Identification of Root Knot Nematode Species, the Pathogen of Branched Tuber Disease on Carrot (Daucus carota L.) in Semarang and Magelang Districts, Central Java

(1)

PENYEBAB UMBI BERCABANG PADA WORTEL (Daucus

carota L.) DI WILAYAH KABUPATEN SEMARANG DAN

MAGELANG, JAWA TENGAH

RESTU GILANG PRADIKA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

ABSTRAK

RESTU GILANG PRADIKA. Identifikasi Spesies Nematoda Puru Akar Penyebab Umbi Bercabang pada Wortel (Daucus carota L.) di Wilayah Kabupaten Semarang dan Magelang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA.

Meloidogyne spp. merupakan patogen penyebab penyakit umbi bercabang pada wortel. Penelitian dilaksanakan untuk mengetahui keberadaan dan mengidentifikasi spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) pada sentra pertanaman wortel di wilayah Kabupaten Semarang dan Magelang. Sampel wortel sakit diambil dari tiga lokasi, yaitu ketinggian 1200-1400 m dpl, 1400-1600 m dpl, dan > 1600 m dpl. Gejala penyakit Meloidogyne spp. di lapangan umumnya berupa malformasi pada umbi seperti umbi bercabang, umbi pecah, umbi bulat memendek, dan umbi berambut (hairy root). Tingkat kejadian penyakit sebesar 52%, 63%, dan 67% pada lokasi 1, 2, dan 3. Identifikasi spesies Meloidogyne spp. dilakukan dengan morfologi pola perineal nematoda betina dan PCR. Primer spesifik digunakan untuk mendeteksi M. incognita, M. javanica, dan M. arenaria, sedangkan primer multipleks digunakan untuk mendeteksi M. hapla, M. chitwoodi, dan M. fallax. Empat spesies utama nematoda puru akar, yaitu M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla berhasil diidentifikasi dari seluruh lokasi yang diteliti.

Kata kunci: Wortel, penyakit umbi bercabang, Meloidogyne spp., sidik pantat, PCR


(3)

RESTU GILANG PRADIKA. Identification of Root Knot Nematode Species, the Pathogen of Branched Tuber Disease on Carrot (Daucus carota L.) in Semarang and Magelang Districts, Central Java. Supervised by SUPRAMANA and GEDE SUASTIKA

Root knot nematode (Meloidogyne spp.) is a pathogen causing branched tuber disease on carrot. The objective of this study was to determine the presence and to identify the species of root knot nematode (Meloidogyne spp.) on carrot plantation in the area of Semarang and Magelang districts. Sampel of infected tuber were taken from three locations with defferent elevation ranges, that were 1200-1400 m, 1400-1600 m, and >1600 m asl. The common symptoms of Meloidogyne spp. in the field were malformation of the tubers such as branched tuber, broken tuber, shortened round tuber, and hairy roots. The disease incidence levels were 52% , 63%, and 67% at location 1, 2, and 3, respectively. The identification of Meloidogyne species was based on female perineal pattern and PCR. Spesific primers were used for M. incognita, M. javanica, and M. arenaria, while multiplex primers were used for mixed species of M. hapla, M. chitwoodi, and M. fallax. Four major root knot nematode species, namely M. incognita, M. javanica, M. arenaria, and M. hapla were succesfully identified from all locations investigated.

Key words: carrot, branched tuber disease, Meloidogyne spp., perineal pattern, PCR


(4)

IDENTIFIKASI SPESIES NEMATODA PURU AKAR

PENYEBAB UMBI BERCABANG PADA WORTEL (Daucus

carota L.) DI WILAYAH KABUPATEN SEMARANG DAN

MAGELANG, JAWA TENGAH

RESTU GILANG PRADIKA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

Judul : Identifikasi Spesies Nematoda Puru Akar Penyebab Umbi Bercabang pada Wortel (Daucus carota L.) di Wilayah Kabupaten Semarang dan Magelang, Jawa Tengah

Nama Mahasiswa : RESTU GILANG PRADIKA

NIM : A34080053

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Supramana, M.Si NIP. 19620618 198911 1 001

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc NIP. 19620607 198703 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP. 19650621 198910 2 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Restu Gilang Pradika, dilahirkan pada 28 Agustus 1990 di Banjarnegara, Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mulyanto (Almarhum) dan Ibu Lim Supriyanti. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Bawang, Banjarnegara pada tahun 2008. Penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008 dan di terima di Departemen Proteksi Tanaman.

Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai kegiatan kampus, kepanitiaan, dan organisasi. Kegiatan organisasi yang pernah diikuti antara lain: Anggota Pencak Silat Merpati Putih (2008-2009), Koperasi Mahasiswa IPB (2008-2009), Leadership and Entrepreneurship School IPB (2008-2009), Entrepreneurship Development Unit IPB (2009-2010), BEM Faperta IPB (2009-2010) sebagai Ketua Divisi PSDM, Organic Farming IPB (2009-2010), Himasita (Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman) 2010-2011, sebagai Ketua Divisi PSDM. Penulis juga aktif dalam kegiatan himpunan organisasi di tingkat nasional seperti IBEMPI (Ikatan BEM Pertanian Indonesia ) 2009-2010, HMPTI (Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman Indonesia) tahun 2010-2011. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan di lapangan seperti penyuluhan pertanian Klinik Tanaman IPB, magang di lahan pertanian organik Kelompok Tani Silih Asih Cigombong, Kabupaten Bogor, asisten dosen mata kuliah Vertebrata Hama, Hama dan Penyakit Benih dan Pasca Panen, Pemanfaatan dan Pengelolaan Pestisida.


(7)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas rahmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Penyebab Penyakit Umbi Bercabang oleh Nematoda Meloidogyne spp. pada Pertanaman Wortel (Daucus carota L.) Di Jawa Tengah (Kabupaten Semarang dan Magelang) “ sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Supramana, M.Si dan Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan masukan, arahan, serta perhatiannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc sebagai dosen penguji tamu yang telah memberikan masukan dan arahannya dalam ujian seminar dan sidang tugas akhir ini.

Ucapan rasa hormat penulis sampaikan kepada seluruh dosen Departemen Proteksi Tanaman yang telah mengajar dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat luas. Kepada Dr. Ir. Titiek Siti Yuliani, SU, Dra. Dewi Sartiami, M.Si penulis memberikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala perhatian dan semua pertolongan yang telah diberikan baik berupa materi, nasehat, bimbingan dan dorongan semangat yang selalu diberikan.

Rasa hormat dan sayang yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta atas segala kasih sayang dan perjuangan yang telah diberikan. Ibunda sebagai inspirasi hidup terbesar sehingga penulis dapat melanjutkan studi ke jenjang sarjana, senantiasa bertahan dalam menjalani hidup ini, dan selalu mengajarkan segala pengalaman hidup yang sangat luar biasa selama ini.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada sahabat-sahabat yang selalu menemani: Aris Pracoyo, Busyairi, Ravi, Rusman, Fitrah, Swinda, terima kasih atas persahabatan, kebersamaan, dan segala pertolongan yang telah diberikan. Kepada Pak Hadi dan Bu Suliyem sekeluarga di Kopeng, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di lapangan. Kepada Pak Gatut Heru Bromo penulis sampaikan terima kasih atas segala arahan dan bantuan selama penulis bekerja di Laboratorium Nematologi. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini penulis sampaikan banyak terima kasih. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dan dapat dipergunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

Bogor, November 2012


(8)

   

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

... ix

DAFTAR GAMBAR

... x

PENDAHULUAN

... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA

... 3

Wortel (Daucus carota L.) ... 4

Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) ... 5

Klasifikasi ... 6

Morfologi dan Anatomi ... 6

Biologi ... 7

Reproduksi dan Perkembangan ... 9

Ekologi ... Gejala Penyakit NPA ... 109 Spesies Nematoda Meloidogyne spp. ... Identifikasi Morfologi Spesies Meloidogyne spp... 12

Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. Secara Molekuler ... 1513

BAHAN DAN METODE

... 19

Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

Metode Penelitian ... 19

Survei dan Pendataan ... 19

Survei ... 19

Pendataan ... 20

Pengambilan Sampel Wortel Sakit... 21

Penghitungan Tingkat Kejadian Penyakit oleh Meloidogyne spp... 21

Identifikasi Spesies NPA Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat ... Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. dengan Teknik PCR ... 2321 Ekstraksi DNA Nematoda Betina ... 23

Amplifikasi DNA Nematoda ... 24

Elektroforesis DNA Nematoda Betina ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN

... 28


(9)

 

Pertanaman Wortel di Lokasi Pengambilan Sampel ... 28 30 35 37 Gejala penyakit Meloidogyne spp. di Lapangan ...

Tipe Gejala yang Ditemukan pada Umbi Wortel ... Tipe Puru pada Umbi Wortel ... Identifikasi Morfologi Spesies Meloidogyne spp. Melalui Sidik

Pantat (perineal pattern) ... 38 40 41 Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. dengan Teknik PCR ...

Distribusi Spesies NPA Berdasarkan Ketinggian Tempat ...

44

KESIMPULAN DAN SARAN

...

44 44 Kesimpulan ...

Saran ...


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Perbedaan morfologi empat spesies utama Meloidogyne spp.

berdasarkan pola perineal... 14 2 Primer yang digunakan untuk mendiagnosa keberadaan spesies

Meloidogyne spp. pada deteksi dengan PCR... 3 Komposisi bahan PCR reagen yang digunakan... 4 Kejadian penyakit oleh infeksi Meloidogyne spp. pada setiap

lokasi pengambilan sampel...

26 24

33 5 Keberadaan tipe gejala penyakit oleh infeksi Meloidogyne spp.

pada umbi wortel di setiap lokasi pengambilan sampel... 6 Keberadaan tipe puru di setiap lokasi pengambilan sampel... 7 Distribusi 4 spesies utama Meloidogyne spp. pada 3 lokasi

ketinggian pengambilan sampel...

38 36


(11)

Halaman 1 Paket telur menempel pada bagian posterior nematoda betina (1a),

nematoda betina dewasa di dalam jaringan tanaman inang ... 2 Siklus penyakit yang disebabkan oleh NPA ... 3 Nematoda Meloidogyne spp. betina dewasa (3a), bagian-bagian

dari penampang pola sidik pantat NPA (Meloidogyne spp.) (3b) ...

7 6

4 Teknik pembuatan preparat permanen sidik pantat nematoda betina Meloidogyne spp. ...

13

5 Pertanaman wortel di lokasi pengambilan sampel, 5a) Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kab. Semarang, 5b) Dusun Deles, Desa Jogonayan, Kab. Magelang...

22

6 Benih wortel lokal yang digunakan oleh petani (6a), umbi wortel yang normal dan berkualitas baik (6b)...

29

7 Gejala kerdil dan tanaman jarang-jarang pada sebagian spot lahan pertanaman wortel yang terinfeksi NPA di Dusun Sidomukti (7a) dan Dusun Deles (7b)...

30

8 Berbagai bentuk gejala infeksi NPA pada umbi wortel 8a) umbi bercabang, 8b) umbi pecah, 8c) umbi pendek membulat, dan 8d) umbi berambut (hairy root)...

31

9 Tipe puru pada umbi wortel 9a) puru bulat kecil pada rambut akar, 9b) puru bulat berukuran besar (+0.5 cm), 9c) puru memanjang pada percabangan akar, 9d) puru seperti akar gada, 9e) puru seperti kudis...

35

10 Pola sisik pantat spesies Meloidogyne spp. 10a) M. incognita, 10b) M. javanica, 10c) M. arenaria, 10d) M. hapla (Sumber: Eisenback et al. 1981), dan hasil identifikasi berdasarkan morfologi sidik pantat 10e) M. incognita, 10f) M. javanica, 10g) M. arenaria, 10h) M. hapla...

37

11 Hasil visualisasi fragmen DNA dari keempat spesies utama Meloidogyne spp. ...

39 40


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wortel (Daucus carota L.) berasal dari daerah yang beriklim sedang (subtropis) yaitu Asia Timur dan Asia Tengah. Budidaya wortel pada mulanya terjadi di sekitar Laut Tengah, menyebar luas ke kawasan Eropa, Afrika, Asia, dan akhirnya ke seluruh bagian dunia. Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di Jawa Barat yaitu daerah Lembang dan Cipanas. Budidaya wortel berkembang luas ke daerah-daerah sentra sayuran di Jawa dan luar Jawa (Rukmana 1995).

Menurut data BPS (2011) Jawa Tengah merupakan sentra produksi wortel terbesar pertama di Indonesia dengan total produksi 143424 ton, luas panen 11383 ha, dan produktivitas 12.60 ton/ha. Di Indonesia, produktivitas wortel masih rendah, yakni 20-25 ton/ha. Di Amerika dan Eropa, produktivitas wortel dapat mencapai kisaran 30-35 ton/ha (Cahyono 2002). Berbagai macam penyakit dapat menurunkan baik hasil panen dan harga pasar dari wortel, dimanapun wortel tumbuh (Davis 2004).

Meloidogyne merupakan genus yang meliputi fitonematoda yang terpenting di dunia. Spesies nematoda puru akar (NPA) yang paling penting adalah M. arenaria, M. exigua, M. graminicola, M. incognita, M. javanica, M. hapla. Spesies tersebut tersebar luas di daerah tropik dan sub tropik (Jepson 1987). Spesies ini berada pada pertanaman yang luas khusunya sayuran seperti tomat, wortel, famili Cucurbitacea, terung, dan lainnya. Kejadian penyakit pada daerah beriklim hangat dapat terjadi setiap saat sepanjang tahun (Singh & Sitaramaiah 1994).

Meloidogyne spp. dapat menimbulkan kerugian pada tanaman akar dan umbi seperti wortel. Kerugian bersifat kuantitatif dan kualitatif, sebab puru yang ditimbulkan oleh nematoda mempengaruhi pemasaran (Netscher & Sikora 1978). Kehilangan hasil akibat serangan Meloidogyne spp. telah banyak dilaporkan pada pertanaman wortel di seluruh dunia. Di Australia wortel varietas nantes diserang


(13)

 

oleh NPA (Meloidogyne spp.) yang menyerang umbi wortel dan menyebabkan puru dan ujung umbi tumpul (stumping) (McKay 2004). Jika tidak terkontrol, nematoda dapat menurunkan hasil hingga 50%. NPA (M. arenaria, M. javanica, M. hapla, M. incognita) merupakan penyakit yang paling penting pada pertanaman wortel di California, dan ditemukan di seluruh wilayah produksi. Kerusakan akibat NPA dapat terlihat pada penurunan kualitas, produktivitas, kuantitas, penurunan hasil di lapangan, dan tanaman kerdil parah (Fennimore et al. 2000).

Penelitian identifikasi spesies Meloidogyne spp., penyebab umbi bercabang pada wortel, telah dilakukan di berbagai sentra pertanaman wortel di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2010) di daerah Cipanas, Cianjur, Jawa Barat berhasil mengidentifikasi 5 spesies Meloidogyne, 4 spesies utama yaitu M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Satu spesies lain yaitu M. fallax. Keempat spesies utama tersebut juga telah dilaporkan keberadaannya oleh Taher (2012) di daerah Dieng, Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah dan Hikmia (2012) di daerah Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Hasil uji Postulat Koch yang dilakukan oleh Kurniawan (2010) menunjukkan bahwa keempat spesies utama tersebut adalah penyebab primer umbi bercabang pada wortel.

Ketepatan identifikasi spesies adalah dasar untuk efesiensi pengendalian nematoda. Penelitian harus dilakukan untuk mengembangkan lebih banyak metode identifikasi nematoda melalui kombinasi menggunakan metode morfologi, biology, genetik, dan biokimia sistematik (Mai 1985). Dasar identifikasi morfologi dari spesies Meloidogyne sudah disamakan. Akan tetapi beberapa perbedaan karakter digunakan dalam membedakan spesies. Karakter itu meliputi morfologi sidik pantat, morfologi kepala nematoda betina, jantan, juvenil kedua, dan stilet pada nematoda jantan dan betina. Sidik pantat dan bentuk kepala nematoda jantan adalah yang paling mudah dalam membantu identifikasi (Eisenback et al. 1981). Adanya pola yang jelas pada striasi yang terdapat di sekitar vulva dan anus yang disebut pola perineal (perineal pattern) dapat digunakan untuk identifikasi jenis (Dropkin 1989). Teknik biologi molekuler


(14)

3

 

mempunyai potensi untuk meningkatkan efisiensi dan sensitifitas dalam proses deteksi spesies nematoda (Qiu et al. 2006). Pemisahan protein dengan menggunakan elektroforesis baik untuk uji kisaran inang maupun untuk memisah-misahkan populasi Meloidogyne (Dropkin 1989).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah mengidentifikasi spesies nematoda puru akar Meloidogyne spp. penyebab penyakit umbi bercabang yang terdapat pada sentra pertanaman wortel di wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat memberikan informasi mengenai keberadaan penyakit umbi bercabang dan gejala penyakit yang terjadi di lapangan pada pertanaman wortel di kedua daerah tersebut. Karakteristik setiap speises dapat dijadikan dasar untuk merancang sistem pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.


(15)

Wortel (Daucus carota L.)

Wortel termasuk jenis tanaman sayuran semusim, berbentuk semak (perdu) yang tumbuh tegak dengan ketinggian antara 30-100 cm, tergantung jenis dan varietasnya. Tanaman wortel berumur pendek, yakni berkisar antara 70-120 hari, tergantung pada varietasnya. Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan, tanaman wortel diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji ) Subdivisi : Angiospermae (biji berada dalam buah)

Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua atau biji belah) Ordo : Umbelliferales

Famili : Umbelliferae/Apiaceae/Ammiaceae Genus : Daucus

Spesies : Daucus carota L.

Tanaman wortel memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Dalam pertumbuhannya, akar tunggang akan mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi tempat penyimpanan cadangan makanan. Akar tunggang yang telah berubah bentuk dan fungsi inilah yang sering disebut atau dikenal sebagai “ umbi wortel”. Akar serabut menempel pada akar tunggang yang telah membesar (umbi), tumbuh menyebar ke samping, dan berwarna kekuning-kuningan (putih gading) (Cahyono 2002).

Tanaman wortel banyak ragamnya, tetapi bila dilihat bentuk umbinya dapat dibagi menjadi 3 golongan, yakni :

a) Tipe Chantenay, berbentuk bulat panjang dengan ujung yang tumpul. b) Tipe Imperator, berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing.

c) Tipe Nantes, merupakan tipe gabungan antara imperator dan chantenay.

Tanaman wortel merupakan sayuran dataran tinggi yangpada permulaan tumbuh menghendaki cuaca dingin dan lembab. Tanaman ini bisa ditanaman sepanjang tahun baik musim kemarau maupun musim hujan dan membutuhkan


(16)

5 lingkungan tumbuh dengan suhu udara yang dingin dan lembab. Pertumbuhan dan produksi umbi membutuhkan suhu udara optimal antara 15.6-21.1˚C. Suhu udara yang terlalu tinggi (panas) seringkali menyebabkan umbi kecil-kecil (abnormal) dan berwarna pucat/kusam, bila suhu udara terlalu rendah (sangat dingin) maka umbi yang terbentuk menjadi panjang kecil.Di Indonesia, wortel umumnya ditanam di dataran tinggi pada ketinggian 1000-1200 m dpl,di dataran medium (ketinggian lebih dari 500 m dpl) produksi dan kualitas kurang memuaskan.

Keadaan tanah yang cocok untuk tanaman wortel adalah subur, gembur, banyak mengandung bahan organik (humus), tata udara dan tata airnya berjalan baik (tidak menggenang). Jenis tanah yang paling baik adalah andosol. Jenis tanah ini pada umumnya terdapat di daerah dataran tinggi (pegunungan). Tanaman wortel dapat tumbuh baik pada keasaman tanah (pH) antara 5.5-6.5, untuk hasil optimal diperlukan pH 6.0-6.8. Pada tanah yang pH nya kurang dari 5.0 tanaman wortel akan sulit membentuk umbi. Pada tanah yang mudah becek atau mendapat perlakuan pupuk kandang yang berlebihan, sering menyebabkan umbi wortel berserat, bercabang, dan berambut (Rukmana 1995).

Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)

Empat spesies nematoda Meloidogyne spp. yang mempunyai arti ekonomi penting dalam budi daya sayuran yaitu M. incognita, M. arenaria, M. javanica, dan M. hapla. Puru pada sistem akar merupakan gejala awal yang berasosiasi dengan infeksi Meloidogyne spp. Puru yang disebabkan oleh nematoda betina terdapat pembengkakan pada silinder pusatnya, terjadi perubahan bentuk pada unsur jaringan pengangkutan. Nematoda betina yang berbentuk bulat dikelilingi oleh parenkim, mudah diamati dengan mikroskop perbesaran lemah pada akar yang diberi zat warna (Netscher & Sikora 1978). Nematoda betina menetap di dalam jaringan akar tanaman inang dan membentuk kantung telur (gambar 1).


(17)

a b ( Sumber: Agrios 2005)

Gambar 1 Paket telur menempel pada bagian posterior nematoda betina (1a), nematoda betina dewasa di dalam jaringan tanaman inang (1b).

Klasifikasi

Semua nematoda parasitik tumbuhan termasuk filum Nematoda. Genus nematoda parasitik tumbuhan yang penting pada umumnya termasuk ordo Tylenchida, tetapi ada beberapa yang termasuk ordo Dorylaimida (Agrios 1988). Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. menurut (Dropkin 1989) adalah sebagai berikut :

Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Sub Kelas : Secernenteae Ordo : Thylenchida Famili : Meloidogynidae Genus : Meloidogyne Spesies : Meloidogyne spp.

Morfologi dan Anatomi

Morfologi dan anatomi penting dalam mempelajari taksonomi dan memahami fungsi fisiologisnya, interaksi dengan lingkungan, serta hubungan timbal balik dengan tanaman inangnya. Dalam satu siklus hidup Meloidogyne terjadi perubahan morfologisnya yaitu bentuk telur, larva (juvenil), dan dewasa (jantan dan betina).Nematoda puru akar betina bentuknya membulat seperti


(18)

7 apukat, berwarna putih kekuningan, diameter tubuh memanjang antara 440-1300 µm dan lebar 325-700µm. Nematoda betina bersifat menetap (sedentary) dalam akar dan mempunyai dua buah indung telur (ovarium) (Mulyadi 2009).

Biologi

Telur terbentuk di dalam badan betina, yang akhirnya betina ini menjadi kantong telur yang membengkak (Semangun 2006). Telur-telurnya diletakkan di dalam kantung telur yang gelatinus yang mungkin untuk melindungi telur-telur tersebut dari kekeringan dan jasad renik. Puru terbentuk dari interaksi antara inang dan parasit, pada puru tersebut muncul kantong telur. Kantong telur yang baru terbetuk biasanya tidak berwarna dan menjadi coklat setelah tua. Telur-telur mengandung zigot sel tunggal apabila baru diletakkan (Dropkin 1989).

NPA tumbuh dan berkembang, dimulai dari pertumbuhan embrio dalam telur (embriogenesis). Kondisi lingkungan yang sesuai antara lain adanya tanaman inang (menghasilkan eksudat akar yang merangsang penetasan telur) dan kelembaban yang cukup juvenil 2 (J2) akan mendukung telur menetas (Mulyadi 2009). Siklus hidup NPA dan terbentuknya gejala penyakit puru akar ditunjukkan pada gambar 2.


(19)

Larva stadia dua menetas, mereka aktif bergerak baik di dalam tanah maupun dalam jaringan tanaman. Stadia J2 dari Meloidogyne merupakan satu-satunya stadia yang bersifat infektif. Pada umumnya J2 melakukan penetrasi ke dalam akar di jaringan yang berada di belakang ujung akar yaitu daerah yang sedang mengalami perpanjangan. Larva stadia dua yang telah melakukan penetrasi ke dalam akar kemudian migrasi antar sel di daerah korteks mencari tempat makan (feeding site) yang sesuai. Bagian kepala biasanya di tepi jaringan pengangkutan sedang bagian tubuh yang lain di korteks. Stilet mencucuk dinding-dinding sel di sekitarnya, selain itu stilet juga mengeluarkan sekresi dari kelenjar esofagus yang mengakibatkan terbentuknya sel-sel raksasa (giant cells atau syncytia) yang merupakan sumber makanan bagi nematoda. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan jumlah sel yang tidak normal (hiperplasia) serta peningkatan ukuran sel yang tidak normal (hipertrofi) dari jaringan tanaman yang mengakibatkan terbentuknya puru atau galls. Selama terbentuknya sel-sel raksasa dan puru akar, larva stadia dua mengalami perubahan bentuk membesar seperti “botol” (flask-shaped).

Betina bentuk tubuhnya seperti buah alpukat setelah mengalami pergantian kulit kedua, ketiga, dan keempat. Perkembangan nematoda jantan terjadi setelah pergantian kulit ketiga, dalam tubuh larva stadia tiga yang terbentuk seperti botol tersebut terbentuk tubuh nematoda silindris memanjang (vermiform) dan dilengkapi dengan bagian tubuh nematoda jantan. Siklus hidup NPA dari saat terjadinya awal makan (initial feeding) sampai terbentuknya nematoda dewasa antara 3-8 minggu (Mulyadi 2009).

Perbandingan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh lingkungan. Nematoda jantan akan lebih banyak apabila akar terserang berat dan zat makanan tidak cukup. Eksudat akar mampu meningkatkan penetasan, tetapi senyawa tersebut tidak mempengaruhi keberhasilan daur hidupnya (Dropkin 1989).


(20)

9 Reproduksi dan Perkembangan

Reproduksi bersifat amfimiktik (nematoda jantan dan betina terpisah) atau partenogenetik (nematoda jantan tidak ada, tidak berfungsi, atau sangat sedikit). Telurnya diletakkan secara tunggal atau berkelompok di dalam suatu massa gelatinus yang dikeluarkan oleh nematoda betina. Massa telur tersebut biasanya berasosiasi pada nematoda betina yang tubuhnya menggelembung dan menjadi menetap. Nematoda pada umumnya mempunyai empat stadium larva antara stadium telur dan dewasa diantaranya terjadi pergantian kulit untuk mencapai ukuran yang lebih besar (Singh & Sitaramaiah 1994).

Produksi telur sangat banyak antara 24-112 butir per hari, dalam jangka waktu yang panjang, sehingga jumlah totalnya dapat mencapai 800-3000 butir setiap betina. Telur menetas secara terus-menerus, seringkali berlangsung sampai berkembangnya generasi berikutnya (Semangun 2006). Daur hidupnya bervariasi tergantung pada inang dan suhu, paling cepat 3 minggu dan paling lama beberapa bulan (Dropkin 1989).

Ekologi

Dao (1970)menunjukkan bahwa populasi nematoda menyesuaikan terhadap keadaan iklim setempat. Suhu optimum untuk perkembangan nematoda berkaitan dengan terdapatnya budidaya sayuran di daerah tropik, suatu faktor yang menjamin terjadinya infeksi puru akar secara serius. Suhu optimum untuk M. hapla paling rendah 5˚C yaitu lebih rendah daripada untuk spesies utama yang lain di daerah tropik. M. hapla terdapat terbatas di daerah dataran tinggi di tropik dan di daerah budidaya yang beriklim sedang. M. incognita, M. javanica, dan M. arenaria terdapat di daerah yang suhu rata-ratanya 36˚C atau lebih rendah dari pada yang terjadi pada bulan yang terpanas(Taylor et al. 1982). M. incognita terdapat pada area geografis yang lebih luas dari pada spesies lain dan memiliki kisaran inang yang sangat luas. Spesies ini terdapat pada tempat dengan suhu tahunan rata-rata berkisar antara 18-30˚C, dengan populasi terbanyak pada tempat


(21)

yang kisaran suhunya antara 24-27˚C. Spesies ini biasanya ditemukan dan berkorelasi dengan keberadaan M. javanica. M. javanica juga memiliki kisaran inang yang luas pada daerah yang curah hujannya tinggi atau rendah. Spesies ini selalu berada sepanjang tahun. Populasi M. arenaria seringkali menghasilkan banyak puru kecil berbentuk manik-manik yang tidak berbentuk akar lateral yang pendek. Tanaman rentan yang terinfeksi populasi M. hapla seringkali menghasilkan gejala pada akar yang dapat mendiagnosa spesies ini. Puru cenderung mengecil dan banyak cabang pada akar yang terpisah yang membuat sistem akar bergerombol dan menyusut (Eisenback et al. 1981). Suhu berpengaruh terhadap perkembangan embrio dalam telur, penetasan, tumbuh, reproduksi, penyebaran, dan kemampuan bertahan hidup (Mulyadi 2009).

Tekstur dan struktur tanah berkaitan langsung dengan kapasitas kandungan air dan aerasi serta pengaruhnya terhadap kehidupan nematoda, penetasan, dan parahnya kerusakan. Tipe tanah dan pH juga mempunyai pengaruh terhadap distribusi nematoda. Tipe tanah berpengaruh terhadap tipe budidaya tanaman, oleh sebab itu mempengaruhi distribusi nematoda, timbulnya populasi, dan intensitas kerusakan (Taylor et al. 1982). Tanah-tanah ringan lebih baik untuk nematoda dan tanah lempung menghambat (Dropkin 1989). Meloidogyne spp. pada umumnya didapatkan pada berbagai tipe tanah, namun demikian kerusakan berat umumnya terjadi di daerah dengan tipe tanah ringan atau berpasir. Nematoda puru akar tumbuh dan berkembang normal pada pH tanah antara 6.4-7.0. Pada pH tanah dibawah 5.2 pertumbuhan dan perkembangannya terhambat (Mulyadi 2009).

Gejala Penyakit NPA

Nematoda endoparasitik merupakan nematoda yang masuk ke dalam jaringan akar. Nematoda endoparasitik yang bersifat dapat berpindah tetap aktif dan bergerak di dalam jaringan tempat dia makan. Nematoda endoparasitik yang bersifat menetap (sedentary) maka nematoda betina akan memperolah


(22)

11 makanannya dari satu tempat tertentu (sel-sel asuh), yang kemudian nematoda tersebut kehilangan mobilitasnya dan tubuhnya menggelembung (Luc et al. 1995).

Puru yang timbul pada sistem akar merupakan gejala awal yang berasosiasi dengan infeksi Meloidogyne spp. Puru yang disebabkan olehnematoda betina menyebabkan pembengkakan pada silinder pusatnya, terjadi perubahan bentuk pada unsur jaringan pengangkutan. Ukuran dan bentuk puru tergantung pada spesies, jumlah nematoda di dalam jaringan, inang, dan umur tanaman. Tanaman Cucurbitaceae yang terinfeksi nematoda, akar-akarnya bereaksi terhadap kehadiran Meloidogyne spp. dengan membentuk puru besar dan lunak, sedangkan pada kebanyakan tanaman sayuran yang lain purunya besar dan keras. Gejala penyakit kadang-kadang berupa puru yang sangat kecil dan pada beberapa kasus puru yang terjadi tidak tampak adanya puru. Gejala penyakit pada tanaman monokotil seperti bawang merah dan bawang prei sangat tidak jelas, gejala yang utama adalah adanya tonjolan massa telur.

Tanaman yang terinfeksi berat oleh Meloidogyne spp. sistem akar normal berkurang sampai pada batas jumlah akar yang berpuru berat dan menyebabkan sistem pengangkutan mengalami disorganisasi secara total. Akar baru hampir tidak terjadi. Sistem akar fungsinya benar-benar terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air maupun unsur hara. Tanaman mudah layu, khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil. Pertumbuhan terhambat dan daun mengalami klorosis. Di Muangthai, tanaman sering mengalami kelayuan tanpa terjadi klorosis dan disebut “ penyakit layu hijau” .

Bibit yang terinfeksi menyebabkan banyak tanaman mati pada tempat pembibitan dan apabila ditanam tidak dapat hidup. Tanaman yang dapat hidup, bunga dan produksi buahnya sangat kurang. Infeksi yang berkelanjutan menyebabkan puru dapat terinfeksi oleh jamur dan bakteri penyebab busuk. Infeksi yang menyebabkan stele yang keras merupakan satu-satunya sisa sistem akar yang masih utuh (Netscher & Sikora 1978). Kompleks penyakit yang disebabkan NPA dan patogen layu bakteri adalah salah satu penyebab banyaknya kematian sayuran yang diketahui saat ini (Mai 1985).


(23)

Spesies Nematoda Meloidogyne spp.

M. incognita termasuk endoparasit, yakni hidup di dalam tanah dalam waktu pendek dan kemudian masuk ke perakaran tanaman. Nematoda dapat bergerak bebas di dalam tanah dan tertarik pada eksudat, yaitu cairan yang dikeluarkan oleh akar tanaman. M. incognita merupakan penyebab penyakit yang penting di seluruh daerah tropika (Semangun 2006). Nematoda tersebut bersifat polifag. Spesies tanaman yang menjadi inang nematoda tersebut sekitar 700 spesies, beberapa diantaranya adalah kara, kacang, kubis, wortel, waluh, tomat, labu, kentang, tanaman hias, dan rerumputan (Pitojo 2006). Tanaman rentan yang terinfeksi populasi M. incognita membentuk puru yang muncul satu demi satu, akan tetapi biasanya kumpulan puru terbentuk luas dan kadang membentuk puru yang besar. Tipe puru tidak dipertimbangkan untuk digunakan dalam identifikasi spesies (Eisenback et al. 1981).

M. javanica diketahui di Jawa sejak tahun 1885 pada tebu, tersebar di seluruh dunia, khususnya di daerah tropika sampai ketinggian 3000 m dpl. Spesies tersebut merupakan nematoda puru akar yang paling dominan di pegunungan. Kisaran inangnya lebih dari 700 tumbuhan inang, diantaranya teh, tembakau, kentang, tomat, famili Cucurbitaceae, pohon buah-buahan, serealia, dan tanaman hias. Puru yang ditimbulkan oleh nematoda ini sama dengan pada puru yang ditimbulkan oleh M. incognita.

M. arenaria tersebar di seluruh dunia, meskipun tidak seluas M. javanica dan M. incognita. Tanaman inangnya sekitar 330 jenis tumbuhan, khususnya bermacam-macam sayuran, serealia, rumput-rumputan, kacang-kacangan, buah-buahan, tembakau, dan beberapa varietas kapas (Semangun 2006).

M. hapla menyebabkan gejala yang berbeda dengan gejala yang disebabkan oleh kebanyakan spesies lain. Purunya hanya kecil, bentuknya seperti bola dan terbentuk cabang akar yang banyak berasal dari jaringan puru yang menyebabkan terjadinya suatu sistem akar yang disebut “akar cambang” (Netscher & Sikora 1978).


(24)

13 Identifika Scan cepat dap SEM mem yang ting identifikas mikroskop membukti nematoda akan lebih melalaui p & Carter 1 Tekn taksonomi khusus. K penandaan pantat me pembeda a

Gambar 3 a

asi Morfoloogi Spesies MMeloidogynne spp.

nning Elect pat memerik mberikan ga

ggi. Metode si. Detail m p cahaya. C ikan keguna

dengan me h cepat dar pola perinea 1985).

tron Micros ksa detail m ambar 3 dim

e SEM ce morfologi ya iri-ciri yang aan dalam p elihat sidik p ripada deng al adalah tid

scope (SEM morfologi n mensi denga

enderung m ang seringk g dapat dilih

proses iden pantat, bent gan tes perb dak dapat m

M) merupak nematoda s an resolusi ti mahal dan ali dilihatad hat oleh mik ntifikasi nem

tuk kepala j bedaan inan membedaka

kan alat yan secara meny inggi dan ti

tidak siap dalah denga kroskop cah matoda. Ide antan, dan m ng. Kelema n antara ras

ng dalam w yeluruh. M ingkat kefok tersedia u an menggun haya sudah entifikasi sp morfologi j ahan identi s spesies. (S

waktu Metode kusan untuk nakan dapat pesies antan fikasi Sasser nik identif i pada spes Karakter itu

n pada bag emiliki bag antar spesie

fikasi mor sies Melo meliputi: si ian pantat gian-bagian es (gambar 3

rfologi yan idogyne sp idik pantat, nematoda b n tertentu 3). ng banyak pp. memfok dimana itu betina dewa yang dapa dilakukan kuskan pada u adalah ran asa (Mai 1 at dijadikan

n oleh pe a ciri morf ngkaian lua 985). Pola n sebagai eneliti fologi r dari sidik dasar b

3 Nematod penampan Eisenback

da Meloidog ng pola sid k et al. 198

gyne spp. b dik pantat N

1)

betina dewa NPA(Meloi

asa (3a), ba idogyne spp

agian-bagian p.) (3b)(Sum

n dari mber:


(25)

Banyak spesies Meloidogyne spp. yang telah teridentifikasi, namun yang paling banyak dijumpai hanya ada 4 spesies yaitu: M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Empat spesies tersebut dapat dibedakan berdasarkan pola perineal yang merupakan karakter diagnostik. Kenampakan paling khas pada Meloidogyne adalah pada pola perineal yaitu pola atau gambaran khas pada kutikula di bagian tubuh posterior nematoda betina yang dapat digunakan untuk mencirikan masing-masing spesies nematoda tersebut. Bagian-bagian dari pantat nematoda yang dapat dijadikan penciri untuk identifikasi morfologi antara lain bagian lengkungan dorsal, bidang lateral, striasi, dan ujung ekor nematoda jantan (Mulyadi 2009) ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan morfologis empat spesies utama Meloidogyne spp. berdasarkan pola perineal

Spesies

Dorsal arch (lengkungan dorsal)

Bidang lateral Striasi Ujung ekor

M. incognita Tinggi seperti persegi

panjang

Mempunyai garis-garis di bidang lateral, striasi ditandai adanya bagian yang patah atau seperti porok

Kasar,

bergelombang, kadang-kadang zig-zag

Sering dengan distict whort (alur-alur) melingkar jelas

M. javanica Rendah, membulat

Mempunyai garis-garis dibidang lateral

Kasar, halus sampai sedikit bergelombang

Sering dengan alur melingkar jelas


(26)

15

Spesies

Dorsal arch (lengkungan

dorsal)

Bidang lateral Striasi Ujung ekor

M. arenaria Rendah, membulat

Tidak mempunyai garis-garis dibidang lateral

Kasar, halus sampai sedikit bergelombang

Umumnya tidak mempunyai alur melingka jelas

M. hapla Rendah, membulat

Tidak mempumyai garis-garis di bidang lateral

Halus sampai sedikit

bergelombang

Tidak mempunyai alur melingkar yang jelas ditandai adanya

“bintik-bintik” atau

punctations (Sumber: Eisenback 1985)

Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. Secara Molekuler

Teknik identifikasi tidak terbatas berdasarkan yang berhubungan dengan stadia (telur, juvenil, atau nematoda dewasa), namun sudah memanfaatkan kemajuan teknologi molekuler. Teknik molekuler telah banyak taksonomis untuk mengidentifikasi spesies nematoda yang sulit dilakukan melalui karakteristik morfologi dan kisaran inang. Teknik molekuler untuk identifikasi nematoda dapat dilakukan dengan PCR, menggunakan marker dan sikuen DNA (Harris et al. 1990).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah 1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, 2) oligonukleotida primer, yaitu suatu


(27)

sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, 3) deoksiribonukleatida trifosfat (dNTP), dan enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer.

Proses PCR menggunakan amplifikasi beberapa menit dari DNA yang telah diekstraksi dari nematoda dewasa, telur, atau juvenil dan menjadi bahan untuk analisis lebih lanjut (Haris et al. 1990). Amplifikasi PCR ditujukan untuk gen target menggunakan sepasang oligonukleotida spesifik (forward dan reverse primers). Kepastian variasi dalam ukuran atau sekuen nukleotida dari produk amplifikasi PCR dapat digunakan untuk identifikasi dan karakterisasi (Singh 2009). Power dan Harris (1993) telah menjelaskan perbedaan spesies Meloidogyne spp. berdasarkan amplifikasi DNA dari mitokondria. Pita fragmen PCR berbeda ukurannya pada spesies yang berbeda jelas terlihat saat produk PCR diseparasi dalam gel agarose.

Beberapa genom telah berhasil digunakan dalam identifikasi spesies Meloidogyne. Ribosomal DNA repeat units (rDNA) yang terdiri dari internal transcribed spacer (ITS 1 dan ITS 2 telah digunakan untuk karakterisasi speises Meloidogyne (Blok et al. 1997, Wiliamson et al. 1997, Zijlstra 1997, Zijltra et al. 1997). Sikuen gen yang mengkode protein yang lain juga dapat digunakan dalam identifikasi spesies jika diketahui proteinnya (Tesarova et al. 2004).

Reaksi thermo cycle pada proses PCR dijelaskan menurut Yuwono (2006). Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA templete (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan suhu 95˚C selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55˚C sehingga primer akan “menempel” (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Suhu 55˚C yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37˚C), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang


(28)

17 lebih tinggi (55˚C), spesifitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan menurun.

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses annealing biasanya dilakukan selama 1-2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72˚C selama 1.5 menit. DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan setelah polimerasi. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu menjadi 95˚C. Rantai DNA yang baru berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya.

Reaksi-reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulang lagi sampai 25-30 kali (siklus) sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi.

Semua reaksi PCR akan dilakukan dengan Peltier Thermal Cycler (PTC-200, MJ Research, Inc.,Waltham, MA). Setiap reaksi akan mempunyai volume akhir sebanyak 25 µl di dalam tube berukuran 0.2 ml dan mengandung 2.5 µl 10X PCR buffer (10 mM Tris, pH 8.3, 50 mM MgCl2, Triton X-100), 0.8 µM primer masing-masing, 0.05 mMdNTP masing-masing, dan 0.5 unit DNA polymerase . Setiap reaksi PCR menggunakan DNA murni sebagai templet, 30 ng DNA yang digunakan pada masing-masing reaksi. Primer M. Incognita menggunakan program PCR: 94˚C, 3 min; (94˚C, 1 min; 58˚C, 1 min; 72˚C, 1 min) x 35; 72˚C, 10 min. ITS rDNA primer, programnya adalah: 94 ˚C, 3 min; (94 ˚C, 1 min; (55 ˚C, 1 min; 72˚C, 1 min) x 35; 72˚C, 8 min. Sebanyak 10 µl dari produk


(29)

amplifikasi dari masing-masing reaksi dimuat pada masing-masing sumur, dilakukan dengan elektroforesis pada 1% gel agarose, diwarnai dengan ethidium bromida (EtBr), dan difoto dengan Gel Documentation System (ULV Inc., Upland, CA)(Qiu et al. 2006).


(30)

   

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan pada 3 lokasi yang berbeda, yaitu: Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang pada ketinggian 1200-1400 m dpl (07˚23 26 S, 110˚24 42 E dan 07˚24 16 S, 110˚22 19 E); dan Dusun Deles, Desa Jogonayan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang pada ketinggian 1400-1600 m dpl (07˚24 34 S, 110˚24 37 E dan 07˚23 47 S, 110˚24 53 E) dan >1600 m dpl ( 07˚25 S dan 110˚24 50 E). Identifikasi spesies Meloidogyne spp. dilakukan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan April hingga November 2012.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: survei dan pendataan, identifikasi gejala penyakit di lapangan, identifikasi spesies Meloidogyne spp. berdasarkan morfologi sidik pantat dan teknik Polymerace Chain Reaction (PCR), dan analisis distribusi spesies Meloidogyne spp.

Survei dan Pendataan

Survei

Survei dilakukan secara acak di beberapa lahan pertanaman wortel milik petani di daerah sentra pertanaman wortel di Kabupaten Semarang dan Magelang. Lokasi penelitian tersebut dipilih dikarenakan kedua daerah tersebut merupakan sentra pertanaman wortel di Jawa Tengah dan belum adanya penelitian yang sama


(31)

 

di daerah tersebut. Survei lokasi berdasarkan keberadaan tanaman, gejala penyakit, dan ketinggian tempat. Berdasarkan hasil survei dilakukan pengambilan sampel di 3 lokasi yang berbeda, yaitu: lokasi 1 di Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang pada ketinggian 1200-1400 m dpl; lokasi 2 dan 3 di Dusun Deles, Desa Jogonayan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang dengan ketinggian 1400-1600 m dpl dan >1600 m dpl. Metode pengambilan sampel tanaman/tanah yang digunakan adalah pola zig-zag, diagonal, dan tidak menutup kemungkinan menggunakan metode lain sesuai dengan kondisi di lapangan (Barker & Campbell 1981). Sampel yang diambil berupa umbi wortel yang sakit dan tanah dari setiap lokasi . Sampel wortel yang sakit sebagai bahan untuk mengetahui keberadaan nematoda dalam jaringan atau bagian dari umbi yang sakit tersebut. Sampel tanah diukur tingkat pH atau derajat keasaman tanah dan diidentifikasi jenis tanahnya. Sampel dibawa dalam keadaan lembab, sampel tanah dan umbi wortel dimasukkan ke dalam kantong plastik secara terpisah. Bagian atas tumbuhan biasanya lebih cepat membusuk sehingga harus ditempatkan di dalam kantong khusus jika ingin disimpan dalam beberapa hari (Trigiano et al. 2004).

Pendataan

Pendataan dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai keadaan atau kondisi tanaman di lapangan. Pendataan yang dilakukan meliputi wilayah lahan, ketinggian tempat, luas kebun, varietas wortel yang ditanam, produksi, kehilangan hasil, jumlah dan tipe puru, keberadaan wortel bercabang, adanya hairy root, teknik pengolahan tanah, intensitas dan asal irigasi, jenis tanah, dosis pupuk kandang, penggunaan pupuk kimia dan nematisida. Hasil pendataan digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi, keragaman gejala yang muncul, populasi, dan distribusi setiap spesies


(32)

21  

Pengambilan Sampel Wortel Sakit

Penentuan lokasi untuk pengambilan sampel dilakukan berdasarkan keberadaan tanaman, gejala penyakit, dan ketinggian tempat. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah pola zig-zag, diagonal, dan metode lain sesuai dengan kondisi di lapangan (Barker & Campbell 1981). Sampel yang diambil berupa umbi wortel yang sakit dan tanah dari setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik dan ditata dalam cooling box.

Penghitungan Tingkat Kejadian Penyakit oleh Meloidogyne spp.

Penghitungan persentase kejadian penyakit dilakukan saat sedang melakukan panen wortel. Hal tersebut memudahkan dalam melihat gejala dan menentukan jumlah sampel yang diamati. Sampel wortel sakit yang digunakan sebanyak 100 umbi. Pengambilan sampel dari setiap guludan secara acak sistematis. Perhitungan kejadian penyakit menggunakan rumus sebagi berikut:

Kejadian penyakit (%) : Σ

Σ x 100%

Identifikasi Spesies NPA Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat

Nematoda di dalam jaringan tumbuhan dapat dicat setempat atau dipisahkan dari jaringan. Nematoda yang telah dipisahkan dari jaringan tumbuhan dan tanah harus segera dipersiapkan untuk diamati dengan mikroskop stereo. Nematoda mempunyai kandungan air yang tinggi di dalam jaringan tubuhnya, sehingga dibutuhkan metode khusus untuk membuat preparat permanen. Nematoda cenderung mengkerut dan distorsi, untuk tidak demikian maka secara bertahap air harus diganti dengan gliserin (Dropkin 1989). Pembuatan sidik pantat dapat disiapkan dari bahan akar yang telah disimpan dalam beberapa minggu di lemari


(33)

 

es. Pembu Hartman &

uatan prepar & Sasser (19

rat sidik pan 985) (gamb

ntat berdasa bar 4).

arkan metodde yang telaah dilakukann oleh

Gambar 4

Nem tersebut d tunggal ak Jaringan a jarum bed leher betin hingga isi dalam caw melekat p dipotong bagian dep

Bag obyek. B

4 Teknik p

Meloidog

matoda betin diletakkan d

kan lebih m akar yang m dah untuk m

na nematod i tubuhnya wan petri. A pada kulit s

dengan pis pan dan bag ian pantat Bagian sam

pembuatan

gyne spp. (S

na dewasa dalam cawa mudah dari menutupi n mengeluarka da dipotong keluar. Bag Asam laktat setelah dike sau bedah. gian pantat n

nematoda mping dari

preparat pe umber: Saa

diambil da an sirakus y

pada puru ematoda be an nematoda g dan tubuh gian tubuh t membantu eluarkan isi Pisau beda nematoda d ditempatkan pantat nem ermanen sid avendra et a

ari puru pad yang telah

yang bany etina disobe

a betina dew betina nem yang tersis u menghilan tubuhnya. ah harus da diangkat dar

n pada tem matoda yan

dik pantat n

al. 1997 )

nematoda bbetina

da jaringan diisi sediki yak isi nem ek dengan p

wasa. Kutik matoda ditek sa ditetesi a ngkan isi tu Bagian pe alam keada ri tetesan as

atau akar. it air. Puru atoda betin pisau bedah kula pada b

kan dengan asam laktat ubuh yang m ertengahan t

aan tajam. am laktat. Puru yang nanya. h dan bagian n kuat 45% masih tubuh Kulit mpat yang ng terlalu datar atau lebar dipo gelas otong


(34)

23  

keseluruhan hingga menyisakan bagian sidik pantatnya. Sidik pantat di pindahkan ke gelas obyek yang telah ditetesi dengan gliserin. Bagian muka sidik pantat diarahkan menghadap ke atas. Gelas obyek ditutup dengan cover glass secara perlahan. Gliserin sebaiknya ditetesi dengan tetesan yang sedikit saja. Gliserin yang terlalu banyak dapat diserap dengan kertas penyerap. Bagian sisi cover glass

ditutup dengan perekat dan preparat diberi label. Preparat permanen sidik pantat nematoda dilihat dibawah mikroskop stereo untuk diamati ciri morfologinya untuk menetukan spesies nematoda. Spesies Meloidogyne spp. ditentukan berdasarkan kunci identifikasi yang telah dibuat oleh Eisenback et al. (1981).

Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. dengan Teknik PCR

Ekstraksi DNA Nematoda Betina

Nematoda betina sebanyak 10-20 ekor dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml. Buffer ekstrak (200 mM Tris HCl pH 8.5, 250 mM Na Cl, 25 mM EDTA pH 8.0 dan 0.5% SDS) sebanyak 150 µl ditambahkan ke dalam tabung dan nematoda digerus sampai halus dengan menggunakan “cornical grinder steril”. Larutan C:I = 24:1 sebanyak 150 µl ditambahkan ke dalam tabung, kemudian disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 11000 rpm. Hasil sentrifugasi akan terbentuk endapan dan supernatan, supernatan diambil sebanyak 100 µl dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru. Larutan sodium asetat (CH3COONa 3M: pH 5.2) sebanyak 0.5 volume (50 µl) ditambahkan ke dalam tabung dan disimpan dalam suhu -20˚C selama 10 menit. Suspensi disentrifugasi selama 20 menit pada kecepatan 12000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil sebanyak 100 µl dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru. Sebanyak 1 volume (100 µl) isopropanol ditambahkan ke dalam tabung (larutan dibolak-balik hingga homogen) dan disimpan dalam suhu ruang selama 30 menit. Suspensi disentrifugasi selama 20 menit pada kecepatan 12000 rpm. Cairan isopropanol atau suspensi di dalam tabung dibuang dan ditambahkan 1 volume (100 µl) ethanol 80%. Suspensi disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 12000 rpm.


(35)

 

Cairan ethanol dibuang dan endapan dikeringkan. Buffer TE pH 8 ditambahkan pada tabung mikro sebanyak 30-100 µl sesuai ketebalan endapan DNA. DNA disimpan pada suhu -20˚C hingga digunakan.

Amplifikasi DNA Nematoda

Amplifikasi DNA menggunakan mesin Thermo Cycle PCR. Primer yang digunakan dalam amplifikasi DNA berbeda untuk setiap spesies. M. incognita, M. javanica, dan M. arenaria menggunakan primer spesifik. M. hapla, M. chitwoodi, dan M. fallax menggunakan primer multipleks (tabel 2).

Tabel 2 Primer yang digunakan untuk mendiagnosa keberadaan spesies

Meloidogyne spp. pada deteksi dengan PCR Spesies NPA Tipe

primer

Sequence 5’-3’ Fragmen DNA

(bp)

Sumber

M. incognita Spesifik MI-F 5’- GTG AGG ATT CAG TCT CCC AG-3’ MI-R 5’- ACG AGG AAC ATA CTT CTC CGT CC-3’

1000 Meng et al. 2004

M. arenaria Spesifik Far 5’-TCG GCG ATA GAG GTA AAT GAC-3’ Rar 5’-TCG GCG ATA GAC ACT ACA ACT-3’

420 Zijlstra et al. 2000

M. javanica Spesifik Fjav 5 -GGT GCG CGA TTG AAC TGA GC-3 Rjav 5 -CAG GCC CTT CAG TGG AAC TAT AC-3

720 Zijlstra et al. 2000


(36)

25  

Spesies NPA Tipe primer

Sequence 5’-3’ Fragmen DNA

(bp)

Sumber

M. hapla

M. chitwoodi M. fallax

Multipleks JMV 1 F 5’-GGA TGG CGT GCT TTC AAC-3’ JMV hapla R 5’- AAA AAT CCC CTC GAA AAA TCC ACC-3’ JMV 1 F 5’-GGA TGG CGT GCT TTC AAC-3’ JMV 2 R 5’-TTT CCC CTT ATG ATG TTT ACC C-3’

440

540 670

Wishart et al. 2002

PCR reagen yang digunakan terdiri dari ddH2O, Taq buffer 10x Mg2+, sukrosa, dNTP, primer F (forward), primer R (reverse), dan Taq DNA

polymerase. Komposisi bahan yang dibuat untuk 18 kali kali reaksi yaitu untuk masing-masing spesies Meloidogyne yang akan dideteksi (M. incognita, M.

javanica, M. arenaria, M. hapla, M. chitwoodi, dan M. fallax). Keenam spesies tersebut akan dideteksi pada ketiga sampel nematoda betina yang diperoleh dari ketiga lokasi ketinggian pengambilan sampel yang berbeda. Komposisi bahan dibuat untuk mendeteksi enam spesies dari masing-masing lokasi ketinggian, sehingga dibutuhkan 12 komposisi reaksi. M. incognita, M. javanica, M. arenaria

dideteksi dengan menggunakan primer spesifik untuk setiap spesies Meloidogyne

spp. M. hapla, M. chitwoodi, M. fallax dideteksi dengan menggunakan primer multipleks. Primer ini dapat sekaligus mendeteksi ketiga spesies tersebut. Komposisi PCR reagen yang digunakan ditunjukkan pada tabel 3.


(37)

 

Tabel 3 Komposisi bahan PCR reagen yang digunakan

Bahan 1 kali reaksi (µl) 12 kali reaksi (µl)

ddH2O 16.25 195

Taqbuffer 10x Mg2+ 2.5 30

Sukrosa 2.5 30

dNTP 0.5 6

Primer F 1 12

Primer R 1 12

Taq DNA polymerase 0.25 3

DNA nematoda 1 12

Total 25 300

Mesin PCR (thermo cycle) diprogram sesuai dengan primer yang digunakan dan spesies yang akan dideteksi. Amplifikasi DNA melalui lima tahapan yaitu denaturasi, annealing, extension/elongation, final elongation, final hold. Proses denaturasi, extension/elongation, final elongation, final hold pada proses thermo cycle setiap spesies umumnya sama, yang berbeda yaitu pada proses annealing. Proses amplifikasi DNA spesies M. incognita, yaitu proses denaturasi pada suhu 94˚C selama 4 menit, annealing 57˚C selama 45 detik, extension/elongation

pada suhu 72˚C selama 1.30 menit, siklus tersebut diulang sebanyak 45 kali. Setelah 45 siklus dilanjutkan proses final elongation pada suhu 72˚C selama 7 menit dan proses final hold pada suhu 4˚C.

Perbedaan proses annealing pada setiap spesies dikarenakan perbedaan primer yang digunakan pada deteksi setiap spesies. Proses penempelan “annealing” setiap primer pada cetakan memerlukan suhu yang berbeda pada setiap prosesnya. Proses annealing M. javanica membutuhkan suhu 55 ˚C selama 45 detik, M. arenaria 56˚C selama 45 detik, dan M. hapla 50˚C selama 30 detik.


(38)

27  

Elektroforesis DNA Nematoda Betina

Proses elektroforesis memerlukan empat komponen yaitu, 1) buffer, 2) zat padat atau medium “gel”. 3) arus listrik, ) dan 4) cara untuk memvisualisasikan molekul pada medium setelah elektroforesis. TAE dan TBE adalah buffer standar yang cukup membuffer daya untuk banyak aplikasi. Gel agarose murni dari agar dan digunakan biasanya pada konsentrasi 1% sampai 3%. Gel agarose digunakan untuk memisahkan asam nukleat (DNA dan RNA) dan kelas lain dari molekul, tetapi umumnya bukan untuk protein. Gel agarose dilelehkan dengan pemanasan di dalam microwave atau sumber lain, dan kemudian dituangkan secara horisontal atau dalam papan cetakan. Proses elektroforesis memerlukan muatan kutub (kutub positif dan negatif) untuk menggerakan sampel melalui gel, sehingga arus DC dibutuhkan sebagai tenaga elektromotor yang mendorong beban partikel negatif melalui gel menuju kutub negatif. Tegangan yang digunakan diantaranya 50 dan 300 V, walaupun tegangan 100 V juga digunakan dalam banyak aplikasi. Molekul DNA yang dipisahkan dalam gel agarose mudah divisualisasikan melalui pewarnaan zat warna yang berpengaruh seperti methylene blue atau melalui pewarnaan fluorescent seperti ethidium bromide (Trigiano et al. 2008).

DNA nematoda hasil amplifikasi dianalisis untuk melihat visualisasi DNA melalui proses elektroforesis. Bahan yang digunakan yaitu gel agarose 1% sebanyak 25 g yang dilarutkan di dalam larutan buffer TBE (Tris-HCl 45 mM, asam borat 45 mM, EDTA 1 mM). Larutan gel agarose dipanaskan pada

microwafe selama 2 kali 1 menit, kemudian didinginkan. Larutan gel agarose

yang telah dingin ditambahkan EtBr 0.7 µl, kemudian dituangkan ke dalam wadah cetakan dan dibiarkan hingga mengeras. Pengukuran DNA menggunkan penanda 100 bp ladder. Setiap sampel DNA disiapkan sebanyak 10 µl dan dimasukan ke dalam sumuran yang telah terbentuk pada gel agarose dengan mikro pipet. Elektroforesis dilakukan menggunakan tegangan 50 V DC selama 60 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan transluminator UV dan direkam dengan kamera.


(39)

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel

Desa Vokasi Wisata Kopeng terletak di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Letak geografisnya berada di lereng gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Andong pada ketinggian 1450 m dpl (Tim KKN Kopeng UGM 2012). Ketinggian wilayah Kabupaten Semarang berkisar pada 500-2000 m dpl, dengan ketinggian terendah terletak di Desa Candirejo Kecamatan Pringapus dan tertinggi di Desa Batur, Kecamatan Getasan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh letak geografis Kabupaten Semarang yang dikelilingi oleh pegunungan dan sungai (PDE Kab. Semarang 2012). Desa Jogonayan terletak di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Ketinggian tempat Kecamatan Ngablak antara 1000-1600 m dpl. Kedua desa ini masih dalam satu area yang sama yaitu tepat di bawah kaki Gunung Merbabu.

Pertanaman Wortel di Lokasi Pengambilan Sampel

Lokasi pengambilan sampel yang pertama adalah di Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang yang berada pada ketingian 1200-1400 m dpl. Pengambilan sampel dilakukan saat bulan panen raya wortel yaitu bulan April. Sebagian besar lahan warga sekitar ditanami wortel yang sudah siap panen dengan rata-rata umur tanaman wortel antara 100-120 hari. Pertanaman wortel di daerah tersebut sebagian besar dilakukan secara tumpang sari dengan beberapa jenis tanaman lain seperti seledri, bawang daun, dan tembakau.

Lokasi pengambilan sampel kedua dan ketiga di Dusun Deles, Desa Jogonayan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, dengan ketinggian tempat masing 1400-1600 m dpl dan >1600 m dpl. Kondisi pertanaman di lokasi tersebut masih sama dengan lokasi pengambilan sampel pertama di Desa Kopeng (gambar 5).


(40)

29       Gambar 5 Vari Wortel dip sayuran s (Rukmana membung menghasil dilakukan lebih 30 cm 20 cm. La pembuatan penyempr secara rut hari, deng daun. Has awal tidak jika lahan hasil pane bercabang memendek a Pertanama Desa Ko Kabupate ietas wortel perbanyak sudah umu a 1995). Be

akan tanam lkan biji ya secara sed m dan mem ahan di sem n bedenga rotan. Peme

in sesuai ke gan mencab sil panen rat k mengguna n mereka me en wortel ak g banyak, b

k, dan umb

an wortel di peng, Kab en Magelang

l yang bany secara gene um memra enih wortel man tua hing

ang siap dij derhana yai mbuat beden mprot denga

n. Benih eliharaan t ebutuhan. P but langsung ta-rata pada akan pupuk enggunakan kan banyak berpuru di i yang tidak

i lokasi pen . Semarang g

yak dibudida eratif denga aktekkan p tersedia sen gga umur 1

adikan ben itu mencang ngan ukuran an herbisida disebar pa anaman bi Panen dilak g tanaman a musim pa k kandang, n pupuk kan k yang beram

seluruh b k normal la b

ngambilan sa g, 5b) Dus

ampel, 5a) D sun Deles, Dusun Sido Desa Jogo omukti, onayan, ayakan oleh an biji-bijin pembenihan

ndiri oleh m 20-150 hari nih baru (ga gkul tanah n 90 x 80 cm a merek Ro ada bedeng asanya han kukan setela dan memis nen sekitar karena ber ndang pada mbut dan b bagian umb ainnya akan

h petani ada ya. Petani d n (pembijia masing-mas

i yang kem ambar 6a). pada lahan m dengan tin oundup pad gan pada nya dengan ah umur tan sahkan umb 20 ton/ha. rdasarkan p a saat pengo bercabang. U bi, umbi pe n ditinggalka

alah varietas di sentra pr an) wortel

ing petani d mudian bung

Pengolahan n sedalam nggi bedeng da 1-2 hari

1-2 hari n penyiram naman sekit bi dari batan

Pengolahan pengalaman

olahan awa Umbi worte

ecah, umbi an di lahan

s lokal. roduksi lokal dengan ga akan n lahan kurang gan 15-setelah setelah man air tar 120 ng dan n lahan petani al maka el yang i bulat . Umbi


(41)

 

   

yang panj (gambar 6

jang tidak b 6b).

bercabang ddan mulus adalah kuaalitas umbi yang palinng baik

Gambar 6 Geja ditemukan pada setia gejala yan yang tanam pada perta Geja perbedaan Pada satu pertumbuh pertumbuh ini disebu (gambar 7

a b

6 Benih wo normal da

ortel lokal y an berkualit

yang diguna tas baik (6b

akan oleh p )

petani (6a), umbi worteel yang

Geja

ala penyak n di berbaga ap lokasi p ng sebabkan mannya ker anaman akib ala penyaki n pertumbuh u guludan han tanam han tanama ut sebagai p

7).

ala Penyakkit Meloidoggyne spp. ddi Lapangann

kit dilokasi ai daerah y pengamatan.

n oleh genu rdil, dan jar bat infeksi M

penelitian yang lain. L . Di lahan us Meloid rang-jarang

Meloidogyn

n pada um ahan yang pertanaman ogyne, yait . Gejala ter

ne spp. pada

mumnya sam diamati kur n wortel d tu terdapat rsebut meru a tanaman in

ma dengan rang lebih 8 dapat terliha spot-spot t upakan gejal

nangnya.

n yang 800 m2 at jelas tertentu

la khas

it terjadi p han antara di lahan a mannya. Ba n yang kerd ola sebaran

pada spot l tanaman s antara bagi agian yang dil dan jara n penyakit y

lahan terten ehat dan s an pinggir g terinfeks

ng-jarang. P yang spasia

ntu yang a akit dalam

dan tenga si nematod Pola sebara al (Barker &

akan terliha satu areal ah dapat b da akan t an penyakit & Campbell at jelas lahan. berbeda terlihat seperti l 1981)


(42)

31  

   

Gambar 7

Tana satu gulu Pertumbuh Gejala yan dpl. Dalam tanaman y terlihat sp kurang leb tanam wo siap tanam sama untu sesuai umu Infek cairan sel Gerakan n sel tanam sehingga Netscher & Ciri bagian ata a

7 Gejala k pertanam Dusun D

aman yang udan pertu han tanama ng lebih jel m satu lah yang rimbu

ot tanaman bih 120 har

rtel umumn m. Benih di

uk setiap g ur tanaman ksi NPA di l tanaman nematoda di man. Nemato

tanaman m & Sikora 19 khas puru as pada umu

kerdil dan man wortel Deles (7b)

terinfeksi M

umbuhan t an yang no

las terlihat an setengah un dan rapa yang seluru ri yang sud nya dengan isebar pada guludan. Ta , terlihat rap awali ketik serta meng i dalam jari oda mengis melakukan r

978). akar berad umnya dise tanaman ja yang terinf Meloidogyne

tanaman s rmal akan pada gamb h bagian te at sedangka uhnya kerd dah memasu

menyebar a setiap gul anaman yan pat, dan rim

a nematoda gadakan pen

ingan akar m sap cairan reaksi deng

da di dalam ebabkan kar

b

arang-jaran feksi NPA d

g pada seb di Dusun S

bagian spot idomukti (7

t lahan 7a) dan

e spp. terlih sangat terl tampak rim ar (b) di la erlihat norm

an pada se dil. Tanaman

uki masa pa biji wortel ludan denga ng sehat se mbun daunny

hat pada gam lihat mera mbun dan tu ahan pada k

mal pertum etengah bag

n wortel di anen. Pola yang sudah an jumlah y eharusnya t ya.

mbar a dan b ana (gamb

umbuh sere ketinggian 1 mbuhannya d

gain yang l lahan ini be tanam peta h berumur t yang kurang tumbuh ser b, pada bar a). empak. 1628 m dengan lainnya erumur ani saat tua dan g lebih rempak

a menusuk j netrasi ke mengakibat sel tersebu gan membe aringan aka ujung akar tkan kerusa ut dan men entuk gejala

ar untuk me r tanaman w

kan mekani ngeluarkan

a pada tana

engisap wortel. is pada sekresi aman ( sistem per rena malnut rakaran, gej trisi dan de

jala pada ta efisiensi air.

anaman . Infasi


(43)

 

   

NPA mengurangi jumlah dan efisiensi sistem perakaran. Kekuatan akar yang terinfeksi lebih kecil dari pada akar yang sehat dengan lebih sedikit akar lateral dan rambut akarnya. Absorbsi air dan nutrisi oleh sistem akar dari dalam tanah akan menurun. Translokasi normal air dan nutrisi juga terhambat karena pecahnya sistem pembuluh angkut. Keabnormalan ini membuat tanaman menjadi kerdil, kelayuan saat cuaca panas, daun menguning dan rontok, dan akhirnya mengurangi pembungaan dan pembuahan. Umumnya nematoda tidak sampai mematikan tanaman. Penyakit akar merupakan menyebakan kematian tanaman dikarenakan hasil infeksi sekunder oleh cendawan, bakteri patogen, atau hama (Singh & Sitaramaiah 1994).

Tanaman yang terinfeksi Meloidogyne spp., laju fotosintesis terhambat karena adanya hambatan aliran nutrisi dan air ke daun, terjadinya klorosis, terjadinya penutupan stomata daun (tanaman layu). Hasil-hasil fotosintesis kemungkinan dipecah kembali menjadi energi kimia terutama untuk memenuhi kebutuhan energi tinggi akibat terjadinya hiperplasia dan hipertrofi dalam akar yang membutuhkan energi relatif tinggi. Infeksi NPA menyebabkan terjadinya pengurangan baik panjang maupun jumlah akar dan zat-zat tumbuh yang dihasilkan akar terhambat, sperti giberelin dan sitokinin (Mulyadi 2009).

Pengambilan sampel dilakukan saat musim kering yang sangat jarang air. Di lokasi pertama Dusun Sidomukti pada ketinggian 1362 m dpl sumber pengairan berasan dari saluran irigasi yang cukup kecil dan persediaan air terbatas, sehingga kondisi lahan cenderung kering. Di lokasi kedua dan ketiga Dusun Deles pada ketinggian 1400-1600 m dpl dan >1600 m dpl sumber air berasal dari mata air pegunungan dengan paralon sebagai penyalur sumber air ke lahan-lahan petani. Kondisi di lahan kedua dan ketiga umumnya tidak jauh berbeda dengan lahan di lokasi pertama.

Kondisi lahan dengan tanah yang kering dan kapasitas air dalam tanah yang terbatas sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan tanaman. Nematoda sangat peka terhadap kondisi lingkungan hidupnya. Lingkungan yang sesuai dengan nematoda akan semakin mendukung terjadinya infasi dan tingkat kerusakan yang


(44)

33  

   

semakin berat. Tingkat kejadian penyakit pada setiap lokasi pengamata disajikan pada tabel 4.

Tabel 4 Kejadian penyakit oleh infeksi Meloidogyne spp. pada setiap lokasi pengambilan sampel

Lokasi pengambilan sampel Ketinggian (m dpl) Kejadian penyakit (%)

Dusun Sidomukti 1200-1400 52

Dusun Deles 1400-1600 63

Dusun Deles >1600 67

Hasil penghitungan penyakit dilakukan berdasarkan semua gejala penyakit oleh infeksi Meloidogyne spp., baik berupa puru, umbi bercabang, umbi berambut (hairy root), dan umbi bulat memendek. Di lokasi pertama, Dusun Sidomukti (1200-1400 m dpl) kejadian penyakit sebesar 52%, pada lokasi kedua dan ketiga di Dusun Deles sebanyak 63% (ketinggian 1400-1600 m dpl) dan 67% (ketinggian >1600 m dpl). Persentase kejadian penyakit menggambarkan tingkat infeksi oleh

Meloidogyne spp. faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat infeksi oleh nematoda antara lain sistem budidaya, cara olah tanah, suhu, pH tanah, dan kelembaban tempat. Sistem budidaya dan cara olah tanah pada setiap lokasi pengambilan sampel umumya tidak berbeda karena daerah tersebut masih berdekatan sehingga kebiasaan budidaya dan olah lahan petani masih relatif sama. Faktor lain seperti suhu, pH tanah dan kelembaban berpengaruh terhadap biologi, populasi, dan persebaran dari setiap spesies Meloidogyne spp. Populasi akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan di lapangan. Populasi Meloidogyne spp. yang semakin banyak menyebabkan tingkat kerusakan semakin tinggi.

Sifat-sifat tanah sangat berpengaruh terhadap nematoda. Nematoda membentuk populasi yang besar pada tanah pasiran, tanah lempungan atau tanah berat yang basah kurang disukai, dan dalam beberapa hal tekstrur tanah tidak mempengaruhi. Tekstur tanah berpengaruh langsung dalam pengaturan pertumbuhan populasi nematoda. Tekstur tanah erat hubungannya dengan distribusi ukuran pori tanah dan perilaku air tanah. Faktor tersebut menentukan kecocokan


(45)

 

   

tanah untuk kehidupan nematoda. Tekstur tanah sangat penting dalam patogenisitas, sebab pengaruhnya terhadap tingkat pengeringan. Konsentrasi nematoda yang rendah menyebabkan kerusakan lebih besar di dalam tanah dengan kapasitas air tanah yang rendah dibandingkan dengan di dalam tanah yang mempunyai kapasitas air tinggi (Dropkin 1989 ).

Jenis tanah tanah pada lokasi pengambilan sampel umumnya merupakan jenis tanah andosol. Kedua lokasi ini tepat berada di daerah kaki Gunung Merbabu. Wilayah di daerah kaki pegunungan umumnya memiliki jenis tanah andosol yang terbentuk dari abu vulkan dari letusan gunung berapi yang masih aktif. Tanah andosol adalah tanah yang berwarna hitam kelam, sangat porus, mengandung bahan organik dan lempung (clay ) tipe amorf, terutama alofan serta sedikit silika, alumina atau hidroxida besi.

Ciri morfologi tanah andosol yaitu horizon A1 yang tebal berwarna kelam, coklat sampai hitam, sangat porus, sangat gembur, tidak liat (non-plastic), tidak lekat (non sticky), struktur remah atau granuler, terasa berminyak (smeary) karena mengandung bahan organik antara 8% sampai 30% dengan pH 4.5-6. Sifat mineralogi berupa fraksi debu dan pasir halus berupa gelas vulkanik, dengan mineral feromagnesium, dan fraksi lempung sebagian terbesar alofan mengandung juga halloysit. Sifat fisik tanah andosol adalah selalu jenuh air jika tertutup vegetasi, sangat gembur tetapi mempunyai derajat ketahanan struktur yang tinggi sehingga mudah diolah, dan permeabilitas sangat tinggi karena mengandung banyak makropori (Darmawijaya 1990).

Berdasarkan sifaf-sifat dari jenis tanah andosol tersebut jelas berpengaruh terhadap tingkat distribusi dan kerusakan oleh nematoda. Sifat tanah yang bertekstur gembur, tidak liat, sangat porus, banyak mengandung fraksi debu dan pasir, serta kapasitas air yang tinggi mempermudah nematoda bergerak dan terdistribusi ke banyak lokasi di lahan. Juvenil di tanah berpasir mampu bergerak horisontal dan vertikal sejauh 75 cm dalam 9 hari (Prot 1977).


(46)

35  

   

Tipe Gejala yanng Ditemukkan pada UUmbi Worttel

Geja bagian um malformas bercabang dilihat pa ditemukan Kurniawan umbi berc

root) (gam

ala penyaki mbinya. Um si dengan g dua pada

ada pangka n di lokasi p

n (2010), T cabang, umb mbar 8).

it pada wo mbi wortel y berbagai b pangkal ak al akar dan pengambila Taher (2012

bi pecah, u

ortel terliha yang terinfe bentuk yan kar, akar p n cabang an sampel sa

2), dan Hik umbi pendek

at jelas jika eksi nemato ng berbeda. pecah, dan akar (Davi ama dengan kmia (2012 k membula

a wortel di da biasanya . Malforma juga puru is 2004). T n gejala yan 2). Tipe gej at, dan umb

icabut dan a akan men asi selalu t

yang tidak Tipe gejala ng dilaporka ala tersebu bi berambut dilihat ngalami terlihat k bagus a yang an oleh ut yaitu (hairy

Gambar 8

Geja beda. Umb Umbi dap yang beru bergeromb memanjan umbi. Cab simetris at a

8 Berbaga bercaban berambu ala penyaki bi bercaban at bercaban ukuran bes bol. Umbi ng. Cabang bang pada u

tau tidak sam

ai bentuk g ng, 8b) umb ut (hairy ro

it pada um ng terbentuk ng dua atau sar cabangn yang kecil dapat mun umbi ukuran ma besar. b gejala infek bi pecah, 8c

ot)

mbi wortel m k mulai dari

lebih, bahk nya biasan

biasanya b ncul pada u nnya berbed c

ksi NPA p c) umbi pen

memiliki v i pangkal um kan ada yan nya berukur bercabang umbi bagian da-beda, ada c pada umbi ndek membu ariasi bentu mbi bagian ng sampai b

ran besar lebih sedik n pangkal, t a yang sime d

wortel 8a) ulat, dan 8d

) umbi d) umbi

uk yang be atas (gamb bercabang 8

tetapi mem kit dan caba tengah, dan etris dan jug

erbeda-bar 8a). . Umbi mendek angnya n ujung ga tidak


(47)

 

   

Gejala umbi pecah yaitu umbi pecah atau membelah. Umbi pecah dapat pecah atau retak yang tidak beraturan dan ada juga yang pecah beraturan (gambar 8b). Umbi yang membulat biasanya akan pecah tidak beraturan dan akan membelah dimulai dari pangkal sampai ujung umbi. Umbi akan terbelah menjadi dua bagian tetapi tetap menempel pada pangkal umbi. Umbi yang berbentuk memanjang biasanya hanya retak secara beraturan dan tampak rapi seperti disayat pisau.

Gejala umbi pendek membulat, umbi dapat berbentuk bulat sempurna dan memendek (gambar 8c). Gejala lain dapat berbentuk lonjong, oval, atau bulat tidak beraturan dan memendek. Ukuran umbi antara 3-6 cm.

Gejala umbi berambut (hairy root) berupa rambut akar yang muncul dari setiap bagian permukaan umbi, biasanya pada dua pertiga bagian atas umbi (gambar 8d). Rambut akar dapat muncul pada setiap gejala yang lain seperti pada umbi pendek membulat atau umbi bercabang, akan tetapi biasanya rambut akar berjumlah banyak pada umbi yang memanjang normal. Pada rambut akar biasanya terdapat puru bulat kecil yang muncul disepanjang rambut akar. Rambut akar dapat bertekstur halus tanpa adanya puru.

Berbagai bentuk gejala yang ditimbulkan oleh infeksi Meloidogyne spp. umumnya ditemukan disetiap lokasi pengambilan sampel. Intensitas gejala penyakit pada setiap lokasi

ketinggian

berbeda. Perbedaan berupa gejala yang dominan pada lokasi ketinggian tertentu.

Tabel 5 Keberadaan tipe gejala penyakit oleh infeksi Meloidogyne spp. pada umbi wortel di setiap lokasi pengambilan sampel

Bentuk umbi Ketinggian (m dpl)

1200-1400 1400-1600 >1600

Umbi bercabang + + +

Umbi pecah + + +

Umbi pendek membulat + + +

Umbi berambut (hairy root) + + +

Keterangan: + = ada - = tidak ada


(1)

PENYEBAB UMBI BERCABANG PADA WORTEL (Daucus

carota L.) DI WILAYAH KABUPATEN SEMARANG DAN

MAGELANG, JAWA TENGAH

RESTU GILANG PRADIKA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

 

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produksi sayuran Indonesia [internet]. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia; [diunduh 2012 September 10]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&dafta r =1&id_subyek=55&notab =18.

[PDE] Pengelola Data Elektronik Kab. Semarang. 2012. Geografi dan Topografi [internet]. Semarang (ID): PDE Kab. Semarang; [diunduh 2012 September 6 ]. Tersedia pada:http://www.semarangkab.go.id/utama/selayang-pandang /ko ndisi-umum/geografi-topografi.html.

Agrios GN. 1988. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Ed ke-3. Busnia M, penerjemah.

Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant

Pathology.

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. California (US): Department of Plant Pathology, University of Florida.

Barker KR, Campbell CJ. 1981. Sampling nematoda populations. Di dalam: Plant

Parasitic Nematodes Vol 1. Zuckerman BM, Mai WF, Rohde RA “editor”. New York (US): Academic press. Hlm: 281-301.

Blok VC, Philips MS, Fargette M. 1997. Comparison of sequences from the

ribosomal DNA intergenetic region of Meloidogyne mayaguensis and other

major tropical root-knot nematodes. Journal of Nematology. 29: 16-22. Cahyono B. 2002. Wortel, Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.

Yogyakarta (ID): Kanisius.

Dao DF. 1970. Climate influence of temperature on distribution pattern of plant parasitic and soil inhabiting nematodes. Meloidogyne van Landboushogesch ool, Wageningen. 70 (2): 1-187.

Darmawijaya MI. 1990. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan

Pelaksanaan Pertanian Di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Davis RM. 2004. Carrots disease and their management, Diseases fruits and vegetables. Netherlands: Kluwer Academic Publisher; [diunduh 2012 September 20 ]. Tersedia pada: http://www.springerlink.com/content/q03 4 06j41286ux52/.

Dropkin VH.1989. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Ed ke-2. Supratoyo,

penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Introduction to Plant Nematology.


(3)

 

   

Eisenback JD. 1985. Diagnostic characters usefull in the identification of the four most common spesies of root knot nematodes (Meloidogyne spp.). Di dalam: Sasser JN, Carter CC , “editor”. An Advanced Treatise on Meloidogyne, Vol.1 Biologi and Control. Nort Carolina (US): Department of Plant Pathology, Nort Carolina University and the United Agency for International Development.

Eisenback JD, Hirschmann H, Sasser JN, Triantaphyllou AC. 1981. A guide to the four most common species of root-knot nematodes (Meloidogyne spp.) with a pictorial key. Nort Carolina (US): Department of Plant Pathology and Genetic Nort Caroline University and The United States Agency for International Development.

Esbenshade PR, Triantaphyllou AC. 1990. Isozyme phenotypes for identification of Meloidogyne spesies. Journal of Nematology. 22(1): 10-15.

Fennimore SA, Richard SJ, Flewelling NL. 2000. Crop profile for carrots in California. California (US): Department of Vegetables Crops, University of California; [diunduh 2012 September 20 ]. Tersedia pada: http://www. ipmcenters.org/cropprofiles/docs/wacarrot.html.

Ferris H, van Gundy. 1979. Meloidogyne ecology and host interrelationship.

Dalam: Lamberti F, Taylor CE “editor”. Root-knot Nematodes (Meloidogyne

spesies). Systematic, Biology, and Control. London (UK). Academik Press. 205-230

Harris TS, Sandall LJ, Powers TO. 1990. Identification of single Meloidogyne juveniles by polymerace chain reaction amplification of mitochondrial DNA. Journal of Nematology. 22 (4): 518-524.

Hartman KM, Sasser JN. 1985. Iedentifications of Meloidogyne species n the basis of differential host test and perineal pattern morphology. Di dalam: Sasser

JN, Carter CC , “editor”. An Advanced Treatise on Meloidogyne, Vol.1

Biologi and Control. Nort Carolina (US): Department of Plant Pathology, Nort Carolina University and the United Agency for International Development.

Hikmia Z. 2012. Identifikasi spesies Meloidogyne spp. penyebab umbi bercabang pada tanaman wortel di Jawa Timur. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8 (3): 73-78.

Jepson SB. 1987. Identification of Root-Knot Nematodes (Meloidogyne species).

Wellingford (UK): CAB International. Hlm: 252.

Kurniawan W. 2010. Identifikasi penyakit umbi bercabang pada wortel (Daucus

carota (L.) DI Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Luc M, Sikora RA, Bridge J. 1995. Nematoda Parasitik Tumbuhan di Pertanian

Subtropik dan Tropik. Supratoyo, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah

Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Parasitic Nematodes in


(4)

 

Mai WF. 1985. Plant Parasitic Nematodes: Their Threat to Agriculture. Di dalam: Sasser JN, Carter CC , “editor”. An Advanced Treatise on Meloidogyne, Vol.1 Biologi and Control. Nort Carolina (US): Department of Plant Pathology, Nort Carolina University and the United Agency for International Development.

McKay A. 2004. Carrots in Australia. Western Australia (AU); [diunduh 2012 September 20]. Tersedia pada: http://www.carrotmuseum.co.uk/australia.ht ml.

Meng QP, Long H, Xu JH. 2004. PCR assay for rapid and sensitive identification of three major root-knot nematodes, Meloidogyne incognita, M.javanica and M. arenaria. Laboratory of Monitoring and Management of Disease and Insect, Ministry of Agriculture, Nanjing Agriculture University, Nanjing [China]: Acta Phytopathologica Sinica [internet]. [diunduh 2012 September 21]. Tersedia pada: http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTotal-ZWBL2004 03002.htm. DOI: CNKI:SUN:ZWBL.0.2004-03-002

Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University

Press

Netscher C & Sikora RA. 1978. Nematoda parasitik pada sayuran. Di dalam: Luc

M, Sikora RA, Bridge J, “editor”. Nematoda Parasitik Tumbuhan, Di

Pertanian Subtropik dan Tropik. Supratoyo, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Parasitic Nematodes in Subtropical and Tropical Agriculture. Hlm 313-326.

Pitojo S. 2006. Benih Wortel. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius

Power TO, Harris TS. 1993. A polymerase chain reaction method for identification of five major Meloidogyne species. Journal of Nematology. 25 (1): 1-6. Prot JC. 1977. Amplitude at cineteque des migrations de de nematode Meloidogyne

javanica sous I’influence d’un plant de tomate. Cahiers O.R.T.O.M. Serie Biologie. 11 : 85-90

Qiu JJ, Westerdahl BB, Anderson C, Williamson VM. 2006. Sensitive PCR detection of Meloidogyne arenaria, M.incognita, M. javanica extracted from

soil. Jurnal Nematology (internet); 38 (4): 434-441. [di unduh 2012

September 30]. Tersedia pada: http://journals.fcla.edu/nematropica/article/ view/69609/67269

Rukmana R. 1995. Bertanam Wortel. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius

Saavendra LG, Davila GF, Cano CM. 1997. Wheat program, practical guide to the identification of selected diseases of wheat and barley. Alma McNab A “editor”. Mexico. Centro Internacional de Mejoramiento de Maíz y Trigo (CIMMYT).


(5)

 

   

Sasser JN, Carter CC. 1985. Overview of the international Meloidogyne project 1975-1984. Di dalam: Sasser JN, Carter CC , “editor”. An Advanced Treatise on Meloidogyne, Vol.1 Biologi and Control. Nort Carolina (US): Department of Plant Pathology, Nort Carolina University and the United Agency for International Development.

Semangun H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gadjah

Mada University Press.

Singh RS, Sitaramaiah K. 1994. Plant Pathogens, The Nematodes. New York (US): International Science Publisher.

Singh SK. 2009. Morphological and molecular characterazation of root-knot nematode (Meloidogyne spp.) diversity in Fiji [Thesis]. School of Biological and Chemical Sciences, Faculty of Science, Technology, and Environment. University of the South Pasific.

Taher M. 2012. Identifikasi Meloidogyne Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8 (1): 16-21.

Taylor AL, Sasser JN, Nelson LA. 1982. Relationship of climate and soil characteristics to geographical distribution of Meloidogyne spesies in agricultural soil. Nort Carolina (US): Department of Plant Pathology, Nort Carolina University and the United Agency for International Development. Tesarova B, Zouhar M, Rysanek P. 2004. Development of spesies spesific

molecular method for detection of Meloidogyne incognita. Acta fytotechnica et zootechnica. 7: 316-318.

Tim KKN Kopeng UGM. 2012. Desa Vokasi Kopeng [internet]. [diunduh 2012 September 2012]. Tersedia pada: http://desakopeng.com /index .php ?option =com_content&view=article&id=13:sekilas-tentang-desa-vokasi-wisata-kopeng&catid=4:umum.

Trigiano RN, Ownley BH, Trigiano AN, Coley J, Gwin KD, Moulton JK. 2008. Two simple and inexpensive laboratory exercise for teaching agarose gel electrophoresis and DNA fingerprinting. Hort Technology. 18 (1): 177-188. Trigiano RN, Windham MT, Windham AS “editor”. Plant Pathology: Concepts and

Laboratory Exercise. Washington DC (US): CRC Press.

Williamson VM, Caswell-Chen EP, Westerdahl BB, Wu FF, Cary G. 1997. A PCR assay to identify and distinguish single juvenile of Meloidogyne hapla and M. chitwoodi. Journal of Nematology. 29 (1): 9-15.

Wishart J, Philips MS, Blok VC. 2002. Ribosomal intergenic spacer: A polymerace chain reaction diagnostic for Meloidogyne chitwoodi, M. fallax, and M. hapla. The American Phytopathological Society. 92 (8): 884-892.

Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polimerace Chain Reaction. Yogyakarta (ID): Penerbit ANDI Yogyakarta.


(6)

 

Zijlstra C. 1997. A fast PCR assay to identify Meloidogyne hapla, M. chitwoodi, and M. fallax, and to sensitively differentiate them from each other and from M. incognita in mixtures. Journal of Nematology. 20 (5): 505-511.

Zijlstra C. 2000. Identification of Meloidogyne chitwoodi, M. fallax, and M. hapla based on SCAR-PCR a powerfull way of enabling reliable identification of populations or individuals that share common traits. Europen Journal of Plant Pathology. 106: 283-290.

Zijlstra C, Dorine TH, Donkers-Venne M, Fargette M. 2000. Identification of Meloidogyne incognita, M. javanica, and M. arenaria using sequnce

characterised amplified region (SCAR) based PCR assay. Journal of

Nematology. 2(8): 847-853.

Zijlstra C, Lever EM, Uenk BJ, van Silfhout CH. 1997. Differences between ITS

regions of isolate of root-knot nematodes Meloidogyne hapla and M.

chitwoodi. The American Phytopatological Society. 85 (10): 1231-1237.