Pembuatan Karboksimetil Selulosa dari Selulosa Mikrobial (Nata de cassava)

PEMBUATAN KARBOKSIMETIL SELULOSA DARI
SELULOSA MIKROBIAL (NATA DE CASSAVA)

RHAMA RAKHMATULLAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan
Karboksimetil Selulosa dari Selulosa Mikrobial (Nata de cassava) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Rhama Rakhmatullah
NIM F34100057

ABSTRAK
RHAMA RAKHMATULLAH. Pembuatan Karboksimetil Selulosa dari Selulosa
Mikrobial (Nata de cassava). Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU.
Pemanfaatan selulosa mikrobial dari nata de cassava sebagai karboksimetil
selulosa (CMC) memberikan suatu alternatif bahan baku selulosa dalam
pembuatan CMC. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan CMC dari
nata de cassava dan mendapatkan konsentrasi larutan natrium hidroksida (NaOH)
terbaik dalam proses alkalisasi guna menghasilkan CMC dengan karakteristik
yang memenuhi syarat terbaik dilihat dari parameter derajat substitusi (ds),
kemurnian CMC, pH larutan, kadar NaCl, kadar air dan viskositas larutan CMC.
Metode pembuatan CMC terdiri dari proses alkalisasi dan eterifikasi. Proses
alkalisasi menghasilkan alkali selulosa yang memiliki reaktifitas lebih tinggi
dibanding selulosa. Eterifikasi merupakan proses penukaran gugus hidroksil
dengan gugus karboksil. Proses alkalisasi dalam penelitian ini menggunakan
konsentrasi natrium hidroksida 30%, 35%, dan 40%. Berdasarkan penelitian ini

didapatkan produk CMC yang terbaik menggunakan konsentrasi natrium
hidroksida 35% dengan karakteristik derajat substitusi 0.9613, kadar air 6.4228% ,
pH larutan 7.97, viskositas 148.52 cP, kadar NaCl 0.0291%, dan kemurnian CMC
93.58%.
Kata kunci: alkalisasi, karboksimetil selulosa, nata de cassava, selulosa
mikrobial, viskositas

ABSTRACT
RHAMA RAKHMATULLAH. Syntesis Carboxymethyl Cellulose from
Microbial Cellulose (Nata de cassava). Supervised by KHASWAR SYAMSU.
Utilization of microbial cellulose from nata de cassava as carboxymethyl
cellulose (CMC) provide an alternative raw material of cellulose in manufacturing
CMC. The purpose of this study is to investigate carboxymethyl cellulose
manufacturing process using nata de cassava and to determine the best
concentration of natrium hydroxide solution in alkalization to produce the CMC
with the characteristics that qualified, characterized from the parameter degree of
substitution (ds), purity, acidity, concentration of sodium chloride (NaCl),
moisture and viscosity of CMC solution. The methods of manufacturing CMC are
alkalization and etherification process. Alkalization produces alkali cellulose
which has a higher reactivity than cellulose. Etherification is an exchange process

of hydroxyl group with carboxyl group. In this research, natrium hydroxide with
concentration 30%, 35%, and 40% were used in alkalization. Based on this
research, the best product was made using natrium hydroxide concentration 35%
with the characteristics of the degree of substitution is 0.9613, moisture 6.4228%,
acidity 7.97, viscosity 148.52 cP, NaCl content 0.0291%, and purity 93.58%.
Keywords: alkalization, carboxymethyl cellulose, microbial cellulose, nata de
cassava, viscosity

PEMBUATAN KARBOKSIMETIL SELULOSA DARI
SELULOSA MIKROBIAL (NATA DE CASSAVA)

RHAMA RAKHMATULLAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 sampai
Desember 2014 ini ialah Teknologi Bioindustri, dengan judul Pembuatan
Karboksimetil Selulosa dari Selulosa Mikrobial (Nata de cassava).
Terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. selaku dosen pembimbing atas
bimbingan, bantuan, serta motivasi yang telah diberikan.
2. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor dan Dr. Prayoga Suryadarma, S.TP. MT.
sebagai dosen penguji.
3. Seluruh dosen dan staff Departemen Teknologi Industri Pertanian
4. Seluruh laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah
banyak membantu dan membimbing penulis selama melaksanakan
penelitian.

5. Bapak Ibnu Suhud dan Ibu Sri Mulyani serta mba Shinta Saviawijaya
yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, perhatian dan kasih
sayangnya
6. Teman-teman di pondok Wina dan pondok Agathis serta teman-teman
TIN 47 atas kebersamaan, perjuangan, semangat dan doa yang
diberikan
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015
Rhama Rakhmatullah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii


DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3


Manfaat Penelitian

3

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

4

Limbah Ubi Kayu

4

Selulosa

5


Selulosa Bakterial

6

Karboksimetil Selulosa

8

METODE
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN

9
9
10
11

Selulosa Mikrobial


11

Proses Karboksimetilasi

13

Karakterisasi Karboksimetil Selulosa

15

Perbandingan CMC dari Nata de cassava dengan Sumber Selulosa Lain dan
Standar SNI
25
SIMPULAN DAN SARAN

26

Simpulan

26


Saran

26

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1 Analisis proksimat limbah cair pengolahan tepung tapioka
2 Analisis proksimat selulosa mikrobial bubuk nata de cassava

3 Karakteristik CMC dari Nata de cassava, Nata de coco dan Eceng

Gondok serta Standar SNI

4
12
25

DAFTAR GAMBAR
Supramolekul selulosa
Struktur selulosa
Struktur karboksimetil selulosa
Karboksimetil selulosa nata de cassava
Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap derajat substitusi
Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap pH larutan
karboksimetil selulosa 1 %
7 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap kadar
karboksimetil selulosa
8 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap kadar sodium
klorida
9 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap viskositas larutan
CMC 1%
10 Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida terhadap derajat substitusi
dan kemurnian karboksimetil selulosa
11 Larutan CMC (NaOH 30%) 1%
12 Larutan CMC nata de cassava (kiri) dan larutan CMC komersil
(kanan)
13 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap kadar air
karboksimetil selulosa
14 Hasil spektrum FTIR sampel CMC (NaOH 35%) dan selulosa
mikrobial

1
2
3
4
5
6

5
6
8
15
15
17
18
19
20
21
22
23
23
24

DAFTAR LAMPIRAN
Prosedur pengujian proksimat
Prosedur karakterisasi karboksimetil selulosa
Data uji viskositas larutan karboksimetil selulosa 1%
Contoh perhitungan viskositas larutan CMC 1%
Uji keragamaan viskositas larutan karboksimetil selulosa 1%
Uji homogenitas ragam (Bartlett) viskositas larutan karboksimetil
selulosa 1%
7 Uji post hoc (Bonferroni) viskositas larutan karboksimetil selulosa 1%
(SPSS)
8 Data uji derajat substitusi karboksimetil selulosa
9 Contoh perhitungan derajat substitusi
10 Uji keragaman derajat substitusi karboksimetil selulosa

1
2
3
4
5
6

30
30
33
33
34
34
34
35
35
35

11 Uji homogenitas ragam (Bartlett) derajat substitusi karboksimetil

selulosa

36

12 Uji post hoc (Bonferroni) derajat substitusi karboksimetil selulosa

(SPSS)
13 Data pH larutan karboksimetil selulosa 1%
14 Uji keragaman pH larutan karboksimetil selulosa 1%
15 Uji homogenitas ragam (Bartlett) pH larutan karboksimetil selulosa

1%
16 Data uji kadar air karboksimetil selulosa
17 Contoh perhitungan kadar air karboksimetil selulosa
18 Uji keragaman kadar air karboksimetil selulosa
19 Uji homogenitas ragam (Bartlett) kadar air karboksimetil selulosa
20 Uji post hoc (Bonferroni) kadar air karboksimetil selulosa (SPSS)
21 Data uji kadar sodium klorida
22 Contoh perhitungan kadar sodium klorida
23 Uji keragaman kadar sodium klorida
24 Uji homogenitas ragam (Bartlett) kadar sodium klorida
25 Uji post hoc (Bonferroni) kadar sodium klorida (SPSS)
26 Data uji kadar karboksimetil selulosa
27 Contoh perhitungan kadar karboksimetil selulosa
28 Uji keragaman kadar karboksimetil selulosa
29 Uji homogenitas ragam (Bartlett) kadar karboksimetil selulosa
30 Uji post hoc (Bonferroni) kadar karboksimetil selulosa (SPSS)
31 Data viskositas larutan CMC komersil
32 Hasil uji Fourier Transform Infrared (FTIR) karboksimetil selulosa
33 Hasil uji Fourier Transform Infrared (FTIR) selulosa mikrobial

36
37
37
37
38
38
38
39
39
39
40
40
41
41
42
42
42
43
43
44
45
46

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan salah satu produk turunan dari
selulosa yang disintesis melalui proses eterifikasi. CMC merupakan eter polimer
selulosa yang bersifat anionik, berwarna putih hingga kekuningan, tidak berbau,
tidak berasa, tidak beracun, bersifat biodegradable dan higroskopis. Penampakan
CMC komersil umumnya seperti tepung dengan warna putih bersih. CMC dapat
larut dalam air namun tidak larut dalam pelarut organik. Karboksimetil selulosa
merupakan senyawa serbaguna yang memiliki sifat penting seperti kelarutan,
reologi, dan adsorpsi di permukaan (Aprilia 2009).
Saat ini karboksimetil selulosa telah banyak digunakan dalam berbagai
industri dan memiliki peran yang penting dalam pengaplikasiannya. CMC dalam
industri pangan digunakan sebagai bahan tambahan yang berfungsi sebagai
penstabil, pengemulsi, dan pengental. Contoh aplikasinya adalah pada pembuatan
ice cream, minuman susu, roti, salad, ice pop. Penggunaan CMC dalam
pembuatan ice cream adalah sebagai penstabil untuk mencegah pertumbuhan
kristal es. CMC juga banyak dimanfaatkan dalam bidang non pangan diantaranya
dalam bidang kosmetik, tekstil, kertas, perekat, insektisida, cat, keramik, litografi
dan detergen (Glicksman and Robert di dalam Furia 1972).
Kebutuhan karboksimetil selulosa di Indonesia cukup banyak, namun
tingkat produksi CMC sendiri di Indonesia masih sangat rendah. Tahun 2012
Indonesia mengimpor karboksimetil selulosa sebesar 8118.664 ton dengan total
biaya sebesar $ 28.085.555 dan mengekspor karboksimetil selulosa sebesar
136.25 ton dengan harga ekspor sebesar $ 483.505 (Badan Pusat Statistik 2014).
Karboksimetil selulosa secara konvensional diproduksi dari selulosa yang
berasal dari hasil tanaman seperti kapas dan bagian tumbuh-tumbuhan, seperti
batang pohon, ranting, daun, dan lainnya. Karboksimetil selulosa berasal dari
reaksi antara selulosa murni dengan asam monokloroasetat, dengan katalis berupa
senyawa alkali. Proses pembuatan CMC meliputi tahapan proses alkalisasi,
karboksimetilasi, pemanasan, netralisasi, pemurnian yang meliputi pencucian dan
pengeringan. Sebelum dilakukan proses alkalisasi terlebih dahulu dilakukan tahap
persiapan umpan dengan bahan baku utama berupa selulosa. Selulosa yang
digunakan adalah selulosa murni yang telah bebas dari pengotor-pengotor, lignin,
hemiselulosa, xilan serta sisa-sisa tanaman berupa biji, kulit, ranting maupun daun.
Proses pemurnian selulosa membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga
pemanfaatan alternatif bahan baku selulosa yang jauh lebih efektif perlu
dikembangkan, yaitu dengan menggunakan selulosa yang dihasilkan oleh
mikroorganisme atau dikenal dengan selulosa mikrobial. Selulosa bakterial
dihasilkan dalam keadaan murni, yaitu bebas lignin, hemiselulosa, dan produkproduk biogenic lainnya (Geyer et al. 1994). Kemurnian selulosa bakterial yang
relatif tinggi dibandingkan dengan selulosa dari tanaman dapat meningkatkan
efektifitas dalam pembuatan CMC. Kelebihan lainnya dari selulosa mikrobial
adalah waktu produksi yang singkat, dalam waktu sekitar 7 hari selulosa
mikrobial dapat dihasilkan dari hasil fermentesi substrat gula, sedangkan dengan
menggunakan selulosa dari kayu membutuhkan waktu sekitar 6 tahun untuk dapat

2
ditebang dan diambil selulosanya. Selulosa mikrobial juga memiliki derajat
polimerisasi dan indeks kristalitas yang lebih tinggi dibandingkan selulosa
tanaman.
Penelitian mengenai pemanfaatan selulosa mikrobial (nata) sebagai
karboksimetil selulosa sebelumnya telah dilakukan dengan menggunakan nata de
coco dan nata de pina. Aprilia (2009) melakukan pemodifikasian nata dari bahan
kulit nanas menjadi CMC untuk melihat kemampuan nata termodifikasi dalam
mengikat logam Kobalt (II). Penelitian karboksimetilasi menggunakan nata de
coco juga telah dilakukan oleh Awalludin (2004). Harga dari air kelapa sebagai
bahan baku pembuatan nata de coco semakin meningkat sehingga pemanfaatan
nata de coco sebagai bahan baku CMC kurang ekonomis. Salah satu jenis selulosa
mikrobial lainnya yang telah dikembangkan saat ini adalah nata de cassava yang
merupakan jenis nata yang terbuat dari limbah cair pengolahan ubi kayu menjadi
tapioka.
Nata de cassava merupakan nata yang dihasilkan dari limbah cair tepung
tapioka yang berwarna putih agak transparan serta memiliki tekstur yang kenyal.
Nata de cassava memiliki kandungan serat dan selulosa yang tinggi. Selulosa dari
nata de cassava dapat menjadi alternatif bahan baku selulosa mikrobial pengganti
nata de coco dengan ketersediaan bahan baku yang melimpah sebagai limbah.
Penelitian karboksimetil selulosa menggunakan selulosa mikrobial nata de
cassava memberikan kontribusi dalam usaha memenuhi kebutuhan dan
pengembangan produksi karboksimetil selulosa di Indonesia.
Pengujian terhadap karboksimetil selulosa dari nata de cassava perlu
dilakukan untuk mengetahui mutu CMC yang dihasilkan. Uji yang dilakukan
antara lain uji kadar air, derajat substitusi, pH larutan, kadar sodium klorida, dan
kemurnian CMC. Derajat substitusi merupakan salah satu faktor terpenting dalam
pengujian CMC. Selain derajat substitusi, pengujian yang terpenting adalah uji
viskositas. Viskositas larutan karboksimetil selulosa sangat penting untuk
diketahui dimana aplikasi CMC digunakan sebagai pengental. Kekentalan larutan
CMC yang baik dihasilkan dari CMC yang memiliki derajat substitusi yang sesuai
dengan standar. Derajat polimerisasi selulosa sebagai bahan baku karboksimetil
selulosa mempengaruhi viskositas larutan yang dihasilkan (Glicksman and Robert
di dalam Furia 1972). Semakin kental larutan yang dihasilkan maka kualitas CMC
semakin baik. Secara komersil, pengklasifikasian CMC biasanya berdasarkan
viskositas, ukuran molekul dan derajat substitusi, sehingga nilai viskositas sangat
perlu diketahui untuk mengetahui kualitasnya.

Perumusan Masalah
Selulosa mikrobial merupakan salah satu bahan baku alternatif dalam
pembuatan produk turunan selulosa seperti eter selulosa. Produk eter selulosa
yang banyak dimanfaatkan adalah karboksimetil selulosa (CMC) sebagai bahan
pengental, pengemulsi, penstabil dan bahan tambahan. Kualitas karboksimetil
selulosa dilihat dari nilai derajat substitusi dan kekentalan larutannya. Derajat
polimerisasi selulosa sebagai bahan baku CMC dapat mempengaruhi nilai
viskositas larutan. Perbedaan metode yang digunakan mempengaruhi kualitas
CMC yang dihasilkan. Proses utama dalam pembuatan CMC adalah alkalisasi dan

3
eterifikasi. Alkalisasi merupakan proses yang paling penting karena berfungsi
untuk mempermudah pertukaran gugus hidroksil dengan gugus karboksil yang
disebabkan pembengkakan struktur selulosa dan ionisasi oleh ion Na+. Penelitian
telah dilakukan Geyer et al. (1994) menggunakan larutan natrium hidroksida
dengan konsentrasi 30% pada proses alkalisasi dan asam monokloroasetat sebesar
18 g pada proses eterifikasi. Penelitian Awalludin (2004) menggunakan selulosa
mikrobial nata de coco dengan hasil terbaik menggunakan konsentrasi larutan
natrium hidroksida 35% yang menghasilkan derajat substitusi sebesar 2.0, kadar
CMC 72.4 % dan viskositas larutan CMC 1 % sebesar 9.7 cP. Nilai viskositas
yang dihasilkan dari karboksimetil selulosa menggunakan nata de coco masih
rendah. Penelitian ini menggunakan bahan baku selulosa mikrobial dari nata de
cassava yang dihasilkan dari limbah cair pengolahan tepung tapioka sebagai
alternatif selulosa mikrobial nata de coco yang dihasilkan dari air kelapa.
Pada penelitian ini proses alkalisasi menjadi perhatian khusus karena
menentukan efektifitas proses eterifikasi. Konsentrasi larutan natrium hidroksida
yang digunakan yaitu 30%, 35% dan 40%. Karakteristik karboksimetil selulosa
dari nata de cassava diharapkan memenuhi standar mutu yang ada.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendapatkan konsentrasi larutan
natrium hidroksida terbaik dalam proses alkalisasi guna menghasilkan
karboksimetil selulosa dengan karakteristik yang memenuhi syarat terbaik.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat antara lain :
1. Bagi peneliti
Memberikan pengalaman dan pengetahuan tentang pembuatan
karboksimetil selulosa dari selulosa mikrobial nata de cassava serta
karakterisasi produk yang dihasilkan.
2. Bagi kalangan akademis
Sebagai referensi atau sumber informasi untuk pengembangan proses
produksi karboksimetil selulosa
3. Bagi perusahaan atau industri
Memberikan alternatif bahan baku potensial dalam industri karboksimetil
selulosa.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada proses pembuatan nata de cassava dari limbah
cair tepung tapioka, pembuatan karboksimetil selulosa (CMC) dari selulosa
mikrobial nata de cassava dan analisis karakteristik CMC yang dihasilkan.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Ubi Kayu
Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu tanaman ubi-ubian yang
dapat digunakan sebagai sumber makanan pokok selain beras. Selain harganya
yang relatif murah, ubi kayu dapat tumbuh dimana saja sekalipun di daerah yang
kurang subur. Menurut Data Badan Pusat Statistik luas area tanaman singkong
tahun 2012 tercatat 1.13 juta Ha dengan produksi 24 juta ton singkong segar yang
tersebar di daerah Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Bali Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Papua (Badan Pusat Statistik 2014). Ubi kayu dapat langsung
dimanfaatkan sebagai bahan makanan serta dapat juga digunakan sebagai bahan
industri seperti industri farmasi, industri perekat dan lain-lain. Banyak industri
pengolahan ubi kayu di Indonesia yang pengolahan limbahnya tidak dilakukan
dengan baik sehingga menimbulkan berbagai permasalahan bagi lingkungan
sekitar diantaranya limbah cair sisa pengendapan pati yang dapat menyebabkan
bau tidak sedap dan penyakit. Limbah tapioka mengandung karbohidrat mencapai
2.5%, glukosa 0.185 mg/L, nitrogen total mencapai 182 mg/L, serta pH 5-5.5
(Misgiyarta 2011). Tabel 1 berikut menunjukkan hasil uji proksimat dari limbah
cair pengolahan tepung tapioka.
Tabel 1 Analisis proksimat limbah cair pengolahan tepung
tapioka
Komponen
Air
Abu
Protein
Lemak
Serat Kasar
Pati
Ca
Mg
Fe
Cu
Pb
Zn

Satuan
%
%
% berat kering
% berat kering
% berat kering
% berat kering
µg/l
µg/l
µg/l
µg/l
µg/l
µg/l

Jumlah
99.250
0.070
0.160
0.220
0.000
0.290
62.400
4.900
0.750
0.083
0.064
0.013

Sumber: Jenie et al. (1994).

Limbah pengolahan ubi kayu atau singkong berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata de cassava. Pada limbah cair
untuk pembuatan nata dapat langsung ditambahkan sedikit gula dan stater
Acetobacter xylinum karena sudah mengandung gula (glukosa). Sedangkan untuk
limbah padat difermentasi terlebih dahulu dengan kapang dan khamir selama tiga
hari untuk menghidrolisis pati pada onggok menjadi molekul lebih sederhana
berupa gula yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan nata oleh
Acetobacter xylinum. Substrat dari limbah cair memiliki kandungan karbon dan

5
nitrogen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk tumbuh dan melakukan
metabolisme, namun perlu adanya sumber karbon dan nitrogen lain untuk
mencukupi pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Nutrisi yang terkandung pada
substrat onggok antara lain gula sukrosa 5-6%. Adanya gula dalam limbah cair
pengolahan ubi kayu akan dimanfaatkan oleh A. xylinum sebagai sumber energi,
maupun sumber karbon untuk membentuk produk metabolit yaitu selulosa yang
membentuk lembaran nata de cassava (Misgiyarta 2011).

Selulosa
Selulosa adalah makromolekul dari unit glukosa yang terikat satu sama lain
oleh ikatan glukosidik β 1,4 yang memiliki tiga gugus hidroksil pada setiap unit
glukosa. Selulosa merupakan polimer alami yang jumlahnya sangat banyak di
alam, biasanya merupakan komponen dasar dari tumbuhan seperti batang pohon,
ranting, dan daun. Molekul selulosa memiliki ikatan yang sangat kuat antar
molekul (intramolekul maupun intermolekul) yang terikat oleh ikatan hidrogen.
Ikatan hidrogen intramolekul merupakan penyebab utama molekul selulosa
menjadi kaku atau membentuk struktur kristal. Hal tersebut juga yang
menyebabkan timbulnya sifat hydrophobic antara molekul selulosa. Selulosa sulit
untuk dipecah menjadi monomer-monomer karena jumlah ikatan hidrogen yang
banyak dalam molekul selulosa (intramolekul ataupun intermolekul) dan karena
adanya sifat hydrophobic antar molekul. Glukosa diikat oleh ikatan glukosidik β
1,4 sehingga membentuk makromolekul lurus berantai panjang pada atom C1 dan
C4. Pada formasi ikatan glukosidik satu atom oksigen berikatan dengan dua atom
carbon sehingga molekul air tersingkirkan atau tidak dapat berikatan dengan
molekul selulosa. Hal tersebut membuat unit glukosa pada selulosa disebut
anhydroglucose unit (AGU) (Ambjornsson 2013). Serat selulosa terbentuk dari
kumpulan makrofibril. Unit terkecil dari selulosa adalah elementary fibrils yang
memiliki diameter sekitar 3-20 nm (Klemm et al. 2001 seperti disitasi dalam
Ambjornsson 2013). Kumpulan dari elementary fibrils membentuk struktur
mikrofibril dengan ukuran diameter 10-50 nm. Struktur makrofibril terbentuk dari
kumpulan mikrofibril dengan ukuran diameter 60-360 µm (Fink et al. 1990 seperti
disitasi oleh Ambjornsson 2013). Berikut ini adalah gambar mengenai
supramolekul selulosa yang menjelaskan setiap struktur pembentuk selulosa.

Gambar 1 Supramolekul selulosa
Sumber: Egal (2006)

6
Selulosa merupakan polimer yang dapat mengalami proses kristalisasi
dengan struktur kristal yang berbeda-beda. Struktur kristal selulosa dibedakan
dengan angka romawi I sampai IV. Struktur kristal selulosa yang paling penting
adalah selulosa I dan selulosa II. Selulosa alami terbentuk dari kristal selulosa I
yang memiliki dua macam struktur yang berbeda yaitu selulosa I α dan Iβ (Bergh
2011). Perbedaan antara selulosa I α dan Iβ terdapat pada pola dari resonansi atom
C1 yang bersifat singlet untuk selulosa Iα dan memiliki struktur unit triklinat
sedangkan selulosa Iβ bersifat duplet dan memiliki struktur unit monoklinat.
Selulosa Iα dapat diubah menjadi bentuk selulosa Iβ dengan perlakuan
hydrothermal dalam kondisi basa pada suhu 260oC selama 30 menit. Reaksi
pembentukan selulosa Iβ dari selulosa Iα merupakan reaksi yang tidak dapat dibalik,
struktur selulosa Iβ secara termodinamika lebih stabil dibandingkan selulosa Iα
(Hirai et al. 1987). Komposisi selulosa Iα dan selulosa Iβ berbeda-beda pada setiap
jenis sumber selulosa. Selulosa dari alga laut dan selulosa bakterial memiliki
komposisi selulosa Iα yang lebih tinggi yaitu sebesar 60%. Selulosa yang berasal
dari tanaman seperti kapas dan rami lebih banyak mengandung selulosa I β yaitu
sebesar 80% (Horii F et al. 1997). Proses pemurnian selulosa bakteri
menggunakan larutan alkali dapat menurunkan komponen selulosa I α dalam
jumlah yang cukup besar. Selulosa Iα terkristalisasi pada ukuran mikrofibril yang
besar, sedangkan selulosa Iβ terkristalisasi pada ukuran mikrofibril yang lebih
kecil (Hirai et al. 1987).
Selulosa memiliki tiga buah gugus hidroksil pada setiap unit
anhydroglucose (AGU) pada atom C2, C3 dan C6 yang sangat reaktif. Atom C6
merupakan gugus hidroksil primer sedangkan atom C2 dan C3 gugus hidroksil
sekunder. Reaksi kimia yang biasa terjadi pada gugus hidroksil adalah reaksi
esterifikasi, eterifikasi dan oksidasi. Selulosa yang berasal dari sumber yang
berbeda memiliki reaktifitas yang berbeda juga dengan senyawa kimia. Berikut ini
adalah gambar struktur selulosa.

Gambar 2 Struktur selulosa
Sumber: Murray et al. di dalam Phillips and Williams (2000)

Selulosa Bakterial
Selulosa bakteri merupakan selulosa yang dihasilkan oleh bakteri
(khususnya bakteri gram negatif) dengan mempolimerisasikan glukosa yang
terdapat pada media tumbuh bakteri. Selulosa bakterial merupakan salah satu
produk metabolit dari mikroorganisme genus Acetobacter, Agrobacterium,

7
Rhizobium, Sarcina, dan Valonia. Penghasil selulosa bakterial yang paling efisien
ialah Acetobacter xylinum, yang diklasifikasi ulang sebagai Gluconacetobacter
xylinus. Acetobacter xylinum merupakan bakteri gram negatif, aerobik, berbentuk
batang, tidak membentuk spora, dan non motil. Acetobacter xylinum memiliki
sifat sensitif terhadap perubahan sifat fisik dan kimia lingkungannya dan ini akan
berpengaruh terhadap nata yang dihasilkan (Lapuz et al. 1967). Mikroba ini dapat
mengubah kandungan gula sebanyak 19% menjadi selulosa dalam media
tumbuhnya. Selulosa yang dikeluarkan ke dalam media itu berupa benang-benang
yang membentuk jalinan yang terus menebal menjadi lapisan nata. Menurut Lapuz
et al. (1967) tanda awal pertumbuhan bakteri nata pada media cair yang
mengandung gula berupa timbulnya kekeruhan setelah 24 jam inkubasi pada suhu
kamar. Setelah 36-48 jam suatu lapisan tembus cahaya mulai terbentuk di
permukaan media, dan secara bertahap akan menebal membentuk lapisan yang
kompleks. Jika diganggu lapisan ini akan tenggelam, dan lapisan baru akan
terbentuk di permukaan selama kondisinya masih memungkinkan. Pada kondisi
yang mendukung, nata yang terbentuk dapat mencapai ketebalan lebih dari 5 cm
dalam waktu satu bulan. Pertumbuhan Acetobacter xylinum dalam medium yang
cocok menghasilkan massa berupa selaput tebal pada permukaan medium. Selaput
tebal tersebut mengandung 35-62% (bobot kering) selulosa. Lapisan tebal tersebut
terbentuk pada permukaan medium, merupakan hasil akumulasi polisakarida
ekstraseluler (nata) yang tersusun oleh jaringan mikrofibril/pelikel. Pelikel
tersebut adalah tipe selulosa yang mempunyai struktur kimia seperti selulosa yang
dibentuk oleh tumbuhan tingkat tinggi (Collado 1987 dan Moat 1988).
Rumus kimia dari selulosa bakteri sama dengan selulosa yang berasal dari
tanaman yaitu (C6H10O5)n, tetapi sifat fisik dan kimia berbeda (Brown 1886).
Selulosa bakteri lebih baik dari selulosa dari tanaman karena memiliki tingkat
kemurnian yang tinggi serta derajat polimerisasi yang tinggi dan indeks kristalitas
yang tinggi. Selain itu selulosa bakteri juga memiliki kekuatan tarik dan kapasitas
serap air yang lebih tinggi dibanding selulosa tanaman. Derajat polimerisasi
selulosa bakteri berkisar antara 2000 dan 6000 (Bielecki et al. 2003). Selulosa
tanaman yang telah melalui proses pemurnian memiliki derajat polimerisasi antara
500-2100 (Klug 1964). Struktur dasar dari selulosa bakteri adalah mikrofibril
yang tersusun dari glukosa yang terikat oleh ikatan hidrogen. Ketipisan dari
selulosa bakteri sekitar 0,1-10 µm, seratus kali lebih tipis dari selulosa tanaman.
Kemampuan menyerap air selulosa bakteri 100 kali lebih tinggi (dari massanya).
Selulosa bakteri jauh lebih kuat dibanding selulosa tanaman (Schrecker and
Gostomski 2005 seperti disitasi oleh Chawla PR et al. 2009).
Selain memiliki kemurnian yang tinggi, selulosa dari mikroorganisme ini
mudah untuk dimodifikasi, dapat didegradasi secara biologi (biodegradable),
tidak beracun dan tidak menimbulkan alergi. Selulosa bakterial juga memiliki
kekuatan mekanik yang baik, seperti kekuatan tarik yang tinggi yaitu 200-300
MPa dan modulus young yang besar yaitu 15-35 GPa (Yamanaka et al. 1989).
Pertumbuhan Acetobacter xylinum dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain
pH, suhu, sumber nitrogen dan sumber karbon (Lapuz et al. 1967). Faktor lain
yang berpengaruh terhadap hasil nata adalah wadah fermentasi. Untuk efisiensi
dan efektifitas hasil nata serta mempertinggi rendemen lebih baik digunakan
wadah dengan luas permukaan yang relatif besar. Hal ini disebabkan karena pada

8
kondisi yang demikian ini pertukaran oksigen dapat berlangsung dengan baik
(Rosario 1982).

Karboksimetil Selulosa
Karboksimetil Selulosa (CMC) adalah turunan selulosa yang dibuat dengan
menukarkan gugus hidroksil selulosa dengan gugus karboksil yang terkandung
dalam asam monokloroasetat dalam kondisi basa. Karboksimetil selulosa
merupakan eter polimer selulosa linear dan berupa senyawa anion, yang dapat
terurai secara biologi (biodegradable), tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun,
butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam pelarut organik,
memiliki rentang pH sebesar 6.5-8.0, stabil pada rentang pH 2-10, bereaksi
dengan garam logam berat membentuk film yang tidak larut dalam air, transparan,
serta tidak bereaksi dengan senyawa organik. Karboksimetil selulosa merupakan
senyawa serbaguna yang memiliki sifat penting seperti kelarutan, reologi, dan
adsorpsi di permukaan. Selain sifat-sifat itu, viskositas dan derajat substitusi
merupakan dua faktor terpenting dari karboksimetil selulosa. Meningkatnya
kekuatan ionik dan menurunnya pH dapat menurunkan viskositas karboksimetil
selulosa akibat polimernya yang bergulung (Devi 2008).
Struktur CMC mempunyai kerangka dasar 1,4-β-D-glukopiranosa dari
polimer selulosa. Perbedaan cara membuat CMC mempengaruhi derajat substitusi,
tetapi secara umum derajat substitusi sekitar 0.4-1.4 per unit monomer. Setiap unit
anhidroglukosa (C6H10O5) pada struktur selulosa memiliki tiga gugus hidroksil
(OH) yang dapat diganti oleh senyawa lain. Akibat dari masuknya senyawa
pengganti tersebut dalam rantai selulosa, maka susunan berubah dan terpencar
sehingga molekul air atau senyawa pelarut lain dapat masuk dan melarutkan
polimer selulosa.

Gambar 3 Struktur karboksimetil selulosa
Sumber : Murray et al. di dalam Phillips and Williams (2000)
Secara teoritis tiga gugus hidroksil pada setiap unit anhidroglukosa dapat
diganti oleh tiga gugus karboksimetil sehingga diperoleh derajat substitusi bernilai
3. Produk dengan derajat substitusi 0.3 atau kurang, dapat larut dalam NaOH 6%
tetapi tidak larut dalam air. CMC dengan derajat substitusi 0.4 atau lebih besar
akan larut dalam air (Klug 1964). Menurut Glicksman and Robert di dalam Furia
(1972) untuk dapat terlarut dalam air CMC harus memiliki nilai derajat substitusi
sebesar 0.45 atau lebih dari nilai tersebut. Selama karboksimetilasi gugus
hidroksil pada C6 menunjukkan reaktifitas yang paling tinggi, diikuti oleh C2 dan

9
C3. Gugus hidroksil pada selulosa tidak dapat dengan mudah dimasuki senyawa
lain sehingga harus menggunakan alkohol yang dapat melarutkan selulosa. Proses
yang penting dalam pembentukan CMC adalah pembentukan alkali selulosa.
Alkali selulosa terbentuk dari reaksi antara selulosa dengan sodium hidroksida
(NaOH) di dalam pelarut inert pada suhu ruangan. Proses ini dikenal dengan nama
proses mercerisasi. Pembentukan alkali selulosa memodifikasi struktur kristal dari
selulosa dan meningkatkan aksesibilitas selulosa untuk bereaksi dengan bahan
kimia akibat proses swelling (Heydarzadeh et al. 2009). Alkali selulosa memiliki
reaktifitas yang lebih tinggi dibandingkan selulosa biasa.
Glicksman and Robert di dalam Furia (1972) mengemukakan bahwa pada
dasarnya pembuatan CMC dapat dilakukan dengan reaksi yang sederhana dan
konvensional, selulosa murni direaksikan dengan larutan sodium hidroksida.
Alkali selulosa yang terbentuk bereaksi dengan sodium monokloroasetat atau
asam monokloroasetat membentuk karboksimetil selulosa. Reaksi ini
menghasilkan produk NaCMC dan NaCl. Hal yang serupa dikemukakan Sjostrom
(1981) bahwa CMC dibuat dari selulosa alkali dengan natrium monokloroasetat
sebagai pereaksi.
Pembentukan karboksimetil selulosa ini dikenal dengan Williamson
etherification. Menurut sintesis eter Williamson yang lazim (RO- + RX → ROR +
X-), RO- merupakan alkoksi yang harus dibuat dengan NaOH yang lebih kuat
untuk menghasilkan ion alkoksida. Efek induktif dari oksigen-oksigen yang
elektronegatif pada karbon-karbon yang berdekatan membuat setiap gugus
hidroksil lebih asam daripada suatu gugus hidroksil dalam alkohol biasa.
Konfigurasi pada karbon anomerik dari suatu glikosida tidak berubah dalam
reaksi karboksimetilasi ini (Fessenden dan Fessenden 1986). Gaya tarik-menarik
antara sesama rantai selulosa pada daerah kristalin disebabkan oleh adanya ikatan
hidrogen pada gugus hidroksilnya. Gaya ini cukup kuat untuk dapat mencegah
selulosa larut dalam air. Struktur selulosa tersusun atas daerah kristalin yang
dihubungkan oleh daerah amorf (nirbentuk). Perubahan struktur kristalin menjadi
nirbentuk dapat terjadi. Persentase gugus hidroksil yang dapat menerima gugus
pereaksi lainnya bergantung pada ukuran molekul pereaksi dan derajat kristalitas
selulosa. Secara umum daerah kristalin pada selulosa mencapai 60-70% dan 3040% merupakan bagian nirbentuk. Karakteristik dari eter selulosa bermacammacam, contohnya kelarutannya di dalam pelarut organik atau air tergantung oleh
jenis senyawa eter dan derajat substitusi dari senyawa eter dengan gugus hidroksil
pada selulosa (Baker 2007).

METODE
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam peneltian ini dibagi tiga jenis, yaitu
(1) alat dan bahan untuk membuat selulosa mikrobial nata de cassava, (2) alat dan
bahan untuk sintesis karboksimetil selulosa (CMC), dan (3) alat dan bahan untuk
karakterisasi CMC. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat selulosa
mikrobial antara lain adalah air hasil samping industri tepung tapioka atau sisa

10
rendaman tepung tapioka, inokulum Acetobacter xylinum, urea, gula, asam asetat
glacial 25% atau cuka dapur, natrium hidroksida 1% dan asam asetat 1%. Bahanbahan untuk sintesis CMC antara lain adalah selulosa mikrobial kering,
isopropanol, asam monokloroasetat, natrium hidroksida 30-40% (b/v), kertas
saring, asam asetat, methanol 80% dan methanol absolut. Bahan-bahan untuk
karakterisasi CMC antara lain adalah etanol 80%, etanol 96%, eter, aseton, H 2SO4
pekat, ammonium karbonat, aquades, hidrogen peroksida 30% AgNO 3 0,1 N dan
indikator K2CrO4 10%.
Alat-alat yang digunakan untuk membuat selulosa mikrobial antara lain
adalah saringan, panci, kompor, wadah nampan plastik, kertas koran steril,
hammer mill, blender, saringan 60 mesh. Alat-alat yang digunakan untuk sintesis
CMC antara lain hot plate stirrer, neraca analitik, magnetic stirrer, pH meter,
termometer, gelas corong, tabung kondensor, labu alas bulat leher tiga, dan pompa
vakum. Alat-alat yang digunakan untuk karakterisasi CMC antara lain adalah
botol timbang, cawan masir (glass filtering) G3, neraca analitik, viskometer
Brookfield LV, cawan porselin, tanur, oven, desikator, water bath, pompa vakum,
buret dan beberapa peralatan gelas.

Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri atas empat tahap. Tahap pertama adalah pembuatan
nata de cassava, tahap kedua pemurnian nata de cassava, tahap ketiga pembuatan
karboksimetil selulosa, dan tahap keempat karakterisasi CMC yang meliputi :
derajat substitusi, pH larutan, viskositas, kadar air, kadar NaCl, dan kemurnian.
Pembuatan Nata de cassava
Air hasil samping produksi tapioka disaring untuk memisahkan kotorannya,
kemudian direbus hingga mendidih selama 15 menit, ditambahkan gula 2.5%
(w/v), urea 0.2% (w/v), asam asetat glacial atau cuka dapur (25%) sebanyak 1.0%
(v/v) diaduk hingga rata. Substrat cair didinginkan hingga suhu di bawah 40 oC.
Substrat diinokulasi bibit A. xylinum cair sebanyak 10% (v/v), diinkubasi selama
delapan hari pada suhu ruang (28-35oC) pada wadah nampan yang steril serta
ditutup kertas koran steril atau kain kasa steril. Kedalaman substrat cair dalam
nampan adalah 2 cm. Setelah delapan hari inkubasi terbentuk lapisan nata de
cassava ketebalan berkisar 1.25-1.5 cm (Misgiyarta 2011).
Pemurnian Nata de cassava
Nata direndam dalam larutan natrium hidroksida 1% (w/v) pada suhu kamar
selama 24 jam. Kemudian dinetralkan dengan perendaman dengan asam asetat 1%
(v/v) selama 24 jam. Volume natrium hidroksida dan asam asetat yang digunakan
± 1L untuk memurnikan nata. Selanjutnya produk dicuci beberapa kali dengan air
(Yamanaka, S 1989). Selulosa yang dihasilkan bila tidak langsung digunakan
disimpan di dalam lemari pembeku.
Karboksimetilasi Nata de cassava
Nata basah yang berbentuk lembaran tipis dikeringkan di dalam green house
selama tiga hari, setelah kering dihaluskan secara mekanik menggunakan hammer

11
mill dan blender. Kemudian selulosa disaring dengan saringan (± 60 mesh) hingga
diperoleh serbuk padatan yang halus. Proses pembuatan karboksimetil selulosa
pada penelitian ini mengacu pada metode yang digunakan Geyer et al. (1994).
Selulosa bakteri yang sudah dihaluskan direndam dalam isopropanol. Sampel
selulosa basah (5.5 g selulosa terdapat dalam 100 ml isopropanol) diaduk dengan
magnetic stirrer pada suhu kamar selama 15 menit, kemudian ditambahkan 40 ml
natrium hidroksida (NaOH) 30-40% sedikit demi sedikit selama 30 menit. Setelah
1 jam, 18 g asam monokloroasetat (ClCH2COOH) ditambahkan sedikit demi
sedikit selama 30 menit. Campuran diaduk selama 4 jam pada suhu 55°C, disaring
menggunakan kertas saring, ditambahkan methanol 80%, dan dinetralkan dengan
asam asetat pada suhu kamar. Setelah itu disaring kembali, CMC yang dihasilkan
dicuci dengan methanol absolut, dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 55°C
selama 24 jam.
Karakterisasi Karboksimetil Selulosa
Karakterisasi karboksimetil selulosa dilakukan untuk mengetahui beberapa
sifat fisik dan kimiawi dari produk yang dihasilkan serta mengetahui kualitasnya.
Pengujian yang dilakukan antara lain uji kadar air menggunakan SNI 06-45571998, penentuan derajat substitusi dan pH larutan 1% menggunakan SNI 06-37361995, uji viskositas menggunakan SNI 06-4558-1998, kadar NaCl menggunakan
metode Mohr serta kadar natrium karboksimetil selulosa menggunakan ASTM D
1439. Prosedur karakterisasi karboksimetil selulosa tercantum dalam lampiran 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Selulosa Mikrobial
Selulosa mikrobial merupakan selulosa yang dihasilkan oleh
mikroorganisme dengan mempolimerisasikan gula yang terkandung di dalam
media tumbuh mikroorganisme tersebut. Selulosa mikrobial memiliki rumus
kimia yang sama dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan yaitu (C 6H10O5)n,
namun memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda. Selulosa mikrobial memiliki
kemurnian yang relatif tinggi dibandingkan dengan selulosa dari tanaman serta
memiliki derajat polimerisasi dan indeks kristalitas yang tinggi. Selain itu selulosa
bakteri juga memiliki kekuatan tarik dan kapasitas serap air yang lebih tinggi
dibanding selulosa tanaman. Derajat polimerisasi selulosa bakteri berkisar antara
2000 dan 6000 (Bielecki et al. 2003). Selulosa tanaman yang telah melalui proses
pemurnian memiliki derajat polimerisasi antara 500-2100 (Klug 1964). Derajat
polimerisasi yang tinggi menghasilkan derivat selulosa (dalam penelitian ini ialah
CMC) dengan viskositas larutan yang tinggi. Selulosa mikrobial dihasilkan dalam
bentuk lembaran yang disebut dengan nata.
Selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian ini merupakan selulosa
yang berasal dari nata de cassava. Nata de cassava dihasilkan dari air limbah
pengolahan singkong menjadi tepung tapioka. Air limbah tepung tapioka
mengandung karbon dalam bentuk pati sebesar 0.29%, karbohidrat 2.5% dan
glukosa sebesar 0.185 mg/l serta nitrogen sebagai nutrisi untuk bakteri

12
Acetobacter xylinum (Misgiyarta 2011). Proses perebusan air limbah berfungsi
untuk menghidrolisis karbohidrat dan pati menjadi gula-gula sederhana untuk
memudahkan pengkonversian gula oleh bakteri Acetobacter xylinum. Substrat cair
ditambahkan gula pasir sebagai karbon tambahan serta urea sebagai sumber
nitrogen tambahan bagi bakteri. pH merupakan salah satu faktor penting bagi
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Acetobacter xylinum dapat tumbuh
dengan baik pada media asam berkisar 4.4-5.5. Penambahan asam asetat pada
substrat cair dimaksudkan untuk mencapai kondisi tersebut. Proses inkubasi
dilakukan di dalam wadah yang steril dengan diberi penutup kertas koran atau
kain kasa steril. Inkubasi terjadi dalam kondisi aerob dimana oksigen dapat masuk
melalui pori-pori kertas koran yang digunakan. Setelah proses inkubasi selama
delapan hari nata de cassava siap untuk dipanen.
Nata de cassava yang digunakan memiliki ketebalan 0.9-1.2 cm dengan
tingkat keasaman air dari nata de cassava sebesar 5.8. Kadar air yang dimiliki
nata de cassava adalah sebesar 98.122 % dengan standar deviasi sebesar 0.534
sehingga selulosa kering yang didapat hanya sekitar 1.878% dari berat basah nata.
Selulosa kering didapatkan melalui dua tahap proses, yaitu proses pengepresan
dan proses pengeringan. Sebelum dilakukan proses pembuatan selulosa kering,
bahan baku nata terlebih dahulu dibersihkan dari zat-zat pengotor seperti gula dan
protein yang dihasilkan oleh bakteri dengan direndam dalam larutan natrium
hidroksida (NaOH) 1% sehingga tidak terjadi browning setelah dilakukan
pengeringan. Setelah dilakukan perendaman dengan NaOH perlu dilakukan
penetralan menggunakan larutan asam asetat 1%. Hal ini dimaksudkan agar
selulosa mikrobial yang digunakan dalam kondisi netral sehingga tidak
mengganggu proses kimia selanjutnya. Menurut Boisset et al. (1999) perendaman
dengan konsentrasi NaOH ini tidak menyebabkan terjadinya perubahan struktur
selulosa. Penghilangan NaOH dan asam asetat yang masih tersisa dilakukan
dengan cara pencucian menggunakan air berulang kali.
Proses pengepresan dilakukan dengan tujuan agar proses pengeringan yang
akan dilakukan dapat lebih efektif. Pengeringan dilakukan menggunakan dua cara
yaitu pengeringan dengan sinar matahari dan pengeringan menggunakan green
house. Pengeringan menggunakan green house dilakukan untuk menghindari
resiko akibat faktor cuaca. Lembaran selulosa kering yang dihasilkan berwarna
putih kecoklatan. Setelah kering, lembaran selulosa tersebut diperkecil ukurannya
hingga berbentuk bubuk dengan ukuran kurang lebih 60 mesh menggunakan
hammer mill. Pengecilan ukuran ini bertujuan agar proses karboksimetilasi yang
dilakukan dapat terjadi secara merata. Hasil uji proksimat selulosa mikrobial
bubuk dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Analisis proksimat selulosa mikrobial bubuk nata de cassava
Parameter

Nilai % (berat kering)

Kadar air
Kadar lemak
Serat kasar

9.6015 ± 0.1214
4.0597 ± 1.1767
59.429 ± 1.316

Kadar serat sebesar 59.429 % menunjukkan jumlah serat berupa selulosa
yang dapat dikonversi menjadi produk turunan selulosa seperti karboksimetil

13
selulosa. Nilai tersebut sesuai dengan hasil Collado (1987) dan Moat (1988) yang
mengatakan kandungan selulosa yang dihasilkan Acetobacter xylinum sebesar 3562 % bobot kering. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat kandungan lain dalam
selulosa mikrobial kering sebagai zat pengotor seperti lemak, protein, dan lainnya.
Berdasarkan perhitungan bobot basah, kadar serat dari nata de cassava yang
digunakan adalah sebesar 1.116 %. Menurut Balai Penelitian Tanaman Palma
(2010) nata de coco memiliki kadar lemak sebesar 0.2% dan kadar serat kasar
1.05%. Kadar serat nata de cassava yang didapat sesuai dengan kadar serat yang
dimiliki oleh nata de coco.

Proses Karboksimetilasi
Eter selulosa merupakan salah satu produk turunan dari selulosa. Eter
selulosa dihasilkan dengan mereaksikan alkyl halogenides atau allyl halogenides
atau alkene oxides dengan alkali selulosa. Salah satu produk eter selulosa adalah
karboksimetil selulosa. Karboksimetil selulosa dihasilkan dari proses eterifikasi
alkali selulosa dengan asam monokloroasetat. Tahap awal pembuatan
karboksimetil selulosa adalah proses alkalisasi yang akan menghasilkan alkali
selulosa. Sebelum selulosa direaksikan dengan larutan natrium hidroksida,
terlebih dahulu selulosa direndam dengan pelarut isopropanol untuk
meningkatkan efisiensi reaksi yang diinginkan. Proses karboksimetilasi dapat
dilakukan dalam aqueos system ataupun alcohol system. Terdapat beberapa alasan
penggunaan alkohol sebagai pelarut dalam proses antara lain selulosa lebih
terdispersi, adanya pertukaran panas, mengurangi reaksi kinetik dan
meningkatkan recovery produk. Penggunaan alkohol mengakibatkan adanya
kompetisi gugus hidroksil selulosa dengan alkohol. Untuk meminimalisir gugus
hidroksil alkohol bereaksi dengan asam monokloroasetat digunakan isopropanol
sebagai pelarut (Bergh 2011). Isopropanol memiliki polaritas yang lebih rendah
dibanding air, hal tersebut membuat polaritas dari larutan menjadi menurun. dan
efisiensi reaksi metilasi meningkat (Heydarzadeh et al. 2009). Proses alkalisasi
pada penelitian ini menggunakan natrium hidroksida dengan konsentrasi 30%,
35%, dan 40% (b/v). Dalam larutan natrium hidroksida, polimer selulosa akan
mengalami proses pembengkakan yang menjadikan polimer selulosa lebih mudah
terdifusi oleh bahan kimia. Proses pembengkakan pada selulosa terjadi karena
putusnya ikatan hidrogen intramolekul maupun intermolekul sehingga struktur
kristal dari selulosa berubah dimana komposisi bagian kristalin dan amorf dari
selulosa berubah. Selain itu, gugus hidroksil pada selulosa juga lebih reaktif
karena terionisasi oleh ion alkali yaitu Na+ membentuk ion alkoksida RO -. Selama
tahap alkalisasi terlihat selulosa membengkak dan kemudian membentuk suatu
larutan kental berwarna coklat muda. Proses selanjutnya adalah eterifikasi antara
alkali selulosa dengan asam monokloroasetat atau sodium monokloroasetat.
Berikut ini reaksi kimia sintesis karboksimetil selulosa atau dikenal dengan
Williamson etherification.

14
Alkalisasi :
[C6H7O2(OH)3]n + 3 NaOH  [C6H7O2(ONa)3]n + 3 H2O
Selulosa
Alkali selulosa

(1)

Eterifikasi :
[C6H7O2(ONa)3]n + 3 ClCH2COONa  [C6H7O2(OCH2COONa)3]n + 3 NaCl (2)
Alkali selulosa
MCA
Karboksimetil selulosa
Reaksi pembentukan alkali selulosa merupakan reaksi endotermik,
sedangkan reaksi eterifikasi di atas merupakan rekasi eksotermik yang
menghasilkan energi 41.5 kkal/mol (Heydarzadeh et al. 2009).
Secara teoritis terdapat tiga gugus hidroksil dalam setiap unit molekul
anhidroglukosa yang dapat ditukarkan dengan gugus karboksil. Perbandingan mol
selulosa : mol NaOH : mol asam monokloroasetat (MCA) berdasarkan
perhitungan stokiometri adalah 1 : 3 : 3. Berdasarkan perhitungan stokiometri
diperlukan natrium hidroksida sebanyak 4.074 g dan asam monokloroasetat
sebanyak 9.625 g untuk bahan baku selulosa sebesar 5.5 g. Dalam pembuatan
karboksimetil selulosa menurut Geyer et al. (1994) digunakan larutan natrium
hidroksida (NaOH) 30% sebanyak 40 ml atau sama dengan NaOH sebesar 12 g
dan asam monokloroasetat (MCA) sebanyak 18 g untuk 5.5 g selulosa.
Perbandingan mol selulosa : mol NaOH : mol MCA untuk formulasi tersebut
adalah 1 : 8.84 : 5.61. Salmi (2010) melakukan sintesis karboksimetil selulosa
menggunakan selulosa yang berasal dari birch hardwood dengan perbandingan
mol selulosa : mol NaOH : mol MCA sebesar 1 : 8 : 4. Perbandingan mol
berdasarkan formulasi Geyer et al. (1994) dan Salmi (2010) lebih besar dari
perbandingan mol berdasarkan perhitungan stokiometri. Hal ini dimaksudkan agar
hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan maksimal karena adanya reaksi yang
menghasilkan produk yang tidak diinginkan. Produk yang tidak diinginkan berupa
sodium klorida dan sodium glikolat. Sodium glikolat dihasilkan dari proses
hidrolisis sodium monokloroasetat oleh natrium hidroksida. Proses tersebut dapat
berlangsung hingga mengkonsumsi sodium monokloroasetat sebesar 30% dari
penggunaan (Klemm et al. 1998) seperti disitasi oleh (Bergh 2011). Berikut ini
adalah reaksi pembentukan sodium glikolat sebagai hasil samping pembentukan
ClCH2COONa + NaOH 

HOCH2COONa
Sodium glikolat

+

NaCl
Sodium klorida

karboksimetil selulosa.
Berdasarkan nilai viskositas, CMC yang dibuat dengan formulasi
berdasarkan Geyer et al. (1994) belum cukup maksimal, karena nilai viskositas
yang dihasilkan masih rendah dan terdapat endapan dalam larutan. Penggunaan
NaOH 30% belum cukup optimal untuk membuat alkali selulosa yang reaktif
dengan asam monokloroasetat. Menurut Kentjana (1998) seperti disitasi oleh
Wijayani (2005) bertambahnya jumlah alkali yang digunakan akan
mengakibatkan naiknya jumlah garam monokloroasetat yang terlarut, sehingga
mempermudah dan mempercepat difusi garam monokloroasetat ke dalam pusat
reaksi yaitu gugus hidroksi. Konsentrasi natrium hidroksida yang digunakan
dalam reaksi alkalisasi ditingkatkan sebesar 35% dan 40% untuk melihat
konsentrasi optimal yang diperlukan bagi pembentukan karboksimetil selulosa.

15

Gambar 4 Karboksimetil selulosa nata de
cassava
Gambar di atas ini merupakan karboksimetil selulosa yang disintesis
menggunakan selulosa mikrobial nata de cassava yang dihasilkan melalui tahap
alkalisasi dan eterifikasi.

Karakterisasi Karboksimetil Selulosa
Derajat Substitusi
Derajat substitusi (ds) merupakan nilai rata rata dari gugus karboksil yang
bertukar dengan gugus hidroksil yang ada di setiap unit monomer anhidroglukosa.
Uji derajat substitusi dilakukan untuk mengetahui jumlah senyawa karboksil yang
ada dalam setiap monomer selulosa. Derajat substitusi menggambarkan kualitas
CMC yang dihasilkan. Gugus karboksimetil berperan sebagai gugus hidrofilik
yang dapat meningkatkan kemampuan karboksimetil selulosa untuk imobilisasi
air di dalam sistem larutan. Secara teoritis ds maksimum adalah sebesar 3. Nilai
derajat substitusi dari CMC maksimal mencapai 1.5 yang diperbolehkan EU
legislation. Biasanya nilai ds yang diaplikasikan untuk bahan pangan berkisar 0.60.95. Derajat substitusi yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut.

Derajat Substitusi

1.2000

1.0848
0.9613

1.0000
0.8000
0.6000

0.5448
Derajat Substitusi

0.4000
0.2000
0.0000
30

35
40
Konsentrasi NaOH (%)

Gambar 5 Hubungan konsentrasi natrium hidr