat meningkatkan kemampuan
untuk melaksanakan kontrol dalam
kekuasaan keluarga
suatu situasi, 2 ) proses
(family power processes) yang memusat-
kan pada interaksi pada anggota keluarga. Hal ini menyangkut proses yang terjadi selama diskusi
bilan keputusan, pemecahan masalah
keluarga, pengam-
dan lain-lain.
3) kon
sekuensi dari adanya kekuasaan keluarga
(family power
outcome) tersebut, yakni berkenaan dengan siapa-siapa
dalam keluarga yang akhirnya membuat keputusan.
Masyarakat Bali yang patrilineal, secara normatif
memberikan kekuasaan kepada laki-laki, oleh karena itu,
wajar apabila laki-laki akan lebih sering mengambil keputusan, terutama dalam hal-ha1 yang berkaitan dengan adat.
Kenyataannya, dalam hal-ha1 tertentu yang tidak berkaitan
dengan adat, pengambilan keputusan dilakukan oleh suami,
istri, juga anak-anak yang telah dewasa. Hal seperti ini
terungkap antara lain dalam penelitian Astiti (1986) di
Desa Kamasan, Klungkung, Bali dan penelitian Astiti dan
Astika (1984) di Desa Melinggih, Payangan, Gianyar Bali.
Adanya variasi dalam pengambilan keputusan tersebut merupakan bukti bahwa di luar kekuasaan normatif, ada ha1 lain
yaitu sumberdaya pribadi yang menjadi dasar kekuasaan
anggota keluarga dalam mengambil keputusan.
Integrasi anggota keluarga dalam sistern kekerabatan
di Bali tampak dalam ha1 bagaimana nilai-nilai, norma dan
kebiasaan dalam keluarga disosialisasikan kepada anggota
keluarga, khususnya anggota baru karena perkawinan (dalam
ha1 ini menantu) dan karena dipungut (dalam ha1 ini anak
angkat)
.
Ekspresi dari anggota keluarga yang berupa reaksi
terhadap persoalan-persoalan yang mengenai dirinya, banyak
t e r j a d i dalam h a 1 perjodohan
tua. Dalam
orang
ha1
ini,
yang
t i d a k mendapat
si anak menunjukkan
terhadap tidak adanya persetujuan
restu
reaksi
tersebut, dengan card
menempuh kawin lari (ngerorod).
H. Geertz d a n C . Geertz
( 1 9 7 5 ) dalam upaya memahami
kekerabatan orang Bali, membuat pemisahan antara dimensi
budaya
(cultural dimension) d a n struktur
sosial
(social
structure). Dimensi budaya mengacu pada gagasan-gagasan,
kepercayaan dan nilai-nilai
sebagai anggota kerabat.
yang relevan dengan perilaku
Gagasan, kepercayaan dan nilai-
nilai tersebut diabstraksikan dan dibedakan dari perilaku
nyata yang berpola dan dari hubungan-hubungan
di.
G a g a s a n , kepercayaan
dan
nilai
antar priba-
t e r s e b u t berkenaan
d e n g a n sifat hubungan antara orang t u a d a n anak, leluhur
dan keturunan dan antara individu sesama keturunan.
Gagasan-gagasan yang berkenaan dengan hubungan antara
orang
berupa
tua dan anak
pada
gagasan mengenai
masyarakat
pewarisan
Bali,
harta
antara
lain,
kekayaan
dan
t a n g g u n g jawab a n a k u n t u k m e n g g a n t i k a n orang t u a d a l a m
melaksanakan kewajiban d i masyarakat banjar dan desa adat
serta d i lingkungan kerabat terhadap para
leluhur.
Keper-
c a y a a n yang berkaitan d e n g a n hubungan antara leluhur d a n
keturunan, antara
reinkarnasi
lain, d a p a t dilihat dalam kepercayaan
(penjelmaan kembali) arwah leluhur ke d u n i a
melalui keturunannya dan peranan anak sebagai penyelamat
a r w a h leluhur menuju surga.
Nilai-nilai
yang berkenaan
dengan hubungan orang tua dan anak, antara lain, berupa
utang
(hutang) dan ayahan (kewajiban yang bersifat adat
dan keagamaan) . Gagasan, kepercayaan dan nilai-nilai
tersebut mempengaruhi perilaku warga masyarakat dalam
membentuk keluarga.
Menurut Stinchcornbe (1968) perilaku seseorang dapat
dipengaruhi secara bersamaan oleh lingkungan (group culture) dan pola kekuasaan. Dalam hubungan ini, lingkungan
yang berpengaruh terhadap perilaku suami sitri dalam
membentuk keluarga adalah : 1) lingkungan kebudayaan lokal
yang tercermin dalam agama Hindu dan hukum adat yang
bercorak patrilineal, yang memberikan posisi dan fungsi
yang penting kepada anak laki-laki dan 2 ) lingkungan kebudayaan nasional yang tercermin dalam gagasan program
Keluarga Berencana yang menempatkan anak laki-laki dan
perempuan sama dalam keluarga dan masyarakat. Pola kekuasaan yang berpengaruh terhadap perilaku suami istri dalam
membentuk keluarga, berasal dari: 1) kekuasaan para elit
desa adat (dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum adat) dan
2)
kekuasaan para elit pemerintah
(dalam hubungannya
dengan pelaksanaan program KB).
Hukum adat dan program Keluarga Berencana merupakan
dua lembaga yang berbeda. Dalam prosesnya mempengaruhi
perilaku seseorang,
di satu pihak dapat timbul konplik
kelembaqaan dan di pihak lain dapat pula timbul integrasi
kelembagaan. Menurut Stinchcombe,
konflik kelembagaan ini
adalah pertentanqan antara nilai-nilai yang berhubunqan
denqan kekuasaan dalam daerah kelembaqaan yanq berbeda,
sedanqkan yang dimaksud
inteqrasi kelembaqaan adalah
nilai-nilai yang sama yang berhubungan denqan kekuasaan
dalam daerah kelembaqaan yang berbeda.
ha1 adanya perbe-
Pertentangan nilai terdapat dalam
daan konsep antara hukum adat dan program KB tentang nilai
Dalam hukum adat nilai anak
anak laki-laki dan perempuan.
laki-laki dan perempuan dibedakan, sedangkan dalam program
KB, nilai anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Inte-
grasi nilai dalam kedua daerah kelembaqaan tersebut terjadi dalam ha1 nilai keluarga kecil. Konflik dan integrasi
antara kedua kelembagaan tersebut
dapat digambarkan
sebaqai berikut:
Daerah kelembagaan hukum adat
Anak laki-laki mempunyai nilai yang berbeda denqan anak perempuan
Nilai keluarga
keci1
Anak laki-laki
mempunyai nilai
sama
dengan
anak perempuan
Daerah kelembaqaan program KB
Gambar 5. Konflik dan inegrasi antara kelembagaan
hukum adat dan program KB, berkaitan
dengan tiilai anak
Aspek nilai anak yang akan diteliti dalam penelitian
ini meliputi aspek nilai religius, sosial, ekonomi dan
psikologis. Aspek-aspek ini merupakan pengembangan dari
aspek nilai anak yang disoroti oleh M. Singarimbun, dkk.
(1977) dalam proyek Nilai Anak
Internasional (Value of
Children/VOC). Nilai anak yang menjadi
sorotan dalam
proyek ini adalah nilai sosial, ekonomi dan psikologi.
Menambahkan aspek nilai religius anak dalam penelitian
ini, didasarkan atas pertimbangan bahwa penelitian ini
dilakukan dalam masyarakat
Bali yang patrilineal dan
menganut religi Hindu yang berpengaruh kuat terhadap
perilaku suami istri dalam membentuk keluarga. Atas pertimbangan tersebut, aspek nilai religius anak dipandang
sangat penting untuk ikut disoroti.
Untuk lebih memperjelas konsep pemikiran tersebut di
atas, maka perlu diberikan beberapa difinisi sebagai
ber ikut :
Yang dimaksud
Hukum adat dalam penelitian ini adalah
hukum rakyat asli yang tumbuh dari tradisi masyarakat,
umumnya tidak tertulis (tidak dibentuk oleh lembaga legislatfif), mempunyai kekuatan mengikat dan dipertahankan
oleh anggota masyarakat dengan cara mengenakan sanksi atau
konsekuensi hukum terhadap pelanggarnya. Hukum adat yang
dimaksud di sini
adalah hukum adat Bali, yakni hukum yang
tumbuh dari tradisi masyarakat Bali dan sebagian unsurnya
berasal dari hukum agama Hindu, umumnya tidak tertulis,
tetapi sebagian ada yang disuratkan dalam bentuk a w i g awig, mempunyai kekuatan mengikat dalam masyarakat dan
dipertahankan dengan cara mengenakan sanksi atau konsekuensi hukum terhadap pelanggarnya.
Hukum adat berlaku positif apabila kaidah-kaidah yang
terkandung di dalamnya diikuti atau ditaati oleh warga
masyarakat setempat.
Dalam'keadaan demikian, dapat juga
dikatakan bahwa hukum adat itu berpengaruh terhadap perilaku anggota masyarakat.
Program KB adalah program pemerintah dalam bidang
kependudukan. Program KB dikatakan berpengaruh terhadap
perilaku anggota masyarakat, apabila gagasan-gagasan yang
dianjurkan dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota
masyarakat.
Pengertian anak dan orang tua dalam penelitian ini
mencakup pula keturunan dan leluhur. Oleh karena itu,
hubungan antara orang tua dan anak termasuk juga hubungan
antara leluhur dan keturunan.
Yang diamksud nilai anakl) adalah peranan yang dimainkan oleh anak-dalam kehidupan orang tuanya, termasuk
1) T.J.
Esphenshade (1977) mengatakan nilai anak
sebagai fungsi-fungsi yang mereka lakukan dan kebutuhan
yang mereka penuhi untuk orang tua. (The Value of Children
can be thought as the functions they serve or needs they
fullfil for parents.
I
di dalamnya peran n ideal, peranan yang diharapkan dan
peranan yang aktual, dalam bidang religius, sosial, ekonomi dan psikologis.
Nilai religiu
anak dalam penelitian ini diartikan
sebagai peranan ya g dimainkan oleh anak dan diharapkan
oleh orang tua, yan
berguna bagi kehidupan orang tua atau
leluhur dalam hidup ya di dunia akhirat.
Nilai sosial anak dapat diartikan sebagai peranan
yang dimainkan oleh anak dan diharapkan oleh orang tua
unuk menggantikan pelaksanaan kewajiban orang tua dalam
hidupnya sebagai anggota masyarakat.
Nilai ekonomi anak diartikan sebagai peranan yang
dimainkan oleh anak dan diharapkan oleh orang tua untug
menjamin orang tua dalam usianya yang telah lanjut.
Nilai psikologis anak yang dimaksud di sini adalah
peranan yang dimainkan oleh anak dan diharapkan oleh orang
tua untuk memberi kesenangan, kebahagiaan, rasa aman,
kepuasan dan kasih sayang dalam kehidupan pribadi orang
tua.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas,
dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1
Keinginan
suami istri
mempunyai anak laki-laki dalam
keluarga dipengaruhi oleh pertimbangan atas dasar
hukum adat.
2
Keinginan suami
e
istri membentuk keluarga kecil dipe-
ngaruhi oleh p rtimbangan atas dasar program Keluarga
Berencana.
3
P
Gagasan "keluar a kecilw, lebih mudah diterima diban-
4
1
dingkan gagas n
dalam pergantia
4
Gagasan
I8anak laki-laki perempuan sama8',
generasi.
"anak laki-laki perempuan sama" lebih mudah
dapat diterima dalam aspek kehidupan yang tidak berkaitan dengan,adat dan agama, dibandingkan dengan
aspek kehidupan yang diatur oleh adat dan agama adat.
5
Pengambilan keputusan dalam keluarga yang berkenaan
dengan aspek-aspek kehidupan anak, didominasi oleh
laki-laki. Dominasi laki-laki dalam mengambil keputusan lebih menonjol dalam aspek kehidupan yang diatur
oleh adat dan agama dibandingkan dalam aspek kehidupan
anak yang dapat diatur secara pribadi.
BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA
Tujuan membentuk
keluarga
adalah untuk memperoleh putera,
y a k n i putera utama. Nilai
antara
menurut
agama
terutama yang
Hindu
suputera,
seorang putera yang suputera
lain dilukiskan dalam
kitab
slokantara
sebagai
ber ikut :
Kupasatad wai paraman sarati, sarah satad wai
parama pi yajnah, y a j n a h satad wai parama p i
putrah
Kalinganya, hana pwekang megawe sumur satus, alah
ika dening megawe telaga tunggal, lwih ikang megawe telaga.
Hana pwekang megawe telaga satus, alah ika phalanya dening wang gumawe yadna pisan.
Ananta lwih ing gumawe aken yajna,
kunang
ikang
wenang meyajna ping satus, alah ika phalanya den i n g k a n g w a n g m e a n a k t u n g g a l , y a n a n a k ika
wisesa.
Kalinganya ikang manak aneka, ta lwih phalannya.
(dalam Warta Hindu Dharma No. 251).
.
Artinya :
Membuat sebuah telaga untuk umum lebih baik dari
pada membuat seratus sumur.
Melakukan yadnya (korban) sekali lebih baik daripada membuat seratus telaga untuk umum.
Mempunyai seorang putera
utama (suputera) lebih
tinggi pahalanya
daripada
melakukan
seratus
yadnya.
Dalam salah satu bait kekawin Nitisastra, disebutkan
sebagai berikut:
Sang Hyang Candera Tranggana pinaka dipa memadangi ri kalaning wengi.
Sang Hyang Surya sedeng
prebase pinake dipa memadangi ri bhumi mandala.
Widya sastra sudharma dipanikanang
tri bhuwana
sumena prabhaswara.
Yan ring putera, suputera sadhu gunawan memadangi
kula wandhu wandhana.
Artinya:
Bulan dan bintang sebagai pelita yang menerangi
di waktu malam,
Matahari yang sedang terbit, sebagai pelita
menerangi bumi,
Ilmu pengetahuan dan sastera, sebagai pelita
menerangi dunia secara sempurna
Kalau di kalangan putera, putera utama (suputera)
sebagai pelita menerangi seluruh keluarga.
Berdasarkan kedua sumber, Slokantara dan Nitisastera
tersebut, dapat ditafsirkan bahwa dalam keluarga
Hindu,
sebenarnya bukan banyaknya anak yang dipentingkan, melainkan kualitas anak. Anak yang berkualitas baik, dapat
memberikan kebahagiaan bagi orang tua, masyarakat, bangsa
dan negara. Sebaliknya, anak yang berkualitas jelek dapat
membawa kehancuran dunia.
Berbicara masalah kualitas anak, sebagai ilustrasi
dapat diambil
ceritera pewayangan Mahabrata.
Pandhu yang berjumlah 5 orang
Putra Prabu
(Pendawa Lima) dikenal
sebagai putra yang berkualitas baik. Mereka adalah penegak
dharma (kebenaran). Sebaliknya, putra-putra Prabu Drestarata yang berjumlah seratus
(Seratus Korawa) , dikenal
sebagai putra-putra yang berkualitas buruk, yang membawa
mala petaka.
Apabila seseorang tidak mempunyai putra yang baik,
putra yang tidak baikpun dapat menggantikan
kedudukan
putra yang baik bagi leluhur yang menderita di akhirat.
Hal itu disebutkan dalam ayat 161 Menawa Dahrmasastra bab
I X , yang bunyinya sebagai berikut:
juya yang diperoleh sebagai pahala dalam
Apapun
mengarungl lautan dengan memakai perahu yang
tidak aman,
demikianlah umpamanya anak yang
tidqk baik dimaksudkan menggantikan kedudukan
anak yang baik bagi keluarga yang menderita di
akhirat .
Bagi seseorang, bukan hanya mempunyai putra yang
penting, akan tetapi supaya putranya itupun mempunyai
putra yang akan menyambung keturunannya. Melahirkan dan
memelihara keturunan merupakan salah satu card untuk
membayar hutang kepada orang tua
(BKKBN, 1985) karena
dengan melahirkan anak orang tua akan mempunyai cucu dan
add anggapan
bahwa setelah mempunyai cuculah seseorang
baru mencapai tujuan hidupnya.
diungkapkan dengan pernyataan
menyelamatkan si kakek).
Di masyarakat Bali ha1 ini
I cucu nyupat I kaki. (Cucu
Penjelasan terhadap ha1 ini
dapat disimak dari ceritera mitos si Jaratkarul) yang
menceriterakan tentang pertemuan si Jaratkaru dengan arwah
leluhurnya yang hampir jatuh ke neraka. Dalam pertemuannya
itu, roh leluhurnya berkata sebagai berikut:
1) Periksa Adiparwa bab V.
Dapat dibaca pula I.G.K.
Jelantik "Putra Sesana" dalam majalah Warta Hindu Dharma
No.60 tahun 1972. hal. 3 .
Mahante hetu mamin pegat sakeng pitra loka, meqantungan petung sawulih hanken tibeng neraka
loka, tattwa nihang petung sawulih hana wangsa
mami asiki, Jaratkaru ngaranya, adan moksa witha
ya mahyun luputeng sarwa janma bandana, tatan
pastri, ya cukla brahmacari.
Terjemahan:
Beginilah akibatnya mengapa saya putus hubungan
pada sebilah
dengan dunia atman kini terqantung
bambu, hampir jatuh ke neraka. Adanya sebilah
bambu ini karena saya masih mempunyai seorang
keturunan yang bernama Jaratkaru, tetapi berkeinginan untuk tidak kawin, ia menjalankan cukla
bhrahmacari.
Jawaban si Jaratkaru:
Hanan pwa margantha, muliheng swargha, tan sangcaya rahadyan sangnulun kabeh, marya nghulun
bhrahma carya ametanah bi panaka ni nghulun.
Artinya:
Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah
ragu dan takut, hamba akan berhenti menjalankan
bhrahmacari. Hamba akan kawin dan memperoleh
anak
.
Beberapa sumber tersebut menunjukkan betapa pentinqnya peranan yang dimainkan oleh keturunan dalam kehidupan
orang tua di dunia dan setelah di akhirat.
Oleh karena
itu jika seseorang tidak berhasil memperoleh keturunan
dalam
perkawinannya, suami istri berupaya mendapatkannya
dengan mengangkat anak (mengadopsi) dari keluarga lain
yang ada hubungan kerabat dengan mereka. Upaya tersebut
diatur dalam
Menawa Dharmasastra IX : 141.
Keturunan yang dimaksud di sini adalah keturunan
laki-laki. Fungsi keturunan laki-laki disebutkan dalam
Menawa Dharmasastra IX : 137, yaitu sebagai berikut:
Melalui anak laki-laki ia menundukkan dunia, melalui cucu laki-laki ia mencapai kekekalan dan
melalui anak dari cucu itu ia mencapai alam
matahari .
Maksudnya:
melalui keturunan laki-lakilah tujuan hidup orang
tua tercapai.
Seseorang yang tidak mempunyai keturunan laki-laki
dalam perkawinannya, dapat mengangkat anak perempuannya
sendiri sebagai s e n t a n a r a j a g
yang kedudukannya sama
seperti anak laki-laki. Hal tersebut di atur dalam Menawa
Dharmasastra IX : 127-140.
Peranan yang bersifat keagamaan yang dimainkan oleh
keturunan, khususnya keturunan laki-laki dalam kehidupan
orang tua di dunia maupun di akhirat itu, memberi corak
patrilineal pada hukum adat yang berlaku secara positip di
masyarakat Bali.
Corak patrilineal tersebut tampak antara
lain dalam kaidah-kaidah pewarisan, Pewarisan menurut
hukum adat Bali meliputi pewarisan atas hak berupa harta
kekayaan material maupun pewarisan kewajiban yang bersifat
adat dan keagamaan, seperti pewarisan tanggungjawab/kewajiban memelihara dan melakukan upacara ritual di tempat
pemujaan leluhur (sanggah) serta pewarisan ayahan (kewajiban adat) ke masyarakat banjar dan desa adat.
Menurut hukum adat Bali, yang tergolong sebagai ahli
waris adalah :
(Pangkat, 1972;
Paneca, 1986).
1)
Setiap laki-laki dalam hubungan purusa')
selama tidak
terputus haknya untuk menerima warisan.
2)
Setiap
sentana
rajeg
selama
tidak terputus haknya
untuk menerima warisan.
Seorang anak laki-laki terputus haknya untuk menerima
warisan antara lain apabila :1) diangkat anak (diadopsi)
oleh keluarga lain, 2) kawin keluar menjadi suami sentana
rajeg, 3) pindah agama.
4)
durhaka kepada pewaris. Seorang
sentana rajeg terputus haknya menerima warisan, apabila:
1) pindah ke agama lain, 2) tidak melaksanakan kewa-
jibannya sebagai sentana rajeg, misalnya apabila kawin
keluar meninggalkan statusnya sebagai sentana rajeg).
Kedudukan keturunan laki-laki sebagai ahli waris sudah
pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indo- nesia
antara lain dalam yurisprudensi
tertanggal
24
No.32
K/Sip/1971,
Maret 1971. Dalam yurisprudensi tersebut
dengan tegas disebutkan bahwa ahli
waris menurut hukum
adat Bali adalah keturunan laki-laki.
Kaidah-kaidah hukum adat yang bercorak patrilineal
tersebut, mempengaruhi perilaku anggota masyarakat (dalam
ha1 ini
suami istri) dalam
membentuk keluarga.
Pengaruh
tersebut tampak dalam ha1 adanya kecenderungan mereka
lebih mengharapkan lahirnya anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan.
1) Pengertian purusa
lebih luas dari pengertian
laki-laki. Didalamnya termasuk laki-laki dan perempuan
yang berstatus laki-laki (sentana rajeg).
Suami istri dalam keluarga tradisional cenderung
ingin menambah anak
laki-laki,
atau,
seorang, masih
apabila
mereka belum memperoleh anak
mereka hanya mempunyai anak
ingin menambah
Konsekuensinya,
laki-laki
anak laki-laki lagi.
mereka cenderung membentuk keluarga
besar. Kecenderungan ini dipengaruhi pula oleh adanya
kepercayaan di masyarakat tentang "banyak anak banyak
.
rejekiww
Suami istri dalam
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Bali merupakan masyarakat
agraris yang
mempunyai sistem irigasi tradisional yang disebut sistem
subak.')
Masyarakat Bali selain menunjukkan ciri-cirinya
yang tradisional, di pihak lain juga memperlihatkan sifatnya yang inovatif, dapat diketahui dari mudahnya anggota
masyarakat menerima ide-ide baru tanpa harus meninggalkan
tradisi yang telah ada. Anggota masyarakat Bali mayoritas
beragama Hindu. Mereka terbagi ke dalam kelompok-kelompok
kekerabatan yang
(dalam ikatan
gal
jumlah anggotanya
kuren2),
dadiam4) Mereka
kecil ataupun besar
tunggal sanggah3) maupun
(tung-
juga terikat5) pada kesatuan hidup
I) Teknologi pengairan sawah di Bali telah dikenal
abad IX. Hal tersebut dikaitkan dengan adanya istilah
Undagi Pengarung (Tukang trowongan) yang disebutkan dalam
Prasasti Bebetin (896 M). Di pihak lain ada juga disebutkan bahwa Subak dikenal di Bali sejak tahun 1071 M, yang
berasal dari kata kasuwakan (lihat Pemda. Tk.1, 1985.
Monografi Daerah Bali).
2). 3) dan 4) diuraikan dalam bab V.
5) Geertz, C. dalam karangannya Form and Variation in
Balinese Village Structure, tahun 1959 menyatakan bahwa
orang Bali terikat pada 7 segi kehidupan, yaitu: 1) pada
kewajiban dalam melakukan pemujaan terhadap pura tertentu.
2) pada suatu tempat tinggal bersama, 3) pada pemilikan
tanah pertanian dalam subak tertentu, 4) pada suatu status
soasial atas dasar kasta, 5) pada ikatan kekerabatan atas
dasar hubungan darah dan perkawinan, 6) pada keanggotaan
7) pada suatu kesatuan
terhadap sekeha tertentu d a n
administrasi tertentu.
setempat yang disebut banjar dan desa adat
bentuk
sekeha.
Perilaku di
dalam
serta berbagai
pergaulan
kerabat,
banjar, desa adat maupun sekeha, diatur oleh s u a t u , n o r m a
tradisional yang disebut hukum adat')
bercorak
patrilineal,
berfungsi
dan awig-awig yang
s e b a g a i alat k o n t r o l
sosial.
Ditinjau dari segi penduduknya, penduduk Bali termasuk cukup padat.
k e perioda
1980
(tahun 1930 : 195;
: 438; dan
(lihat Pemda.
Kependudukan
berbagai
Kepadatannya yang meningkat dari perioda
1961 : 316;
1971 : 376;
1990 : 493 orang per kilometer persegi
Tk.
dan
masalah,
I Bali,
1985;
Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
antara
lain,
1992),
masalah
menimbulkan
ekonomi, yakni
1) Tidak ada kesatuan pendapat dari para ahli tentang
batasan hukum adat.
Snouck Hurgronye yang pertama kali
menggunakan istilah adat (diambil dari bahasa Arab)
m e n g a r t i k a n h u k u m a d a t ( a d a t r e c h t ) sebagai adat y a n g
mempunyai akibat hukum,
dibedakan dari adat yang tidak
mempunyal akibat hukum (dikutip dalam V. Vollenhoven.
1987:142. Penemuan Hukum Adat. Jambatan. Jakarta).
V.
Vollenhopen sendiri mengartikan hukum adat itu s e b a g a i
adat yang mempunyai sanksi atau yang mengandung paksaan
(lihat V.Vollenhoven. 1981:lO.
Orientasi dalam Hukum Adat
Indonesia. Jambatan. Jakarta). Dalam bukunya Penemuan
H u k u m Adat, ia m e n y a t a k a n bahwa hukum adat itu p e r l u
"ditemukannndari kehidupan rakyat Indonesia.
Ter
Haar
d a l a m bukunya Azas-azas d a n S u s u n a n Hukum Adat t i d a k
secara tegas memberikan dif.inisi tentang hukum adat,
akan
tetapi ia memberi petunjuk bahwa hukum adat yang berlaku,
dapat diketahui d a r i keputusan-keputusan para
Petugas
Hukum (Kepala Adat, Rapat Desa) yang dinyatakan d i dalam
d a n d i luar sengketa.
Supomo dalam bukunya Bab-Bab tentang Hukum Adat,
menyatakan bahwa suatu tingkah laku pada
suatu saat akan mendapat sifat hukum,
ketika etugas hukum
mempertahankannya dari s i pelanggar, atau ketika Petugas
Hukum mencegah terjadinya pelanggaran tersebut.
menyempitnya
lahan pertanian sebagai sumber mata
penca-
harian utama, karena sebagian dari lahan tersebut digunakan untuk tempat pemukiman dan sarana pembangunan lainnya;
masalah sosial,
yakni melimpahnya tenaga kerja yang tidak
diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai; masalah
budaya, yakni terjadinya perubahan nilai dalam keluarga,
khususnya nilai anak.
Menyempitnya
luas lahan pertanian karena
sebagian
telah berubah fungsi menjadi tempat pemukiman dan sarana
pembangunan lainnya, menyebabkan penguasaan atau pemilikan
tanah menjadi relatif sempit.
Berdasarkan data tahun 1983
luas pemilikan tanah dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1.
No.
Luas Pentilikan Tanah Tahun 1983
Luas pemilikan tanah
Persentase
Ditinjau dari kebutuhan minimal penguasaan atas tanah
pertanian untuk hidup suatu keluarga dengan tiga orang1)
anak adalah
0,75 ha
(Sajogyo, 1974),
data tersebut mem-
perlihatkan bahwa lebih dari 45 % penduduk Bali memiliki
tanah di bawah standar minimal.
Dewasa ini, standar mini-
mal untuk pengembangan sumberdaya manusia tidak cukup
ha-
nya ditentukan berdasarkan luas penguasaan tanah, akan
tetapi, juga
dilihat
hatan yang
digambarkan dengan angka kematian bayi dan
angka harapan hidup;
dari indikator lain,
yaitu
kese-
pendidikan yang digambarkan dengan
jumlah penduduk yang telah melek huruf;
digambarkan dengan pendapatan per kapita
ekonomi yang
(UNDP., 1991).
Berdasarkan perhitungan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) tahun 1980 dan 1990, Bali ternyata mencapai IPM 3,2
(tahun 1980) dan 5,2 (tahun 1990).
Dibandingkan IPM Indo-
nesia secara keseluruhan yang mencapai,3,O tahun 1980 dan
4,8 tahun 1990, maka IPM yang dicapai propinsi Bali lebih
tinggi.
Berdasarkan angka IPM ini, propinsi Bali menem-
pati rangking 8 tahun 1980 dan rangking 4 tahun 1990.
(Suko Bandiyono. dkk. 1991)
.
Hal ini berarti, bahwa pro-
pinsi Bali dalam perioda 1980-1990 mencapai kemajuan.
Apabila ditinjau dari Indeks Pembangungan
Development Index/SDI)
Sosial (Social
tahun 1990, propinsi Bali mencapai
1) Di Bali kebutuhan fisik minimal pekerja (buruh)
dengan tiga orang anak, tahun 1990 adalah Rp 209.290,03
per bulan (Kantor Statisik Bali, 1990).
SDI 0,631, sedangkan Indonesia hanya mencapai 0,514.
Berdasarkan angka SDI ini, propinsi Bali menduduki rangking 11 (BPS, 1992).
Apabila dibandingkan antara IPM dan
SDI yang dicapai propinsi Bali, keduanya sama-sama memper-
lihatkan bahwa propinsi Bali mencapai kedudukan di atas
rata-rata Indonesia. Hal ini merupakan suatu petunjuk
bahwa masyarakat Bali relatif berhasil menanggulangi
permasalahan penduduk.
Masalah kependudukan yang berkaitan dengan
gakerjaan,
ketena-
dapat diatasi dengan munculnya berbagai pelu-
ang usaha dan bekerja di bidang industri, khususnya indust r i p a r i w i s a t a yang dapat menyerap cukup banyak tenaga
kerja.
Malahan dewasa ini ada kecenderungan mata penca-
haraian pertanian ditinggalkan oleh generasi muda yang
mempunyai bakat,
keterampilan dan pendidikan yang memung-
kinkan mereka mendapatkan pekerjaan non pertanian. Pergeseran mata pencaharian dari pertanian ke non per-tanian
telah mulai tampak dalam perioda tahun 1971-1980.
Tahun
1971 penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian mencapai
6 6 , 7 % dan non pertanian 3 3 , 3
%,
sedangkan pada tahun 1980
tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian hanya 50,7
%
dan di luar pertanian telah mencapai 49,3 %
(Kantor
Statistik Propinsi Bali, 1971, 1980).
Di lain pihak, masalah kependudukan juga dapat
diatasi dengan keberhasilan masyarakat Bali melaksanakan
program KB.
1) Menurunnya
Hal ini dapat dilihat antara lain dari:
laju pertumbuhan penduduk dari perioda
sebelum dan sesudah program KB dilaksanakan secara intensif.
Sebelum program
KB dilaksanakan
(perioda tahun
1961-1971) pertumbuhan penduduk mencapai 1,75 %,
program ini diintensifkan
setelah
(dalam perioda tahun 1971-1980)
pertumbuhan penduduk menurun menjadi 1,69 % dan dalam
Jika
perioda 1980-1990 telah menurun lagi menjadi l,l8 %.
ha1 ini dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk
Indonesia pada perioda yang sama, yang secara berturutturut mencapai 2,10 ;
2,32
dan
1,98 %,
tampak dengan
jelas laju pertumbuhan penduduk propinsi Bali telah menurun secara tajam.
2) Menurunnya angka fertilitas total
(TFR) dari perioda ke perioda dan dalam perioda tahun
1971-1990 propinsi Bali telah mencapai penurunan 61,67
dibandingkan Indonesia yang hanya mencapai 44,74
%,
%,
se-
dangkan dalam perioda yang sama program KB mengharapkan
penurunan sejumlah 50
%.
Hal ini berarti bahwa propinsi
Bali selain mencapai penurunan yang lebih tinggi dari
rata-rata Indonesia, juga telah melampaui jumlah yang
diharapkan oleh program KB (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1992; BKKBN, 1988). Penurunan
fertilitas di Bali erat kaitannya dengan rendahnya angka
kematian bayi (tahun 1971:130; tahun 1980:92 dan tahun
1990: 51 per 1000 kelahiran, dibandingkan Indonesia pada
tahun-tahun yang sama hanya mencapai 145, 109 dan 71 per
1000 kelahiran) (BPS, 1993). Hal ini membawa konsekuensi
bahwa suami istri tidak akan menambah anak sebagai cadangan karena khawatir anaknya yang lain akan meninggal.
3)
Telah berubahnya struktur penduduk dalam perioda tahun
1971
-
1990, dalam ha1 ini penduduk usia 0-14 tahun sema-
kin berkurang diikuti dengan peningkatan penduduk usia
produktif, yaitu dari 53,3
%
tahun 1971 menjadi 65,2 %
tahun 1990. Sebagai konsekuensi dari keadaan ini, rasio
beban tanggungan penduduk menjadi semakin rendah, yaitu
87,6 tahun 1971 menjadi 77.6
1990
tahun 1980 dan 53,4 tahun
(Lihat piramid penduduk tahun 1971, 1980, 1990).
4)
Meningkatnya proporsi peserta KB aktif dari tahun ke tahun
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2.
Proporsi
Peserta
KB
Aktif
dari
1976-1990
Tahun
Persentasa
Sumber : BKKBN Propinsi Bali : Laporan Tahunan
Tahun
UMUR
-
J U M W I PENDUDUK
(Jiwa)
G a m b a r 1 . P i r a m i d a Penduduk Bali M e n u r u t Hasil
SP 1971 ( BPS., 1973)
Keterangan:
u
Laki-laki
P e re m p u a n
UMUR
JUMLAH PENDUDUK ( J i w a )
G a m b a r 2.
P i r a m i d Penduduk B a l i M e n u r u t SP 1980
(BPS., 1 9 9 2 )
Keterangan:
D
Laki-laki
UMUR
-
JUMLAH
PENDUDUK
(Jiwa)
Gambar 3. Piramid Penduduk Bali Menurut SP 1990
(BPS., 1992)
Keterangan:
Laki-laki
Berhasilnya Bali melaksanakan program KB juga disebabkan karena diperanankannya banjar
sebagai
giatan pelaksanaan program KB di pedesaan.
wadah ke-
Banjar dikenal
sebagai lembaga tradisional yang mempunyai: 1) hari-hari
pertemuan rutin tiap bulan yang disebut sangkepan banjar,
2) hari-hari pertemuan insidental yang disebut pesamuan
untuk membicarakan hal-ha1 yang bersifat penting termasuk
di dalamnya memperbincangkan ide-ide baru yang berkaitan
dengan
pembangunan, 3) wewenang mengambil keputusan
berdasarkan musyawarah mufakat, 4) awig-awig
tertulis
maupun tidak tertulis sebagai kaidah/norma yang berlaku
lokal dan berfungsi sebagai alat kontrol sosial, 5) kentongan
(kulkul) sebagai lambang solidaritas kelompok
merupakan alat komunikasi
yang
efektif
untuk menyampai-
kan berita yang dapat diterima secara luas dan
serempak
oleh warga masyarakat dan 6) suara kentongan dengan kode
tertentu yang telah dirumuskan dalam awig-awig yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum.
Sehubungan dengan keberadaan banjar seperti itu,
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali pada tanggal 8
Nopember 1976 mengeluarkan instruksi, yaitu instruksi No:
002/Ins/2/1976 yang isinya bahwa banjar secara bertahap
dipakai
wadah kegiatan pelaksanaan program KB d i pedesaan
untuk lebih mempercepat proses pelembagaan)')
dan pembu-
dayaan2) Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
(NKKBS).
Pelaksanaan program KB dengan sistem ini kemudian dikenal
sebagai KB SISTEM BANJAR.
Keberhasilan program KB di Bali, selain dapat dikaitkan dengan
hal-ha1
tersebut di atas, juga
dapat
dihu-
bungkan dengan terjadinya pergeseran mata pencaharian dari
pertanian ke industri.
keluarga
keluarga
besar
dalam
Masyarakat
pertanian mementingkan
(jumlah anak banyak) sebagai tenaga kerja
pertanian,
sedangkan masyarakat
industri
bukan banyaknya tenaga kerja yang diperlukan, melainkan
kualitas tenaga kerja, dalam ha1 ini tenaga kerja yang
mempunyai keterampilan d a n pendidikan formal tertentu.
Untuk
dapat mewujudkan
berpendidikan,
keluarga
tenaga kerja yang
terampil dan
besar akan menjadi beban. Dalam
1) Istilah pelembagaan (institutionalization) dipergunakan oleh Leopold von Wiese dan Howard Becker ) yang
berarti proses yang dilalui oleh suatu norma kemasyarakat a n baru, untuk menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan, sehingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai ,
dan
selanjutnya ditaati dalam kehidupan sehari-hari.
( d i k u t i p dalam S e l o S u m a r d j a n d a n Soelaeman Soemadi.
1964.
Setangkai Bunga Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakult a s Ekonomi, UI, Jakarta.
2 ) Proses pelembagaan t e r s e b u t dapat berlangsung
lebih jauh fagi, sehingga suatu norma kemasyarakatan tidak
saja melembaga (institutionalized) juga membudaya (internalized) dalam jiwa para anggauta masyarakat tersebut.
Apabila ha1 ini terjadi,
maka anggauta masyarakat dengan
sendirinya ingin berperilaku sejalan dengan peri kelakuan
yang memang seharusnya ditempuh olehnya, menurut keperluan
masyarakat. Proses ini dapat dikatakan sebagai pyoses
pembudayaan (internalization).
- . ->+.,,.
keadaan
seperti ini,
akan membentuk
anggota
masyarakat
cenderung
keluarga kecil. .Oleh karena
itu, wajar
apabila masyarakat Bali dengan mudah dapat menerima gagasan keluarga kecil yang dianjurkan dalam program KB.
Diterimanya program KB yang menganjurkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
DUA ANAK CUKUP,
(NKKBS) dengan slogannya:
LAKI PEREMPUAN SAMA SAJA, mempunyai arti
penting bagi masyarakat Bali, mengingat masyarakat setempat tarikat pada hukum a d a t yang berfungsi sebagai alat
kontrol sosial melalui lembaga b a n j a r , d e s a adat dan kerabat. Hukum adat yang isinya sebagian berasal dari unsurunsur agama Hindu pada prinsipnya mengutamakan anak lakilaki dalam keluarga dan masyarakat.
Oleh karena iu, dalam
pelaksanaan agama dan hukum adat di satu pihak dan program
KB d i pihak yang lain,
akan timbul kesenjangan. apabila
tidak ada anak (keturunan) laki-laki.
Dalam ha1 ini, pro-
gram KB cenderung mengarahkan anggota masyarakat
untuk
membentuk keluarga kecil dengan "anak dual' tanpa mempersoalkan jenis kelamin anak,
sedangkan agama Hindu d a n
hukum a d a t cenderung mendorong anggota masyarakat supaya
mempunyai anak laki-laki minimal seorang, dengan konsekuensi adanya kemungkinan
seseorang berusaha menambah anak
selama dalam perkawinannya
laki.
belum memperoleh
anak laki-
Kesenjangan tersebut menimbulkan permasalahan, yakni
bagaimanakah nilai-nilai dalam keluarga khususnya nilai
anak akan berubah?
Secara ringkas,
permasalahannya dapat
digambarkan sebagai berikut.
Anak laki-la
Anak laki-la
ki & perempu
ki mempunyai
nilai tinggi ++an mempunyai
dl-keluarga
nilai sama
-1
Nilai-nilai
agama Hindu
1
'.
ttg. hubung- r
an anak dan-+ Kaidah -kaiorang tua
dah (h-adat)
dalam kekera
A batan banjar
Tradisi yg. e- & desa adat
berhubungan
dengan anak
orang tua
norma lama
4.
Perilaku
nyata da
keluarga
1
tinggi
Ganbar
T
tinggi
norma baru
Perubahan Nilai Anak dalam Proses Berpengaruhnya Hukum Adat dan Program KB terhadap Perilaku Suarni Istri dalam Pembenbentukan Keluarga.
Hubungan antara anak
(keturunan) dan orang tua
(leluhur) yang mempunyai nilai keagamaan adalah utang
(hutang) dan ayahan (kewajiban adat)
.
Hutang anak kepada
orang tua (guru rupaka atau guru reRa) antara lain disebutkan dalam Manusmrti I1 : 227 sebagai berikut:
Yan matapitaran kleqam
sekete sambhawe rnzm
na tasya niskrtih cakya
kartum warsa catairapi
Artinya:
Penderitaan yang dialami oleh ibu dan ayah pada
saat lahirnya bayi (anak), tidak dapat dibayar
walaupun dalam seratus tahun.
Masyarakat Bali sendiri mengibaratkan keadaan nyawa
si ibu ketika melahirkan anak seperti : megantung d i boke
akatih (bergantung pada sehelai rambut).
Hutang anak kepada orang tua harus dibayar oleh anak
dengan
cara melakukan yadnya
(korban), baik pada
orang t u a masih hidup maupun setelah meninggal.
orang tua masih hidup,
anak wajib
saat
Ketika
menyenangkan dan
menghormati mereka dan setelah meninggalnya anak wajib
m e l a k u k a n yadnya ngaben
(sawa wedana) y a n g b e r f u n g s i
mengembalikan unsur-unsur panca maha butha
(berupa z a t
cair, udara, cahaya, zat padat d a n zat aetherjyang ada
pada badan m a n u s i a
unsur-unsur
(buana agung
(buana alit atau m i k r o k o s m o s ) k e
panca maha butha yang
atau makro kosmos).
anak harus melanjutkan melakukan
ada d i alam
semesta
Setelah upacara itu, si
yadnya memukur
(atma
wedana) atau disebut juga upacara sraddha yang berfungsi
untuk membersihkan atma a t a u r o h sebagai sarana u n t u k
mengantarkan leluhur menuju asalnya (Tuhan). Fungsi upacara sraddha tersebut disebutkan dalam Yayur Weda XIX
: 30
sebagai berikut: Sraddhaya satyam apyati (dengan sraddha
manusia akan mencapai Tuhan).
Konsep purusha-prakirti
dalam ajaran agama Hindu
melambangkan jiwatman yang bersifat kekal [purusha) dan
badan kasar yang mempunyai sifat berubah
(prakirti). ~i
-
prakirti lebih
dalam masyarakat sendfri konsep purusha
dikenal dengan istilah
purusha-predana
yang digunakan
dalam konteks laki-laki (purusha) dan perempuan (predana).
Konsep ini dapat dijadikan landasan untuk membedakan
antara fungsi anak (keturunan) laki-laki
dan perempuan,
yang dalam hal-ha1 tertentu tidak dapat digantikan oleh
yang lain.
Fungsi anak laki-laki (keturunan laki-laki)
lain dapat diketahui dari ayat 137 bab IX
antara
Menawa Dharma-
yang menyebutkan sebagai berkut:
castra
Melalui anak laki-laki ia menundukkan
dunia,
kekekalan,
melalui cucu laki-laki ia mencapai
dan melalui anak dari cucunya itu, ia mancapai
alam matahari.
Artinya:
Melalui keturunan laki-laki (purusha) tujuan
hidup orang tua (mencapai sorga) dapat dicapai.
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa anak perempuan
tidak menjalankan fungsi seperti yang disebutkan itu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan bunyi
ayat
tersebut,
berbeda
.
fungsi anak laki-laki dan perempuan
Perbedaan fungsi tersebut
menjiwai kaidah-kaidah
hukum adat yang berlaku di lingkungan
rakat, khususnya
kerabat dan masya-
dalam bidang perkawinan dan pewarisan.
Kaidah-kaidah hukum adat dalam kekerabatan, antara lain
tampak dalam ha1 pewarisan harta kekayaan (material) dan
kewajiban (immaterial) kepada leluhur dan tempat pemujaannya yang berupa sanggah/pamerajan). Kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan
dalam ha1
masyarakat banjar dan desa adat tampak
pewarisan
ayahan (nyalukin ayahan)
. '
dari
orang tua kepada anak laki-laki (purusha).
Penerimaan nilai-nilai agama oleh hukum adat, ada
kalanya dengan suatu modifikasi.
Seperti halnya yang
disebutkan dalam Manawa Dharmacasra IX : 108 di mana kedudukan dan peranan orang tua digantikan oleh anak laki-laki
tertua, tetapi ternyata di dalam hukum adat yang berlaku
secara umum di Bali,
kedudukan dan peranan orang tua
digantikan oleh anak laki-laki tertua apabila orang yang
bersangkutan berasal dari tri wangsa
(brahmana, ksatria
dan wesya) dan kepada anak laki-laki terkecil apabila
orang bersangkutan berasal dari sudra -wangsa. Hal ini
merupakan suatu pertanda bahwa kewangsaan juga memberi
corak pada kaidah-kaidah hukum adat yang berlaku di masyarakat.
Nilai-Nilai dalam agama Hindu dan kaidah-kaidah dalam
hultum adat berpengaruh terhadap
perilaku anggota masya-
rakat dalam pembentukan keluarga.
ban agama dan adat, orang-orang
anak laki-laki
Untuk memenuhi kewajicenderung
menginginkan
sehingga nilai anak laki-laki tinggi dan
sebagai konsekuensinya mereka cenderung
membentuk keluar-
ga besar apabila pasangan suami istri belum mempunyai anak
laki-laki dalam perkawinannya.
Setelah program KB dilaksanakan, gagasan-gagasan baru
tentang hubungan anak clan orang tua mulai diperkenalkan.
Program
tersebut menganjurkan
kepada masyarakat
untuk
membentuk keluarga kecil dengan "anak dual1 tanpa mempersoalkan jenis kelamin anak. Walaupun gagasan semacam ini
merupakan gagasan baru bagi masyarakat Bali, akan tetapi
ternyata diterima dan berpengaruh terhadap perilaku anggot a masyarakat dalam membentuk keluarga.
Berpengaruhnya
t e r h a d a p perilaku
keluarga,
program
KB d i samping hukum
anggota masyarakat dalam
adat
membentuk
akan menimbulkan perubahan nilai dalam keluar-
ga, khususnya nilai anak.
Perubahan ini penting diteliti
k a r e n a p e r u b a h a n nilai a n a k dalam keluarga m e m p u n y a i
kaitan yang erat dengan berbagai aspek kehidupan, antara
lain,
aspek keagamaan
(religius), sosial,
ekonomi dan
psikologis.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perrnasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rumusan Masalah
1.2
1.2.1
Bagaimanakah proses berpengaruhnya hukum adat ter
hadap
-
perilaku suami istri dalam membentuk keluar-
ga ?
1.2.2
Bagaimanakah proses berpengaruhnya program KB terhadap
perilaku
suami
istri
dalam membentuk ke-
luarga?
1.2.3
Bagaimanakah proses berubahnya
generasi
yang
lebih
tua
ke
nilai anak dari
generasi yang lebih
muda?
1.2.4
Bagaimanakah
sung
proses pengambilan keputusan berlang-
dalam
k e l u a r g a berkaitan dengan m a s a l a h
perjodohan dan tempat tinggal anak setelah menikah
( y a n g d i a t u r oleh a d a t dan agama sebagai n o r m a
kelompok)
dan masalah
pendidikan serta pekerjaan
yang dapat diatur secara pribadi?
1.2.5
Mengapa
program
KB di
Bali dapat berhasil tanpa
mengganggu eksistensi hukum adat?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian
ini d i l a k u k a n
dengan
tujuan s e b a g a i
berikut :
1.3.1
Untuk mengambarkan dan menjelaskanan proses berpengaruhnya hukum adaf
terhadap perilaku suami istri
dalam membentuk keluarga,
khususnya
terhadap ke-
inginan mereka mempunyai anak laki-laki.
1.3.2
Untuk menqgambarkan
ngaruhnya
program
dan menjelaskan proses berpeKB terhadap perilaku
tri dalam membentuk keluarga,
suami is-
khususnya dalam me-
rencanakan jumlah anak.
1.3.3
Untuk menggambarkan
proses
berubahnya
nilai anak
dalam keluarga.
1.3.4
Untuk menggambarkan dan menjelaskan proses pengambilan keputusan dalam keluarga.
1.3.5
Untuk menjelaskan keberhasilan
program KB di Bali,
yang dalam pelaksanaannya tidak mengganggu eksistensi hukum adat.
4.
Nilai anak
Manfaat Penelitian
mempunyai kaitan dengan berbagai aspek
kehidupan dalam masyarakat, antara lain, aspek kehidupan
religius, sosial, ekonomi, psikologis.
ada hubungannya dengan
nagakerjaan.
Selain itu, juga
kependudukan, kesehatan dan kete-
Adanya keterkaitan ini, menyebabkan data
yanq akan diperoleh dalam penelitian ini mengenai
ubahan nilai
terhadap jumlah anak,
per-
dapat dijadikan dasar
untuk menganalisis perubahan dalam berbagai aspek tersebut, khususnya yang berhubungan dengan
terjadinya peruba-
han nilai anak dalam keluarga. Analisis terhadap perubahan
semacam ini akan berguna bagi
Pemerintah
Daerah dalam mengambil lanqkah-langkah
Pusat maupun
lebih jauh untuk
menentukan dan memperbaiki kebijaksanaan yang terkait
dengan aspek-aspek tersebut. Selain itu, hasil penelitian
ini juga akan memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu
sosial, khususnya mengenai perubahan
1.5.
sosial.
Kerangka Pemikiran.
Perubahan masyarakat dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks, telah banyak disoroti oleh para ahli.
Terjadinya perubahan tersebut,
dilihatnya dari berbagai
kriteria. Parsons, dalam ha1 ini
menggunakan kriteria
"otonomi relatif" masyarakat dengan alam sekelilingnya dan
I1ciri-ciri strukturalslmasyarakat dengan daya adaptasi
yang lebih besar.
Ia menggunakan
istilah "diferensiasi
sosial" yaitu di satu pihak meningkatnya otonomi dari
struktur-struktur yang terpenting dalam masyarakat (seperti agama , politik, pemerinahan, sistem hukum dan ekonomi)
dan di pihak lain, timbulnya bentuk-bentuk integrasi baru.
(dalam Pudjiwati Sajogyo, 1985).
Menurut
Parsons, perubahan masyarakat dari tradi-
sional ke masyarakat yang lebih modern itu, diikuti oleh
adanya proses diferensiasi-integrasi.
1988).
Ia berpendapat, bahwa
(dalam Harrison,
studi mengenai perubahan
sosial selalu didahului oleh analisis
struktural-fung-
sional.
Analisis struktural-fungsional, antara lain telah
digunakan oleh M.
J.
Levy dalam menganalisis sistem
kekerabatan masyarakat Cina.
daan
suatu sistem
Menurut Levy, untuk kebera-
kekerabatan,
diperlukan
adanya
lima
macam fungsi/substruktur yaitu:
1.
Diferensiasi
peranan, yakni cara mendudukkan
anggota-
anggota kerabat pada berbagai posisi dalam
kekerabatan itu berdasarkan
sistem
fungsi masing-masing
pertimbanqan perbedaan umur,
seks, generasi,
atas
posisi
ekonomi dan pembagian kekuasaan.
2.
Alokasi solidaritas,
yakni
berbagai tingkatan soli-
daritas yang diduddckan dalam berbagai hubungan antara
anggota-anggota kerabat menurut makna hubungan
(misal-
nya kasih sayang), antara s i a p a hubungan-hubungan
tersebut terjalin, kuatnya hubungan
macam
apa y a n g
lebih
kuat
(misalnya hubungan
dan diutamakan,
apakah
hubungan suami istri ataukah orang tua anak dan sebagainya) dan daya tarik timbal balik yakni perasaanperasaan macam apa (rasa takut, hormat dan sebagainya)
yang perlu dihubunqkan.
3.
Alokasi ekonomi, adalah keperluan komsumsi para anggot a kerabat akan barang dan jasa
perumahan dan
lain-lain) yanq
(makanan, pakaian,
harus dipenuhi dengan
usaha produksi barang d a n jasa para
anggotanya
itu
pula.
4.
Alokasi kekuasaan/kewibawaan,
s a a n kepada tokoh-tokoh
adalah pemberian kekua-
t e r t e n t u untuk m e n g o n t r o l
tindakan anggota-anggotanya,
dengan memberi
,
sanksi-r
,-
/-u-\,f
-7
'
sanksi serta mendudukkan tanggungjawab dalam ha1 itu,
ke dalam maupun terhadap pihak luar/masyarakat. Diperlukan adanya keseimbangan antara kekuasaan dan tanggungjawab, atas dasar kesamaan dan timbal balik ataupun atas dasar khirarki.
5.
Alokasi integrasi
dan ekspresi, yakni proses sosial-
isasi anak/anggota baru karena perkawinan atau dipungut, yaitu cara mendidik dan memelihara nilai-nilai
sikap dan tatacara sistem kekerabatan itu (integrasi)
dan cara-cara bagaimana seseorang anggota kerabat
dibenarkan menyatakan diri sebagai reaksi atas berbagai soal yang mengenai dirinya (ekspresi).
Model analisis ini relevan digunakan dalam menganalisis sistem kekerabatan di Bali yang bercorak patrilineal.
Berdasarkan analisis ini akan dapat dijelaskan berbagai
hubungan timbal balik antara orang tua dan anak di satu
pihak, antara anak laki-laki dan perempuan di pihak yang
lain.
Hubungan-hubungan tersebut dapat dilihat dari adanya
diferensiasi peranan berdasarkan atas pertimbangan perbedaan generasi (orang tua dan anak) dan atas dasar jenis
kelamin (anak laki-laki dan perempuan).
Dalam hubungan
antara orang tua dan anak tampak bahwa pada tahun-tahun
pertama seseorang menjadi anak, ia tergantung pada asuhan
orang tuanya dan pada tahap-tahap akhir di saat seseorang
usianya sudah lanjut, ia tergantung dari anak-anaknya yang
telah dewasa.
Dalam hubungan ini, dapat dilihat adanya
peranan yang berbeda antara anak laki-laki yang akan tetap
tinggal di dalam lingkungan kerabat dan anak perempuan
yang akan keluar dari lingkungan kerabat setelah menikah.
Analisis tentang hubungan
laki-laki &an
perempuan
dalam lembaga keluarga dapat dilengkapi dengan menggunakan
"analisis gender"1) yaitu dengan cara membandingkan posisi
d a n peran antara kedua j e n i s kelamin tersebut.
c a r a ini, dapat dilihat
peranan antara anak
adanya
perbedaan
Melalui
posisi d a n
laki-laki dan perempuan dalam ke-
hidupan kerabat dan masyarakat.
Hubungan antara orang t u a d a n anak dalam keluarga,
dapat juga dijelaskan dengan cara melakukan analisis tingkat solidaritas.
Hal ini dapat digunakan untuk mengetahui
apakah suatu keluarga lebih mengutamakan hubungan antara
orang tua dan anak ataukah antara suami d a n istri. H a l
yang pertama memperlihatkan
t u a dan anak lebih kuat.
bahwa hubungan antara orang
Ini berarti, bahwa anak mempu-
nyai posisi dan peranan penting dalam kehidupan orang tua.
Posisi ekonomi antara anggota keluarga terutama dalam
usaha pemenuhan konsumsi
atas barang dan jasa serta upaya
untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa tersebut, juga
I) Mengenai analisis gender dapat dibaca lebih lanjut
and Gender : The Human Experidalam J.A. Doyle. 1985:Sex
ence. Wm.C. Brown Publisher. Iowa. Lihatt juga R.W. Connell. 1987. Gender and Power: Society, T h e Person and
Sexual Politic. Polity Press. Cambridge.
dapat digunakan untuk menganalisis hubungan antara orang
t u a dan
anak dalam
sistem
kekerabatan
d i Bali.
Tampak
bahwa secara normatif pada tahap-tahap awal orang tualah
yaitu
suami dibantu
memelihara
anak
oleh
istri yang
termasuk m e m b u a t k a n
bertanggungjawab
berbagai
upacara
selamatan dan sebaliknya setelah orang tua lanjut usia,
anak-anak
yang
sudah dewasa
bertanggungjawab
memberi
jaminan hidup bagi orang t u a dan setelah meninggalnya,
anak mempunyai kewajiban melakukan yadnya ngaben (pembakaran jenasah orang tua).
Hubungan antara orang tua dan anak di dalam keluarga
dapat juga dijelaskan dengan melakukan analisis pembagian
kekuasaan dalam keluarga, yaitu dengan cara melihat siapakah merupakan
tokoh-tokoh
mengambil keputusan.
yang
d i b e r i wewenang
untuk
Dalam ha1 ini, pengambilan keputusan
tersebut merupakan ciri dari adanya kekuasaan dalam keluarga.
Menurut
Blood dan Wolfe,
kekuasaan dan pembagian
kerja merupakan ha1 yang paling mendasar dalam keluarga.
Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan atau masyarakatnya. Mereka mengatakan bahwa dalam hubungan pria dan
wanita
(suami dan istri) berdasarkan perkawinan, masing-
masing mempunyai potensi untuk mempengaruhi perilaku orang
lain. Kekuasaan masing-masing
suami dan istri oleh kedua
belah pihak dianggap "wajaru, karena itu diakuinya sebagai
wewenang
(authority) masing-masing.
penulis tersebut juga melihat
wewenang, yang mendorong
yaitu
adanya
sumberdaya
yakni
penguasaaan
Di samping itu, kedua
adanya faktor lain, selain
suami istri mengambil keputusan,
pribadi
(personal resources),
sumber-sumber
yang mempunyai
berharga, seperti tanah, uang, keterampilan,
pengetahuan
ritual dan sebagainya yang oleh masing-masing
istri disumbangkan k e dalam perkawinan.
nilai
suami dan
Hal ini dikatakan
pula oleh Rogers (dalam Pudjiwati Sajogyo, 1983).
D.H.
Olson dan R.E
Cromwell
k e k u a s a a n d a l a m keluarga.
(1975) melihat
t i d a k hanya
adanya
terbatas pada
kekuasaan suami dan istri, akan tetapi lebih luas dari
itu, mereka juga melihat kekuasaan yang ada pada setiap
anggota keluarga secara individu. Menurut mereka, kekuasaan keluarga adalah kemampuan atau potensi anggota keluarga secara individu untuk mengubah
perilaku
anggota
keluarga lainnya. Mereka mengatakan kekuasaan keluarga
tersebut mencakup
tiga bidang,
yaitu:
kekuasaan keluarga
(bases of family power) yang terdiri
1) dasar-dasar
dari sumberdaya pribadi yang dapat meningkatkan kemampuan
untuk melaksanakan kontrol dalam
kekuasaan keluarga
suatu situasi, 2 ) proses
(family power processes) yang memusat-
kan pada interaksi pada anggota keluarga. Hal ini menyangkut proses yang terjadi selama diskusi
bilan keputusan, pemecahan masalah
keluarga, pengam-
dan lain-lain.
3) kon
sekuensi dari adanya kekuasaan keluarga
(family power
outcome) tersebut, yakni berkenaan dengan siapa-siapa
dalam keluarga yang akhirnya membuat keputusan.
Masyarakat Bali yang patrilineal, secara normatif
memberikan kekuasaan kepada laki-laki, oleh karena itu,
wajar apabila laki-laki akan lebih sering mengambil keputusan, terutama dalam hal-ha1 yang berkaitan dengan adat.
Kenyataannya, dalam hal-ha1 tertentu yang tidak berkaitan
dengan adat, pengambilan keputusan dilakukan oleh suami,
istri, juga anak-anak yang telah dewasa. Hal seperti ini
terungkap antara lain dalam penelitian Astiti (1986) di
Desa Kamasan, Klungkung, Bali dan penelitian Astiti dan
Astika (1984) di Desa Melinggih, Payangan, Gianyar Bali.
Adanya variasi dalam pengambilan keputusan tersebut merupakan bukti bahwa di luar kekuasaan normatif, ada ha1 lain
yaitu sumberdaya pribadi yang menjadi dasar kekuasaan
anggota keluarga dalam mengambil keputusan.
Integrasi anggota keluarga dalam sistern kekerabatan
di Bali tampak dalam ha1 bagaimana nilai-nilai, norma dan
kebiasaan dalam keluarga disosialisasikan kepada anggota
keluarga, khususnya anggota baru karena perkawinan (dalam
ha1 ini menantu) dan karena dipungut (dalam ha1 ini anak
angkat)
.
Ekspresi dari anggota keluarga yang berupa reaksi
terhadap persoalan-persoalan yang mengenai dirinya, banyak
t e r j a d i dalam h a 1 perjodohan
tua. Dalam
orang
ha1
ini,
yang
t i d a k mendapat
si anak menunjukkan
terhadap tidak adanya persetujuan
restu
reaksi
tersebut, dengan card
menempuh kawin lari (ngerorod).
H. Geertz d a n C . Geertz
( 1 9 7 5 ) dalam upaya memahami
kekerabatan orang Bali, membuat pemisahan antara dimensi
budaya
(cultural dimension) d a n struktur
sosial
(social
structure). Dimensi budaya mengacu pada gagasan-gagasan,
kepercayaan dan nilai-nilai
sebagai anggota kerabat.
yang relevan dengan perilaku
Gagasan, kepercayaan dan nilai-
nilai tersebut diabstraksikan dan dibedakan dari perilaku
nyata yang berpola dan dari hubungan-hubungan
di.
G a g a s a n , kepercayaan
dan
nilai
antar priba-
t e r s e b u t berkenaan
d e n g a n sifat hubungan antara orang t u a d a n anak, leluhur
dan keturunan dan antara individu sesama keturunan.
Gagasan-gagasan yang berkenaan dengan hubungan antara
orang
berupa
tua dan anak
pada
gagasan mengenai
masyarakat
pewarisan
Bali,
harta
antara
lain,
kekayaan
dan
t a n g g u n g jawab a n a k u n t u k m e n g g a n t i k a n orang t u a d a l a m
melaksanakan kewajiban d i masyarakat banjar dan desa adat
serta d i lingkungan kerabat terhadap para
leluhur.
Keper-
c a y a a n yang berkaitan d e n g a n hubungan antara leluhur d a n
keturunan, antara
reinkarnasi
lain, d a p a t dilihat dalam kepercayaan
(penjelmaan kembali) arwah leluhur ke d u n i a
melalui keturunannya dan peranan anak sebagai penyelamat
a r w a h leluhur menuju surga.
Nilai-nilai
yang berkenaan
dengan hubungan orang tua dan anak, antara lain, berupa
utang
(hutang) dan ayahan (kewajiban yang bersifat adat
dan keagamaan) . Gagasan, kepercayaan dan nilai-nilai
tersebut mempengaruhi perilaku warga masyarakat dalam
membentuk keluarga.
Menurut Stinchcornbe (1968) perilaku seseorang dapat
dipengaruhi secara bersamaan oleh lingkungan (group culture) dan pola kekuasaan. Dalam hubungan ini, lingkungan
yang berpengaruh terhadap perilaku suami sitri dalam
membentuk keluarga adalah : 1) lingkungan kebudayaan lokal
yang tercermin dalam agama Hindu dan hukum adat yang
bercorak patrilineal, yang memberikan posisi dan fungsi
yang penting kepada anak laki-laki dan 2 ) lingkungan kebudayaan nasional yang tercermin dalam gagasan program
Keluarga Berencana yang menempatkan anak laki-laki dan
perempuan sama dalam keluarga dan masyarakat. Pola kekuasaan yang berpengaruh terhadap perilaku suami istri dalam
membentuk keluarga, berasal dari: 1) kekuasaan para elit
desa adat (dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum adat) dan
2)
kekuasaan para elit pemerintah
(dalam hubungannya
dengan pelaksanaan program KB).
Hukum adat dan program Keluarga Berencana merupakan
dua lembaga yang berbeda. Dalam prosesnya mempengaruhi
perilaku seseorang,
di satu pihak dapat timbul konplik
kelembaqaan dan di pihak lain dapat pula timbul integrasi
kelembagaan. Menurut Stinchcombe,
konflik kelembagaan ini
adalah pertentanqan antara nilai-nilai yang berhubunqan
denqan kekuasaan dalam daerah kelembaqaan yanq berbeda,
sedanqkan yang dimaksud
inteqrasi kelembaqaan adalah
nilai-nilai yang sama yang berhubungan denqan kekuasaan
dalam daerah kelembaqaan yang berbeda.
ha1 adanya perbe-
Pertentangan nilai terdapat dalam
daan konsep antara hukum adat dan program KB tentang nilai
Dalam hukum adat nilai anak
anak laki-laki dan perempuan.
laki-laki dan perempuan dibedakan, sedangkan dalam program
KB, nilai anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Inte-
grasi nilai dalam kedua daerah kelembaqaan tersebut terjadi dalam ha1 nilai keluarga kecil. Konflik dan integrasi
antara kedua kelembagaan tersebut
dapat digambarkan
sebaqai berikut:
Daerah kelembagaan hukum adat
Anak laki-laki mempunyai nilai yang berbeda denqan anak perempuan
Nilai keluarga
keci1
Anak laki-laki
mempunyai nilai
sama
dengan
anak perempuan
Daerah kelembaqaan program KB
Gambar 5. Konflik dan inegrasi antara kelembagaan
hukum adat dan program KB, berkaitan
dengan tiilai anak
Aspek nilai anak yang akan diteliti dalam penelitian
ini meliputi aspek nilai religius, sosial, ekonomi dan
psikologis. Aspek-aspek ini merupakan pengembangan dari
aspek nilai anak yang disoroti oleh M. Singarimbun, dkk.
(1977) dalam proyek Nilai Anak
Internasional (Value of
Children/VOC). Nilai anak yang menjadi
sorotan dalam
proyek ini adalah nilai sosial, ekonomi dan psikologi.
Menambahkan aspek nilai religius anak dalam penelitian
ini, didasarkan atas pertimbangan bahwa penelitian ini
dilakukan dalam masyarakat
Bali yang patrilineal dan
menganut religi Hindu yang berpengaruh kuat terhadap
perilaku suami istri dalam membentuk keluarga. Atas pertimbangan tersebut, aspek nilai religius anak dipandang
sangat penting untuk ikut disoroti.
Untuk lebih memperjelas konsep pemikiran tersebut di
atas, maka perlu diberikan beberapa difinisi sebagai
ber ikut :
Yang dimaksud
Hukum adat dalam penelitian ini adalah
hukum rakyat asli yang tumbuh dari tradisi masyarakat,
umumnya tidak tertulis (tidak dibentuk oleh lembaga legislatfif), mempunyai kekuatan mengikat dan dipertahankan
oleh anggota masyarakat dengan cara mengenakan sanksi atau
konsekuensi hukum terhadap pelanggarnya. Hukum adat yang
dimaksud di sini
adalah hukum adat Bali, yakni hukum yang
tumbuh dari tradisi masyarakat Bali dan sebagian unsurnya
berasal dari hukum agama Hindu, umumnya tidak tertulis,
tetapi sebagian ada yang disuratkan dalam bentuk a w i g awig, mempunyai kekuatan mengikat dalam masyarakat dan
dipertahankan dengan cara mengenakan sanksi atau konsekuensi hukum terhadap pelanggarnya.
Hukum adat berlaku positif apabila kaidah-kaidah yang
terkandung di dalamnya diikuti atau ditaati oleh warga
masyarakat setempat.
Dalam'keadaan demikian, dapat juga
dikatakan bahwa hukum adat itu berpengaruh terhadap perilaku anggota masyarakat.
Program KB adalah program pemerintah dalam bidang
kependudukan. Program KB dikatakan berpengaruh terhadap
perilaku anggota masyarakat, apabila gagasan-gagasan yang
dianjurkan dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota
masyarakat.
Pengertian anak dan orang tua dalam penelitian ini
mencakup pula keturunan dan leluhur. Oleh karena itu,
hubungan antara orang tua dan anak termasuk juga hubungan
antara leluhur dan keturunan.
Yang diamksud nilai anakl) adalah peranan yang dimainkan oleh anak-dalam kehidupan orang tuanya, termasuk
1) T.J.
Esphenshade (1977) mengatakan nilai anak
sebagai fungsi-fungsi yang mereka lakukan dan kebutuhan
yang mereka penuhi untuk orang tua. (The Value of Children
can be thought as the functions they serve or needs they
fullfil for parents.
I
di dalamnya peran n ideal, peranan yang diharapkan dan
peranan yang aktual, dalam bidang religius, sosial, ekonomi dan psikologis.
Nilai religiu
anak dalam penelitian ini diartikan
sebagai peranan ya g dimainkan oleh anak dan diharapkan
oleh orang tua, yan
berguna bagi kehidupan orang tua atau
leluhur dalam hidup ya di dunia akhirat.
Nilai sosial anak dapat diartikan sebagai peranan
yang dimainkan oleh anak dan diharapkan oleh orang tua
unuk menggantikan pelaksanaan kewajiban orang tua dalam
hidupnya sebagai anggota masyarakat.
Nilai ekonomi anak diartikan sebagai peranan yang
dimainkan oleh anak dan diharapkan oleh orang tua untug
menjamin orang tua dalam usianya yang telah lanjut.
Nilai psikologis anak yang dimaksud di sini adalah
peranan yang dimainkan oleh anak dan diharapkan oleh orang
tua untuk memberi kesenangan, kebahagiaan, rasa aman,
kepuasan dan kasih sayang dalam kehidupan pribadi orang
tua.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas,
dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1
Keinginan
suami istri
mempunyai anak laki-laki dalam
keluarga dipengaruhi oleh pertimbangan atas dasar
hukum adat.
2
Keinginan suami
e
istri membentuk keluarga kecil dipe-
ngaruhi oleh p rtimbangan atas dasar program Keluarga
Berencana.
3
P
Gagasan "keluar a kecilw, lebih mudah diterima diban-
4
1
dingkan gagas n
dalam pergantia
4
Gagasan
I8anak laki-laki perempuan sama8',
generasi.
"anak laki-laki perempuan sama" lebih mudah
dapat diterima dalam aspek kehidupan yang tidak berkaitan dengan,adat dan agama, dibandingkan dengan
aspek kehidupan yang diatur oleh adat dan agama adat.
5
Pengambilan keputusan dalam keluarga yang berkenaan
dengan aspek-aspek kehidupan anak, didominasi oleh
laki-laki. Dominasi laki-laki dalam mengambil keputusan lebih menonjol dalam aspek kehidupan yang diatur
oleh adat dan agama dibandingkan dalam aspek kehidupan
anak yang dapat diatur secara pribadi.
BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA
Tujuan membentuk
keluarga
adalah untuk memperoleh putera,
y a k n i putera utama. Nilai
antara
menurut
agama
terutama yang
Hindu
suputera,
seorang putera yang suputera
lain dilukiskan dalam
kitab
slokantara
sebagai
ber ikut :
Kupasatad wai paraman sarati, sarah satad wai
parama pi yajnah, y a j n a h satad wai parama p i
putrah
Kalinganya, hana pwekang megawe sumur satus, alah
ika dening megawe telaga tunggal, lwih ikang megawe telaga.
Hana pwekang megawe telaga satus, alah ika phalanya dening wang gumawe yadna pisan.
Ananta lwih ing gumawe aken yajna,
kunang
ikang
wenang meyajna ping satus, alah ika phalanya den i n g k a n g w a n g m e a n a k t u n g g a l , y a n a n a k ika
wisesa.
Kalinganya ikang manak aneka, ta lwih phalannya.
(dalam Warta Hindu Dharma No. 251).
.
Artinya :
Membuat sebuah telaga untuk umum lebih baik dari
pada membuat seratus sumur.
Melakukan yadnya (korban) sekali lebih baik daripada membuat seratus telaga untuk umum.
Mempunyai seorang putera
utama (suputera) lebih
tinggi pahalanya
daripada
melakukan
seratus
yadnya.
Dalam salah satu bait kekawin Nitisastra, disebutkan
sebagai berikut:
Sang Hyang Candera Tranggana pinaka dipa memadangi ri kalaning wengi.
Sang Hyang Surya sedeng
prebase pinake dipa memadangi ri bhumi mandala.
Widya sastra sudharma dipanikanang
tri bhuwana
sumena prabhaswara.
Yan ring putera, suputera sadhu gunawan memadangi
kula wandhu wandhana.
Artinya:
Bulan dan bintang sebagai pelita yang menerangi
di waktu malam,
Matahari yang sedang terbit, sebagai pelita
menerangi bumi,
Ilmu pengetahuan dan sastera, sebagai pelita
menerangi dunia secara sempurna
Kalau di kalangan putera, putera utama (suputera)
sebagai pelita menerangi seluruh keluarga.
Berdasarkan kedua sumber, Slokantara dan Nitisastera
tersebut, dapat ditafsirkan bahwa dalam keluarga
Hindu,
sebenarnya bukan banyaknya anak yang dipentingkan, melainkan kualitas anak. Anak yang berkualitas baik, dapat
memberikan kebahagiaan bagi orang tua, masyarakat, bangsa
dan negara. Sebaliknya, anak yang berkualitas jelek dapat
membawa kehancuran dunia.
Berbicara masalah kualitas anak, sebagai ilustrasi
dapat diambil
ceritera pewayangan Mahabrata.
Pandhu yang berjumlah 5 orang
Putra Prabu
(Pendawa Lima) dikenal
sebagai putra yang berkualitas baik. Mereka adalah penegak
dharma (kebenaran). Sebaliknya, putra-putra Prabu Drestarata yang berjumlah seratus
(Seratus Korawa) , dikenal
sebagai putra-putra yang berkualitas buruk, yang membawa
mala petaka.
Apabila seseorang tidak mempunyai putra yang baik,
putra yang tidak baikpun dapat menggantikan
kedudukan
putra yang baik bagi leluhur yang menderita di akhirat.
Hal itu disebutkan dalam ayat 161 Menawa Dahrmasastra bab
I X , yang bunyinya sebagai berikut:
juya yang diperoleh sebagai pahala dalam
Apapun
mengarungl lautan dengan memakai perahu yang
tidak aman,
demikianlah umpamanya anak yang
tidqk baik dimaksudkan menggantikan kedudukan
anak yang baik bagi keluarga yang menderita di
akhirat .
Bagi seseorang, bukan hanya mempunyai putra yang
penting, akan tetapi supaya putranya itupun mempunyai
putra yang akan menyambung keturunannya. Melahirkan dan
memelihara keturunan merupakan salah satu card untuk
membayar hutang kepada orang tua
(BKKBN, 1985) karena
dengan melahirkan anak orang tua akan mempunyai cucu dan
add anggapan
bahwa setelah mempunyai cuculah seseorang
baru mencapai tujuan hidupnya.
diungkapkan dengan pernyataan
menyelamatkan si kakek).
Di masyarakat Bali ha1 ini
I cucu nyupat I kaki. (Cucu
Penjelasan terhadap ha1 ini
dapat disimak dari ceritera mitos si Jaratkarul) yang
menceriterakan tentang pertemuan si Jaratkaru dengan arwah
leluhurnya yang hampir jatuh ke neraka. Dalam pertemuannya
itu, roh leluhurnya berkata sebagai berikut:
1) Periksa Adiparwa bab V.
Dapat dibaca pula I.G.K.
Jelantik "Putra Sesana" dalam majalah Warta Hindu Dharma
No.60 tahun 1972. hal. 3 .
Mahante hetu mamin pegat sakeng pitra loka, meqantungan petung sawulih hanken tibeng neraka
loka, tattwa nihang petung sawulih hana wangsa
mami asiki, Jaratkaru ngaranya, adan moksa witha
ya mahyun luputeng sarwa janma bandana, tatan
pastri, ya cukla brahmacari.
Terjemahan:
Beginilah akibatnya mengapa saya putus hubungan
pada sebilah
dengan dunia atman kini terqantung
bambu, hampir jatuh ke neraka. Adanya sebilah
bambu ini karena saya masih mempunyai seorang
keturunan yang bernama Jaratkaru, tetapi berkeinginan untuk tidak kawin, ia menjalankan cukla
bhrahmacari.
Jawaban si Jaratkaru:
Hanan pwa margantha, muliheng swargha, tan sangcaya rahadyan sangnulun kabeh, marya nghulun
bhrahma carya ametanah bi panaka ni nghulun.
Artinya:
Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah
ragu dan takut, hamba akan berhenti menjalankan
bhrahmacari. Hamba akan kawin dan memperoleh
anak
.
Beberapa sumber tersebut menunjukkan betapa pentinqnya peranan yang dimainkan oleh keturunan dalam kehidupan
orang tua di dunia dan setelah di akhirat.
Oleh karena
itu jika seseorang tidak berhasil memperoleh keturunan
dalam
perkawinannya, suami istri berupaya mendapatkannya
dengan mengangkat anak (mengadopsi) dari keluarga lain
yang ada hubungan kerabat dengan mereka. Upaya tersebut
diatur dalam
Menawa Dharmasastra IX : 141.
Keturunan yang dimaksud di sini adalah keturunan
laki-laki. Fungsi keturunan laki-laki disebutkan dalam
Menawa Dharmasastra IX : 137, yaitu sebagai berikut:
Melalui anak laki-laki ia menundukkan dunia, melalui cucu laki-laki ia mencapai kekekalan dan
melalui anak dari cucu itu ia mencapai alam
matahari .
Maksudnya:
melalui keturunan laki-lakilah tujuan hidup orang
tua tercapai.
Seseorang yang tidak mempunyai keturunan laki-laki
dalam perkawinannya, dapat mengangkat anak perempuannya
sendiri sebagai s e n t a n a r a j a g
yang kedudukannya sama
seperti anak laki-laki. Hal tersebut di atur dalam Menawa
Dharmasastra IX : 127-140.
Peranan yang bersifat keagamaan yang dimainkan oleh
keturunan, khususnya keturunan laki-laki dalam kehidupan
orang tua di dunia maupun di akhirat itu, memberi corak
patrilineal pada hukum adat yang berlaku secara positip di
masyarakat Bali.
Corak patrilineal tersebut tampak antara
lain dalam kaidah-kaidah pewarisan, Pewarisan menurut
hukum adat Bali meliputi pewarisan atas hak berupa harta
kekayaan material maupun pewarisan kewajiban yang bersifat
adat dan keagamaan, seperti pewarisan tanggungjawab/kewajiban memelihara dan melakukan upacara ritual di tempat
pemujaan leluhur (sanggah) serta pewarisan ayahan (kewajiban adat) ke masyarakat banjar dan desa adat.
Menurut hukum adat Bali, yang tergolong sebagai ahli
waris adalah :
(Pangkat, 1972;
Paneca, 1986).
1)
Setiap laki-laki dalam hubungan purusa')
selama tidak
terputus haknya untuk menerima warisan.
2)
Setiap
sentana
rajeg
selama
tidak terputus haknya
untuk menerima warisan.
Seorang anak laki-laki terputus haknya untuk menerima
warisan antara lain apabila :1) diangkat anak (diadopsi)
oleh keluarga lain, 2) kawin keluar menjadi suami sentana
rajeg, 3) pindah agama.
4)
durhaka kepada pewaris. Seorang
sentana rajeg terputus haknya menerima warisan, apabila:
1) pindah ke agama lain, 2) tidak melaksanakan kewa-
jibannya sebagai sentana rajeg, misalnya apabila kawin
keluar meninggalkan statusnya sebagai sentana rajeg).
Kedudukan keturunan laki-laki sebagai ahli waris sudah
pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indo- nesia
antara lain dalam yurisprudensi
tertanggal
24
No.32
K/Sip/1971,
Maret 1971. Dalam yurisprudensi tersebut
dengan tegas disebutkan bahwa ahli
waris menurut hukum
adat Bali adalah keturunan laki-laki.
Kaidah-kaidah hukum adat yang bercorak patrilineal
tersebut, mempengaruhi perilaku anggota masyarakat (dalam
ha1 ini
suami istri) dalam
membentuk keluarga.
Pengaruh
tersebut tampak dalam ha1 adanya kecenderungan mereka
lebih mengharapkan lahirnya anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan.
1) Pengertian purusa
lebih luas dari pengertian
laki-laki. Didalamnya termasuk laki-laki dan perempuan
yang berstatus laki-laki (sentana rajeg).
Suami istri dalam keluarga tradisional cenderung
ingin menambah anak
laki-laki,
atau,
seorang, masih
apabila
mereka belum memperoleh anak
mereka hanya mempunyai anak
ingin menambah
Konsekuensinya,
laki-laki
anak laki-laki lagi.
mereka cenderung membentuk keluarga
besar. Kecenderungan ini dipengaruhi pula oleh adanya
kepercayaan di masyarakat tentang "banyak anak banyak
.
rejekiww
Suami istri dalam