Efektivitas Suplementasi Kromium Ragi (Cr3+) Untuk Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Mas Terhadap Virus Herpes Pada Suhu Rentan KHV

(1)

(Cr

3+

) UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN

TUBUH IKAN MAS TERHADAP VIRUS HERPES

PADA SUHU RENTAN KHV

AYI SANTIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Efektivitas

Suplementasi Kromium-Ragi (Cr3+) untuk Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan

Mas terhadap Virus Herpes pada Suhu Rentan KHV, adalah karya saya sendiri

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Ayi Santika


(3)

Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Mas terhadap Virus Herpes pada Suhu Rentan KHV. Dibimbing oleh DARNAS DANA, MARTHEN B.M. MALOLE

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji efektivitas suplementasi

kromium-ragi (Cr3+) untuk meningkatkan ketahanan tubuh ikan mas terhadap koi

herpes virus (KHV), pada berbagai suhu media pemeliharaan. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Penelitian tahap pertama untuk mengkaji pengaruh suhu terhadap status kesehatan ikan yang dianalisis berdasarkan gambaran darah, dan keterkaitannya dengan kejadian infeksi KHV. Penelitian tahap dua dilakukan

untuk menguji efektifitas suplementasi kromium-ragi (Cr3+) sebagai bahan

immunostimulan untuk meningkatkan respon imunitas selular non spesifik ikan mas dalam menghadapi serangan KHV.

Penelitian tahap satu dan dua menggunakan model eksperimental laboratorium. Penelitian tahap satu dalam aplikasinya berupa penginfeksian KHV

secara intramuscular (Dosis FID50-120 jam), pada ikan mas yang dipelihara dalam

suhu media yang berbeda. Rancangan yang digunakan pada penelitian tahap ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 3 perlakuan, yaitu

penginfeksian virus pada level suhu media : 20±2 oC (Ti), 25±2 oC (Tii) dan

30±2oC (Tiii). Adapun untuk penelitian tahap dua menggunakan Rancangan Acak

Lengkap Faktorial (Faktorial RAL), terdiri atas faktor suhu dan dosis

kromium-ragi (Cr 3+). Faktor suhu mengaplikasikan 2 level suhu media yaitu Ti (suhu 20±2

0

C) dan Tii (suhu 25±2 0C), dimana kedua suhu tersebut bersifat rentan terhadap infeksi KHV (hasil penelitian tahap satu), sedangkan dosis kromium-ragi terdiri dari 3 level yaitu, penambahan kromium ragi dalam pakan sebanyak 1.5 ppm (K1); 2.0 ppm (K2); 2.5 ppm (K3) dan kontrol yaitu kromium 0 ppm (K0).

Hasil penelitian tahap satu menunjukkan bahwa ikan mas yang dipelihara

pada suhu 20±2 oC (Ti), 25±2 oC (Tii) bersifat rentan terhadap infeksi KHV.

Hasil penelitian tahap dua memperlihatkan bahwa konsentrasi optimal


(4)

(5)

MENINGKATKAN KETAHANAN TUBUH IKAN MAS TERHADAP VIRUS

HERPES PADA SUHU RENTAN KHV

(Effectiveness of Dietary Organic Chromium Supplementation to Improve Immune Response of Common Carp (Cyprinus carpio) Against Herpes Virus Infection)

A research to study the effectiveness of dietary organic chromium supplementation to improve immune responses of common carp against herpes virus (KHV) in different temperature was done. Research was conducted with “Two Factors Experiments in Completely Randomized Design”. The first factor was concentration of chromium supplementation on diet which have four levels of chromium, namely diet K0 (0 ppm Cr3+), diet K1 (1.5 ppm Cr3+), diet K2 (2 ppm Cr3+) and diet K3 (2.5 ppm Cr3+). The second factor was two levels of water temperature, namely Ti (temperature 20 oC), and Tii (temperature 25 oC). Supplementation of organic chromium was applied on commercial diet (protein concentration ± 26 %). Juvenile Common Carp (15-20 g average weight) which have been conditioned in two levels temperature (Ti and Tii), were fed four different diets (K0, K1, K2, and K3) for 8 weeks. After 4 weeks fish were injected intramuscularly with 0.1 ml filtrates homogenates containing one FID50 of herpes

virus. Observation on clinical sign, and histological evaluation were done to confirm the KHV infection. Haematological evaluation was done every week by measuring haematological parameters such as haematocrit value, leucocyte count, leucocyte differential count and Phagoytic activity. The result showed the gill necrosis as the main clinical sign. Diseased fish showed consistent histopatological findings including intranuclear amphophilic inclusion bodies with peripheral chromatin margination. Diet containing chromium 1.5 ppm on temperature 25 oC (K1.Tii) and diet containing chromium 2 ppm on temperature 20 oC (K2.Ti) have capability to increase haematocrit value, leucocyte count, leucocyte differential count and phagolytic activity.


(6)

TERHADAP VIRUS HERPES PADA SUHU RENTAN KHV

AYI SANTIKA

Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Etty Riany, MS


(8)

Virus Herpes, pada Suhu Rentan KHV

Nama Mahasiswa

: Ayi Santika

Nomor Pokok

: C151030081

Program Studi

: Ilmu Perairan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Darnas Dana, M.Sc (Alm.) Dr. drh. Marthen B.M. Malole, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Perairan, Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas berkat dan perlindunganNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Mei-November 2006 ini adalah Upaya

Peningkatan Ketahanan Tubuh Ikan Mas terhadap Virus Herpes Melalui

Suplementasi Kromium-Ragi (Cr3+).

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Darnas Dana, M.Sc selaku ketua, dan

Bapak Dr. Drh. Marthen B.M. Malole, M.Sc sebagai anggota atas segala fasilitas dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan tesis.

2. Pembimbing Luar Komisi, Ibu Dr. Ir. Etty Riany MS yang telah menguji dan

memberi banyak saran dalam perbaikan penulisan tesis.

3. Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Bapak

Ir.Maskur atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB, melalui Dana APBN. TA. 2003-2004 dan 2004-2005.

4. Ibu Ir. Endang Mudjiutami & Ibu Ir. Murtiati dan rekan di Lababoratorium

Kesehatan Ikan dan Lingkungan yang telah banyak memberi dorongan semangat dan fasilitas selama penelitian dan Bapak Ir. Ceno H. Adi, M.Si serta Ir Ahmad Jauhary, M.Si dan rekan yang telah memberi kesempatan

pemakaian fasilitas di Indoor Hatchery. Tidak lupa rekan Adi Sucipto, Ade

Sunarma yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan semangat.

5. Ucapan terimasih yang mendalam disampaikan kepada yang tercinta ayah, ibu

beserta Azizah, Nadiya, Fiqri, Takiyudin dan keluarga atas segala doa dan kasih sayang.

Bogor, Agustus 2007

Penulis


(10)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 13 Maret 1969 dari Ayah Drs H.E.A Suryadi dan Ibu Hj. Saleha. Penulis merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMAN Balaendah, Bandung dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor, melalui jalur PMDK. Gelar Sarjana (S-1) diperoleh dari Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1993. Pada tahun 1993-1994 penulis bekerja pada PT. Hemakaruna Citra di Denpasar, Bali, dan pada tahun 1994-1997 berwirausaha pembenihan ikan bandeng dan kerapu di Singaraja, Bali. Pada tahun 1997 hingga saat ini penulis bekerja sebagai perekayasa di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar di Sukabumi. Pada tahun 2003 penulis masuk Sekolah Pasca Sarjana pada Program Studi Ilmu Perairan.


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan dan Manfaat ... 3

1.3. Perumusan Hipotesis... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1. Koi Herpes Virus (KHV) ... 4

2.1.1. Karakteristik KHV... .. ... 4

2.1.2. Patogenitas dan Gejala Klinis ... 5

2.1.3. Diagnosa Virologis KHV ... 8

2.2. Hematologi ... 8

2.3. Sistem Pertahanan Ikan... 11

2.4. Virulensi KHV, Respon Imunitas Ikan dan Suhu Lingkungan . 17 2.5. Kromium-ragi (Cr 3+) sebagai Immunostimulan... 19

III. METODOLOGI... 23

3.1. Waktu dan Tempat ... 23

3.2. Rancangan Penelitian... 23

3.3. Prosedur Penelitian ... 24

3.3.1. Penelitian Tahap Satu: Penentuan Pengaruh Suhu terha- dap Infeksi KHV ... 24

3.3.2. Penelitian Tahap Dua: Penentuan Efektifitas Suplemen- tasi kromium-ragisebagai Immunostimulan pada Suhu Rentan KHV ... 26

3.4. Analisis Data ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 30

4.1. Hasil Penelitian Tahap Satu ... 30

4.1.1. Penentuan Pengaruh Suhu terhadap Infeksi KHV ... 30

4.1.1.1. Prosentase Kematian Ikan... 30

4.1.1.2. Gejala Klinis dan Pola Kematian Ikan... 31

4.1.1.3. Pengamatan pada Preparat Histologi ... 35

4.1.2. Status Kesehatan Ikan pada Berbagai Perlakuan Suhu.... 39

4.1.2.1. Hematokrit ... 39

4.1.2.2. Total Leukosit ... 40

4.1.2.3. Penjenisan Leukosit ... 42

4.1.2.4. Indeks Fagositosis ... 48


(12)

4.2. Hasil Penelitian Tahap Dua ... 50

4.2.1. Status Kesehatan Ikan pada Berbagai Perlakuan Konsen- trasi Kromium dan Suhu, serta Responnya terhadap In- feksi KHV ... 50

4.2.1.1. Hematokrit ... 50

4.2.1.2. Total Leukosit ... 54

4.2.1.3. Penjenisan Leukosit ... 58

4.2.1.4. Indeks Fagositosis ... 76

4.2.2. Respon Ikan yang Diberi Pakan Berkromium terhadap Infeksi KHV... 81

4.2.2.1. Prosentase Kematian Ikan ... 81

4.2.2.2. Gejala Klinis dan Pola Kematian Ikan... 82

4.2.3. Kualitas Air pada Penelitian Tahap Dua... 84

4.3. Pembahasan Penelitian Tahap Satu ... 85

4.3.1. Pengaruh Suhu terhadap Infeksi KHV... 85

4.3.1.1. Prosentase Kematian Ikan ... 85

4.3.1.2. Gejala Klinis dan Pola Kematian Ikan ... 87

4.3.1.3. Pengamatan Histopatologi untuk Validasi Infeksi KHV ... 90

4.3.2. Status Kesehatan Ikan pada Berbagai Perlakuan Suhu.... 91

4.3.2.1. Hematokrit ... 91

4.3.2.2. Total Leukosit ... 92

4.3.2.3. Penjenisan Leukosit ... 95

4.3.2.4. Indeks Fagositosis ... 100

4.3.3. Kualitas Air pada Penelitian Tahap Satu ... 101

4.4. Pembahasan Penelitian Tahap Dua ... 102

4.4.1. Status Kesehatan Ikan pada Berbagai Perlakuan Konsen- trasi Kromium dan Suhu, serta Responnya terhadap In- feksi KHV ... 102

4.4.1.1. Hematokrit ... 102

4.4.1.2. Total Leukosit ... 103

4.4.1.3. Penjenisan Leukosit ... 107

4.4.1.4. Indeks Fagositosis ... 113

4.4.2. Respon Ikan yang Diberi Pakan Berkromium terhadap Infeksi KHV... 116

4.2.2.1. Prosentase Kematian Ikan ... 116

4.2.2.2. Gejala Klinis dan Pola Kematian Ikan... 116

4.4.3. Kualitas Air pada Penelitian Tahap Dua... 118

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

5.1. Kesimpulan ... 119

5.2. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA... 120


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kombinasi perlakuan konsentrasi kromium-ragi (Cr3+) dan suhu

media pemeliharaan pada penelitian tahap dua... 24

2. Uraian tahapan kegiatan pada penelitian tahap dua ... 28

3. Nilai rataan prosentase kematian ikan pada masing-masing perla-

kuan dan hasil uji Duncan pada penelitian tahap satu ... 31

4. Nilai rataan prosentase hematokrit dan hasil uji Duncan pada

masing-masing perlakuan suhu pada penelitian tahap satu ... 40

5. Nilai rataan total leukosit dan hasil uji Duncan pada penelitian

tahap satu ... 41 6. Nilai rataan limfosit dan hasil uji Duncan pada penelitian tahap

satu ... 43 7. Nilai rataan monosit dan hasil uji Duncan pada penelitian tahap

satu ... 45 8. Nilai rataan netrofil dan hasil uji Duncan pada penelitian tahap

satu ... 46 9. Nilai rataan trombosit dan hasil uji Duncan pada penelitian tahap

satu ... 47 10. Nilai rataan indeks fagositosis dan hasil uji Duncan pada peneli-

tian tahap satu ... 49

11. Kisaran parameter kualitas air pada penelitian tahap satu ... 49

12.1.Nilai rataan hematokrit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode sebelum infeksi) ... 51

12.2.Nilai rataan hematokrit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode setelah infeksi) ... 53

13.1.Nilai rataan total leukosit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode sebelum infeksi) ... 56

13.2.Nilai rataan total leukosit dan hasil uji Duncan dari masing-masing


(14)

14.1.Nilai rataan limfosit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode sebelum infeksi) ... 60

14.2.Nilai rataan limfosit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode setelah infeksi) ... 62

15.1.Nilai rataan monosit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode sebelum infeksi) ... 65

15.2.Nilai rataan monosit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode setelah infeksi) ... 66

16.1.Nilai rataan netrofil dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode sebelum infeksi) .... 69

16.2.Nilai rataan netrofil dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode setelah infeksi) ... 71

17.1.Nilai rataan trombosit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode sebelum infeksi) ... 73

17.2.Nilai rataan trombosit dan hasil uji Duncan dari masing-masing

perlakuan pada penelitian tahap dua (periode setelah infeksi) ... 75

18.1.Nilai rataan indeks fagositosis dan hasil uji Duncan dari masing-

masing perlakuan pada penelitian tahap dua (sebelum infeksi) .... 78

18.2 Nilai rataan indeks fagositosis dan hasil uji Duncan dari masing-

masing perlakuan pada penelitian tahap dua (setelah infeksi) ... 79

19. Nilai rataan prosentase kematian ikan pada masing-masing perla- .

kuan dan hasil uji Duncan, pada penelitian tahap dua ... 82


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Nilai rataan prosentase kematian ikan pada penelitian tahap satu .... 30

2. Gambaran gejala klinis KHV pada suhu 20 dan 25±2 oC... 32

3. Gambaran gejala klinis KHV pada suhu 30±2 oC... 33

4. Pola kematian ikan pada berbagai perlakuan suhu, setelah penginfeksian virus pada penelitian tahap satu ... 34

5. Gambaran histopatologi insang dari ikan yang terinfeksi virus pada perlakuan suhu 20±2 oC ... 36

6. Gambaran histopatologi insang dari ikan yang terinfeksi virus pada perlakuan suhu 25±2 oC ... 37

7. Gambaran histopatologi insang dari ikan yang terinfeksi virus pada perlakuan suhu 30±2 oC ... 38

8. Pola perubahan nilai rataan hematokrit pada penelitian tahap satu .. 40

9. Pola perubahan nilai rataan total leukosit pada penelitian tahap satu 41 10. Jenis leukosit ikan mas yang teridentifikasi pada penelitian tahap satu ... 42

11. Pola perubahan nilai rataan limfosit pada penelitian tahap satu ... 43

12. Pola perubahan nilai rataan monosit pada penelitian tahap satu... 44

13. Pola perubahan nilai rataan netrofil pada penelitian tahap satu... 46

14. Pola perubahan nilai rataan trombosit pada penelitian tahap satu .... 47

15. Pola perubahan nilai rataan indeks fagositosis pada penelitian tahap satu ... 48

16. Pola perubahan nilai rataan hematokrit pada penelitian tahap dua... 50

17. Pola perubahan nilai rataan total leukosit pada penelitian tahap dua 55 18. Pola perubahan nilai rataan limfosit pada penelitian tahap dua... 59


(16)

20. Pola perubahan nilai rataan netrofil pada penelitian tahap dua ... 68

21. Pola perubahan nilai rataan trombosit pada penelitian tahap dua... 72

22. Pola perubahan nilai rataan indeks fagositosis pada penelitian tahap dua... 77 23. Nilai rataan prosentase kematian ikan pada berbagai perlakuan, pada

penelitian tahap dua ... 81 24. Pola kematian ikan pada berbagai perlakuan, setelah penginfeksian


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data kematian harian dan nilai kumulatif prosentase kematian

pada penelitian tahap satu

128

2. Hasil analisis varian prosentase ikan yang mati dan atau

terinfeksi parah (moribund) pada penelitian tahap satu

128

3. Data hasil pengukuran hematokrit pada penelitian tahap satu 129

4. Hasil analisis varians prosentase hematokrit pada penelitian

tahap satu

129

5. Data rataan total leukosit pada penelitian tahap satu 130

6. Hasil analisis varians rataan total leukosit pada penelitian tahap

satu

130

7. Data penjenisan leukosit pada penelitian tahap satu 131

8. Hasil analisis varians rataan prosentase limfosit, monosit,

netrofil dan trombosit pada penelitian tahap satu

132

9. Data indek fagositosis pada penelitian tahap satu 134

10. Hasil analisis varians rataan prosentase indeks fagositosis pada penelitian tahap satu

134

11. Data hasil pengukuran hematokrit pada penelitian tahap dua 135

12. Hasil analisis varians prosentase hematokrit pada penelitian tahap dua

136

13. Data rataan total leukosit pada penelitian tahap dua 139

14. Hasil analisis varians total leukosit pada berbagai perlakuan pada penelitian tahap dua

140

15. Data penjenisan leukosit, pada penelitian tahap dua 143

16. Hasil analisis varians prosentase limfosit pada penelitian tahap dua.

145 17. Hasil analisis varians prosentase monosit pada penelitian tahap

dua

148 18. Hasil analisis varians prosentase netrofil pada penelitian tahap

dua

151 19. Hasil analisis varians prosentase trombosit pada penelitian

tahap dua


(18)

20. Data indek fagositosis pada penelitian tahap dua 157 21. Hasil analisis varians prosentase indeks fagositosis pada

penelitian tahap dua

158

22. Data kematian ikan pada penelitian tahap dua 161

23. Hasil analisis varians prosentase kematian ikan dan atau ikan yang

terinfeksi parah (moribund) pada penelitian tahap dua

162

24. Uji pendahuluan (FID50-120 jam) 163

25. Metode analisis parameter darah yang digunakan pada penelitian 164


(19)

1.1. Latar Belakang

Serangan koi herpes virus (KHV) pada ikan mas dan koi telah tersebar ke berbagai belahan dunia sejak tahun 1998, meliputi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Italia, Belanda, Israel (Gilad et al. 2003); Korea (Cho et al. 2005); Jepang (Ikuta et al. 2005); dan sejak tahun 2002 tercatat menyerang berbagai kawasan di Indonesia (Sunarto et al. 2005). KHV bersifat sangat menular namun terbatas menyerang ikan mas dan koi (Cyprinus carpio), mengakibatkan mortalitas tinggi (80-100% populasi) (Ilouze et al. 2006), dengan masa inkubasi 14 hari (Taukhid et al. 2004). Kasus ini telah mengakibatkan kerugian besar bagi petani, hobbyist serta pengusaha ikan mas dan koi. Kerugian yang tercatat di Indonesia, berdasarkan informasi yang dikumpulkan hingga awal tahun 2004, secara kumulatif untuk wilayah pulau Jawa, Bali, Sumbawa dan Sumatra diperkirakan mencapai lebih dari 100 milyar rupiah (Taukhid et al. 2004).

Kasus kematian ikan karena KHV, umumnya sangat terkait dengan kondisi lingkungan perairan, terutama suhu air. Berdasarkan data yang dihimpun OATA (2001), kisaran suhu air, saat terjadinya serangan koi herpes virus berkisar 18-27 °C. Dijelaskan pula oleh OATA (2001) serta Taukhid et al. (2004) bahwa infeksi virus tersebut, bersifat lebih mematikan pada kisaran suhu air 23-27 °C; dan kematian ikan akan menurun bila suhu air berkisar pada 30 °C dan diatasnya.

Ikan merupakan hewan poikilothermik, karena itu berbagai proses fisiologisnya sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Demikian pula halnya dengan respon imunitas, sebagai suatu proses fisiologi sangat dipengaruhi oleh suhu (Ellis 2001). Pada suhu rendah produk respon imunitas humoral dan seluler berkurang; batas bawah dan atas respon ini berkaitan dengan kisaran toleransi suhu bagi kehidupan ikan yang bersangkutan. Pada suhu rendah, penolakan antigen berlangsung lambat dan produksi antibodi berkurang.

Berdasarkan informasi tersebut, kisaran suhu media yang relatif tinggi sangat diperlukan untuk meningkatkan respon imunitas ikan. Pada suhu media yang relatif tinggi (berkisar 30 °C) respon imunitas ikan mas dalam menghadapi


(20)

KHV lebih baik, sehingga ikan mampu bertahan hidup. Namun dalam suatu sistem budidaya, kisaran suhu yang relatif tinggi tersebut tidak selalu tersedia. Dengan demikian upaya peningkatan respon imunitas ikan sulit dilakukan hanya dengan mempertimbangkan faktor suhu.

Salah satu upaya yang dapat diterapkan untuk meningkatkan respon imunitas ikan adalah penggunaan immunostimulan (disamping teknik vaksinasi). Immunostimulan merupakan suatu senyawa biologi dan sintetis (kimia) atau bahan lainnya yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh non spesifik (Raa

et al. 1992). Berdasarkan sumber bahannya Sakai (1999) serta Dalmo dan Bricknell (2005) membagi immunostimulan dalam beberapa kelompok yaitu: bahan asal bakteri, bahan asal alga, bahan asal hewan, hormon/sitokin dan faktor nutrisi. Sejumlah bahan nutrisi mikro berupa vitamin meliputi vitamin C, E,

retinol dan pyridoxine, mampu berperan sebagai immunostimulan (Blazer 1992; Pulsford et al. 1995 dalam Gatta et al. 2001). Baru-baru ini kromium diketahui sebagai micro nutrient yang penting baik bagi kebutuhan nutrisi manusia maupun hewan.

Hasil penelitian pada ternak tercatat kromium mempengaruhi beberapa aspek metabolisme dan berperan positif pada pertumbuhan, efisiensi reproduksi, komposisi karkas dan terbukti mampu meningkatkan respon imunitas (Burton et al. 1996; Chang et al. 1995; Kegley et al. 1996; Mallard & Borgs 1997 dalam

Gatta et al. 2001). Namun demikian aplikasi kromium pada ikan chanel catfish

(Ichtalurus punctatus) oleh (Ng & Wilson 1997) dan gilthead sea bream (Sparus aurata) oleh (Fernandes et al. 1999) menunjukkan respon negatif. Perlu diperhatikan pula bahwa kromium dalam bentuk heksavalensi (Cr6+), bersifat toksik (Srivastava et al. 2002); karsinogenik dan menekan respon imunitas pada ikan mas (Steinhagen et al. 2004).

Peran kromium sebagai immunostimulan pada mamalia telah mendorong pula kajian yang sama pada ikan. Hasil pengujian Gatta et al. (2001) pada ikan

rainbow trout (Onchorinchus mykiss), menunjukkan bahwa kromium-ragi (Cr3+) mampu berperan dalam peningkatkan respon imunitas berupa peningkatan aktivitas sel-sel fagosit, respiratory burst dan serum lysozyme. Aplikasi kromium-ragi (Cr3+) dalam pakan baru-baru ini teruji pula mampu meningkatkan


(21)

respon imunitas pada ikan gurame, ditandai dengan kenaikan total sel leukosit dan total immunoglobulin (Hastuti 2004).

Upaya peningkatan respon imunitas ikan mas melalui suplementasi kromium-ragi (Cr3+) pada pakan diharapkan dapat membantu upaya pengendalian keganasan infeksi KHV. Namun efektivitas penggunaannya pada berbagai suhu yang bersifat rentan KHV, masih perlu diuji, demikian pula terkait ketepatan dosis, waktu dan lama pemberiannya. Oleh karena itu pada penelitian ini, diteliti efektivitas penggunaan kromium-ragi (Cr3+) untuk meningkatkan ketahanan tubuh ikan mas terhadap virus herpes, pada berbagai suhu media yang bersifat rentan KHV.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas penggunaan kromium-ragi (Cr3+) untuk meningkatkan ketahanan tubuh ikan mas terhadap virus herpes, pada berbagai suhu media pemeliharaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar bagi kemungkinan penggunaan kromium ragi (Cr3+) dalam pakan untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh ikan mas dalam upaya pencegahan/pengendalian serangan KHV.

1.3 Perumusan Hipotesis

Hipotesis yang diuji pada penelitian ini adalah jika pemberian kromium-ragi (Cr3+) dalam pakan, pada suhu tertentu efektif meningkatkan respon selular non spesifik berupa total leukosit, jenis leukosit dan aktivitas sel fagositik, maka daya tahan tubuh ikan mas akan meningkat sehingga mampu menahan serangan KHV.


(22)

2.1. Koi Herpes Virus

2.1.1. Karakteristik Koi Herves Virus (KHV)

Virus merupakan kompleks nucleoprotein, dan bersifat parasitik. Pada keadaan yang paling sederhana, virus terdiri atas satu molekul asam nukleat (RNA atau DNA, tidak pernah keduanya) dan suatu selubung protein. Virus memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga tidak bisa dilihat dengan mikroskop cahaya, kebanyakan berukuran 30-100 nm, namun ada pula lebih besar seperti poxvirus (200-400 nm) dan fitovirus (lebih dan 1000 nm) (Voyle 2002). Dalam kehidupannya virus bersifat parasit intraseluler, tidak mempunyai metabolisme sendiri dan hanya dapat bereplikasi dengan bantuan sel-sel lain (inangnya), karena itu virus tidak dianggap sebagal organisme yang berdiri sendiri. Virus bersifat patogen karena dalam perkembangannya ia dapat mengganggu/merusak sel-sel inang sehingga menyebabkan terjadinya penyakit (Voyle 2002).

Virus herpes merupakan salah satu jenis virus yang berbiak dalam inti sel inang dan membentuk badan inklusi yang disebut cowdry type A. Dalam penyebarannya virus herpes bergerak dari satu sel ke sel lainnya melalui jembatan antar sel karena bersatunya sel-sel (cell fusion), dengan demikian tidak ada kontak antara virus dengan lingkungan di luar sel (Malole 1988). Berdasarkan strukturnya morfologinya kelompok virus Herpesviridae terdiri atas genom DNA linier utas ganda yang dikemas dalam suatu kapsid ikosahedral, bagian kapsid ini dikelilingi oleh permukaan tegument proteinaceous dan pada bagian terluar terdapat selubung (amplop) (Waltzek et al. 2005).

Dari sejumlah banyak virus DNA yang menyerang ikan, Herpesvirus merupakan jenis virus yang paling banyak ditemui, namun masih sedikit yang dapat diisolasi (Hedrick et al. 2000). Salah satu virus dari kelompok Herpesviridae yang menyerang kelompok ikan Cyprinidae yang telah berhasil diisolasi yaitu Cyprinid herpesvirus (CHV). Cyprinid herpesvirus (CHV) telah diisolasi dan kemudian didemonstrasikan oleh Sano (Hedrick et al. 2000) menyebabkan carp pox, yaitu kelainan kulit musiman yang dikarakterisasi melalui


(23)

keberadaan tumor pada sisik/mukus ikan mas (Cyprinus carpio). Sejak tahun tahun 1998, agen virus dari kelompok Herpesviridae yang lain telah menimbulkan wabah kematian yang hebat pada ikan mas dan koi (Cyprinus carpio), dengan kematian di kolam berkisar 80-100% (Pirelberg et al. 2003), dan sebaran wilayahnya menyeluruh meliputi, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Italia, Belanda, Israel, Indonesia, Jepang dan Korea (Hedrick et al. 2000; Gilad et al. 2003; Ronen et al. 2003; Ilouze et al. 2006).

Hedrick et al. (2000) berhasil melakukan isolasi terhadap agen virus tersebut pada kultur sel (Koi Fin cells-1), dan observasi yang lebih detail dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan bahwa morfologi dan ukuran dari virus adalah konsisten ke dalam famili Herpesviridae (Hedrick et al. 2005). Virion virus tersebut tersusun atas suatu inner capsid dengan simetri ikosahedral dengan kisaran diameter 100-110 nm. Dijelaskan pula bahwa virion virus mempunyai tegument yang terletak diantara amplop dan nukleokapsid, sehingga diameter virion matang berkisar 170-230 nm. Berdasarkan morfologi dan ukurannya serta tahapan perkembangannya dalam inang, maka virus ini dinamai KHV (koi herpes virus).

2.1.2. Patogenitas dan Gejala Klinis

Menurut Malole (1988), patogenitas merupakan studi tentang proses atau mekanisme terjadinya infeksi virus sampai menimbulkan penyakit, yang meliputi interaksi antara virus, inang dan lingkungan. Untuk menginfeksi suatu sel, pertama-tama virus harus kontak dengan permukaan sel, lalu masuk ke dalam dinding sel. Dijelaskan pula oleh Fenner et al. (1993) bahwa kulit merupakan permukaan tubuh terbesar, virus dari famili Herpesviridae dapat masuk melalui luka/lecet kecil pada permukaan kulit. Di dalam dinding sel virus membuka selubungnya untuk memungkinkan keluar dan bereplikasi.

Virus herpes merupakan salah satu jenis virus yang berbiak dalam inti sel inang dan membentuk badan inklusi yang disebut cowdry type A. Memperoleh amplopnya sewaktu budding melalui membran inti sel. Penyebaran virus dari sel ke sel melalui jembatan antar sel karena bersatunya sel-sel (cell fusion). Dengan demikian tidak ada kontak antara virus dengan lingkungan di luar sel. Apabila


(24)

virus herpes telah menginfeksi inang, maka sejumtah virus ini akan tetap tinggal dalam bentuk laten seumur hidup inangnya (Malole 1988).

Menurut Taukhid et al. (2004), mekanisme penularan KHV dalam

kegiatan akuakultur umumnya terjadi melalui kontak antar ikan, cairan dari ikan yang terinfeksi, lewat air/lumpur yang terkontaminasi, peralatan perikanan serta media transportasi. Hal ini didukung pula oleh pendapat (Perelberg et al. 2003) bahwa partikel virus tersebut masih dapat bertahan di luar inang (dalam air) dan masih infektif sekurangnya selama 4 jam.

Walaupun KHV dalam penyebarannya tergolong penyakit yang sangat menular, namun ternyata bahwa inang dari virus ini sangat terbatas kisarannya. Spesies ikan yang dapat terinfeksi KHV hanya dua jenis, yaitu ikan mas (Cyprinus carpio) dan koi (Cyprinus carpio koi), kedua jenis ikan tersebut sebagai inang utama dan tidak terdapat inang antara. Hasil pengujian Perelberg et al. (2003) menunjukkan bahwa KHV tidak menginfeksi ikan tilapia (Oreochromis niloticus), silver perch (Bidyanus bidyanus), silver carp (Hypopthalmus molitrix), goldfish (Carasius auratus) dan grass carp (Ctenopharyngodon idella). Hasil pengujian Taukhid et al. (2004) mengungkapkan pula bahwa infeksi buatan dengan menggunakan homogenate organ insang asal ikan positif KHV, terhadap beberapa jenis ikan budidaya seperti ikan nila, gurame, komet dan lele; menunjukan bahwa ikan-ikan tersebut bukan inang yang cocok.

Pada sisi lain mekanisme infeksi KHV sangat dipengaruhi pula oleh faktor suhu lingkungan. Dalam sistem budidaya virus ini dapat menginfeksi ikan pada suhu lingkungan yang sangat spesifik, yaitu pada suhu air 18-27 oC (OATA, 2001), 18-28 oC (Gilad et al. 2003; Pirelberg et al. 2003; Perelberg et al. 2005; Ilouze et al. 2006). Kematian ikan akan menurun bahkan berhenti bila suhu berada diatas atau dibawah kisaran toleransi suhu tersebut (Gilad et al. 2003). Kisaran toleransi suhu bagi kehidupan KHV teramati pula pada penelitian secara

in vitro, dimana virulensi dan replikasi virus tersebut pada kisaran toleransi suhu 15-25 °C, dan tidak ada atau minim replikasinya pada suhu 4, 10, 30, 37 °C (Gilad

et al. 2003).

Penyakit KHV menyebabkan kematian yang besar dan bersifat sporadis pada ikan koi dan mas (Hedrick et al. 2000). Kejadian wabah ditandai tingkat


(25)

kematian yang tinggi, 80-100% dari populasi dalam 6-22 hari setelah infeksi pada suhu 18-28 °C (Pirelberg et al. 2003). Menurut OATA (2001), pada suhu 23-28 °C kekuatan sistem pertahanan ikan lebih rendah dibanding virulensi KHV, sehingga ikan tidak mampu menghadapi serangan KHV, dan pada suhu di atas 30 o

C sistem pertahanan ikan lebih kuat dibanding virulensi KHV, sehingga tidak ada lagi kematian ikan oleh virus.

Gejala klinis ikan mas yang terinfeksi KHV menunjukkan kondisi ikan yang lemah, kehilangan keseimbangan dan sulit bernafas. Penampakan luar dari penyakit meliputi luka pada epithelium dengan hilangnya mukus dan kasar, pendarahan pada operkulum, sirip dan insang (Sunarto et al. 2005). Menurut OATA (2001), serangan penyakit ini menunjukkan kematian yang sangat cepat, ikan akan terlihat sakit dan akhirnya mati dalam waktu 24-48 jam. Gejala klinis ikan yang terserang virus herpes adalah pendarahan pada insang, bercak pucat pada insang, mata cekung dan ikan gelisah (kadang tidak aktif berubah menjadi sangat aktif atau sebaliknya).

Dijelaskan pula oleh Taukhid et al. (2004) bahwa serangan koi herpes virus menunjukkan gejala-gejala berupa: 1) produksi lendir (mukus) berlebih sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen, selanjutnya produksi lendir menurun drastis sehingga tubuh. ikan terasa kasat, 2) insang berwarna pucat dan terdapat bercak putih atau coklat (sebenarnya adalah kematian sel-sel insang atau nekrosa insang), selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung tapis insang dan akhirnya membusuk. Secara makroskopis menunjukkan adanya kerusakan jaringan yang serius serta kematian sel yang berat, 3) pendarahan (haemorage) di sekitar pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh lainnya, 4) Adanya kulit melepuh, 5) hati berwarna pucat selanjutnya menjadi rusak, 6) ginjal (anterior dan posterior) berwarna pucat.

Hasil pengamatan (Hedrick et al. 2000) melalui mikroskop cahaya menunjukkan bahwa ikan yang terinfeksi mengalami kelainan pada insang dan organ internal seperti ginjal, limpa, jantung dan saluran pencernaan. Pada insang terjadi hipertropi, hiperplasia dan fusi pada lamella sekunder insang. Sunarto et al. (2000), melakukan pengamatan histopatologi pada jaringan insang dan ginjal terinfeksi KHV. Hasil pewarnaan hematoksilin dan eosin pada jaringan


(26)

tubuh/organ yang terinfeksi menunjukan perubahan jaringan berupa pembentukan badan inklusi yang bersifat eosinofilik dengan inti hipertropi dan kromatin yang sedikit bersifat basofilik. Hipertropi pada inti disebabkan karena penumpukan virion-virion dalam nukleus.

2.1.3. Diagnosa Virologis KHV

Menurut Taukhid et al. (2004) upaya untuk mendiagnosa KHV dapat dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pendekatan langsung adalah dengan melihat keberadaan virus atau partikel virus secara langsung, melalui kegiatan isolasi dan identifikasi virus secara in vitro pada kultur jaringan dengan pengamatan cytophatic effects (CPE); penggunaan mikroskop elektron untuk pengamatan partikel virus dan teknik polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA virus. Sedangkan secara tidak langsung dilakukan dengan mendeteksi respon dari inang akibat infeksi virus (misalnya antibodi). Diagnosa tidak langsung dilakukan dengan pengamatan enzim linked immunosorbent assay test (uji ELISA) dan flouresecent antibody tecnique (FAT)

Metoda diagnosa KHV pada ikan mas dan koi telah distandarkan pula oleh FAO/NACA/OIE (Sunarto et al. 2005), yang dilakukan melalui 3 level diagnosa. yakni : pengamatan lapangan dan gejala klinis (level 1), perubahan histopatologi (level 2) dan biologi molekuler (level 3). Karakter kematian ikan mas dan koi yang tinggi dalam 7 hari dengan menunjukkan kerusakan insang dengan atau tanpa gejala klinis (level 1), secara histopatologi pada ikan sakit, konsisten ditemukan adanya amphophilik intranuklear badan inklusi dengan marginasi kromatin periperal pada sel epitel insang dan sel epitel pada tubular ginjal (diagnostik level 2), deteksi PCR menggunakan primer spesifik (diagnostik level 3). Karakter gejala klinis (level 1) yang telah umum dikenal yaitu munculnya warna pucat pada insang dan terdapat bercak putih (Hedrick et al. 2000; Taukhid

et al. 2004; Hedrick et al. 2005).

2.2. Hematologi

Darah ikan tersusun dari sel-sel darah yang tersuspensi dalam plasma dan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup. Menurut Takashima dan Hibiya (1995), darah tersusun atas cairan darah (plasma darah)


(27)

dan elemen-elemen seluler (sel-sel darah). Plasma darah terdiri dari air, protein (yakni albumin, globulin, dan faktor-faktor koagulasi), lipid dan ion. Adapun sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit).

Sel darah merah (eritrosit) ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat dan oval tergantung pada jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al.,

1991).

Sel darah putih (leukosit) ikan merupakan bagian dari sistim pertahanan tubuh yang bersifat non spesifik. Leukosit ikan terdiri dan granulosit dan agranulosit. Lagler et al. (1977) mengungkapkan, bahwa granulosit terdiri dari limfosit, monosit dan trombosit, sedangkan agranulosit terdiri dari basofil, netrofil dan eosinofil.

Secara morfologinya, limfosit adalah berupa sel darah kecil dengan nukleus yang besar (menempati bagian terbesar dari sel) tidak bergranula dan dikelilingi sejumlah kecil sitoplasma (Chinabut et al. 1991; Takashima & Hibiya 1995). Limfosit biasanya merupakan proporsi sel darah putih terbanyak (Takashima dan Hibiya 1995). Menurut Blaxhall (1972) kisaran limfosit adalah 71.12-82.88 % dari total leukosit. Namun kisaran jumlah limfosit pada ikan sangat bervariasi, tergantung tempat, musim , umur, spesies dan dipengaruhi pula oleh sex dan tingkat kematangan (Svobodova et al. 2001; Tierney et al. 2004). Limfosit merupakan sel-sel respon pertahanan tubuh terpenting, dan diklasifikasikan kedalam 2 sub-klas: sel B dan sel T. Sel B mempunyai kemampuan untuk bertranformasi menjadi sel plasma, yaitu sel yang memproduksi antibodi. Sedangkan sel T sangat berperan dalam mengontrol respon imun (Kresno 2001; Almendras & Catap 2002).

Monosit ikan berbentuk bulat-oval, intinya terletak ditengah sel dengan sitoplasmanya tidak bergranula (Takashima dan Hibiya 1995). Monosit berkemampuan masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Peran monosit sangat penting, sebagai sel fagosit utama untuk menghancurkan berbagai patogen penyerang dan berperan pulan sebagai antigen presenting cells

(APC) yang fungsinya untuk menyajikan antigen kepada sel limfosit (Kresno 2001; Kollner et al. 2002).


(28)

Trombosit merupakan sel darah yang tidak berinti dan paling kecil ukurannya. Ciri khusus trombosit adalah lingkaran sitoplasmanya tipis di sekeliling inti, yang berwarna cerah dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al.

1991). Trombosit ini berperan penting dalam kejadian imflamasi dan dan pendarahan (membantu proses pembekuan darah) (Kresno 2001).

Chinabut et al. (1991) menyebutkan, bahwa netrofil berbentuk bulat dengan inti dapat memenuhi sebagian ruang sitoplasma dan terdapat granula dalam sitoplasmanya. Seperti halnya monosit/makrofag, sel netrofil berperan pula dalam respon nonspesifik dengan melakukan fagositosis untuk menyingkirkan mikroorganisme penyerang (Kresno 2001; Kollner et al. 2002). Selain netrofil, terkadang dapat pula ditemukan adanya granulosit lainnya yakni basofil dan eosinofil Ferguson (1989). Sitoplasma basofil terlihat kebiruan, bergranula besar, intinya berlobus dua; sedangkan sitoplasma eosinofil berwarna merah, dengan granula besar dan intinya terletak ditepi sel.

Sel dan cairan darah (plasma darah) mempunyai peran fisiologi yang sangat penting. Berbagai perubahan fisiologis pada ikan terjadi karena sangat dipengaruhi oleh lingkungan maupun agen infeksius, dan perubahannya dapat dinilai berdasarkan perubahan dalam komponen-komponen darah (Kollner et al. 2002; Swain et al. 2007). Dijelaskan pula oleh Ellsaesser et al. (1985) bahwa pemeriksaan darah penting artinya untuk memantapkan diagnostik suatu penyakit. Sehingga perubahan gambaran darah banyak digunakan untuk menilai status kesehatan ikan (Amrullah 2004; Hastuti 2004)

Dalam penelitian hematologik ikan, parameter darah yang diukur meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, lekosit total dan hitung jenis lekosit (Wedemeyer dan Yasutake 1977). Parameter lainnya yang juga sering diukur antara lain protein plasma total, titer antibodi, aktivitas fagositik dan kadar kortisol plasma (Anderson dan Siwicki 1993).

Blaxhall (1972) mengatakan, bahwa kadar Hb merupakan indikator anemia. Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan mendapat infeksi, sedangkan meningkatnya kadar hematokrit, menunjukkan ikan ada dalam keadaan stres (Anderson dan Siwicki 1993).


(29)

Rendahnya jumlah eritrosit menunjukkan ikan menderita anemia, kerusakan ginjal; sedangkan tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977). Perubahan nilai leukosit total dan hitungan jenis leukosit dapat dijadikan indikator adanya penyakit infeksi tertentu yang terjadi pada ikan (Blaxhall 1972).

Anderson dan Siwicki (1993) mengulas tentang aktivitas fagositik yang rendah berkaitan dengan infeksi kronis dan meningkat dalam keadaan permulaan infeksi. Berkaitan dengan kondisi stres, Anderson (1990) mengemukakan, bahwa secara umum ikan dalam keadaan stres kadar kortisol dan kadar glukosa dalam plasma darah tinggi.

2.3. Sistim Pertahanan Ikan

Ikan mengalami kontak yang sangat intim dengan lingkungannya, yang mengandung berbagai mikroba patogen, misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi (Ellis 2001). Untuk mempertahankan diri terhadap serangan berbagai patogen tersebut ikan memiliki berbagai respon pertahanan tubuh yang tersusun dalam suatu sistem pertahanan yang komplek dan disebut sebagai sistem imun (Almendras & Catap 2002).

Berbagai komponen pendukung sistem imun dibentuk oleh jaringan limfoid. Pada ikan, jaringan ini menyatu dengan jaringan mieloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomieloid. Organ limfomieloid pada ikan teleostei adalah ginjal depan, timus dan limpa (Fange 1982), produknya berupa sel-sel darah dan respon pertahanan selular dan humoral. Menurut (Rombout et al.

2005), pada ikan teleostei ginjal merupakan organ myelopoeitic, berperan dalam pembentukan berbagai kelompok sel darah putih seperti monosit/makrofag dan granulosit (netrofil, basofil, eosinofil), selain itu ginjal depan berperan pula sebagai organ utama dalam pembentukan sel limfosit B. Organ timus dalam perkembangannya berperan sebagai organ limfoid yaitu membentuk limfosit T. Adapun organ limpa lebih banyak berperan dalam pembentukan sel trombosit dan sel darah merah (eritrosit). Dijelaskan pula oleh Takashima dan Hibiya (1995), peran lain limpa dalam sistem pertahanan adalah pengaturan volume darah yang beredar di jaringan dan melakukan penjeratan berbagai material antigen.


(30)

Berdasarkan sifat responnya dalam menghadapi agen patogen penyerang, sistem imun terbagi atas sistem pertahanan alamiah (innate immunity) yang bersifat non spesifik dan pertahanan adaptif (adaptive immunity) yang bersifat spesifik (Almendras & Catap 2002). Menurut Ellis (2001) pertahanan non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan, bereaksi cepat/langsung dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme patogen (antigen). Disebut pertahanan non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu dan telah ada sejak lahir (alamiah). Sedangkan sistem pertahanan spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Jadi pertahanan spesifik merupakan lapis pertahanan kedua, namun sangat spesifik terhadap antigen tertentu yang menginduksinya dan mampu membentuk memori spesifik antigen (Shoemaker et al. 2001). Namun dalam implementasinya, mekanisme pertahanan terhadap antigen merupakan interaksi antara peran sitem non spesifik maupun spesifik dan respon keduanya bersifat saling menguatkan.

Sistem Imun Non Spesifik

Sistem pertahanan nonspesifik pada ikan, meliputi barrier mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) serta respon imun selular yang melibatkan sel-sel yang mampu memfagosit (monosit/makrofag, dan kelompok granulosit) (Almendras & Catap 2002). Mukus ikan, menyelimuti permukaan tubuh, insang dan terdapat juga dalam lapisan mukosa usus berperan untuk memperangkap patogen secara mekanik dan mengeliminasinya secara kimiawi dengan lisosim dan enzim proteolitik lainnya. Selain itu mukus mengandung imunoglobulin, aglutinin alamiah dan lisin yang berkemampuan untuk mengeliminir patogen (Balfry & Higgs 2001).

Menurut Almendras dan Catap (2002), sistem imun non spesifik ikan didukung dua komponen utama yaitu respon selular dan respon humoral. Dijelaskan pula bahwa respon selular dalam implementasinya terdapat dalam beberapa tipe mekanisme meliputi: imflamasi, fagositosis (fagositosis killing mechanism), fagositosis sebagai penyajian antigen (antigen presenting cells), dan


(31)

Imflamasi merupakan upaya proteksi dan pengisolasian suatu situs infeksi, hal ini terjadi segera setelah masuknya antigen (bakteri, virus, fungus, parasit). Masuknya antigen ke dalam jaringan akan merangsang terjadinya pemusatan sel-sel sistem imun dan produk yang dihasilkannya di area infeksi (Secombes 1996; Balfry & Higgs 2001). Dijelaskan pula oleh Tizard (1988) bahwa inflammatory respons merupakan upaya proteksi reaksi restoratif dari tubuh sejak ikan berusaha menjaga kondisi homeostasis/kestabilan sistem dari pengaruh lingkungan yang kurang baik.

Aktivitas fagositik merupakan pertahanan pertama dari respon selular (Woo, 1995) dan dilakukan oleh monosit/makrofag dan granulosit (Kollner et al. 2002). Proses fagositosis meliputi pengenalan material yang akan dieliminir, tahap kemotaksis, tahap perlekatan, tahap penguraian sel dan melakukan digesti internal dengan beberapa mekanisme antimikrobial. Menurut Kollner et al. (2002) sirkulasi sel darah putih (monosit/makrofag, dan granulosit) membentuk suatu kesatuan jaringan pertahanan yang mampu mengeliminasi berbagai patogen penyerang dan sekresinya (faktor terlarut) melalui fagositosis tanpa suatu aktivasi awal.

Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit berkontribusi pula dalam mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi respon sel limfosit. Partikel yang difagosit diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit. Presentasi antigen kepada sel limfosit (T-helper) menyebabkan terjadinya seksresi berbagai mediator terlarut yang terlibat dalam aktivasi sel limfosit seperti interleukuin 1 (IL-1) (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002).

Mekanisme lain dari pertahan seluler adalah non specific cytotoxic cells

(NCCs), pada mamalia dikenal sebagai sel natural killer. Sel natural killer

merupakan subpopulasi sel limfosit yang dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa pengaktifan terlebih dahulu dan tanpa bergantung pada produk-produk MHC. Pada ikan, respon sel sitotoksik ini bersifat spontan dan mempunyai toksisitas non spesifik yang dapat menghancurkan berbagai sel-sel asing yang menyerang (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002). Identifikasi NCCs terdapat pada chanel catfish. Pada tingkat genetik ditemukan


(32)

pula sekuen putative dari natural killer enhancing factor (NKEF) pada ikan

rainbow trout dan mas (Fischer et al. 2006).

Sistem imun non spesifik didukung pula oleh berbagai faktor humoral yang dapat berperan pula dalam perlawanan terhadap invasi patogen. Subtansi ini bereaksi melakukan lisis berbagai mikroba patogen, melapisi (opsonisasi) atau menghambat pertumbuhannya. Berbagai subtansi tersebut meliputi: acute phase protein, komplemen, interferon, lytic enzyme dan enzim inhibitor. Diantara berbagai subtansi tersebut, komplemen dan interferon sangat berperan dalam respon pertahan terhadap infeksi virus (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002).

Menurut Almendras dan Catap (2002) sistem komplemen terdiri dari sekitar 30 protein serum yang dapat diaktifkan menjadi komplemen bagi respon imun. Terdapat dua jalur pengaktifan komplemen yaitu: (1) jalur klasik yang tergantung pada keberadaaan kompleks antigen-antibodi dan (2) jalur alternatif, jalur pengaktifannya tidak tergantung antibodi. Beberapa faktor eksternal seperti: LPS, dinding sel fungi (B-1,3-glucan) dapat mengaktifkan jalur alternatif (Almendras & Catap 2002; Magnadottir et al. 2005). Pada infeksi virus aktivasi jalur alternatif tersebut terjadi terutama setelah infeksi oleh amplop virus yang matang oleh budding melalui membran plasma sel inang (Murphy et al. 1999), karena aktivasinya tidak memerlukan antibodi sehingga respon dapat segera terjadi setelah adanya invasi virus.

Interferon adalah sekresi protein (sitokin) yang menginduksi status anti viral pada sel inang, dan memainkan peran dalam pertahanan terhadap infeksi virus pada vertebrata. Interferon disekresikan oleh sel inang yang terifeksi dan ditransfer ke dalam darah untuk memberi isyarat bahaya pada sel-sel lain dalam tubuh. Pada ikan, aktifitas seperti interferon (IFN-like activity) teridentifikasi sejak tahun 1965, terdeteksi pada sel dari sejumlah spesies ikan, setelah infeksi oleh virus. Baru-baru ini IFNs ikan dengan struktur dan fungsi yang sama dengan IFNs tipe I telah diklon dari Atlantic salmon, chanel catfish, pufferfish dan

zebrafish (Robertsen 2006). Dijelaskan pula oleh Robertsen (2006) bahwa dua famili dari IFNs (tipe I dan II) dan dapat dibedakan berdasarkan pada sekuensi gen, struktur protein dan fungsi yang dimilikinya. IFNs tipe I terdiri dari classical


(33)

IFN-α/ßs, yang diinduksi umumnya oleh virus di dalam sel, sedangkan IFN tipe II adalah identik dengan IFN-γ dan ia diproduksi melalui sel natural killer (sel NK) dan limfosit T sebagai respon terhadap interleukin-12 (IL-12), interleukin-18 (IL-18), mitogen atau antigen (Robertsen 2006).

Sistem Imun Spesifik

Sel limfosit merupakan inti dalam respon imun spesifik karena sel-sel ini merupakan merupakan sel yang mengenal berbagai antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstraselular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah (Kresno 2001). Menurut Almendras dan Catap (2002), antigen adalah substansi spesifik yang dapat merangsang suatu respon imun antigen dapat berupa molekul yang berada pada permukaan patogen atau juga dapat berupa toksin yang diproduksi oleh patogen. Umumnya substansi antigen tersebut berupa molekul besar seperti protein, polisakarida dan asam nukleat.

Sistem imun ikan mengenal dan merespon hanya pada bagian kecil dari molekul besar antigen, yang dikenal dengan istilah antigenic determinant atau

hapten. Sel limfosit mempunyai reseptor membran bagi antigen spesifik. Reseptor tersebut berupa protein yang secara spesifik mengenal dan berikatan dengan antigen (Almendras dan Catap 2002).

Sistem imun spesifik (adaptive immunity) pada dasarnya merupakan mekanisme interaksi antara sel limfosit dan fagosit. Respon spesifik ini diawali dengan kerja sel-sel fagosit/makrofag atau antigen presenting cell (APC) yang memproses dan mempresentasikannya pada sel-sel imun spesifik (Kresno 2001; Kollner et al. 2002). Pengolahan antigen merupakan proses yang penting untuk stimulasi limfosit selanjutnya, karena reseptor pada sel limfosit akan mengenali antigen berdasarkan susunan asam amino dalam rantai peptida (bukan bentuk proteinnya). Peptida antigen (hasil pengolahan) akan dipresentasikan bersama-sama molekul protein MHC (major histocompatibility complex) haplotype tertentu membentuk struktur yang unik pada permukaan sel makrofag/APC, dan dapat dikenali oleh reseptor sel T (TcR) (Kresno 2001). Pengenalan struktur unik MHC-peptida antigen oleh limfosit T, mengakibatkan sel-sel imun berproliferasi dan berdiferensiasi, menjadi sel yang memiliki kopetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen tersebut. Berdasarkan bentuk responnya, sistem imun


(34)

spesifik pada dasarnya terbagi dua yaitu: respon imun selular yang merupakan fungsi dari sel limfosit T, dan respon humoral yang merupakan fungsi dari sel limfosit B (Almendras & Catap 2002).

Respon imun selular sangat diperlukan untuk melawan organisme intraselluler. Sub populasi sel T yang disebut sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui MHC (major histocompatibility complex) kelas II yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T yang lain disebut T-sitotoksik, berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme intrasel yang yang disajikan melaiui MHC kelas I secara Iangsung (cell to cell). Selain itu, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke dalam sel lain (Kresno 2001; Almendras & Catap 2002). Menurut Fischer (2006), mekanisme ini dikenal sebagai spesifik cell-mediated cytotoxicity (spesifik CMC).

Respon humoral pada sistem imun spesifik dilakukan melalui sekresi protein-protein terlarut yaitu antibodi atau immunoglobulin (Ig), yang mengalir dalam darah dan limpa, mereka bergabung dengan antigen dan menetralkannya. Struktur dasar molekul immunoglobulin (Ig) terdiri dari dua rantai polipeptida berat (rantai H) dan polipeptida rantai ringan (rantai L) (Shoemaker et al. 2001). Kedua rantai tersebut ditautkan oleh ikatan disulfida dan memiliki situs pengikatan antigen. Ikan hanya memiliki 1 kelas Ig yaitu Ig M-like (Rosenhein et al. 1986) dengan berat molekul 700kDa (Lobb 1986).

Respon humoral yang diperantarai antibodi awalnya merupakan fungsi dari sel limfosit B. Sel B dapat mengenal antigen dan berinteraksi dengan afinitas yang tinggi karena adanya immunoglobulin spesifik (sIg) yang berfungsi sebagai reseptor antigen. Sel B sebagai APC akan menangkap antigen melalui proses endositosis, masuk ke dalam sitoplasma, diproses menjadi fragmen-fragmen. Fragmen antigen tersebut bersama-sama dengan MHC kelas II selanjutnya dipresentasikan pada limfosit Th (penolong), proses pengenalan komplek protein MHC kelas II-fragmen antigen (hapten) akan mengaktivasi sel B untuk berproliferasi dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat


(35)

menghasilkan antibodi (Fenner et al. 1993; Kresno 2001; Almendras & Catap 2002).

Mekanisme pengaktifan sel-sel limfosit oleh suatu antigen, selain menyebabkan proliferasi dan diferensiasi klon limfosit yang diperlukan untuk menghadapi antigen, juga menyisakan klon limfosit memori (Almendras & Catap 2002). Klon limfosit memori ini dapat mengenali antigen bersangkutan, dan mampu menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan kuat pada kejadian infeksi di masa depan.

2.4. Virulensi KHV, Respon Imunitas Ikan dan Suhu Lingkungan

Ikan merupakan hewan poikilothermik, ia tidak mampu untuk mengatur suhu internal tubuhnya (Bowden et al. 2006). Karena suhu badan ikan sangat dipengaruhi oleh suhu air sebagai lingkungannya, maka proses-proses fisiologis yang terjadi di dalamnya sangat dipengaruhi oleh suhu air. Demikian pula halnya dengan respon imun sebagai suatu proses fisiologi dipengaruhi oleh suhu (Manning dan Nakanishi 1996). Beberapa faktor lainnya yang juga mempengaruhi pembentukkan respon imun adalah hormon kortisol, umur ikan dan densitas ikan (Ellis 1988).

Suhu merupakan faktor lingkungan utama yang menstimulasi perubahan respon imun pada beberapa spesies ikan, baik innate maupun acquired/adaftive immune respon (Bowden et al. 2006). Sebagian peneliti berpendapat bawa respon imun non spesifik (innate immunity) tidak dipengaruhi oleh suhu, dan sebaliknya

acquired immunity dipengaruhi oleh suhu (Elllis 2001). Namun terbukti pada ikan chanel catfish dan tench bahwa innate imunity juga dapat dipengaruhi suhu (Bowden et al. 2006).

Suhu yang lebih tinggi (pada kisaran fisiologi normal) dapat meningkatkan respon imun (Bowden et al. 2006), sedangkan suhu yang lebih rendah akan menekan fungsi imunitas (non permissive temperature ), dan terdapat pula kisaran suhu optimal untuk aktivitas respon imun terbaik (immunologycally permissive) (Manning dan Nakanishi 1996). Pada dasarnya di dalam suatu mekanisme respon imun terdapat berbagai kejadian kompleks, dimana beberapa fase/kejadian mungkin lebih sensitif terhadap suhu dibanding dengan kejadian lainnya.


(36)

Pengaruh suhu terhadap respon imun spesifik terutama respon humoral telah diuji oleh (Morvan et al 1998). Respon ikan mas yang diimunisasi terhadap bovine serum albumin, terbukti bahwa repon primer antibodi mengalami hambatan pada suhu rendah. Sedangkan hasil penelitian lainnya, menunjukkan bahwa pada suhu yang lebih rendah respon primer antibodi bersifat terunda namun nilai besarannya tetap (Rijkers et al. 1980), atau terkurangi (Einarsdottir et

al. 2000). Gangguan dalam pembentukan antibodi mencerminkan fungsi

pembangkitan sel limfosit T-helper yang peka terhadap suhu rendah (Morvan et al. 1998). Menurut Manning dan Nakanishi (1996), proliferasi dari sel limfosit T terhadap mitogen ConA berkurang pada suhu rendah. Dijelaskan pula oleh Morvan et al. (1998) bahwa pembangkitan T-helper mengalami hambatan pada suhu rendah, sedang sel T memori dan sel B tidak terganggu. Pengujian lain mencatat pula bahwa suhu rendah menekan pula terhadap fungsi spesifik limfosit sitotoksik pada ginjal ikan mas (Morvan et al. 1998). Jadi pada sistem imun spesifik, suhu rendah dapat berpengaruh negatif terhadap respon humoral maupun seluler.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaruh suhu rendah dapat bersifat menekan pula pada sistem imun non spesifik. Respon imun non spesifik yang mendapat perhatian adalah fagositosis dan NCCs (Nonspecific cytotoxic Cells). Berdasarkan evaluasi terhadap aktivitas fagositosis pada ikan chanel catfish (Ichtalurus punctatus), menunjukkan bahwa sel-sel fagosit bersifat resisten terhadap suhu rendah, bahkan mekanisme adaptasi dari sel fagosit mampu mendorong peningkatan aktivitas ledakan respirasi (respiratory burst) (Morvan et al. 1998). Sedangkan NCCs bersifat lebih sensitif pada suhu rendah (Morvan et al. 1998). Tercatat bawa aktivitas aktivitas lytic yang diperantarai oleh NCCs terhadap sel-sel murine mastocytoma meningkat pada suhu rendah. Respon peningkatan NCCs dapat terjadi segera (24 jam) setelah ia diekpos pada suhu rendah, dan efek maksimum terjadi pada minggu ke-4 dan menghilang pada minggu ke-8. Sebagai tambahan adalah aktivitas komplemen lewat jalur alternatif berperan dominan selama periode suhu rendah, sedangkan jalur klasik tertekan (Morvan et al. 1998). Kesimpulannya, pada suhu rendah sistem pertahanan non spesifik pada ikan teleost cenderung lebih berperan menggantikan respon imun


(37)

spesifik yang tertekan, sebelum pada akhirnya akan terjadi pula mekanisme adaptasi dari respon spesifik.

Kasus KHV umumnya sangat terkait dengan kondisi lingkungan perairan, terutama suhu air. Bahkan Gilad et al. (2003) menyimpulkan bahwa faktor yang paling nyata mempengaruhi virulensi KHV adalah suhu air. Berdasarkan penelitian pada kondisi laboratorium, kisaran toleransi untuk virulensi dan replikasi virus tersebut secara invitro adalah pada kisaran 15-25 °C, dan tidak ada atau minim replikasinya pada suhu 4, 10, 30 dan 37°C. Sedangkan berdasarkan data lapang yang dihimpun OATA (2001), bahwa serangan virus herpes yang menyebabkan kematian adalah pada suhu 18-27°C. Pada kejadian wabah di Indonesia tercatat serangan KHV yang mematikan adalah pada suhu 23-27°C, dan kematian ikan akan menurun bila suhu berada diatas atau tidak terdapat kejadian infeksi pada suhu 30°C dan diatasnya (Taukhid et al. 2004).

Virulensi KHV pada kasus infeksi ikan mas sangat dipengaruhi suhu, dimana suhu akan berpangaruh langsung terhadap replikasi virus, dan di lain pihak replikasi virus dipengaruhi secara tidak langsung oleh perubahan (berkurang atau bertambahnya) keampuhan respon imun ikan (Alcorn et al. 2002). Karena respon imun ikan sebagai vertebrata ectothermic, sangat dipengaruhi suhu (Ahne et al. 2002).

Masuknya patogen ke tubuh ikan dicapai melalui beberapa mekanisme yang tergantung pada fisiologis ikan (status kesehatan organisme), virulensi dan jumlah dari agen patogen dan kondisi lingkungan. Jika kesehatan organisme menurun, atau kondisi Iingkungan kurang mendukung, maka organisme akan mengalami stres. Hal ini akan menyebabkan kemampuan organisme mempertahankan diri dari serangan penyakit menurun, sehingga patogen dapat menginfeksi ikan (Elliss 1981).

2.5. Kromium-ragi (Cr3+) sebagai Immunostimulan

Immunostimulan merupakan suatu senyawa biologi dan sintetis atau bahan lainnya yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Apabila masuk ke dalam tubuh ikan, akan merangsang makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit yang kemudian membelah menjadi limfosit-T dan B. Limfosit-T memproduksi interferon yang meningkatkan kemampuan


(38)

makrofag sehingga dapat memfagositosis bakteri, virus dan partikel asing lainnya yang masuk ke dalam tubuh ikan. Masuknya immunostimulan juga akan merangsang makrofag untuk memproduksi lebih banyak lisozim dan komplemen. Interleukin juga menggiatkan limfosit-B untuk memproduksi antibodi (Raa et al.

1992).

Berdasarkan sumber bahannya (Sakai 1999; Dalmo dan Bricknell 2005) membagi immunostimulan dalam beberapa kelompok yaitu: bahan asal bakteri, bahan asal alga, bahan asal hewan, faktor nutrisi dan hormon/sitokin. Beberapa bahan dari faktor nutrisi berpengaruh dalam mendukung kesehatan dan mengurangi kerentanan terhadap penyakit (Gatta et al. 2001), sehingga bahan tersebut tergolong sebagai bahan immunostimulan. Sejumlah bahan nutrisi mikro berupa vitamin meliputi vitamin (ascorbic acid) C, (tocopherol) E, retinol dan

pyridoxine, mampu berperan sebagai immunostimulan (Blazer, 1992 ; Pulsford et al. 1995 dalam Gatta et al. 2001). Bahan mikro nutrisi kromium akhir-akhir ini mendapat perhatian pula sebagai bahan immunostimulan bagi ikan (Gatta et al.

2001; Hastuti 2004).

Kromium (Cr3+) merupakan trace element essential untuk hewan dan manusia (Lall 2002) dan merupakan komponen penting pada GTF (glucose toleranice faktor). GTF (glucose tolerance faktor) adalah suatu komponen hati yang larut dalam air, plasma darah, ragi brewer (brewer’s yeast) dan beberapa ekstrak biologis serta sel (Linder 1992). GTF yang mengandung Cr (kompleks organik) berpotensi meningkatkan bioaktivitas insulin sampai 2 kali lipat dalam rnentransfer glukosa ke sel, glikogenesis, lipogenesis, dan transport serta pengambilan asam amino.

Beberapa kriteria fisiologis tubuh, termasuk fungsi imunitas, dapat ditingkatkan oleh kromium trivalensi, dan efeknya terlihat lebih jelas selama stres. Sistim imunitas dipengaruhi secara negatif selama stres. Hubungan antara kromium dan fungsi imunitas telah diteliti pada sapi dan angsa. Konsentrasi total imunoglobulin dan IgM ditemukan mengalami peningkatan setelah stres transportasi pada sapi yang diberi suplemen ragi yang mengandung kromium (Chang dan Mowat 1992). Suplementasi kromium dalam ikatan chelat juga


(39)

meningkatkan produksi antibodi dalam merespon ovalbumin pada sapi setelah melahirkan (Van de Ligt et al. 2002).

Hasil penelitian yang konsisten adalah bahwa kromium mereduksi tingkat kortisol serum (Berger 1996). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kromium sangat bermanfaat selama periode stres, karena dalam periode tersebut, hewan akan meningkatkan mobilisasi kromium dan simpanan dalam tubuh (Berger 1996). Dalam periode stres, sapi mudah mengalami defisiensi Cr, dan setelah diberi suplemen kromium organik menghasilkan produksi, status kekebalan dan kesehatan yang nyata meningkat, namun konsentrasi kortisol dalam darah menurun selama kondisi sangat stres (Burton 1995). Respon penurunan kortisol (kortikosteron) juga ditemukan pada burung quail yang diberi pakan dengan suplemen kromium-pikolinat dan dipelihara dalam kondisi stres suhu (Sahin et al.

2002).

Studi peran kromium pada ikan umumnya terkait dengan metabolisme, pertumbuhan dan toksisitas. Sejumlah penelitian mengenai peran kromium dalam metabolisme menunjukkan bahwa kromium berpengaruh positif dalam peningkatan pertumbuhan ikan mas (Jain et al. 1994 dalamGatta et al. 2001), dan meningkatkan pemanfaatan karbohidrat pada ikan mas dan nila (Hertz et al. 1989; Shiau & Chen 1993; Shiau & Shy 1998 dalam Gatta et al. 2001). Namun aplikasi kromium pada ikan chanel catfish (Ichtalurus punctatus) oleh (Ng & Wilson 1997) dan gilthead sea bream (Sparus aurata) oleh (Fernandes et al. 1999) menunjukkan respon negatif.

Peran kromium sebagai immunostimulan pada mamalia telah mendorong pula kajian yang sama pada ikan. Hasil pengujian Gatta et al. (2001) pada ikan

rainbow trout (Onchorinchus mykiss), menunjukkan bahwa kromium ragi (Cr3+) mampu berperan meningkatkan respon imunitas berupa peningkatan aktivitas sel-sel fagosit, respiratory burst dan serum lysozyme. Aplikasi kromium-ragi (Cr3+) dalam pakan baru-baru ini efektif juga diterapkan sebagai immunostimulan pada ikan gurame (Hastuti 2004). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan kromium-ragi (Cr3+) dalam pakan sebesar 1.5 hingga 3.2 ppm mampu meningkatkan respon imunitas ikan gurame yang dinfeksi oleh bakteri, ditandai dengan kenaikan total sel leukosit dan total immunoglobulin.


(40)

Kebutuhan kromium dipengaruhi oleh kondisi fisiologis ikan. Stres meningkatkan mobilisasi kromium dari jaringan dan selanjutnya meningkatkan ekskresinya. Sehingga stres akan mempengaruhi defisiensi kromium marginal dan meningkatkan kebutuhannya (Sahin et al. 2002). Kromium dibutuhkan dalam konsentrasi yang kecil dan belum diketahui dengan pasti. Sumber kromium yang ekonomis dalam diet kemungkinan adalah kromium klorida, ragi yang kaya kromium, kromium nikotinat dan kromium pikolinat (Berger 1996; Lall 2002).


(41)

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei hingga November 2006 di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Penelitian tahap satu untuk mengkaji pengaruh suhu terhadap gambaran darah ikan dan keterkaitannya dengan kejadian infeksi KHV. Penelitian tahap dua dilakukan untuk menguji efektifitas suplementasi kromium-ragi (Cr3+) sebagai bahan immunostimulan untuk meningkatkan respon imunitas selular non spesifik ikan mas dalam menghadapi serangan KHV.

Penelitian tahap satu dan dua menggunakan model eksperimental laboratorium. Penelitian tahap satu dalam aplikasinya berupa penginfeksian KHV secara intramuscular (Dosis FID50-120 jam), pada ikan mas yang dipelihara dalam suhu media yang berbeda. Rancangan yang digunakan pada penelitian tahap ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 3 perlakuan, yaitu penginfeksian virus pada level suhu media : 20±2 oC (Ti), 25±2 oC (Tii) dan 30±2oC (Tiii). Masing-masing perlakuan suhu media, diaplikasikan dengan 3 ulangan.

Adapun untuk penelitian tahap dua menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (Faktorial RAL), terdiri atas faktor suhu dan dosis kromium-ragi (Cr 3+). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu Ti (suhu 20±2 o

C) dan Tii (suhu 25±2 0C), sedangkan dosis kromium-ragi terdiri dari 3 level yaitu, suplementasi kromium ragi dalam pakan sebanyak 1.5 ppm (K1); 2.0 ppm (K2); 2.5 ppm (K3) dan kontrol yaitu kromium 0 ppm (K0). Kombinasi perlakuan suhu media pemeliharan dan konsentrasi kromium ragi yang diaplikasikan pada penelitian tahap dua dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 1.


(42)

Tabel 1. Kombinasi perlakuan konsentrasi kromium-ragi (Cr3+) dan suhu media pemeliharaan pada penelitian tahap dua

Perlakuan* Cr

3+ -ragi 0 ppm (K0)

Cr3+-ragi

1.5 ppm (K1)

Cr3+-ragi

2.0 ppm (K2)

Cr3+-ragi

2.5 ppm (K3)

Suhu 20±2 0C (Ti) K0Ti (A) K1Ti (B) K2Ti (C) K3Ti (D)

Suhu 25±2 0C (Tii) K0Tii (E) K1Tii (F) K2Tii (G) K3Tii (H)

Keterangan* : Masing-masing kombinasi diulang sebanyak 3 kali.

Prosedur Penelitian

Penelitian Tahap Satu: Penentuan Pengaruh Suhu terhadap Infeksi KHV

Ikan dan wadah pemeliharaan

Ikan yang digunakan adalah ikan mas berumur 3 bulan dengan bobot 10-12 gram, diaklimatisasi selama 1 bulan dalam satu wadah, untuk mendapatkan ikan yang berukuran sama dan menentukan status kesehatan ikan. Ikan tersebut merupakan ikan bebas KHV, berasal dari daerah bebas serangan KHV. Validasi ikan uji bebas KHV ini dilengkapi pula dengan pemeriksaan DNA virus menggunakan metoda PCR. Selama proses aklimatisasi kondisi kesehatan ikan dievaluasi. Ikan yang digunakan selain bebas KHV, merupakan ikan yang sehat, tidak terserang parasit dan bakteri. Wadah penelitian adalah akuarium berukuran 60 X 40 X 40 cm3 sebanyak 9 buah. Sebelum digunakan, akuarium dibersihkan dengan larutan KMnO4 5 ppm, kemudian dibilas air bersih dan dikeringkan.

Pemeliharan, aplikasi perlakuan suhu media

Setelah wadah siap kemudian diisi dengan air bersih, yaitu air yang telah melewati proses klorinasi. Setelah akuarium diisi air ikan ditebar sebanyak 15 ekor ikan/akuarium Ikan dikondisikan di akuarium pada suhu 25-26 oC selama 4 minggu. Penyesuaian suhu air media sesuai dengan perlakuan dilakukan sebelum penginfeksian virus, dengan cara penambahan es untuk suhu 20±2 oC dan pemasangan water heater untuk 30±2 oC. Besarnya perubahan suhu/hari sebesar ± 2 oC/hari, hingga diperoleh suhu media 20±2 oC , 25±2 oC dan 30±2 oC, yang kemudian diperlakukan selama 3 minggu masa penginfeksian virus.

Selama pemeliharaan ikan diberi pakan komersial sebanyak 5% bobot badan/hari dilakukan pada pagi, siang dan sore hari. Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 50-70% pada pagi hari. Air yang digunakan untuk


(43)

pergantian air telah disiapkan 24 jam sebelumnya hasil proses klorinasi dan diaerasi. Sebelum proses pergantian air, suhu air disesuaikan terlebih dahulu dengan pemberian es dan atau dipertahankan dengan water heater

Virus yang digunakan dan metoda infeksi

Virus yang digunakan adalah virus herpes yang diperoleh dan ikan mas yang terserang penyakit herpes di karamba jaring apung Cirata. Ekstraksi virus dilakukan dengan cara menggerus insang ikan dengan mortar dan ditambahkan larutan NaCI fisiologis, sehingga menghasilkan konsentrat virus 10%. Pada pelaksanaan penggerusan ini, mortar dan larutan NaCl fisiologis dalam kondisi dingin. Hasil gerusan yang telah halus, disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit dengan suhu 5 °C. Supernatan diambil dengan syringe kemudian disaring dengan kertas saring miliphore 0.45 µm. Hasil saringan ini merupakan inokulan baku virus herpes. Untuk keperluan selama penelitian bahan inokulan virus ini kemudian diawetkan dalam deep freezer (suhu -85 °C).

Sebelum dipakai bahan inokulan baku virus tersebut ditambah dengan larutan NaCl fisiologis untuk mendapatkan konsentrasi 10-5, titer yang akan digunakan untuk menginfeksi ikan mas. Dalam penelitian ini konsentrasi virus yang digunakan adalah dosis FID50-120 jam (berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, tertera pada lampiran 24). Hasil pengenceran ditambahkan antibiotik 10.000 IU penecillin dan 10.000 μg streptomycin. Ikan yang telah dikondisikan pada suhu sesuai perlakuan, diinjeksi 0,1 ml inokulum virus herpes dengan konsentrasi 10-5.

Pengumpulan data

Pengamatan kejadian infeksi KHV dilakukan berdasarkan pengamatan gejala klinis (secara visual). Pengamatan gejala klinis dilakukan setelah injeksi virus hingga hari ke-21 berdasarkan deskripsi ikan terinfeksi KHV sesuai Hedrick

et al. (2000); OATA (2001); Sunarto et al. (2002), terdiri atas pemeriksaan kerusakan insang (pendarahan, kerusakan lamella, adanya bercak kekuningan dan insang warna buram), pendarahan pada bagian tubuh, perubahan warna tubuh yang menjadi buram, ketebalan lendir, penurunan nafsu makan ikan, ikan susah bernafas dan posisi renang ikan. Jumlah ikan yang mati karena infeksi virus herpes pada masing-masing perlakuan suhu dihitung dari awal infeksi hingga hari


(44)

ke-21. Ikan yang mati terinfeksi KHV, adalah ikan mati dan atau sekarat (moribund) yang menunjukkan gejala klinis khas serangan KHV. Prosentase ikan mati karena terinfeksi KHV dihitung berdasarkan rumus:

Nt

I = --- X 100% No

Keterangan : I = Prosentase ikan mati karena terinfeksi KHV (%)

Nt = Jumlah ikan mati terinfeksi KHV (ekor) No = Jumlah ikan tiap unit percobaan (ekor)

Validasi kejadian infeksi virus dilakukan pada setiap ikan uji, dengan bantuan metoda histologi. Ikan yang terinfeksi KHV dengan gejala klinis khas yang parah atau sekarat (moribund), diambil dan insangnya dipreparasi untuk keperluan analisa histologi. Sisa ikan yang bertahan terhadap serangan virus dipreparasi pada akhir penelitian.

Melalui metoda histologi infeksi virus dievaluasi berdasarkan keberadaan badan inklusi virus pada preparat histologi. Pembuatan preparat histologi insang melalui tahapan: penyiapan sediaan, dehidrasi, clearing (penjernihan), embedding

(infiltrasi), pemotongan (trimming), pewarnaan (staining), mounting dan

mikrofotografi. Tahapan pembuatan preparat histologi dapat dilihat pada Lampiran 26. Preparat histologi kemudian diamati dengan bantuan mikroskop.

Pengamatan terhadap status kesehatan ikan pada berbagai suhu media penginfeksian KHV dikaji berdasarkan gambaran darahnya. Pengamatan terhadap gambaran darah lebih diarahkan untuk melihat respon imunitas selular. Pemeriksaan respon imunitas selular terdiri atas prosentase hematokrit, penjenisan leukosit, total leukosit dan indeks fagositik. Pemeriksaan dilakukan dengan cara melakukan pembiusan dan mengambil darah dari 3 ekor ikan pada masing-masing unit penelitian, dari bagian kaudal (vena caudalis) dengan syringe 1 ml yang telah dibilas dengan anti koagulan (Na-sitrat 3,8%). Darah yang telah diambil ditampung ke dalam tabung mikro tube dan selanjutnya diperiksa. Metode pengukuran parameter darah tertera pada Lampiran 25.

Kualitas air

Parameter kualitas air yang diukur terdiri atas suhu air, kandungan oksigen terlarut, pH, amoniak, nitrit. Suhu air diukur setiap hari dengan menggunakan


(45)

thermometer maksimum-minimum, sedangkan parameter yang lain diukur setiap minggu.

Penelitian Tahap Dua: Penentuan Efektivitas Suplementasi Kromium-ragi sebagai Immunostimulan pada Suhu Rentan KHV

Penelitian tahap dua mengaplikasikan 2 level suhu media yaitu Ti (suhu 20±2 oC) dan Tii (suhu 25±2 oC), dimana kedua suhu tersebut bersifat rentan terhadap infeksi KHV (hasil penelitian tahap satu), sedangkan dosis kromium-ragi terdiri dari 3 level yaitu, suplementasi kromium ragi dalam pakan sebanyak 1.5 ppm (K1); 2.0 ppm (K2); 2.5 ppm (K3) dan kontrol yaitu kromium 0 ppm (K0). Ikan dan wadah pemeliharaan

Ikan yang digunakan adalah ikan mas berumur 4 bulan dengan bobot 20-25 gram, diaklimatisasi selama 4 minggu untuk mendapatkan ikan yang berukuran sama dan menentukan status kesehatan ikan. Ikan yang digunakan merupakan bagian dari populasi ikan yang sama, yang digunakan pada penelitian tahap satu Wadah penelitian adalah akuarium berukuran 60 X 40 X 40 cm3 sebanyak 24 buah. Sebelum digunakan, akuarium dibersihkan dengan larutan KMnO4 5 ppm, kemudian dibilas air bersih dan dikeringkan.

Pakan yang digunakan

Pakan yang digunakan adalah pakan ikan komersial berbentuk pellet dengan kandungan protein 28%. Pakan dihancurkan dengan blender kemudian dibagi 3 kelompok, masing-masing ditambahkan kromium-ragi, hingga diperoleh konsentrasi kromium (Cr3+) sebesar 1.5 ppm, 2.0 ppm dan 2.5 ppm. Masing-masing kelompok pakan tersebut dihomogenkan dan dibentuk pellet kembali. Sedangkan untuk kontrol (kromium 0 ppm) adalah pakan tanpa penambahan kromium.

Pemeliharaan, aplikasi perlakuan suhu dan pemberian pakan kromium-ragi Setelah wadah siap diisi dengan air yang bersih hasil klorinasi, selanjutnya ikan ditebar sebanyak 15 ekor/akuarium. Setelah ikan dipelihara selama 3 minggu, maka suhu mulai diaklimasi dengan perubahan 2 0C/hari hingga mencapai suhu perlakuan dan kemudian dipertahankan pada masing-masing kisaran perlakuan dengan pemasangan water heater dan atau penambahan es ke dalam akuarium.


(46)

Sejalan dengan pemberian suhu maka pemberian pakan kromium-ragi dilakukan pula yaitu dimulai pada awal minggu ke-5. Pemberian pakan berkromium diberikan sebelum penginfeksian virus (28 hari pertama), dan dilanjutkan pula setelah penginfeksian virus (selama 28 hari), hingga akhir penelitian tahap dua. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Setiap unit penelitian masing-masing diberi pakan yang mengandung kromium-ragi sesuai dengan perlakuan dengan dosis 5% bobot biomassa/hari, dan pemberiannya dilakukan 3 kali/hari, pada pagi, siang dan sore hari. Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 50-70%/hari, dilakukan pada pagi hari. Air yang digunakan untuk pergantian air telah disiapkan 24 jam sebelumnya hasil proses klorinasi dan diaerasi. Sebelum proses pergantian air, suhu air disesuaikan dengan pemberian es dan atau dipertahankan dengan water heater.

Tabel 2. Uraian tahapan kegiatan pada penelitian tahap dua Waktu (minggu ke-)

Uraian Tahapan Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Aklimatisasi ikan √ √ √ √

Aplikasi suhu dan pakan berkromium

√ √ √ √ √ √ √ √

Uji tantang virus √ √ √ √

Virus yang digunakan dan metoda infeksi

Bahan virus yang digunakan pada penelitian tahap dua adalah virus dari sumber yang sama yang digunakan pada penelitian tahap satu, demikian pula dengan metode preparasi dan penginfeksian adalah sama seperti pada penelitian tahap satu. Sedangkan penginfeksian virus dilakukan pada hari ke-29 (28 hari setelah pemberian pakan berkromium).

Pengumpulan data

Pengamatan terhadap beberapa parameter darah dilakukan untuk menilai status kesehatan ikan selama pemberian pakan berkromium, baik pada masa sebelum penginfeksian virus maupun pada saat setelah penginfeksian virus. Pengamatan parameter gambaran darah dan metode pengukurannya, sesuai dengan penelitian tahap satu. Pengambilan sample darah dilakukan pada hari ke-0 (sebelum pemberian pakan kromium ragi), dan setelah pemberian pakan


(47)

berkromium yaitu : hari ke-7, 14, 21, 28 (sebelum infeksi virus) dan hari ke-36, 43, 50, 57 (setelah penginfeksian virus).

Pengamatan kematian karena infeksi KHV dievaluasi berdasarkan gejala klinis secara visual, dan dilakukan setelah penginfeksian virus (hari ke-29) hingga hari ke-57 (metode pengamatan sesuai penelitian tahap satu). Ikan yang mati terinfeksi KHV, adalah ikan mati dan atau sekarat(moribund) yang menunjukkan gejala klinis khas terserang KHV, hingga hari ke-57. Prosentase ikan mati karena terinfeksi KHV dihitung berdasarkan rumus sesuai penelitian tahap satu.

Kualitas air

Parameter kualitas air yang diukur terdiri atas suhu air, kandungan oksigen terlarut, pH, amoniak, nitrit. Suhu air diukur setiap hari dengan menggunakan

thermometer maksimum-minimum, sedangkan parameter yang lain diukur setiap minggu.

Analisis Data

Data gambaran darah yang diukur pada penelitian ini meliputi prosentase hematokrit, total lekosit, jenis leukosit dan indeks fagositik (parameter-parameter imunologi) dianalisis secara statistik dengan ANOVA menggunakan SPSS 12. Apabila signifikan, maka digunakan uji lanjut Duncan. Adapun variabel kualitas air, gejala klinis (visual) dan histopatologi dianalisa secara deskriptif.


(1)

Lampiran 25. Metoda analisis parameter darah yang digunakan pada penelitian

1.Kadar Hematokrit

Kadar hematokrit diukur dengan metode Anderson dan Siwicki (1993), yaitu dengan memasukkan sampel darah dan 3 ekor ikan per unit penelitian ke dalam tabung mikrohematokrit secara kapiler hingga terisi 80% bagian, kemudian ujung tabung disumbat dengan kretoseal. Selanjutnya disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3.500 rpm. Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan membandingkan volume padatan sel darah dengan volume seluruh darah dengan skala hematokrit.

2.Indeks Fagositik

Pengukuran indeks fagositik dilakukan dengan metode ulasan Anderson dan Siwicki (1993), yaitu dengan memasukkan sampel darah dan 3 ekor ikan per unit penelitian ke dalam mikrotiter plat sebanyak 50 µ1 dan ditambahkan 50 µl suspensi Staphylococcus aureus dalam PBS (107sel), kemudian dicampur secara homogen dan diinkubasi selama 20 menit. Hasil inkubasi tersebut diambil sebanyak 5 µ1 dibuat sediaan ulas dan dikering udarakan. Selanjutnya difiksasi dengan methanol dan dikering udarakan, diwarnai dengan pewama Giemsa 15 menit kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan diantara tissu. Aktivitas fagositik dihitung berdasarkan persentase sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 jumlah sel yang dihitung.

3.Total Leukosit

Total leukosit dihitung menurut petunjuk Blaxhall dan Daisley (1973). Sampel darah dan 3 ekor ikan per unit penelitian dihisap dengan pipet berskala sampai 0,5, dilanjutkan dengan menghisap larutan Turk’s sampal skala 11. Pipet digoyangkan agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang sedangkan tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam hemasitometer dan ditutup dengan kaca penutup. Penghitungan dilakukan pada 5 kotak besar hemositometer. Jumlah leukosit adalah jumlah lekosit terhitung dikalikan dengan 50 sel/mm3.

4. Penghitunqan Jenis Leukosit

Jenis leukosit dihitung menurut petunjuk Blaxhall dan Daisley (1973). Pemeriksaan dilakukan dengan membuat sediaan ulas darah dan 3 ekor ikan per unit penelitian, dikering udarakan, kemudian difiksasi dengan methanol selama 5 menit. Dibilas dengan akuades, kemudian dikering udarakan dan dilanjutkan dengan pewarnaan Giemsa 15 menit. Dicuci kembali dengan air mengalir dan dikering udarakan di antara tissue. Jenis lekosit dihitung sampai berjumlah 100 sel.


(2)

Lampiran 26. Metode pembuatan preparat histologi (Yuasa et al. 2003) a. Fiksasi.

Larutan fiksasi yang digunakan adalah larutan formalin berpenyangga (pH 7,0). Organ tubuh ikan yakni insang, daging dan ginjal dipisahkan dari tubuh, kemudian difiksasi dalam larutan formalin.

Komposisi larutan formalin berpenyangga fosfat (pH 7,0)

Bahan Kimia Jumlah

Formalin 100 ml

NaH2PO4-H2O (natrium hidrogenfosfat) 4 g

Na2PO4 (dinatrium hidrogenfosfat) 6,5 g

Akuades 900 ml

b. Dehidrasi dan Pengisisan paraffin

Spesimen dibilas dengan air mengalir selama 15-30 menit untuk mencuci formalin. Pindahkan ke dalam setiap larutan untuk dehidrasi dan pengisian paraffin. Larutan dan waktu perendaman yang digunakan sesuai tabel berikut. Larutan dan Waktu perendaman dehidrasi dan embedding.

Larutan Waktu Perendaman

Ethanol 70 % 1-2 jam

Ethanol 80 % 1-2 jam

Ethanol 90 % 1-2 jam

Ethanol 95 % 1-2 jam

Ethanol 100 % 1-2 jam

Ethanol 100 % 1-2 jam

Xylel 1-2 jam

Xylel 1-2 jam

Xylel 1-2 jam

Parafin (pada suhu 600C) 1-2 jam

Parafin (pada suhu 600C) 1-2 jam

Parafin (pada suhu 600C) 1-2 jam

c. Bloking

Letakkan tempat jaringan (cetakan untuk blok paraffin) pada hot plate suhu 650 C dan isi dengan parafin yang telah dilelehkan. Letakkan organ pada dasar cetakan lalu taruh ke atas es untuk sedetik. Setelah itu letakkan kaset jaringan tersebut diatas cetakan. Tambahkan paraffin pada cetakan secukupnya. Blok


(3)

parafin ini diletakkan pada papan es sampai parafin membeku. Kemudian lepaskan blok arafin dari cetakan lalu dipotong 2-3 mm dari tepi organ.

d. Pembuatan Preparat Sediaan

Blok parafin dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4 μm. Jaringan yang dipotong melekat pada pisau mikrotom diambil dengan menggunakan kertas karton yang agak basah dan pindahkan ke wadah yang telah diisi air. Setelah itu, pindahkan ke atas kaca preparat dan letakkan dalam air hangat pada waterbath suhu 500C selama 5 detik guna mengembangkan parafin. Letakkan kaca preparat tersebut diatas slide warmer suhu 550C selama 1 jam untuk merekatkan jaringan tersebut pada kaca preparat.

e. Pewarnaan H & E - Deparafinasi

1. Rendam dalam xylel-1 selama 10 menit 2. Rendam dalam xylel-2 selama 10 menit

3. Rendam dalam etanol absolut-1 selama 5 menit 4. Rendam dalam etanol absolut-2 selama 5 menit 5. Rendam dalam etanol 90% beberapa menit 6. Rendam dalam etanol 80% beberapa menit 7. Rendam dalam etanol 70 beberapa menit 8. Bilas dengan air mengalir selama 1 menit 9. Bilas dengan akuades selama beberapa detik. - Pewarnaan

1. Rendam dalam larutan hematoksilin selama 4 menit 2. Bilas dengan air mengalir selama 15 menit

3. Rendam dalam akuades selama 1 detik

4. Rendam dalam larutan eosin selama 5-6 menit 5. Rendam dengan akuades selama sedetik. - Dehidrasi

1. Rendam dalam etanol 70 % selama 1 detik 2. Rendam dalam etanol 80 % selama 1 detik

3. Rendam dalam etanol 90 % selama beberapa detik 4. Rendam dalam etanol 95 % selama 5 menit


(4)

5. Rendam dalam etanol absolut-1 selama 10 menit 6. Rendam dalam etanol absolut-2 selama 15 menit

- Penetrasi

1. Rendam dalam Xylel-1 selama 10 menit 2. Rendam dalam Xylel-2 selama 10 menit 3. Rendam dalam Xylel-3 selama 10 menit

- Penutupan Jaringan

1. Ambil 1 tetes zat perekat (bioleit) dan letakkan ditengah-tengah kaca penutup

2. Ambil preparat sediaan yang masih terendam dalam larutan xylel lalu segera letakkan penutup diatasnya.

3. Tekan keluar udara yang terdapat diantara kaca preparat dan kaca penutup dengan menggunakan forcep.


(5)

Lampiran 22. Data kematian ikan pada penelitian 2

PERLAKUAN HARI

K0, Ti K1, T i K2, Ti K3, Ti K0, Tii K1,Tii K2,Tii K3, Tii

U 1 U 2 U 3 U 1 U 2 U 3 U 1 U 2 U 3 U 1 U 2 U 3 U 1 U 2 U 3 U 1 U 2 U 3 U 1 U 2 U 3 U 1 U 2 U 3

1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0

8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 3 0 0 0 1 0 1 1 1 0

11 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1

12 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

13 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 2 1 1

14 2 3 3 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 2 2 2 0 2 2

15 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 2 0 0 2 0 0 1 0 0

16 0 1 1 0 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2 1 0 2 0 1 1 0

17 1 0 0 1 1 3 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

18 0 0 0 1 2 0 0 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1

19 0 0 0 0 2 0 1 1 1 1 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1

20 0 0 0 1 0 0 2 2 1 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

21 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

23 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

JMA 7 8 8 6 6 7 5 5 4 7 6 7 9 10 11 4 3 3 6 6 5 6 5 7

J0 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 M (%) 47 53 53 40 40 47 33 33 27 47 40 47 60 67 73 27 20 20 40 40 33 40 33 47

RM (%) 51 42 31 44 67 22 38 40

Keterangan : JMA : jumlah ikan yang mati hingga akhir percobaan ; J0 : jumlah ikan pada awal percobaan ; M (%) : tingkat kematian ikan hingga akhir percobaan (%) RM (%) : Rataan tingkat kematian ikan pada masing-masing perlakuan (%) ; U1-U3 : Ulangan


(6)

162