Review Roman Bumi Manusia Karya Pramoedy

Sejarah Sosial Politik Indonesia
Review Roman : Bumi Manusia
Karya Pramoedya Ananta Toer

Dosen : Drs. Mashuri Maschab, SU
Longgina Novadona Bayo, MA

Ahmad Naufal Azizi
15/384251/SP/26963

Jurusan Politik dan Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
2015

Prolog
Di negeri ini, di rumah kita tercinta, pernah lahir sastrawan luar biasa di awal
pertengahan abad ke-20, Pramoedya Ananta Toer. Kehidupan dan perjalanan
menulis Pram tidaklah mulus seperti sastrawan yang hidup setelah masa
reformasi. Sempat beberapa kali masuk penjara karena sikapnya yang dianggap
berpandangan kiri (baca: komunis) dan tergabung dalam organisasi sayap kiri

Indonesia atau yang biasa disebut Lekra.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada
masa orde lama, selama masa orde baru Pram juga sempat merasakan 14 tahun
ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli
1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12
November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang.1
Meskipun separuh hidupnya berada dalam penjara, Pram tidak berhenti
dari kegiatan menulis, baginya menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia
konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dibuang
dan dibakar. Termasuk karya Tetralogi Buru ( Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang ditulisnya dalam pengasingan di
Pulau Buru juga dilarang terbit pada tahun 1981 oleh Jaksa Agung karena
dianggap mengandung ajaran marxisme atau komunisme, nyatanya buku ini tidak
mengajarkan tentang hal tersebut, yang ada malah tentang nasionalisme.2
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan
mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat
G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, tahanan kota
dan tahanan negara hingga 1999, ia juga diwajibkan melapor satu kali seminggu
ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.3
Di dalam roman Bumi Manusia ini, buku pertama dari Tetralogi Buru,

Pram menggambarkan masa periode Kebangkitan Nasional, masa yang hampirhampir tidak pernah dijamah oleh sastra Indonesia sebelumnya. Masa awal
1 Biografi Singkat Pramoedya Ananta Toer. https://depokinteraktif.com/headline/2012/01/biografi-singkatpramoedya-ananta-toer-2.html
2 Resensi Novel Bumi Manusia. http://www.kompasiana.com/purnama.aris/resensi-novel-bumi-manusiapramoedya-ananta-toer_551fd575a333112940b65db1
3 Biografi Singkat Pramoedya Ananta Toer. https://depokinteraktif.com/headline/2012/01/biografi-singkatpramoedya-ananta-toer-2.html

masuknya pengaruh pemikiran rasio dan awal pertumbuhan organisasi-organisasi
modern yang juga berarti awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Prancis. Masa
dimana kehidupan seorang remaja pribumi totok bernama Minke dimulai.
Review
Minke, begitu Pram menggambarkan tokoh utama dalam ke empat jilid roman
Tetralogi Buru ini. Ditulis dan diceritakan dengan penuh kehati-hatian sewaktu
menjalani proses tahanan di Pulau Buru. Bumi Manusia mengisahkan perjalanan
remaja Minke yang penuh dengan tantangan dan pengorbanan di tengah
kemunculan budaya modern yang juga masuk ke setiap sendi kehidupan
masyarakat Hindia-Belanda pada masa itu.
Minke memang bukanlah nama asli yang Pram berikan untuk tokoh utama
dalam roman tetralogi ini. Minke adalah nama samaran, bukan nama asli, hanya
saat ini dirasa kurang tepat untuk menyebutkan nama itu. Latar belakang yang
diambil dalam roman Bumi Manusia ini adalah kisaran tahun 1880-1899, akhir
abad ke-19. Saat pemerintah kolonial bimbang dengan serangan yang tidak pernah

mereka menangkan secara utuh terhadap pejuang tanah air, dan kemunculan
gagasan politik etis dari pemerintah kolonial itu sendiri.
Minke adalah seorang pribumi tulen (totok) yang sangat beruntung karena
bisa bersekolah di H.B.S Surabaya. Sekolah anak-anak elit Eropa, Belanda, Indo,
dan hanya sedikit dari kaum pribumi dari anak-anak para bupati dan patih.
Diketahui pada akhirnya bahwa Minke adalah keturunan priyayi, keturunan
pejabat dan nantinya akan mengambil tahta tersebut. Namun, disini Pram
menggambarkan sosok Minke yang tidak ingin berkuasa atau menjadi bupati,
semampu mungkin dia ingin keluar dari kepompong kejawaannya menuju
manusia yang bebas dan merdeka. Di sudut lain, Mingke sangat mengagumi
Eropa dengan ketinggian pengetahuan dan peradabannya.
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan masa dimana budaya
modern telah merambat masuk ke Hindia-Belanda. Prolog yang dibawa oleh Pram
menceritakan bahwa Minke yang baru berusia 18 tahun terkagum-kagum dengan
berbagai alat canggih yang ditemukan untuk mempermudah pekerjaan manusia
pada saat itu. Ditemukannya zincografi atau saat ini dikenal dengan mesin

photocopy telah mengubah wajah ilmu pengetahuan. Teori-teori yang pernah
diajari di sekolah berganti menyesuaikan perkembangan zaman. Dari kabar Eropa
dan Amerika, Minke menemukan berita bahwa saat itu telah ditemukan alat

transportasi super cepat, yaitu kereta api. Kereta tanpa kuda, tanpa sapi, maupun
kerbau. Kereta dengan bahan bakar yang kabarnya dapat membawa penumpang
dari Betawi ke Surabaya hanya dalam satu hari satu malam. Dan kini, rel kereta
itu telah membelah pulau Jawa. Minke tertegun. Dunia berjalan begitu cepat, dan
kata modern menjalar secara masif hingga sampai ke telinga penduduk HindiaBelanda.
Pram menggambarkan Minke dengan sosok yang haus akan ilmu dan
memiliki ketertarikan luar biasa dengan ilmu pengetahuan yang ada di Eropa
dengan berbagai peradaban baru yang diciptakan. Minke yang bersekolah di
H.B.S diajar oleh para guru yang berasal dari tanah Eropa yang selalu mengatakan
bahwa Eropa jauh lebih tinggi derajatnya dibanding dia, pribumi. Minke tidak
menyangkal. Dia mengakui bahwa saat itu memang benar adanya. Pribumi jauh
lebih rendah martabatnya dari kalangan Belanda totok, Eropa, Tionghoa, maupun
peranakan Pribumi dengan Eropa (Indo). Namun, disisi lain, Minke merasa sakit
hati karena keadilan tidak merata bagi kaum pribumi. Penduduk ia sendiri. Di
bangsanya sendiri, Hindia-Belanda.
Minke tinggal di Kranggan, di sebuah pemondokan milik mantan
komandan tentara kolonial, Tuan Telinga dan Mevrouw (Nyonya) Telinga. Mereka
sangat baik terhadap Minke. Sehabis pulang sekolah dari H.B.S Surabaya,
selebihnya Minke menghabiskan waktu dengan menulis kolom iklan di korankoran lelang, menulis tulisan umum di koran lokal dengan nama samaran
berbahasa Belanda, dan menjadi promotor dalam hasil seni lukis milik tetangga

sekaligus sahabatnya di Kranggan, Jean Marais. Dia adalah prajurit bekas kolonial
keturunan Prancis yang kehilangan sebuah kakinya dalam perang melawan
prajurit Hindia-Belanda di Aceh. Jean tinggal bersama anaknya, May Marais.
Bersekolah di H.B.S yang tidak semua pribumi bisa tempati, tidak lantas
membuat derajat Minke naik di hadapan teman-temannya yang juga bersekolah
disana dengan darah keturunan Belanda, Eropa, maupun Indo. Pribumi tetaplah
pribumi. Setinggi apapun pendidikannya, tidak bisa menandingi apalagi

melangkahi derajat masyarakat non pribumi. Adalah Robert Suurhof, teman
Minke di H.B.S yang pandai menghina, mengecilkan, dan melecehkan kaum
pribumi. Termasuk dirinya.
Suurhof yang merupakan peranakan Eropa dan Pribumi (Indo) ini
menantang Minke untuk bertemu dan mendapatkan perhatian dari gadis cantik di
Wonokromo. Tantangan itu diberikannya untuk membuktikan kejantanan Minke
sebagai laki-laki. Laki-laki philogynik. Gadis yang akan mereka temui nanti
adalah gadis peranakan indo, juga sama seperti Suurhof. Tantangannya tidaklah
ringan. Gadis cantik ini adalah dara yang banyak diperebutkan remaja seusianya.
Gadis yang memiliki kharisma kecantikan yang memancar. Cantik tiada
tandingan.
Pagi itu, Robert telah mempersiapkan dokar. Bersiap pergi ke Wonokromo,

menantang Minke dengan senyum kemenangan, berjumpa dengan dara cantik
tiada tanding itu. Maka, petualangan Minke pun dimulai.
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, mereka tiba di daerah
Wonokromo. Di sebuah rumah besar berloteng kayu, berpelataran luas dengan
papan tulisan di belakang pagar kayu: Boerderij Buitenzorg yang berarti
perusahaan pertanian Buitenzorg. Sesampai disana, mereka disambut pemuda
Indo, peranakan pribumi dengan Eropa, Robert Mellema. Dia adalah teman dari
Suurhof sekaligus abang dari gadis yang hendak Minke taklukan. Dari gerakgeriknya, Minke tahu Robert Mellema tidak menyukai kehadirannya di rumah itu.
Alasan klasik. Pribumi.
“Annelies Mellema”, ia memperkenalkan diri kepada Minke dan Suurhof,
dara cantik ini akhirnya keluar menampakkan diri. Perawakan yang digambarkan
Pram sangat sempurna. Berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan
bermata pribumi, matanya yang berkilauan seperti kejora, dan senyum di bibirnya
yang meruntuhkan iman. Benar kata Suurhof. Bukan hanya menandingi, dara
cantik ini sepertinya juga melangkahi Ratu Wilhelmina pikir Minke. Kedua
Robert terlibat asik dalam percakapan tentang sepakbola, pertandingan besar yang
pernah mereka saksikan di Surabaya. Kini, hanya tersisa Minke, yang bingung
melihat dara secantik itu berdiri dihadapannya.

Nyai Ontosoroh, mama dari Annelies dan Robert Mellema juga keluar

memperkenalkan diri akibat panggilan Annelies. Seorang gundik pribumi dari
Tuan Mellema ini tidaklah seperti yang kebanyakan orang pikirkan. Nyai
Ontosoroh adalah Nyai dengan pendidikan luar biasa. Bahasa Belandanya lancar
dan teratur, pesona anggun dan sopannya membuat Minke kembali tertegun.
Dari roman Bumi Manusia ini, Pram banyak menggambarkan momentum
kebangkitan rakyat Pribumi yang kemudian hari disebut kebangkitan nasional.
Diawali dengan sosok Nyai Ontosoroh, darah kelahiran pribumi tulen yang dapat
dengan baik menulis dan berbahasa Belanda dan Melayu tanpa pernah
mengenyam pendidikan sebelumnya. Nyai belajar otodidak dari Tuannya, Herbert
Mellema. Diketahui pada saat itu, hampir dipastikan semua pribumi biasa buta
dalam hal membaca apalagi tulis menulis. Nyai dan Annelies membangun
perusahan pertanian dengan sedikit bantuan ilmu dari Tuan Mellema yang
kemudian hari berkembang sangat pesat. Nyai dan Annelies secara mandiri
mengurus perusahaan mereka, dimulai dari administrasi, buku-buku, surat
menyurat, bank, perdagangan, hingga turun langsung sebagai mandor, mengawasi
pekerja perusahaan di bidang pertanian dan peternakan. Perusahaan milik mereka
sendiri.
Nyai Ontosoroh, seorang pribumi tulen yang pandai dalam hal mengatur
dan membangun perusahaan membuat Minke tertegun. Di belahan HindiaBelanda ini, ada seorang Nyai, seorang gundik dari Tuan Eropa, dapat belajar dan
mengembangkan perusahaan secara mandiri tanpa pernah mengenyam pendidikan

sebelumnya. Sebuah momentum penting dalam bangkitnya rakyat pribumi.
Annelies mengajak Minke berjalan-jalan di perusahaannya. Minke dibuat
kaget kembali, dara cantik ini ternyata yang mengatur perusahaan di luar, menjadi
mandor dari puluhan pekerja yang kebanyakan adalah wanita pribumi. Hal yang
tidak biasa dilihat Minke ketika wanita pribumi keluar rumah dan bekerja bagi
suatu perusahaan. Annelies sebenarnya juga merupakan siswa E.L.S, sekolah elit
bagi bangsa Belanda, Indo, maupun pribumi dari kalangan terpandang. Namun,
karena suatu kejadian, dia dikeluarkan mamanya dari sekolah itu dan mulai
membantu mamanya mengurus perusahaan.

Diketahui Minke selanjutnya, bahwa hubungan rumah tangga keluarga
Mellema ini tidaklah berjalan harmonis. Tuan Mellema yang dulu baik
mengajarkan dengan sabar Nyai Ontosoroh, lima tahun belakangan ini sangat
jarang di rumah. Dia menjadi seorang pemabuk dan sering pergi ketempat
plesiran. Masalah itu bermula ketika anak sah Tuan Mellema dari Belanda datang
ke Wonokromo menuntut tuduhan serong Tuan Mellema kepada istrinya sekaligus
ibu dari anaknya yang sah Ir. Maurits Mellema. Tuan Mellema tidak menceraikan
istrinya di Belanda dan juga tidak menikahi secara syah Nyai Ontosoroh. Hal
inilah yang kemudian hari menimbulkan masalah dalam keluarga ini. Abang dari
Annelies, Robert Mellema berbeda sekali dengan Annelies, Robert lebih suka

bergaul dengan orang Eropa asli dan ingin pergi ke Eropa saat besar nanti, dia
sangat membenci pribumi dan tentunya, mamanya sendiri. Annelies sebagai
peranakan indo tidak demikian, dia mencintai mamanya, dan menganggap diri
sebagai pribumi.
Pertemuan dengan Annelies membuat kehidupan Minke berbalik 180
derajat, dia yang dulunya hanya sebagai pengagum kecantikan Ratu Wilhelmina di
Belanda dan tidak berpengalaman dalam berdekatan dengan perempuan, kini
memiliki sahabat yang kecantikannya tidak kalah dengan Sri Ratu. Tanpa ia sadari
pula, Minke mulai jatuh cinta.
Jean Marais, tetangga sekaligus sahabatnya di Kranggan itu menjadi
sahabatnya yang pertama yang mengetahui perasaan Minke ketika jatuh cinta
kepada Annelies. Jean hanya mengingatkan, hati-hati jika berhubungan dengan
seorang Nyai dan memiliki anak seorang peranakan Indo. Jean mengingatkan
pula, Minke cuman Pribumi biasa.
Gejolak konflik mewarnai petualangan Minke dalam Roman Bumi
Manusia ini, tidak jarang tangis haru mengisi lembaran roman ini bagi tiap
pembacanya. Minke, pribumi terpelajar yang sangat kagum dengan Belanda,
akhirnya mempertanyakan keadilan yang diagungkan bangsa barat itu. Disini, di
Hindia-Belanda, keadilan itu sangat normatif. Hanya diajarkan di sekolah-sekolah
elit dan menguap saat hendak dilaksanakan. Minke, sebagai pribumi tulen ingin

merubah bangsanya sendiri. Dengan kemampuan yang dia miliki. Menulis.

Dengan perjalanan panjang dan sungguh melelahkan, akhirnya Minke
lulus dari H.B.S sebagai siswa berprestasi nomor dua se Hindia-Belanda,
kebahagiannya juga bertambah dengan bisa menikahi Annelies. Gadis yang ia
cintai ketika pertama kali bertemu itu. Gadis manja dan penangis, juga seorang
mandor bagi perusahaannya.
Momentum penting dari roman Bumi Manusia ini selanjutnya yaitu
tentang keberanian Minke, siswa H.B.S berdarah pribumi yang menentang
ketidakadilan pengadilan putih oleh pemerintah Belanda terhadap dirinya, Nyai,
dan Annelies. Lewat pengadilan tersebut diputuskan bahwa selepas kematian Tuan
Mellema, semua perusahaan beserta rumah Tuan Mellema di Wonokromo akan
dikembalikan kepada istri dan anak Tuan Mellema yang sah di Belanda. Annelies
yang merupakan peranakan Indo juga akan dibawa ke Belanda, dan Ir. Maurits
Mellema, kakak tirinya sebagai wali atas harta peninggalan Tuan Mellema
tersebut. Pernikahan Annelies dan Minke dianggap tidak sah berdasarkan hakim
Belanda. Tidak ada jalan lain, ia harus dipulangkan ke Belanda. Mengenai harta
peninggalan, Nyai tidak mendapat bagian sedikitpun. Perusahan Buitenzorg yang
ia dirikan dengan pengorbanan dan perjuangan panjang kini terancam diambil alih
oleh orang yang tidak pernah membantunya dalam mendirikan perusahaan.

Sungguh pengadilan tidak adil. Hanya karena Nyai seorang pribumi.
Minke dan Nyai berusaha dengan sekeras tenaga untuk melawan
ketidakadilan tersebut. Berulang kali kuasa hukum dipanggil untuk menangani
kasus ini namun berujung kepada jalan kebuntuan. Minke, sebagai seorang
penulis handal dari H.B.S berulang kali menerbitkan tulisan di koran umum yang
menceritakan ketidakadilan pengadilan Belanda. Banyak yang bersimpati
mengenai hal tersebut, Juffrouw Magda Peters, guru kesayangan Minke di H.B.S
dan Tuan Asisten Residen kota B yang notabennya bukan pribumi juga ikut
menggelontorkan bantuan. Banyak yang iba dan ikut membantu dalam
pengusutan kasus yang ditimpakan kepada keluarga baru Minke tersebut. Tak ayal
membuat serombongan orang Madura, bersenjata parang dan clurit telah
mengepung rumah kediaman Nyai Ontosoroh, menyerang orang Eropa non
pribumi, polisi bayaran Belanda yang berusaha memasuki pelataran rumah Nyai.

Dengan berbagai kelicikan dan tipu muslihat, regu polisi yang kewalahan
menghadang pasukan Madura bersenjata menghubungi pasuka Maresose, pasukan
penggempur Belanda diakhir abad ke-19 untuk menyerang pasukan pribumi di
Aceh. Rombongan Madura yang menjaga di pelataran rumah Nyai mundur, tak
sedikit dari mereka yang mati berlumuran darah. Rumah nyai kini dikuasai
pasukan Belanda, Maresose yang kejam.
Bukan tiada arti, perlawanan rakyat pribumi karena ketidakadilan
pengadilan Belanda membuka momentum baru bagi kebangkitan rakyat pribumi
sendiri. Dari peristiwa tersebut, semakin banyak pribumi yang ingin berjuang
untuk kemerdekaan hak-haknya di tanah sendiri, Hindia-Belanda. Seorang remaja
yang baru saja dewasa, Minke, mengubah sudut pandang penduduk pribumi dari
yang hanya patuh terhadap suruhan kolonial dan tak berdaya dengan hukum yang
berlaku kearah perlawanan dan sikap kritis terhadap kebijakan Belanda yang
dibuat, yang tak jarang merugikan pribumi itu sendiri.
Perusahaan Buitenzorg tutup sementara, tidak ada aktifitas pekerja di
ladang dan peternakan. Mereka semua diliburkan. Aktifitas penduduk kampung
juga sepi. Warganya memilih tinggal di dalam rumah. Menunggu pasukan
Maresose menjauh dari rumah Nyai. Sementara itu, Annelies terbaring lemah di
kamarnya. Matanya menatap dengan tatapan kosong, tidak bereaksi dengan seruan
Minke dan pelukan hangat dari mamanya. Dia dibius dokter untuk menenangkan
pikirannya. Gadis manja itu, dara cantik tiada tanding, kini tidak berdaya
dikamarnya, berbaring seperti boneka yang rapuh.
Pengadilan memberikan tenggat waktu lima hari kepada Annelies untuk
mempersiapkan keberangkatan ke Negeri Belanda. Pengadilan Belanda tetap
keukuh mempertahankan putusan yang merugikan pribumi tersebut. Annelies akan
dibawa. Tanpa Minke dan Ibunya bisa menemani. Selama empat hari terakhir
sebelum keberangkatan, Annelies masih terlihat kaku, tetap dengan tatapan dan
pandangan kosongnya. Tidak bersuara walaupun obat bius sudah tidak bekerja.
Minke berusaha meyakinkan Annelies, bahwa nanti dia juga akan pergi ke
Belanda, bersama mama, tapi tidak untuk sekarang karena pasukan Belanda terus
mengawasi. Sementara di perjalanan Jan Dapperste akan menemaninya. Teman

baik Minke di H.B.S itu berjanji akan menjaga Annelies dalam perjalanannya ke
Belanda.
Hari ini, hari terakhir Annelies di rumah. Minke dan Nyai tidak kuasa
menahan tangis. Sungguh perpisahan yang tidak mengenakan. Ditengah tubuh
kurus dan pucat Annelies memberanikan diri untuk berbicara seperti biasanya.
Minke tahu, mata layu Annelies tidak benar-benar normal seperti sebelum
masalah ini datang. Tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan pada pagi hari itu.
Kereta Guberman yang akan membawa Annelies ke pelabuhan sudah siap di
depan rumah dengan penjagaan ketat pasukan Belanda. Di tengah kesedihan yang
melanda, Annelies hanya berpesan kepada mamanya, agar memberi Annelies adik
perempuan, adik manis yang bisa membuat lupa mamanya akan Annelies ketika
berangkat ke Belanda. Adik perempuan yang tidak menyusahkan dan manja
seperti Annelies. Dan Minke, Annelies hanya berpesan kepada dirinya untuk
mengenang hal-hal bahagia yang pernah mereka lakukan bersama.
Tangis haru tak kuasa ditahan Minke dan Nyai. Mereka meraung dengan
penuh rasa benci terhadap pengadilan Belanda. Tanpa bisa menahan kepergian
Annelies karena dicegat penjaga yang menghadang. “Bunda, putramu kalah.
Putramu tersayang tidak lari, Bunda, bukan kriminil, biarpun tak mampu membela
istri sendiri, menantumu”.
Annelies pergi menjauh, tatapannya masih kosong, dia pergi hanya
membawa kopor tua milik mamanya dulu ketika juga pergi meninggalkan rumah
untuk selama-lamanya. Hanya membawa batikan Bunda, gaun pengantin
Annelies.
“Kita kalah, Ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
--------------------------------------------------------------------------------------------Berdasarkan review roman Bumi Manusia diatas, dampak dari momentum
penting bagi penduduk pribumi dalam pembentukan menjadi negara yang
merdeka adalah dengan munculnya sikap sama rasa bagi kaum pribumi yang
mendapat ketidakadilan dari hukum dan ketetapan kolonial. Dari sikap sama rasa
tersebut melahirkan sikap sama-sama ingin merdeka dan bebas dari penjajahan.
Roman ini menceritakan di akhir abad ke-19 telah muncul gejolak perlawanan

dari pribumi tanpa memandang asal dan suku masing-masing. Sebuah konsep
Kebangkitan Nasional dengan didasari kesamaan latar belakang, kesamaaan
bahasa, kesamaan sejarah, dan kesamaan penderitaan melahirkan pribumi yang
bersatu yang akhirnya membentuk bangsa dan negara.
Roman Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini
mengisahkan dengan sangat baik bagaimana kesatuan momentum perjuangan bagi
penduduk pribumi diawali dengan kemauan penduduknya untuk bebas dari
penjajahan. Munculnya organisasi pribumi dikemudian hari merupakan inspirasi
dari perjuangan masa lalu. Negara yang besar seperti Indonesia ini lahir di awal
abad ke-20 dengan semangat kerakyatan, kebangsaan, dan kemerdekaan
memperjuangankan hak-hak rakyat pribumi yang selama ini direnggut.
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak
ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.” – Pramoedya Ananta
Toer

Terimakasih,
30 Desember 2015
A Naufal Azizi