Pengaruh Sistem Pengawinan(Alami dan IB)< Paritas dan Frekuensi Pengawinan terhadap Laju Kebuntingan Ternak Babi di Usaha Peternakan Babi PT. Adhi Farm, Solo

PENGARUH SISTEM PENGAWINAN (ALAMI DAN IB), PARITAS DAN
FREKUENSI PENGAWINAN TERHADAP LAJU KEBUNTINGAN
TERNAK BABI DI USAHA PETERNAKAN BABI
PT. ADHI FARM, SOLO

SKRIPSI
FITRIA NEGARA SIHOMBING

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RINGKASAN
FITRIA NEGARA SIHOMBING. D14102004. 2006. Pengaruh Sistem
Pengawinan (Alami dan IB), Paritas dan Frekuensi Pengawinan terhadap Laju
Kebuntingan Ternak Babi di Usaha Peternakan Babi PT. Adhi Farm, Solo.
Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor
Pembimbing utama : Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.
Pembimbing anggota : Dr. drh. Ligaya I.T.A. Tumbelaka, SpMP, MSc.

Penelitian ini dilakukan di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm, Solo,
Propinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada awal bulan Juli sampai dengan
akhir bulan Agustus 2005. Latar belakang dari penelitian ini adalah ternak babi
memiliki daya reproduksi dan litter size yang tinggi jika dibandingkan dengan ternak
lain seperti sapi, domba, kerbau dan kuda. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui pengaruh dari sistem pengawinan (alami dan IB), paritas dan frekuensi
pengawinan terhadap laju kebuntingan ternak babi di usaha peternakan babi PT.
Adhi Farm, Solo.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung yang meliputi
penampungan semen, evaluasi semen, pengawinan secara alami dan IB serta
pemeriksaan kebuntingan. Data sekunder diperoleh dari catatan induk babi. Materi
yang digunakan adalah 56 ekor babi betina, 10 ekor pejantan (data primer) dan 116
ekor induk babi (data sekunder).
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial
dengan tiga faktor. Faktor pertama adalah sistem pengawinan (alami dan IB), kedua
adalah paritas (1-5) dan ketiga adalah frekuensi pengawinan (1 dan 2 kali). Data
dianalisis dengan prosedur General Linear Model (GLM). Jika perlakuan
berpengaruh nyata terhadap parameter yang diukur, maka akan dilakukan uji lanjut
Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa sistem pengawinan mempengaruhi laju
kebuntingan ternak babi (P0,05) dan tidak ada interaksi. Kesimpulan dari
penelitian adalah pengawinan secara alami menghasilkan laju kebuntingan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pengawinan secara IB dan frekuensi pengawinan
sebanyak dua kali dapat meningkatkan laju kebuntingan ternak babi. Paritas tidak
mempengaruhi laju kebuntingan, hal ini menunjukkan, bahwa induk babi sampai
paritas kelima masih dapat dipertahankan.

Kata-kata kunci: inseminasi buatan, pengawinan alami dan laju kebuntingan

ABSTRACT
Effect of Mating System (Natural Service and Artificial Insemination), Parity and
Mating Frequency to Swine Conseption Rate at Commercial Piggery Farm
PT. Adhi Farm , Solo.
Sihombing, F.N., P.H. Siagian and L.I.T.A. Tumbelaka
This research has been held at a commercial piggery farm PT. Adhi Farm,
Solo, Central Java on July until August 2005. The background of this research was
the swine has a higher reproduction ability and high litter size compare to other
livestock such as cow, sheep, buffalo and horse. The purpose of the research is to get
a knowledge about the effect of mating system (natural service and artificial

insemination), parity and mating frequency to swine conception rate at PT. Adhi
Farm, Solo. Data were collected primary from a direct observation of semen
collection, evaluation, artificial insemination, natural service and conception
detection. Whereas the secondary data was obtained from the sow recording. Fifty
six sows, ten boars (primary data) and one hundred and sixteen sows (secondary
data) were used for the research. The result was analyzed with completely
randomized design (CRD) with three factorial method. The first factor is mating
system (natural service and artificial insemination), the second is parity (1-5) and
third is mating frequency (1 and 2 time). All data are analyzed using general linear
model (GLM) procedure. Tukey test will be used to check the significantly effect of
the experiment. The result showed that mating system has high significantly effect on
swine conception rate (P18 bulan digunakan sebanyak sembilan sampai 10 kali per minggu.
Menurut Sihombing (1997), pejantan harus diberikan perhatian yang serius
karena pejantan mewakili setengah susunan genetik ternak dan oleh karenanya
berpengaruh besar terhadap kualitas ternak. Pejantan harus teruji dalam hal
performan, fisik, kesehatan dan manajemen pemeliharaannya memenuhi standar.
Menurut Devendra dan

Fuller (1979), genetik dari babi pejantan separuhnya


diwariskan pada keturunannya sehingga pejantan harus diperhatikan dengan baik,
selain itu pemeliharaan pejantan cukup mahal. Ada dua metode untuk seleksi
pejantan yaitu pertama uji keturunan dan kedua adalah uji penampilan.
Frekuensi Pengawinan Babi Betina
Frekuensi pengawinan babi betina dapat dilakukan sebanyak satu dan dua
kali setiap kali berahi. Menurut McIntosh (2005), apabila frekuensi pengawinan babi
betina hanya dilakukan sebanyak satu kali pada tiap kali berahi, maka dapat
dilakukan 24-32 jam setelah awal siap kawin dan apabila dilakukan sebanyak dua
kali, pengawinan pertama dilakukan 8-12 jam setelah diketahui awal siap kawin dan
pengawinan kedua dilakukan 8-16 jam kemudian. Menurut Sihombing (1997),
dengan frekuensi pengawinan sebanyak dua kali pada tiap kali berahi dapat
meningkatkan laju kebuntingan ternak babi karena ovum yang tidak dibuahi pada
pengawinan pertama kemungkinan besar akan terbuahi pada pengawinan yang
kedua.
Pengawinan Secara Alami
Ada dua cara untuk mengawinkan ternak babi yaitu pengawinan secara alami
dan inseminasi buatan (IB). Menurut Toelihere (1981), bahwa dalam pengawinan
secara alami pejantan melakukan tahap-tahap percumbuan yang dimulai dengan
mencium flank betina, menyeruduk dan menyodok diantara kaki belakang betina
secara tiba–tiba dengan moncongnya, mengangkat bagian belakang betina,

menggertakkan gigi, menggertakkan rahang dari samping kesamping dan keluar buih
dari mulut. Babi pejantan tersebut akan memisahkan babi–babi betina yang tidak

berahi dan mulai menaiki betina yang menunjukkan gejala berahi. Pengawinan
secara alami dapat dilakukan dengan pengawinan individu dan kelompok.
Pengawinan secara individu sebaiknya dengan membawa betina kekandang jantan
dan pengawinan kelompok dengan cara membiarkan pejantan dikandang sekelompok
betina. Menurut Sihombing (1997), bahwa tingkah laku kawin pada ternak babi
sebagai berikut :
1) kontak cungur ke cungur,
2) pejantan menciumi vulva betina,
3) betina mencium alat kelamin jantan,
4) kontak antar kepala, tingkah bercanda, pejantan menggerut dan mulut
berbuih dan kencing secara ritmik,
5) betina menolak ketika pejantan berusaha naik,
6) pejantan berusaha meraih betina, mencungur legok dan bawah perut
disertai tingkah bercanda,
7) betina memperlihatkan respon tidak bergerak, dan
8) pejantan naik dan berkopulasi, perkawinan berlangsung 10 sampai 20
menit.

Keunggulan dan Kelemahan Teknik IB
Inseminasi buatan (IB) merupakan suatu teknik inseminasi pada ternak yang
diterapkan secara efisien pada peternakan yang maju (Toelihere, 1993). Menurut
Hafez (1980), inseminasi buatan merupakan teknik yang dirancang dan penting
dalam peningkatan genetik pada hewan atau ternak. Inseminasi buatan pada babi
sudah dilakukan diberbagai negara (Perry, 1960).
Pengawinan secara IB sangat ditentukan oleh kualitas sperma pejantan yang
digunakan. Semen pejantan yang sering digunakan berasal dari bangsa Yorkshire,
Landrace, Duroc, Hampshire dan Berkshire. Pejantan yang akan digunakan dalam IB
harus teruji mutunya dalam hal performans, fisik, kesehatan dan manajemen
pemeliharaan memenuhi standar (Sihombing, 1997). Seekor babi jantan unggul,
dengan IB dapat dipakai untuk melayani 2000 ekor betina per tahun dengan
keturunan 20.000 ekor. Apabila pejantan bibit diisolasi dan dijaga kesehatannya,
maka IB dapat mencegah penyebaran penyakit menular seperti Brucellosis,
Tuberculosis dan Leptospirosis. Selain itu dengan teknik IB seekor pejantan dapat

mengawini lebih banyak betina dalam sekali ejakulasi dan dapat mengatasi masalah
ukuran tubuh yang tidak memungkinkan dalam pengawinan secara alami (Eusebio,
1980).
Kesulitan utama IB pada babi adalah, bahwa setiap babi betina harus

diinseminasi dengan 50 sampai 100 ml semen encer, dan satu ejakulat hanya dapat
dipakai untuk menginseminasi 10 sampai 20 ekor betina. Lama penyimpanan semen
cair singkat, hanya 24 sampai 48 jam, untuk mendapatkan hasil yang memuaskan
sebaiknya penampungan dilakukan dengan interval tiga sampai enam hari atau dua
kali seminggu. Secara umum kelemahan dari teknik IB adalah jika tidak dilakukan
dengan benar, maka akan menurunkan efisiensi reproduksi sehingga dalam
pelaksanaannya harus dilakukan secara terlatih dan terampil dan teknik IB tidak
dapat digunakan untuk semua jenis hewan (Toelihere, 1993).
Penampungan Semen
Penampungan semen babi dapat menggunakan beberapa metode diantaranya
adalah metode vagina buatan, pengurutan (massage) dan elektroejakulator (Eusebio,
1980). Vagina buatan yang digunakan dalam penampungan semen dimodifikasi
sedemikian rupa dan suhunya disesuai dengan vagina babi betina yang sebenarnya.
Vagina buatan yang akan digunakan diisi dengan 300 ml air dengan suhu 50oC,
kemudian dilicinkan dengan tragacanth. Sepotong karet busa dengan lubang kecil
berbentuk Y, yang dipasang dan diikatkan pada mulut vagina buatan, berguna untuk
membersihkan penis sewaktu memasuki vagina buatan dan mencegah pemasukan
kotoran dan kuman dari preputium kedalam botol penampung. Pada ujung lain dari
vagina buatan dipasang suatu corong atau selongsong karet tipis yang relatif panjang
dan diujung corong dipasang botol plastik berukuran 500 ml. Botol penampung

tersebut mempunyai tutup berganda dengan lubang–lubang berukuran dua mm.
Suatu lubang dibuat pada pangkal corong karet untuk tempat keluarnya sekresi–
sekresi preputium selama penampungan agar tidak bercampur dengan semen. Suatu
metal penunjang yang dipasang dibawah vagina buatan berguna untuk menahan
botol penampung bersama corong karet sebelum ejakulasi untuk mencegah
pengaliran sekresi preputium kedalam botol penampung (Toelihere, 1993).
Penampungan semen pejantan dapat menggunakan seekor betina berahi
ataupun suatu fantom atau dummy (betina tiruan). Menurut Sterle dan Safranski

(2005), biasanya pejantan dikawinkan dengan babi induk sebelum dilatih menaiki
dummy, setelah dilatih pejantan tersebut tidak digunakan lagi untuk mengawini babi
betina. Pejantan yang dilatih menaiki dummy membutuhkan proses yang lama. Saat
penampungan penis diarahkan dan dimasukkan melaui lubang yang berbentuk Y
pada karet busa dimulut vagina buatan. Inseminator berjongkok atau duduk diatas
bangku pendek disebelah kanan pemancing dengan vagina buatan pada tangan kiri
dan tangan kanan memegang corong karet. Tangan kanan memegang ujung distal
penis yang melalui vagina buatan memasuki corong karet. Pejantan akan
menggerakkan penisnya kedepan dan kebelakang beberapa kali. Saat berejakulasi
selama 5 sampai 20 menit , pejantan akan diam selama itu ujung penis harus dipijat
dan semen ditampung (Toelihere, 1993).

Metode pengurutan (massage) yang dilakukan adalah mengurut kelenjarkelenjar vesikularis dan ampula melalui rektum dari depan kebelakang. Pengurutan
biasanya dilakukan selama dua menit. Tujuan pengurutan adalah untuk merangsang
pengeluaran urin yang bersifat racun terhadap sperma, dengan demikian urin tidak
akan keluar lagi sewaktu pengurutan ampula. Metode pengurutan umumnya
dilakukan pada pejantan yang unggul tetapi tidak sanggup berkopulasi secara alami.
Metode ini biasanya tidak bersih dan mengandung banyak kuman dan bakteri,
sehingga untuk mencegah hal tersebut diatas, preputium dan sekitarnya dibersihkan
dengan NaCl fisiologis. Metode elektroejakulator merupakan metode penampungan
semen yang menggunakan rangsangan listrik dan biasanya digunakan untuk ternak
yang unggul tetapi dalam keadaan lumpuh, lamban, impoten dan tidak sanggup
menaiki pemancing (Parsonson et al., 1971).
Pemeriksaan Semen
Seekor babi jantan menghasilkan 125 sampai 500 ml semen per ejakulat, pH
semen babi berkisar antara 7,3 sampai 7,9 dan konsentrasi sperma babi dapat
mencapai 100 juta sampai 150 juta sel sperma per ml. Jumlah sperma yang progresif
harus sekitar 65 sampai 75% untuk fertilitas yang tinggi. Suhu pemeriksaan semen
sebaiknya sekitar 37-40oC (Toelihere, 1993). Menurut Winters (1963), volume per
ejakulat babi jantan 125 sampai 500 cm3(rata-rata 200 cm3), konsentrasi sperma per
mm3 25.000-1.000.000 (rata-rata 100.000) dan pH semen 6,8-7,2.


Pengenceran semen babi didasarkan pada jumlah sperma motil yang
diperlukan untuk mencapai angka kebuntingan yang tinggi. Jumlah tersebut berkisar
2 sampai 10 milyar, rata–rata 5 milyar (5 x 109) sperma motil per inseminasi. Jumlah
babi yang dapat diinseminasi per ejakulat 10 sampai 20 ekor. Angka konsepsi dan
jumlah litter size juga dipengaruhi oleh volume semen yang sudah diencerkan dan
lama waktu penyimpanan sebelum inseminasi. Volume minimal yang diperlukan
untuk inseminasi adalah 50 ml semen encer. Perlu volume yang lebih besar lagi yaitu
100 sampai 150 ml semen encer per inseminasi karena dalam prosedur inseminasi
buatan sebagian semen akan terbuang. Hal ini berarti pengenceran sebaiknya
dilakukan sedemikian rupa sehingga satu ml semen encer mengandung paling sedikit
30 sampai 40 juta spermatozoa (Toelihere, 1993).
Pengenceran semen babi dengan perbandingan 1:1 sampai 1:5, tergantung
pada konsentrasi sperma motil dan volume ejakulat, dengan pengenceran hangat
pada suhu 37oC segera sesudah penampungan. Pendinginan secara berlahan-lahan
dan penambahan fosfolipida kedalam semen akan melindungi sel sperma dan
mempertahankan hidupnya. Pengenceran lebih dari 1:5 dapat mempengaruhi
fertilitas sperma (First, 1970). Pengencer yang dianjurkan untuk mengencerkan
semen adalah sitrat-kuning telur atau susu skim segar yang telah dipanaskan
(Melrose, 1963).
Pemakaian semen beku kurang memuaskan walaupun terdapat motilitas

sperma yang cukup baik sesudah pencairan kembali. Inseminasi dengan semen beku
pada babi memberi angka konsepsi yang rendah (Melrose, 1966).
Pengawinan Secara Inseminasi Buatan
Babi betina yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda berahi jangan
diinseminasi karena angka konsepsi akan rendah. Babi yang akan diinseminasi
sebaiknya sudah mengalami dua kali atau lebih siklus berahi, atau setelah mencapai
umur delapan bulan atau berat 150 kg. Berahi sejati babi induk adalah 70 jam dan
babi dara 55 jam, waktu ovulasi adalah 25 sampai 36 jam sesudah permulaan berahi,
spermatozoa dalam alat kelamin babi betina mempertahankan fertilitasnya selama 25
sampai 30 jam. Waktu optimum inseminasi adalah 10 sampai 25 jam sesudah
permulaan berahi yang menghasilkan angka konsepsi 8 sampai 10% lebih tinggi
daripada babi betina yang diinseminasi sesudah waktu tersebut diatas (Toelihere,

1993). Menurut Sihombing (1997), periode yang efektif untuk menginseminasi
adalah sekitar 24 jam, antara 24 hingga 36 jam setelah puncak berahi. Inseminasi
yang pertama harus komplit 12 sampai 16 jam setelah dideteksi awal siap kawin
(puncak berahi) dan sekali lagi 12 sampai 14 jam kemudian. Inseminasi yang kedua
harus dilakukan walaupun induk tidak memperlihatkan tanda siap kawin dan jangan
menggunakan dosis yang kedua untuk menginseminasi induk lain, sebab
kemungkinan dapat menyebabkan anak yang lahir sedikit, meskipun induk akan
bunting. Siklus berahi pada babi betina dapat diperlihatkan pada Gambar 3, sehingga
dapat diketahui waktu yang tepat saat melakukan inseminasi.

Gambar 3. Siklus Berahi pada Babi Betina (Sihombing, 1997)
Menurut McIntosh (2005), syarat supaya inseminasi dapat berhasil adalah
pendeteksian saat babi berahi, waktu inseminasi yang tepat, menggunakan teknik
yang benar, penyimpanan semen dan penanganan semen dengan benar. Teknik
dalam melaksanakan inseminasi dapat dilakukan sebagai berikut:
1) semen yang telah ditampung langsung dievaluasi untuk dilihat motilitas,
kemudian dilakukan pengenceran dan evaluasi kembali,
2) sebelum inseminasi dilakukan, vulva babi betina dan sekitarnya
dibersihkan dengan air bersih, hal ini bertujuan untuk mengurangi infeksi
didalam uterus,
3) kateter diminyaki dengan minyak yang bersifat tidak membunuh sperma,

4) masukkan kateter secara perlahan kedalam alat kelamin betina dengan
cara ujung kateter agak diangkat keatas untuk menghindari kontak dengan
kandung kemih, seperti tertera pada Gambar 4,
5) Kateter dimasukkan dalam serviks dan diputar berlawanan arah jarum
jam,
seperti tertera pada Gambar 5,

Gambar 4. Cara Memasukkan Kateter Kedalam Alat Reproduksi Betina
(McIntosh, 2005)

Gambar 5. Cara Memutar Kateter (McIntosh, 2005)
6) setelah kateter masuk dan yakin serviks telah terkunci, maka ujung
pembungkus semen digunting kemudian sambungkan pada ujung kateter
dan sedikit diangkat agar semen dapat mengalir kedalam alat reproduksi
betina.
Menurut Toelihere (1993), keberhasilan inseminasi pada babi induk lebih
tinggi daripada babi dara. Angka konsepsi inseminasi pertama memakai semen fertil

yang diinseminasikan pada waktu yang optimal berkisar antara 50 sampai 70% dan
angka konsepsi pengawinan alam adalah 80 sampai 90%. Perbedaan ini disebabkan
waktu inseminasi yang tidak tepat sehubungan dengan ovulasi dan kegagalan
menempatkan sperma motil dalam jumlah yang memadai didalam volume pengencer
yang cukup besar kedalam uterus. Jumlah spermatozoa 10 milyar akan menghasilkan
angka konsepsi yang tinggi dan jumlah ini harus ada dalam volume minimal 50 ml.
Volume 10 sampai 20 ml memberi 80 sampai 90% ova yang dibuahi pada hari ketiga
sesudah inseminasi, namun angka tersebut menurun menjadi 8% pada hari ke-25
(Polge, 1956). Inseminasi dengan semen yang baru ditampung memberi hasil yang
berbeda dengan inseminasi dengan semen yang sudah disimpan salama 72 jam.
Angka fertilisasi pada inseminasi dengan semen yang baru ditampung adalah 88%
dan fertilisasi pada inseminasi dengan semen yang sudah disimpan adalah 36% dan
pada hari ke-35 dari masa kebuntingan 70% babi yang diinseminasi dengan semen
segar tetap mengandung embrio didalam uterusnya.
Laju Kebuntingan
Menurut Siagian (1999), laju kebuntingan merupakan persentase dari babi
betina yang tidak kembali berahi kira-kira tiga minggu setelah dikawinkan. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi laju kebuntingan antara lain
1) waktu pengawinan sebagai faktor utama penentu laju kebuntingan.
Pengawinan harus terjadi 12 jam sebelum dan dua jam setelah terjadi
pelontaran sel telur untuk mendapatkan pembuahan yang normal. Laju
pembuahan dan laju kebuntingan akan berkurang bila spermatozoa tiba
ditempat pembuahan sebelum atau setelah pelontaran sel telur. Sebaiknya
induk dikawinkan kira-kira 18 sampai 36 jam setelah mulai berahi, yang
mana pada babi induk kemungkinan berahi lebih lama daripada babi dara,
pelontaran sel telur pada induk dapat terjadi lebih lambat pada periode
berahi. Pengawinan babi dara 12 jam dan 25 jam setelah mulai berahi,
2) musim dapat mempengaruhi kesuburan pada ternak babi sehingga
menyebabkan penundaan atau ketidakteraturan berahi kembali dan
menyebabkan ketidak suburan pada pejantan. Penyebab masalah ini
belum jelas diketahui tetapi kemungkinan disebabkan adanya cekaman
panas,

3) pejantan harus mempunyai penampilan yang baik dan catatan reproduksi
individu pejantan harus diperhatikan secara teratur,
4) umur dan bangsa babi, babi dara memiliki laju kebuntingan 10 sampai
15% lebih rendah daripada babi induk dan laju kebuntingan babi bangsa
murni biasanya lebih rendah daripada babi bangsa persilangan,
5) lingkungan sosial, babi yang sejak menyapih hingga dikawinkan berada
dalam kandang atau dikerangkeng individu atau diikat, mempunyai laju
kebuntingan yang rendah apabila dibandingkan dengan babi yang
dikandangkan

secara

kelompok

kecil.

Akan

tetapi,

babi

yang

dikandangkan dalam kelompok yang besar (20 ekor atau lebih) dengan
ruangan yang tidak memadai (kurang dari 1,4 m2 per ekor) mempunyai
pengaruh yang semakin rendah terhadap laju kebuntingan.
Menurut Sihombing (1997), laju kebuntingan pada babi dara berbeda untuk
babi yang dikandangkan secara individu dan secara kelompok. Persentase laju
kebuntingan babi dara yang dikandangkan secara individu yaitu 83,0% dan babi dara
yang dikandangkan secara kelompok yaitu 94,0%. Menurut Sterle dan Safranski
(2005), untuk mendapatkan laju kebuntingan yang tinggi, deteksi berahi harus
dilakukan secara hati-hati dan tanpa kegagalan karena hal yang paling penting dalam
pengawinan khususnya pengawinan secara IB adalah deteksi berahi. Deteksi berahi
yang paling efektif dapat dilakukan sebanyak dua kali per hari.
Uji Kebuntingan
Uji kebuntingan sangat diperlukan untuk memastikan apakah terjadi
kebuntingan dan efisiensi reproduksi. Kebanyakan peternak memeriksa induk dan
dara apakah bunting dengan cara menunggu siklus berahi selanjutnya, yaitu 21 hari
setelah pengawinan. Jika babi tersebut mengalami berahi maka dapat dinyatakan,
bahwa babi tersebut tidak bunting dan sebaliknya. Ada dua metode untuk
mendiaknosa kebuntingan yaitu dengan cara biopsi vagina dan menggunakan alat
ultrasonik. Sulit menentukan secara visual apakah induk bunting dengan umur
kebuntingan sekitar delapan minggu, sebab 25% dari induk biasanya tidak bunting
dengan pengawinan yang pertama. Induk seharusnya dicek setiap hari ke 19 sampai
26 setelah kawin (Sihombing, 1997).

Paritas
Jumlah sel telur rata–rata yang diovulasikan oleh babi dara adalah 8 sampai
10 sel telur pada berahi yang pertama dan bertambah menjadi 12 sampai 14 sel telur
pada berahi yang ketiga. Babi induk, jumlah sel telur yang diovulasikan adalah
berkisar antara 15 sampai 20 sel telur (Dziuk, 1977). Menurut Paterson, Barker dan
Lindsay (1981), jumlah ovulasi rata–rata pada babi dara adalah 10,9 ± 0,14 sel telur
dan jumlah rata–rata anak 8,0 ± 0,12 ekor. Menurut Toelihere (1993), ovulasi terjadi
selama berahi dan sebagian ova dilepaskan 38 sampai 42 jam sesudah permulaan
berahi. Lama proses ovulasi adalah 3,8 jam. Ovulasi pada babi induk lebih cepat
daripada babi dara, ovulasi pada babi induk kira–kira empat jam lebih cepat daripada
babi dara. Babi induk mengovulasikan lebih banyak ova daripada babi dara dan
jumlah ova makin meningkat dengan setiap berahi, peningkatannya rata–rata dua
ova. laju ovulasi akan meningkat terus hingga paritas ketujuh tetapi pada umumnya
induk babi diafkir pada paritas kelima dan