Tinjauan terhadap Roman Detektif karya G

Tinjauan terhadap Roman Detektif karya Georges Simenon
sebagai Materi Kajian Sastra
Dipresentasikan pada Peluncuran Buku terjemahan karya-karya Simenon
di Bandung tanggal 20 Oktober 2008
dalam rangka Tahun Emas Dies Natalis ke 50 Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran

TANIA INTAN, M.Pd.
Staf Pengajar Program Studi Sastra Prancis
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
A.

Biografi Georges Simenon
Walau sangat terkenal sebagai tokoh dalam dunia sastra Perancis, Georges Simenon lahir
di Liège, Belgia, pada tanggal 13 Februari 1903. Ia memulai studinya di Institut Saint-André, dan
kemudian mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Saint-Louis. Sejak usia sebelas
tahun, ia telah memperlihatkan bakat menulisnya, namun Simenon muda belum merasa yakin untuk
menjadikannya sebagai profesi.
Pada tahun 1918, keadaan ayahnya yang sakit akhirnya memaksa Simenon untuk
meninggalkan sekolah dan mulai bekerja. Setelah menjadi pegawai toko buku, ia melamar
pekerjaan pada penerbit La Gazette de Liège pada bulan Januari 1919. Dengan segera ia
mengasuh sebuah rubrik harian yang diisinya dengan cerita pendek, dan bahkan di sanalah ia

menulis roman pertamanya Au Pont des Arches.
Pada bulan Desember 1922, ia tiba di Paris untuk memulai karir baru sebagai sekretaris
penulis Binet-Valmer. Dalam sepuluh tahun, Simenon mampu menulis lebih dari seribu cerita pendek
untuk surat kabar dan berbagai roman yang terdiri dari roman detektif, roman psikologis, dan roman
petualangan (Dictionnaire des Auteurs IV, 1986:324). Kuantitas hasil karya serta daya imajinasinya
yang sangat kuat ini membuat Simenon populer sebagai salah satu penulis besar dalam dunia
sastra, seperti yang dikatakan oleh André Gide :
Le plus grand de tout peut-être et le plus vraiment romancier que nous
avons en littérature aujourd’hui. (Les Ecrivains Célèbres, 1965:110)
Yang paling besar di antara semuanya, penulis roman yang paling
sesungguhnya yang kita miliki di dalam dunia sastra.
Untuk memenuhi permintaan Joseph Kessel, seorang pengarang Perancis, Simenon
menulis dalam Détective, satu seri novel yang memunculkan tokoh Komisaris Maigret untuk pertama
kalinya. Namun demikian, pada dasarnya Simenon tidak pernah ingin disebut sebagai seorang
penulis roman detektif, seperti yang diungkapkannya dalam suatu wawancara yang kemudian
diterbitkan dalam buku Messieurs Les Best Sellers (1966:65) karya Gilbert Gane :
Mais je ne me suis jamais considéré comme un auteur de roman policier !
C’est un malentendu !
Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai penulis roman detektif !
Ada salah pengertian dalam anggapan itu !


1

Menurut Simenon, yang menarik di dalam romannya bukanlah tindakan kejahatan atau
kelihaian sang detektif yang mengungkapkan teka-teki yang terdapat di dalamnya, melainkan pada
pemaparan drama kehidupan tokoh-tokohnya. Dengan demikian, membaca karya Simenon
sesungguhnya berarti menelusuri proses kejiwaan manusia yang dimanifestasikan dalam tindakan
kejahatan, atau pun tindakan lain, serta melihat keterkaitan sebab-akibat sehingga terwujud suatu
drama kehidupan yang rumit.
Walaupun telah menyangkal kesuksesannya dalam meramu roman detektif seri Komisaris
Maigret, Simenon telah menerbitkan 100 juta eksemplar karyanya di Perancis dan 500 juta
eksemplar di seluruh dunia. Beberapa judul di antaranya bahkan telah difilmkan. Keberhasilannya
yang spektakuler ini menunjukkan betapa masyarakat umum menyukai genre roman detektif,
terutama pada masa antara Perang Dunia I dan II.
Karya-karya Simenon di antaranya adalah :
- La Nuit du Carrefour
- Pédigrée
- Le Testament Donatien
- Le Chat
- Les Inconnus dans la Maison

- Les Anneaux de Bicêtre
- La Marie du port
- Maigret en meuble
- La Neige était sale
- Le Fou de Bergerac
B.

Asal-usul Roman Detektif
Secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai realita dan juga fiksi,
karena kita hidup di antara keduanya. Dengan kekayaan imajinasi para penulis karya sastra di
seluruh dunia yang tidak terbatas, kita sesungguhnya dapat memilih model realita atau fiksi apa pun
yang kita sukai. Apabila kita memilih untuk menjadi pengamat yang baik, penebak yang jitu dan
penyabar dalam menunggu jawaban atas berbagai pertanyaan penting, roman detektif dapat
menjadi alternatif bacaan yang menarik.
Siapa yang tidak mengenal Agatha Christie dengan Monsieur Hercule Poirot, Sir Conan
Arthur Doyle dengan Sherlock Holmes dan Dr Watson-nya, Georges Simenon dengan Commissaire
Maigret, atau bahkan Sinichi Kudo alias Conan Edogawa tokoh dari cerita komik Jepang karya
Gosho Aoyama?
Di Eropa pada umumnya, roman detektif berkembang seiring dengan pesatnya urbanisasi
sebagai akibat dari revolusi industri. Kehidupan di kota-kota besar menjadi tidak aman karena

kepadatan penduduk, pengangguran, kemiskinan dan kejahatan yang semakin meningkat. Untuk
dapat mengurangi kejenuhan dan ketegangan yang dialami sehari-hari, publik pun menghibur diri
dengan bacaan.
Ternyata masyarakat menyukai bacaan yang menceritakan kejadian misterius atau bahkan
menakutkan, karena cerita selalu berakhir bersamaan dengan penjelasan yang rasional dari
berbagai teka-teki yang menggayuti sepanjang pembacaan. Buku-buku yang bertemakan kejahatan
lalu menjadikan pembaca terbiasa dengan kehadiran penjahat yang menjadi tokoh kejahatan dan
penegak hukum yang memburunya. Tema kejahatan ini kemudian dapat meluas menjadi tema
drama atau roman. Dalam hal ini, disepakati bahwa kejahatan, penjahat dan polisi adalah tiga unsur
pokok dalam roman detektif.
Berkat ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi, dalam karya fiksi, polisi hampir selalu
lebih unggul dari penjahat. Pemburuan atau pencarian jejak si penjahat inilah yang sering dibuat
menjadi cerita bersambung (le feuilleton). Cerita bersambung ini menjadi terkenal dan lebih
berkembang dalam bentuk roman detektif.
Roman jenis ini disukai masyarakat karena di dalamnya terdapat suatu permainan logika
yang disebut le merveilleux logique, atau logika yang menawan. Proses ini dilukiskan sang
pengarang melalui kejadian yang logis di balik misteri yang menegangkan. Permainan ini sering juga
disebut sebagai Peur-pour-rire, yaitu permainan yang menggoda si pembaca untuk merasa takut
(peur) pada awal cerita, dan kemudian berubah menjadi tawa kesenangan (rire) di akhir cerita.


2

Roman detektif dapat diklasifikasikan ke dalam jenis teks naratif, sebab jawaban dari
masalah yang terkandung dalam cerita detektif, misalnya siapa yang membunuh, mengapa, dan
bagaimana, hanya dapat diungkapkan dengan penceritaan. Dalam roman ini, tentu saja unsur yang
paling penting adalah tindakan kejahatan (le crime). Sebuah kejahatan akan terungkap apabila
rangkaian cerita dijalin dengan baik oleh sang pengarang.
Namun demikian, ternyata roman detektif seringkali dikritik, tidak dianggap sebagai karya
sastra yang utuh dan sederajat dengan jenis karya sastra lain seperti : puisi, drama, dongeng atau
novel, sehingga dikategorikan dalam para-littérature, yang berarti terletak di sekitar sastra, atau pun
semi-littérature, karena dipandang sebagai produk dari “sastra industri” (Brunel,2002:78). Padahal,
untuk menganalisis roman detektif ini ternyata dibutuhkan teori-teori sastra untuk dapat
membedahnya.
C.

Metode Kajian Roman Detektif
Untuk menganalisis suatu roman detektif, setidaknya ada 4 aspek yang harus diteliti yaitu :
alur, tokoh, sudut pandang dan latar.
1. Alur
Alur adalah susunan unsur-unsur naratif, atau urutan perbuatan dan peristiwa yang

membentuk satu rangkaian secara logis. Rangkaian ini pada umumnya mengikuti hubungan
sebab-akibat dan kronologis (Goldenstein, 1980 :64). Alur teks naratif dapat disusun dengan
dua cara, yaitu berdasarkan urutan satuan isi cerita (USIC) atau sekuen, dan juga dengan
pemenggalan cerita secara episodik. Namun demikian, untuk menganalisis roman detektif,
cara pertama, yaitu dengan menggunakan penyusunan sekuen, dianggap lebih tepat karena
lebih dapat menggambarkan detil-detil dari berbagai peristiwa.
Menurut Bremond (1966), sebuah sekuen dasar (séquence élémentaire) berjalan melalui
tiga saat utama, yaitu :
1. Sebuah situasi awal yang memungkinkan terjadinya satu sikap atau perbuatan
2. Terjadinya peristiwa atau terlaksananya peristiwa tersebut
3. Diakhiri oleh satu keberhasilan atau kegagalan.
Cerita detektif pun, menurut Joseé Dupuy (1974:53-57) dapat disederhanakan ke dalam
sebuah sekuen dasar yang mempunyai tiga jenis tahapan, yaitu :
1. Kejahatan (le crime)
Kejahatan adalah satu peristiwa yang menjadi langkah awal (le point du depart)
bagi cerita detektif.
2. Penyelidikan (l’enquête)
Penyelidikan adalah rangkaian peristiwa yang menggambarkan pencarian
kebenaran yang dilakukan polisi atau detektif. Di dalam tahap ini dikumpulkan
data-data melalui interogasi terhadap tersangka dan saksi. Jadi bagian ini

merupakan rekonstruksi dari peristiwa kejahatan yang telah terjadi.
3. Penyelesaian (la solution / le châtiment)
Penyelesaian adalah penjelasan yang bersifat rasional dari teka-teki kejahatan
sekaligus untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam
penyelidikan. Pada bagian ini, situasi menjadi normal kembali dan tenang.
Agar ketiga tahapan sekuen dasar ini dapat terjalin menjadi sebuah cerita, maka di
antaranya harus terdapat sekuen-sekuen lain yang berfungsi sebagai perantara.
Menurut Dupuy (1974 :175), rangkaian sekuen-sekuen ini dapat digabungkan dalam dua
jenis hubungan yaitu :
1. Hubungan sebab-akibat (le bout à bout)
Hubungan ini dilihat dari sudut terjadinya sebuah peristiwa. Setiap sekuen
mengakibatkan terjadinya sebuah situasi baru yang menjadi titik tolak sekuen

3

selanjutnya. Hubungan ini terus berlanjut sepanjang cerita. Urutan kronologis ini
biasanya terdapat dalam jenis roman petualangan (roman d’aventure).
Setiap tahapan cerita mempunyai dua kemungkinan yang berlawanan, sehingga dapat
membentuk skema sebagai berikut:
Rencana jahat

Rencana
dilaksanakan
Kejahatan
terjadi
Petugas hukum
turun tangan
Hukuman

Rencana tak
dilaksanakan
Kejahatan
dihindarkan

Tak ada
Petugas hukum
Bebas

2. Hubungan bersusun (l’enclave)
Hubungan ini kebalikan dari hubungan sekuen sebab-akibat. Cerita tidak mengikuti
urutan terjadinya peristiwa, namun mengikuti jalannya penyelidikan.

Hubungan ini merupakan ciri khas roman detektif. Cerita diawali oleh sebuah teka-teki,
dilanjutkan dengan jalannya penyelidikan yang dilakukan oleh polisi. Jadi skema cerita
hubungan ini adalah :
Teka-teki kejahatan
Penyelidikan
Pengumpulan data-data,
Penelitian tempat kejadian, jejak, korban
Penyusunan hipotesis
(X mungkin berbuat jahat, X mempunyai motif
Jadi X adalah si tertuduh)
Pembuatan rencana
Proses pembuktian
Pembuktian berhasil
Hipotesis terbukti
Teka-teki terjawab

Dari dua buah jenis hubungan sekuen dasar di atas, skema sebuah roman detektif dapat
berkembang menjadi skema yang bervariasi. Apabila kita akan menganalisis tindakan tokoh
kejahatan, maka sekuen yang didapat harus disusun ke dalam skema yang dilihat dari
tokoh kejahatan.

Variasi lain dari skema tersebut adalah jalan buntu (fausse piste), yaitu bila teka-teki
kejahatan tidak terungkap atau malah berhadapan dengan teka-teki yang lain.

4

2. Tokoh
Tokoh dalam karya sastra adalah individu rekaan yang berperan dalam berbagai peristiwa
dalam cerita. Jadi kehadiran tokoh mendasari semua jalinan cerita. Tokoh cerita menempati
posisi strategis sebagai pembawa, penyampai ide ataupun pesan pengarang yang ingin
disampaikan pada pembaca. Peran tokoh dalam suatu roman dapat dilihat dari hubungan
antar tokoh.
Berdasarkan fungsinya, tokoh dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu :
1. Tokoh utama, sebagai sentral cerita
2. Tokoh pembantu yang turut serta berperan dalam perkembangan cerita namun tidak
sepenting tokoh utama
3. Tokoh pelengkap (Goldenstein, 1988 : 44-45)
Analisis ciri pembeda tokoh dipergunakan untuk melihat tokoh utama dan tokoh pembantu.
Di dalam suatu karya sastra, tokoh utama dengan tokoh pembantu dan pelengkap memiliki
keterkaitan, Keberadaan tokoh-tokoh lain dapat menunjang tokoh utama. Tokoh utama
sebenarnya membantu ide pengarang dan mendapat porsi pelukisan relatif lebih banyak

daripada tokoh-tokoh lainnya.
Hubungan antartokoh dapat dilihat melalui situasi ujaran yang mereka ciptakan. Adanya
situasi ujaran ini menunjukkan adanya hubungan. Erat dan renggangnya suatu hubungan
ditentukan oleh ada tidaknya konflik di antara mereka dan ada tidaknya saling pengertian di
antara tokoh-tokoh tersebut.
Agar tokoh dalam suatu karya sastra terlihat nyata, penulis melekatkan atribut-atribut yang
dimiliki manusia di dunia nyata. Selain memiliki nama atau julukan, setiap tokoh memiliki ciriciri fisik dan mental yang sangat membantu pembaca dalam memahami kepribadian tokoh.
Tapi ada kalanya pula pengarang tidak memberikan keterangan-keterangan itu sama sekali.
Informasi mengenai tokoh utama dapat diberikan langsung melalui narator, tokoh lain atau
pun tokoh tersebut dan tidak langsung melalui gambaran terperinci dari suatu obyek,
ucapan atau perbuatan tokoh, sehingga pembaca dapat menyimpulkan sendiri pesan yang
ingin disampaikan. (Goldenstein : 1988 : 46-52)
Ada setidaknya tiga tokoh yang perannya membentuk cerita dalam roman detektif yaitu
penjahat, korban dan polisi atau detektif (le criminel, la victime, le detective ou le policier).
Hubungan antar ketiga tokoh ini sangat erat. Sebuah kejahatan tercipta karena adanya si
penjahat dan korban. Alur cerita akan berkembang dengan kehadiran seorang tokoh
kejahatan, dan detektif atau polisi untuk menyelidiki kejahatan tersebut.
Pendekatan Psikologis dengan Teori Peran
Untuk memperjelas gagasan penulis mengenai latar belakang tindak kejahatan, maka tokoh
yang terhimpun dalam tabel ciri pembeda tokoh ditempatkan sebagai individu yang hidup di
dalam masyarakat. Teori yang membahas perilaku individu dalam masyarakat adalah Teori
Peran (Marvin E. Shaw & Philip R Costanzo, disadur oleh Dr.Sarlito Wirawan, 1987:233251)
Pengertian « peran » dalam kejadian sosial adalah perilaku yang diharapkan oleh
masyarakat dari individu yang menduduki posisi tertentu dalan satu sistem sosial. Untuk
menelaah perilaku individu dalam masyarakat, kita harus terlebih dahulu mengenal :
- Posisi
Posisi adalah batasan untuk individu yang melakukan suatu tugas tertentu dalam
masyarakat. Penempatan individu di dalam suatu posisi, ada hubungannya dengan ciri-ciri
umum seperti usia, pekerjaan, status, ciri-ciri fisik, ciri-ciri mental dan perilaku. Posisi
individu inilah yang menentukan perilaku yang harus dilakoni individu tersebut.
- Hubungan perilaku dengan peran

5

Untuk mendapatkan aspek-aspek yang mendorong tokoh kejahatan bertindak, kita akan
melihat hubungan perilaku dengan peran, dan aspek kepribadian individu. Hubungan
perilaku dengan peran akan terlihat dari penilaian peran dari sudut pandang masyarakat.
Perilaku peran akan positif apabila sesuai dengan norma, dan perilaku peran akan negatif
bila tidak sesuai dengan norma.
- Ambisi
Ambisi adalah hasrat yang menyala-nyala untuk mendapatkan kepuasan, dalam hal
kekuasaan, kehormatan dan keberhasilan sosial. Dalam keadaan normal, orang yang
mempunyai ambisi akan menunjukkan kelebihan dirinya, namun dalam situasi sulit, orang ini
akan menjadi agresif sehingga dapat melakukan apa saja untuk memenuhi ambisinya,
termasuk melakukan tindakan kejahatan.
3. Sudut Pandang
Dalam sebuah teks, sudut pandang menentukan kedudukan atau tempat berpijak si
pencerita terhadap cerita, atau posisi pencerita dalam membawakan cerita. Goldenstein
(1988 :33) membagi sudut pandang menjadi dua bagian yaitu : sudut pandang terbatas
(vision limitée) dan sudut pandang tidak tidak terbatas (vision illimitée).
Sudut pandang terbatas adalah sudut pandang pencerita yang ikut berperan dalam jalannya
cerita, sehingga pandangannya hanya terbatas pada apa yang ia saksikan. Sedangkan
sudut pandang tidak terbatas menempatkan pencerita di luar jalan cerita, sehingga ia
mampu menyajikan kepada pembaca pikiran-pikiran tokoh yang paling rahasia, bahkan
yang tidak disadari oleh tokoh itu sendiri. Selain itu, sudut pandang ini memberikan
kemungkinan bagi si pencerita untuk berada pada beberapa tempat dalam waktu yang
sama. Oleh sebab itu, sudut pandang ini disebut juga sudut pandang maha tahu
(omniscient).
Dalam roman detektif, penggunaan kedua jenis sudut pandang ini sangat memungkinkan.
Sudut pandang terbatas dapat digunakan bila pencerita adalah saksi dari suatu kejahatan,
sedangkan sudut pandang tidak terbatas dapat dengan leluasa digunakan oleh si penjahat
atau polisi untuk memperlihatkan pada pembaca jalan pemikiran mereka masing-masing
(penyusunan rencana, pertentangan batin, gambaran emosi).
4. Latar
Dalam sebuah karya sastra, latar memainkan peran yang cukup penting karena dipilih
dengan intensi tertentu oleh sang pengarang. Sebuah latar, baik tempat, waktu maupun
sosial, dapat memberi gambaran mengenai para tokoh di dalamnya, karena di antara tokohlatar terdapat hubungan sebab-akibat. (Goldenstein,1980:88). Beberapa fungsi latar di
antaranya adalah :
1.
Latar dan tokoh saling memaknai satu sama lain
2.
Latar menjadi deskripsi seorang tokoh, mempengaruhi dan
membentuknya
3.
Latar dapat menjadi simbol jiwa dan takdir tokohnya
4.
Latar memungkinkan adanya aksi dalam cerita
Latar dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial.
Dalam suatu roman detektif, mempelajari latar peristiwa kejahatan berarti pula mempelajari
si pelaku kejahatan. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila polisi melakukan olah
tempat kejadian perkara secara seksama, agar dapat mendapatkan gambaran baik fisik
maupun kejiwaan pelakunya.

6

D.

Penutup
Georges Simenon sebagai penulis sejumlah besar roman detektif, lebih memilih dianggap
sebagai penulis roman psikologis. Seperti halnya manusia dalam kehidupan nyata, tokoh-tokoh di
dalam karyanya bertingkah laku sesuai dengan perwatakan atau karakter yang disandangnya.
Apabila seorang tokoh menghadapi masalah, ia pun bertindak sesuai dengan perwatakan yang
seharusnya. Jika ia menyimpang dari citra atau posisi yang sesuai dengan norma umum, hal
tersebut haruslah tidak terjadi begitu saja, melainkan harus dapat dipertanggung jawabkan secara
logis sehingga tetap memiliki kadar plausibilitas tinggi.
Dengan demikian memang ada kecenderungan psikologis yang dapat dipelajari di dalam
karya-karya Simenon. Terdapat pula penekanan yang menonjol pada latar, deskripsi suasana dan
situasi hubungan antar tokoh, sehingga frekuensi kemunculan tindakan pun menjadi lebih kecil.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa roman detektif karya Simenon lebih mementingkan
alasan atau tujuan dari suatu tindakan (kejahatan) daripada tindakan (kejahatan) itu sendiri.

Daftar Pustaka
1. Bourdereau, F,1996, Précis de français, Langue et Littérature, Paris, Nathan
2. Bremond, Claude, 1966, La Logique des possibles narratifs, Communication no.8, Paris,
Edition du Seuil
3. Brunel P., 2002, La Littérature Française du XXe siècle, Paris, Nathan Université
4. Dupuy, Josée, 1974, Le Roman Policier, Paris, Larousse
5. Goldenstein, J-P, 1980, Pour Lire le Roman, Bruxelles, Edition A De Boeck
6. Laksmi Dewi A. 1988, Telaah terhadap Aspek-aspek yang melatar belakangi tindakan tokoh
Kejahatan dalam roman detektif Le Fou de Bergerac karya Georges Simenon, Skripsi,
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, tidak dipublikasikan
7. Ploquin F., 2000, Littérature Française : Coll. Outil, Paris, Hachette
8. Sarwono, S.W,1987, Teori-teori Psikologi Sosial, Jakarta, CV Rajawali
9. Séoud, A. ,1997, Pour une Didactique de la Littérature, Paris, LAL
10. Tania Intan.,1998, Perubahan Tingkah Laku Tokoh Loursat Sebagai Hasil Introspeksi Diri
dalam roman Les Inconnus dans la Maison karya Georges Simenon, Skripsi, Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran, tidak dipublikasikan

7

BIODATA
Nama

: Tania Intan, M.Pd

Tempat/ tanggal lahir

: Bandung, 2 April 1974

Alamat

: Jl. Babakan Hantap No. 175 Antapani Bandung

Pekerjaan

: Staf Pengajar Program Studi Perancis
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran

Pendidikan

: - S1 pada Jurusan Sastra Perancis dengan pengutamaan Sastra
Fakultas Sastra UNPAD
(1992-1998)
- Program Maîtrise du FLE par correspondance
Université Grenoble III Perancis
(2003-2004)
- S2 pada Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis
Program Pascasarjana UPI
(2005-2007)

8