nn
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan Mei 2011 di PTPN VII Unit Usaha Way Berulu Blok 92.C Desa Wiyono Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran dengan luas areal pertanaman karet yang dijadikan tempat penelitian adalah 13 Ha. Peta lokasi penelitian selengkapnya tertera pada Gambar 1. ( lampiran )
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah yang diambil dari 5 titik dengan kedalaman pengambilan sampel tanah 0 – 40 cm dan 40 – 80 cm dan bahan-bahan kimia untuk analisis tanah di laboratorium.
Peralatan yang digunakan adalah bor, cangkul, GPS, meteran, munsell soil colour chart, abney level, kamera digital, tali, pisau, alat tulis dan kantong plastik untuk tempat contoh tanah. Posisi pengambilan sampel tanah tertera pada Gambar 2. (lampiran)
C. Metode Penelitian
Metode yang dilakukan untuk evaluasi lahan pada penelitian ini adalah metode survey dengan menggunakan metode evaluasi lahan secara paralel, yaitu
(2)
me-lakukan evaluasi kualitatif (biofisik) dan kuantitatif (finansial) secara bersamaan. Metode yang digunakan yaitu :
a. Evaluasi berdasarkan kriteria biofisik menurut Djaenuddin dkk. (2003). b. Evaluasi nilai kelayakan finansial dengan menghitung NPV, Net B/C
Ratio, IRR, BEP
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa tahap, yaitu : persiapan, pra survei, pengamatan lapang dan pengambilan contoh tanah, analisis tanah di laboratorium, pengumpulan data (data primer dan sekunder), dan analisis data.
1. Tahap Persiapan
Tahap ini merupakan tahap studi pustaka, yaitu meneliti dan mengkaji sumber-sumber pustaka tentang keadaan lokasi penelitian sehingga memperoleh gambaran umum tentang lokasi penelitian, seperti data iklim, dan karakteristik lahan. Pada tahap ini dilakukan survey lapang secara kasar dan penentuan titik pengambilan contoh tanah yang mewakili secara keseluruhan berdasarkan keadaan lapang.
2. Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi : a) Data Fisik Primer
Pengumpulan data fisik primer, dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran langsung di lapang melalui deskripsi profil boring sampai kedalaman 120 cm dan mengambil contoh, kemudian dianalisis di
(3)
27
bahan kasar, kedalaman tanah, bahaya sulfidik, lereng, bahaya erosi dilapang, genangan, batuan permukaan, dan batuan singkapan. Data yang analisis di laboratorium meliputi : KTK liat, kejenuhan basa, basa-basa dapat ditukar (Ca, Mg, Na, dan K), pH tanah, C-organik, toksisitas (salinitas) dan tekstur tanah.
1) Cara Pengukuran dan Pengamatan Lapang Data fisik primer yang diamati di lapang sebagai berikut : Drainase
Drainase tanah menunjukkan kecepatan meresapnya air dari tanah atau keadaan tanah yang menunjukan lamanya dan seringnya jenuh air. Drainase diamati dengan cara ada tidaknya genangan air atau ada tidaknya warna kelabu pada tanah lokasi penelitian. Cara pengamatannya di lapang yaitu melalui pengeboran tanah, apabila tanah berwarna homogen tanpa bercak-bercak kuning atau karatan besi, berwarna coklat serta kelabu pada lapisan sampai 100 cm berarti drainase pada tanah tersebut baik. Sebaliknya apabila terdapat warna atau bercak-bercak bewarna kelabu, coklat dan kekuningan
menunjukkan bahwa tanah tersebut mempunyai drainase yang buruk,
pengamatan warna tanah dilakukan dengan menggunakan munsell soil color chart.
Bahan kasar
Bahan kasar adalah batu atau krikil yang ada dalam tanah, berukuran 0,2-2,0 cm, yang berpengaruh terhadap penggunaan tanah dan pertumbuhan tanaman. Cara pengamatan bahan kasar di lapang yaitu dengan melihat ada tidaknya batu-batu kecil pada tiap lapisan tanah dengan cara pengamatan profil tanah
(4)
lokasi penelitian. Cara pengukurannya di lapang yaitu dengan menghitung berapa persen bahan kasar yang terdapat pada lapisan tanah yang di bor.
Kedalaman tanah
Kedalaman tanah diukur dengan melakukan pengeboran menggunakan bor tanah pada lokasi penelitian , sedangkan kedalaman efektif mempengaruhi perkembangan perakaran dari tanaman yang dievaluasi. Kedalaman tanah merupakan keadaan dimana tanah tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Bahaya sulfidik
Bahaya sulfidik tidak diamati dikarenakan letak lokasi penelitian jauh dari pantai.
Lereng
Cara pengukuran lereng dilakukan dengan menggunakan abney level, dinyatakan dalam persen. Pengukuran lereng dilakukan dengan berdiri dari tempat yang paling rendah ke tempat yang tinggi.
Bahaya erosi di lapang
Tingkat bahaya erosi dapat dilihat berdasarkan kondisi di lapangan, yaitu dengan memperhatikan adanya erosi lembar permukaan (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), dan erosi parit (gully erosion) atau dengan memperhatikan lapisan tanah yang sudah hilang.
Genangan
Bahaya banjir dicirikan dengan adanya genangan air yang ada di permukaan tanah. Pengamatan dilakukan melalui wawancara kepada petani setempat, apakah terdapat genangan yang menutupi seluruh lahan dengan air (terendam air) pada lahan yang akan diteliti pada saat musim hujan lebih dari 24 jam.
(5)
29
Batu permukaan
Batu di permukaan diamati dengan melihat ada tidaknya batu-batu kecil atau besar yang tersebar pada permukaan tanah atau lapisan olah di lokasi
penelitian, cara mengukur batu di permukaan yaitu melihat berapa persen batu yang tersebar di atas permukaan tanah pada lokasi penelitian.
Batuan singkapan
Batuan singkapan diamati dengan melihat ada tidaknya batuan-batuan besar yang tersingkap pada lokasi penalitian. Cara mengukur batuan singkapan yaitu dengan melihat berapa persen terdapat batuan besar yang tersingkap dipermukaan tanah pada lokasi penelitian.
2) Cara Pengambilan Contoh Tanah
Contoh tanah diambil dengan menggunakan bor tanah pada 5 titik yaitu masing-masing pada kedalaman 0 ─ 40 cm untuk lapisan atas dan 40 ─ 80 cm untuk lapisan bawah. Selanjutnya 5 contoh tanah pada masing-masing
kedalaman tersebut dikomposit dan dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk analisis laboratorium.
3) Analisis Tanah di Laboratorium
Analisis tanah di laboratorium dilakukan dengan cara menganalisis contoh tanah yang telah diambil secara komposit dari 5 titik. Kemudian contoh tanah dikering udarakan , lalu diayak dengan menggunakan ayakan 2 mm. Tanah yang telah diayak dianalisis di Laboratorium Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, untuk mengetahui sifat kimia dan fisiknya.
(6)
Sifat kimia yang dianalisi adalah pH H20, kejenuhan basa, basa - basa dapat
ditukar (CA, Mg, Na, dan K), toksisitas (salinitas), KTK, dan C-organik, sedangkan sifat fisik tanah yang dianalisis adalah tekstur tanah, dengan metode analisis disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Metode analisis tanah di laboratorium No Analisis Metode 1 pH H2O pH meter
2 Kejenuhan Basa NH4OAc 1 N pH 7
3 Basa-basa dapat ditukar 4 Toksisitas (salinitas) 5 C-organik
NH4Oac 1 N pH 7
Electro conductivity Walkey and Black 6 KTK NH4OAc 1 N pH 7
7 Tekstur tanah Hydrometer
b) Data Fisik Sekunder
Data fisik sekunder yang dikumpulkan yaitu data curah hujan,, data temperatur, dan data kelembaban udara yang diambil untuk 9 tahun terakhir. Data dikumpulkan dengan cara mengambil dari PTPN VII di Wiyono.
c) Data Sosial Ekonomi Primer
Data sosial ekonomi yang dikumpulkan sebagai data primer meliputi : biaya produksi (benih, pupuk, pestisida), peralatan, tenaga kerja (pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pengendalian gulma, penyadapan, dll), dan pendapatan yang diperoleh petani di Unit Usaha Way Berulu. Data sosial ekonomi primer dikumpulkan dengan wawancara kepada petani karet Unit Usaha Way Berulu dan petani disekitar selama 5 tahun.
(7)
31
d) Data Sosial Ekonomi Sekunder
Data sosial ekonomi sekunder yang dikumpulkan yaitu data luas panen dan produksi tanaman karet Propinsi Lampung dan Kecamatan Gedong Tataan yang diambil untuk 10 tahun terakhir
3. Analisis Data
a. Evaluasi kesesuaian lahan
Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan membandingkan potensi fisik lingkungan dengan persyaratan tumbuh tanaman karet berdasarkan petunjuk teknis Djaenudin dkk. (2003) dengan nilai karakteristik lahan di lokasi penelitian. Kriteria syarat tumbuh tanaman karet berdasarkan Djaenudin dkk. (2003)
selengkapnya tertera pada Tabel 9 ( lampiran ).
b. Analisis Kelayakan Finansial
Untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial unit usaha Way Berulu dilakukan analisis sebagai berikut :
i. Net Present Value (NPV)
Secara matematis rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut
NPV =
n
l i
i l C
B )/( )
( n
Keterangan :
B = benefit (manfaat)
C = cost (biaya)
i = tingkat suku bunga bank yang berlaku n = waktu
(8)
Bila NPV > 0, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila NPV < 0, maka usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila NPV = 0, usaha dalam keadaan break even point
ii. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
n l i i l CB )/( )
( n yang bernilai positif Net B/C Ratio =
n l i i l CB )/( )
( n yang bernilai negatif
Keterangan :
B = benefit (manfat)
C = cost (biaya)
i = tingkat suku bunga bank yang berlaku n = waktu
Kriteria investsi :
Bila Net B/C > 1, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila Net B/C < 1, maka usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila Net B/C = 1, usaha dalam keadaan break even point
iii. Internal rate of return (IRR)
Digunakan untuk menunjukkan atau mencari suatu tingkat bunga yang menunjukkan jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama dengan seluruh investasi usaha.
(9)
33
Rumus yang digunakan adalah :
IRR = i1 + NPV1 (i2 - i1)
NPV1 - NPV2
Keterangan :
i1 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV1
i2 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV2
NPV1 = NPV yang bernilai posotif
NPV2 = NPV yang bernilai negatif
Kriteria investasi :
Bila IRR > tingkat suku bunga, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila IRR < tingkat suku bunga, usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila IRR = tingkat suku bunga, usaha dalam keadaan break even point
iv. Break Event Point (BEP)
Break Event Point (BEP) adalah titik pulang pokok dimana total revenue (total
pendapatan) = total cost (biaya total). Dilihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah proyek terjadinya titik pulang pokok atau TR = TC tergantung lama arus penerimaan sebuah proyek dapat menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan beserta biaya modal lainnya. Rumus matematis yang digunakan untuk menghitung
BEP yang menunjukkan waktu pengambilan total cost adalah sebagai berikut :
Bp B T T BEP n i i iep ci
P
1 1
1 1
(10)
BEP = Break event point
Tp-1 = Tahun sebelum terdapat BEP
Tci = Jumlah total cost yang telah di-discont
Biep-1 = Jumlah benefit yang telah di-discont sebelum BEP
(11)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkebunan merupakan salah satu subsektor yang berfungsi sebagai sumber devisa non migas, penyedia lapangan kerja, dan berkaitan langsung dengan pemanfaatan sumberdaya alam. Sebagai contoh subsektor sumber non migas salah satunya adalah perkebunan karet (Hevea brasiliensis).
Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang menduduki posisi cukup penting sebagai sumber devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki prospek yang cerah. Produk karet menyumbang devisa sebesar US$4,2 miliar pada 2009 (BPS Indonesia, 2009). Volume produksi karet pada 2009 sebesar 2,8 juta ton dengan luas lahan mencapai 3,4 juta hektar di tahun 2009 (BPS Indonesia, 2009).
Menurut Soelaiman (2002), walaupun saat ini sudah berkembang karet sintetis, namun permintaan karet alam dunia masih terus meningkat. Hal ini karena karet alam tidak bisa disubstitusi sepenuhnya oleh karet sintetis. Oleh sebab itu upaya peningkatan produktivitas usahatani karet terus dilakukan terutama dalam bidang teknologi budidayanya (Setyamidjaya, 1992).
(12)
Indonesia mempunyai peluang untuk menjadi produsen karet terbesar dunia karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia semakin kekurangan lahan dan semakin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga
keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Kayu karet juga akan mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu. Dengan meningkatnya permintaan terhadap karet maka usahatani tanaman karet akan menguntungkan.
Agar tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan getah (lateks) yang optimal maka harus diperhatikan syarat-syarat lingkungan yang optimum diinginkan oleh tanaman. Persyaratan penggunaan lahan akan menentukan kualitas lahan yang diperlukan agar tanaman dapat berproduksi dengan baik dan lestari (Harjowigeno, 2001).
Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan potensi lahan yang didasarkan atas kesesuaian lahan untuk penggunaan pertanian secara lebih khusus, seperti karet. Penentuan kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan karakteristik dan kualitas lahan dengan persyaratan pengunaan lahan untuk suatu tanaman tertentu. Nilai kesesuaian lahan ditentukan oleh adanya faktor
penghambat dan tingkat dari faktor penghambat tersebut. Semakin besar tingkatan faktor penghambat yang ada, membuat kesesuaian lahan semakin berkurang.
Selain ditinjau dari kesesuaian lahanya maka diperlukan juga suatu informasi mengenai kelayakan baik itu kelayakan ekonomi, kelayakan sosial maupun kelayakan finansial suatu penggunaan lahan. Adapun kelayakan ekonomi
(13)
3
menunjukkan ekonomi wilayah secara keseluruhan dari suatu sistem penggunaan lahan bagi masyarakat sehingga dapat diketahui efisiensi pemanfaatan
sumberdaya lahan. Sedangkan kelayakan sosial ditinjau dari distribusi biaya dan manfaat antar pihak-pihak masyarakat. Kelayakan finansial ini bertujuan untuk mengetahui apakah lahan yang dikategorikan sesuai termasuk lahan yang layak diusahakan atau lahan yang dikategorikan tidak sesuai termasuk lahan yang tidak layak untuk diusahakan.
Apabila suatu lahan ternyata layak untuk diusahakan, maka usahatani dapat terus dilanjutkan dan dikembangkan. Sedangkan apabila suatu lahan tidak layak diusahakan, maka perlu adanya alternatif-alternatif tindakan, seperti penghentian atau perbaikan. (Soekartawi, 1995)
Pada penelitian ini yang diteliti adalah kesesuaian lahan dan kelayakan finansial tanaman karet di PTPN VII Unit Usaha Way Berulu Blok 92.C, Desa Wiyono, Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengevaluasi kesesuaian lahan kualitatif pada lahan pertanaman Karet (Hevea
brasiliensis) di PTPN VII Unit Usaha Way Berulu Blok 92.C, Desa Wiyono,
Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran berdasarkan petunjuk teknis Djaenuddin dkk. (2003).
2. Mengevaluasi kesesuaian lahan kuantitatif dengan menganalisis nilai kelayakan finansial budidaya tanaman Karet di PTPN VII Unit Usaha Way
(14)
Berulu Blok 92.C, Desa Wiyono, Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran dengan menghitung nilai NPV, Net B/C Ratio, IRR, dan BEP.
C. Kerangka Pemikiran
Di Indonesia karet merupakan komoditi yang penting, hal ini disebabkan karena selain potensi ekonominya, juga potensi alam dan iklimnya yang mendukung pertumbuhan tanaman karet untuk tumbuh dengan baik (Syamsulbahri, 1996). Namun, hal ini tidak ditunjang dengan kondisi lahan yang baik dan merata ditiap-tiap daerah di Indonesia. Salah satunya adalah di Provinsi Lampung dengan kondisi lahan yang didominasi oleh tanah Podzolik Merah Kuning (PMK) dengan sifat dan kualitas tanah yang rendah dalam mendukung pertumbuhan tanaman.
Banyak contoh tentang kegagalan usaha penggunaan lahan, salah satunya
disebabkan oleh kegagalan dalam memeperhatikan hubungan antara potensi lahan dengan penggunaan lahan yang dipilih. Oleh karena itu, evaluasi kesesuaian lahan berfungsi untuk mengurangi dan menghilangkan hal tersebut dan mengenalkan perencanaan dengan membandingkan berbagai alternatif penggunaan lahan yang diharapkan.
Evaluasi kesesuaian lahan adalah penilaian kecocokan tipe lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu yang lebih detil. Pada hakekatnya evaluasi kesesuaian lahan merupakan evaluasi kecocokan potensi lahan terhadap persyaratan
penggunaan yang dibutuhkan. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, topografi, batuan dipermukaan dan
(15)
5
didalam penampang tanah seerta singkapan batuan, hidrologi dan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan lahan atau
komoditas yang di evaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan untuk komoditas tersebut (Djaenuddin, dkk., 2003).
Menurut Djaenuddin dkk (2003), tanaman karet dapat tumbuh di daerah dengan temperatur 26 - 30o C, curah hujan 2.500 – 3.000 mm/tahun. Karet tumbuh pada berbagai tipe tanah dengan kedalaman tanah > 100 cm, bertekstur halus dan agak halus, sedang, memiliki drainase baik, pH tanah 5,0 – 6,0, pada lahan yang mempunyai kecuraman lereng < 8%, dan mempunyai kejenuhan basa < 35%.
Secara umum kondisi dan keadaan lahan penelitian di Desa Wiyono didominasi jenis tanah Podzolik Merah Kuning (PMK). Areal Desa Wiyono memiliki ketinggian 150 meter dpl, tekstur agak halus sampai halus, drainase baik, K tersedia sedang, KTK sedang, pH tanah 4,5 – 5,5, kemiringan lereng di Desa Wiyono berkisar antara 0 – 8 % dengan kedalaman efektif tanah yang dapat memungkinkan berkembangnya perakaran sampai dengan >100 cm yang ditandai tidak adanya lapisan konkresi maupun kerikil yang menghambat pertumbuhan akar serta memiliki curah hujan rata – rata 2.053 mm/tahun dan suhu 27 – 30 °C (PTPN VII (Persero), 2008).
Berdasarkan hasil penelusuran baik dengan menggunakan wawancara maupun media internet, bahwa Unit Usaha Way Berulu milik PTPN VII di desa Wiyono
(16)
dalam setahun mampu memproduksi karet sebanyak 1700 kg per hektar dan pendapatan sekitar 67 juta rupiah per hektar dengan pengeluaran sekitar 24 juta sampai 33 juta rupiah.
Dalam mengevaluasi kesesuaian lahan, penilaian kesesuaian secara kualitatif menggunakan kriteria biofisik menurut Djaenuddin dkk (2003), sedangkan penilaian secara kuantitatif adalah dengan menganalisa kelayakan finansial budidaya tanaman karet yang dilakukan dengan menghitung nilai NPV, Net B/C ratio, IRR, dan, BEP.
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1) Kelas kesesuaian lahan kualitatif tanaman karet PTPN VII Unit Usaha Way Berulu Blok 92.C, Desa Wiyono, Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran di duga cukup sesuai dengan faktor pembatas pH tanah dan ketersediaan air (S2wanr)
2) Usaha perkebunan karet PTPN VII Unit Usaha Way Berulu Blok 92.C, Desa Wiyono, Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran secara ekonomis di duga menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.
(17)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m. Pohon karet pertama kali tumbuh di Brazil dan Amerika Selatan, namun setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham pohon ini berhasil di kembangkan di asia tenggara. Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet, sebagian besar terdapat di Sumatra dan Kalimantan. Tanaman karet dapat tumbuh baik pada ketinggian sekitar 0 – 600 m dpl, curah hujan sebesar 2.500 mm/tahun dengan 100 – 150 hari hujan. Selain itu faktor sebaran hujan yang merata sepanjang tahun merupakan syarat keberhasilan tanaman karet (Syamsulbahri, 1996).
Klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dycotyledonae Famili : Euphorbiaceae Genus : Hevea
(18)
Morfologi tanaman karet menurut Syamsulbahri (1996) adalah sebagai berikut :
1. Akar
Tanaman karet termasuk ke dalam subkelas Dycotyledonae. Oleh karena itu akar tanaman karet berupa akar tunggang dengan sistem perakaran padat atau kompak.
2. Batang
Batang umumnya bulat atau silindris yang tumbuh lurus dengan percabangan di bagian atas. Batang mengandung getah atau lateks. Karet yang dibudidayakan umumnya memiliki ketinggian antara 10 – 20 m.
3. Daun
Daun karet berupa daun trifoliata dan berwarna hijau. Anak daun berbentuk elips dengan bagian ujung runcing. Tangkai daum panjang dengan serat daun yang tampak jelas dan kasar.
4. Bunga
Bunga karet merupakan bunga monoecious. Bunganya muncul dari ketiak daun (Axillary), individu bunga bertangkai pendek dengan bunga betina terletak di ujung. Proporsi bunga lebih banyak di bandingkan bunga betina.
5. Buah dan biji
Buah umumnya memiliki tiga buah ruang bakal biji. Buah yang sudah masak akan pecah dengan sendirinya. Biji berwarna coklat kehitaman dengan pola bercak-bercak yang khas. Tanaman dewasa dapat menghasilkan sekitar 2.000 biji per tahun.
(19)
9
Klon memiliki kelebihan dibandingkan tanaman yang di kembangkan dari biji. Kelebihan klon antara lain tumbuhnya tanaman lebih seragam, umur produksinya lebih cepat, dan jumlah lateks yang dihasilkan juga lebih banyak. Akan tetapi, klon juga memiliki kekurangan seperti daya tahan masing – masing klon terhadap hama penyakit tidak sama serta lingkungan mempengaruhi pertumbuhan klon. Tanaman karet tua yang sudah saatnya diremajakan, namun tidak diganti dengan klon yang baru dapat menyebabkan rendahnya produktivitas.
Salah satu klon karet yang telah dibudidayakan di Indonesia khususnya di lampung adalah RRIM 600. Klon RRIM 600 mulai di budidayakan pada tahun 1996. Klon RRIM 600 termasuk dalam salah satu klon unggul karna potensi produksi yang cukup tinggi yaitu 2.000 – 2.500 kg/Ha bahkan bisa mencapai 3.000 kg/Ha jika keadaan agroekologinya cocok dengan klon RRIM 600 juga umurnya yang panjang dan penghasi kayu. Klon RRIM 600 sangat peka terhadap kekeringan alur sadap, gangguan angin dan kemarau panjang. Karna itu
pengolahannya harus secara tepat (Syamsulbahri, 1996). Selengkapnya mengenai deskripsi klon RRIM 600 tertera pada Tabel 8. ( lampiran )
B. Tanah dan Konsep Lahan
Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair, dan gas, dan mempunyai sifat serta prilaku yang dinamik. Benda alami ini terbentuk oleh hasil kerja interaksi antara iklim (i) dan jasad renik hidup (o) terhadap suatu bahan induk (b) yang dipengaruhi oleh relief tempatnya
(20)
terbentuk (r) dan waktu (w), yang dapat digambarkan dalam hubungan fungsi sebagai berikut.
T = i, o, b, r, w
dimana T adalah tanah dan masing-masing peubah adalah faktor-faktor pembentuk tanah tersebut di atas (Arsyad, 1989).
Pada umumnya, petani mempunyai konsep–konsep tanah yang lebih praktis dengan menganggap tanah sebagai media tempat tanaman tumbuh. Namun, banyak sekali definisi kata “tanah” yang dikembangkan dari berbagai sudut pandang. Ada yang memandang tanah sebagai pijakan bumi, tanah sebagai mantel batuan lapuk, dan tanah sebagai sistem 3 fase. Tanah dapat didefinisikan sebagai sistem 3 fase yang terdiri atas padatan, cairan, dan gas (Foth, 1994).
Seorang ahli tanah memandang tanah sebagai hasil kerja gaya-gaya pembangun dan penghancur. Pelapukan bahan organik merupakan kejadian destruktif, sedangkan pembentukan mineral baru seperti mineral liat dan perkembangan suatu horizon merupakan kejadian sintetik. Ia menganggap tanah sebagai suatu tempat bagi pertumbuhan tanaman. Ia juga melihat pentingnya peranan tanaman dalam pembentukan tanah dan menyadari juga bahwa penggunaan tanah yang terpenting adalah untuk bercocok tanam (Soepardi, 1983).
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai
(21)
11
aktivitas flora, fauna, dan manusia baik di masa lalu maupun sekarang. Sebagai contoh aktifitas dalam penggunaan lahan pertanian, reklamasi lahan rawa dan pasang surut, atau tindakan konservasi tanah, akan memberikan karakteristik lahan yang spesifik (Djaenuddin dkk, 2003).
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi dan semua sifat-sifat yang ada padanya yang penting bagi kehidupan dan keberhasilan manusia. Lahan adalah wilayah di permukaan bumi, meliputi semua benda penyusun biosfer bagi yang berada di atas maupun di bawahnya, yang bersifat tetap atau siklis (Mahi, 2001).
Menurut Arsyad (1989), penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materi maupun spiritual. Penggunaan lahan yang ada pada saat sekarang, merupakan pertanda yang dinamis dari adanya eksploitasi oleh manusia baik secara perorangan maupun kelompok atau masyarakat terhadap sekumpulan sumber daya lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(Darmawijaya, 1997).
Penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan umum dan penggunaan lahan khusus atau tipe penggunaan lahan. Penggunaan lahan secara umum meliputi pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput penggembalaan, kehutanan, daerah rekreasi, dan sebagainya, sedangkan tipe penggunaan lahan adalah penggunaan lahan yang lebih detail dengan
mempertimbangkan sekumpulan rincian teknis yang didasarkan pada keadaan fisik dan sosial dari satu jenis tanaman atau lebih (Mahi, 2001).
(22)
Di Indonesia penggunaan lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian baik tanaman pengan, hortikultura maupun tanaman tahunan atau perkebunan. Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi pertanian nasional (Mulyani, 2006).
C. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi Lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun untuk non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu
pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakupiklim, tanah, terrain yang mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan persyaratan penggunaan lahan atau syarat tumbuh tanaman.
Untuk menentukan tipe penggunaan yang sesuai pada suatu wilayah, diperlukan evaluasi kesesuaian lahan lahan secara menyeluruh dan terpadu (intergrated), karena masing-masing faktor akan saling mempengaruhi baik faktor fisik, sosial ekonomi, maupun lingkungan (Sitorus, 1985). Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan atau komoditas yang dievaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan untuk komoditas tersebut.
(23)
13
D. Tipe Evaluasi Lahan
Hasil evaluasi lahan dapat dikemukan dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif. Oleh karena itu dikenal tipe evaluasi lahan kualitatif dan kuantitatif. Evaluasi kualitatif adalah evaluasi kesesuaian lahan untuk berbagai macam penggunaan yang digambarkan dalam bentuk kualitaif, seperti sesuai, cukup sesuai, sesuai marjinal, dan tidak sesuai untuk penggunaan tertentu.
Evaluasi kuantitatif secara ekonomi adalah evaluasi yang hasilnya diberikan dalam bentuk keuntungan atau kerugian masing-masing macam penggunaan lahan. Secara umum, evaluasi kuantitatif dibutuhkan untuk proyek khusus dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan investasi. Nilai uang digunakan pada data kuantitatif secara ekonomi yang dihitung dari biaya input dan nilai produksi. Penilaian nilai uang akan memudahkan melakukan perbandingan bentuk-bentuk produksi yang berbeda. Hal ini memungkinkan karena dapat menggunakan satu harga yang berlaku atau harga bayangan dalam menilai produksi yang
dibandingkan (Mahi, 2005).
E. Kualitas Lahan Dan Karakteristik Lahan
Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau atribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu (Djaenudin, 2003). Kualitas lahan dapat pula digambarkan sebagai faktor positif dan faktor negatif (Mahi, 2001). Kualitas lahan kemungkinan berperan positif atau negatif terhadap penggunaan lahan tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan
(24)
positif adalah yang sifatnya menguntungkan bagi suatu penggunaan. Sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif karena keberadaannya akan merugikan (merupakan kendala) terhadap penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat atau pembatas.
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Contoh lereng, curah hujan, tekstur tanah, kapasitas air tersedia, kedalaman efektif, dan sebagainya (Djaenudin, 2003). Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi biasanya mempunyai interaksi satu sama lainnya. Karenanya dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau membandingkan lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Sebagai contoh ketersediaan air sebagai kualitas lahan ditentukan bulan kering dan curah hujan rata-rata tahunan, tetapi air yang diserap tanaman tentunya tergantung juga pada kualitas lahan lainnya, seperti kondisi atau media perakaran, antara lain tekstur tanah dan kedalaman zona perakaran tanaman yang bersangkutan.
F. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah kecocokan macam penggunaan lahan pada tipe lahan tertentu (Mahi, 2004). Kesesuaian lahan secara umum terbagi atas kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual masih dapat menerima perbaikan kecil pada sumber daya lahan sebagai bagian spesifikasi tipe penggunaan lahan. Sedangkan kesesuaian lahan potensial mengacu pada nilai lahan di masa datang apabila melakukan perbaikkan lahan skala besar.
Menurut FAO (1976) klasifikasi kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kategori, yaitu :
(25)
15
1. Ordo : menunjukkan macam kesesuaian yaitu sesuai atau tidak sesuai.
2. Kelas : menunjukkan tingkat kesesuaian di dalam kelas.
Tingkat kelas dibagi menjadi 5 yaitu :
a. Kelas S1 (sangat sesuai)
Lahan mempunyai faktor pembatas yang tidak berarti dan tidak mengurangi produksi secara nyata.
b. Kelas S2 (cukup sesuai)
Lahan mempunyai faktor pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan dan memerlukan input.
c. Kelas S3 (sesuai marjinal)
Lahan mempunyai faktor pembatas yang besar atau serius dan memerlukan input yang lebih besar.
d. Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini)
Lahan mempunyai faktor pembatas yang lebih berat tetapi memungkinkan untuk diatasi.
e. Kelas N2 (tidak sesuai permanen)
Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan tidak memungkinkan untuk diperbaiki karena sifatnya permanen.
(26)
2. Sub Kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas kesesuaian lahan.
3. Unit : menunjukkan sifat tambahan yang diperlukan untuk pengelolaan dalam tingkat sub kelas.
Menurut Mahi (2005), deskripsi karakteristik lahan yang menjadi pertimbangan dalam menentukan kelas kesesuaian lahan dikemukakan sebagai berikut :
1) Temperatur (t)
Merupakan suhu tahunan rata-rata yang dikumpulkan dari hasil pengamatan stasiun klimatologi yang ada. Suhu sangat berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dalam tanah, fotosintesis tanaman, respirasi, pembungaan, dan perkembangan buah dan biji. Menurut Syamsulbahri (1996) tanaman karet membutuhkan suhu optimum antara 26 oC - 30oC. Suhu yang lebih rendah dari 26 oC dapat memperlambat pembungaan serta menurunkan hasil dan kualitas lateks, sebaliknya suhu yang terlampau tinggi berpengaruh terhadap perkembangan buah dan biji.
2) Ketersedian Air (w)
Merupakan pengukuran curah hujan rata-rata yang diambil dari daerah
penelitian dan penentuan bulan kering berdasarkan curah hujan bulanan setiap tahunnya. Menurut Nyakpa dkk. (1988), pertumbuhan tanaman sangat
tergantung pada air tersedia dalam tanah. Air dibutuhkan tanamanan untuk membuat karbohidrat di daun, menjaga hidrasi protoplasma, mengangkut makanan dan unsur mineral, dan mempengaruhi serapan unsur hara oleh akar tanaman.
(27)
17
3) Kondisi Perakaran (r)
Karakteristik lahan yang menggambarkan kondisi perakaran terdiri dari :
Kelas Drainase tanah dibagi menjadi 6 kelas, yaitu : sangat buruk, buruk, agak buruk, agak baik, baik, dan berlebihan. Menurut Arsyad (1989) Drainase yang baik akan berpengaruh terhadap peredaraan udara di dalam tanah, aktifitas mikroorganisme, serapan unsur hara oleh tanaman, dan pertumbuhan akar tanaman di dalam tanah.
Tekstur tanah dibagi menjadi 5 kelas, yaitu : halus, agak halus, sedang, agak kasar, dan kasar. Tekstur merupakan perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat. Tanah dengan tekstur kasar tidak akan pernah menyediakan air dan unsur hara yang tinggi jumlahnya, sedangkan pada tanah yang bertekstur halus air terlalu banyak
dipegang, sehingga tidak tersedianya ruang pori untuk udara dan tanah mengalami defisiensi O2. hal ini mengakibatkan akar tanaman
kekurangan O2 untuk berkembang dan menyerap unsur hara yang
tersedia di dalam tanah.
Kedalaman Efektif (cm), merupakan kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh akar. Berdasarkan petunjuk teknis Djaenudin dkk. (2003). Bahan kasar yang terlalu banyak pada tanah akan menghambat perkembangan akar dan akan mengakibatkan kesulitan dalam pengolahan tanah, sehingga menghambat laju pertumbuhan tanaman.
(28)
4) Retensi Hara
Retansi hara merupakan kemampuan tanah untuk menjerap unsur – unsur hara atau koloid di dalam tanah yang bersifat sementara, sehingga apabila kondisi di dalam tanah sesuai untuk hara – hara tertentu maka unsur hara yang terjerap akan dilepaskan dan dapat diserap oleh tanaman. Retensi hara di dalam tanah di pengaruhi oleh KTK, pH, KB dan C-organik. Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan kemampuan koloid tanah dalam menjerap dan
mempertukarkan kation. Pertukaran kation memegang peranan penting dalam penyerapan hara oleh tanaman, kesuburan tanah, retensi hara, dan pemupukan. Hara yang ditambahkan ke dalam tanah dalam bentuk pupuk akan ditahan oleh permukaan koloid dan untuk sementara terhindar dari pencucian (Tan, Kim H, 1992). Sedangkan reaksi tanah (pH) merupakan salah satu sifat dan ciri tanah yang ikut menentukan besarnya nilai KTK. Pada umunya unsur hara dapat diserap dengan baik pada pH netral. Pada tanah masam ditemukan ion Al yang meracuni tanaman, dan mikroorganisme juga umumnya hidup pada pH netral (Hardjowigeno, 1995). Selain KTK dan pH, kejenuhan basa serta C-organik juga mempengaruhi retensi hara. Bahan C-organik merupakan sumber utama tersedianya C-organik dalam tanah. Peran bahan organik tanah terhadap sifat fisik tanah adalah menaikkan kemantapan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan daya tahan air tanah. Bahan organik juga berfungsi sebagai pencegah erosi dengan memperbaiki aerasi dan mempertinggi kapasitas air tanah serta memperbaiki daerah perakaran.
(29)
19
5) Toksisitas
Karakteristik lahan untuk toksisitas adalah salinitas. Salinitas merupakan proses penimbunan garam mudah larut, seperti; NaCl, Na2SO4, CaCO3, dan
MgO3. Salinitas dapat terjadi secara setempat dan membentuk tanah salin.
Pengaruh buruk dari garam bagi tanaman umumnya tidak secara langsung, yaitu melalui peningkatan tekanan osmotik pada air tanah sehingga
penyerapan air tanah menjadi sulit, terutama bagi perakaran. Daerah pantai merupakan salah satu daerah yang mempunyai kadar garam yang tinggi. Toksisitas di dalam tanah biasanya diukur pada daerah-daerah yang bersifat salin. Pengaruh buruk dari garam bagi tanaman umumnya tidak secara langsung, yaitu melalui peningkatan tekanan osmotik pada air tanah sehingga penyerapan air tanah menjadi sulit, terutama bagi perakaran. Pelonggokan garam yang mudah larut dalam tanah secara parah menghambat pertumbuhan tanaman. Pelonggokan itu akan berimbas kepada plasmolisis yaitu proses keluarnya H2O dari tanaman ke larutan tanah (Tan, Kim H, 1992).
6) Bahaya Sulfidik
Sulfidik adalah hidrogen sulfida (H2S) yang terbentuk di dalam tanah dapat
bereaksi dengan ion-ion logam berat membentuk sulfida-sulfida tidak larut. Biasanya sulfidik terdapat di daerah rawa serta lahan yang mengandung sulfida serta pirit. Dengan rendahnya kandungan unsur-unsur logam tersebut, H2S yang terbentuk dapat berakumulasi sampai pada tingkat meracun dan
(30)
7) Bahaya Erosi
Bahaya erosi dapat diketahui dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) pertahun dibandingkan tanah tererosi. Bahaya erosi merupakan kerusakkan lahan akibat erosi yang menyebabkan ter-angkutnya lapisan olah tanah yang penting bagi budidaya tanaman. Hilangnya tanah tersebut dapat mengakibatkan penurunan produksi lahan, hilangnya unsur hara yang diperlukan tanaman, menurunnya kualitas tanaman, berkurangnya laju infiltrasi, dan kemampuan tanah menahan air, rusaknya struktur tanah, dan penurunan pendapatan akibat penurunan produksi (Hardjowigeno, 1995).
8) Bahaya Banjir
Bahaya banjir dapat diketahui dengan melihat kondis lahan yang pada permukaan tanahnya terdapat genangan air. Apabila terjadi genangan air dalam kurun waktu yang cukup lama dapat menghambat pertumbuhan
tanaman. Air akan menjenuhi daerah perakaran sehingga mengakibatkan akar tanaman tidak mampu menyerap unsur hara secara optimal dan akan
mengakibatkan akar menjadi busuk. Selain itu, kandungan unsur hara dapat menurun sehingga kurang mencukupi kebutuhan tanaman untuk proses metabolisme yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas tanaman (Djaenudin dkk, 2003).
9) Penyiapan Lahan
Semakin banyak batuan yang ada maka semakin besar teknologi yang diterapkan dalam pengolahan tanah, serta batuan yang terlalu banyak pada
(31)
21
lahan juga dapat menghambat perkembangan akar tanaman untuk menyerap unsur hara (Djaenudin dkk, 2003).
G. Analisis Finansial
Menurut Ibrahim, 2003, dalam analisis finansial diperlukan kriteria kelayakan usaha, antara lain. Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net
Beneffit Cost Ratio (Net B/C), dan Break Even Point (BEP). Selanjutnya
dijelaskan sebagai berikut :
1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) sering diterjemahkan sebagai nilai bersih, merupakan
selisih antara manfaat dengan biaya pada discount rate tertentu. Jadi Net Present
Value (NPV) menunjukkan kelebihan manfaat dibanding dengan biaya yang
dikeluarkan dalam suatu proyek (usaha tani). Suatu proyek dikatakan layak diusahakan apabila nilai NPV positif (NPV > 0).
Secara matematis rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut
NPV =
n l i i l CB )/( )
( n
Keterangan :
B = benefit (manfaat)
C = cost (biaya)
i = tingkat suku bunga bank yang berlaku n = waktu
Kriteria investasi :
Bila NPV > 0, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila NPV < 0, maka usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila NPV = 0, usaha dalam keadaan break even point
(32)
2. Net Benefit /Cost Ratio (Net B/C)
Net Beneffit Cost Ratio (Net B/C) adalah perbandingan jumlah NPV positif
dengan NPV negatif yang menunjukkan gambaran berapa kali lipat beneffit akan diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Jadi jika nilai NPV > 0, maka B/C > 1 dan suatu proyek layak untuk diusahakan.
Secara matematis rumus untuk menghitung Net B/C Ratio adalah sebagai berikut:
n l i i l CB )/( )
( n yang bernilai positif Net B/C Ratio =
n l i i l CB )/( )
( n yang bernilai negatif
Keterangan :
B = benefit (manfat)
C = cost (biaya)
i = tingkat suku bunga bank yang berlaku n = waktu
Kriteria investsi :
Bila Net B/C > 1, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila Net B/C < 1, maka usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila Net B/C = 1, usaha dalam keadaan break even point
3. Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah suatu tingkat bunga (dalam hal ini sama artinya dengan discount rate) yang menunjukkan bahwa nilai bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah
(33)
23
seluruh ongkos investasi usahatani atau dengan kata lain tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol (NPV = 0 ).
Rumus yang digunakan adalah :
IRR = i1 + NPV1 (i2 - i1)
NPV1 - NPV2
Keterangan :
i1 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV1
i2 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV2
NPV1 = NPV yang bernilai posotif
NPV2 = NPV yang bernilai negatif
Kriteria investasi :
Bila IRR > tingkat suku bunga, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila IRR < tingkat suku bunga, usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila IRR = tingkat suku bunga, usaha dalam keadaan break even point
4. Break Event Point (BEP)
Break Event Point (BEP) adalah titik pulang pokok dimana total revenue (total
pendapatan) = total cost (biaya total). Dilihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah proyek terjadinya titik pulang pokok atau TR = TC tergantung lama arus penerimaan sebuah proyek dapat menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan beserta biaya modal lainnya.
BEP yang menunjukkan waktu pengambilan total cost adalah sebagai berikut :
Bp B T T BEP n i i iep ci
P
1 1
1 1
(34)
BEP = Break event point
Tp-1 = Tahun sebelum terdapat BEP
Tci = Jumlah total cost yang telah di-discont
Biep-1 = Jumlah benefit yang telah di-discont sebelum BEP
(35)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan di lapangan dan pengolahan data primer, maka dapat disimpulkan :
1. Lahan pertanaman karet (Hevea brasiliensis) di PTPN VII Unit Usaha Way Berulu Blok 92.C Desa Wiyono Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran dengan luas 13 ha termasuk dalam kelas kesesuaian lahan cukup sesuai dengan faktor pembatas ketersediaan air (S2wa).
2. Hasil analisis finansial usahatani tanaman karet di PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Way Berulu menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Hal ini terlihat dengan nilai bersih sekarang (NPV>0) yang diperoleh selama 25 tahun adalah Rp 1.265.890.599,- , nilai perbandingan antara penerimaan bersih dan biaya diperoleh dalam 25 tahun sebesar 1,64 (Net B/C>1), nilai tingkat pengembalian internal (IRR) sampai 20% atau lebih dari tingkat suku bunga yang berlaku (15%), serta akan mencapai BEP (titik impas) pada waktu 11 tahun 4 bulan 24 hari.
B. Saran
Untuk menanggulangi kekeringan atau kurangnya ketersediaan air, maka pihak PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Way Berulu disarankan
(36)
untuk melakukan penanaman Legum Cover Crop (LCC) secara intensif serta melakukan pembuatan lubang resapan biopori. Dengan memanfaatkan sampah organik yang berasal dari hasil pemangkasan Legum Cover Crop (LCC) serta lubang kecil dalam tanah yang berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya sehingga dapat menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah dan tumbuhan di sekitarnya, diharapkan faktor pembatas ketersediaan air dapat tertanggulangi.
(37)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Peta lokasi penelitian... 71 2. Bentuk lahan dan titik pengeboran ... 72 3. Foto tanah hasil profil boring ... 73
(38)
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C. Kerangka Pemikiran ... 4
D. Hipotesis ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) ... 7
B. Tanah dan Konsep Lahan ... 9
C. Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 12
D. Tipe Evaluasi Lahan ... 13
E. Kualitas Lahan dan Karakteristik Lahan ... 13
F. Klasifikasi Kesesuaian Lahan ... 14
G. Analisis Finansial ... 21
1. Net Present Value (NPV) ... 21
2. Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C) ... 22
3. Internal Rate of Return (IRR) ... 22
4. Break Event Point (BEP) ... 23
III. METODE PENELITIAN ... 25
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25
B. Bahan dan Alat ... 25
C. Metode Penelitian ... 25
1. Tahap Persiapan ... 26
2. Pengambilan Data ... 26
a. Data Fisik Primer………... 26
1) Cara Pengukuran dan Pengamatan Lapang. ... 27
2) Cara Pengambilan Contoh Tanah ... 29
3) Analisis Tanah di Laboratorium……… ... 29
b. Data Fisik Sekunder………... ... 30
c. Data Sosial Ekonomi Primer……… ... 30
d. Data Sosial Ekonomi Sekunder………… ... 31
3. Analisis Data... 31
a. Evaluasi Kesesuaian Lahan………. ... 31 ii
(39)
b. Analisis Kelayakan Finansial……….. ... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Hasil Pengamatan ... 35
1. Kesesuaian Lahan Kualitatif Berdasarkan Kriteria Biofisik ... 35
a. Temperatur ... 35
b. Ketersediaan Air... 35
c. Ketersediaan Oksigen... 36
d. Media Perakaran... 36
e. Retensi Hara ... 37
f. Toksisitas ... 38
g. Sodisitas ... 38
h. Bahaya sulfidik... 38
i. Bahaya Erosi ... 39
j. Bahaya Banjir ... 39
k. Penyiapan Lahan ... 39
2. Penilaian Kesesuaian Lahan Kualitatif Berdasarkan Kriteria Biofisik ... 40
3. Penilaian kesesuaian lahan berdasarkan kriteria faktor produksi Dent dan Young (1981) ………..…. 41
4. Biaya Produksi ... 41
a. Biaya Tetap ... 42
1) Pajak Tanah... 42
2) Penggunaan Tenaga Kerja ... 43
3) Penggunaan Sarana Produksi ... 44
b. Biaya Variabel ... 45
B. Pembahasan ... 48
1. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kriteria Biofisik ... 48
2. Kesesuaian Lahan Berdasarkan kriteria faktor produksi Dent dan Young (1981) ... 50
3. Analisis Finansial ... 51
a. Net Present Value (NPV) ... 51
b. Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C) ... 51
c. Internal Rate of Return (IRR) ... 52
d. Break Event Point (BEP) ... 52
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53
A. Kesimpulan ... 53
B. Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
(40)
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. 290 hlm.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis. Diakses 25 Januari 2011 pukul 21.42 WIB. http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4karet
BPS Indonesia. 2009. Ekspor dan impor. Diakses 4 Oktober 2011 pukul 13.35 WIB. http://www.BPS.com/ekspor&impor/komoditas/karet
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah. Universitas Gadjahmada Press. Yogyakarta. 141 hlm.
Dent, D. and A.Young. 1981. Soil Survey and Evaluation. George Allen and Unwim. London. 279 p.
Departemen Pertanian. 2006. Rekomendasi Klon. Diakses 15 November 2011 pukul 15.45 WIB. http://ditjenbun.deptan.go.id/budtanan/images/
rekomendasi%20klon%20karet%20unggul.pdf
Djaenuddin, D., H. Marwan, H. Subagjo, dan A. Hidayat. 2003.
Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Perkebunan. Balai
Penelitian Tanah. Bogor
FAO. 1976. A Framework For Land Evaluation. FAO Soil Bulletin 32. Food and Agriculture Organization of United Nations. Rome 87 p.
Foth, H.D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Erlangga. Jakarta. 374 hlm.
Hakim, N, M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M. A. Diha, G. B. Hong dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. 488 hlm.
Hardjowigeno, S. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
(41)
56
Ibrahim, Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Rineka Cipta. Jakarta. 374 hlm. Kamir, R.B. 2006. Teknologi Biopori. IPB Press. Bogor. 125 hlm.
Mahi, A.K. 2001. Survei Tanah dan Evaluasi Lahan (diktat, tidak dipublikasikan). Universitas Lampung. 228 hlm.
Mahi, A.K., S. Ramli, R. Zahab, I.K. Winatha, N. Lukitowati, dan Anthoni. 2004.
Master Plan (Rancang Bangun) Pengembangan Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Berbasis Agrobisnis (KAPEMBA) Kabupaten
Lampung Tengah. Universitas Lampung .138 hlm.
Mahi, A.K. 2005. Evaluasi dan Perencanaan Penggunaan Lahan (diktat, tidak dipublikasikan). Universitas Lampung. 142 hlm.
Mulyani, A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan
Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 28 (2) : 16-17.
Nugroho, S.G., J. Lumbaranja, A. K. Mahi, Ellizarti, dan D. Mawardi. 1984.
Studi Identifikasi Kemungkinan Degradasi Kesuburan Tanah pada Lahan
Usaha Tani Karet. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Nyakpa, M. Y.., A. M. Lubis, M. A. Pulung, A. G. Amrah, A. Munawar, G. B. Hong., dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. 258 hlm.
PTPN VII (Persero). 2008. Profil Perkebunan Way Berulu. Bandar Lampung. Hlm 1-3.
Setyamidjaya, D.1992. Budidaya Tanaman Karet. Lembar Informasi Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Irian Jaya. 191/20.
Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung. 185 hlm.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. UI. Press. Jakarta. 108 hlm.
Soelaiman, Achdiansyah. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Bahan Olah Karet Rakyat di Propinsi Lampung. Jurnal Sosio Ekonomika. 8 (2) : 151 – 158.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB . Bogor. 591 hlm.
Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 318 hlm.
Tan, Kim H. 1992. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gadjahmada University Press. Yogyakarta. 295 hlm.
(1)
54
untuk melakukan penanaman Legum Cover Crop (LCC) secara intensif serta melakukan pembuatan lubang resapan biopori. Dengan memanfaatkan sampah organik yang berasal dari hasil pemangkasan Legum Cover Crop (LCC) serta lubang kecil dalam tanah yang berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya sehingga dapat menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah dan tumbuhan di sekitarnya, diharapkan faktor pembatas ketersediaan air dapat tertanggulangi.
(2)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Peta lokasi penelitian... 71 2. Bentuk lahan dan titik pengeboran ... 72 3. Foto tanah hasil profil boring ... 73
(3)
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C. Kerangka Pemikiran ... 4
D. Hipotesis ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) ... 7
B. Tanah dan Konsep Lahan ... 9
C. Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 12
D. Tipe Evaluasi Lahan ... 13
E. Kualitas Lahan dan Karakteristik Lahan ... 13
F. Klasifikasi Kesesuaian Lahan ... 14
G. Analisis Finansial ... 21
1. Net Present Value (NPV) ... 21
2. Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C) ... 22
3. Internal Rate of Return (IRR) ... 22
4. Break Event Point (BEP) ... 23
III. METODE PENELITIAN ... 25
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25
B. Bahan dan Alat ... 25
C. Metode Penelitian ... 25
1. Tahap Persiapan ... 26
2. Pengambilan Data ... 26
a. Data Fisik Primer………... 26
1) Cara Pengukuran dan Pengamatan Lapang. ... 27
2) Cara Pengambilan Contoh Tanah ... 29
3) Analisis Tanah di Laboratorium……… ... 29
b. Data Fisik Sekunder………... ... 30
c. Data Sosial Ekonomi Primer……… ... 30
d. Data Sosial Ekonomi Sekunder………… ... 31
3. Analisis Data... 31
a. Evaluasi Kesesuaian Lahan………. ... 31 ii
(4)
b. Analisis Kelayakan Finansial……….. ... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Hasil Pengamatan ... 35
1. Kesesuaian Lahan Kualitatif Berdasarkan Kriteria Biofisik ... 35
a. Temperatur ... 35
b. Ketersediaan Air... 35
c. Ketersediaan Oksigen... 36
d. Media Perakaran... 36
e. Retensi Hara ... 37
f. Toksisitas ... 38
g. Sodisitas ... 38
h. Bahaya sulfidik... 38
i. Bahaya Erosi ... 39
j. Bahaya Banjir ... 39
k. Penyiapan Lahan ... 39
2. Penilaian Kesesuaian Lahan Kualitatif Berdasarkan Kriteria Biofisik ... 40
3. Penilaian kesesuaian lahan berdasarkan kriteria faktor produksi Dent dan Young (1981) ………..…. 41
4. Biaya Produksi ... 41
a. Biaya Tetap ... 42
1) Pajak Tanah... 42
2) Penggunaan Tenaga Kerja ... 43
3) Penggunaan Sarana Produksi ... 44
b. Biaya Variabel ... 45
B. Pembahasan ... 48
1. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kriteria Biofisik ... 48
2. Kesesuaian Lahan Berdasarkan kriteria faktor produksi Dent dan Young (1981) ... 50
3. Analisis Finansial ... 51
a. Net Present Value (NPV) ... 51
b. Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C) ... 51
c. Internal Rate of Return (IRR) ... 52
d. Break Event Point (BEP) ... 52
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53
A. Kesimpulan ... 53
B. Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. 290 hlm.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis. Diakses 25 Januari 2011 pukul 21.42 WIB. http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4karet
BPS Indonesia. 2009. Ekspor dan impor. Diakses 4 Oktober 2011 pukul 13.35 WIB. http://www.BPS.com/ekspor&impor/komoditas/karet
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah. Universitas Gadjahmada Press. Yogyakarta. 141 hlm.
Dent, D. and A.Young. 1981. Soil Survey and Evaluation. George Allen and Unwim. London. 279 p.
Departemen Pertanian. 2006. Rekomendasi Klon. Diakses 15 November 2011 pukul 15.45 WIB. http://ditjenbun.deptan.go.id/budtanan/images/
rekomendasi%20klon%20karet%20unggul.pdf
Djaenuddin, D., H. Marwan, H. Subagjo, dan A. Hidayat. 2003.
Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Perkebunan. Balai Penelitian Tanah. Bogor
FAO. 1976. A Framework For Land Evaluation. FAO Soil Bulletin 32. Food and Agriculture Organization of United Nations. Rome 87 p.
Foth, H.D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Erlangga. Jakarta. 374 hlm.
Hakim, N, M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M. A. Diha, G. B. Hong dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. 488 hlm.
Hardjowigeno, S. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
(6)
56
Ibrahim, Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Rineka Cipta. Jakarta. 374 hlm. Kamir, R.B. 2006. Teknologi Biopori. IPB Press. Bogor. 125 hlm.
Mahi, A.K. 2001. Survei Tanah dan Evaluasi Lahan (diktat, tidak dipublikasikan). Universitas Lampung. 228 hlm.
Mahi, A.K., S. Ramli, R. Zahab, I.K. Winatha, N. Lukitowati, dan Anthoni. 2004. Master Plan (Rancang Bangun) Pengembangan Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Berbasis Agrobisnis (KAPEMBA) Kabupaten Lampung Tengah. Universitas Lampung .138 hlm.
Mahi, A.K. 2005. Evaluasi dan Perencanaan Penggunaan Lahan (diktat, tidak dipublikasikan). Universitas Lampung. 142 hlm.
Mulyani, A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan
Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 28 (2) : 16-17. Nugroho, S.G., J. Lumbaranja, A. K. Mahi, Ellizarti, dan D. Mawardi. 1984.
Studi Identifikasi Kemungkinan Degradasi Kesuburan Tanah pada Lahan Usaha Tani Karet. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Nyakpa, M. Y.., A. M. Lubis, M. A. Pulung, A. G. Amrah, A. Munawar, G. B. Hong., dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. 258 hlm.
PTPN VII (Persero). 2008. Profil Perkebunan Way Berulu. Bandar Lampung. Hlm 1-3.
Setyamidjaya, D.1992. Budidaya Tanaman Karet. Lembar Informasi Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Irian Jaya. 191/20.
Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung. 185 hlm.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. UI. Press. Jakarta. 108 hlm.
Soelaiman, Achdiansyah. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Bahan Olah Karet Rakyat di Propinsi Lampung. Jurnal Sosio Ekonomika. 8 (2) : 151 – 158.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB . Bogor. 591 hlm.
Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 318 hlm.
Tan, Kim H. 1992. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gadjahmada University Press. Yogyakarta. 295 hlm.