Communities Structure of Macrozoobenthos and Disability of Chironomid Larvae at Upstream of Cisadane River Bogor West Java.

STR
RUKTUR
R KOMUN
NITAS MA
AKROZOO
OBENTO
OS DAN
KEC
CACATAN
N LARVA
A CHIRON
NOMID D
DI HULU SUNGAI
S
CISADANE BOGOR JAWA BA
ARAT

DYAH
H MUJI RAHAYU
R


SEKOLA
AH PASCA
ASARJAN
NA
NSTITUT
T PERTAN
NIAN BOG
GOR
IN
BOGOR
R
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Struktur
Komunitas Makrozoobentos dan Kecacatan Larva Chironomid di Hulu
Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Dyah Muji Rahayu
NRP C251090051

 

RINGKASAN
DYAH MUJI RAHAYU. Struktur Komunitas Makrozoobentos dan
Kecacatan Larva Chironomid di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat.
Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan YUSLI WARDIATNO.
Kegiatan antropogenik terhadap ekosistem sungai menyebabkan
terjadinya pencemaran sungai. Pencemaran sungai mengakibatkan

terjadinya perubahan komunitas organisme perairan. Indikator biologi
digunakan untuk mendukung indikator fisika dan kimia dalam mengevaluasi
status ekologi perairan. Indikator biologi yang saat ini dikembangkan adalah
makrozoobentos, karena memiliki keunggulan berberapa diantaranya :
terdistribusi secara luas, hidupnya menetap, siklus hidupnya panjang,
metode pengambilan sampel mudah dan murah, dan kunci identifikasi telah
tersedia. Larva Chironomid merupakan kelompok makrozoobentos yang
hidup di sedimen. Kecacatan pada larva Chironomid disebabkan peraiaran
sungai terkontaminasi dengan logam berat, salah satunya Hg.
Sungai Cisadane memiliki manfaat besar bagi kehidupan masyarakat
di Bogor, Tangerang dan sebagian Jakarta. Manfaat tersebut diantaranya
sebagai sumber air minum, perikanan, dan penambangan pasir. Aktivitas
manusia di sekitar hulu Sungai Cisadane, seperti pembuangan limbah rumah
tangga, pertanian, peternakan, dan limbah Hg dari tambang emas tradisional
(gurandil) yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sudarso (2009) antara tahun 2006-2008,
dibagian hulu Sungai Cisadane menunjukkan hasil pengukuran kekeruhan
dan konduktivitas (µS/cm) mengalami kenaikan dari hulu ke hilir
(kekeruhan 3,83-31,74 konduktivitas 0,034-0,087). Kontaminasi logam
berat tertinggi terdapat di daerah Curug Bitung, yaitu Hg air 6,89 µg/L dan

Hg sedimen 16,62 µg/L.
Penelitian ini bertujuan : 1). Mendeskripsikan status perairan
berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi; 2). Mengkaji pengaruh
perubahan kualitas air dari bahan organik dan Hg terhadap kelimpahan
makrozoobentos di hulu Sungai Cisadane; dan 3). Mengungkap adanya
kecacatan larva Chironomid yang di temukan di hulu Sungai Cisadane.
Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Maret 2012, di empat lokasi
di hulu Sungai Cisadane, meliputi Cikuluwung (tidak ada kegiatan
antropogenik) Cisarua (pembuangan limbah rumah tangga dan pengolahan
emas secara tradisional), Curug Bitung (pembuangan limbah rumah tangga,
pertanian, dan pengolahan emas secara tradisional), dan Lukut (pembuangan
limbah rumah tangga dan pengolahan emas secara tradisional). Pengukuran
kualitas air meliputi: suhu, kecepatan arus, DO, TDS, konduktivitas, pH,
TOM, organik sedimen, serta kandungan Hg dalam perairan dan sedimen.
Sistem pelaksanaan pengambilan sampel makrozoobentos berdasarkan
rapid assessment dan pengambilan makrozoobentos menggunakan kick net.
Analisis data pada penelitian ini antara lain: Indeks Shannon Wiener, Indeks
Keseragaman, Kekayaan Taxa, Indeks Signal, Indeks EPT, one way

ANOVA dan uji Turkey, Indeks Pencemaran, dan Indeks Pencemaran Hg di

Sedimen.
Status perairan di hulu Sungai Cisadane berdasarkan Indeks
Pencemaran dan Indeks Pencemaran Logam Berat Hg di sedimen tergolong
tercemar ringan, berdasarkan Indeks EPT tergolong baik hingga tercemar
sedang, dan berdasarkan Indeks Signal tergolong tercemar ringan hingga
tercemar sedang.
Kualitas perairan yang berpengaruh terhadap kelimpahan
makrozoobentos dengan menggunakan analisis one way ANOVA yang
dilanjutkan dengan uji Tukey adalah pH, suhu, TDS, dan konduktivitas yang
meliputi daerah Cikuluwung (ST 1) dan Curug Bitung (ST 3) serta ST 1 dan
Lukut (ST 4). Larva Chironomid yang ditemukan di hulu Sungai Cisadane
yang mengalami kecacatan di bagian mandible dan mentum meliputi
Polypedilum dan subfamily Orthocladinae yang disebabkan oleh adanya
pencemaran bahan organik dan Hg.

Kata kunci: bahan organik dan Hg, Sungai Cisadane, makrozoobentos,
kecacatan larva Chironomid

SUMMARY
DYAH MUJI RAHAYU. Communities Structure of Macrozoobenthos and

Disability of Chironomid Larvae at Upstream of Cisadane River Bogor West Java. 
Supervised by HEFNI EFFENDI and YUSLI WARDIATNO
Anthropogenic activities on river ecosystems will cause river pollution.
Pollution in the river resulted in a change of aquatic organisms communities.
Biological indicators are used to support the physical and chemical indicators in
evaluating the ecological status of waters. Macrozoobenthos is one of biological
indicator that currently being developed. It because biological indicator has many
advantages include widely distributed, sedentary life, long life cycle, the sampling
method is easy and inexpensive, and identification keys are available. Chironomid
larvae are macrozoobenthos groups that live in the sediment. Disability of
Chironomid larvae is caused heavy metals contaminated, one of which Hg.
Cisadane River has great benefits for the community in Bogor, Tangerang,
and Jakarta area. The benefits are source of drinking water, fisheries, and sand
mining. Human activities around the upstream of Cisadane River, such as
household waste disposal, agriculture, animal husbandry, and Hg waste from
traditional gold mining (gurandil) led to a decline in water quality. Research
conducted by Sudarso (2009) between 2006-2008, upstream of Cisadane River
showed that turbidity and conductivity increased from upstream to downstream
(3,83 to 31,74 and 0,034 to 0,087µS/cm). Heavy metal (Hg) contamination was
highest in Curug Bitung area. Hg in water is 6,89 µg/L and Hg sediment 16,62

µg/L.
This study was aimed to: 1). Describe the status of waters based on the
parameters of physics, chemistry, and biology; 2). Assessing the impact of
changes in water quality (organic matter and Hg) on macrozoobenthos abundance
in the upstream of Cisadane River and 3). Revealed Chironomid larvae disability
found in the upstream of Cisadane River.
The research was conducted in January-March 2012 at four locations in
the upstream of Cisadane River, covering Cikuluwung (no anthropogenic
activity), Cisarua (household waste disposal and mining of traditional gold),
Curug Bitung (household waste disposal, agriculture, and mining of traditional
gold), and Lukut (household waste disposal and mining of traditional gold). Water
quality measurements include temperature, flow velocity, DO, TDS, conductivity,
pH, TOM, organic sediment, and the amount of Hg in waters and sediments.
Macrozoobenthos sampling system was implemented based on rapid assessment
and a kick net was used to take macrozoobenthos. Data analysis of this study
include Shannon Wiener Index, Evenness Index, Taxa Richness, Signal Index,
EPT Index, one way ANOVA and Turkey test, Pollution Index, and Hg in
Sediment Pollution Index.
Status of waters in the upstream of Cisadane River based on Pollution
Index and Heavy Metal Pollution Index (Hg) in sediments polluted relatively low,


based on EPT Index is fair to moderate polluted, and Signal Index from low to
moderate polluted.
Water quality which affects the macrozoobenthos abundance using one
way ANOVA analysis continued by Tukey's test were pH, temperature, TDS, and
conductivity which covers an area Cikuluwung (ST 1) and Curug Bitung (ST 3)
also ST 1 and Lukut (ST 4). Chironomid larvae were found in the upstream of
Cisadane River which have disability at the mandible and mentum (Polypedilum
and Orthocladinae subfamily) is caused by the presence of organic matter and Hg
pollution.

 
Keywords:
disability of Chironomid larvae, Cisadane River, macrozoobenthos,
organic matter and Hg  
 

 
 
 

 
 
 
 

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DAN
KECACATAN LARVA CHIRONOMID DI HULU SUNGAI
CISADANE BOGOR JAWA BARAT


DYAH MUJI RAHAYU

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
 

 
 
 
 
 
 

 
 
 
 

Penguji Luar Komisi:

Dr. Jojok Sudarso, M.Sc.

Judul Tesis : Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Kecacatan Larva
Chironomid di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat
Nama
: Dyah Muji Rahayu
NIM
: C251090051
 
 

Disetujui oleh
 

Komisi Pembimbing

 
 
 

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.
Anggota 

Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil.
Ketua

 
 

 

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan
 
 

Diketahui oleh
Dekan Sekolah Pascasarjana
 
 
 

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga 

Tanggal Ujian: 20 Mei 2013

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Kecacatan Larva
Chironomid di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat”. Penelitian ini diajukan
sebagai prasyarat untuk meraih gelar Magister.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku
pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga tesis
ini dapat selesai.
2. Gunawan Pratama Yoga, M.Sc. peneliti di Limnologi LIPI atas
kesempatan yang diberikan untuk bisa mengikuti penelitian beliau.
3. Kedua orang tua penulis serta adek yang selalu memberikan motivasi serta
doanya untuk kelancaran tesis.
4. Suami tercinta Ayatullah S.Fil.I MA. dan anakku tersayang Nabila az
Zahra yang selalu mejadi sumber inspirasi dan motivasi dalam proses
penelitian dan penulisan tesis.
5. Rekan-rekan SDP 2009 dan 2010 (Aliati Iswantari, Gema Wahyu
Dewantoro, Sri Wahyuni, Anti Landu, Munirah Tuli, Haiatus Shohihah,
Darwin, dan Robin) yang telah banyak membantu baik tenaga dan pikiran
serta selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.
6. Serta rekan-rekan yang lainnya yang telah memberikan doa untuk
kelancaran tesis.
Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.
Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2013

Dyah Muji Rahayu

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan peradaban yang cepat dalam beberapa dekade terakhir telah
menyebabkan meningkatnya dampak manusia terhadap lingkungan alam
(Stryjecki 2002). Kegiatan manusia (antropogenik)memiliki efek yang kuat
terhadap ekosistem perairan terutama pada komunitas biotik dan fungsi ekologi
(Maddock 1999). Penelitian biota air memiliki banyak manfaat, diantaranya untuk
mengetahui adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan antropogenik
(Chessman 1995; Plafkin et al. 1985).
Indikator biologi digunakan untuk mendukung indikator fisika dan kimia
dalam mengevaluasi status ekologi di banyak negara (European Commission
2003). Penilaian kualitas air berdasarkan indikator biologis telah dikembangkan
selama puluhan tahun, 60% diantaranya telah menggunakan makrozoobentos (De
Pauw & Hawkes 1993). Makrozoobentos merupakan salah satu indikator
lingkungan perairan yang baik (Chessman 1995; Plafkin et al. 1985).
Rosenberg dan Resh (1993), beberapa keuntungan menggunakan
makrozoobentos sebagai bioindikator, diantaranya: (1) Terdistribusi secara luas;
(2) Kemampuan dalam merespon perubahan kualitas air; (3) Banyak spesies yang
bersifat menetap; (4) Siklus hidupnya panjang sehingga mampu mengikuti efek
gangguan yang regular atau intermitten, dan konsentrasi yang beragam; (5)
Metode berkembang dengan baik; (6) Peralatan yang digunakan sederhana dan
tidak mahal; dan (7) Taksonomi sebagian besar kelompok makrozoobentos telah
diketahui dan kunci identifikasi telah tersedia.
Larva Chironomid (Diptera) merupakan salah satu kelompok
makrozoobentos yang dianggap sebagai organisme yang ideal untuk bioassay
karena sebagian besar hidupnya berada dipermukaan sedimen dan memiliki siklus
hidup yang pendek. Kriteria tersebut membuat mereka cocok sebagai organisme
pemantau ekotoksikologi (Warwick 1985; Ingersoll & Nelson 1990; Vermeulen
1995). Logam berat salah satunya Hg yang mencemari perairan dapat
menyebabkan kecacatan pada larva Chironomid (Warwick 1979; Diggins &
Stewart 1993; Jansens de Besthoven & van Speybroeck 1994).
Merkuri (Hg) merupakan salah satu jenis logam berat yang sangat
berbahaya bagi lingkungan, khususnya Hg metil (MeHg). Masuknya Hg kedalam
tubuh organisme perairan dapat melalui tiga proses, yaitu akumulasi secara
biologi (bioakumulasi), proses perpindahan secara biologi (biotransfer), dan
pembesaran secara biologi (biomagnifikasi) yang terjadi secara alamiah.
Organisme perairan dapat mengakumulasi Hg dari air, sedimen, dan makanan
yang dikonsumsi. Bahaya Hg metil (MeHg) salah satu contohnya terjadi di Teluk
Minamata, Jepang. Produk sampingan yang mengandung MeHg dibuang kedalam
teluk tersebut oleh pabrik kimia penghasil klorida vinil dan formaldehida milik
Perusahaan Chisso (Yasuda 2000). Menurut Katz (1973), Hg dapat menyebabkan
pembentukan lapisan mukus pada insang (coagulation film anoxia), sehingga
mengganggu sistem pernapasan, sirkulasi darah, dan sistem transportasi ion
melalui membran epitelum pada insang. Menurut Skinner & Bennet (2007)
kontaminasi merkuri di perairan dapat merusak insang pada beberapa larva dan

2

nympha serangga perairan, sehingga secara langsung dapat menurunkan tingkat
kelulushidupan makrozoobentos. Pada manusia, Hg dapat menyebabkan
kerusakan pada paru-paru, hati, ginjal, kerusakan sel otak, dan pada ibu hamil
dapat melahirkan anak yang cacat (Hancock 1976).
Sungai Cisadane memiliki manfaat besar bagi kehidupan masyarakat di
Bogor, Tangerang, dan sebagian Jakarta. Manfaat tersebut diantaranya sebagai
sumber air minum, perikanan, dan penambangan pasir. Aktivitas manusia di
sekitar hulu Sungai Cisadane, seperti pembuangan limbah rumah tangga,
pertanian, peternakan, dan limbah Hg dari tambang emas tradisional (gurandil)
yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan. Penelitian yang
dilakukan oleh Sudarso (2009) antara tahun 2006-2008, dibagian hulu Sungai
Cisadane menunjukkan hasil pengukuran kekeruhan dan konduktivitas (µS/cm)
mengalami kenaikan dari hulu ke hilir (kekeruhan 3,83-31,74, sedangkan
konduktivitas 0,034-0,087). Kontaminasi logam berat tertinggi terdapat di daerah
Curug Bitung, yaitu Hg air 6,89 µg/L dan Hg sedimen 16,62 µg/L. Berdasarkan
Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No. 115 tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air, baku mutu Hg di dalam perairan adalah 2 µg/L,
sehingga kandungan Hg perairan di daerah Curug Bitung telah melebihi baku
mutunya. Perubahan parameter fisika dan kimia perairan tersebut dapat
mempengaruhi struktur komunitas dari makrozoobentos dan aktivitas
antropogenik di hulu Sungai Cisadane diduga telah menyebabkan kecacatan pada
larva Chironomid.
Perumusan Masalah
Hulu Sungai Cisadane terdapat berbagai aktivitas antropogenik,
diantaranya pembuangan limbah rumah tangga, pertanian, dan penambangan emas
tradisional yang dapat mempengaruhi kondisi kualitas sungai tersebut.
Pemantauan kualitas sungai-sungai di Indonesia umumnya masih menggunakan
indikator fisika dan kimia, dan belum secara konsisten memadukannya dengan
indikator biologi, salah satunya makrozoobentos. Pencemaran yang terjadi di hulu
Sungai Cisadane dapat menyebabkan terjadinya perubahan stuktur komunitas
makrozoobentos, yaitu adanya kelompok-kelompok makrozoobentos yang toleran
dan intoleran terhadap perubahan kualitas air. Pencemaran tersebut juga diduga
dapat menyebabkan kecacatan pada larva Chironomid. Kecacatan pada larva
Chironomid dapat dilihat pada bagian mouthpart, baik mentum maupun
mandiblenya.
Adanya permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang
pengaruh masukan bahan organik dan kontaminasi Hg di perairan serta beberapa
variabel lingkungan perairan penting lainnya terhadap struktur komunitas
makrozoobentos dan kecacatan pada larva Chironomid. Penelitian ini juga
mendeskripsikan status perairan hulu Sungai Cisadane berdasarkan indikator
fisika, kimia, dan biologi.

3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan status perairan berdasarkan parameter fisika, kimia, dan
biologi;
2. Mengkaji pengaruh kualitas fisika dan kimia air yang diteliti dengan
kelimpahan makrozoobentos di hulu Sungai Cisadane; dan
3. Mengunggkap adanya kecacatan larva Chironomid yang ditemukan di hulu
Sungai Cisadane.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai salah satu
data dasar untuk biomonitoring dan pengontrolan pencemaran di ekosistem
sungai.

TINJAUAN PUSTAKA

Makrozoobentos
Makrozoobentos merupakan organisme yang berada di substrat dasar.
Makrozoobentos adalah organisme yang dapat ditahan oleh jaring dengan ukuran
mesh ≥ 200 hingga 500 μm (Slack et al. 1973; Weber 1973; Wiederholm 1980;
Suess 1982). Makrozoobentos memiliki peranan penting dalam ekosistem sungai.
Makrozoobentos merupakan sumber makanan utama bagi sebagian besar ikan di
sungai. Pada lingkungan lotik, komunitas makrozoobentos terdiri dari lima taksa
(Allan 1975; Morse et al. 1980; Benke et al. 1984; Ward & Stanford 1991) yang
terdiri dari Arthropoda (Insekta, tungau, Scud, dan udang karang), Mollusca
(siput, limpet, remis dan kerang), Annelida, Nematoda, dan Platyhelminthes.
Taksonomi
Insekta merupakan kelompok Arthropoda yang meliputi ordo
Emphemeroptera (Mayflies), Odonata (Damselflies dan Dragonflies), Plecoptera
(Stoneflies), Trichoptera (Caddiesflies), Collembola (Springtails), Neuroptera
(khususnya subordo Megaloptera (Alderflies, Dobsonflies, Fishflies,
Hellgramites), Hemiptera (subordo Heroptera (kumbang)), Coleoptera (Beetles),
Diptera (flies, khususnya subordo Nematocera juga beberapa Brachycera), dan
Lepidoptera (ngengat (Moths) dan kupu-kupu (Butterflies). Banyak spesies dari
Coleoptera dan Hemiptera pada tahap larva dan dewasa hidup di perairan.
Arthropoda yang bukan tergolong Insekta, terdiri dari Amphipoda, Isopoda dan
Decapoda juga merupakan komponen komunitas sungai. Molusca, diantaranya
beberapa famili Gastropoda (siput dan limpet) dan Bivalvia (kerang dan remis)

4

umumnya hidup di sungai. Annelida diwakilkan oleh beberapa famili dari
Oligochaeta (cacing) dan Hirudinea (lintah) (Hershey & Lamberti 1998).
Adaptasi
Reproduksi dan survival (kelulushidupan) makrozoobentos menunjukkan
adanya adaptasi khusus di lingkungan sungai (Butler 1984). Sebagai contoh,
sebagian spesies beradaptasi khusus pada jenis sungai ephemeral (sungai yang ada
airnya hanya pada saat musim hujan, tetapi airnya belum tentu banyak) dengan
tahap telur dorman yang menetas pada saat sungai tersebut tergenang air
(Williams 1987). Adaptasi lainnya dapat dilihat menurut musim yaitu larva
mengalami diapauses (Hauer & Stanford 1982) atau melepaskan feromone saat
dewasa untuk menarik lawan jenis (Resh et al. 1987). Makrozoobentos juga
memiliki beragam siklus hidup, diantaranya sebagian spesies siklus hidupnya
sempurna beberapa kali per tahunnya (multivoltine), siklus hidup dua kali per
tahun (bivoltine), sekali per tahunnya (univoltine), atau mungkin membutuhkan
dua atau tiga tahun untuk melengkapi siklus hidupnya (semivoltine) (Hauer &
Stanford 1982).
Siklus Hidup
Menurut Gooderham & Edward (2003), sebagian besar avertebrata siklus
hidupnya sederhana. Mereka menetas dari telur dan menghabiskan sebagian
waktunya untuk berkembang. Saat larva atau nympha tumbuh, kemudian menjadi
dewasa, bereproduksi seksual dan melepaskan telur-telurnya, lalu muncul yang
muda dan begitu seterusnya siklus hidupnya. Beberapa avertebrata menggunakan
metode yang menarik untuk bereproduksi, seperti pembelahan diri dan
hermaprodit.Pembelahan diri terjadi pada hewan seperti Tubelaria (cacing pipih),
Porifera (sponge) dan Cnidaria (Hydra). Mereka dapat membelah diri menjadi
individu-individu baru atau dapat memulihkan diri ketika mendapat serangan dari
predator. Reproduksi secara hermaprodit terdapat pada Gastropoda (siput) dan
Hirudinea (lintah). Ada dua bentuk perubahan yang terjadi, yaitu:
1. Siklus hidup larva
Larva merupakan bentuk yang lunak, tubuhnya sederhana ketika mereka
masih muda dan tampak berbeda dengan induknya. Mereka terkadang memiliki
saluran pencernaan sederhana. Ketika larva mencapai ukuran tertentu, mereka
akan memasuki fase pupa (tahap kehidupan beberapa Insekta mengalami
transformasi) yang akan mengubah mereka menjadi Insekta. Selama fase tersebut
terjadi perubahan menjadi dewasa yang bersayap. Insekta dapat keluar dari kulit
pupa sewaktu masih berada dalam air, atau pada beberapa kasus pupa dapat
bergerak dan berenang ke permukaan air, kemudian saat dewasa terlepas kulit
pupanya.
2. Siklus hidup nympha
Nympha pada umumnya hampir menyerupai dewasa dan pada saat dewasa
sayapnya sederhana dan ukurannya kecil. Sayap nympha dimulai dari cikal bakal
sayap yang akan berkembang menjadi sayap pada saat dewasa. Beberapa nympha
hidup di air hingga mereka menjadi dewasa. Nympha bergerak keluar dari air,
melepaskan kulitnya. Beberapa Insekta seperti kumbang sejati dan kumbang akan

5

kembali ke air untuk melepaskan telur-telurnya dan kemudian mati (Gooderham
& Edward 2003).
Pertumbuhan
Lintah dan siput memiliki kulit yang dapat tumbuh dengan laju yang sama.
Crustacea dan Insekta (phylum Arthropoda) mempunyai external skeleton, dan
tidak dapat tumbuh menjadi keras. Untuk menghindari tekanan dari dalam
kulitnya, Arthropoda melepaskan kulitnya secara berkala, menggantinya dengan
yang sesuai dengan ukurannya. Arthropoda dapat berganti 50 kali sepanjang
hidupnya.Banyak avertebrata di sungai berupa Insekta. Selama hidupnya mereka
berubah dari Insekta muda tanpa sayap menjadi dewasa yang bersayap
(Gooderham & Edward 2003).
Habitat Makrozoobentos
Banyak aspek fisik dari ekosistem sungai yang mempengaruhi komposisi
dan kelimpahan makrozoobentos. Faktor-faktor tersebut diantaranya substrat,
arus, suhu, oksigen terlarut, dan kimia perairan (Hershey & Lamberti 1998). Suhu
merupakan kendala mendasar bagi fisiologi hewan, beberapa makrozoobentos
lebih memilih suhu kisaran sempit, sedangkan yang lain dapat mentolerir suhu
lebih luas (eurytherms) (Li et al. 1994; Tait et al. 1994).
Oksigen rendah dapat terjadi di bagian sungai dengan turbulensi rendah,
terutama pada malam hari ketika fotosintesis tidak terjadi, tetapi produsen dan
konsumen masih menggunakan oksigen. Jenis makrozoobentos yang dapat
mentoleransi kondisi oksigen yang rendah adalah Diptera dan Oligochaeta. Aspek
lain dari kimia air yang dapat membatasi kehadiran makrozoobentos yaitu
ketersediaan ion spesifik, seperti Gastropoda dan Bivalvia yang membutuhkan
kalsium untuk pembentukan cangkang (Hershey & Lamberti 1998).
Pada habitat lokal, substrat dan kecepatan merupakan faktor penting dalam
menentukan jenis taksa makrozoobentos. Substrat menjadi penting karena
sebagian besar makrozoobentos menghabiskan sebagian besar hidupnya melekat
pada substrat. Substrat lotik dapat dibagi menjadi dua, yaitu substrat anorganik
(materi geologi mulai dari lumpur sampai batu-batuan) dan substrat organik
(bahan organik mulai dari partikel halus). Ukuran partikel dari materi anorganik
(kerikil dan batu-batuan) memiliki pengaruh besar pada struktur komunitas
makrozoobentos daripada sedimen halus (pasir dan lumpur), misalnya kumbang
air (keluarga Psephenidae), larva Hellgrammite (Megaloptera, Corydalidae) dan
stoneflies famili Perlidae (Plecoptera) sering ditemukan pada sisi bawah batu.
Caddisflies (Tricoptera) menjadi kepompong yang melekat pada batu-batuan,
karena adanya aliran air yang membawa oksigen terlarut, yang dibutuhkan untuk
metamorfosis (Resh et al. 1981). Keragaman yang rendah dari avertebrata
biasanya ditemukan di sedimen halus karena sedikitnya detritus yang
terperangkap dan ketersediaan oksigen yang rendah (Allan 1995).
Hg
Merkuri (Hg) adalah unsur renik pada kerak bumi. Pada perairan alami,
Hg juga ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil. Hg merupakan satu-satunya

6

logam yang berada dalam bentuk cairan pada suhu normal. Hg terserap dalam
bahan-bahan partikulat dan mengalami presipitasi. Pada dasar perairan anaerobik,
Hg berkaitan dengan sulfur. Merkuri anorganik dapat mengalami transformasi
menjadi metil merkuri (merkuri organik) yang di perairan alami dipengaruhi oleh
keberadaan mikroba, karbon organik, pH, dan suhu. Metil merkuri dapat
mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi pada biota perairan, baik secara
langsung maupun jaring makanan (food web). Organisme yang berada pada rantai
makanan paling tinggi (top karnivora) memiliki kadar Hg lebih tinggi dari
organisme di bawahnya (Palar 1994).
Larva Chironomid
Larva Chironomid hidup dalam sedimen, memakan detritus dan ganggang
yang terdapatdi sedimen (Reynoldson 1987; Larsson 1994). Larva Chironomid
merupakan bagian yang penting dari rantai makanan, karena sebagai sumber
pakan utama bagi avertebrata lain (predator) dan ikan (Hart & Fuller 1974).
Organisme bentik seperti larva Chironomid digunakan sebagai indikator kualitas
air karena keanekaragaman dan kelimpahannya dalam ekosistem perairan (Pinder
1986).
Kecacatan bagian mulut (mouthpart) dari larva Chironomid digunakan
sebagai indikator polusi akibat pencemaran antropogenik (Burt et al. 2003).
Kecacatan larva Chironomid sering ditemukan pada bagian mentum dan ligulae
yang terdapat dibagian kepala, dan kejadian tersebut telah dikaitkan dengan polusi
lingkungan, seperti pestisida dan logam berat (Warwick 1975; Diggins & Stewart
1993; Janssens de Bisthoven & Van Speybroeck 1994).

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat,
dilaksanakan pada bulan Februari 2012 – April 2012. Lokasi penelitian dilakukan
di hulu Sungai Cisadane, yang terdiri dari empat stasiun. Tiga stasiun berada di
aliran Sungai Cikaniki, yaitu Cisarua (ST 2), Curug Bitung (ST 3), dan Lukut (ST
4), sedangkan ST 1 berada di Sungai Cikuluwung. Gambaran mengenai lokasi
penelitian dapat dilahat pada Gambar 1. Pembagian stasiun didasarkan pada
aktivitas antropogenik di masing-masing tempat, yaitu:
1. ST 1 merupakan daerah yang kondisinya masih baik belum banyak
terpengaruh oleh kegiatan antropogenik.
2. ST 2 terdapat aktifitas berupa pembuangan limbah rumah tangga dan
pengolahan emas tradisional.
3. ST 3 terdapat aktivitas berupa pertanian, pembuangan limbah rumah tangga,
dan pengolahan emas tradisional.
4. ST 4 terdapat pembuangan limbah rumah tangga dan pengolahan emas
tradisional.

7

Gambar 1. Lokasi penelitian di hulu Sungai Cisadane. Insert merupakan lokasi
Jawa Barat
Desain Penelitian
Desain penelitian menggunakan pendekatan survei post facto. Dasar
sistematik penelitian adalah pengaruh masukan bahan organik dan Hg di hulu
Sungai Cisadane, serta menemukan adanya kecacatan pada larva Chironomid di
sungai tersebut.
Metode Kerja
Pengambilan Sample dan Identifikasi Makrozoobentos
Pelaksanaan pengambilan sampel makrozoobentos dan enumerasi
mengadopsi dari sistem penilaian cepat (rapid assessment) (Bode et al. 1991;
Barbour et al.1999). Pengambilan makrozoobentos dengan menggunakan kick net,
yang memiliki pori-pori 0,5 mm. Caranya dengan mengaduk-aduk air
menggunakan kaki berlawanan arah arus sungai selama 5 menit. Pengambilan
sampel makrozoobentos dilakukan sepanjang 5 meter yang dibagi menjadi lima
titik. Semua organisme tersebut dimasukkan ke dalam plastik 20 liter dan
ditambahkan dengan formalin 5 % sebagai pengawet.
Makrozoobentos dapat disortir dalam sebuah kotak grid subsampler yang
berukuran 30 cm x 15 cm setelah 24-48 jam. Pengerjaan pemilahan dilakukan di
bawah mikroskop stereo. Hewan yang telah disortir dimasukkan ke dalam botol
flakon/vial yang sudah berisi alkohol 70% sebagai pengawetnya, kemudian
diidentifikasi dengan mikroskop dan buku identifikasi menggunakan Usinger
(1956); Lehmkuhl (1979); Pennak (1989); Peckasky et al. (1990); Clifford (1991);
Throp & Covich (1991); Merritt & Cummins (1996).

8

Perlakuan Pengamatan Kecacatan pada Larva Chironomid
Larva Chironomid dimasukkan dalam beaker glass yang sudah diberi
KOH, kemudian dipanaskan diatas hot plate hingga mendidih dan bening.Setelah
itu dicuci dengan aquades dan ditambahkan alkohol 70 %. Larva Chironomid
yang diamati diambil dengan pipet dan ditempatkan di cover glass, kemudian
ditetesi dengan CMCP-10 1-2 tetes. Pengamatan larva Chironomid dapat
dilakukan setelah 24 jam dengan menggunakan mikroskop.
Pengukuran Kualitas Air
Parameter fisika dan kimia air yang diukur diantaranya suhu, kec. arus,
konduktivitas, TDS, DO, organik sedimen, kandungan Hg di air dan sedimen, pH,
serta TOM. Alat serta metode pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai
berikut.
Tabel 1. Parameter kualitas air, alat, dan metode pengukuran
Parameter
Fisika
1.
2.
3.
4.
Kimia
1.
2.
3.
4.

Suhu
Kec. Arus
Konduktivitas
TDS

pH
TOM
DO
Kandungan Hg
sedimen
5. Kandungan Hg di air

6. Organik sedimen

Alat

Metode

Thermometer
Potensiometri
Currentmeter
Water Quality Checker
Water Quality Checker SNI 06 – 2413 1991
pHmeter
Water Quality Checker
Mercury Analyzer Hg
300
Mercury Analyzer
Hiranuma Hg 300
-

Potensiometri
Winkler
Spektrometri Serapan
Atom uap dingin
-

Analisis Data
Analisis komunitas makrozoobentos terhadap kontaminasi merkuri dan
variabel kualitas air dengan enam pendekatan, yaitu:
1. Indeks Shannon Wiener (H’), Indeks Keseragaman dan Kekayaan Taksa
Indeks Shannon Wiener (H’), Indeks Keseragaman, dan Kekayaan
Taxa merupakan indeks yang menggambarkan perubahan struktur komunitas
akibat polusi dan digunakan untuk mengukur tekanan di lingkungan.
Kekayaan taksa berkurang seiring dengan meningkatnya polusi (Stoyanova et
al. 2010).
2. Signal 2
Menentukan status perairan berdasarkan ordo, famili, dan genus dari
makrozoobentos (Gooderham & Edward 2002). Penilaian kuadran antara skor
signal dengan jumlah famili (Chessman 2003).
3. Indek EPT
Merupakan jumlah taksa dari nympha Ephemeroptera, Plecoptera, dan
Trichoptera yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan (Bode et al.
1997).

9

4. One way ANOVA
One way ANOVA digunakan untuk mengetahui perbedaan antara dua
kelompok dalam setiap group (Mertler & Vannatta 2002). Hasil perbedaan
tersebut diuji lebih lanjut dengan uji Tukey.
5. Indeks Pencemaran (PI)
Indeks pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran
relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan. Rumusnya adalah:
PI = √(Cij/Lij)2 M + (Cij/Lij)2 R /2
Keterangan:
PI = Indeks Pencemaran
Lij = konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam baku mutu air
Cij = konsentrasi parameter kualitas air hasil pengukuran
Cij/Lij M = nilai Cij/Lij maksimum
Cij/Lij R = nilai Cij/Lij rata-rata
Evaluasi terhadap nilai PI adalah 0≤ PI ≤ 1 (kon disi baik); 1< PI< 5 (tercemar
ringan); 5< PI< 10 (tercemar sedang); dan > 10 (tercemar berat) (Numerrow
1974).
6. Indeks Pencemaran Logam di Sedimen
Merupakan hasil dari akar kosentrasi logam di daerah situs uji (Ci)
dibagi dengan konsentrasi logam di situs rujukan (Coi), rumusnya, yaitu:
IPI = √X; dimana x = Ci/Coi
Evaluasi terhadap nilai IPI adalah < 1 (tercemar ringan); 1< IPI< 2 (tercemar
sedang); dan >2 (tercemar berat) (Chen et al. 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Sungai Cisadane berasal dari Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango,
Jawa Barat dan bermuara ke Teluk Naga, Banten. Panjang sungai sekitar 80
kilometer dan luas daerah aliran sungai sekitar 7.679,3 Ha. Lokasi penelitian
berada di hulu Sungai Cisadane, terdiri dari empat stasiun yaitu Cisarua, Lukut,
Curug Bitung, dan Cikuluwung. Karakteristik lokasi penelitian meliputi kegiatan
antropogenik dan kondisi sungai, secara jelas dapat dilihat di Tabel 2 dan
gambaran mengenai lokasi penelitian dapat dilihat di Lampiran 1.

10

Tabel 2. Karakteristik lokasi penelitian
Lokasi
Cikuluwung (ST 1)

Cisarua (ST 2)

Curug Bitung (ST 3)

Lukut (ST 4)

Keterangan
Aktivitas antropogenik : belum ada/minimal
Kecepatan arus rerata: 0,58 m/dtk
Tipe substrat dasar : kerikil, berpasir, dan berbatu
Kedalaman rerata : 24,75 cm
Lebar sungai rerata : 9,7 m
Aktivitas antropogenik : limbah rumah tangga dan
pengolahan emas tradisional
Kecepatan arus rerata : 0,67 m/dtk
Tipe substrat dasar : kerikil, berpasir, dan berbatu
Kedalaman rerata : 32,9 cm
Lebar sungai rerata : 9,4 m
Aktivitas antropogenik : pertanian, limbah rumah
tangga, dan pengolahan emas tradisional.
Kecapatan arus rerata : 0,44 m/dtk
Tipe substrat dasar : kerikil, berpasir, dan berbatu
Kedalaman rerata : 30,43 cm
Lebar sungai rerata : 10,7 m
Aktivitas antropogenik : limbah rumah tangga dan
pengolahan emas tradisional
Kecepatan arus rerata : 0,56 m/dtk
Tipe substrat dasar : kerikil, berpasir, dan berbatu
Kedalaman rerata : 23,11 cm
Lebar sungai rerata : 24,3 m

Kualitas Fisika Air di Lokasi Penelitian
Hasil penelitian kualitas fisik air di lokasi penelitian dan hasil rerata dapat
dilihat di Lampiran 2 dan Gambar 2 berikut menunjukkan nilai rerata parameter
fisika air di stasiun penelitian.
Keadaan suhu alami memberikan kesempatan bagi ekosistem untuk
berfungsi secara optimum. Banyak kegiatan hewan air dikontrol oleh suhu,
misalnya: migrasi, pemangsaan, kecepatan berenang, perkembangan embrio dan
kecepatan proses metabolisme (Clark 1974). Suhu dapat mempengaruhi proses
dekomposisi bahan organik dan ketersediaan oksigen terlarut (Paul & Meyer
2001). Nilai tertinggi suhu terdapat di daerah Lukut (ST 4) berkisar 24,3 ⁰C – 27,5
⁰C dan terendah di daerah Cikuluwung (ST 1) berkisar 20,9 ⁰C – 21,5 ⁰C. Suhu
yang baik bagi organisme untuk berkembang berkisar 23 °C - 35 °C (Odum
1971). Berdasarkan kisaran suhu di atas, bahwa nilai suhu tersebut masih
menunjang bagi kehidupan organisme perairan.
Kecepatan arus dapat digunakan untuk memperkirakan kapan bahan
pencemar akan mencapai lokasi tertentu, apabila bagian hulu mengalami
pencemaran (Effendi 2003). Kecepatan arus memiliki peranan penting,
diantaranya penyebaran organisme, gas-gas terlarut, serta bahan organik dan
mineral yang terdapat dalam perairan (Barus 2001). Nilai kecepatan arus di semua
stasiun pengamatan berkisar 0,3 – 0,8 m/dtk. Umumnya kecepatan arus di daerah
hulu sangat tinggi terutama diakibatkan oleh kecuraman topografi aliran yang
terbentuk (Barus 2004). Macan (1974) mengelompokan sungai menjadi sungai

11

A

30
25
20
15
10
5
0

1
KEC ARUS (m/dtk)

SUHU (⁰C)

berarus sangat cepat (>100 cm/det), arus cepat (50-100 cm/det), arus sedang (2550 cm/det), arus lambat (10-25 cm/det), dan arus sangat lambat ( 10 mg/L, yang
berarti hulu Sungai Cisadane mengalami pencemaran berupa bahan organik.

13

A

10
8
6
4
2
0

ST 2

ST 3

6
4

ST 4

ST 1
15
ORGNK SEDIMEN
(mg/L)

C

40
20
0

ST 2

ST 3

ST 4

D

10
5
0

ST 1

ST 2

ST 3

ST 4

ST 1 ST 2 ST 3 ST 4
100

E
Hg PARTIKULAT
(µg/L)

0.1500
Hg SEDIMEN (µg/L)

8

0

60

0.1000
0.0500
0.0000

F
80
60
40
20
0

ST 1 ST 2 ST 3 ST 4
4
Hg TERLARUT (µg/L)

B

2
ST 1

TOM (mg/L)

10
DO (mg/L)

pH

Tingginya pencemaran bahan organik menyebabkan kekeruhan yang dapat
mengganggu proses fotosintesis dan respirasi organisme perairan.

ST 1

ST 2

ST 3

ST 4

STASIUN PENGAMATAN
G

3
2
1
0
ST 1
ST 2
ST 3
ST 4
STASIUN PENGAMATAN

Gambar 3. Nilai rerata parameter kimia perairan di lokasi penelitian.Tanda bar
menunjukkan standar deviasi. Nilai rerata di ST 1: Hg sedimen
(0.0011 µg/L ±0.001067), Hg air partikulat (0.39 µg/L ± 0.093), dan
Hg air dissolved (0.01 µg/L ± 0,0062).
Duxbury & Duxbury (1993) menyatakan sedimen sebagai kumpulan
partikel-partikel organik dan anorganik yang terakumulasi secara luas. Hasil
kisaran tertinggi organik sedimen terdapat di daerah Cikuluwung (ST 1) yaitu
8,97 mg/L – 11,79 mg/L dan hasil terendah terdapat di Cisarua (ST 2) dengan

14

kisaran 5,43 mg/L – 8,37 mg/L. Kandungan bahan organik sedimen di hulu
Sungai Cisadane bisa berasal dari organisme perairan yang mengalami
dekomposisi, limbah rumah tangga, dan pertanian.
Merkuri (Hg) adalah salah satu jenis logam berat yang sangat berbahaya,
khususnya dalam bentuk metil Hg (MeHg) (Yasuda 2000). Hasil Hg sedimen
tertinggi terdapat di daerah Curug Bitung (ST 3) dengan nilai kisaran antara 0,01
µg/L – 0,13 µg/L dan Hg air tertinggi di daerah Lukut (ST 4) berkisar 9,03µg/L –
38,13µg/L. Meningkatnya logam merkuri di lingkungan umumnya berasal dari
sumber yang sangat kompleks, misalnya dari aktivitas alami seperti gunung berapi
dan proses geologi, serta dari aktivitas antropogenik seperti industri dan pertanian
(Boening 2000; Boszke 2004). Tingginya Hg perairan di daerah Curug Bitung (ST
3) dan Lukut (ST 4) disebabkan adanya pengolahan emas tradisional.
Kualitas Biologi
Kelimpahan Makrozoobentos
Menurut Krebs (1978), kelimpahan makrozoobentos merupakan salah satu
karakteristik
dari struktur
komunitas
makrozoobentos.
Kelimpahan
makrozoobentos
dinyatakan
secara
numerik
(jumlah
individu/m2).
Makrozoobentos yang ditemukan meliputi ordo, famili hingga kelimpahan rerata
taksa pada masing-masing stasiun pengamatan. Jenis-jenis makrozoobentos yang
ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Kelimpahan rerata makrozoobentos didominasi oleh Bungona ordo
Empheroptera (171 ind/m2), Simulium ordo Diptera (101 ind/m2), dan
Cheumatophyshe ordo Trichoptera (50 ind/m2). Komposisi makrozoobentos
dihabitat sungai ditentukan terutama oleh karakter substrat dan jenis aliran
(Baptista et al. 2001; Brunke et al. 2001; Tickner et al. 2000). Substrat pada
lokasi penelitian berupa batu-batuan besar berpasir dan sedikit lumpur dan
kecepatan arus di hulu Sungai Cisadane tergolong tinggi. Batu besar berpasir dan
sedikit lumpur merupakan substrat yang cocok untuk kelompok Ephemeroptera,
Diptera, dan Tricopetera. Ridwan (2004) nympha Ephemeroptera (lalat sehari)
dapat hidup pada lumpur, batu, kerikil, dasar batu, dan beberapa ditemukan hanya
di antara atau di bawah batuan. Simulium dan Hydropsyche merupakan jenis yang
dapat bertahan hidup pada aliran deras (Odum 1993). Pengambilan sampel
makrozoobentos bertepatan saat musim hujan. Taksa yang kelimpahannya
meningkat karena musim hujan meliputi Baetidae, Chironomidae, dan Simuliidae
(Robinson et al. 2003).
Kelimpahan rerata dari Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera
semakin menurun seiring dengan meningkatnya pencemaran bahan organik dan
Hg (lihat Lampiran 3). Empheroptera, Plecoptera, dan Trichoptera merupakan
kelompok makrozoobentos yang intoleran. Wilhm (1975) menjelaskan kelompok
intoleran adalah kelompok organisme yang jarang ditemukan di perairan yang
tercemar bahan organik. Organisme ini tidak mampu beradaptasi pada perairan
yang tercemar bahan organik.
Kelimpahan rerata total makrozoobentos yang ditemukan di stasiun
penelitian menunjukkan adanya penurunan kelimpahan rerata dari 194 ind/m2
menjadi 54 ind/m2. Penurunan kelimpahan rerata tersebut terkait dengan
meningkatnya pencemaran bahan organik dan Hg. Perubahan-perubahan kualitas

15

air sangat mempengaruhi kehidupan makrozoobentos, baik komposisi maupun
besar populasinya (Wilhm 1975).
Simuliidae merupakan kelompok toleran, yaitu kelompok makrozoobentos
yang dapat bertahan dalam kondisi perairan tercemar (Wilhm 1975). Simuliidae
paling banyak ditemukan di daerah Cikuluwung karena kandungan bahan organik
yang cukup tinggi berasal dari dekomposisi serasah daun dan ranting. Sungai di
daerah Cikuluwung berada di Gunung Salak merupakan daerah yang sedikit sekali
gangguan manusia sehingga serasah yang ada di perairan berasal dari vegetasi
yang ada di sekitar sungai. Kelimpahan Simuliidae yang ada di daerah
Cikuluwung merupakan adaptasi yang baik terhadap kandungan sulfur. Penelitian
yang dilakukan oleh Kozlov et al. (2005) melakukan penelitian pada tahun 20002001 berlokasi di dataran rendah Kola Peninsula, Rusia yang menemukan
Simuliidae di perairan yang terpapar sulfur dioxide.
Indeks Shannon Wiener, Indeks Keseragaman, dan Kekayaan Taksa
Hasil pengukuran mengenai Indeks Shannon Wiener, Indeks
Keseragaman, dan Kekayaan Taksa pada masing-masing stasiun penelitian dapat
dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Nilai Indeks Shannon Wiener, Indeks Keseragaman, dan Kekayaan Taksa
pada masing-masing stasiun penelitian
Stasiun
ST 1
ST 2
ST 3
ST 4

Indeks Shannon
Wiener
0,405-0,632
0,244-0,542
0,748-0,849
0,818-0,871

Indeks
Keseragaman
0,443 – 0,706
0,268 – 0,575
0,809 – 0,962
0,875 – 0,91

Kekayaan Taksa
9 - 16
10 - 16
7 - 13
13 - 14

Tabel tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan Indeks Shannon Wiener
di semua stasiun tergolong keanekaragamannya sangat rendah dengan nilai 0,2440,871. Rendahnya nilai Indeks Shannon Wiener disebabkan karena adanya
pencemaran bahan organik dan Hg. Hasil dari Indeks Keseragaman menunjukkan
bahwa di daerah Curug Bitung (ST 3) dan Lukut (ST 4) memiliki nilai mendekati
1 (E mendekati 1) artinya genus dalam komunitas relatif merata (seragam),
sedangkan di daerah Cikuluwung (ST 1) dan Cisarua (ST 2) teradapat
makrozoobentos yang mendominasi, karena nilai Indeks Keseragaman mendekati
0. Keseragaman adalah komposisi jumlah individu dalam setiap genus yang
terdapat dalam komunitas. Nilai keseragaman suatu populasi akan berkisar antara
0–1 dengan kriteria: 0,4≤ E ≤ 0 ,6 dengan keseragaman populasi kecil;
keseragaman populasi sedang; sampai dengan keseragaman tinggi (Brower et al.
1990). Keseragaman di daerah Cikuluwung (ST 1) tergolong dalam keseragaman
dengan populasi sedang, di daerah Cisarua (ST 2) keseragaman populasinya
rendah, dan di daerah Curug Bitung (ST 3) dan Lukut (ST 4) keseragaman
populasinya tinggi. Hasil dari Kekayaan Taksa, di daerah Cisarua (ST 2) tertinggi
dengan nilai kisaran 10-16, artinya jumlah taksa yang ditemukan di daerah
tersebut lebih banyak yaitu 194 ind/m2. Suatu ekosistem yang dikatakan stabil
dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi (Odum 1971).

16

Wilhm (1975) menjelaskan struktur komunitas makrozoobentos pada kondisi
perairan tercemar beberapa jenis kelompok intoleran dan fakultatif mulai
menghilang dan mulai muncul kelompok toleran yang mendominasi. Pada lokasi
penelitian muncul kelompok yang mendominasi yaitu Simulium.
Feeding Group Makrozoobentos
Gambaran mengenai ekologi feeding setiap stasiun penelitian secara lebih
jelas dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar tersebut menunjukkan bahwa
komposisi gatherer collector (GC) di daerah Cikuluwung (ST 1) 78,77%, lebih
besar dibandingkan dengan feeding groups yang lainnya. Cisarua (ST 2),
komposisi tertinggi adalah kelompok gatherer collector (GC) yaitu 86,43%.
Curug Bitung (ST 3) komposisi tertinggi adalah kelompok filtering collector (FC)
yaitu 51,52%. Lukut (ST 4) juga didominasi oleh kelompok filtering collector
(FC) yaitu 41,67%.
Makrozoobentos yang ditemukan di daerah Cikuluwung (ST 1) dan Lukut
(ST 4) banyak yang bersifat penyaring bahan organik dalam perairan, didominasi
oleh ordo Diptera yaitu Simulium (82 ind/m2 (ST 1), 12 ind/m2 (ST 4)) dan
Trichoptera yaitu Cheumatopsyche (30 ind/m2 (ST 1), 12 ind/m2 (ST 4)),
sedangkan macrozoobentos yang ditemukan di daerah Cisarua (ST 2) dan Curug
Bitung (ST 3) didominasi ordo Ephemeroptera (Bungona: 150 ind/m2 (ST 2), 14
ind/m2 (ST 3)). Dominasi filtering collector yaitu Simulium berkaitan dengan
kandungan sulfur yang menyebabkan perairan bersifat asam (pH < 7). Merrit &
Kenneth (1996) menjelaskan collectors makanan dominannya berupa FPOM
(Fine Particular Organik Matter) dimana bersifat detrivora yaitu pemfilter atau
pemakan bahan-bahan yang tersuspensi, contoh taksa adalah Trichoptera
(Hydropsychidae) dan Diptera (Simuliidae).
Berdasarkan makanan fungsional utamanya, makrozoobentos dapat
dikelompokan menjadi lima, yaitu shredders, gathering-collectors, filtering
collectors, dan scrapers (grazers) (Gallo 2013). Hasil penelitian yang ditemukan
tertinggi adalah gathering-collectors dan filtering collectors. Aver