Konektivitas Juvenil Ikan Antara Habitat Mangrove Dan Lamun Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta

KONEKTIVITAS JUVENIL IKAN ANTARA HABITAT
MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

FATHUL AMIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konektivitas Juvenil Ikan
antara Habitat Mangrove dan Lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Fathul Amin
NRP C251130191

RINGKASAN
FATHUL AMIN. Konektivitas Juvenil Ikan antara Habitat Mangrove dan Lamun
di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh MOHAMMAD
MUKHLIS KAMAL dan AM AZBAS TAURUSMAN.
Pulau Pramuka merupakan bagian dari kawasan pesisir di Kepulauan Seribu
yang terdiri atas tiga habitat utama yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang yang
saling terkoneksi satu sama lain. Secara spasial konektivitas ekologis yang paling
dekat adalah antara habitat mangrove dan lamun dimana terdapat zona transisi yang
merupakan zona campuran antara keduanya. Salah satu bentuk interaksi dari
konektivitas tersebut adalah migrasi fauna terutama ikan stadia juvenil. Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas juvenil ikan yang meliputi
komposisi jenis, kelimpahan dan biomassa antara habitat mangrove dan lamun;
mengkaji distribusi kumpulan juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun;
mengkaji tingkat kesamaan (similaritas) diantara habitat yang berdekatan.
Penelitian dilakukan pada bulan April - Juni 2015 dengan interval sampling

setiap sebulan sekali di sebelah timur Pulau Pramuka. Penentuan lokasi pengamatan
berdasarkan keterwakilan interaksi spasial dari habitat mangrove dan lamun yang
terbagi dalam tiga zona pengamatan yaitu zona mangrove, transisi dan lamun.
Penentuan area pengamatan menggunakan tiga transek garis tegak lurus dalam luas
total area ± 2,16 ha. Sampling ikan dilakukan menggunakan jaring insang (gill net)
mesh size 1 cm. Analisis data yang dilakukan diantaranya analisis struktur
komunitas ikan, distribusi dan similaritas habitat yang dibantu perangkat lunak
PRIMER versi 5.2 dan program SPSS.
Hasil sampling ikan selama penelitian didapatkan 24 spesies ikan dengan total
kelimpahan 3.222 individu per 2,16 ha yang terdiri dari 15 famili yaitu Siganidae
(4 spesies), Apogonidae (3 spesies), Gerreidae, Terapontidae, Gobiidae dan
Labridae (2 spesies), Mugilidae, Nemipteridae, Hemiramphidae, Sphyraenidae,
Moncanthidae, Atherinidae, Pomacentridae, Lutjanidae dan Lethrinidae (1 spesies).
Berdasarkan struktur komunitas, perbedaan antar zona pengamatan yang
berdekatan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah jenis,
kelimpahan dan biomassa ikan. Berdasarkan distribusi ikan menurut habitat, spesies
ikan di zona transisi dan lamun relatif sama yang didominasi oleh Gerres oblongus,
Fibramia lateralis dan Siganus canaliculatus, sedangkan di zona mangrove relatif
berbeda yang didominasi oleh Gerres oblongus dan Siganus guttatus. Berdasarkan
similaritas, zona transisi dan lamun dikelompokkan secara bersama dalam satu

kelompok dan tidak berbeda nyata antara keduanya, sedangkan zona mangrove
terpisah dari kelompok tersebut dan terdapat perbedaan sangat nyata dengan kedua
zona tersebut.
Kata kunci: konektivitas, juvenil, mangrove dan lamun, pulau Pramuka, Siganidae

SUMMARY
FATHUL AMIN. Connectivity of Juvenile Fish between Mangrove and Seagrass
Habitat in Pramuka Island, Seribu Islands, Jakarta. Supervised by MOHAMMAD
MUKHLIS KAMAL and AM AZBAS TAURUSMAN.
Pramuka Island is part of coastal area of Seribu Islands characterized by three
habitats namely mangrove, seagrass, and coral reef is between connected. The
nearest spatially ecological connection is between mangrove and seagrass where in
between there is a transition zone. The connectivity between two habitats are those
fauna migration especially fish juvenile. This study is aimed to investigate the
community structure of fish juvenile consist of species composition, abundance,
and biomass of the fish between mangrove and seagrass; to explore the distribution
of fish assemblage; to analyse the level of similarity between the adjacent habitats.
This study was conducted from April to June 2015 with once a month
sampling time in the eastern part of Pramuka Island. The determination of sampling
location was based on the three observation zones, representing mangrove,

transition and seagrass zones. The determination of sampling area was three
perpendicular transect line making total area of ± 2,16 ha. Fish sampling was made
by using gill net with mesh size of 1 cm. The data were analyses by means
community structure, distribution and habitat similarity supported by software
PRIMER version of 5.2 and SPSS program.
The result of the study revealed that there werw 24 fish species with
abundance of 3.222 individuals in each of 2.16 ha, consist of 15 families namely
Siganidae (4 species), Apogonidae (3 species), Gerreidae, Terapontidae, Gobiidae
and Labridae (2 species), Mugilidae, Nemipteridae, Hemiramphidae, Sphyraenidae,
Monacanthidae, Atherinidae, Pomacentridae, Lutjanidae and Lethrinidae (1
species). According to community structure, the observation zone that was adjacent
did not give a significant differences to the number of species, abundance and
biomass. According to fish distribution, fish species in transition zone and seagrass
zone were relatively the same in which it was dominated by Gerres oblongus,
Fibramia lateralis and Siganus canaliculatus. Meanwhile, mangrove zone was
relatively different in which it was dominated by Gerres oblongus and Siganus
guttatus. Based on similarity, transition zone and seagrass zone was grouped in one
group and there was no significant difference between the two zones, while
mangrove zone was separated from the group in which there was a significant
difference between the groups.

Keywords: connectivity, juvenile, mangrove and seagrass, Pramuka island,
Siganidae

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

KONEKTIVITAS JUVENIL IKAN ANTARA HABITAT
MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

FATHUL AMIN


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi Pembimbing Pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA

Judul Tesis : Konektivitas Juvenil Ikan antara Habitat Mangrove dan Lamun di
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta
Nama
: Fathul Amin
NRP
: C251130191


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc
Ketua

Dr Am Azbas Taurusman, SPi,MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 29 Januari 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya
ilmiah ini mengambil tema tentang Konektivitas Juvenil Ikan antara Habitat
Mangrove dan Lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Penelitian ini
dapat diselesaikan dengan bantuan dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu,
terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada
penulis
2. Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc selaku pembimbing I dan Dr Am Azbas
Taurusman, SPi,MSi selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan
bimbingan, masukan dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan
tesis
3. Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA selaku dosen penguji luar komisi pada ujian
tesis yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis

4. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi
2014-2017 yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis
5. Keluarga penulis: Orang tua (Ibunda Syarifah dan Almarhum Badrin), Abang dan
Ayuk, serta keluarga besar lainnya, terima kasih untuk do’a, motivasi dan kasih
sayang yang tulus kepada penulis
6. Pihak DIKTI selaku sponsor beasiswa sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan dengan baik
7. LPPM IPB yang telah mendukung penelitian ini melalui hibah penelitian institusi
IPB “Pengembangan Perikanan Baronang Terpadu”
8. Staf dan Teknisi di Laboratorium Biologi Makro dan Laboratorium Produktivitas
dan Lingkungan Perairan yang telah memberikan fasilitas dan bantuan kepada
penulis selama penelitian
9. Pihak Balai Taman Nasional Kepuluan Seribu (BTNKPs) atas segala bantuan
administratif dan fasilitas penginapan selama di lapangan
10. Teman-teman yang telah membantu selama kegiatan penelitian di lapangan:
Indra Mahyudi, Arif Rahman, La Ode Hasrun dan Rudiansyah
11. Teman-teman SDP 2013 atas semangat, dukungan dan do’a kepada penulis
12. Serta pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Januari 2016
Fathul Amin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

2 METODE
Lokasi Penelitian
Alat
Prosedur Penelitian
Analisis Data

4
4
5
5
7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan
Status Kondisi Mangrove dan Lamun
Struktur Komunitas Ikan
Distribusi
Similaritas
Implikasi Pengelolaan

12
12
15
17
24
29
31

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
32
32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Peralatan dan parameter dalam penelitian
Kriteria baku kerusakan mangrove menurut Kepmen LH No. 201 Tahun 2004

Status padang lamun menurut Kepmen LH No. 200 Tahun 2004
Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan
Rerata kelimpahan jenis ikan di Pulau Pramuka (ind m-2)
Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi
Persen kontribusi spesies penciri habitat

5
8
8
12
18
24
30

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Bagan alur perumusn masalah
Peta lokasi penelitian di Pulau Pramuka
Rancangan penentuan stasiun penelitian
Kerapatan jenis mangrove di Pulau Pramuka
Persen penutupan lamun di Pulau Pramuka
Nilai rerata kelimpahan ikan: (a) Spasial, (b) Temporal
Persentase kelimpahan famili ikan: (a) Mangrove, (b) Lamun, (c) Transisi
Nilai rerata biomassa ikan: (a) Spasial, (b) Temporal
Persentase kelimpahan biomassa ikan
Persentase stadia ikan
Konfigurasi distribusi ikan pada zona pengamatan
Distribusi spesies ikan berdasarkan: (a) Habitat, (b) Ukuran
Dendrogram similaritas antar zona pengamatan

3
4
6
15
16
19
20
22
22
23
25
26
29

DAFTAR LAMPIRAN
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Taksonomi jenis ikan di Pulau Pramuka
Total kelimpahan ikan di Pulau Pramuka (ind)
Total biomassa ikan di Pulau Pramuka (g)
Kisaran distribusi panjang (mm) dan stadia ikan
Hasil ANOVA perlakuan habitat dan bulan terhadap kelimpahan
Hasil ANOVA perlakuan habitat dan bulan terhadap biomassa
Hasil analisis similaritas Bray-Curtis dan uji statistik ANOSIM
Hasil analisis Similarity of Percentage (SIMPER)
Dokumentasi beberapa jenis ikan di Pulau Pramuka

37
38
39
40
41
42
44
45
47

2

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan pesisir merupakan suatu wilayah yang unik yaitu wilayah daratan
berbatasan dengan lautan dan strategis karena terdiri atas beberapa komponen
ekologi yang saling terkait sehingga memiliki produktivitas yang sangat tinggi baik
secara ekologi maupun ekonomi. Kepulauan Seribu merupakan salah satu yang
termasuk dalam kawasan pesisir yang secara geografis memiliki peran penting
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah baik dalam bidang perikanan, jasa
transportasi laut maupun pariwisata (Sachoemar 2008).
Pulau Pramuka merupakan bagian dari kawasan pesisir di Kepulauan Seribu
yang secara ekologi terdiri atas tiga habitat utama yaitu mangrove, lamun dan
terumbu karang yang saling terkoneksi satu sama lain. Secara spasial konektivitas
ekologis yang paling dekat dari tiga habitat tersebut adalah antara mangrove dengan
lamun dimana terdapat zona transisi yang merupakan zona campuran antara
keduanya.
Adanya konektivitas ekologis dari tiga habitat utama kawasan pesisir yaitu
mangrove, lamun dan terumbu karang membentuk suatu sistem interaksi
diantaranya yaitu interaksi fisik, nutrien ataupun bahan-bahan organik terlarut dan
partikulat sehingga mampu menciptakan stabilitas lingkungan (UNESCO 1983).
Habitat mangrove dan lamun memberikan nutrisi penting dari dekomposisi bahan
organik dan sumber penting detritus sehingga membentuk dasar jaring makanan
serta mampu menyediakan air yang lebih jernih bagi habitat terumbu karang,
sementara habitat terumbu karang dengan struktur fisiknya mampu menurunkan
aliran pasang surut sehingga memberikan tekanan air yang lebih rendah bagi habitat
mangrove dan lamun (Kathiresan 2014). Begitulah seterusnya interaksi tersebut
berlangsung sehingga menciptakan kestabilan lingkungan yang sangat mendukung
bagi berbagai biota yang berada didalamnya, terutama ikan yaitu pada stadia juvenil.
Stadia juvenil menurut Kendall et al. (1983) adalah akhir transformasi dari
larva yang ditandai dengan hilangnya karakter larva seperti mulai terbentuknya
pigmen warna, sisik dan sirip yang lengkap sehingga karakter juvenil sudah seperti
ikan dewasa, yang mana perbedaannya adalah pada ukuran dan organ reproduksi
yang belum berfungsi. Effendi (2009) juga menyatakan bahwa juvenil merupakan
anakan ikan yang secara morfologi sudah memiliki bentuk tubuh seperti induknya,
namun ukurannya lebih kecil merupakan ikan muda dimana organ reproduksinya
masih dalam tahap perkembangan sehingga belum berfungsi.
Kelangsungan hidup juvenil ikan umumnya lebih banyak disediakan oleh
habitat mangrove dan lamun. Hal tersebut terkait dengan peranan kedua habitat
tersebut dalam sistem ekologi. Beberapa peranan mangrove dan lamun bagi
kehidupan juvenil ikan diantaranya yaitu sebagai daerah asuhan dan perlindungan,
sumber makanan dan tempat mencari makan (Nagelkerken 2000; Nakamura 2008;
Verweij 2008). Pada beberapa ikan, pemanfaatan habitat mangrove dan lamun
umumnya sebagai habitat dasar pembibitan terutama pada stadia juvenil sebelum
bermigrasi ke terumbu karang pada fase dewasa (Harm et al. 2012). Huijbers et al.
(2008) juga menyatakan sebagian besar ikan-ikan karang menghabiskan stadia
juvenilnya di habitat mangrove dan lamun.

3
Keberadaan habitat mangrove dan lamun di pulau Pramuka yang terkoneksi
spasial sangat penting terutama bagi juvenil ikan. Kajian mengenai juvenil ikan di
habitat tersebut sangat diperlukan dalam rangka untuk mengetahui keanekaragaman
dan kelimpahannya. Hal tersebut mengingat pentingnya peranan juvenil ikan
sebagai cikal bakal ikan-ikan dewasa di masa mendatang dimana jika kelestarian
juvenil ikan terganggu, maka dapat menyebabkan produksi ikan menurun. Oleh
karena itu, sangat diperlukan kajian mengenai “konektivitas juvenil ikan antara
habitat mangrove dan lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta”
sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam menentukan
kebijakan pengelolaan lingkungan di wilayah tersebut.

Perumusan Masalah
Adanya konektivitas spasial dari habitat mangrove dan lamun di pulau
Pramuka menyebabkan terjadinya interaksi yang saling terkait erat satu sama lain.
UNESCO (1983) menyatakan bahwa terdapat lima bentuk interaksi yang terjadi di
habitat pesisir yaitu interaksi fisik, nutrien (bahan organik terlarut), bahan organik
partikulat, migrasi fauna dan interaksi yang terjadi karena pengaruh manusia. Dari
kelima bentuk interaksi tersebut, migrasi fauna merupakan bentuk interaksi yang
paling dinamis terjadi terutama dari golongan nekton (ikan) karena terkait dengan
pergerakan ikan yang juga dinamis.
Komunitas ikan terutama pada stadia juvenil banyak di temukan di habitat
mangrove dan lamun karena terkait dengan peranan habitat tersebut secara ekologi.
Oleh karena itu, kajian mengenai konektivitas juvenil ikan antara habitat mangrove
dan lamun perlu dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan: (1) Apakah
terdapat perbedaan dalam komposisi jenis dan kelimpahan juvenil ikan secara
keseluruhan antara habitat mangrove dan lamun; (2) Apakah terdapat perbedaan
distribusi ikan antara kedua habitat yang berdekatan tersebut; (3) Apakah terdapat
famili atau spesies ikan tertentu yang menempati habitat tertentu dari kedua habitat
tersebut, selengkapnya disajikan pada bagan alur perumusan masalah (Gambar 1).

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji struktur komunitas juvenil ikan yang meliputi komposisi jenis,
kelimpahan dan biomassa antara habitat mangrove dan lamun
2. Mengkaji distribusi juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun
3. Mengkaji tingkat kesamaan (similaritas) diantara habitat yang berdekatan

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah dari
struktur komunitas dan distribusi juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun
sehingga dapat menjadi masukan dalam pengelolaan ekosistem pesisir di pulau
Pramuka dan perikanan yang berkelanjutan.

4

Interaksi antara habitat mangrove dan lamun di Pulau Pramuka

Habitat
Mangrove
Migrasi Fauna
(Juvenil Ikan)
Habitat
Lamun

Biota ikan ;
Juvenil

Status kondisi
habitat
1. Analisis
kerapatan
mangrove
2. Persen
penutupuan
lamun

1.
2.
3.
4.
5.

Komposisi jenis
Kelimpahan
Biomassa
Distribusi
Similaritas

Parameter
lingkungan
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Suhu
Kedalaman
pH
Salinitas
Oksigen terlarut
Nitrat dan
Ortofosfat

7.

Konektivitas juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun

Gambar 1 Bagan alur perumusan masalah

5

2 METODE
Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian yang dilakukan dibagi dalam tiga tahapan yaitu (1) tahap
pertama; pengumpulan data berupa studi lapangan dan studi literatur, (2) tahap
kedua; analisis dan identifikasi sampel, (3) tahap ketiga; pengolahan data. Kegiatan
tahap pertama dilakukan di pulau Pramuka, Kep. Seribu pada bulan April - Juni
2015 dengan frekuensi sampling 1x/bulan. Penentuan zona pengamatan
berdasarkan pada keterwakilan interaksi spasial dari habitat mangrove dan lamun
yang berada di sebelah timur pulau Pramuka (Gambar 2). Zona 1 mewakili area
mangrove, zona 2 mewakili area transisi (pertemuan antara mangrove dan lamun)
dan zona 3 mewakili area lamun. Kegiatan tahap kedua dilakukan di Laboratorium
Biologi Makro Departemen MSP-FPIK IPB (pengamatan atau identifikasi sampel
juvenil ikan), serta di Laboratorium Produktifitas Lingkungan Departemen MSPFPIK IPB (analisis kualitas air; nitrat dan ortofosfat). Kegiatan tahap ketiga
dilakukan berdasarkan metode anlisis masing-masing parameter yang telah
ditetapkan dalam penelitian ini.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian di pulau Pramuka

6
Alat
Alat yang digunakan yaitu peralatan dalam pengukuran parameter kualitas air
meliputi fisika, kimia dan biologi untuk parameter mangrove dan lamun serta
juvenil ikan yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Peralatan dan parameter yang dianalisis dalam penelitian
Parameter

Satuan

Suhu
Kedalaman

o

Salinitas
Oksigen terlarut
pH
Nitrat (NO3-)
Ortofosfat (PO4-)

ppt
ppm

C
m

ppm
ppm

Metode
Fisika
Pemuaian
Pengukuran
Kimia
Konduktivimetrik
Elektrokimiawi
Elektrokimiawi
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Biologi

Peralatan

Ket.

Termometer
Roll meteran

In situ
In situ

Refraktometer
DO Meter
pH Meter
Spektrofotometer
Spektrofotometer

In situ
In situ
Lab.
Lab.

Mangrove, Lamun
Kerapatan
Persen penutupan

Ind/m2
%

Penghitungan
Penghitungan

Kuadran
Kuadran

In situ
In situ

Juvenil Ikan
Jenis/spesies

-

Identifikasi

Buku Identifikasi

Bobot

g

Pengukuran

Timbangan digital

Panjang

mm

Pengukuran

Mistar

In situ
/Lab.
In situ
/Lab.
In situ
/Lab.

Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian terdiri atas penentuan stasiun penelitian, pengamatan
status kondisi mangrove dan lamun, sampling juvenil ikan dan pengukuran
parameter fisika dan kimia perairan.
Penentuan Stasiun Penelitian
Stasiun penelitian ditentukan berdasarkan keterwakilan spasial habitat
mangrove dan lamun. Oleh karena itu, metode pengambilan contoh yang digunakan
adalah pengambilan contoh acak berlapis (stratified random sampling). Menurut
Setyobudiandi et al. (2009), pengambilan contoh acak berlapis merupakan suatu
metode pengambilan contoh dimana unsur populasinya digolongkan menjadi
beberapa lapisan dan contoh diambil secara bebas dengan acak sederhana dari
setiap lapisan. Adapun yang menjadi strata atau lapisan adalah perbedaan habitat
yaitu habitat mangrove, transisi (mangrove + lamun) dan lamun. Daerah
pengamatan ditentukan pada lokasi yang mewakili tiga lapisan tersebut dengan luas
kawasan ± 21.600 m2 atau 2,16 ha (135 x 160 m) yang terbagi ke dalam 3 garis

7
transek (A, B, C) yang ditarik tegak lurus dari daratan ke arah laut. Jarak antar garis
transek ± 80 m dan pada setiap garis transek dibuat petak contoh atau kuadran yang
jumlahnya mewakili pengamatan masing-masing habitat, selengkapnya disajikan
pada Gambar 3.

Keterangan :
: Area pengamatan mangrove dan lamun
: Area sampling juvenil ikan dan kualitas air
Gambar 3 Rancangan penentuan stasiun penelitian
Penentuan Status Kondisi Mangrove dan Lamun
Metode yang digunakan dalam penentuan status kondisi mangrove dan lamun
adalah dengan menggunakan metode transek garis (line transect) dan petak contoh
(kuadran). Pada setiap garis transek (A, B, C) dari habitat mangrove sampai lamun
ditempatkan petak contoh seperti pada Gambar 3. Ukuran petak contoh untuk
penentuan kerapatan mangrove adalah 5 x 5 m dimana jarak antar kuadran adalah
2,5 m, kemudian dilakukan penghitungan jumlah individu atau tegakan mangrove
yang terdapat dalam petak contoh tersebut. Penentuan status kondisi mangrove
dilakukan berdasarkan standar dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 201
tahun 2004.

8
Selanjutnya ukuran petak contoh untuk pengamatan persen penutupan lamun
adalah 50 x 50 cm. Petak contoh atau kuadran pertama setiap transek diletakkan ±
5 m dari habitat mulai terdapatnya lamun, kemudian kuadran selanjutnya
ditempatkan dengan jarak ± 15 m. Pengamatan lamun dilakukan secara langsung
menggunakan standar metode monitoring lamun yakni “seagrass-watch manual for
mapping and monitoring” (McKenzie et al. 2003); dan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004.
Sampling Juvenil Ikan
Pengambilan sampel juvenil ikan dilakukan secara harian dengan cara
mengambil contoh ikan yang berada dalam area sapuan wilayah garis transek.
Sampling dilakukan dari pagi - sore hari (sekitar jam 09.00 - 17.00 WIB). Menurut
Ramdhan (2011), tipe pasang surut di pulau Pramuka termasuk dalam tipe pasang
surut campuran condong harian tunggal yaitu terjadi 2 kali pasang dan 1 kali surut.
Pasang tertinggi terjadi pada waktu malam (21.00 – 23.00 WIB) dan siang hari
(13.00 - 15.00 WIB), sedangkan surut terendah terjadi pada pagi hari (03.00 – 06.00
WIB).
Sampling ikan dilakukan dengan menggunakan jaring insang (gill net) mesh
size 1 cm, panjang 10 m dan tinggi 1,2 m (luas jaring = 12 m2). Cara pengambilan
sampel juvenil ikan yaitu jaring dibentangkan secara melingkar, setelah kedua tali
bertemu maka jaring diseret secara menyapu sejauh 5 m (luas per unit sampling: 12
m x 5 m = 60 m2) hingga menjadi lingkaran kecil agar ikan terkumpul, kemudian
sampel diambil dan dimasukkan ke dalam wadah sampel. Selanjutnya sampel di
lapangan dilakukan pengawetan dengan formalin 4%, kemudian diganti dengan
alkohol 70% ketika di laboratorium. Selanjutnya sampel juvenil ikan diidentifikasi
dengan berpedoman pada Kottelat (1993); Allen et al. (1999); Allen et al. (2003);
Kuiter dan Tonozuka (2001); Allen dan Adrim (2003); Peristiwady (2006); White
et al. (2013).
Pengukuran Parameter Fisika – Kimia Perairan
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dengan dua cara yaitu
pengukuran langsung di lapangan (in situ) dan analisis di laboratorium. Pengukuran
secara in situ seperti suhu, pH, oksigen terlarut, salinitas dan kedalaman dengan
menggunakan alat pengukuran masing-masing parameter seperti yang disajikan
pada Tabel 1. Sedangkan pengukuran parameter nitrat dan ortofosfat dilakukan
dengan mengambil sampel air dan disimpan dalam botol sampel 250 ml lalu
dimasukkan ke dalam freezer untuk pengawetan, selanjutnya dipindahkan ke dalam
cool box yang sudah diisi es batu untuk menjaga agar kondisi air terhindar dari
kerusakan sebelum analisis lebih lanjut di laboratorium.

Analisis Data
Analisis data yang dilakukan meliputi analisis kerapatan mangrove, persen
penutupan lamun dan beberapa analisis parameter biologi juvenil ikan yang
meliputi struktur komunitas, distribusi dan similaritas.

9
Analisis Kerapatan Mangrove
Kerapatan jenis mangrove merupakan jumlah tegakan atau individu dalam
suatu unit area atau luasan petak contoh, dengan rumus dari Brower et al. (1990)
yaitu :
��
D� =
A
Keterangan :
Di
: Kerapatan jenis ke-i (individu/m2)
ni
: Jumlah total tegakan ke-i dalam luasan area (individu)
A
: Luas area pengambilan contoh (m2)
Setelah didapatkan hasil analisis kerapatan mangrove, selanjutnya
dibandingkan dengan kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove
berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004, disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Kriteria baku kerusakan mangrove menurut Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004
Kondisi
Kerapatan (ind/ha)
Baik
Sangat padat
> 1500
Sedang
1000 - 1500
Rusak
Jarang
< 1000
Persen Penutupan Lamun
Persen penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh lamun.
Perhitungan penutupan spesies lamun, dengan formulasi :
C=

∑ C�
N

Keterangan :
C
: Persen Penutupan lamun pada tiap sub stasiun (%)
Ci
: Persen penutupan lamun pada tiap plot transek
N
: Jumlah plot transek di setiap sub stasiun
Setelah didapatkan hasil persentase penutupan lamun, selanjutnya
dibandingkan dengan kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status
padang lamun berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun
2004, disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Status padang lamun menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No. 200 Tahun 2004
Kondisi
Penutupan
(%)
Baik
Kaya / Sehat
> 60
Rusak
Kurang kaya / Kurang sehat
30 – 59,9
Miskin
< 29,9

10
Parameter Juvenil Ikan
Parameter juvenil ikan yang dianalisis terdiri dari struktur komunitas ikan
meliputi kelimpahan dan indeks ekologis, pola pengelompokan habitat yang
meliputi distribusi, analisis similaritas, analisis Similarity of Percentage (SIMPER)
dan uji statistik Analysis of Similarity (ANOSIM).
Kelimpahan Juvenil Ikan
Kelimpahan ikan didefinisikan sebagai banyaknya jumlah ikan persatuan luas
pengambilan contoh, dihitung menggunakan rumus :
K=

X�
L

Keterangan :
K
: Kelimpahan juvenil ikan (ind/m2)
Xi
: Jumlah individu semua jenis ikan yang tertangkap pada stasiun ke-i (ind)
L
: Luas area sapuan pada stasiun ke-i (m2)
Indeks Keanekaragaman (H’)
Keanekaragaman merupakan kehadiran jumlah individu antar genus dalam
suatu komunitas, atau bisa dikatakan sebagai ukuran kekayaan spesies dilihat dari
jumlah spesies dalam suatu komunitas dan kelimpahan relatif (jumlah individu tiap
spesies). Keanekaragaman juvenil ikan dihitung menggunakan indeks Shannon Wiener (Krebs 1989) dengan persamaan sebagai berikut :




H = − ∑ �� Log ��
=

Keterangan :
H’
: Indeks keanekaragaman (Shannon - Wiener)
pi
: Jumlah individu spesies ke-i, pi = ni / N
N
: Jumlah total individu
Indeks Keseragaman (E)
Keseragaman merupakan gambaran tentang sebaran individu antar spesies
dalam suatu komunitas. Indeks keseragaman juvenil ikan dapat dihitung
berdasarkan persamaan berikut (Krebs 1989) :
E=

H′
Hmax

E=

H′
Log S

Keterangan :
E
: Indeks keseragaman
H’
: Indeks keanekaragaman (Shannon - Wiener)
Hmax : Log2 S
S
: Jumlah taksa (jenis atau spesies)

Kriteria nilai indeks keseragaman berdasarkan Odum (1993) adalah berkisar
antara 0 - 1. Apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran individu antar spesies dapat
dikatakan merata (seragam). Sedangkan apabila nilai E mendekati 0, maka sebaran

11
individu antar jenis tidak merata atau dapat dikatakan ada sekelompok jenis tertentu
yang dominan. Lebih lanjut Manik (2011) menyatakan semakin merata penyebaran
individu/proporsi antar spesies, maka keseimbangan komunitas akan makin baik.
Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi merupakan ukuran jumlah spesies yang dominan dalam suatu
komunitas. Nilai indeks dominansi dapat dihitung berdasarkan persamaan Odum
(1993) sebagai berikut :


��
C = ∑ �� = ∑

=

Keterangan :
C
: Indeks dominansi
ni
: Jumlah individu genus ke-i
N
: Jumlah total individu
pi
: Proporsi individu spesies ke-i (ni/N)

=

Kriteria penentuan nilai indeks dominansi adalah apabila nilai C mendekati 0,
maka tidak ada jenis yang mendominasi. Namun apabila nilai C mendekati 1, maka
terdapat jenis yang mendominasi jenis yang lainnya.
Distribusi
Analisis nMDS (non-Metric Multidimensional Scaling)
Distribusi spesies ikan pada habitat atau stasiun pengamatan dilakukan
berdasarkan analisis nMDS (non-Metric Multidimensional Scaling) menggunakan
software Plymouth routines in multivariate ecological research (PRIMER) versi
5.2. Pola distribusi kelimpahan ikan pada zona pengamatan tergambar berdasarkan
letak atau jarak plot dalam konfigurasinya. Letak plot yang berdekatan bahkan
tertutupi secara bersama satu sama lain menggambarkan pola distribusi yang sama
atau mirip, sedangkan letak plot yang berjauhan menggambarkan pola distribusi
yang berbeda. Selain itu, dari plot tersebut juga tergambar spesies yang dominan
pada habitat atau stasiun pengamatan. Indikasi baik buruknya konfigurasi tersebut
dapat dilihat dari nilai stress. Konfigurasi yang lebih baik ditentukan oleh nilai
stress yang lebih rendah yaitu < 0,25. Jika nilai stress > 0,25 maka dapat dikatakan
model konfigurasi tersebut tidak dapat dipergunakan (Hobbs et al. 2007 in Sutomo
dan Darma 2011).
Indeks Similaritas
Tingkat similaritas diantara habitat dilakukan berdasarkan analisis similaritas
Bray-Curtis juga menggunakan software PRIMER versi 5.2 yang mampu
mengelompokkan zona pengamatan berdasarkan spesies ikan yang menjadi
karakteristik penciri dalam kelompok habitat tersebut. Spesies ikan yang menjadi
penciri dalam suatu grup atau kelompok adalah yang memiliki kelimpahan tinggi
secara konsisten dalam pengambilan contoh, sehingga menjadi penciri atau
pembeda yang baik dalam kelompok (Clarke and Gorley 2001). Berdasarkan
karakteristik penciri tersebut dapat dilihat persentase kesamaan antar habitat yang
dibandingkan. Analisis similaritas selanjutnya disajikan dalam bentuk cluster atau

12
dendrogram sehingga tergambar hirarki kelompok atau habitat yang dibandingkan.
Tingginya tingkat kesamaan antar habitat ditunjukkan oleh tingginya nilai
persentase similaritas. Menurut Krebs (1989), indeks similaritas Bray - Curtis
adalah sebagai berikut :

B=

∑�= [X − X ]
∑�= [X + X ]

Keterangan :
B
: Disimilaritas (indeks ketidaksamaan) Bray – Curtis
Xij
: Jumlah individu spesies ke-i dalam setiap contoh (pengamatan) ke-j
Xik
: Jumlah individu spesies ke-i dalam setiap contoh (pengamatan) ke-k
Analysis of Similarity (ANOSIM)
Uji statistik Analysis of Similarity (ANOSIM) merupakan suatu program dalam
software PRIMER yang digunakan untuk menganalis secara statistik ada tidaknya
perbedaan diantara parameter uji atau secara sederhana untuk menguji apakah
terdapat beda nyata antara faktor uji yang dibandingkan (Clarke and Gorley 2001;
Chapman and Underwood 1999; Taurusman et al. 2013). Perbedaan tersebut
tergambar dari nilai Global R berdasarkan persamaan berikut :
R=

��. � −
M/

M=

��. �

n n−

Keterangan :
aver. rb
: Rerata ranking similaritas data antar grup habitat
aver. rw
: Rerata ranking similaritas data dalam grup habitat
n
: Jumlah data yang digunakan dalam analisis
Nilai Global R tersebut menggambarkan tingkat perbedaan antar kelompok,
berkisar antar 0 (tidak dapat dibedakan) hingga 1 (semua similaritas data dalam
group < similaritas data antar group). Selain itu, tingkat perbedaan tersebut juga
dilihat berdasarkan nilai persentase signifikansi level secara statistik. Terdapat
perbedaan nyata jika signifikansi level < 5% (p < 0,05) dan sangat nyata jika
signifikansi level < 1% (p < 0,01).
Persentase Kesamaan (Similarity of Percentage)
Analisis Similarity of Percentage (SIMPER) juga menggunakan software
PRIMER versi 5.2 dilakukan untuk menentukan kesamaan dan perbedaan dari
spesies yang menyusun suatu komunitas dari habitat yang diuji. Analisis SIMPER
mampu mengidentifikasi jenis organisme tertentu yang menjadi spesies dominan di
lokasi yang berbeda, dan untuk mengetahui perbedaan spesies diantara faktor uji,
serta spesies mana yang menjadi pembeda (Clarke and Gorley 2001). Besar
kecilnya perbedaan terlihat dari nilai persentase perbedaannya. Semakin tinggi nilai
persentase perbedaan, maka semakin besar perbedaan antar lokasi yang diuji,
begitupun sebaliknya.

13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan
Kehidupan organisme perairan akan tumbuh dan berlangsung baik apabila
didukung oleh kondisi atau kualitas perairan yang baik. Beberapa parameter yang
dapat menjelaskan kualitas perairan adalah parameter fisika dan kimia perairan.
Berikut hasil pengukuran parameter kualitas perairan di pulau Pramuka disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan
No

Bulan

Parameter

Satuan

Baku
Mutu*

Hasil Pengukuran
Mangrove

Transisi

Lamun

Fisika
Suhu
Kedalaman

o

C

28 - 32

31,7

33,2

34,4

meter

-

0,35

0,38

0,39

Kimia
Salinitas
1

April

pH
DO
Nitrat
(NO3-N)
Ortofosfat
(PO4-P)

o

/oo

s/d 34

29

30

31

mg/l

7,0 – 8,5
>5

8,3
5,13

8,4
5,62

8,4
7,08

mg/l

0,24**

0,052

0,043

0,025

mg/l

0,015

0,028

0,011

0,009

Fisika
Suhu
Kedalaman

o

C

28 - 32

30,7

33,5

34,1

meter

-

0,36

0,38

0,42

Kimia
Salinitas
2

Mei

pH
DO
Nitrat
(NO3-N)
Ortofosfat
(PO4-P)

o

/oo

s/d 34

29

30

33

mg/l

7,0 – 8,5
>5

8,3
5,15

8,5
5,55

8,5
6,67

mg/l

0,24**

0,072

0,065

0,031

mg/l

0,015

0,137

0,026

0,003

14
Tabel 4 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan (lanjutan)
No

Bulan

Parameter

Satuan

Baku
Mutu *

Hasil Pengukuran
Mangrove

Transisi

Lamun

Fisika
Suhu
Kedalaman

o

C

28 - 30

31

31

33,2

meter

-

0,38

0,40

0,52

Kimia
3

Juni

Salinitas
pH
DO
Nitrat
(NO3-N)
Ortofosfat
(PO4-P)

o

/oo

33 - 34

29

31

33

mg/l

7,0 – 8,5
>5

8,2
5,49

8,3
5,87

8,3
6,82

mg/l

0,24**

0,041

0,034

0,029

mg/l

0,015

0,005

0,006

0,006

*Kepmen LH No 51 tahun 2004 (Baku mutu air laut untuk biota laut)
**Sanusi (2006)
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi metabolisme dan
distribusi organisme dalam suatu ekosistem. Beberapa faktor yang mempengaruhi
distribusi suhu perairan antara lain adalah intensitas cahaya matahari, kondisi
atmosfer ataupun cuaca (Kordi dan Tancung 2007). Hasil pengukuran pada Tabel
4 menunjukkan bahwa nilai suhu diantara waktu pengamatan tidak terlalu berbeda,
namun antar habitat terlihat berbeda. Suhu pada habitat mangrove berkisar antara
30,7 – 31,7 oC, transisi berkisar antara 31 – 33,5 oC dan lamun berkisar antara 33,2
– 34,4 oC. Hasil tersebut terlihat bahwa semakin ke arah lamun, suhu perairan
cenderung semakin tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada habitat lamun umumnya
intensitas paparan cahaya matahari lebih tinggi dibandingkan dengan habitat
transisi dan mangrove yang masih terhalang oleh rerumpunan mangrove.
Kisaran suhu tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu menurut Kepmen
Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004, pada habitat mangrove masih dalam kisaran
baku mutu. Hogarth (2007) menyatakan bahwa proses fotosintesis pada Rhizopora
sp. berlangsung optimal pada suhu 25 – 35 oC dan akan terhambat jika pada suhu
diatasnya. Pada habitat lamun, kisarannya cenderung melebihi baku mutu.
Meskipun demikian, kisaran tersebut masih dalam kondisi yang normal dimana
kisaran optimal untuk fotosintesis lamun juga berkisar antara 25 – 35 oC. Suhu yang
terlampau tinggi yaitu 38 – 42 oC dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
dan proses fotosintesis lamun (McKenzie & Yoshida 2009; Waycott et al 2007).
Kedalaman
Kedalaman suatu perairan terkait dengan penetrasi cahaya matahari yang
digunakan oleh organisme tanaman air dalam proses fotosintesis. Berdasarkan hasil
pengukuran pada Tabel 4, kisaran kedalaman untuk di habitat mangrove yaitu 0,35
– 0,38 m, transisi yaitu 0,38 – 0,40 m dan lamun yaitu 0,39 – 0,52 m. Ketiga habitat
tersebut tergolong ekosistem peisir laut dangkal dimana penetrasi cahaya matahari
dapat tembus 100% hingga ke dasar perairan. Hasil pengukuran tersebut

15
menunjukkan bahwa kedalaman di habitat mangrove cenderung lebih rendah jika
dibandingkan dengan habitat yang secara spasial terletak setelahnya. Hal itu dapat
dikarenakan adanya padatan tersuspensi yang terbawa ke daratan karena adanya
dinamika pasang surut air laut sehingga seiring bertambahnya waktu akan terjadi
akumulasi padatan tersuspensi yang terbawa ke daratan dan mengakibatkan
pendangkalan di habitat mangrove tersebut.
Salinitas
Parameter salinitas menggambarkan konsentrasi ion di air serta
mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme perairan laut.
Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 4, salinitas di habitat mangrove yaitu 29
o
C, transisi berkisar antara 30 – 31 oC dan lamun berkisar antara 31 – 33 oC. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa nilai salinitas kecenderungannya semakin tinggi ke
arah laut. Pada habitat mangrove, salinitasnya lebih rendah dikarenakan lokasinya
yang dekat dari daratan sehingga adanya pengaruh pencampuran dari air tawar yang
terjadi pada saat hujan dan mengakibatkan penurunan nilai salinitas tersebut. Jika
dibandingkan dengan baku mutu, kisaran salinitas tesebut masih sesuai dengan
baku mutu sehingga masih menunjang terhadap pertumbuhan mangrove dan lamun
di pulau Pramuka. Hogarth (2007) juga menyatakan bahwa mangrove dapat hidup
di air tawar dan air laut hingga 35 ppt, sedangkan lamun dapat hidup dengan kisaran
salinitas antara 10 – 45 ppt, dimana optimumnya 35 ppt.
pH
Derajat keasaman atau pH menggambarkan tingkat keasaman atau kebasaan
suatu perairan. Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai pH
di antara habitat dan waktu pengamatan relatif sama. Pada habitat mangrove nilai
pH berkisar antara 8,2 – 8,3, transisi dan lamun berkisar antara 8,3 – 8,5. Kisaran
nilai pH tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu masih sesuai dengan baku
mutu serta menunjukkan kisaran air laut yang normal sehingga masih menunjang
terhadap pertumbuhan biota laut. Kisaran pH optimum untuk pertumbuhan lamun
berkisar antar 7,8 – 8,5 (Philips & Menez 1988).
Oksigen terlarut
Oksigen terlarut merupakan senyawa kimia gas yang larut dalam air dan
sangat berperan penting terhadap kelangsungan hidup organisme air. Kandungan
oksigen terlarut berkaitan erat dengan terjadinya proses fotosintesis serta
metabolisme organisme air. Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 4, nilai
oksigen terlarut di habitat mangrove berkisar antara 5,13 – 5,49 mg/l, transisi
berkisar antara 5,55 – 5,87 mg/l dan lamun berkisar antara 6,67 – 7,08 mg/l. Hasil
tersebut masih sesuai dengan baku mutu dan menunjang kelangsungan hidup biota
laut.
Jika dibandingkan secara habitat, terlihat bahwa kadar oksigen terlarut
kecenderungannya semakin tinggi ke arah lamun. Pada habitat mangrove, kadar
oksigen terlarut cenderung lebih rendah dikarenakan tingginya kandungan bahan
organik di habitat tersebut baik yang bersumber dari serasah tanaman mangrove itu
sendiri maupun yang berasal dari limpasan daratan yang masuk ke perairan pada
saat terjadinya hujan. Tingginya bahan organik tersebut tentunya memerlukan

16
mikroorganisme dekomposer yang lebih banyak dalam proses dekomposisi
sehingga konsumsi oksigen terlarut yang diperlukan juga lebih besar.
Nutrien (Nitrat dan Ortofosfat)
Nitrat dan ortofosfat merupakan senyawa anorganik yang larut dalam air dan
sangat berperan penting sebagai sumber nutrien bagi tanaman di perairan. Pada
habitat mangrove, hasil pengukuran nitrat dan ortofosfat berkisar antara 0,041 –
0,072 mg/l dan 0,005 – 0,137 mg/l. Pada habitat transisi, kadar nitrat dan ortofosfat
berkisar antara 0,034 – 0,065 mg/l dan 0,006 – 0,026 mg/l, selanjutnya pada habitat
lamun berkisar antara 0,025 – 0,031 mg/l dan 0,003 – 0,009 mg/l. Kisaran kadar
nitrat jika dibandingkan dengan baku mutu menurut Sanusi (2006) yaitu 0,24 mg/l
masih sesuai dengan baku mutu, sedangkan kadar ortofosfat berdasarkan Kepmen
LH No. 51 tahun 2004 yaitu 0,015 mg/l cenderung diatas baku mutu. Habitat
tersebut tergolong subur nutrien dimana kadar ortofosfat perairan subur yaitu 0,031
– 0,1 mg/l Effendi (2003).
Berdasarkan hasil tersebut, kisaran nitrat dan ortofosfat tertinggi di habitat
mangrove dan semakin rendah kadarnya ke arah habitat lamun. Kondisi tersebut
dapat disebabkan karena bahan-bahan organik yang berasal dari daratan masuk ke
habitat mangrove terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan proses dekomposisi yang
lebih maksimal di habitat tersebut sehingga senyawa-senyawa anorganik yang
dihasilkan dari proses dekomposisi tersebut juga lebih tinggi. Hal tersebut sejalan
dengan hasil pengukuran oksigen terlarut yang semakin rendah nilainya ke arah
habitat mangrove. Selain itu, kadar nitrat dan ortofosfat tersebut kemungkinan juga
sudah dimanfaatkan sebagai sumber nutrien oleh tanaman dan juga fitoplankton
ketika masih berada di habitat mangrove sehingga semakin ke arah habitat lamun
kadarnya cenderung semakin rendah.
Status Kondisi Mangrove dan Lamun di Pulau Pramuka
Kerapatan Jenis Mangrove
Kerapatan jenis menggambarkan jumlah tegakan atau individu mangrove
dalam suatu unit area atau luasan petak contoh. Hasil pengamatan kerapatan jenis
mangrove disajikan pada Gambar 4.
Kerapatan (Ind/m2)

120
92

100
80

69

66

102
90

86

98
85
70

63
52

60

68

71

72

56

40
20
0

1A 2A 3A 1B 2B 3B 1C 2C 3C 4A 5A 4B 5B 4C 5C
Mangrove

Transisi

Tipe Habitat

Gambar 4 Kerapatan jenis mangrove di pulau Pramuka

17
Berdasarkan data pada gambar 4 terlihat bahwa adanya perbedaan kerapatan
secara spasial antara habitat mangrove dan transisi. Kerapatan di habitat mangrove
berkisar antara 63 – 102 ind/m2, sedangkan di transisi berkisar antara 52 – 72
ind/m2. Hal tersebut mengindikasikan kerapatan di habitat mangrove lebih tinggi
dibandingkan habitat transisi. Secara luasan total area pengamatan, total kerapatan
pada habitat mangrove yaitu 1.110 individu dalam luasan area 3200 m2, sedangkan
untuk habitat transisi yaitu 793 individu dalam luasan area 2400 m2. Hasil tersebut
jika dibandingkan dengan kriteria baku mangrove menurut Kepmen LH No 201
tahun 2004 yaitu > 1.500 individu/ha termasuk dalam status kondisi baik (sangat
padat).
Jenis mangrove yang ditemukan dari hasil pengamatan hanya Rhizopora
stylosa Griff. yang mana vegetasi tumbuhnya secara berumpun. Departemen
Kehutanan (2008) menyatakan bahwa penyebaran mangrove di pulau Pramuka
tidak memiliki zonasi spesies. Hal tersebut dikarenakan kondisi pulau yang miskin
hara dimana kondisi substratnya adalah pasir dan sedikit lumpur sehingga tidak
semua jenis mangrove yang dapat hidup pada kondisi tersebut. Selain itu, mangrove
tersebut bukanlah mangrove yang tumbuh secara alami, namun merupakan hasil
dari kegiatan penanaman yang menggunakan metode rumpun berjarak.
Berdasarkan kerapatan secara transek yaitu line transek A,B dan C terlihat
bahwa baik di habitat mangrove maupun transisi, kerapatan tertinggi terdapat pada
transek C sedangkan terendah terdapat pada transek A. Secara lokasi, transek C
berada di bagian paling ujung bagian timur, transek A berada di bagian paling awal
bagian timur dan transek B terletak diantara keduanya. Secara aktivitas penduduk,
transek C berada lebih jauh dari pemukiman penduduk sehingga kemungkinan
pengaruh kegiatan manusia lebih rendah menjadikan mangrove yang tumbuh lebih
rapat. Sedangkan transek A lebih dekat dari pemukiman penduduk dimana terdapat
saluran pembuangan limbah masyarakat yang langsung menuju area transek
tersebut.
Persen Penutupan Lamun
Persen penutupan lamun menggambarkan luasan area yang tertutupi oleh
lamun, selengkapnya hasil pengamatan disajikan pada Gambar 5.
Persen Penutupan (%)

80

75

70

70

60

60
50
40

35

30

30
20
10

20
10 7

25

25

30

35

35

10

5

35
20

15
5 5

8

5

10 10

0

4 5 4 5 4 5 6 7 8 9 10 11 6 7 8 9 10 11 6 7 8 9 10 11
A A B B C C A A A A A A B B B B B B C C C C C C
Transisi

Lamun

Tipe Habitat

Gambar 5 Persen penutupan lamun di Pulau Pramuka

18
Berdasarkan data pada Gambar 5, terlihat bahwa persen penutupan lamun
pada kedua habitat bervariasi. Pada habitat transisi, persen penutupan lamun
berkisar antara 7 – 35%, sedangkan pada habitat lamun berkisar dari 5 – 75%.
Secara hasil rata-rata dari setiap transek terlihat nilai persen penutupannya adalah
< 60%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa status kondisi lamun di
pulau Pramuka tergolong dalam kategori rusak (kurang kaya) menurut Kepmen LH
No 200 tahun 2004.
Secara umum, jenis lamun di pulau Pramuka terdiri atas 6 jenis yaitu
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halodule
uninervis, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium, dimana secara total
persen penutupannya adalah 41,86% dengan status kondisi rusak (Wibowo 2013).
Status kondisi tersebut juga sejalan dengan hasil pengamatan dalam penelitian ini.

Struktur Komunitas Ikan
Karakteristik struktur komunitas ikan dalam suatu habitat dapat di
deskripsikan dalam tiga kategori yaitu jumlah taksa (spesies), kelimpahan dan
biomassa.
Jumlah Taksa (Spesies)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan 24 spesies ikan
dari 15 famili yang berbeda. Spesies terbanyak yaitu dari famili Siganidae (4
spesies), Apogonidae (3 spesies), Gerreidae, Labridae, Gobiidae dan Terapontidae
(2 spesies) dan famili lainnya (1 spesies), selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.
Secara kelimpahan total, jumlah individu yang ditemukan sebanyak 3.222 individu
dalam luasan total area pengamatan 2,16 ha. Spesies yang memiliki kelimpahan
total tertinggi diantaranya yaitu G. oblongus (1.797 individu), F. lateralis (887
individu), S. guttatus (115 individu), A. endrachtensis (107 individu), P. trivittatus
(78 individu), selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.
Secara persentase, spesies G. oblongus dari famili Gerreidae memiliki
persentase kelimpahan yang sangat tinggi dibandingkan spesies lainnya yaitu
sebesar 55,77%. Sedangkan spesies F. Lateralis dan S. guttatus memiliki persentase
yang lebih rendah yakni sebesar 27,53% dan 3,57%. Tingginya persentase spesies
G. oblongus terkait dengan dukungan habitat di pesisir tersebut seperti faktor
lingkungan ataupun ketersediaan sumberdaya makanan yang sesuai dengan
kelangsungan hidup G. oblongus tersebut.
Secara habitat, keragaman spesies tertinggi terdapat di zona lamun yaitu 17
spesies dan tidak berbeda dengan zona mangrove dan transisi masing-masing 16
dan 15 spesies. Berdasarkan rerata kelimpahan, terdapat sepuluh besar spesies
dengan kelimpahan tertinggi yaitu G. Oblongus (9,983 ind m-2), F. lateralis (4,928
ind m-2), S. guttatus (0,639 ind m-2), A. endrachtensis (0,594 ind m-2), P. trivittatus
(0,433 ind m-2), S. canaliculatus (0,373 ind m-2), Z. Dispar (0,283 ind m-2), A.
Stethophthalmus (0,156 ind m-2), M. Engeli (0,144 ind m-2) dan S. virgatus (0,089
ind m-2, selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Secara habitat, spesies G. Oblongus
terlihat memiliki kelimpahan yang tinggi disemua habitat, sedangkan spesies F.
Lateralis lebih melimpah di habitat transisi dan lamun, serta spesies S. guttattus
yang lebih melimpah di habitat mangrove.

19
Tabel 5 Rerata kelimpahan jenis ikan di Pulau Pramuka (ind m-2)
Spesies
4

Mangrove
0,328
0,233
0,144
0,006
0,433
0,006
3,100
0,050
0,006
0,006
0,056
0,011
0,033
0,528
0,022
0,006
-

Atherinomorus endrachtensis
Zenarchopterus dispar 7
Moolgarda engeli 9
Cheilodipterus quinquelineatus
Fibramia lateralis 2
Sphaeramia orbicularis
Gerres oblongus 1
Gerres oyena
Amblygobius stethophthalmus 8
Pseudogobiopsis oligactis
Halichoeres chloropterus
Halichoeres argus
Lethrinus laticaudis
Lutjanus fulviflamma
Pentapodus trivittatus 5
Dischistodus fasciatus
Siganus canaliculatus 6
Siganus guttatus 3
Siganus javus
Siganus virgatus 10
Sphyraena barracuda
Lagusia micracanthus
Terapon Jarbua
Acreichthys tomentosus
Keterangan angka :
1 - 10 = Peringkat atau ranking 1 s/d 10

Habitat
Transisi
0,194
0,050
2,633
0,017
3,761
0,011
0,106
0,006
0,011
0,211
0,150
0,089
0,044
0,006
0,006

Lamun
0,072
0,017
1,861
0,006
3,122
0,044
0,006
0,006
0,011
0,006
0,022
0,167
0,189
0,022
0,006
0,044
0,039


Total
0,594
0,283
0,144
0,022
4,928
0,028
9,983
0,061
0,156
0,011
0,006
0,022
0,006
0,028
0,433
0,011
0,372
0,639
0,006
0,089
0,022
0,006
0,006
0,044

Berdasarkan data jenis ikan pada Tabel 5, beberapa jenis ikan yang
ditemukan termasuk jenis ikan-ikan ekonomis penting diantaranya yaitu ikan
Baronang (Siganus sp.), Kapasan atau Putihan (Gerres sp.), Belanak (M. engeli),
Kembang waru atau Jenaha (L. fulviflamma), Ketambak (Lethrinus sp.), Pasir-pasir
(P. trivittatus), Kerong-kerong (T. jarbua) dan Baracuda (S. barracuda) menurut
White