Pathogenicity and Effectiveness of Entomopathogen Nematode Heterorhabditis sp. on Potato Tuber Moth Phthorimaea operculella (Zeller) (Lepidoptera: Gelechiidae).

PATOGENISITAS DAN KEEFEKTIFAN NEMATODA
ENTOMOPATOGEN Heterorhabditis sp. TERHADAP
PENGGEREK UMBI KENTANG Phthorimaea operculella
(Zeller) (LEPIDOPTERA: GELECHIIDAE)

LUFTHI RUSNIARSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRACT
LUFTHI RUSNIARSYAH. Pathogenicity and Effectiveness of Entomopathogen
Nematode Heterorhabditis sp. on Potato Tuber Moth Phthorimaea operculella
(Zeller) (Lepidoptera: Gelechiidae). Supervised by AUNU RAUF, SAMSUDIN
and SUPRAMANA.
Potato tuber moth, Phthorimaea operculella Zell. (Lepidoptera:
Gelechiidae) is one of the important potato pest due to the potential loss can
reach 100% if not well controlled. One of potential biological agents to control
this pest is Entomopathogen Nematode Heterorhabditis. The effectiveness of

Heterorhabditis has been studied to control several crop pests. Infective juveniles
(IJ’s) of nematodes are able to find and penetrate the insects that live in the soil
as well as in the plant tissues. The objective of this research is to study the
pathogenicity of the Heterorhabditis sp. against P. operculella in the laboratory
with direct and indirect (in the potato tuber) treatment. The experiments were
conducted using completely randomized design with 6 treatments and 4
replications. The treatments were based on the density level of nematodes
Heterorhabditis sp. (100, 200, 300, 400, and 500 IJ/ml) and the control. The
result showed that P. operculella infected by Heterorhabditis sp. has symptoms by
reducing the movement and feeding activity. The body of dead insects become soft
and the color change to dark brown. For the direct treatment, Heterorhabditis sp.
can kill P. operculella within 12 hours after application (HAA). At density level
100 IJ/ml, it can control P. operculella until 85% within 24 HAA. In contrast, the
mortality rates of P. operculella in the indirect treatment (in the tubers) was 35%
at doses of 1000 IJ/tubers.
Key words: Phthorimaea
Heterorhabditis sp.

operculella,


entomopathogenic

nematodes,

ii

iii

RINGKASAN
LUFTHI RUSNIARSYAH. Patogenisitas dan keefektifan nematoda
entomopatogen Heterorhabditis sp. terhadap penggerek umbi kentang
Phthorimaea operculella (Zeller) (Lepidoptera: Gelechiidae). Dibimbing oleh
AUNU RAUF, SAMSUDIN dan SUPRAMANA.
Penggerek umbi kentang, Phthorimaea operculella Zell. (Lepidoptera:
Gelechiidae) merupakan salah satu hama penting pada tanaman kentang. Hama ini
diketahui berasal dari Amerika Selatan dan telah menyebar ke seluruh dunia.
Serangan hama ini dapat terjadi di pertanaman kentang maupun di gudang
penyimpanan. Kerugian semakin dirasakan petani ketika hama ini menyerang
umbi kentang yang akan digunakan sebagai bibit. Pengendalian secara kimiawi
dirasakan belum efektif untuk mengendalikan P. operculella karena hama berada

di dalam jaringan tanaman.
Patogen serangga merupakan agensia hayati yang dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu alternatif pengendalian P. operculella secara biologi. Teknik
pengendalian ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia.
Salah satu patogen serangga yang telah banyak digunakan dalam pengendalian
hayati adalah nematoda patogen serangga (NPS). Heterorhabditis sp. adalah salah
satu NPS yang telah diketahui dan digunakan untuk mengendalikan hama. oleh
karena itu nematoda ini diharapkan memiliki potensi yang baik juga untuk
mengendalikan P. operculella. Kelebihan dari NPS adalah memiliki fase juvenil
infektif (JI) yang aktif mencari dan menginfeksi serangga, terutama serangga yang
berada di dalam tanah atau jaringan tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari patogenisitas dan keefektifan
nematoda Heterorhabditis sp. terhadap larva P. operculella di laboratorium serta
mengkaji simptomatologi P. operculella yang terserang NPS Heterorhabditis sp..
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk pengendalian
P. operculella di lapang/gudang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Heterorhabditis sp. memiliki
patogenisitas yang tinggi terhadap P. operculella. Waktu yang diperlukan oleh
Heterorhabditis sp. untuk mematikan P. operculella adalah 12 jam setelah
aplikasi (JSA). Pada 18 JSA, kepadatan nematoda 100 JI/ml telah dapat

mematikan larva P. operculella sebesar 85% dan pada kepadatan 300 JI/ml dapat
mematikan larva P. operculella sebesar 100 %. Dari hasil analisis probit diketahui
bahwa konsentrasi nematoda yang dapat mematikan 95% populasi P. operculella
(LC95) pada 24 JSA dan 48 JSA yaitu 328 JI/ml dan 217 JI/ml.
Keefektifan Heterorhabditis sp. dalam mengendalikan P. operculella yang
berada di dalam umbi lebih kecil dibandingkan dengan metode kontak langsung.
Pada dosis 1000 JI/umbi nilai mortalitas P. operculella tertinggi sebesar 35%,
sedangkan nilai terendah pada dosis 400 JI/umbi yaitu 10%. Rendahnya nilai
mortalitas pada dosis 400 JI/umbi disebabkan oleh posisi larva P. operculella
yang tidak dapat dijangkau oleh Heterorhabditis sp.
Gejala yang terjadi pada P. operculella yang terinfeksi Heterorhabditis sp.
mulai terlihat pada 9 JSA yaitu ditandai dengan penurunan aktifitas gerak dan
makan. Serangga yang mati mengalami perubahan warna menjadi kemerahan

iv
hingga coklat gelap. Tubuh larva menjadi lunak dan organ tubuh bagian dalamnya
hancur dan mencair.
Kata kunci: kentang, Phthorimaea
Heterorhabditis sp.


operculella,

nematoda

entomopatogen,

v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB.

vi


vii

PATOGENISITAS DAN KEEFEKTIFAN NEMATODA
ENTOMOPATOGEN Heterorhabditis sp. TERHADAP
PENGGEREK UMBI KENTANG Phthorimaea operculella
(Zeller) (LEPIDOPTERA: GELECHIIDAE)

LUFTHI RUSNIARSYAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012


viii

Penguji luar komisi Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, M.Si.

x

xi

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
“Patogenisitas dan keefektifan nematoda entomopatogen Heterorhabditis sp.
terhadap penggerek umbi kentang Phthorimaea operculella (Zeller) (Lepidoptera:
Gelechiidae)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui patogenisitas dan
keefektifan nematoda entomopatogen Heterorhabditis sp. terhadap hama
penggerek umbi kentang khusunya di gudang. Penelitian ini dilaksanakan mulai
dari bulan Maret hingga Juni 2012 di Laboratorium Bionomi dan Ekologi
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Aunu
Rauf, M.Sc., Dr. Ir. Supramana, M.Si., dan Dr. Ir. Samsudin, M.Si. selaku komisi

pembimbing serta Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, M.Si. selaku penguji luar
komisi. Selain itu, penulis haturkan terima kasih kepada Ibu, Bapak (alm), istri
dan seluruh keluarga atas dukungan do’a dan kasih sayangnya. Ungkapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Yani Maharani, SP., M.Si., Dedi Hutapea
SP., M.Si., Aries Rama Saputro dan teman-teman yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi atas program BPPS yang telah diberikan.

Bogor, Agustus 2012

Lufthi Rusniarsyah

xii

xiii

DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN .....................................................................................


1

Latar Belakang ..................................................................................

1

Tujuan Penelitian ...............................................................................

3

Manfaat Penelitian ............................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................

5

Hama Kentang Phthorimaea operculella ..........................................


5

Nematoda Entomopatogen ................................................................

6

Heterorhabditis sp. ...........................................................................

9

BAHAN DAN METODE ..........................................................................

11

Waktu dan Tempat Penelitian............................................................

11

Pemeliharaan P. operculella .............................................................


11

Perbanyakan Nematoda Heterorhabditis sp. ....................................

11

Uji Kontak Langsung Heterorhabditis sp. pada P. operculella .......

12

Aplikasi Nematoda Terhadap P. operculella di Dalam Umbi ..........

13

Uji Patogenisitas Nematoda Heterorhabditis sp. Terhadap P.
operculella .......................................................................................

13

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................

15

Uji Kontak Langsung Heterorhabditis sp. pada P. operculella .......

15

Aplikasi Nematoda Terhadap P. operculella di Dalam Umbi ..........

17

Uji Patogenisitas Nematoda Heterorhabditis sp. Terhadap P.
operculella .......................................................................................

18

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................

21

Kesimpulan ......................................................................................

21

Saran ................................................................................................

21

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

23

LAMPIRAN ................................................................................................

27

xiv

xv

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4

Spesies dari genus Steinernema dan Heterorhabditis di dunia
(Hominick et al. 1997) .....................................................................
Mortalitas P. operculella pada berbagai kepadatan Heterorhabditis
sp. .....................................................................................................
Nilai LC50 dan LC95 Heterorhabditis sp. terhadap larva P.
operculella .......................................................................................
Mortalitas P. operculella pada berbagai dosis Heterorhabditis sp...

7
15
16
18

xvi

xvii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2

Gejala eksternal P. operculella yang terinfeksi Heterorhabditis sp. .
Koloni Heterorhabditis sp. yang keluar dari larva P. operculella ....

19
20

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kentang merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting.
Komoditas ini menempati urutan ketiga sebagai bahan pangan utama di dunia
setelah beras dan gandum (IPC 2012). Di beberapa negara, kentang tidak hanya
dimanfaatkan sebagai sayuran maupun bahan baku industri namunn merupakan
bahan makanan pokok.
Komoditas kentang merupakan salah satu dari tiga target utama produksi
hortikultura pada tahun 2012 setelah cabai dan bawang merah. Ditjen Hortikultura
(2011) menargetkan produksi kentang bisa mencapai 1.128.100 ton pada tahun
2012. Namun, hingga tahun 2011 Indonesia baru mampu menghasilkan 863.680
ton, dengan produksitvitas rata-rata sebesar 15.76 ton/ha (BPS 2012). Rendahnya
produksi kentang ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain teknologi dan
budidaya yang masih kurang baik, rendahnya penggunaan bibit bermutu, kultur
teknis yang kurang tepat, serta faktor organisme pengganggu tanaman (OPT) yang
berpengaruh langsung terhadap penurunan produksi.
Salah satu OPT yang sering mengganggu tanaman kentang adalah
penggerek

umbi/daun

kentang,

Phthorimaea

operculella

(Lepidoptera:

Gelechiidae). Selain dapat menyerang tanaman di lapang, hama ini juga dapat
menyerang umbi kentang di gudang penyimpanan (Santosa et al. 2002). Gejala
yang ditimbulkan pada tanaman yaitu adanya lubang korokan pada daun, kadangkadang daun kentang menggulung dan larva bersembunyi di dalam gulungan
daun. Pada serangan yang berat serangga menyerang batang maupun titik tumbuh
tanaman. Penurunan produksi akibat dari serangan P. operculella di lapang dapat
mencapai 36% (Setiawati & Tobing 1996). Menurut Soeriaatmadja (1988) apabila
tidak dilakukan pengendalian dengan menggunakan insektisida maka intensitas
kerusakan dapat mencapai 68.33% pada musim hujan dan 100% pada musim
kemarau. Serangan P. operculella pada umbi lebih sulit diketahui karena larva
berada di dalam umbi. Tanda serangan baru dapat terlihat setelah adanya kotoran
larva yang muncul di sekitar mata tunas, di luar liang gerekan. Bila umbi yang
terserang dibelah maka akan terlihat liang gerekan yang tidak beraturan (CABI

2
2012). Serangan yang berat sering terjadi pada umbi kentang yang disimpan di
gudang penyimpanan selama 3-4 bulan. Kerugian yang ditimbulkan di gudang
penyimpanan dapat mencapai 45-90% (Setiawati et al. 1998). Umbi yang
terserang P. operculella bila tetap digunakan untuk bibit, tanaman kentang akan
mati pada umur 30-40 hari setelah tanam karena umbi membusuk akibat
masuknya air dari bekas lubang gerekan.
Phthorimaea operculella diketahui berasal dari daerah Amerika Selatan
yang menyebar bersama penyebaran komoditas kentang ke seluruh dunia. Pada
awalnya distribusi serangga ini lebih banyak di sekitar garis equator dan daerah
beriklim tropis. Pada awal abad ke-20 P. operculella dilaporkan masuk ke wilayah
Eropa (Italia, Spanyol, Portugal). Hingga sekarang hama ini telah diketahui
menyebar ke seluruh dunia (Chumakov & Kuznetsova 2009).
Berbagai usaha pengendalian dilakukan untuk mengendalikan serangan P.
operculella. Salah satu usaha dalam mengendalikan P. operculella yang paling
sering dilakukan oleh petani maupun penangkar adalah dengan menggunakan
insektisida sintetik. Penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat
berdampak negatif terhadap tanaman, musuh alami dan lingkungan. Selain itu,
penggunaan insektisida dirasakan tidak terlalu efektif untuk mengendalikan P.
operculella karena serangga berada di dalam jaringan tanaman. Untuk
mengurangi dampak negatif dari penggunaan insektisida yang tidak bijaksana,
maka perlu dicari alternatif pengendalian P. operculella yang efektif, lebih ramah
lingkungan dan dapat menjangkau serangga yang berada di dalam jaringan
tanaman.
Pengendalian hayati merupakan salah satu upaya pengendalian hama dengan
memanfaatkan musuh alami sebagai agens hayati untuk menekan kerusakan yang
disebabkan oleh OPT. Salah satu agens hayati yang potensial dalam usaha
pengendalian hama tanaman yang ramah lingkungan, murah dan mudah dilakukan
adalah penggunaan nematoda patogen serangga (NPS). Keunggulan dari
penggunaan NPS dalam mengendalikan hama yaitu mampu aktif mencari inang
yang berada di dalam tanah maupun di dalam jaringan tanaman (Campbell &
Gaugler 1993, Lewis et al. 1992). Selain itu penggunaan NPS tidak memiliki
dampak negatif terhadap vertebrata, sehingga aman bagi lingkungan. Menurut

3
Koopenhoefer & Kaya (2002) nematoda dari famili Heterorhabditidae dan
Steinernematidae mampu mematikan serangga inang dalam waktu yang sangat
cepat (1-4 hari) karena adanya hubungan mutualistik dengan bakteri. Bakteri
simbion ini tumbuh di dalam tubuh serangga dan mengeluarkan toksin yang dapat
meracuni hemolimfa (septicemia). Setelah serangga mati, nematoda baru
memakan jaringan tubuh serangga dan berkembang biak.
Heterorhabditis sp. merupakan salah satu nematoda patogen seranggga yang
sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai agens pengendali hayati terutama
untuk mengendalikan hama yang berada di dalam tanah maupun yang
tersembunyi di dalam jaringan tanaman. Heterorhabditis indicus INAH17 asal
Indonesia mampu mengendalikan penggerek padi kuning di rumah kaca hingga
86% (Chaerani & Nurbaeti 1996) dan mengendalikan Cylas formicarius di rumah
kaca mencapai 65% (Chaerani & Waluyo 1996). H. bacteriophora memiliki
strategi menjelajah dan lebih efektif menemukan inang yang tidak aktif bergerak
yang biasanya terdapat lebih ke dalam tanah (Campbell & Gaugler 1993, Lewis et
al. 1992).
Penggunaan NPS Heterorhabditis sp. untuk mengendalikan P. operculella
di Indonesia belum banyak dilaporkan. Oleh sebab itu penelitian mengenai
patogenisitas dan keefektifan NPS Heterorhabditis sp. untuk mengendalikan P.
operculella perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui patogenisitas dan keefektifan
NPS Heterorhabditis sp. terhadap P. operculella serta mengkaji simptomatologi
P. operculella yang terserang NPS Heterorhabditis sp.

Manfaat Penelitian
Penelitian

ini

diharapkan

simptomatologi P. operculella

dapat

memberikan

informasi

mengenai

yang terinfeksi NPS Heterorhabditis sp. dan

mengetahui konsentrasi juvenil infektif NPS yang efektif untuk mengendalikan P.
operculella khususnya di gudang. Berdasarkan informasi tersebut dapat digunakan

4
sebagai acuan untuk menentukan formulasi NPS yang akan digunakan untuk
pengendalian di lapangan/gudang penyimpanan.

5

TINJAUAN PUSTAKA

Hama Kentang Phthorimaea operculella
Phthorimaea operculella Zell. merupakan hama penting tanaman kentang
dan dikenal dengan istilah potato tuberworm. Hama ini berasal dari Amerika
Selatan dan menyerang sejak di pertanaman hingga ke gudang penyimpanan
(Toguchi 1998, Santosa et al. 2002). Larva P. operculella bersifat oligofag pada
tanaman solanaceae seperti tomat, terung, tembakau dan kecubung. Phthorimaea
operculella mampu menghasilkan 18 generasi per tahun pada kondisi suhu
optimal (30°C) (Kabir 1994). Ngengat betina mampu menghasilkan 200 butir
telur selama hidupnya (Fenemore 1979). Kemampuan beradaptasi terhadap suhu
sangat tinggi, sehingga memberikan keunggulan kompetitif dibandingkan spesies
lain (Foot 1979, Dangles et al. 2008).
Imago aktif pada malam hari, dan pada siangnya bersembunyi di bagian
bawah daun tanaman. Bentuk sayap berumbai-rumbai, berwarna coklat keabuan
dengan bercak kuning dan kuning tua, sedangkan bagian belakang berwarna
keabuan sampai putih kotor. Panjang sayap bila direntang mencapai ± 15 mm.
Panjang tubuh imago ± 6-10 mm. Stadia imago berlangsung selama ± 13 hari
dengan masa perkawinan selama ± 16 jam (Kalshoven 1981, Chauman & Verma
1991).
Imago betina P. operculella meletakkan telur di bagian bawah daun atau di
atas umbi, baik di lapangan atau di gudang penyimpanan (Varela and Bernays
1988).

Pada ovipositor betina terdapat mekano- dan kemo-reseptor yang

berfungsi untuk menentukan tempat peletakan telur (Fenemore 1979).

Telur

berbentuk oval berwarna putih dengan panjang 0,5 mm dan lebar 0,4 mm. Telur
akan menetas dalam waktu 4 hari.
Larva yang baru menetas berwarna hijau pucat dan panjangnya sekitar 1
mm. Setelah berkembang, panjang larva instar akhir mencapai 10 mm, larva
berwarna kemerahan. Stadia larva berlangsung selama 9-12 hari. Pupa berwana
coklat tua, panjangnya ± 6 mm, terdapat di dalam kokon yang tertutup dengan
butiran tanah dan kotoran. Stadia pupa berlangsung selama 5-6 hari (Kalshoven

6
1981). Perbedaan jenis kelamin dapat dilihat dengan jelas pada fase pupa dan
imago (Rondon & Xue 2010).
Ciri khas pada serangan hama ini adalah terdapat kumpulan kotoran pada
umbi kentang yang terserang. Kadang-kadang larva juga membuat terowongan
dan lubang pada daun dan batang kentang yang masih muda. Pada permukaan
daun yang terserang terlihat seperti anyaman benang halus, yang di dalamnya
terdapat larva berukuran ± 1 cm. Daun yang terserang menjadi berlubang dan
hanya tinggal bagian epidermis atas atau epidermis bawah daun, bahkan hanya
meninggalkan tulang daun saja. Bila intensitas serangan tinggi, hama ini dapat
merusak seluruh daun dan juga umbi kentang, sehingga kerugian yang
ditimbulkannya bisa mencapai 50% atau lebih (Foot 1979, Kalshoven & Laan
1981, Rivera 2011).

Nematoda Entomopatogen
Nematoda atau Nemathelminthes merupakan salah satu filum terbanyak
setelah serangga. Pada umumnya nematoda mempunyai bentuk tubuh seperti
cacing, berwarna translucen/transparan, panjang dan agak silindris. Tubuh
nematoda ditutupi oleh kutikula non seluler yang bersifat elastis. Nematoda
memiliki saluran ekskresi, sistem saraf, sistem pencernaan, dan sistem reproduksi.
Saluran dasar pada tubuh terdiri dari; mulut yang terletak di terminal, dilanjutkan
oleh stoma, esophagus, intestin, rectum dan anus. Nematoda entomopatogen
umumnya tidak memiliki stilet (Tanada & Kaya 1993).
Nematoda memiliki jenis kelamin yang terpisah. Jantan memiliki sistem
reproduksi yang berkembang masuk ke rektum dan membentuk kloaka. Jantan
yang telah dewasa memiliki satu atau dua testis dan terdapat spikula yang
bergabung dengan kloaka. Betina memiliki sistem reproduksi yang terdiri dari
satu atau dua ovari dan vulva yang terletak pada ventral (Tanada & Kaya 1993).
Nematoda

entomopatogen

terdiri

dari

dua

famili,

yaitu

famili

Steinermatidae dan Heterorhabditidae. Steinermatidae terdiri dari dua genus, yaitu
Steinernema yang terdiri dari 22 spesies dan Neosteinernema yang hanya terdiri
satu spesies N. longicurvicauda. Heterorhabditidae terdiri dari satu genus, yaitu

7
Heterorhabditis yang terdiri dari delapan spesies (Tabel 1) (Hominick et al.
1997).
Tabel 1 Spesies dari genus Steinernema dan Heterorhabditis di dunia (Hominick
et al. 1997)
Steinernema
Heterorhabditis
Spesies
Sinonim
Spesies
Sinonim
S. kraussei
Alpectana kraussei
H. bacteriophora Chromonema
heliothidis
Steineria kraussei,
H. heliothidis
Oxysomatium
kraussei
S. arenarium
Neoaplectana
H. argentinensis
arenaria
N. anomali,
H. brevicaudis
S.anomalae
S. affine
N. affinis
H. hawaiiensis
S. bicornutum
H. indica
S. carpocapsae
N. carpocapsae,
H. marelatus
H. hepialius
N.feltiae
N. feltiae pieridarum H. megidis
S. feltiae pieridarum H. zealandica
N. carpocapsae
pieridarum
N. dutkyi, S. dutkyi
S. caudatum
S.cheratophorum
S. cubanum
S. feltiae
N. feltiae, N. bibionis
S. bibionis,
N.leucaniae
S. leucaniae
S. glaseri
N. glaseri
S. intermedium
N. intermedia
S. karii
S. kushidai
S. tongicaudum
S. monticolum
S. neocurtillae
S. oregonense
S. puertoricense
S. rarum
N. rara
S. riobrave
S. ritteri
S. scapterisci
N. carpocapsae

8
Kedua famili tersebut dapat dibedakan dari perkembangannya menjadi
stadia infektif. Pada Steinermatidae, juvenil infektif (JI) berkembang menjadi
betina dan jantan amfimiktik tetapi tidak pernah menjadi hermaprodit. Pada
Heterorhabditidae, individu dewasa yang dihasilkan dari JI tidak berkembang
menjadi betina dan jantan melainkan menjadi hermaprodit. Keturunan dari
individu hermarodit (generasi kedua) berkembang menjadi betina dan jantan
amfimiktik (Poinar 1990, Tanada & Kaya 1993).
Nematoda entomopatogen memiliki siklus hidup yang sederhana, mulai dari
perkembangan telur, juvenil dan dewasa. Betina yang amfimiktik akan
berkopulasi dan memproduksi telur, kemudian telur menetas menjadi juvenil baru.
Juvenil mengalami pergantian kulit yang biasanya terjadi empat kali (stadia J-1, J2, J-3, J-4). Pergantian kulit dapat terjadi sejak di dalam telur, di lingkungan, dan
di dalam tubuh serangga inangnya (Tanada & Kaya 1993).
Stadia juvenil infektif (JI) nematoda entomopatogen adalah stadia juvenil 3
(J-3), yang dinamakan dauer juvenile. Secara fisiologi dan morfologi dauer sangat
beradaptasi pada lingkungan dalam jangka waktu lama agar tetap hidup sambil
menunggu serangga inangnya. Tubuh dauer juvenile masih terbungkus dalam
kutikula

juvenil-2

yang

berfungsi

sebagai

pelindung

dari

gangguan

mikroorganisme dan invertebrata yang lain. Bila tidak ada gangguan, maka
kemampuan juvenil infektif untuk mempertahankan diri sangat tergantung kepada
adaptasi nematoda tersebut (morfologi dan fisiologi) dan kondisi fisik lingkungan
(suhu dan kelembaban) (Poinar 1990). Pada lingkungan yang tidak mendukung
nematoda dapat membentuk agregasi dan inaktif untuk mempertahankan diri
(Isibashi & Kondo 1990).
Nematoda menginfeksi inangnya dengan jalan memasuki lubang-lubang
alami seperti spirakel, mulut, anus dan penetrasi langsung menembus kutikula
(Kaya & Gauler 1993). Keberhasilan penetrasi nematoda pada kutikula inang
dapat terjadi secara mekanik seperti pada Heterohabditis, tetapi proses enzimatis
dapat juga terjadi karena nematoda dapat menghasilkan enzim proteolitik yang
mampu mendegradasi susunan kutikula. Juvenil infektif yang berhasil memasuki
serangga, akan melepaskan kutikulanya yang sudah tua (exsheating), dan
memproduksi protease untuk membantu penetrasi (Boemare et al. 1996).

9
Semua spesies nematoda entomopatogen bermutualisme dengan bakteri.
Bakteri Xenorhabdus bersimbiosis dengan Steinerma spp. (Bird & Akhurst 1983)
dan bakteri Photorhabdus bersimbiosis dengan Heterorhabditis spp. (Boernare et
al. 1993).

Xenorhabdus memiliki lima spesies yaitu X. nemathophillus, X.

bovienii, X. poinarii, X. beddingii dan X. japonica (Akhrust & Boernare 1988).
Sedangkan Photorhabdus hanya memiliki satu spesies yaitu P. luminescens
(Boernare et al. 1996).
Gejala dan tanda pada serangga yang terinfeksi nematoda dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu efek internal, eksternal, dan perilaku. Gejala umum yang
terjadi adalah serangga akan berhenti bergerak dan makan dan tubuh mengalami
perubahan warna. Kematian serangga akan terjadi secara septisemia dalam waktu
beberapa jam sampai tiga hari tergantung temperatur dan spesies nematoda
(Burman 1982 dalam Perez & Lewis 2003). Tubuh menjadi lembek dan bila
dibedah, struktur jaringan dalam akan hancur dan cair (Kaya et al. 1993). Invasi
nematoda terjadi 7-15 hari setelah infeksi (Kaya 1990) dan setelah 1-3 generasi
beberapa ribu JI baru akan muncul dari bangkai inang dengan menbawa bakteri
simbion (Poinar 1979 dalam Perez & Lewis 2003).

Heterorhabditis sp.
Heterorhabditis menggunakan strategi menjelajah (cruising) dan menunggu
(ambushing) untuk menyerang inangnya. Nematoda yang mempunyai strategi
menjelajah lebih mengandalkan tanda-tanda kimia dibandingkan nematoda yang
bersifat menunggu. Heterorhabditis bacteriophora memiliki strategi menjelajah
dan lebih efektif menemukan inang yang tidak aktif bergerak yang biasanya
terdapat lebih ke dalam tanah (Campbell & Gaugler 1993; Lewis et al. 1992).
Interaksi antara nematoda dan bakteri simbion tidak bersifat obligat,
masing-masing dapat dibiakkan di dalam kultur biakan yang terpisah.
Photorhabdus terdapat di bagian aterior intestin dari Heterorhabditis (Boemare et
al. 1996). Bakteri ini diturunkan secara vertikal. Untuk melindungi kondisi
monoxenic selama perkembangan nematoda di dalam bangkai inang, bakteri
memproduksi beberapa antimikroba seperti antibiotik, bakterioricin, dan phages
(Boemare et al. 1996).

10
Menurut Harris et al. (1990), Heterorhabditis sp. dapat berpenetrasi
langsung melalui kutikula serangga dengan menggunakan struktur seperti gigi.
Nematoda ini lebih aktif pada temperatur >10 ºC karena bakteri Photorhabdus
luminescens yang bersimbiosis pada nematoda Heterorhabditis sp. lebih aktif
pada temperatur >10 ºC (Williams & Macdonald 1995).
Heterorhabditis sp. telah banyak digunakan untuk mengendalikan hama
penghuni tanah dan telah diproduksi komersial (Georgis & Manweiler 1994).
Heterorhabditis kadang-kadang lebih mematikan dan mempunyai inang yang
lebih luas dari pada Steinernema (Saunders & Webster 1999), karena dapat
melakukan penetrasi langsung terhadap inang (Kaya & Gaugler 1993).
Keberhasilan penetrasi langsung terjadi karena adanya proses enzimatis, yaitu
nematoda menghasilkan enzim proteolitik (protease) yang mampu mendegradasi
susunan kutikula. Juvenil infektif yang berhasil memasuki inang kemudian akan
melepaskan kutikulanya yang sudah tua (exsheating) (Boermare et al. 1992).

11

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga,
Departemen Proteksi Tanaman, IPB, dari bulan Maret – Juni 2012.
Pemeliharaan P. operculella
Phthorimaea operculella diperoleh dari umbi kentang yang terserang yang
diambil dari penangkar di daerah Pacet, Cianjur, kemudian dikembangbiakan di
laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman,
IPB. Larva dipelihara dalam wadah plastik (diameter 16 x tinggi 10 cm) yang
berisi umbi kentang hingga menjadi pupa. Pupa yang terbentuk dibedakan antara
jantan dan betina, kemudian masing-masing dipindahkan ke wadah plastik yang
bagian atasnya ditutup kain kasa (Uhan, 2008) (Rivera, 2011) (Rondon & Xue,
2010). Pupa yang telah berubah menjadi imago diberi pakan tambahan berupa
madu dengan konsentrasi 10% (Uhan, 2008). Untuk pembiakan masal, bibit
kentang yang telah terinfestasi P. operculella dari penangkar disimpan di dalam
kotak pemeliharaan (45 cm x 45 cm x 50 cm) hingga muncul imago. Imago yang
keluar dipindahkan ke dalam kotak pemeliharaan lain (20 cm x 20 cm x 30 cm)
yang berisi kentang yang telah dilukai untuk meletakkan telur. pelukaan pada
umbi kentang dimaksudkan agar larva yang baru menetas bisa dengan mudah
menggerek ke dalam umbi kentang. Setiap kotak pemeliharaan diberi madu
dengan konsentrasi 10% untuk pakan imago.

Perbanyakan Nematoda Heterorhabditis sp.
Isolat NPS Heterorhabditis diperoleh dari laboratorium Balai Penelitian
Tanaman Industri dan Penyegar (Balitri). Heterorhabditis kemudian dibiakkan
secara in vivo pada larva Tenebrio molitor (Coleoptera: Tenebrionidae)
menggunakan metode infeksi kertas saring (Woodring & Kaya, 1988). Tenebrio
molitor merupakan inang terbaik bagi Heterorhabditis sp. dalam memproduksi
juvenil infektif (JI) setelah larva Galleria mellonella (Lepidoptera: Galleriidae)
(Chaerani, et al., 2007).

12
Suspensi JI Heterorhabditis sp. diinokulasikan secara merata pada cawan
petri berdiameter 17 cm yang telah dilapisi dua lapis kertas saring, kemudian
sebanyak 20 - 30 ekor larva T. molitor dimasukkan ke dalam cawan petri. Cawan
petri ditutup dan dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan untuk menjaga
kelembaban di dalam cawan petri.
Larva T. molitor yang telah terinfeksi nematoda kemudian dipindahkan ke
dalam perangkap White. JI yang terperangkap dalam air dipanen setiap 2 hari
selama 2 minggu. Nematoda yang dipanen disimpan ke dalam tabung pada suhu
10 oC dan digunakan sebelum berumur 1 bulan (Bunga, 2004).

Uji Kontak Langsung Heterorhabditis sp. pada P. operculella
Sebanyak 1 ml suspensi nematoda Heterorhabditis sesuai dengan
perlakuan diteteskan pada kertas saring yang disimpan di dalam cawan petri.
Setelah itu sebanyak 5 larva P. operculella instar 3 dimasukkan ke dalam cawan
petri yang telah mengandung nematoda. Larva kemudian dibiarkan selama 3 jam
untuk memberi kesempatan kontak dengan nematoda. Setelah itu larva
dipindahkan ke dalam cawan petri yang berisi potongan umbi kentang dan
diamati. Setiap perlakuan dilakukan dalam 4 ulangan.
Perlakuan yang digunakan adalah beberapa kepadatan juvenil infektif (JI)
yang berbeda-beda yaitu 100 JI/ml, 200 JI/ml, 300 JI/ml, 400 JI/ml, dan 500 JI/ml.
Pengamatan dilakukan setiap 3 jam selama 48 jam, dengan asumsi bahwa larva
yang terinfeksi akan mati dalam waktu kurang dari 48 jam. Persentase mortalitas
larva P. operculella dihitung dengan menggunakan rumus Abbotts (Finney 1952)
sebagai berikut:

Keterangan:

�� = (

�� − ��

− ��

%

Pt = Persentase kematian terkoreksi
Po = Persentase kematian teramati
Pc = Persentase kematian kontrol
Data yang diperoleh dianalisis probit untuk mengetahui LC50 dengan
menggunakan program computer POLO PC (LeOra Software 1987).

13
Aplikasi Nematoda terhadap P. operculella di dalam Umbi
Sebanyak 5 ekor larva P. operculella yang baru menetas dimasukkan ke
dalam wadah plastik yang berisi satu umbi kentang. Ukuran umbi yang digunakan
memiliki diameter rata-rata 5 cm dengan bobot 50 g. Aplikasi nematoda dilakukan
pada 11 hari setelah infestasi larva P. operculell. dengan asumsi bahwa larva yang
ada di dalam umbi sudah menjadi larva instar 3. Aplikasi dilakukan dengan cara
meneteskan 2 ml suspensi nematoda pada permukaan umbi kentang yang telah
diinfestasi

P.

operculella

secara

merata.

Percoban

dilakukan

dengan

menggunakan rancangan acak lengkap dengan 6 perlakuan yaitu: A: 200, B: 400,
C: 600, D: 800, E: 1000 JI/umbi, dan F: air (kontrol). Setiap perlakuan terdiri dari
satu unit umbi terinfeksi yang disimpan di dalam wadah plastik dan diulang
sebanyak 4 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam, dan diuji
lanjut menggunakan uji Dunnet pada taraf nyata 5%.

Uji Patogenisitas Nematoda Heterorhabditis sp. terhadap P. operculella
Pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan metode potongan umbi
kentang.

Pengamatan meliputi perubahan perilaku dan morfologi larva yang

terinfeksi Heterorhabditis sp. pada larva P. operculella. Mortalitas larva dihitung
setiap hari hingga hari kedua. Untuk memastikan larva yang mati oleh nematoda,
dilakukan pemancingan nematoda dengan perangkap White yang dimodifikasi.

14

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Patogenisitas Heterorhabditis sp. Terhadap P. operculella
Heterorhabditis sp. memiliki patogenisitas yang tinggi terhadap P.
operculella. Hasil pengamatan dapat dilihat dari tingkat kematian larva yang
tinggi pada tabel 2. Kematian larva P. operculella mencapai 80% pada kepadatan
400 JI/ml dan kematian terendah sebesar 20% pada kepadatan 300 JI/ml. Waktu
infeksi yag dibutuhkan oleh Heterorhabditis sp. hingga menyebabkan kematian
pada P. operculella adalah 12 jam setelah aplikasi (JSA). Waktu yang diperlukan
Heterorhabditis sp. untuk mematikan larva P. operculela lebih cepat
dibandingkan dengan infeksi Steinernema carpocapsae. Hasil penelitian Uhan
(2008), menyatakan bahwa nematoda S. carpocapse mampu mematikan larva
inang setelah 24 JSA dengan kepadatan populasi 800 dan 1600 JI/ml. Tingginya
kemampuan Heterorhabditis sp. dalam mematikan inangnya disebabkan karena
kemampuan geraknya yang lebih aktif dalam mencari inang dengan memindai
CO2, senyawa kimia alami, maupun ekskresi yang dihasilkan oleh serangga inang
(Indriati et al. 2011), bila dibandingkan dengan Steinernema sp. yang cenderung
menunggu dan menjebak inangnya (Downes & Griffin 1996). Heterorhabditis sp.
memiliki tonjolan gigi pada ujung kepala sehingga memudahkan untuk
melakukan penetrasi langsung pada integumen inang (Stock & Hunt 2005, Adams
& Nguyen 2001).
Tabel 2 Mortalitas P. operculella pada berbagai kepadatan Heterorhabditis sp.
Kepadatan
Heterorhabditis
sp. (JI/ml)
100
200
300
400
500
Kontrol
1

Mortalitas larva P. operculella pada n jam setelah aplikasi (%)
(JSA)1
6
9
12
18
24
36
48
0
0
65 ab
85.00 a
85 a
85 a
85 a
0
0
31.25 bc 88.75 a 88.75 a
95 a
95 a
0
0
20 c
100 a
100 a
100 a 100 a
0
0
80 a
95 a
95 a
95 a
100 a
0
0
55 ab
95 a
95 a
95 a
95 a
0
0
0c
0b
0b
0b
0b

JSA = jam setelah aplikasi; Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95%.

16
Keberhasilan Heterorhabditis sp. menyerang P. operculella tidak terlepas
dari peran bakteri simbion yang terkandung di dalam nematoda. Photorhabdus
spp. merupakan bakteri yang bersimbiosis dengan Heterorhabditis sp.. Setelah
nematoda berhasil masuk ke dalam tubuh serangga, bakteri akan dilepaskan dari
tubuh nematoda kemudian berkembangbiak dengan cepat dan memproduksi
endotoksin dan eksotoksin yang dapat membunuh inang dengan cepat (Forst &
Nealson 1996).
Pada pengamatan 18 JSA, kepadatan nematoda 300 JI/ml telah mampu
memberikan persentase mortalitas larva P. operculella tertinggi sebesar 95%,
sedangkan mortalitas terendah pada kepadatan 200 JI/ml sebesar 83.75%. Dari
hasil yang diperoleh secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
pada tiap perlakuan kepadatan Heterorhabditis sp. dalam mengakibatkan
mortalitas larva P. operculella.
Pada pengamatan 18 JSA, mortalitas larva P. operculella mencapai 100%
dengan kepadatan 300 JI/ml. Sedangkan persentase kematian P. operculella
terendah terjadi pada kepadatan 100 JI/ml sebesar 85%. Pada kepadatan 300 JI/ml
nematoda dalam waktu relatif singkat telah dapat menemukan inang sehingga
pada 18 JSA telah dapat mematikan seluruh larva P. operculella.
Keefektifan Heterorhabditis sp. untuk mengendalikan penggerek umbi
kentang P. operculella diketahui dari nilai LC50. LC50 yaitu kerapatan optimal
yang dibutuhkan untuk mematikan 50% populasi P. operculella. Analisis probit
untuk mengetahui nilai LC50 dan LC95 pada pengaruh Heterorhabditis sp.
terhadap mortalitas P. operculella dilakukan pada 12, 24, 36, dan 48 JSA (Tabel
3). Pada pengamatan 12 JSA nilai LC50 sangat tinggi yaitu 179 JI/ml, sedangkan
LC95 tidak dapat dihitung dengan program POLO PC (LeOra Software 1987). Hal
ini terjadi karena data hasil pengamatan terlalu bervariasi dan tingkat
keragamannya tinggi. Kepadatan nematoda yang dibutuhkan untuk mematikan
50% P. operculella dalam waktu 24 dan 48 jam yaitu 12 JI/ml dan 19 JI/ml.
Kepadatan Heterorhabditis sp. yang dibutuhkan untuk mematikan 95% P.
operculella dalam waktu 24 dan 48 jam adalah 328 JI/ml dan 217 JI/ml. Hal ini
memperlihatkan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mematikan larva P.

17
operculella sebesar 95% dari populasi maka semakin sedikit jumlah nematoda
yang diperlukan.
Tabel 3 Nilai LC50 dan LC95 Heterorhabditis sp. terhadap larva P. operculella
Waktu (JSA) 1
LC50 (JI/ml)
LC95 (JI/ml)
12
179
24
12
328
36
9
281
48
19
217
1

JSA = jam setelah aplikasi

Prospek nematoda Heterorhabditisi sp. dalam mengendalikan hama yang
berada di dalam tanah dan jaringan tanaman telah diketahui sangat baik. Menurut
Chaerani & Nurbaeti (2007), H. indicus INA H17 dapat menyebabkan kematian
pada penggerek batang padi kuning sebesar 78%. Chuzaimah (2005) melaporkan
bahwa Heterorhabditis sp. dengan kepadatan 400 JI/ml dapat mengendalikan
96.25% larva Cyllodes bifacies. Penggunaan Heterorhabditis sp. dengan dosis 2 x
109 JI/ha dapat menurunkan luas serangan hama boleng hingga 25.8%
(Rosfiansyah

2009).

Keefektifan

Heterorhabditis

sp.

diketahui

dapat

mengendalikan 71.7% populasi rayap Coptotermes curvignathus (Arinana 2002).

Keefektifan Heterorhabditis sp. terhadap P. operculella
Keefektifan Heterorhabditis sp. terhadap larva P. operculella dapat dilihat
pada Tabel 4. Kematian larva P. operculella tertinggi oleh Heterorhabditis sp.
mencapai 35% pada dosis 1000 JI/umbi. Pada dosis 400 JI/umbi, tingkat kematian
larva paling rendah yaitu 10%. Aplikasi nematoda dilakukan pada 11 hari setelah
infestasi larva P. operculella. Pengamatan dilakukan 3 hari setelah aplikasi
nematoda. Tingkat kematian yang rendah disebabkan oleh waktu aplikasi yang
terlalu lama sehingga larva P. operculella telah jauh masuk ke dalam umbi.
Waktu aplikasi yang lebih cepat diduga akan mampu meningkatkan keefektifan
Heterorhabditis sp. terhadap P. operculella yang ada di dalam umbi.
Pada saat pengamatan beberapa larva telah bergerak menuju permukaan
umbi untuk menjadi pupa sehingga larva yang terinfeksi Heterorhabditis lebih
banyak terjadi pada larva yang berada di permukaan umbi kentang. Larva yang
mati di dalam liang gerekan berada tidak jauh dari permukaan umbi (Gambar 3).
Beberapa P. operculella mati dalam bentuk pupa yang ada di bawah permukaan

18
kulit umbi. Kematian pada fase pupa disebabkan oleh infeksi nematoda pada saat
perubahan larva menjadi pupa.
Tabel 4. Mortalitas P. operculella pada berbagai dosis Heterorhabditis sp.
Dosis Heterorhabditis sp. (JI/umbi)
Persentase kematian 1
Kontrol
0b
200
30 ab
400
10 ab
600
30 ab
800
30 ab
1000
35 a
1

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
Dunnett pada tingkat kepercayaan 95%.

Bila dibandingkan dengan hasil pengujian dengan metode kontak langsung,
aplikasi nematoda pada umbi menunjukkan nilai yang lebih rendah. Penurunan
tingkat mortalitas ini diduga karena posisi larva berada di dalam umbi terlalu
dalam sehingga nematoda tidak mendapatkan inang.
Keefektifan NPS dalam mengendalikan hama dapat dipengaruhi oleh faktor
biotik maupun abiotik. Faktor biotik diantaranya proses antibiosis, kompetisi, dan
musuh alami. Sedangkan faktor abiotik mencakup kelembaban, radiasi sinar
matahari, jenis tanah dan suhu. Faktor suhu dan radiasi sinar matahari merupakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan, reproduksi dan mobilitas
nematoda.suhu lingkungan yang tidak sesuai dapat menurunkan kemampuan
penetrasi nematoda ke dalam tubuh inang (Indriati et al. 2011).
Kajian lebih lanjut untuk melihat tingkat kematian P. operculella masih
perlu dilakukan terhadap larva yang lebih muda dan dalam skala yang lebih besar.
Karakteristik P. operculella yang terinfeksi Heterorhabditis sp.
Infeksi nematoda patogen serangga Heterorhabditis sp. pada P. operculella
dimulai dengan masuknya nematoda ke dalam tubuh serangga. Setelah nematoda
berada di dalam tubuh serangga akan melepaskan bakteri simbion yang
mengeluarkan senyawa yang beracun bagi serangga. Menurut Tanada dan Kaya
(1993) gejala dan tanda serangga yang terinfeksi oleh nematoda entomopatogen
dapat dikelompokan menjadi 3, yaitu gejala internal, gejala eksternal, dan gejala
perilaku. Gejala internal hanya dapat dilihat bila serangga yang terinfeksi dibedah
sehingga jaringan dalam serangga terlihat hancur dan mencair tetapi tidak berbau

19
busuk. Pada gejala eksternal larva yang terinfeksi akan terlihat perubahan warna
tubuhnya akibat pigmen yang dihasilkan oleh bakteri. Sedangkan pada gejala
perilaku ditandai dengan aktifitas serangga yang menurun, berhenti bergerak dan
tidak makan.
Tanda dan gejala yang terjadi pada P. operculella yang terinfeksi oleh
Heterorhabditis sp. mulai terlihat pada 9 JSA. Mobilitas larva yang telah
terinfeksi sudah mulai menurun, begitu pula dengan aktifitas makannya. Terjadi
perubahan warna pada larva yang telah mati menjadi kemerahan hingga menjadi
coklat gelap (Gambar 1). Selanjutnya tubuh P. operculella menjadi lunak karena
organ tubuh bagian dalamnya telah hancur dan mencair. Setelah dilakukan
pemancingan nematoda menggunakan metode White, JI Heterorhabditis sp.
terlihat keluar dari larva P. operculella yang mati (Gambar 2).

a
b

Gambar 1. Gejala eksternal P. operculella yang terinfeksi Heterorhabditis sp.; a)
larva yang baru mati berwarna kemerahan, b) larva yang mati lebih lama berwarna
coklat gelap.

20

Gambar 2. Koloni Heterorhabditis sp. yang keluar dari larva P. operculella
Proses patogenisitas NPS terhadap serangga tergantung dari tiga faktor yang
saling berintersaksi yaitu serangga, namatoda dan bakeri (Griffin et al. 2005).
Proses ini dipengaruhi oleh kemampuan resistensi serangga, dan virulensi
nematoda dan bakteri baik bekerja secara individu maupun bersama-sama.

21

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Heterorhabditis sp. mempunyai patogenisitas yang tinggi terhadap P.
operculella. Pada kepadatan 100 JI/ml dan 300 JI/ml Heterorhabditis sp. dapat
mematikan P. operculella sebesar 85% dan 100%. Nilai LC95 95%
Heterorhabditis sp. terhadap P. operculella dalam waktu 24 dan 48 jam adalah
328 JI/ml dan 217 JI/ml. Keefektifan Heterorhabditis sp. pada pengendalian P.
operculella di dalam umbi sebesar 35% pada dosis 1000 JI/umbi. P. operculella
yang terinfeksi Heterorhabditis sp. menunjukkan gejala penurunan aktifitas gerak
dan aktifitas makan. Serangga yang mati mengalami perubahan warna menjadi
coklat gelap dan tubuhnya menjadi lunak.

Saran
Pengujian pengendalian P. operculella pada percobaan tidak terlalu
memberikan hasil yang maksimal dalam mengendalikan P. operculella. Oleh
karena itu perlu penyempurnaan metode perlakuan yang dapat lebih
menggambarkan kondisi sebenarnya di gudang penyimpanan.

23

DAFTAR PUSTAKA
Adams BJ, Nguyen KB. 2002. Taxonomy and systematics. Di dalam: Gauler R,
editor. Entomopathogenic Nematology. UK: CABI Publishing. hlm 1-34.
Akhurs RJ, Boemare ME. 1998. Biology and taxonomy of Xenorhabdus. Dalam:
Gaugler R, Kaya HK, editor. Entomopathogenic Nematodes in Biological
Control. Boca Raton: CRC Press. Hlm 75-87
Arinana. 2002. Keefektifan nematoda entomopatogen Steinernema dan
Heterorhabditis indica sebagai agen hayati pengendali rayap tanah
Captotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) [Tesis].
Bogor: Program Pascasaarjana. Institut Pertanian Bogor.
Attia R, Mattar B. 1993. Some notes on the potato tubermoth Phthorimaea
operculella Zell. Bull Soc Entomol Egypt 216: 136.
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Luas Panen, Produksi dan
Produktivitas kentang. 2009-2011.
http://www.bps.go.id/tab_sub/print.
php?id_subyek=55¬ab=15 [9 Mei 2012].
Boemare N, Laumond C, Mauleon H. 1996. The entomopathogenic nematode
bacterium-complexbiology, life cycle and vertebrate safety. Biocontrol Sci
and Technol 6(3):333-345.
Bird AF, Akhurst RJ. 1983. The nature of the intestinal vesicle in nematodes of
the family Steinernematidae. International Journal of Parasitology 13:599606.
Bunga J. 2004. Eksplorasi nematoda entomopatogen dari Kupang, Nusa Tenggara
Timur dan pengujian keefektifannya terhadap Cylas formicarius Fabr.
(Coleoptera: Curculionidae) [Tesis]. Bogor: Program Pascasaarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Campbel JF, Gaugler R. 1993. Nictation behavior and its ecological implication
in the host search strategies of entomopathogenic nematodes
(Heterorhabditidae and Steinernematidae). Behaviour 126(3-4): 155-169.
Chaerani Y, Priyatno T, Koswanudin D, Rahmat U, Sujatmo, Yusuf, et al. 2007.
Isolasi nematoda patogen serangga Steinernema dan Heterorhabditis. J.
HPT Tropika 7(1):1-9.
Chauman U, Verma LR. 1991. Biology of potato tuber moth, Phthorimaea
operculella Zeller, with special reference to pupal eye pigmentation and
adult sexual dimorphism. Entomol 16:63-67.
Chumakov MA, Kuznetsova TL. 2012. Pests: Phthorimaea operculella Zeller –
Potato tuber moth. Interactive Agricultural Ecological Atlas of Rusia and
Neighboring Countries. http://aggroatlas.ru/en/content/pests/Phthorimaea_
operculella [19 April 2012].
[Ditjen Hortikultura]. 2011. Pedoman Umum Pelaksanaan Pengembangan
Hortikultura Tahun 2012. Jakarta: Kementrian Pertanian RI.

24
Downes MJ, Griffin CT. 1996. Dispersal behavior and transmission strategies of
the entomopathogenic nematodes Heterorhabditis and Steinernema. J
Biocontrol Sci and Technol. 6:347-356
Fenemore PG. 1979. Oviposition of the potato tuber moth Phthorimaea
operculella the influence of adult food, pupal weight and host plant tissues
in fecundity. New Zealand Journal of Zoology 6:389-395.
Foot MA. 1979. Bionomics of the potato tuber moth, Phthorimaea operculella
(Lepidoptera: Gelechidae), at Pukekohe. New Zealand Journal of Zoology
6:623-636.
Frost S, Nealson K. 1996. Molecular biology of the symbiotic-pathogenic bacteria
Xenorhabdus spp. and Photorhabdus spp.. Microbiol Rev 60:21-43.
Georgis R, Manweiler S. 1994. Entomopathogenic nematodes: a developing
biological control technology. Agric Zool Rev 6:63-94.
Harris AM, Begley JW, Warkentin DL. 1990. Liriomyza trifolii (Diptera:
Agromyzidae) suppression with foliar applications of Steinernema
carpocapsae (Rhabditida: Steinernematidae) and abamectin. J Econ
Entomol 83(6):2381-2382.
Homonick WM, et al. 1997. Biosystematics of entomopathogenic nematodes:
Current status, protocols and definitions. J Helminthol 71:271-298.
[IPC] International Potato Center. 2012. Facts & figures. La Molina: The
International Potato Center.
Indriati G, Samsudin, Soesanthi F. 2011. Nematoda Heterorhabditis spp. Sebagai
Agens Hayati Pengendali Hama Tanaman. Sukabumi (ID): Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri.
Ishibashi N, Kondo E. 1990. Behavior of invective juveniles. Dalam: Gaugler R,
Kaya HK, editor. Entomopathogenic nematodes in biological control.
Boca Raton: CRC Press. Hlm 139-148.
Kabir A. 1994. Laboratory studies on the opviposition and generation production
of the potato tuber moth, Phthorimaea operculella (Zeller) (Lepidoptera:
Gelechiidae). Bangladesh Journal of Zoology 22:25-28.
Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van
Hoeve.
Kaya HK. 1990. Soil Ecology. Dalam: Gaugler R, Kaya HK, editor.
Entomopathogenic Nematodes in Biological Control. Boca Raton: CRC
Press. Hlm 93-115.
Kaya HK, Gaugler R. 1993. Entomopathogenic nematodes. Ann Rev Entomol
38:181-206.
LeOra Software. 1987. POLO-PC User’s Guide. Berkeley: LeOra Software.
Lewis EE, Gaugler R, Harrison R. 1992. Entomopathogenic nematode host
finding: response to contac cues by cruise and ambush faragers.
Parasitology 105:309-315.

25
Perez EE, Lewis EE, Shapiro-Ilan DI. 2003. Impact of the host cadaver on
survival and efectifity of entomopathogenic nematodes (Rhabditida:
Steinernematidae and Heterorhabditis) under dessicating conditions. J.
Invertebr Pathol 82:111-118.
Poinar GO Jr. 1990. Biology and taxonomy of Steinernematidae and
Heterorhabditidae. Gaugler R, Kaya HK, editor. Entomopathogenic
Nematodes in Biological Control. Boca Raton: CRC Press. Hlm 23-58.
Rivera MJ. 2011. The potato tuberworm, Phthorimaea operculella (Zeller), in
the tobacco, Nicotiana tabacum L., agroecosystem: seasonal biology and
larval behavior. Thesis . Raleigh, North Carolina: North Carolina State
University.
Rondon S, Xue L. 2010. Practical Techniques and Accuracy for Sexing the
Potato Tuberworm, Phthorimaea Operculella (Lepidoptera: Gelechiidae).
Florida Entomologist 93(1):113-115.
Rosfiansyah. 2009. Pengaruh aplikasi Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin
dan Heterorhabditis sp. terhadap serangan hama ubi jalar Cylas formicarius
Fabr. (Coleoptera: Brentidae) [Tesis]. Bogor: Program Pascasaarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Santosa E, Permana AD, Susanto, Setiawati W. 2002. Identifikasi feromon sex
serangga penggerek umbi kentang Phthorimaea operculella Zell
(Lepidoptera: Gelechiidae). J. Bionatura 4(1):9-16.
Saunders JE and Webster JM. 1999. Temperature effects on Heterorhabditis
megidis and Steinernema carpocapsae infectivity to Galleria mellonella. J.
Nematol. 31: 299–304
Stock S