Analisis Karakter Dua Tokoh Wanita Dari Sudut Pandang Feminisme Liberal Dalam Novel The Virgin Blue Karya Tracy Chevalier

(1)

THE ANALYSIS OF TWO WOMEN CHARACTERS FROM THE POINT OF VIEW OF LIBERAL FEMINISM IN THE NOVEL THE VIRGIN BLUE BY

TRACY CHEVALIER

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi Ujian Sarjana Pada Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra

Universitas Komputer Indonesia

Eighwika Kurnia Juwita NIM.63705003

JURUSAN SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

iv ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Analisis Karakter Dua Tokoh Wanita Berdasarkan Sudut Pandang Feminisme Liberal dalam Novel The Virgin Blue Karya Tracy

Chevalier” ini mendeskripsikan dua karakter wanita dari generasi yang berbeda, namun memiliki persamaan dalam memperjuangkan hak mereka.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dan deskriptif sebagai cara untuk menganalisis karya sastra tersebut. Metode ini digunakan karena fakta-fakta dalam novel tersebut akan digambarkan kemudian dianalisis dan dijelaskan. Penelitian ini meneliti pemahaman sosial berdasarkan teori sastra feminis. Penelitian ini juga menjelaskan karakter dua tokoh wanita di dalam novel The Virgin Blue yang digambarkan dengan fakta-fakta dan dianalisis dengan teori-teori yang berkaitan dengan data-data tersebut.

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa dalam novel The Virgin Blue terdapat konsep feminisme yang tercermin dari perjuangan dua tokoh wanita yaitu Isabelle Du Moulin dan Ella Turner yang mendapatkan penindasan secara psikologis dan sosial sehingga membuat mereka terisolasi dari warga sekitar. Melalui pergerakan feminisme liberal, mereka berusaha untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan akhirnya mereka berhasil mendapatkan kebahagiaan dan keadilan dari warga disekitarnya.


(3)

v ABSTRACT

This skripsi titled "The Analysis of Two Women Characters from the Point of View of Liberal Feminism In the Novel The Virgin Blue by Tracy Chevalier describes two women characters of different generation who have similarity in struggling to fight their rights.

In this research, the writer uses qualitative and descriptive methods to analyze the novel. This method is employed because the facts in the novel are described, analyzed, and explained. This research analyzes social understanding based on literary feminist theory. This research also explains about two women characters in The Virgin Blue which is described by the facts and analyzed using the theories related to those data.

As the result of this research, the writer concludes that in the novel The Virgin Blue there is a concept of liberal feminism and it reflects the struggles of two women characters, Isabelle Du Moulin and Ella Turner who are psychologically and socially oppressed, which makes them isolated from their neighborhood. Through liberal feminism the movement, they attempt to fight for their rights and finally succeed in gaining the happiness and the fairness from their surroundings.


(4)

vi

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Karakter dari Dua Tokoh Wanita dari Sudut Pandang Feminisme Liberal dalam Novel The Virgin Blue Karya Tracy Chevalier” ini :

1. Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA, Dekan Fakultas Sastra UNIKOM. 2. Retno Purwani Sari,S.S.,M.Hum, Ketua Jurusan Sastra Inggis UNIKOM

dan Penguji.

3. Asih Prihandini, S.S.,M.Hum, Wakil Ketua Jurusan Sastra Inggis, Koordinator Skripsi, serta selaku Pembimbing Pertama.

4. Sandya Maulana, M.Hum selaku Pembimbing Pendamping dan Penguji. 5. Nungki Heriati, S.S., M.A, selaku Penguji

6. Dr. Juanda, Dosen Wali.

7. Tatan Tawami, S.S, Dosen Sastra Inggris. 8. M. Rayhan Bustam, S.S, Dosen Sastra Inggris. 9. Nenden Rikma Dewi, S.S, Dosen Sastra Inggris. 10.Staf Jurusan dan seluruh Dosen UNIKOM.


(5)

vii

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bandung, Agustus 2011


(6)

1 1.1Latar Belakang Penelitian

Kehidupan saat ini tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki saja namun juga kaum perempuan, sebab perempuan telah memberikan warna tersendiri bagi kehidupan itu sendiri. Dalam masa modern masih ada pihak atau perlakuan yang menempatkan kaum perempuan hanya sekadar sebagai pelengkap atau masyarakat kelas dua. Sebenarnya pernyataan tersebut merupakan potret yang mewakili realita bagaimana kaum perempuan pernah ditindas, dibatasi hak-haknya dalam segi apapun. Berabad-abad lamanya perempuan hidup dalam tatanan patriarki sehingga aktivitas yang dilakukan lebih bernuansa melayani dalam segala aspek. Perempuan harus memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga, mengasuh anak, dan melayani suami sedangkan perkara-perkara yang ada di luar rumah tangga merupakan wilayah tabu.

Realita penindasan yang dipaparkan di atas telah mengilhami para perempuan untuk mewujudkan gerakan pembebasan yang kemudian diistilahkan dengan feminisme. Feminisme merupakan teori tentang hak bagi perempuan yang terorganisir untuk mencapai hak asasi perempuan dan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan melampaui persamaan sosial yang sederhana (Humm, 2002:158).

Saat ini banyak sekali karya sastra perempuan yang menceritakan tentang perempuan. Hal tersebut dikarenakan agar perempuan dapat dihargai di kalangan


(7)

masyarakat terutama terhadap kaum laki-laki dan kelemahan yang ada pada diri perempuan dapat dihapuskan. Seperti halnya anggapan bahwa karya pujangga laki-laki yang lebih utama dan kompeten daripada perempuan sehingga perempuan hanya sebagai objek dan penikmat saja dalam dunia sastra. Hal tersebut menggambarkan sebuah hubungan antara keberadaan pengarang, pembaca, dan gambaran perempuan di dunia sastra.

Kini, para pengarang perempuan telah memperlihatkan keberadaan dan kepiawaiannya dalam membuat karya sastra. Di dunia Barat khususnya, seperti pengarang perempuan Tracy Chevalier yang mengarang novel The Virgin Blue. Chevalier menulis dengan penuh keberanian dan penuh imajinasi. Dia mengisahkan perjuangan hidup Isabelle dalam mendapatkan kebebasan dari penghinaan yang ia terima dari orang-orang disekitarnya dan perjuangan Ella Turner dalam perjuangan mendapatkan hati dari warga yang berada di Negara Perancis.

Feminisme liberal adalah gerakan yang tercermin dari setiap perjuangan yang dilakukan oleh para wanita untuk menuntut hak kebebasan (Humm, 2002:250). Dalam novel tersebut, penulis berfokus kepada karakter dua tokoh wanita dalam novel The Virgin Blue yaitu Isabelle Du Moulin dan Ella Turner. Isabelle Du Moulin dikenal sebagai La Rousse, ia mendapatkan penindasan dari warga disekitarnya karena rambut merahnya. Sedangkan Ella Turner adalah seorang warga Amerika yang kemudian ia pindah ke Perancis, namun ia sulit beradaptasi dengan komunitas kota Prancis tersebut. Ketika ia berada di Perancis ia mendapatkan mimpi yang selalu mengganggunya. Ternyata di dalam mimpi


(8)

tersebut terdapat leluhurnya yaitu Isabelle Du Moulin sehingga suatu hari ia mencoba mencari tahu asal usul tentang leluhurnya tersebut. Oleh karena itu, penulis fokus terhadap dua karakter tersebut. Penulis tertarik dalam novel tersebut karena terdapat perjuangan wanita untuk mendapatkan hak kebebasan. Dengan alasan tersebut, penulis mengambil judul Analisis Karakter Dua Tokoh Wanita dari Sudut Pandang Feminisme Liberal dalam Novel The Virgin Blue Karya Tracy Chevalier.

1.2Rumusan Masalah

1. Apakah karakteristik dari feminism liberal yang muncul dalam karakter Isabelle?

2. Apa pengaruh Isabelle sebagai representasi feminisme liberal terhadap karakter Ella Turner?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menggambarkan karakteristik feminism liberal yang muncul dalam

karakter Isabelle.

2. Mengidentifikasikan pengaruh Isabelle sebagai representasi karakter feminisme liberal terhadap karakter Ella Turner.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat dan hasil penelitiannya dapat digunakan untuk:


(9)

1. Penulis, untuk meningkatkan konsep pengetahuan tentang sastra dan memperkaya pengalaman penulis untuk mengetahui tentang feminisme. 2. Pencinta sastra, hasil penelitian ini dapat ditingkatkan ilmu pengetahuan

dan pengalaman tentang karya sastra.

3. Peneliti sastra, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai pembanding dan orientasi untuk penelitian selanjutnya,

1.5Kerangka Pemikiran

Didalam penelitian ini, penulis mengambil teori utama dari Rosemarie Putnam Tong tentang feminisme liberal. Feminism liberal adalah tindakan wanita yang tercermin dalam setiap perjuangan mereka. Penulis memilih data berdasarkan pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan psikologi.

Karakter dalam penelitian ini akan di analisis berdasarkan data-data yang ada. Kedua karakter tersebut adalah Isabelle Du Moulin dan Ella Turner. Di dalam novel tersebut Isabelle tidak pernah dihargai oleh keluarga suaminya dan orang-orang disekitarnya. Bahkan ia dihina dan dihindari karena rambutnya berubah warna dan ia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana dan berkeyakinan Katolik. Sedangkan Ella adalah seorang warga Amerika yang ikut suaminya bekerja di Perancis. Ketika baru tinggal di negara itu, ia merasa terisolasi dari warga Perancis karena ia tidak bisa berbahasa Perancis karena warga tersebut tidak akan ramah dengan warga pendatang yang tidak fasih berbahasa Perancis.


(10)

Gambar 1.1 Kerangka Pikiran

Pendidikan Ekonomi

Karakter Isabelle

Feminisme Liberal dari Rosemarie Putnam Tong

Pengaruh karakter Isabelle terhadap Ella Turner.

Novel The Virgin Blue


(11)

6 2.1 Feminisme

2.1.1 Sejarah feminisme

Lahirnya gerakan Feminisme yang dipelopori oleh kaum perempuan terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan kelahiran era pencerahan yang terjadi di Eropa dimana Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet sebagai pelopornya. Menjelang abad 19 gerakan feminisme ini lahir di negara-negara penjajahan Eropa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.

A. Gelombang Pertama

Kata feminisme sendiri pertama kali dikreasikan oleh aktivis sosialis utopis yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. Kemudian pergerakan yang berpusat di Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi buku yang berjudul the subjection of women (1869) karya John Stuart Mill, dan perjuangan ini menandai kelahiran gerakan feminisme pada gelombang pertama.

Memang gerakan ini sangat diperlukan pada saat itu (abad 18) karena banyak terjadi pemasungan dan pengekangan akan hak-hak perempuan. Selain itu, sejarah dunia juga menunjukkan bahwa secara universal perempuan atau feminine merasa dirugikan dalam semua bidang


(12)

dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki atau maskulin terutama dalam masyarakat patriaki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan dan politik, hak-hak kaum perempuan biasanya lebih inferior ketimbang apa yang dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan tejadinya Revolusi Perancis di abad ke-18 dimana perempuan sudah mulai berani menempatkan diri mereka seperti laki-laki yang sering berada di luar rumah

Selain itu, suasana tersebut diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan khotbah-khotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan jemaat pun hanya dapat dijabati oleh pria. Banyak khotbah-khotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus tunduk kepada suami.

Maka, dari latar belakang demikian, di Eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan Politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Tahun 1792 Mary Wolllstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the


(13)

right of Woman yang isinya dapat dikatakan meletakan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka memberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini dinikmati oleh kaum laki-laki.

Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya adalah gender inequality, hak-hak perempuan, hak-hak reproduksi, hak-hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualita.

B. Gelombang Kedua

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai dengan lahirnya Negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan negara-negara Eropa maka lahirlah gerakan Feminisme gelombang kedua pada tahun 1960 dimana fenomena ini mencapai puncaknya dengan diikutsertakannya kaum perempuan dan hak suara perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dari selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.

Feminisme liberal gelombang kedua dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekontruksionis, Derrida. Dalam the laugh of the Medusa, Cixous


(14)

mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American Feminist, dia menolak essensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.

Secara lebih spesifik banyak feminis- individualis kulit putih dan meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga, meliputi negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi proses universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosialis, agama, ras dan budaya.

Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “all women”dimana semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme yang masih terdapat lubang hitam, yaitu tidak adanya representasi perempuan perempuan budak dari tanah jajahan sebagai subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah masih mempertahankan posisi budak sebagai pengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.

Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai penderita yang sama sekali tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Pejuang tanah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki daripada perempuan. Terbukti kebangkitan semua


(15)

negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik, dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalamai puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.

Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan yang teropresi di dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama.

2.1.2 Pengertian Feminisme

Seiring dengan pergerakannya untuk memperjuangkan emansipasi wanita, dan menghapuskan gender, feminisme bisa dikatakan sebagai sebuah ideology yang berusaha melakukan pembongkaran system patriarki, mencari akar atau penyebab ketertindasan perempuan serta mencari pembebasannya. Dengan kata lain feminisme adalah teori untuk pembebasan wanita. Seperti yang pernyataan berikut ini;

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman, berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah, masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis cultural). Dengan kalimat lain, male-female mengacu pada seks, sedangkan masculine-feminine mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (shelden, 1986), jadi tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 184).


(16)

Dari ungkapkan teori diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan feminisme dilakukan untuk mencari keseimbangan gender. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.

Keseimbangan gender adalah untuk mensejajarkan posisi maskulin dan feminin dalam konteks satu budaya tertentu. Hal ini dikarenakan, dalam satu budaya tertentu feminine sering dianggap inferior, tidak mandiri dan hanya menjadi subjek. Untuk itu feminisme bisa juga dikatakan sebagai gerakan untuk memperjuangkan kaum perempuan menjadi mandiri.

Karena gerakan feminisme ini merupakan sebuah ideologi yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan sosial, feminisme berkembang menjadi beberapa bagian seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme anarkis, feminisme sosialis, feminisme postkolonial, feminisme postmodern, feminisme sosialis. Pembahasan mengenai Feminisme Liberal akan dibahas pada penelitian ini, dengan tujuan adanya pembahasan Feminisme Liberal yang lebih terfokus mengingat aliran Feminisme ini adalah konsep yang akan dianalisis yang tersirat pada karakter Isabelle dan Ella Turner.

2.1.3 Feminisme Liberal

Feminisme liberal adalah salah satu bentuk feminisme yang mengusung adanya persamaan hak untuk perempuan dapat diterima melalui cara yang sah dan perbaikan perbaikan dalam bidang sosial, dan berpandangan bahwa penerapan hak-hak wanita akan dapat terealisasi jika perempuan disejajarkan dengan


(17)

laki-laki. Hal tersebut seiring dengan beberapa sumber teori mengenai feminisme liberal;

Apa yang disebut sebagai feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia pribadi dan umum. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasionl, terutama pada perempuan, akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan setara dengan laki-laki.

Selain itu pendapat tersebut diatas, sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Tong (2006:18) bahwa:

Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya dalam masyarakat seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.

Feminisme liberal berpandangan bahwa kaum perempuan harus mempersiapkan dirinya untuk dapat mensejajarkan kedudukannya dengan laki-laki dengan cara mengambil berbagai kesempatan yang menguntungkan serta mengenyam pendidikan, mengingat bahwa perempuan adalah mahluk yang rasional dan bisa berpikir seperti laki-laki.

Feminisme liberal menginginkan kebebasan untuk kaum perempuan dari opresi, patriarkal, dan gender. Aliran ini juga mencakup 2 bentuk pemikiran politik yaitu Clasiccal Liberalism dan Welfare Liberalism; Classical Liberalism


(18)

percaya bahwa idealnya, negara harus menjaga kebebasan rakyatnya, dan juga memberi kesempatan kepada individu-individu untuk menentukan kepemilikannya. Disisi lain, Welfare Liberalism, percaya bahwa Negara harus fokus akan keadilan ekonomi daripada kemudahan-kemudahan untuk kebebasan sipil. Mereka menganggap program pemerintah seperti keamanan sosial dan kebebasan sekolah sebagai cara untuk mengurangi ketidakadilan dalam masyrakat sosial. Baik classical maupun Welfare Liberalism percaya bahwa campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi mereka tidaklah dibutuhkan. (Tong: 2006).

Feminisme liberal juga menciptakan dan mendukung perundanga- undangan yang menghapuskan halangan-halangan pada perempuan untuk maju. Perundang-undangan ini memperjuangkan kesempatan dan hak untuk perempuan, termasuk akses yang mudah dan setaranya upah yang diterima oleh perempuan dengan laki- laki.

Perkembangan gerakan feminisme liberal sendiri terbagi menjadi 3 tahap yaitu:

1. Perkembangan feminisme pada abad 18. Pada abad 18 gerakan feminisme liberal menyuarakan pendidikan yang sama untuk perempuan. Karena lahirnya gerakan feminisme liberal ini berawal dari anggapan nalar laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang berbeda maka kaum feminisme liberal mengusung pendidikan sebagai jalan untuk menyetarakan kemampuan nalar laki-laki dengan perempuan, selain itu melalui pendidikan juga perempuan dapat menyetarakan posisinya dimasyarakat agar tidak dipandang sebelah mata dan ditindas lagi. Selain


(19)

itu hak pendidikan bagi perempuan juga dilator belakangi oleh kritikan Wollstonecraft terhadap Email sebuah novel karya Jean Jackques Rosseau yang membedakan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa pendidikan yang diterima oleh laki-laki lebih menekankan pada hal-hal yang rasional dan ilmu-ilmu yang mempelajari ilmu alamiah, sosial dan humaniora karena nantinya akan menjadi seorang kepala keluarga, sedangkan pendidikan yang diterima oleh perempuan lebih menekan pada emosional atau ilmu-ilmu seperti pusisi dan seni karena nantinya perempuan akan menjadi seorang istri yang pengertian, perhatian dan keibuan. Dari hal tersebut maka feminisme liberal menyuarakan jalan keluar sebuah pendidikan yang setara dengan laki-laki dengan cara mengajarkan hal-hal yang rasionalitas sehingga perempuan juga dapat menajdi mahluk yang mandiri (Tong; 2006).

2. Perkembangan feminisme liberal pada abad 19. Pada abad ini kaum feminisme liberal menyuarakan hak hak sipil yang harus diterima oleh kaum perempuan dan kesempatan Ekonomi bagi perempuan. Kaum feminisme liberal memiliki pendapat bahwa pendidikan saja tidak cukup untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Untuk itu, harus ada kesempatan ekonomi yang harus diberikan pada perempuan agar kesetaraan dapat dicapai. Kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak-hak sipil bagi perempuan diantara hak untuk berorganisasi, hak untuk kebebasan berpendapat, hak untuk memih dan hak milik pribadi. (Tong; 2006).


(20)

3. Perkembangan feminisme liberal abad 20. Pada abad ini perkembangan feminisme liberal ditandai dengan lahirnya gerakan atau organisasi yang menyurakan hak-hak perempuan, seperti NOW (National Organization for Women). Organisasi ini juga tidak lain bertujuan menyarakan agar perempuan dapat memiliki hak atau kesempatan pendidikan dan ekonomi agar dapat setara dengan laki-laki. (Tong; 2006).

Selain itu, pada masa perkembangannya, feminisme liberal juga diiringi oleh perkembangan terbitnya buku-buku yang menyuarakan hak-hak perempuan. Seperti the Feminine Mysitique dan the Second Stage.

2.1.4 Feminisme dan Sastra

Karena yang menjadi bahan analisis adalah sebuah novel yang merepresentasikan feminisme maka sudah sepatutnya jika penulis memaparkan perkembangan atau peran gerakan feminisme dalam kesusastraan terutama yang tertuang dalam novel. Di dunia sastra Barat memang terjadi pengklasifikasian antara laki-laki dan perempuan dalam bidang kesusastraan. Hal ini menyangkut peran laki-laki yang lebih dominan dan menganggap perempuan sebagai objek. Tokoh yang sangat terkenal dalam perkembangan gerakan feminisme dalam bidang kesusastraan adalah Elaine Showalter. Ia adalah yang memperkenalkan ginokritik. Definisi ginokritik sendiri adalah sebuah kajian yang menjelaskan mengenai gambaran karya sastra yang membahas perbedaan hasil penulisan laki-laki dengan perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Showalter dalam Contemporary Literary Criticsm karya Robert Con Davis (1994) bahwa kajian ginokritik memang menawarkan banyak keuntungan. Ginokritik mengarah pada


(21)

perhatian bahwa perempuan memang berperan dalam sebuah pembuatan karya sastra. Baik itu sebagai pengarang ataupun pembaca, dimana ketika sebuah karya sastra ditulis oleh perempuan maka akan menimbulkan kesan tertentu dan menunjukkan bahwa memang perempuan memang ada dalam karya sastra. Ginokritik juga memaparkan hubungan perempuan dengan teks-teks yang dibuat oleh pengarang perempuan, hubungan tulisan perempuan dengan tubuh perempuan, tulisan perempuan dengan bahasa perempuan, tulisan perempuan dengan psikis perempuan dan hubungan perempuan dengan budaya perempuan.

Pergerakan feminisme yang merambat ke dunia sastra juga memiliki hubungan dengan peran feminisme dalam diri pengarang dan peran feminisme yang dapat tercermin dalam sebuah tokoh cerita. Cerminan feminisme dalam sebuah tokoh cerita dapat terlihat ketika seorang tokoh cerita mengalami pergerakan untuk berubah dan berjuang untuk pembebasan dirinya dari ketertindasan dan perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan hak yang adil sama seperti yang dimiliki oleh laki-laki.

2.2 Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara individu atau lebih, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya (H.Bonner dalam Abu Ahmadai; 2007, 49). Kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai dua macam fungsi yaitu sebagai objek dan subjek. Jika manusia hanya sebagai objek semata-mata maka hidupnya tidak mungkin lebih tinggi daripada kehidupan benda-benda mati


(22)

sehigga kehidupa manusia tidak akan mungkin timbul kemajuan. Sebaliknya jika manusia sebagai subjek semata-mata, maka ia tidak mungkin bisa hidup bermasyarakat, sebab pergaulan baru bisa saja terjadi apabila ada give and take dan masing-masing anggota masyarakat itu. Intinya hidup individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan dan selalu berinteraksi antara yang satu dengan yang lain.

Faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial adalah faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Dalam penelitian ini faktor yang terlihat jelas adalah faktor imitasi. Faktor imitasi adalah seseorang meniru orang lain mulai dari sikap, perilaku, gaya, cara berfikir, penampilan, keterampilan, kemampuan dan lain-lain.


(23)

18 3.1 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah penggambaran feminisme dalam novel The Virgin Blue karya Tracy Chevalier. Penulis melakukan penelitian terhadap teks-teks yang mencerminkan adanya penindasan yang diterima Isabelle Du Moulin dan Ella Turner serta perjuangannya dalam menghapus penindasan yang terjadi pada kedua karakter tersebut.

3.2 Sumber Penelitian

Sumber penelitian ini adalah novel pertama yang ditulis oleh Tracy Chevalier yaitu The Virgin Blue. Novel tersebut diterbitkan pada tahun 1997. Novel ini adalah kisah tentang masa lalu yang dilihat dari sudut pandang pemikiran modern. Penulis memilih novel tersebut sebagai sumber penelitian karena adanya penindasan dan penghinaan terhadap dua karakter wanita yaitu Isabelle Du Moulin dan Ella Turner yang kemudian mereka berjuang untuk menghapus penindasan yang terjadi pada diri mereka. Oleh karena itu, penulis menghubungkan karakter tersebut dengan Feminisme Liberal. Namun, apa yang terjadi terhadap Isabelle berpengaruh terhadap Ella Turner melalui mimpi. Mimpi tersebut telah mengganggunya secara psikis dan sosial. Pengaruh karakter Isabelle tersebut sebagai representasi feminisme liberal terhadap karakter Ella Turner.


(24)

3.2.1 Sinopsis

Novel The Virgin Blue menceritakan tentang kisah dua perempuan yaitu Isabelle Du Moulin dan Ella Turner yang terpisah jarak empat abad. Isabelle hidup pada abad ke-16 sedangkan Ella hidup pada abad ke-20.

Isabelle adalah seorang gadis dari keluarga miskin. Ketika ia masih kecil rambutnya berubah warna. Sejak saat itu ia dianggap nenek sihir dan mendapat penghinaan. Bahkan ia dituduh mempraktikan ilmu sihir. Suatu hari ia bertemu dengan seorang pria bernama Etienne Tournier. Etienne adalah anak dari keluarga kaya dan dihormati oleh penduduk desa. Pertemuan antara Isabelle dan Etienne yang berujung kesengsaraan bagi Isabelle karena ia diperkosa oleh Etienne sehingga ia mengandung anak dari pria itu. Ia sedih karena ia harus menikah dengan orang yang tidak ia cintai dan juga ia harus berhadapan dengan keluarga Etienne. Ia sudah menebak bahwa keluarga Etienne tidak akan pernah setuju Etienne menikah dengan Isabelle karena Isabelle berasal dari orang tidak punya. Etienne yang berkeyakinan protestan karena ia adalah kaum Huguenot tidak diizinkan amenikah pada umur dua puluh empat tahun karena kaum Huguenot mengizinkan anaknya menikah ketika mereka sudang menginjak usia dua puluh lima tahun. Tapi akhirnya ia menikah juga dengan Etienne dan setelah pernikahan tersebut ia selalu mendapat penindasan dari keluarga suaminya. Ia dan suaminya mempunyai perbedaan keyakinan. Ia adalah seorang yang berkeyakinan Katolik dan suaminya berkeyakinan protestan. Ia dilarang mengikuti keyakinannya itu karena keluarga suaminya menganggap keyakinannya itu adalah sebuah sihir. Ia sungguh mendapat ujian setelah ia menikah dengan Etienne. Pada saat itu terjadi


(25)

perang agama antara kaum Huguenot yang berkeyakinan protestan dan umat Katolik. Selain itu, karena warga tahu ia pindah keyakinan, ia dan keluarga suaminya dicari oleh orang-orang Katolik sampai pada suatu hari ia pergi ke sebuah tempat bernama Geneva. Disitu ia akhirnya mendapat kenyamanan dan ia merasa aman disana. Keluarga Etienne pun tertolong olehnya dari kejaran orang-orang Katolik tersebut dan menegaskan kepada Etienne dan adiknya yaitu Hannah bahwa apa yang ia lakukan bukan karena sihir tapi sebuah keyakinan bahwa kebenaran itu pasti akan datang.

Empat abad kemudian, seorang wanita berasal dari Amerika datang ke Perancis ikut bersama suaminya yang mendapat tugas di salah satu kota di Perancis yaitu Toulose. Setiap malam ia mendapatkan mimpi yang seolah mimpi tersebut ia merasakan adanya batin. Ternyata orang yang ada didalam mimpi tersebut adalah istri leluhurnya yang hidup empat abad yang lalu. Ia merasa terganggu psikisnya dari mimpi-mimpi tersebut. Sebenarnya ia terisolasi di kota itu karena orang-orang Perancis tidak ramah terhadap pendatang baru. Ia akhirnya belajar bahasa Perancis dan ia mempunyai peningkatan dalam belajar bahasa itu. Suatu ketika ia pergi ke sebuah perpustakaan dan disitu ia bertemu dengan Jean Paul. Pria itu adalah seorang perpustakawan. Ia berkenalan dan akhirnya Ella mencurahkan apa yang ada dalam pikiran dan isi hatinya. Ia menceritakan tentang mimpi itu, padahal sebelumnya ia tidak pernah cerita tentang mimpi itu kepada suaminya. Ia hanya tidak ingin suaminya mengira ia tidak bahagia hidup bersamanya,. Ia pun akhirnya menemukan tentang leluhurnya itu sampai ia rela pergi ke Cevenne hanya untuk mencari berita tentang leluhurnya. Dari pencarian


(26)

leluhurnya itulah Ella dekat dengan Jean Paul. Setelah pencarian usai, ia mengandung anak dari Rick suaminya. Ia pun mengatakan tentang kehamilannya itu pada Rick dan akhirnya Rick menginginkan Ella dan dirinya pergi ke Jerman. Namun ia tidak ingin pindah ke Negara tersebut karena ia merasa nyaman tinggal di Perancis. ia pun menceritakan tentang hal ini kepada Jean Paul. Pria ini balik bertanya kepada Ella dimana Ella merasa nyaman tinggal. Ella mengatakan bahwa ia nyaman di Perancis. Jean Paul menerimanya tinggal di Perancis, apalagi Ella sudah lancar berbahasa Perancis. akhirnya Ella dan suaminya tetap tinggal di kota tersebut.

3.2.2 Biografi Pengarang

Tracy Chevalier lahir di Washington DC pada tahun 1962. Ia adalah seorang novelis yang bukunya mendapat penjualan terbaik. Dia mendapatkan gelar BA dalam bahasa inggris di Institute Oberline, Ohio. Dia pindah ke London pada tahun 1984 bersama suami dan anaknya. Ia bekerja sebagai editor buku referensi. Kemudian ia mendapatkan gelar MA di Universitas East Anglia, Norwich, London.

Karirnya dimulai dengan novel The Virgin Blue pada tahun 1996, tetapi ia terkenal ketika novel keduanya yang berjudul Girl with a Pearl Earring memenangkan penghargaan sebagai penjualan terbaik karena novel tersebut terjual hamper empat juta kopi ke seluruh dunia dan novel tersebut dibuat ke dalam sebuah film. Kemudian novel falling Angel, Burning Bright dan novel terbarunya adalah Remarkable Creatures.


(27)

3.3 Metode Penelitian

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dan deskriptif. Metode ini digunakan karena fakta-fakta dalam novel tersebut akan digambarkan kemudian dianalisis bahkan dijelaskan.

Qualitative research is designed to be consistent with the assumptions of a qualitative paradigm. This study is defined as an inquiry process of understanding a social or human problem, based on building a complex, holistic picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in a natural setting (Creswell, 1994:1).

Disamping itu, analisis deskriptif akan digunakan sebagai metode dalam penelitian ini. Metode ini akan dikaji dengan cara menganalisis data-data sehingga akan ada deskripsi dalam penelitian ini.

Metode dalam penelitian ini menjelaskan seorang wanita didalam novel The Virgin Blue dan itu digambarkan dengan fakta-fakta kemudian dianalisis dengan teori-teori yang berkaitan dengan data-data tersebut.

3.3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis dan memilah teks yang mencerminkan adanya perjuangan feminisme liberal. Dalam proses penelitian ini, penulis mengumpulkan data-data yang ditemukan didalam novel yang berhubungan dengan karakter wanita kemudian data akan dianalisis kedalam teori feminisme liberal.

3.3.2 Langkah-Langkah Penelitian 1. Mencari sumber data

Sumber data dalam penelitian ni adalah novel The Virgin Blue karya Tracy Chevalier.


(28)

2. Membaca isi novel The Virgin Blue

Setelah mengambil sumber data, penulis membaca isi novel dan mencoba mencari data tentang karakter Isabelle didalam novel tersebut.

3. Memilih data yang mempunyai hubungan dengan karakter utama.

Penulis memilih data yang menunjukan karakter wanita sebagai data yang akan dianalisis.

4. Menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

3.4 Analisis Data

Dalam analisis ini, penulis akan menghubungkan bagaimana karakter Isabelle merepresentasikan feminisme liberal. Penulis mengambil data-data yang mencerminkan tindakan feminisme dalam karakter Isabelle dan kemudian bagaimana perjuangannya untuk mencapai kebebasan. Tidak hanya keluarga tetapi dengan tetangga dan orang-orang disekitarnya yang melakukan penindasan terhadapnya.

Data 1

People don’t eat potatoes, Granpapa! Only poor beggars.

Kutipan teks di atas terjadi ketika Isabelle dan keluarga Tournier sedang beada di wilayah pertanian keluarga Tournier. saat itu keluarga Tournier sedang membersihkan kereta kudanya. Ketika Isabelle sedang membersihkan kereta kuda tersebut, ia melihat sebuah karung dan ia bertanya kepada kakeknya Etienne yaitu Petit Jean apa yang ada pada karung itu. Petit Jean memberi tahu bahwa yang ada di dalam karung itu kentang untuk makanan kudanya dan untuk Isabelle. Pria itu


(29)

tertawa terbahak-bahak di tambah lagi Hannah mengatakan bahwa kentang bukan makanan untuk manusia, tetapi itu hanya untuk pengemis miskin. Ayah Isabelle geram atas penghinaan yang dilontarkan Petit Jean dan Hannah kepada putrinya. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya karena ia kesal terhadap prilaku mereka. Isabelle pun demikian, ia tidak tahan atas prilaku mereka. Mereka sudah tidak memiliki perasaan karena mereka sudah menyamakannya seperti binatang. Padahal di dalam feminisme liberal, baik laki-laki maupun perempuan harus memperlakukan satu sama lain sebagai seseorang yang setara, sebagai manusia yang sama berharganya untuk dicintai. Begitu juga dengan Petit Jean ia seharusnya memperlakukan Isabelle seperti ia memperlakukan cucu-cucunya karena Isabelle adalah istri dari cucunya dan pastinya ia bagian dari keluarga Tournier.


(30)

25

4.1 Penggambaran Karakteristik Feminisme Liberal Di Dalam Karakter Isabelle.

Subbab ini memaparkan bagaimana konsep Feminisme liberal direpresentasi melalui penggambaran karakter perempuan dalam novel The Virgin Blue. Penulis mengambil korpus yang mencerminkan adanya pergerakan feminisme dalam diri Isabelle terhadap Ella Turner serta bagaimana perjuangan ia dalam mencapai kebebasan. Ketertindasan yang dialami oleh Isabelle sendiri tidak mutlak datang dari laki-laki, Tetapi hal tersebut juga datang dari tokoh perempuan seperti Hannah. Penulis melakukan analisis terhadap korpus-korpus yang merepresentasikan bagaimana penggambaran khususnya pada karakter Isabelle.

She was called Isabelle, and when she was a small girl her hair changed colour in the time it takes a bird to call to its mate.

The nickname lost its affection when Monsiuer Marcel arrived in the village a few years later, hands stained with tannin and words borrowed from Calvin. In his first sermon, in woods out of sight of the village priest, he told them that the Virgin was barring their way to the truth.

-La Rousse has been defiled by the statues, the candles, the trinkets. She is contaminated! He proclaimed. She stands between you and God! (Chevalier, 1)

Kutipan teks diatas menunjukkan adanya penghinaan terhadap Isabelle Du Moullin. Ia adalah seorang gadis yang ketika ia masih kecil rambutnya berubah warna. Ketika Monsiuer marcel tiba di desa tersebut, ia melihat rambut Isabelle yang berubah warna itu dan sejak saat itu Monsieur marcel menghinanya karena


(31)

rambut itu ia di anggap nenek sihir. Terlebih lagi Isabelle termasuk orang yang mempunyai status perekonomian yang rendah. Tidak seperti halnya laki-laki, ia tidak akan menerima perlakuan seperti Isabelle yang dihina ketika rambutnya berubah karena anggapan tersebut hanya untuk wanita saja. Padahal menurut Tong feminisne liberal bersikeras bahwa laki-laki, seperti juga perempuan harus memperlakukan satu sama lain sebagai seseorang yang setara, sebagai manusia yang sama berharganya untuk dicintai. (2004; 61)

Terlihat Monsieur Marcel menganggap rendah Isabelle. Hal ini dikarenakan ia adalah seorang perempuan dan ia mempunyai status sosial yang rendah. Perempuan kelas bawah selalu menjadi objek penderita ketika keadaan tidak berpihak pada dirinya. Tidak ada sedikitpun penghargaan terhadap perempuan dan tidak ada anggapan bahwa perempuan itu juga layak dihargai, sama seperti manusia lain yang mempunyai perasaan dan nalar. Penjelasan di atas adalah sebuah gambaran bahwa laki-laki memperlakukan perempuan seenaknya, tidak memandang perempuan itu masih kecil atau sudah dewasa. Menyikapi hal ini, Isabelle tidak bisa berbuat apa-apa, saat itu ia hanya bisa diam dan menerima penindasan terhadap dirinya. Mungkin disebabkan karena ia belum mempunyai kekuatan untuk berpikir bagaimana caranya agar ia terlepas dari penghinaan yang dialaminya selama ini.

Penghinaan yang terjadi pada Isabelle tidak hanya datang dari kaum pria dewasa, melainkan dari anak-anak remaja.

Afterwards she walked back between her mother and her sister Marie, their twin brothers following more slowly. The other village children lagged behind them first, whispering. Eventually, bold with curiosity, a boy run up and grabbed a handful of Isabelle's hair.


(32)

-did you hear, La Rousse? You’re dirty! He shouted. (Chevalier, 1)

Kutipan tersebut mencerminkan bahwa Isabelle sangat terhina. Bahkan anak-anak laki yang masih kecil juga bisa menghinanya. Anak laki-laki tersebut yang merasa ingin tahu rambut Isabelle berusaha mengambil rambut itu dan mereka berhasil mengambil rambut itu. Dari kejadian itu ia merasa tidak dihargai oleh mereka yang hanya menganggap ia sebelah mata saja. Menurut Friedan dalam pendapatnya tentang feminisme liberal, perempuan perlu menjadi sama dengan laki-laki untuk menjadi setara dengan laki-laki, dan perempuan dapat menjadi setara dengan laki-laki jika masyarakat menghargai yang feminin dan maskulin.

Perempuan mempunyai hak dalam kebebasannya, baik kebebasan berpendapat maupun kebebasan memilih, melainkan juga kebebasan untuk memiliki pendidikan;

Can you read? No, but I can write. What do you write?

I write my name. And I can write your name, he added confidently. Show me. Teach me.

Etienne smiled teeth half-showing. He took a fistful of her skirt and pulled. I will teach you, but you must pay, he said softly, his eyes narrowed till the blue barely showed. (Chevalier, 12)

Percakapan itu terjadi ketika Isabelle bertemu Etienne. Etienne adalah seorang pria yang berasal dari keluarga yang terkenal di kota tersebut yaitu Tournier. Dari kutipan diatas, Etienne bertanya kepada Isabelle apakah ia bisa membaca dan Isabelle pun menjawab bahwa ia tidak bisa membaca tetapi ia bisa menulis. Ia bisa menulis karena orangtuanya pernah mengajarinya. Ia tidak


(33)

bersekolah karena ia memiliki latar belakang dari keluarga yang status sosialnya rendah. Karena hal tersebut Etienne diminta mengajarkan Isabelle membaca, namun Etienne meminta bayaran. Pada abad ke-16 tersebut, wanita yang memiliki status sosial yang rendah tidak dapat meraih pendidikan karena yang bisa meraih pendidikan hanya dari kalangan orang-orang bangsawan. Padahal perempuan mempunyai kapasitas otak yang sama maka perempuan juga harus mempunyai kesempatan pendidikan yang sama. Wollstonecraft berpendapat melalui Tong bahwa ia juga mendukung dan menegaskan bahwa pendidikan adalah unsur penting untuk perempuan dalam aliran feminisme liberal dan masyarakat itu sendiri wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti juga kepada laki-laki karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang utuh. (2004, 21)

Ketika Isabelle ingin belajar kepada pria tersebut, ia mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari Etienne.

Now you must pay, Etienne said, smiling. He pushed her over the boulder, stood behind her, and pulled her skirt up and his breeches down. He parted her legs with his kness and with his hand held her apart so that he could enter suddenly, with a quick thrust. Isabelle clung to the boulder as Etienne moved against her. Then with a shout he pushed her shoulders away, bending her forward so that her face and chest pressed hard against the rock. (Chevalier, 13-14)

Teks di atas menunjukkan bahwa Etienne mengambil kesempatan untuk memperkosa Isabelle ketika ia diminta Isabelle untuk mengajarkannya membaca. Etienne pun menganggap Isabelle sebagai manusia yang rendah. Ia tidak pernah dihargai dan ia pun tidak layak untuk dihargai.


(34)

Sejalan dengan pemikiran Wollstonecraft melalui Tong bahwa perempuan harus menjadi manusia yang utuh karena perempuan bukanlah mainan laik-laki, atau lonceng milik laki-laki yang harus berbunyi pada telinganya tanpa mengindahkan nalar saat ia ingin dihibur. Perempuan bukanlah sekedar alat atau instrument, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya perempuan merupakan suatu tujuan, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri. Laki-laki yang memperlakukan perempuan sebagai sekedar alat adalah sama dengan memperlakukan orang tersebut sebagai manusia yang bukan untuk dirinya, melainkan sebagai alat bagi orang lain. (2004; 22)

Dari kejadian perkosaan itu, Isabelle pun mengandung anak dari Etienne. Isabelle pun menceritakan kepada orangtuanya bahwa ia telah diperkosan oleh Etienne dan mengandung anak dari pria tersebut. Orangtuanya meminta Etienne untuk bertanggungjawab apa yang sudah ia perbuat kepada Isabelle. Isabelle bertemu dengan Etienne untuk membicarakan hal tersebut. Isabelle meminta Etienne untuk bertanggung jawab untuk menikahinya karena ia telah mengandung anak dari pria itu. Etienne pun mau bertanggung jawab untuk menikahi Isabelle. Setelah pertemuan itu, Etinne membawa Isabelle ke rumahnya untuk membicarakan permasalahan mereka.

The room was silent. Hannah’s face looked like granite. Isabelle is going to I have a child, Etienne said in a low voice. With your permission we would like to marry. It was the first time he had ever used Isabelle’s name. Hannah voice pierced.

-You carry whose child, La Rousse? Not Etienne’s. -it is Etienne child.


(35)

Keluarga Tournier terkejut dan tidak percaya ketika Etienne mengatakan bahwa Isabelle telah mengandung anaknya, Keluarga Tournier tidak terima Isabelle mengandung anak dari Etienne. Tapi kenyataannya anak yang dikandung Isabelle merupakan anak Etienne. Mereka tidak mau menerima Isabelle karena perbedaan status sosial, ternyata perbedaan status sosial dapat mempengaruhi seseorang untuk memutuskan dan mengakui sesuatu. Seseorang merasa malu untuk mengakui kalau dia memiliki keluarga yang miskin, tidak memiliki apa-apa. Mungkin hal ini dikarenakan akan merusak dan mencoreng nama baik keluarga Tournier jika ia diketahui memiliki keluarga yang tidak memiliki kekayaan. Tdak seperti halnya Etienne, ia adalah orang yang memperkosa Isabelle, namun anggapan keluarga Etienne tetap saja Isabelle yang salah dan direndahkan. Semua itu tidak lain disebabkan karena status sosialnya yang rendah di mata keluarga Tournier. Seharusnya perbedaan status sosial tidak menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan dalam hidupnya (Tong.2004:23).

Go and wait outside, La Rousse, Jean said quietly, you go with her, Susanne. (Chevalier, 21)

Percakapan masih terus berlanjut, namun ketika keadaan memanas Isabelle diusir keluar oleh Jean Tournier yang tidak lain adalah ayah dari Etienne. Ia ingin menenangkan pikirannya dan Ia tidak mau berdiskusi tentang masalah itu dengan adanya Isabelle didalam rumahnya. Sebelum menikah ia pun sudah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari keluarga calon suaminya. Ia hanya bisa pasrah dengan situasi saat itu. Bukan hanya faktor perekonomian yang menjadi penghalang untuk mereka menikah, melainkan Etienne baru berusia dua puluh


(36)

lima tahun. Etienne merupakan kaum Huguenot. Di dalam keyakinan Huguenot umatnya harus menikah minimal pada usia dua puluh lima tahun, sedangkan saat itu umur Etienne baru dua puluh empat tahun. Namun mereka tetap saja harus menikah karena Isabelle telah mengandung anak Etienne. Etienne menikahi Isabelle tanpa izin dari keluarganya.

Dari situasi keluarga Etienne tersebut, Isabelle berpikir mereka tidak menyukainya karena mereka melihat keadaan keluarga Isabelle yang rendah, seperti data berikut;

They don’t want us to marry. Isabelle thought. My family is poor, we have nothing, but they are rich, they have a Bible, a horse, they can write. They marry their cousins, they are friends with Monsieur Marcel. Jean Tournier is the Duc de l’Aigle’s syndic, collecting tax from us. They would never accept as their daughter a girl they call La Rousse. (Chevalier, 15)

Isabelle memang terpaksa menikah dengan Etienne karena ia telah mengandung anak Etienne. Ia telah diperkosa oleh Etienne, karena hal itu ia menikah tanpa dengan rasa cinta. Tapi ia harus menikah dengan Etienne walaupun status sosial yang ia dapat juga sangat berpengaruh ketika ia akan menikah dengan Etienne. Isabelle terlahir dari keluarga yang miskin, tidak seperti Etienne yang terlahir dari keluarga kaya. Karena status sosialnya keluarga Etienne tidak mau mengakuinya. Ternyata perbedaan status sosial dapat mempengaruhi seseorang untuk memutuskan sesuatu. Seseorang merasa malu untuk mengakui kalau dia memiliki keluarga yang miskin, tidak memiliki apa-apa. Mungkin hal ini dikarenakan akan merusak dan mencoreng nama baik seseorang khususnya keluarga Etienne jika ia diketahui memiliki keluarga yang tidak memiliki kekayaan. Bukan hanya permasalahan perekonomian saja yang menyebabkan


(37)

Isabelle dibenci oleh keluarga Tournier, tetapi juga karena Isabelle di anggap sebagai La Rousse karena rambut pirangnya membuat ia di anggap nenek sihir oleh penduduk desa itu. Padahal di dalam feminisme liberal perbedaan status sosial, seharusnya tidak menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan dalam hidupnya.

Isabelle tidak habis pikir mengapa keluarga Tournier begitu membencinya hanya karena melihat latar belakang pribadi dan keluarganya. Apalagi setelah menikah Isabelle akan tinggal bersama keluarga Tournier karena Etienne tidak ingin tinggal bersama keluarga Isabelle. Ia pun bicara kepada Etienne jika nanti ia tinggal bersama keluarga Tournier, mereka akan lebih tidak menyukainya.

If they don’t like you, he said softly, it’s your own fault, La Rousse. Isabelle’s arms stiffened, her hands curled into fist. I have done nothing wrong! She cried. I believe in the Truth. (Chevalier, 16)

Isabelle berpikir Etienne akan menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang menyenangkan buat dirinya, tetapi sebaliknya, Isabelle merasakan adanya ketidakadilan untuknya. Ia merasa selalu disalahkan oleh orang-orang disekitarnya. Ia hanya bisa menangis dan ia yakin bahwa kebenaran akan datang. Dari kutipan tersebut terlihat adanya deskriminasi gender terhadap Isabelle. Bukan hanya perlakuan yang tidak menyenangkan yang diterima Isabelle setelah mereka menikah nanti. Namun masalah pekerjaan juga di permasalahkan.

When you are my wife, he said, you will not be a midwife. (Chevalier, 16)

Etienne tidak ingin Isabelle bekerja ketika mereka sudah menikah. Hal itu menunjukkan bahwa perempuan tidak diperkenankan untuk bekerja. Seperti yang dialami Isabelle untuk tidak bekerja setelah ia menikah dengan Etienne. Isabelle


(38)

hanya diperkenankan untuk mengurusi rumah dan suaminya. Menurut Taylor bahwa tugas perempuan dan laki-laki adalah untuk mendukung kehidupan. Mereka juga harus mencari kesempatan untuk menjadi partner laki-laki dalam usaha dan keuntungan. Seorang perempuan harus memilih antara fungsi sebagai istri dan ibu disatu sisi, dan bekerja di luar rumah di sisi lain. Perempuan juga mempunyai pilihan ketiga yaitu menambahkan karir atau pekerjaan ke dalam peran serta tugas domestik dan maternalnya. Bahkan Taylor juga menegaskan bahwa perempuan yang sudah menikah tidak dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh setara dengan suaminya, kecuali jika ia mempunyai kepercayaan diri dan rasa bahwa ia berhak atas kesetaraan itu yang muncul dari kontribusi material untuk menopang keluarga (Tong 2004; 25). Tetapi yang terjadi pada Isabelle ia diharuskan untuk mengurusi rumah dan suaminya.

Isabelle dan Etienne akhirnya menikah walaupun di hati Isabelle ia tidak mencintai suaminya. Ia yang tadinya beragama Katolik beralih ke agama Protestan dimana keluarga Tournier yakini. Ia berpindah keyakinan karena untuk menghargai suaminya walaupun sebenarnya hati nya masih meyakini bahwa agama yang ia anut sebelumnya adalah agama yang tepat bagi dirinya, bahkan di balik keluarga Tournier ia masih meyakini agama Katolik. Dengan adanya diskriminasi gender, wanita harus mengikuti perintah laki-laki, padahal keyakinan tidak dapat dipaksakan karena persepsi orang terhadap suatu agama berbeda-beda.

Masalah baru datang kembali setelah ia menikah dengan Etinne dan tinggal bersama keluarga Tournier. Saat itu adanya pembunuhan terhadap warga Perancis yang menganut agama Protestan. Karena pada abad tersebut adanya


(39)

perang agama antara kaum Huguenot dan Katolik dimana pada saat itu pembantaian terjadi dimana-mana. Keluarga Tournier gelisah saat pembantaian terjadi karena mereka tidak tahu harus kemana. Isabelle mengeluarkan idenya untuk keamanan bersama;

Calvin, she announced. We would go to calvin. To Geneva, where it is safe. Where the Truth is free. (Chevalier, 82)

Isabelle pun akhirnya memberikan ide untuk pergi ke Geneva karena menurutnya disana kebenaran itu ada. Kaum Katolik pun tidak akan mencarinya dari tempat tersebut karena itu adalah pertanian milik keluarga Isabelle. Ia ingin pindah ke tempat itu karena ia ingin bebas dan merasakan kebahagiaan bersama keluarganya tanpa ada orang yang menghinanya. Keinginan untuk bebas dan merasakan hak atas dirinya tersebut juga merupakan sebagian perjuangan dalam aliran feminisme liberal. Tidak ada penindasan seperti yang dialami sebelumnya. Tetapi keluarga Toernier ingin kembali ke Toulose dimana mereka tinggal dahulu. Namun Isabelle melarangnya karena ia mengetahui bagaimana orang-orang Katolik tersebut.

We cannot return there, Isabelle replied. The crops are ruined, the house is one. Without the Duc we have no protection from catholics. They will continue to search for us. And – she hesitated, careful to convince them with their own words – without the house, it is no longer safe. (Chevalier, 81)

Isabelle beranggapan bahwa ia beserta keluarganya dan keluarga suaminya tidak mungkin untuk kembali ke Toulose karena mereka sudah tidak akan mendapatkan perlindungan dari umat Katolik, terlebih lagi keluarga Tournier yang bukan umat Katolik. Padahal di dalam feminisme liberal terdapat kebebasan


(40)

beragama. Dimana manusia berhak memilih agama yang mereka yakini tanpa ada unsur paksaan. Dengan adanya kebebasan beragama dapat meningkatkan kesejahteraan bersama. (Tong; 2004, 16)

Etienne tidak ingin Isabelle yang membantunya. Hal itu disebabkan karena Etienna merasa bahwa laki-laki mempunyai status sosial yang lebih tinggi dari perempuan, tetapi keadaan yang membuatnya bergantung dengan Isabelle. ia beranggapan bahwa ia yang harus ia puja. Namun Isabelle mengeluarkan pendapatnya;

God is my master. I must follow the truth, not this magic you are so convinced by. (Chevalier, 68)

Isabelle berteriak dan ia percaya bahwa Tuhan yang berkuasa di dunia ini bukan Etienne. Ia percaya dengan kebenaran dan bukan sihir yang Etienne katakan padanya. Selama ini Etienne menganggap bahwa Isabelle adalah seorang nenek sihir. Isabelle tidak tahan dengan ungkapan yang tertuju padanya itu, untuk itu Isabelle berusaha berontak untuk kebahagiaannya di masa yang akan datang. Salah seorang tokoh dalam feminisme liberal yaitu John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan total (kebahagiaan dan kenikmatan), adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. (Tong, 2004: 23). Isabelle berusaha untuk mengejar apa yang ia inginkan untuk kebahagiannya. Bahkan ia meyakinkan Etienne bahwa ia harus mengikuti kebenaran.


(41)

Dengan keberanian Isabelle saat ini membuat keluarga Tournier luluh kepadanya. Ia akhirya meninggalkan Toulose menuju tempat yang lebih aman dari kaum Katolik.

I feel safe now, she said under her breath to Etienne and Hannah and it has nothing to do with your magic. (Chevalier, 133)

Mereka akhirnya pergi dari Toulose ke Geneva. Isabelle merasa aman dari umat Katolik. Etienne beserta keluarganya yang selama ini menganggap Isabelle sebagai penyihir akhirnya mulai menghargai Isabelle. Apa yang Isabelle lakukan saat-saat genting untuk menolong keluarganya dan keluarga suaminya tidak sia-sia karena pada akhirnya mereka berterimakasih kepada Isabelle yang telah menolong mereka. Semua itu karena perjuangan dia untuk mendapat kebebasan dari orang-orang yang selalu menyakitinya. Data diatas juga menunjukkan ketika keinginan seorang perempuan terpenuhi, maka hal itu akan menimbulkan kesenangan dan kenikmatan tersendiri pada diri perempuan. Ia mendapatkan pengakuan dengan usaha-usaha yang dilakukannya. Karena sebelumnya ia telah mengalami lika-liku kehidupan, mulai dari keinginan untuk mendapatkan pendidikan, mengatasi penindasan yang ia terima dari orang-orang disekitarnya sampai ia pergi ke Geneva untuk meraih kebebasan. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan Isabelle untuk meraih hak dan kebebasan dalam novel The Virgin Blue ini berkaitan dengan konsep feminisme liberal.


(42)

4.2 Identifikasi Pengaruh Isabelle sebagai Representasi Karakter Feminisme Liberal terhadap Karakter Ella Turner.

Subbab ini akan membahas pengaruh karakter Isabelle terhadap karakter Ella Turner dalam novel The Virgin Blue. Dimana di dalam novel tersebut karakter Isabelle merupakan leluhur dari karakter Ella Turner. Keterkaitan karakter tersebut didukung oleh beberapa faktor seperti emosional, psikis dan sosial. Penulis mengambil konsep psikologi, dan sosial karena dalam novel tersebut terkandung nilai psikologi, dan sosial terhadap karakter Ella Turner. Dalam novel tersebut menceritakan sosok Ella yang ingin menyelidiki tentang leluhurnya yang membuat ia selalu bermimpi tentang leluhurnya itu dan mimpi tersebut sangat mengganggu kehidupannya. Namun ia tidak mudah untuk mencari kisah leluhurnya tersebut karena banyak hambatan yang harus ia lalui.

Subbab ini juga sekaligus membahas pertanyaan kedua yang tertera pada rumusan masalah. Penulis melakukan analisis terhadap data-data yang menjelaskan pengaruh karakter Isabelle terhadap karakter Ella Turner dalam novel The Virgin Blue.

Bonjour Madame, she said in the singsong intonation French women use in shops.

Bonjour, I replied, glancing at the bread on the shelves behind her and thinking. This will be my boulangerie now. But when I looked back at her, expecting a warm welcome, my confidence fell away. She stood solidly behind the counter, her face like armour. (Chevalier, 24-25)

Percakapan itu terjadi di sebuah tempat perbelanjaan dimana ada seorang wanita di bagian kasir sedang melayani pelanggan. Ketika kasir tersebut selesai melayani pelanggan lain, ia melayani Ella dan mulai bertanya dengan berbahasa


(43)

Perancis. Ella menjawab dengan bahasa Perancis, namun intonasi yang Ella pergunakan membuktikan bahwa ia bukanlah orang Perancis dan hal tersebut membuat wanita tersebut tidak ramah dengannya, tidak seperti yang dia harapkan. Ella Turner adalah seorang warga Amerika yang sementara waktu tinggal di Perancis karena suaminya sedang bekerja di negara tersebut. Ia sangat sulit untuk berbahasa Perancis, awalnya ia percaya diri, namun ketika ia berbicara langsung dengan warga Perancis ia tidak mendapatkan sambutan dengan baik dan ia merasakan sulit untuk berinteraksi. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain dan selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan adanya hubungan satu dengan yang lain maka akan adanya interakasi sosial antara manusia tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh H. Bonner melalui Drs. H. Abu Ahmadi bahwa interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, merubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya, (2007, 49)

Seharusnya dengan adanya interaksi sosial tersebut, itu merupakan keuntungan bagi karakter Ella Turner sebab dengan adanya dua macam fungsi yang dimiliki itu timbullah kemajuan-kemajuan dalam hidup bermasyarakat. Jika manusia ini hanya sebagai objek semata-mata maka hidup tidak mungkin lebih tinggi daripada kehidupan benda-benda mati, sehingga kehidupan manusia tidak mungkin timbul kemajuan. Sebaliknya, jika manusia hanya sebagai subjek semata-mata, maka ia tidak mungkin bisa hidup bermasyarakat sebab pergaulan baru bisa terjadi apabila ada give and take dari masing-masing anggota. Jadi jelas


(44)

bahwa hidup individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan dan selalu berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Padahal di dalam feminisme liberal terdapat adanya kebebasan sipil untuk berbeda dimana Ella mempunyai hak untuk memilih tinggal di Perancis dan ia pun mempunyai hak untuk berbeda bahasa.

Dengan sulitnya berinteraksi yang terjadi pada Ella membuat ia sulit untuk berbicara bahasa Perancis sehingga ia dijauhkan oleh komunitas warga Perancis. Oleh karena itu, Ella pun kursus bahasa Perancis di Toulose dengan Madame Sentier dua kali dalam seminggu. Tetapi Madame Sentier menegaskan pada Ella seperti data berikut;

If you do not pronounce the words well, no one will understand what you say, she declare. Moreover, they will know that you are foreign and will not listen to you. The French are like that. (Chevalier, 29)

Madame Sentier membuat Ella mengucapkan kosa kata dalam bahasa Perancis dengan tepat. Tetapi wanita itu menegaskan kepada Ella bahwa orang-orang Perancis tidak akan pernah menanggapi bahkan mengacuhkan orang-orang asing yang tidak mengucapkan kata-kata dalam bahasa Perancis dengan tepat.

Oleh karena itu, Ella harus memperlancar bahasa Perancisnya jika ia ingin diterima oleh orang-orang Prancis itu sendiri. Ini mempengaruhi perkembangan pribadi dari karakter Ella sendiri. Menurut Gabriel Tarde melalui buku karya Ahmadibahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan pada faktor

imitasi saja. Walaupun pendapat ini berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Memang sukar orang belajar bahasa tanpa mengimitasi orang lain, bahkan tidak hanya berbahasa saja, tetapi juga tingkah


(45)

laku tertentu, cara memberi hormat, cara berterimakasih dan lain-lain faktor imitasi yang memegang peranan penting. Begitu juga dengan Ella ia akan sangat sulit berinteraksi dengan bahasa Perancis jika ia tidak mengimitasi bahasa Perancis dari orang-orang Perancis itu sendiri.

Dari kutipan tersebut menunjukkan bahwa perbedaan itu sangat berpengaruh bagi penduduk pendatang yang tidak lancar berbahasa Perancis. Karena sulitnya ia berbahasa Perancis dan ia pun merasa terisolasi di Negara itu, ia pun pasrah dan akhirnya ia pergi ke sebuah sungai di malam hari. Ketika ia berada di sungai itu, ia mendengar ada suara dari dasar sungai. Tetapi ketika ia melihat ke bawah sungai hanya berwarna gelap yang ia lihat. Ia bersandar dan merasa bahwa ada yang berbeda pada malam itu.

Something did change that night. That night I had the dream for the first time. It began with flickering, a movement between dark and light. It wasn’t white, it was blue. I was dreaming in blue. (Chevalier, 32)

Pada saat tidur ia bermimpi untuk pertama kalinya. Mimpi itu berawal dari sebuah kedipan. Dalam mimpi itu ada gelap dan ada terang dan ada warna biru di dalam mimpi tersebut. Mimpi itu seolah menunjukkan sesuatu padanya, tetapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya dalam mimpi tersebut. Mimpi itu bergerak seolah angin sedang menerpanya. Bahkan di dalam mimpi itu terdengar ada suara nyanyian, ada yang menangis dan Ella pun ikut menangis sampai ia tidak bisa bernafas. Menurut Jung mimpi adalah bagian dari alam, yang tidak mengandung maksud untuk menipu, melainkan untuk mengungkapkan sesuatu hal sebaik mungkin (2003; 222). Seperti yang terjadi pada mimpi Ella. Mimpi itu mengajak ia untuk mengungkapkan sesuatu yang ia belum ia ketahui.


(46)

Mimpi itu terus menghantui sepanjang hari sampai ia tidak mau menceritakan pada siapapun apa yang terjadi pada dirinya termasuk suaminya.

Above all, I was exhausted. I was sleeping badly, dragged into a room of blue each night. I didn't say anything to Rick never woke him or explained the next day why I was so tired. Usually I told him everything; now there was a block in my throat and a lock on my lips. (Chevalier,33)

Ella sangat terganggu dengan mimpi-mimpi itu. Ia merasa lelah karena setiap malam ia selalu bermimpi sampai ia tidak ingin mengatakan kepada suaminya tentang mimpi tersebut. Namun mimpi itu sangat membebani dirinya dan pikirannya. Apa yang terjadi pada Ella sangat mempengaruhi psikologisnya khususnya pikiran bawah sadarnya. Sebenarnya pikiran bawah sadar itu memberikan pemikiran tentang pengaruh naluri dan pengalaman masa lalu terhadap perasaan dan perilaku sekarang. Mimpi yang terjadi pada Ella ada kaitannya dengan masa lalunya yang ia tidak ketahui. Masa lalu yang ada pada mimpi itu berpengaruh dengan perasaan da perilakunya saat ini. Menurut Freud, dalam Jarvis (2010: 61), bahwa mimpi sebagai perjalanan mewah untuk mendapatkan pengetahuan tentang aktifitas pikiran bawah sadar. Selain menjalankan fungsi-fungsi yang terpenting bagi pikiran bawah sadar, mimpi juga bertindak sebagai petunjuk berharga untuk memahami cara kerja pikiran bawah sadar.

Seringnya mimpi itu hadir dalam tidurnya membuat ia ingin pergi ke dokter. Ia pun bertemu dengan dokter di kota tersebut. Dokter itu pun melihat dirinya sangat lelah. Ella pun bercerita bahwa ia mengalami mimpi buruk. Namun ia tidak menceritakan selanjutya dan dokter itu pun bertanya;


(47)

No, no, not unhappy, I replied uncertainly. Sometimes it’s hard to tell when I’m so tired, I added to myself. (Chevalier, 36)

Percakapan ini terjadi ketika Ella menemui dokter. Ella berusaha menutupi ketidakbahagiannya. Dokter itu mengatakan seperti itu karena sebelumnya Ella sekilas menceritakan padanya bahwa ia mengalami mimpi buruk. Dilihat dari sudut pandang kognitif pemikiran Ella sama baiknya dengan perasaan dan caranya berperilaku. Ella mempunyai pikiran negatif dan tidak realistis tentang dirinya sendiri, situasi atau masa depannya dengan Rick. Ella merasa hidupnya hampa dan tidak tahu bagaimana masa depannya bersama Rick. Pola pikir yang tidak sehat itu cukup menimbulkan depresi untuknya.

Dengan permasalahan yang ada pada Ella membuatnya tetap merasa orang-orang Perancis begitu acuh dengannya.

Conversations stopped when I entered stores, and when resumed I was sure the subject had been changed to something innocuous. People were polite to me, but after several weeks I still felt I hadn’t had a real conversation with anyone. I made a point of saying hello to people I recognized, and they said hello back, but no one said hello to me first or stooped to talk to me/ I tried to follow Madam Sentier’s advice about talking as much as I could, but I was given so little encouragement that my thought dried up. Only when a transaction took place, when I was buying things or asking where something was, did the townspeople spare a few words for me. (Chevalier, 36-37)

Ella pergi ke sebuh toko di tempat perbelanjaan di kota tersebut. Dia merasa dirinya terisolasi, padahal mereka sudah berlaku sopan kepadanya. Di lihat dari perspektif sosial melihat bahwa posisi individu dalam hubungannya dengan individu lain dan masyarakat sebagai satu suatu keseluruhan (Janvis; 2006, 5).

Dengan ketidakperdayaannya membuat ia merasakan tidak adanya kebahagiaan di dalam dirinya;


(48)

After that I felt uncomfortable in town. I avoided the café and the woman with her baby. I found it hard to look people in the eye. My French became less confident and my accent deteriorated. (Chevalier, 39)

Apa yang terjadi pada Ella membuatnya tidak nyaman berada di kota tersebut. Ia berusaha untuk belajar bahasa Perancis, namun ia tetap sulit beradaptasi bahkan menghindar dari warga kota tersebut. Mungkin karena ia sebelumnya merasa orang-orang Perancis tidak menerimanya di kota tersebut karena ia adalah seorang Amerika dan ia tidak bisa berbahasa Perancis. Walaupun sesudahnya ia belajar bahasa Perancis ia tetap tidak percaya diri dan logat bahasanya makin memburuk. Padahal berinteraksi dengan masyarakat sekitar sangat diperlukan untuk kita dapat mengenal satu sama lain karena pada kenyataannya manusia adalah makhluk sosial yang tentu saja membutuhkan manusia lain.

Your name is Turner, so there must be Turner on the card, yes?I lapsed into English. I-since I’m living here now I thought I’d start using Tournier. But you have no card or letter with Tournier on it, no? (Chevalier,42) Sulitnya ia bersosialisasi dengan warga Perancis, ia pun berencana membuat kartu baik kartu perpustakaan, kartu kredit dan sebagainya. Namun ia tidak mau menggunakan nama belakangnya saat ini yaitu Ella Turner. Ia membuat kartu tersebut tidak semudah yang ia bayangkan karena sebelumnya ia selalu membuat identitas menggunakan nama belakangnya Turner. Ia pun menjelaskan dengan penjaga perpustakaan bahwa nama belakang keluarganya sebelumnya adalah Toernier. Tetapi ketika keluarganya pindah dari Perancis ke Amerika, mereka menggunakan nama belakang Turner. Seperti halnya Ella yang ketika ia dipersulit dalam pembuatan kartu perpustakaan ia pun sedih dan tidak tahu harus


(49)

berbuat apa-apa. Padahal tujuan dalam feminisme liberal adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang. Ella memang bukan penduduk asli Perancis melainkan penduduk Amerika, tetapi ia memunyai hak keadilan dalam negara itu.

Ketika malam hari ia membukakan pintu ternyata ada sebuah kartu perpustakaan di atas kursi dan kartu itu sudah menggunakan nama belakangnya yang ia inginkan yaitu Ella Tournier. Ia sangat bahagia dan ia merasa mendapatkan keadilan dari penjaga perpustakaan tersebut.

Ketika Ella menginginkan identitas sosial baru dalam pembuatan kartu baik kartu perpustakaan, kartu kredit dan lain sebagainya bisa dilihat dari pendekatan sosial. Mungkin ia berpikir dengan identitas sosial yang baru yaitu menggunakan kartu perpustakaan dengan nama belakang keluarganya yaitu Tournier untuk dapat dipandang lebih positif oleh warga Perancis daripada identitas sosial sebelumnya.

Apa yang Ella lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan kebebasan sipil, dimana ia mempunyai hak untuk memiliki apa yang orang-orang Perancis punya. Seperti halnya yang diinginkan Ella yaitu memiliki kartu perpustakaan untuk mempermudah penelitian tentang keluarga Tournier.

Dari pembuatan kartu inilah Ella bertemu dengan Jean Paul yang seorang perpustakawan asal Perancis. Sejak saat itu mereka saling berkenalan dan Jean Paul pun membantunya dalam mencari apa yang ada pada mimpi Ella tersebut.

You do not sleep? He asked

I’ve been having nightmares. Well, a nightmare. And you tell your husband about it? Your friends? I haven’t told anyone.


(50)

Why you do not talk to your husband?

I don’t want him to think I’m unhappy here. I didn’t add that might feel threatened by the dream’s connection sex. (Chevalier, 51)

Ketika ia bertemu Jean Paul di sebuah perpustakaan akhirnya mereka banyak bercerita. Jean bertanya kepada Ella apa yang terjadi pada dirinya dan Ella pun menceitakannya kepada Jean Paul. Bahkan Jean menanyakan bagaimana gambaran mimpi itu. Saat itu Ella berusaha menggambarkan mimpinya.

So what is the nightmare? Describe it to me.

I looked out over the river. I only remember bits of it. There’s no real story. There’s a voice-no, two voices, one speaking in French, the other crying. All of this is in fog, like the air is very heavy, like water. And there’s a thud at the and, like a door being shut. And most of all there’s the colour blue everywhere. Everywhere. I don’t know what it is that scares me so much, but everytime I have the dream I want go to home. It’s the atmosphere more than what actually happens that frightens me. And the factthat I keep having it, that it won’t go away, like it’s with me for life. That’s the worst of all. I stopped. I hadn’t relized how much I’d wanted to tell someone about it. (Chevalier, 51-52)

Ella mengingat-ingat sedikit tentang mimpi tersebut. Di dalam mimpi tersebut hanya ada satu atau dua suara. Salah satunya berbahasa Perancis. Ada yang menangis dengan histeris. Warna biru itu sangat terang tetapi terkadang warna biru itu berubah menjadi gelap. Ella mengakui bahwa ia sangat sulit menggambarkan isi dari mimpi itu. Bayang-bayang dalam mimpi itu indah, namun membuatnya sedih. Mimpi-mimpi itu tidak pernah berhenti menghampiri Ella. Ia pun ingin menceritakan mimpi-mimpi kepada orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Rachel Berman bahwa mimpi sebagai pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya


(51)

dalam tidur. Begitu juga dengan karakter Ella dalam novel The Virgin Blue, ia merasa mendengar adanya suara dalam mimpi itu dan itu mengganggu pikirannya. Hal itu membuat dirinya selalu berfikir bagaimana cara mendeskripsikan mimpi tersebut. Di dalam mimpi itu warna biru itu sangat terang dan terkadang mimpi itu membuatnya sedih.

And the voices? Who are they?

I don’t know. Sometime it’s my voice. Sometimes I wake up and I’ve been saying the words. I can almost hear them, as if the room has just then gone silent. (Chevalier, 52)

Jean Paul pun kembali bertanya kepada Ella suara yang ada dalam mimpi itu sehingga Ella mencoba mengingat dan Ella pun menyadari bahwa di dalam mimpi itu terdapat suaranya sendiri. Ia mencoba menutup matanya dan mencoba mengingat-ingat kata-kata apa yang ada dalam mimpi itu. Ia teringat sedikit, namun mimpi itu menggunakan bahasa Perancis je suis un pot casse dan tu es ma tour et foreteresse. Ketika ia membuka matanya, ia terkejut melihat Jean Paul sedang berkonsentrasi, ternyata Jean meneruskan kalimat Ella dengan bahasa Perancis. Ella makin terkejut mengapa Jean mengetahui kalimat dalam mimpi itu secara tepat. Ella pun bertanya kepada Jean bagaimana ia mengetahui pernyataan itu. Jean menjawab bahwa ia pernah membaca sebuah kitab di sebuah gereja di Toulose yang isinya pernyataan yang ada dalam mimpi Ella. Ella menyadari bahwa leluhurnya tersebut pernah tinggal di Toulose dan ia semakin ingin mengetahui kisah leluhurnya tersebut. Ketiga teks di atas saling berhubungan karena memiliki makna dan tujuan yang sama yaitu menggambarkan bagaimana cerita dalam mimpi tersebut. Mimpi seperti suatu cerita yang membawa pemimpi


(52)

tersebut berperan didalamnya sebagai tokoh yang penting. Mimpi terkadang terasa sangat nyata sehingga kita baru menyadarinya ketika kita terbangun.

Ella pun akhirnya menceritakan mimpi itu kepada suaminya Rick. Ia menggambarkan juga tentang mimpi itu kepada suaminya. Ia berfikir bahwa ia harus menceritakannya karena mimpi itu sangat mengganggunya. Rick pun memberikan nasehat untuknya agar ia bangun ketika ia sedang bermimpi. Ella menjelaskan kepada Rick bahwa mimpi yang ia alami saat ini tidak seperti mimpi-mimpi sebelumnya. Ia merasa bahwa ia ada dalam mimpi-mimpi itu dan menurutnya sesuatu ada yang berubah dalam dirinya.

Seiring dengan cerita diatas, Ella pun berkeinginan untuk mencari asal usul keluarganya yaitu Tournier. Tetapi ia harus memperlancar bahasa Perancisya agar ia dapat dengan mudah mencari berita tentang keluarganya. Madame Sentier mengakui bahwa Ella memiliki peningkatan dalam pemakaian kosa kata dalam bahasa Perancis, seperti yang ada dalam data berikut;

I never know what will say next, she said. But at least your accent is improving. (Chevalier, 92)

Setelah Ella banyak belajar bahasa Perancis dengan Madame Sentier (seorang warga Perancis), Akhirnya ia memiliki peningkatan intonasi berbahasa Perancis sehingga ia dapat diterima oleh warga di kota tersebut. Ia pergi ke perpustakaan dimana Jean Paul bekerja untuk mencari tahu tentang asal-usul keluarganya karena ia tahu bahwa keluarganya berasal dari Perancis di abad 16 dan mereka tinggal di Toulose dimana Ella tinggal saat ini.pencarian itu Ella lakukan karena pengaruh dari Isabelle. Ketika ia berada dalam perpustakaan, ia


(53)

menunjukkan sebuah kartu pos kepada Jean Paul dan berusaha meyakini Jean bahwa di dalam itu adalah leluhurnya.

No, no, look at the name! The name of the painter!

He read aloud in a low voice, Nicolas Toernier, 1590 to 1639. He looked at me and smiled. At the Blue, I whispered, touching the card. It’s that blue. And you know the dream I told you about? I figured out even before I saw this that I was dreaming of dress. A blue dress.that blue.

Don’t tyou see? He is my ancestor?

Jean Paul glanced around, shifted on the desk, looked at the card again. Why do you think this painter is your ancestor?

Because of the name, obviously, and the dates, but mostly because of the blue. It matches perfectly with the dream. Not just the colour itself, but the feeling around it. That look on her face. (Chevalier, 93-94)

Ella akhirnya mengetahui bahwa yang selama ini ada dalam mimpinya adalah leluhurnya. Ia berusaha meyakini Jean bahwa yang ada di dalam mimpi itu adalah leluhurnya. Awalnya Jean tidak yakin dan ia banyak bertanya pada Ella mengapa ia yakin bahwa itu adalah leluhurnya. Jean akhirnya mencari tahu tentang leluhur Ella itu.

Saat ini Ella sangat tertarik untuk mencari tahu tentang leluhurnya tersebut, padahal sebelumnya ia tidak begitu tertarik karena sebelumnya ia tidak pernah tinggal di Perancis. Ternyata itu semua ada yang ia harapakan, seperti data berikut;

I intended to say something about being accepted by the French, about feeling like a belonged to the country. I want to make the blue nightmare go away. I found myself saying instead. (Chevalier, 131)

Setelah ia mengetahui apa yang ada dalam mimpinya dan ia sudah mempunyai peningkatan dalam bahasa Perancis ia berharap dapat diterima oleh orang-orang Perancis. Bahkan ia menginginkan mimpi buruk tentang biru tersebut


(1)

55 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan Pengggambaran Karakteristik Feminisme Liberal yang Muncul dalam Karakter Isabelle

Setelah melakukan penelitian terhadap novel The Virgin Blue karya Tracy Chevalier ini, penulis menyimpulkan bahwa adanya tuntutan pendidikan yang setara dengan laki-laki, perekonomian, politik gender, serta adanya tuntutan pengakuan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas nalar yang sama dan tidak ada yang membeda-bedakan bahwa laki-laki tingkatan lebih tinggi dibanding perempuan.

Perjuangan gerakan feminisme yang dilakukan oleh Isabelle dalam mendobrak penindasan adalah dengan jalan pendidikan, dan pergi ke Geneva bersama keluarga Tournier untuk mendapat tempat tinggal yang aman dari penindasan dan penghinaan dari orang-orang disekitarnya. Selain mendapatkan penindasan dan penghinaan dari laki-laki, ia juga mendapatkan penindasan dan penghinaan dari perempuan yang tingkatannya lebih tinggi dari Isabelle.

Penulis juga menyimpulkan bahwa konsep feminisme liberal tercermin dari perjuangan Isabelle dalam mendobrak ketidakadilan yang ia terima dari warga disekitarnya, melalui konsep ini juga ia dapat mencapai kebebasan, kebahagiaan, dan kesetaraan dalam hidupnya.


(2)

56

5.2 Simpulan Pengaruh Isabelle sebagai Representasi Karakter Feminisme Liberal terhadap Karakter Ella Turner.

Penulis menyimpulkan bahwa pengaruh karakter seseorang dapat mempengaruhi karakter lainnya. Hal tersebut dapat dilihat melalui perasaan, psikis dan sosial, seperti yang terjadi pada karakter Isabelle yang mempengaruhi karakter Ella Turner melalui mimpinya. Karena hal tersebut, Ella terganggu psikis dan perasaannya. Dengan mimpi-mimpi yang terjadi pada Ella membuatnya ingin mengetahui tentang keluarga Tournier yang tidak lain leluhurnya. Ia merubah warna rambutnya agar ia seperti istri leluhurnya tersebut. Itu yang membuktikan bahwa Isabelle mempengaruhi Karakter Ella. Karena mimpi-mimpi itu juga, ia akhirnya dapat berbahasa Perancis sehingga ia dapat diterima oleh warga kota tersebut. Setelah itu ia menjalani kehidupan baik dengan suami ataupun orang-orang disekitarnya tanpa adanya gangguan dari mimpi-mimpi itu. Perjuangannya untuk mendapatkan keadilan dari warga Perancis merupakan cerminan dari konsep feminisme liberal. Melalui konsep ini, ia dapat mencapai kebebasan dalam berinteraksi dengan warga sekitar.

5.3 Saran

Penulis memberi beberapa saran setelah melakukan penelitian ini, diantaranya adalah :

1. Kajian pada suatu karya sastra seperti novel, merupakan salah satu cara yang tepat oleh mahasiswa ketika ingin meneliti kesusastraan yang terkandung dalam novel ataupun unsur-unsur seperti intrinsik dan


(3)

57

ekstrinsik. Karena novel memiliki cerita yang berkesinambungan yang memudahkan pembaca maupun peneliti dalam memahami dan melakukan telaah terhadap ceritanya.

2. Feminisme sejatinya tidak dipandang sebagai jalan untuk menentang kaum laki-laki dan kodrat yang ada, tetapi feminisme merupakan pergerakan, cara perempuan untuk meraih haknya agar dapat setara dengan laki-laki. 3. Feminisme sebaiknya lebih diperdalam bagi pembelajaran kedepan baik

itu dalam ilmu sastra maupun dalam ilmu-ilmu lain. Karena melalui feminisme ini, mahasiwa dapat mengerti bagaimana sebuah perjuangan menjadi sebuah pergerakan dan dapat mengerti bagaimana seorang perempuan seharusnya dimasyarakat dan sosial.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta

Chevalier, Tracy. 1987. The Virgin Blue. United States of America: Penguin books, Ltd.

Humm, Maggy. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Jarvis, Matt. 2000. Teori-teori Psikologi. London: Penerbit Nusa Media

John W. Creswell. 1994. Research Designed, Qualitative & Quantitative Approaches, SAGE Publications, Thousand Oaks, London New, Delhi Jung, Carl Gustav. 2003. Memories, Dreams, Reflections, Yogyakarta: Penerbit

Jendela.

Putnam Tong, Rosmarie.1989. Feminist Thought. United States of America: Westview Press, Inc.

Ratna, Nyoman Kutha.2004.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A.

Biodata Diri

1. Nama : Eighwika Kurnia Juwita

2. Tempat dan Tanggal Lahir : Gisting/ 9 Agustus 1987 3. Nomor Pokok Mahasiswa : 63705003

4. Jenis kelamin : Perempuan

5. Kebangsaan : Indonesia

6. Agama : Islam

7. Nomor Handphone : 085624222238

8. Alamat : Jl. Pejuang Jaya Blok A No 207 A RT/RW 03/11 Kec. Medan Satria Harapan Indah Bekasi

9. E-mail : eighwika@ymail.com

10.Berat Badan : 48 Kg

11.Tinggi Badan : 165 Cm

12.Status Hubungan : Menikah 13.Orang Tua

a. Nama Ayah : Drs. Jusman Effendy (Alm)

Pekerjaan : PNS

Alamat : Jl. Raya Kutadalom No.8 Gisting Tanggamus Lampung

b. Nama Ibu : Widarnis, S.pd

Pekerjaan : PNS

Alamat : Jl. Raya Kutadalom No.8 Gisting Tanggamus Lampung


(6)

B.

Latar Belakang Pendidikan

No

Nama Sekolah dan Perguruan Tinggi

Tahun

1 Taman Kanak-kanak Aisyiah 1991 - 1993

2 SD Muhammaddyah Gisting 1993 - 1999

3 SLTP Negeri 2 TalangPadang 1999 - 2002

4 SMA Negeri 3 Pringsewu 2002 - 2005

5 UNIKOM Bandung 2005- 2011

C.

Latar Belakang Pendidikan Informal

No

Program

Tempat

Tahun

1 Kursus Bahasa Inggris EMBASSY - Jakarta 2001-2005

2 Pelatihan “OLIMPUS” UNIKOM - Bandung 2005

3 Pelatihan “ELITE 05” UNIKOM - Bandung 2005

4 Kursus conversation LIA- Bandung 2008

D.

Latar Belakang Pekerjaan dan Organisasi

No

Profesi

Tempat

Tahun

1 Sekretaris Osis SMAN 3 Pringsewu 2002-2003 2 Wakil Koordinator Seni SMAN 3 Pringsewu 2003-2004

3 Modern Dance SMAN 3 Pringsewu 2002-2005

4 KKL RRI bandung 2007

Saya menyatakan bahwa semua informasi yang diberikan pada daftar riwayat hidup ini adalah benar adanya.