Effectiveness of mangrove rehabilitation on pramuka island, seribu archipelago.

EFEKTIFITAS REHABILITASI MANGROVE
DI PULAU PRAMUKA, KEPULUAN SERIBU

AGUS HARYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas Rehabilitasi
Mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Agus Haryanto
NIM C252100144

iv

RINGKASAN
AGUS HARYANTO. Efektifitas Rehabilitasi Mangrove Di Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan YONVITNER.
Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh aktivitas
manusia, walaupun tak bisa dipungkiri alam juga memiliki peran yang cukup besar
dalam hal ini. Kerusakan tersebut akan menyebabkan berkurangnya atau bahkan
menghilangnya fungsi sistem dan manfaat mangrove bagi masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan kondisi mangrove yang rusak, maka
diperlukan upaya pengelolaan melalui rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengkaji faktor yang menentukan

keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu;
(2) mengkaji efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove dan faktor-faktor
penunjang keberhasilan dan kegagalannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu;
dan (3) Menyusun rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas rehabilitasi
ekositem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Penilaian tingkat keberhasilan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka
dilakukan dengan menganalisis beberapa indikator menggunakan indeks efektifitas
dengan mempertimbangkan juga parameter lingkungan dari kualitas air seperti
suhu, kecepatan arus, salinitas, pH, DO, TSS, Nitrat, kalium, BOD5. Indikatorindikator efektifitas rehabilitasi mencakup indikator ekobiologi mangrove yang
meliputi sintasan, pertumbuhan dan tutupan relatif; dan indikator sosial yang
meliputi partisipasi masyarakat dan persepsi masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mangrove di Pulau Pramuka
mayoritas adalah anakan, sedangkan untuk pohon dan semai hanya sebagian kecil
saja. Semua mangrove yang ada merupakan hasil rehabilitasi dengan tahun tanam
yang berbeda, hanya dua pohon saja yang dianggap sebagai mangrove alami yang
sudah ada sejak dahulu. Berdasarkan hasil pengukuran, mangrove rehabilitasi di
Pulau Pramuka memiliki tutupan relatif antara 0,03-2,82%; pertumbuhan 13,3332,50 cm/th; dan sintasan 3,02-67,36%.
Kondisi lingkungan perairan di kawasan rehabilitasi mangrove merupakan
perairan dangkal dengan rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai
dengan jarak sekitar 500 m dari garis pantai dan memiliki kualitas perairan yang

masih sesuai untuk mangrove. Nilai-nilai pengukuran kualitas air meliputi suhu
31,7-35 oC; kecepatan arus 0,1-0,3 m/s; TSS 4-16 mg/l; pH 7,54-8,20; salinitas 2528 psu; DO 7,6-9,4 mg/l; nitrat 0,039-0,156 mg/l; ortofosfat 0,002-0,283 mg/l;
kalium 0,272-0,698; dan BOD5 2,00-4,60 mg/l.
Berdasarkan kondisi sosial, semua masyarakat (100%) mengetahui tentang
mangrove, baik fungsi dan keberadaannya. 60% masyarakat juga mengetahui
bahwa mangrove di Pulau Pramuka selama ini dikelola oleh TNKpS. Selain itu,
masyarakat juga mengambil peran dan berpartisipasi didalam pengelolaan
mangrove. Sekitar 80% responden menyebutkan pernah terlibat dalam upaya
pengelolaan, diantaranya dengan ikut menjaga, tidak merusak keberadaan
mangrove dan sesekali membersihkan mangrove dari sampah. Keterlibatan
masyarakat tersebut sejalan dengan manfaat yang dirasakan. 80% responden

v

menyebutkan bahwa adanya mangrove dianggap dapat mengurangi hantaman
gelombang, abrasi dan menambah kesejukan di pantai. Keterlibatan masyarakat
dalam upaya pengelolaan dapat lebih ditingkatkan jika masyarakat mengetahui dan
bisa memanfaatkan langsung mangrove seperti pemanfaatan buah untuk manisan,
pemanfaatan kayu, dll. Selama ini tidak ada pemanfaatan langsung terhadap
mangrove oleh masyarakat, 100% responden menyebutkan tidak ada pemanfaatan

langsung.
Terkait dengan rehabilitasi mangrove, 100% responden mengetahui tentang
arti rehabilitasi dan adanya program rehabilitasi yang dilakukan di Pulau Pramuka.
Tetapi hanya 80% responden yang menyebutkan pernah terlibat dalam kegiatan
rehabilitasi, dan dari keterlibatan tersebut hanya 20% responden yang
melakukannya dengan sukarela, 80% lainnya ikut terlibat karena kegiatan tersebut
dianggap hanya sebagai proyek dan hanya untuk mendapatkan uang baik dari bibit
yang mereka tanam dan tenaga yang mereka keluarkan untuk proses penanaman di
pantai. Hal ini juga diperkuat dengan hanya 60% responden yang melakukan
swadaya dalam setiap kegiatan rehabilitasi padahal rehabilitasi rutin dilakukan.
Metode dan teknik penanaman oleh 80% responden dianggap sudah
dilakukan sudah benar, yaitu rumpun berjarak (bergerombol). Metode tersebut
dianggap benar karena mangrove mayoritas dapat tumbuh, tidak seperti metode dan
teknik sebelumnya. Sehingga 80% responden menganggap rehabilitasi sudah
efektif dan 100% menganggap sudah berhasil. Masyarakat berharap kegiatan
rehabilitasi tersebut ada tindak lanjut, tidak hanya saat program saja. 80%
responden menyebutkan tidak ada tindak lanjut yang dilakukan setelah kegiatan
rehabilitasi dilakukan. Kegiatan tindak lanjut ini bisa dilakukan seperti perawatan,
penjarangan, penataan, dll, sehingga mangrove dapat lebih banyak hidup dan
tumbuh lebih optimal.

Hasil analisis PCA didapatkan bahwa variabel lingkungan yang
mempengaruhi sintasan mangrove adalah nitrat yaitu 99,25%, kecepatan arus yaitu
88,85%, dan kalium yaitu 63,26%. Variabel-variabel tersebut cukup mewakili
efektifitas rehabilitasi dimana faktor oseanografi fisika diwakili oleh kecepatan arus
dan kimia diwakili oleh nitrat dan kalium.
Setelah dilakukan penilaian efektifitas rahabilitasi, menunjukkan bahwa pada
stasiun 1, 2 dan 3 rehabilitasi tergolong efektif dengan nilai 57,58%; 66,77%; dan
66,67%, sedangkan pada stasiun 4 tergolong tidak efektif dengan nilai 48,48%. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka
secara umum efektif.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pada parameter pertumbuhan dan
sintasan, hanya ada satu lokasi yang mencapai nilai optimal, diantaranya di lokasi
stasiun 2 untuk pertumbuhan dan di stasiun 3 untuk sintasan. Optimalnya
pertumbuhan dan sintasan dilokasi tersebut banyak dipengaruhi oleh parameter
oseanografi dan sudah terbentuknya kondisi ekosistem mangrove yang mendukung
terutama untuk bahan organik yang dibutuhkan mangrove yang berasal dari serasah
mangrove tersebut.
Kata kunci: ekosistem mangrove, TNKpS, rehabilitasi, efektifitas

vi


SUMMARY
AGUS HARYANTO. Effectiveness of Mangrove Rehabilitation On Pramuka
Island, Seribu Archipelago. Supervised by FREDINAN YULIANDA and
YONVITNER.
Mangrove ecosystem damage is generally caused by human activities,
although it is undeniable, nature also has a considerable role. The damage will cause
a reduction or even disappearance of system functions and benefits of mangrove for
the community and the surrounding environment. To restore the damaged
mangrove, it is necessary to attempt rehabilitation through mangrove management
on Pramuka Island, Seribu Archipelago.
The purpose of this study was (1) to examine the factors that determine the
success of the rehabilitation of mangrove ecosystems on Pramuka Island, Seribu
Archipelago, (2) to assess the effectiveness of the rehabilitation of mangrove
ecosystems and the factors supporting the success and failure on Pamuka Island,
Seribu Archipelago, and (3) to arrange the recommendations to improve the
effectiveness of the rehabilitation of mangrove ecosystems on Pramuka Island,
Seribu Archipelago.
Assessment of mangrove rehabilitation success rate on Pramuka Island was
done by analyzing several indicators of using an effectiveness index with taking

into account also the environmental parameters of water quality such as
temperature, flow velocity, salinity, pH, DO, TSS, nitrate, potassium, BOD5.
Indicators of effectiveness of mangrove include eco-biologi indicators of mangrove
rehabilitation that includes survival, growth and percent cover; and social indicators
that include public participation and public perception.
Results of this study showed that the majority of mangroves on Pramuka
Island are the saplings, while for trees and seedlings only a small fraction. All
existing mangrove rehabilitation was the result of the different planting years, only
two trees ware considered a pre-existing natural mangrove long ago. Based on the
measurement results, mangrove rehabilitation on Pramuka Island had a relative
cover between 0.03 to 2.82%; growth of 13.33 to 32.50 cm/yr; and survival rate of
3.02 to 67.36%.
Environmental conditions in the area of rehabilitation of mangrove waters are
shallow water reef around the island stretches to a distance of about 500 m from the
shoreline and the water quality is suitable for mangroves. Values of water quality
measurements include temperature from 31.7 to 35 °C; flow velocity 0.1-0.3 m/s;
TSS 4-16 mg/l; pH 7.54 to 8.20; salinity 25-28 psu; DO from 7.6 to 9.4 mg/l; nitrate
from 0.039 to 0.156 mg/l; orthophosphate 0.002 to 0.283 mg/l; potassium 0.272 to
0.698; and BOD5 from 2.00 to 4.60 mg/l.
Based on social conditions, all the people (100%) know about mangroves,

both the function and existence. 60% of people also know that the mangrove on
Pramuka Island is managed by TNKpS. In addition, people also take a role and
participate in the management of the mangrove. Approximately 80% of respondents
said had been involved in management efforts, including by contributing to
maintain, not destroy the existence of mangroves and mangrove occasional cleaning
of garbage. Community involvement is in line with the perceived benefits. 80% of

vii

respondents said that the mangroves are considered to lessen the blow of the waves,
erosion and add coolness on the beach. Community involvement in management
efforts can be improved if people know and can take advantage of direct utilization
of mangrove like to candied fruit, wood utilization, etc.. So far there is no direct use
of the mangrove by the community, 100% of respondents said there was no direct
use.
Associated with mangrove rehabilitation, 100% of respondents knew about
the meaning of rehabilitation and the rehabilitation program conducted on Pramuka
Island. But only 80% of respondents who mentioned have been involved in the
rehabilitation, and from that involvement was only 20% of respondents who do so
voluntarily, the other 80% are involved because these activities are considered only

as a project and just to earn money both from the seeds that they planted and energy
that they spend on the process of planting on the beach. It is also reinforced with
only 60% of respondents who self in any rehabilitation while rehabilitation routine.
Methods and techniques of cultivation by 80% of respondents considered
already done it right, is the clump (clustered). The method is considered true
because the majority of the mangroves can grow, unlike previous methods and
techniques. So that 80% of respondents consider rehabilitation was effective and
100% was considered successful. Society hopes that rehabilitation, there is followup, not just when the program alone. 80% of respondents said there was no followup was performed after the rehabilitation was done. Follow-up activities can be
done as treatment, thinning, arrangement, etc., so that mangroves can grow more
and more optimal life.
The results of PCA analysis showed that the environment variables that affect
mangrove survival rate was nitrate (99.25%), flow velocity (88.85%), and
potassium 63.26% ie. These variables adequately represent the effectiveness of
rehabilitation in which the factor is represented by the physical oceanography and
chemical flow velocity was represented by nitrate and potassium.
Whereas the results of index of rehabilitation effectivity showed that
rehabilitation at the stations 1, 2 and 3 is effective with a value of 57.58%, 66.77%
and 66.67%, and at station 4 is not effective by the value of 48.48%. From these
results, it can be concluded that the rehabilitation of mangroves on Pramuka Island
generally effective.

The study also concluded that the parameters of growth and survival, there is
only one location that achieve optimal value, including on-site station 2 for growth
and at station 3 for survival. Optimal growth and survival at the that location are
heavily influenced by oceanographic parameters and the established conditions of
mangrove ecosystem that supports especially for organic materials needed
mangrove derived from the mangrove litter.
Keywords: mangrove ecosystem, TNKpS, rehabilitation, effectiveness

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ix


EFEKTIFITAS REHABILITASI MANGROVE
DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

AGUS HARYANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

x

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc

xi

Judul Tesis : Efektifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu
Nama
: Agus Haryanto
NIM
: C252100144

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc
Ketua

Dr Yonvitner, SPi, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Efuktifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau. Pramuka, Kepufauan
Senbu
: Agus Haryanto
Nama
: C252100144NIM

Disetujui Dleh
KomisiPembimbing

DrIr Fl"edinan Yulianda. MSc

Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program &tndi
P.engel61aan :Sumbe.rdaya
Pesisirdan Lautan

ProfDr 'Ir Mennofatria Boer, DBA

t。ョァャlオウセ@

18 0CT 2013

xii

xiii

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Penelitian ini yang
mengambil judul Efektifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka Kepulauan
Seribu dilakasanakan pada bulan Meret sampai Agustus 2013.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatia
Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan, Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc dan Dr Yonvitner, SPi, MSi sebagai
Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah mencurahkan perhatiannya
dalam penelitian dan penyelesaian Tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Kepala Biro Perencanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta
jajarannya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi
Magister Sains di IPB. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Istri tercinta dan
Anakku tersayang atas pengertian dan doanya, Almh. Ibu dan Alm. Bapak kandung
dan mertua, serta saudara-saudara yang lain atas dukungan dan doanya. Tak lupa
juga kepada rekan-rekan SPL IPB atas dorongan semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Agus Haryanto

xiv

xv

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
xvii
DATAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN

xix

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Kerangka Alur Pikir Penelitian

1
1
2
3
3
3

2

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Mangrove
Jenis-jenis Mangrove
Fungsi Mangrove
Permasalahan Terkait Ekosistem Mangrove
Pengelolaan Mangrove
Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove
Indikator Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove
Kerusakan Mangrove yang Mengarah pada Perubahan Luasan dan
Kerapatan Mangrove

14

3

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
Struktur komunitas Mangrove
Analisis Lingkungan Ekosistem Rehabilitasi Mangrove
Analisis Efektifitas Rehabilitasi

15
15
16
16
18
18
18
19

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penilitian
Keadaan Umum Loksi Penelitian
Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka
Kondisi Lingkungan Perairan di Lokasi Penanaman Mangrove
Kondisi Mangrove di Pulau Pramuka
Tutupan Relatif Mangrove di Pulau Pramuka
Pertumbuhan Mangrove di Pulau Pramuka
Sintasan Mangrove di Pulau Pramuka
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Efektifitas Rehabilitasi
Ekosistem Mangrove
Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis / PCA)
Analisis Kelompok (Cluster Analysis / (CA)

21
21
21
21
25
32
33
35
36

5
5
5
7
8
8
9
10

38
38
42

xvi

5

Kondisi Sosial Masyarakat Dalam Rehabilitasi Mangrove
Efektifitas Rehabilitasi Mangrove
Rekomendasi

43
46
48

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

51
51
51

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

58

xvii

DAFTAR TABEL

1 Jenis-jenis vegetasi hutan mangrove penting

6

2 Hubungan faktor salinitas dengan kesesuaian jenis tanaman mangrove

13

3 Letak stasiun pengamatan mangrove

16

4 Parameter fisika dan kimia perairan

17

5 Matriks tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove Pulau Pramuka

20

6 Sejarah rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka

23

7 Beberapa permasalah dan tindak lanjut yang dilakukan

25

8 Nilai parameter fisika-kimia di perairan Pulau Pramuka

26

9 Tingkat kesuburan perairan nilai pH

28

10 Tingkat kesuburan perairan nitrat

30

11 Data penanaman mangrove di Pulau Pramuka

35

12 Korelasi antara variabel-variabel pertama dan faktor-faktor utama

39

13 Koordinat pengamatan pada axis utama

40

14 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan
kondisi lingkungan

42

15 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan
kondisi mangrove

43

16 Tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka

46

17 Kegiatan pemantauan dan perawatan yang dapat dilakukan pasca
penanaman mangrove

50

18 Data parameter fisika, kimia, biologi, sosial ekonomi, budaya dan
kelembagaan

59

19 Matriks korelasi antar variabel

65

xviii

DATAR GAMBAR

1 Kerangka pendekatan alur penelitian

4

2 Hubungan asosiasi komponen biotik dan abiotik pada mangrove

5

3 Lokasi stasiun pengambilan data di sekitar perairan Pulau Pramuka
kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu

15

4 Metode penanaman mangrove dengan metode ajir yang dilakukan pada
tahun 2003-2004 (Sumber: TNKpS 2009)

24

5 Penanaman mangrove pada bulan September 2005 yang dilakukan dengan
menancapkan propagul bakau pada lubang tanam di lokasi penanaan
dengan sistem rumpun berjarak (Sumber: TNKpS 2009)
24
6 Hasil penanaman program GERHAN tahun 2005/2006 (Sumber: TNKpS
2009)
24
7 Hasil penanaman mangrove tahun 2007 (Sumber: TNKpS 2009)

25

8 Nilai tutupan mangrove di Pulau Pramuka

33

9 Tutupan mangrove di seluruh stasiun pengamatan di Pulau Pramuka

34

10 Nilai sintasan mangrove di Pulau Pramuka

37

11 Biplot korelasi variabel-variabel lingkungan dan lokasi penanaman
mangrove

40

12 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan
kondisi lingkungan

42

13 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan
kondisi mangrove

43

14 Tingkat persepsi masyarakat terhadap mangrove dan pengelolaan
mangrove

44

15 Tingkat persepsi masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove

45

16 Skoring parameter efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka

48

17 Lingkaran korelasi dari variabel lingkungan

65

18 Observasi terhadap axis 1 dan 2 dari lokasi dan lingkungan mangrove

66

xix

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jenis dan metode pengambilan data

59

2 Pembibitan dan ukuran tanam semai mangrove

61

3 Pengukuran stasiun pengamatan (plot) dengan metode transek kuadrat

62

4 Pengukuran kualitas perairan lingkungan

63

5 Diskusi dan wawancara

64

6 Hasil analisis PCA

65

7 Peta kondisi keberadaan mangrove dan potensi di Pulau Pramuka

67

8 Peta site plan penanaman mangrove, lamun dan terumbu karang
mangrove di Pulau Pramuka

68

9 Kuesioner sosial ekonomi masyarakat di Pulau Pramuka

69

10 Tahapan-tahapan rehabilitasi mangrove

73

11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
(Lampiran 3: Baku mutu air laut untuk biota laut)

75

12 Hasil pengukuran kualitas air di Laboratorium Proling IPB

77

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang sangat kompleks baik secara
ekologi maupun sosial ekonomi, dalam memainkan peranannya sebagai penyangga
antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi dengan ekosistem pesisir
lainnya, seperti estuaria, tambak, padang lamun dan terumbu karang (Quoc et al. 2012).
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang
mempunyai peran sangat penting dalam mendukung produktivitas perikanan,
sebagai nursery ground (tempat pembesaran) dan spawning ground (tempat
pemijahan) bagi beragam jenis biota air.
Selain itu ekosistem mangrove berperan sebagai pensuplai bahan makanan
(food supply) bagi berbagai jenis biota air di wilayah pesisir dan dapat menyediakan
berbagai jenis produk dan jasa lingkungan untuk kesejahteraan hidup masyarakat
dan kualitas lingkungan pantai dimana mangrove tersebut tumbuh (Kusmana 2007).
Beberapa diantaranya meliputi fungsi sebagai penahan erosi pantai, pencegah
intrusi air laut ke daratan, pengendali banjir, merupakan perlindungan pantai secara
alami mengurangi resiko dari bahaya tsunami dan juga merupakan habitat dari
beberapa jenis satwa liar (burung, mamalia, reptilia dan amphibia) (Othman 1994).
Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah keragaman jenis yang
tertinggi di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove dunia, sekitar 4,25 juta ha (27%)
berada di Indonesia (FAO 1982). Tetapi selama beberapa dekade, ekosistem
mangrove telah mengalami kerusakan yang serius dan pada kondisi yang
membahayakan, serta peranannya banyak diabaikan dengan banyaknya konversi
ekosistem mangrove menjadi peruntukan lain seperti pemukiman, infrastruktur
transportasi, budidaya pertanian dan perikanan (khususnya pengembangan tambak
udang), dan untuk pemanfaatan arang dan konstruksi (Komiyama et al. 1996; Kairo
et al. 2001; Alonzo-Perez et al. 2003; Thampanya et al. 2006; Walton et al. 2007;
Bashan et al. 2013).
Di Indonesia, luas ekosistem mangrove setiap tahun terus mengalami
penurunan. Luas ekosistem mangrove tahun 1982 adalah 5.209.543 ha, tahun 1987
seluas 3.235.700 ha, tahun 1993 seluas 2.496.185 ha, dan tahun 1999 seluas
2.346.414 ha. Berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa selama 17 tahun
(1982-1999) luas ekosistem mangrove di Indonesia mengalami penurunan sekitar
54% atau 3,2% pertahun (Sofyan 2001). Berkurangnya kawasan mangrove tersebut
akan menyebabkan peningkatan tekanan terhadap keamanan manusia dan
pembangunan kawasan pesisir dari bahaya bencana pesisir seperti erosi, banjir,
gelombang badai dan tinggi (Gilman et al. 2008), sehingga dianggap perlu untuk
melakukan rehabilitasi.
Field (1998) menyatakan terdapat tiga alasan untuk melakukan rehabilitasi
mangrove, yaitu (1) konservasi dan landscaping; (2) sistem-sistem multi
pemanfaatan untuk produksi yang berkelanjutan; dan (3) perlindungan area-area
pesisir. Alasan yang ketiga tersebut merupakan salah satu alasan rehabilitasi yang
dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Eksistensi ekosistem mangrove di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
sudah semakin kecil, dari sekitar 78 pulau yang dikelola TNKpS hanya sebagian

2

kecil pulau-pulau yang mempunyai tegakan mangrove dan dikhususkan untuk
rehabilitasi mangrove terutama pulau-pulau pemukiman yang relatif sudah tidak
ditumbuhi oleh mangrove (Pulau Pramuka, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan).
Upaya rehabilitasi ekosistem dan proses pemulihannya sangat sulit dilakukan
dikarenakan media tumbuhnya sangat miskin hara dan gelombang laut di musim
barat atau timur seringkali menghanyutkan tanaman yang sudah mulai tumbuh
namun sistem perakaran kurang kompak.
Upaya rehabilitasi dilakukan dengan membuat persemaian mangrove semi
alami, penanaman mangrove (bakau) dan kegiatan GNRHL Mangrove pada tahun
2005/2006 dan Tahun 2007 ini sampai dengan saat ini. Perbedaan kondisi habitat,
sifat dan tipe substrat/sedimen serta bentuk pantai yang khas dan sangat berbeda
dengan di daratan menuntut suatu metode tersendiri dalam rehabilitasi ekosistem
mangrove di TNKpS. Metode rumpun berjarak yang dikembangkan oleh BTNKpS
merupakan metode yang dinilai paling cocok untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem
mangrove di TNKpS. Upaya rehabilitasi ekosistem mangrove yang pernah
dilakukan di Pulau Pramuka, TNKpS yaitu: 1) mengalami kegagalan/kurang efektif
pada tahun 2003 dan 2004 dengan menggunakan metode ajir; 2) memiliki
persentase tumbuh bagus pada tahun 2002 dan 2004 dengan menggunakan metode
tanam rapat dan metode penanaman bibit bakau dengan polybag dan 3) mengalami
keberhasilan/persentase tumbuh tinggi pada tahun 2005, 2006 dan 2007.
Menyadari akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan masyarakat,
baik secara langsung maupun tidak langsung maka diperlukan suatu pengelolaan
ekosistem yang ditekankan pada aspek ekologi dan sosial ekonomi masyarakat
setempat. Pengembangan pengelolaan dan rehabilitasi juga sangat penting
dilakukan agar dapat menciptakan suatu kondisi yang dapat mendukung terjadinya
proses regenerasi secara alami. Untuk itu diperlukan kajian terkait efektifitas
rehabilitasi agar dapat menciptakan suatu kondisi yang dapat mendukung terjadinya
proses regenerasi secara alami.
Disamping itu, strategi pelibatan masyarakat lokal dipandang lebih efektif
dibandingkan dengan pelestarian satu arah yang hanya dilakukan oleh pemerintah.
Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi pelestarian
dalam suatu kawasan, maka akan dapat memelihara fungsi keseimbangan
ekosistem dan fungsi ekonomi kawasan tersebut bagi masyarakat setempat.

Rumusan Masalah
Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh aktivitas
manusia, walaupun tak bisa dipungkiri alam juga memiliki peran yang cukup besar
dalam hal ini. Kerusakan tersebut akan menyebabkan berkurangnya atau bahkan
menghilangnya fungsi sistem dan manfaat mangrove bagi masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan kondisi mangrove yang rusak, maka
diperlukan upaya pengelolaan melalui rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu.
Keberhasilan upaya rehabilitasi ekosistem mangrove yang efektif sangat
ditentukan oleh banyak faktor baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara
kualitatif lebih banyak menitikberatkan pada kesesuaian spesies, waktu, spasial,
maupun metode yang digunakan pada saat penanaman mangrove, sedangkan secara

3

kuantitatif ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat dan jumlah
penduduk. Partisipasi dan peran aktif masyarakat setempat menjadi salah satu
faktor utamanya. Pengelolaan yang melibatkan masyarakat diharapkan akan lebih
efektif karena masyarakat lokal lebih dapat diberdayakan dan merasa terlibat,
sehingga pada saatnya nanti akan tumbuh rasa tanggung jawab untuk mengelola
lingkungan mereka sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka efektifitas program rehabilitasi mangrove
di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu mencakup:
1. Tingkat keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu;
2. Meramalkan faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan rehabilitasi
mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan
penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Mengkaji faktor yang menentukan keberhasilan rehabilitasi ekosistem
mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu;
2. Mengkaji efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove dan faktor-faktor
penunjang keberhasilan dan kegagalannya di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu;
3. Menyusun rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas rehabilitasi ekosistem
mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai dasar untuk menetapkan rencana
rehabilitasi yang tepat dan terukur sehingga bisa dijadikan sebagai dasar
pengelolaan.

Kerangka Alur Pikir Penelitian
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan usaha rehabilitasi mangrove pada
setiap satuan lahan pengamatan, maka perlu dikumpulkan data lahan (jenis subsrat
dan kandungan hara), bibit (jenis, ukuran dan kualitas), teknologi yang digunakan,
sumberdaya manusia yang ada, data sosial hukum serta kelembagaan.
Kajian keberhasilan usaha rehabilitasi mangrove dalam penelitian ini akan
ditinjau dari aspek:
1. Tingkat hidup dari mangrove rehabilitasi.
2. Peningkatan pertumbuhan/laju tumbuh dan persen tutupan mangrove.
3. Tingkat kepedulian masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove.
Tingkat hidup, pertumbuhan dan persentase mangrove sangat ditentukan
oleh kandungan hara dan bibit (jenis, ukuran dan kualitas) dan metode yang
digunakan. Teknologi meliputi cara yang digunakan dalam menentukan jarak

4

tanam antar mangrove, aturan dalam menentukan jumlah dan besaran lubang yang
digunakan serta seberapa besar efektifitas teknologi yang digunakan dalam rangka
fungsi mangrove sebagai pelindung dari ombak, arus, dan pasang surut. Sedangkan
tingkat keberhasilan untuk sosial dilihat dari prosentase masyarakat sekitar yang
peduli, melakukan swadaya dan menerapkan teknologi yang ada. Adapun kerangka
alur penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ekosistem dan
SDA
Kondisi
Lingkungan

Sintasan
Mangrove

Metode
Rehabilitasi

Bibit
Mangrove

Sosial
Masyarakat

Teknik
Penanaman

Tingkat
Pertumbuhan

Tingkat
Kepedulian

Persen
Tutupan

Efektifitas
Rehabilitasi

Tidak

Rehabilitasi
Gagal

Ya
Rehabilitasi
Berhasil

Gambar 1 Kerangka pendekatan alur penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Mangrove
Mangrove merupakan perpaduan kombinasi antara bahasa Portugis mangue
dan bahasa Inggris grove (Macnae 1968). Kata mangrove dalam bahasa Portugis
digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedangkan mangal
digunakan untuk menyatakan komunitas tumbuhan. Sedangkan dalam bahasa
Inggris mangrove digunakan untuk menyatakan suatu komunitas pepohonan,
rumput dan semak belukar yang tumbuh di daerah pesisir maupun individu jenis
tumbuhan lainnya yang berasosiasi satu sama lain.

Mangrove

Mangal

Asosiasi mangrove

Eko-sistem
Mikrohabitat mangrove

Mikrohabitat biologi

Faktor abiotik

Gambar 2 Hubungan asosiasi komponen biotik dan abiotik pada mangrove
Hutan Mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai hutan tropis
yang didominasi oleh beberapa pohon yang khas dan semak belukar yang memiliki
kemampuan untuk tumbuh di lingkungan laut (Nybakken 1988). Mangrove selalu
berada pada lingkungan perairan dangkal dan terlindung seperti: laguna, estuaria
dan teluk yang menjadi habitat penting bagi ikan dan biota lainnya (Nagelkerken
dan Faunce 2008) seperti: kepiting (Simith dan Diele 2008), serta serangga (semut)
yang memberikan pengaruh yang positif terhadap penampilan mangrove (Cannici
et al. 2008) dan gastropoda (Fratini et al. 2004).

Jenis-jenis Mangrove
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuhan yang khas dari jenis-jenis
Rhizopora, Bruguera, Ceriops, Avicenia, Xylocarpus dan Acrostichum
(Soerianegara 1987). Bengen (2000a) menambahkan mangrove meliputi pohonpohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas genus:
Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguirea, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera,
Laguncularia, Aegiceras Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus.
Mangrove terdiri dari berbagai famili tumbuhan yang beradaptasi pada
lingkungan tertentu. Tomlinson (1986) membagi spesies mangrove kedalam 3
komponen:
1. Komponen utama (major component): tumbuhan yang membentuk spesialisasi
morfologis seperti akar udara dan mekanisme fisiologi khusus lainnya untuk

6

mengeluarkan garam agar dapat beradaptasi terhadap lingkungan mangrove.
Secara taksonomi tumbuhan ini berbeda dengan tumbuhan darat.
2. Komponen tambahan/tumbuhan pantai (minor componenet): kelompok ini
bukan merupakan bagian yang penting dari mangrove, biasanya terdapat pada
daerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni.
3. Asosiasi mangrove (mangrove associates): kelompok ini tidak pernah tumbuh
di dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya tumbuh bersama tumbuhan
darat.
Menurut Tomlinson (1986), komponen utama terdiri dari 34 jenis dalam 9
genera dan 5 famili. Komponen tambahan terdiri dari 20 jenis dalam 11 genera dan
11 famili, sehingga totalnya ada 54 jenis mangrove dalam 20 genera dan 16 famili
serta 60 jenis asosiasi mangrove dalam 46 genera. Sedangkan menurut Duke (1992)
ada 69 jenis mangrove dalam 26 genera dan 20 famili ditambah 7 jenis hibrid.
Berdasarkan hal tersebut, Kathiresan dan Bingham (2001) sepakat
menggabungkannya menjadi 65 jenis mangrove dalam 22 genera dan 16 famili.
Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang
termasuk tertinggi di dunia, tercatat 89 jenis yang terdiri dari 35 jenis berupa pohon,
5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis (Nontji 1987).
Beberapa jenis pohon mangrove yang dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah
Bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.),
Tancang (Bruguiera spp.), Tengar (Ceriops spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.) dan
Buta-buta (Excoecaria spp.).
Tabel 1 Jenis-jenis vegetasi hutan mangrove penting
No.
Famili
A. Komponen Utama
1.
Avicenniaceae
2.
Combretaceae
3.
4.

Palmae
Rhizophoraceae

5.
Sonneratiaceae
B. Komponen Tambahan
6.
Bombacaceae
7.
Euphorbiaceae
8.
Lythraceae
9.
Meliaceae
10. Myrsinaceae
11. Myrtaceae
12. Pellicieraceae
13. Plumbaginaceae
14. Pteridaceae
15. Rubiaceae
16. Sterculiaceae
Sumber: Tomlinson (1986)

Genus

Jumlah Spesies

Bentuk Tumbuhan

Avicennia
Laguncularia
Lumnitzera
Nypa
Rhizophora
Bruguiera
Ceriops
Kandelia
Sonneratia

8
1
2
1
8
6
2
1
5

Pohon/semak
Pohon/semak
Pohon/semak
Palem
Pohon
Pohon
Pohon/semak
Pohon/semak
Pohon/semak

Camptostemon
Excoecaria
Pemphis
Xylocarpus
Aegiceras
Osbornia
Pelliciera
Aegialitis
Acrostichum
Scyphiphora
Heritiera

2
2
1
2
2
1
1
2
3
1
3

Pohon
Pohon/semak
Semak/pohon
Pohon
Semak/Pohon
Pohon/semak
Pohon
Semak
Herba
Pohon/semak
Pohon

7

Fungsi Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai
macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi (Sneadaker
1984). Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan
kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai
(Anwar 2006).
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekositem wilayah pesisir yang
mempunyai manfaat ganda meliputi: ekologi, sosial ekonomi, dan jasa lingkungan
(Sobari et al. 2006; Stone et al. 2008). Secara fisik, hutan mangrove berfungsi
menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai, mencegah intrusi air laut
ke daratan, sebgai perangkap zat-zat pencemar dan limbah serta kawasan penahan
air (Ecoton 1998). Bengen (2002) menambahkan hutan mangrove berfungsi sebagai
peredam gelombang dan angin, pelindung abrasi, penahan lumpur, perangkap
sedimen, intrusi air laut dan penyaring logam berat. Hutan mangrove yang banyak
tumbuh di estuari juga dapat berfungsi untuk mengurangi banjir.
Mangrove banyak memberikan fungsi ekologi sehingga dijadikan salah satu
produsen utama perikanan laut. Kunci utama yang menggerakkan fungsi ekosistem
mangrove tersebut adalah komponen vegetasi mangrove sebagai produsen yang
menghasilkan bahan organik sebagai sumber makanan konsumen primer, sekunder
dan top konsumen dalam jaring-jaring pangan (food web) di ekosistem mangrove
yang bersangkutan. Vegetasi mangrove juga dapat berperan dalam amaliorasi iklim
mikro dan perbaikan kualitas lingkungan (tanah, air, udara) di ekosistem mangrove
3 tersebut (Kusmana 2007).
Hutan mangrove dari segi biologi sebagai penghasil sejumlah besar detritus
dari daun dan ranting mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses
penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel serasah yang
selanjutnya diolah menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti
cacing. Bengen (2002) dan MacDanald et al. (2009) menambahkan mangrove
berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan
(feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan,
udang dan biota lainnya. Macnae (1974) in Aksornkoae (1993) mengatakan
kepiting bakau Penaeus indicus, P.merguinensis dan P.monodon memanfaatkan
hutan mangrove untuk berlindung selama masa juvenile. Ikan laut seperti bandeng
(Channos channos) memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat untuk mencari
makanan. Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung,
reptil dan mamalia sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman hayati
dan plasma nutfah yang tinggi sebagai sistem penunjang kehidupan.
Fungsi mangrove dari segi ekonomi mampu memberikan banyak lapangan
pekerjaan bagi masyarakat, hal ini dapat dilihat dari segi pemanfaatanya oleh
masyarakat. Tercatat sekitar 67 produk yang dapat dimanfaatkan dari hutan
mangrove seperti kayu bakar, bahan bangunan, penghasil tanin untuk penyamakan
kulit, bahan tekstil, makanan, minuman dan obat-obatan (Aksornkoae 1993). Saat
ini ekosistem mangrove juga dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi
dan pariwisata. Summich (1992) mengatakan pemanfaatan hutan mangrove mampu
meningkatkan pendapatan negara antara lain melalui perdagangan, industri
pariwisata, pertanian, produksi hutan, pemukiman industri dan fasilitas perkapalan.

8

Permasalahan Terkait Ekosistem Mangrove
Penyebab kerusakan ekosistem mangrove dapat dikategorikan ke dalam tiga
jenis gangguan (Kusmana dan Onrizal 1998):
1. Gangguan fisik-mekanis
 Abrasi pantai atau pinggir sungai
 Sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali
 Banjir yang menyebabkan melimpah air tawar
 Gempa bumi (tsunami)
2. Gangguan kimia
 Pencemaran air, tanah dan udara
 Hujan asam
3. Gangguan Biologi
 Konversi mangrove untuk pemukiman, industri, pertambakan, pertanian,
pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahan non kehutanan.
 Penebangan pohon yang tidak memperhatikan asas kelestarian hutan.
 Invasi Acrostichum aureum (piay) dan jenis semak belukar lainnya.
Menurut Annisa (2004), terdapat beberapa aktivitas yang menyebabkan
kerusakan dan tekanan pada mangrove:
 Tersedianya kandungan unsur hara dan mineral
 Tersedianya air tawar
 Eksploitasi hutan mangrove secara liar
 Perubahan fungsi menjadi lahan pertanian dan budidaya perikanan
 Limbah minyak dan bahan-bahan kimia lainnya yang berbahaya
 Pembuangan limbah keluarga

Pengelolaan Mangrove
Hutchings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa pengelolaan hutan
mangrove harus berdasarkan pada filosofi konservasi, dalam hal ini pengelolaan
hutan mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan
konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan
tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman
flora dan fauna yang hidup di dalamnya.
Alikodra et al. (1993) mengemukakan strategi pengelolaan hutan mangrove
pada skala nasional dapat digunakan sebagai arahan dan landasan kebijakan untuk
melindungi potensi sumberdaya hutan mangrove, meliputi:
1. Save it, yaitu mengamankan ekosistem hutan mangrove dengan melindungi
genetika, spesies dan ekosistemnya,
2. Study it, yaitu mempelajari ekosistem hutan mangrove yang meliputi biologi,
komposisi, struktur, fungsi ekologis, distribusi dan kegunaannya; dan
3. Use it, yaitu memanfaatkan ekosistem hutan mangrove secara lestari dan
seimbang secara adil untuk kesejahteraan masyarakat.
Bengen (2000c) menyebutkan bahwa masalah pengelolaan hutan mangrove
secara lestari adalah menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi
hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan
mangrove. Dengan demikian, strategi yang ditetapkan harus mampu mengatasi

9

masalah ekonomi masyarakat selain tujuan konservasi hutan mangrove tercapai.
Aksornkoae (1989) menyatakan bahwa aspek sosiologi dan ekonomi diwujudkan
dalam bentuk pengelolaan yang bersifat multiguna. Menurut Dahuri et al. (1996)
pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk
kepentingan banyak pihak secara seimbang sehingga terhindar dari orientasi
tunggal yang sempit dan berjangka pendek. Melalui pengelolaan multiguna,
jangkauan kegiatan lebih beragam sehingga pilihan yang lebih luas bagi masyarakat
lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Selanjutnya disebutkan terdapat dua strategi pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem hutan mangrove, yaitu
pengelolaan berbasiskan masyarakat dan pengelolaan berdasarkan sistem intensif.
Rahardjo (1985) mengemukakan pengelolaan berbasis masyarakat mengandung
arti keterlibatan masyarakat secara langsung dalam mengelola hutan mangrove di
suatu kawasan. Mengelola berarti masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan,
merencanakan, mengimplementasikan, mengevaluasi maupun memonitor sesuatu
yang menjadi kebutuhannya. Sedangkan pengelolaan dengan menerapkan sistem
insentif diharapkan dapat merangsang dan memacu usaha masyarakat dalam
kegiatan pengelolaan hutan mangrove. Sistem insentif dapat dilakukan melalui
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan peran serta masyarakat.
Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian
bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat
tetap lestari (Bengen 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka
perlindungan terhadap keberadaan hutan adalah dengan menunjuk suatu kawasan
konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks tersebut, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan
fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data
Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso 2000) terdiri atas:
1. Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional,
taman hutan raya, cagar biosfer).
2. Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem
mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas
dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan
dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya
(ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi: komponen yang diawasi,
sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak
yang terlibat dalam pengawasan,mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi
(Santoso 2000).

Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove
Pengelolaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, iteraktif, adaptif dan
partisipatif yang terdiri dari sebuah tugas yang saling terkait satu sama lain dan
harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Pomeroy dan RiveraGuieb 2006 in Adrianto 2007). Dalam konteks ini, proses perencanaan harus
dimonitor agar sistem yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai dengan

10

rencana, dan harus dievaluasi dalam konteks bahwa perlu proses pembelajaran dari
kesuksesan maupun kegagalan dari sistem yang sudah berjalan. Untuk itu, proses
monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan ini perlu dilakukan.
Seperti yang dijelaskan oleh Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), rencana
monitoring dilakukan untuk menjamin bahwa program yang dijalankan sesuai
dengan rencana. Ada dua alasan mengapa perlu rencana monitoring yaitu pertama,
untuk meyakinkan kepada stakeholders bahwa apa yang direncanakan memang
diimplementasikan dan diukur secara sistematik. Kedua, untuk mempelajari apakah
aksi yang telah diambil sesuai dengan tujuan dilakukan oleh aksi tersebut. Dengan
demikian, tindakan korektif dapat diambil apabila aksi yang telah ditetapkan tidak
sesuai dengan rencana.

Indikator Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove
Sebagai langkah awal mencegah semakin rusaknya mangrove yang ada, salah
satu cara untuk pengelolaan ekosistem mangrove adalah berdasarkan filosofi
konservasi. Menurut Dahuri et al. (2004) bahwa ekosistem mangrove sangat
sensitif terhadap faktor-faktor seperti sirkulasi air, salinitas, dan aspek fisika-kimia
dan subsrat hidupnya. Konservasi ekosistem dan sumberdaya di dalamnya dapat
dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-perubahan nyata dari faktor-faktor
tersebut di atas. Namun yang lebih penting adalah pengelolaan yang
mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan
manusia baik tradisional dan masa kini dengan tetap mempertahankan cadangan
yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup.
a. Indikator Ekosistem
Untuk melihat dampak kegiatan rehabilitasi terhadap kualitas mangrove, maka
informasi yang perlu dilakukan analisis mengenai kualitas mangrove.
Informasi lainnya yang perlu dianalisis adalah kecenderungan tekanan
terhadap ekosistem mangrove. Apakah pola-pola pemanfaatan sumberdaya
mangrove selama ini khususnya yang merusak mangrove masih berlangsung
atau sudah tidak ada. Demikian juga faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi
seperti pencemaran, sedimentasi dan sebagainya dari daratan apakah masih ada
atau sudah dikelola dengan baik.
b. Indikator Habitat
Ekosistem mangrove bersifat dinamis, setiap tempat memiliki komposisi
spesies tersendiri. Ekosistem ini memiliki kemampuan tinggi untuk kembali
terbentuk setelah terjadi kerusakan hebat selama pola hidrologi kembali stabil
dan tersedia sumber propagul (Manssrisuksi et al. 2001). Perubahan fisik
seperti pengeringan, pembangunan kanal, dan pemakaian pupuk dapat
mempengaruhi habitat mangrove, sehingga struktur dan komposisinya dapat
berubah-ubah (Tanaka 1992).
c. Indikator Lingkungan
Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove
dipengaruhi oleh fisiologi pantai, iklim, pasang surut, gelombang dan arus,
salinitas, oksigen terlarut, dan tanah (Kusmana et al. 2005).
 Fisiografi Pantai
Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi

11





karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi jenis, distribusi jenis
dan ukuran serta luas ekosistem mangrove. Semakin datar pantai dan
semakin besar pasang surut, maka semakin lebar ekosistem mangrove yang
akan tumbuh.
Iklim
Faktor iklim yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove meliputi
cahaya matahari, curah hujan, suhu udara, dan angin, adalah sebagai
berikut:
a. Cahaya matahari
Intensitas cahaya merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya
peningkatan suhu yang pada akhirnya berdampak kepada meningkatnya
kebutuhan air. Untuk itu perlu adanya adaptasi untuk menjaga
keseimbangan fotosintesis dan kebutuhan air akibat adanya faktor
cahaya. Ada beberapa pola tanaman mangrove dalam mensiasati
kebutuhan cahaya yaitu: (1) tanaman yang toleran terhadap naungan
(shade tolerance) seperti Aegiceras, Ceriops, Bruguiera, Osbronia,
Xylocarpus Excoecaria, (2) species yang tidak toleran terhadap naungan
(shade intolerance) yaitu: Acrosticum, Achantus, Aegialitis, Rhizopora,
Lumnitzera, Scyphiphora dan Sonneratia, (3) semi intoleran, yaitu pada
saat anakan tidak toleran terhadap naungan tetapi pada saat toleran,
yaitu: Avicennia (Hilmi 2009).
b. Curah Hujan
Kondisi curah hujan dapat memberikan pengaruh bagi lingkungan
pertumbuhan mangrove. Hal ini terutama disebabkan oleh suhu air dan
udara serta salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya
tahan jenis mangrove. Mangrove akan tumbuh dengan subur pada
daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun
c. Suhu Udara
Suhu mempengaruhi proses fisiologis mangrove seperti fotosintesis dan
respirasi. Hutcing dan Saenger (1987) mengatakan kisaran suhu
optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove, yaitu: Avicennia
marina tumbuh baik pada suhu 18-20 ºC, Rhizopora stylosa, Ceriops
spp, Exoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun
segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28 ºC, suhu optimum Bruguiera
spp 27 ºC, Xylocarpus spp berkisar antara 21-26 ºC dan Xylocarpus
granatum 28ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu
rata-rata minimal 20 ºC.
d. Angin
Angin juga berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai yang dapat
menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan
evatransportasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan serta
menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal.
Pasang Surut
Mangrove diklasifikasikan menjadi 5 kelas penggenangan. Dasar
pembagian ini adalah frekuensi penggenangan di suatu tempat per bulan.
Adapun pengklasifikasian hutan mangrove adalah sebagai berikut:
 Kelas I, digenangi oleh sumua pasang tinggi dengan frekuensi 56-67
per bulan. Tidak ada jenis yang hidup selain Rhizopora mucronata

12





yang dapat hidup. Ini pun terbatas pada tepi-tepi sungai, di atas tanah
tenggelam dengan arus yang selalu ada. Tajuknya di atas air. Di daerah
pantai terbuka kelas penggenangan ini tidak dijumpai oleh vegetasi
mangrove (steril).
 Kelas 2, digenangi oleh pasang setengah tinggi dengan frekuensi 45-59
per bulan. Di daerah ini tumbuh Avicennia spp dan Sonneratia spp
(umumnya Avicennia alba dan Avicennia grifitii). Di ujung tepi sungai
umumnya didominasi oleh Rhizopora mucronata.
 Kelas 3, digenangi pasang normal dengan frekuensi 20-45 per bulan.
Sebagian