Penutup TERBITAN BERKALA BADAN NASIONAL PENANGGU

11 Sumber: Yusdani 2001.

7. Penutup

Mekanisme masyarakat dalam menghadapi kejadian coping mechanism terbentuk dan lahir dari pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dan pemaknaan terhadap setiap kejadian, fenomena, harapan dan masalah yang terjadi di sekitarnya. Mekanisme tersebut diteruskan lewat proses sosialisasi dari generasi ke generasi dan pelaksanaannya tergantung pada kadar kualitas pemahaman dan implikasinya dalam kehidupan mereka. Dalam kejadian erupsi Gunung Merapi terjadi perjumpaan antara pengetahuan lokal yang dipraktekan oleh institusi lokal juru kunci Merapi dengan pemegang mandat mbah Maridjan dan pengetahuan modern yang dijadikan acuan oleh pemerintah melalui “mbah” Surono selaku Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi KPVMBG Kementerian ESDM. Pengetahuan lokal yang dipahami dan dianut oleh sebagian masyarakat di lereng merapi, melihat gunung Merapi bersifat dualistik; pada satu sisi memberikan kehidupan bagi mereka, namun di sisi lain bisa mengambil kembali kehidupan yang diberikan pada mereka. Sedangkan pengetahuan modern tentang Merapi hanya melihat pada satu sisi, di mana Merapi merupakan ancaman bagi masyarakat yang tinggal di lereng merapi. Kontestasi pengetahuan dan cara pandang ini menghasilkan sikap yang berbeda pada waktu terjadi erupsi merapi, mbah Maridjan dan pengikutnya lebih memilih untuk tidak mengungsi meskipun dibujuk dan dipaksa untuk mengungsi. Pada saat erupsi Merapi tahun 2010 yang mengakibatkan meninggalnya Mbah Maridjan sebagai simbol penganut pengetahuan lokal, tidak berarti pengetahuan lokal kehilangan pengaruhnya atas masyarakat yang tinggal di lereng Merapi. Hal ini terlihat dari berbagai 9. Hubungan diri dengan Merapi adalah sumber belajar, menghormati dengan Sang Khalik mengamalkan keberagaman, sebagai makhluk yang lemah 10. Ledakan penanda Pertautan diri dalam kemahakuasaan Gusti Allah; tidak letusan merusak lingkungan Merapi; pentingnya hubungan sosial Pasca Letusan 11. Kesan keberagaman Menyebut kebesaran Gusti Allah, berbagi dengan sesama tentang letusan korban 12. Pengalaman sebagai Tata kelola barak tidak optimal, informasi tidak tertata, warga yang mengungsi tanpa gugus kendali dari pemerintah; merasakan kebersamaan sebagai warga 13. Kehadiran aktor atau Pemerintah tidak hadir saat Merapi meletus, pemerintah pranata sosial hanya menyapa ketika warga di barak pengungsian tanpa menjawab pokok persoalan yang menyangkut hajat hidup peran lembaga non pemerintah langsung ke mereka 14. Penataan hidup Ketidakjelasan informasi dan tatakelola pertanian, peternakan, sarana dan prasarana umum ketika sudah kembali ke desa, ketidakkepastian jaminan kebutuhan pemulihan 12 argumentasi yang digunakan oleh penduduk di beberapa dukuh, baik penduduk yang menolak untuk direlokasi, maupun yang menerima dengan berbagai persyaratan. Kesamaan argumentasi yang digunakan oleh penduduk dengan respon yang berbeda terhadap relokasi tersebut adalah bahwa kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari gunung Merapi dan merasa bisa mengelola ancaman Merapi sebagai risiko kehidupan yang diterima dengan sikap nrimo dan pasrah. Daftar Pustaka Agrawal, A. 1995: Dismantling the divide between indigenous and scientiic knowledge, Development and Change 26 3: 413–439. Bertens K. 1985, Filsafat Barat Abad XX Jilid II, Jakarta-Gramedia Pustaka Utama. Bordieu, Piere, 1991, Languange and Symbolic Power, Cambridge-Harvard University Press. Bordieu, Piere, 1993, The Field of Cultural Production, Cambridge:Polity Press. Brokwnsha, D. W., Warren, D. M. and Werner, O. 1980: Indigenous Knowledge Systems and Development. University Press of America, Lanham, MD. Cronin, S. J., et. al, 2004: Participatory methods of incorporating scientiic with traditional knowledge for volcanic hazard management on Ambae Island, Vanuatu, Bulletin of Volcanology 66 7: 652–668. Dekens, J. 2007a: Local Knowledge for Disaster Preparedness: A Literature Review. International Centre for Integrated Mountain Development, Kathmandu. Donovan, Katherine. 2009, Doing social volcanology: exploring volcanic culture in Indonesia. Journal Area Vol. 42 No. 1. Pp 117-126. London. The Institute of British Geographers. Dove, Michael R. dan Bambang Hudayana. The view from the volcano: an appreciation of the work of Piers Blaikie. www.elsevier.comlocategeoforum diakses 5 Desember 2011. Dove, Michael R. Research paper; Perception of volcanic eruption as agent of change on Merapi volcano, Central Java, pada www.elsevier.comlocate jvolgeores diakses 5 Desember 2011 Fernando, J. L. 2003: NGOs and production of indigenous knowledge under the condition of postmodernity, Annuals of the American Academy of Political and Social Science 590:54–72. Foucault, Michael, 2000, Power, London: Penguin Books. Foucault,Michael, 1980, Power and knowledge : Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, Sussex: The Harvester Press. Haba, John, 2009, Bencana Alam dan Perspektif Lokal dan Kristiani, Jurnal Masyarakat Indonesia XXXIV No. 1, Jakarta : hal 25-48 Haynes, K. 2005: Exploring the Communication of Risk During a Volcanic Crisis: A Case Study of Montserrat, WI. Unpublished Ph.D. thesis, University of East Anglia, Norwich. Hazard Research Centre, University College London, London. Howell, P. 2003: Indigenous early warning indicators of cyclones: potential application in coastal Bangladesh. Working Papers in Disaster Studies Management 6, Benield Jigyasu, R. 2002: Reducing Disaster Vulnerability through Local Knowledge and Capacity: The Case of Earthquake Prone Rural Communities in India and Nepal. Doktor ingeniøravhandling 2002:73, Department of Urban Design and Planning, Faculty of Architecture and Fine Art, Norwegian University of Science and Technology, Trondheim. Keller, Suzane. 1984. Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu Dalam Masyarakat Modern trj. Jakarta. Rajawali Press, 1984. 13 Larsen, S. C. 2006: The future’s past: politics of time and territory among Dakelh First Nations in British Columbia, Geograiska Annaler: Series B, Human Geography 88 3: 311–321. Mercer, Jessica, et. al., 2009, Integrating indigenous and scientiic knowledge bases for disaster risk reduction in Papua New Guinea, Journal compilation Swedish Society for Anthropology and Geography Mitchell, T. 2006: Building a Disaster Resilient Future: Lessons from Participatory Research on St. Kitts and Montserrat. Unpublished Ph.D. Thesis, Department of Geography, University College London, London. Seidman, Steven, 1998. Contested Knowledge. Social Theory in the Postmodern Era Second Edition. Blackwell Publishers. Shaw, W. S., Herman, R. D. K. and Dobbs, G. R. 2006: Encountering indigeneity: re-imaging and decolonizing geography, Geograiska Annaler: Series B, Human Geography 88 3: 267–276. Sillitoe, P. 2000: Let them eat cake: indigenous knowledge, science and the “poorest of the poor”, Anthropology Today 6 6: 3–7. Sindunata, 1998, Mata Air Bulan, Kanisius, Yogyakarta. Singgih, Gerrit Emanuel, 2006, Allah dan Penderitaan Releksi Teologis Rakyat Indonesia, teologi Bencana, Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makasar, Yayasan Oase Intim. Steven Seidman, 1998, Contested Knowlede : Social Theory in the Posmodern Er, blackwell White, G. F., Kates, R. W. and Burton, I. 2001: Knowing better and losing even more: the use of knowledge in hazards management, Global Environmental Change Part B:Environmental Hazards 3 3–4: 81–92. Wisner, B. 1995: Bridging “expert” and “local” knowledge for counter-disaster planning in urban South Africa, Geo-Journal 37 3: 335–348. Yusdani, 2011, Studi Konvergensi dan Divergensi Pengetahuan dan Tata Nilai Warga Desa Girikerto Kecamatan Turi Sleman terhadap Gunung Merapi Pasca Letusan 2010. Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012 14 AMBANG BATAS CURAH HUJAN UNTUK BENCANA SEDIMEN DI KALDERA BAWAKARAENG, SULAWESI SELATAN Oleh: Hasnawir Hasnawir, 2012, Ambang Batas Curah Hujan di Kaldera Bawakaraeng, Sulawesi Selatan, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal 14- 24, 10 gambar. Abstract A large scale landslide occurred on March 26, 2004 at Bawakaraeng caldera of South Sulawesi is considered as one of the worst sediment disasters in Indonesia. The volume of the landslide was about 232 million m3. The landslide was caused by the collapse of the walls of the caldera leading to a low of a large amount of debris with signiicant damages including 32 people lost their lives and destruction of properties. Since then the environmental hazard has been threatening till now. In addition, the unstable deposited sediment and further collapse of the caldera may lead to a large-scale landslide and debris-low in the future. The objective of this study is to determine rainfall thresholds for sediment disaster in the Bawakaraeng caldera. Thirteen landslides including debris lows occurred after the large scale landslide were studied to analyze rainfall thresholds. The threshold rainfall for sediment disaster is very important information for the development of warning systems in the study area. Keywords: sediment disaster, rainfall threshold, warning system, Bawakaraeng caldera 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang