Pembuatan Biofilm Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial Nata de Cassava

PEMBUATAN BIOFILM SELULOSA ASETAT DARI
SELULOSA MIKROBIAL NATA DE CASSAVA

TUTUS KURYANI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan Biofilm
Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial Nata de cassava adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Tutus Kuryani
NIM F34090007

ABSTRAK
TUTUS KURYANI. Pembuatan Biofilm Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial
Nata de cassava. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU.
Selulosa asetat merupakan senyawa turunan hasil asetilasi selulosa dengan
pereaksi asetat anhidrida. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan biofilm
selulosa asetat dari selulosa mikrobial nata de cassava. Nata de cassava yang
diperoleh melalui fermentasi limbah cair tapioka dengan bantuan bakteri
Acetobacter xylinum selama 8 hari dikeringkan dan dihancurkan hingga
membentuk serbuk. Serbuk selulosa mikrobial yang diperoleh diaktivasi
menggunakan asam asetat glasial, diasetilasi menggunakan pelarut asetat
anhidrida dengan perbandingan selulosa:pelarut 1:3, 1:4, dan 1:5 selama 1, 2, dan
3 jam kemudian dihidrolisis menggunakan asam asetat encer. Larutan selulosa
asetat diendapkan dengan aquades, dikeringkan lalu dihancurkan hingga terbentuk
serbuk selulosa asetat. Serbuk selulosa asetat dilarutkan dalam aseton dan
dilakukan penambahan pemlastis gliserin sebanyak 15% dan 25% dari bobot

selulosa asetat lalu dicetak menggunakan plat kaca. Selulosa asetat yang terbentuk
memiliki kadar asetil antara 30,60-44,51%. Biofilm yang terbentuk memiliki ratarata kekuatan tarik 320,50 kgf/cm2, elongasi 3,06%, WVTR 461,97 g/m2/24 jam,
dan daya serap air 10,52%.
Kata kunci: nata de cassava, selulosa mikrobial, selulosa asetat, biofilm

ABSTRACT
TUTUS KURYANI. Cellulose Acetat Biofilm Production from Microbial
Cellulose Nata de Cassava. Supervised by KHASWAR SYAMSU.
Cellulose acetate is one of cellulose derivative produced by acetylation in
acetate anhydride reactant. The objectives of this research are to produce cellulose
acetate biofilm from microbial cellulose nata de cassava. Nata de cassava as
fermentation product of tapioca liquid waste assisted by Acetobacter xylinum for
8 days dried and crushed into powder. Microbial cellulose powder was activated
by glacial acetate acid, acetyled in acetate anhydride using ratio 1:3, 1:4, and 1:5
for 1, 2, and 3 hours then hydrolyzed by weak acetate acid. The suspension
deposited in aquades, dried then crushed into powder form. Cellulose acetate
powder diluted in acetone and added by glycerin then poured into glasses plate.
Cellulose acetate has acetyl number between 30,60-44,51%. Biofilm has average
tensile strength 320,50 kgf/cm2, elongation 3,06%, WVTR 461,97 g/m2/24 jam,
and water absorbing power 10,52%.

Keywords: nata de cassava, microbial cellulose, cellulose acetate, biofilm

PEMBUATAN BIOFILM SELULOSA ASETAT DARI
SELULOSA MIKROBIAL NATA DE CASSAVA

TUTUS KURYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pembuatan Biofilm Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial Nata

de Cassava
Nama
: Tutus Kuryani
NIM
: F34090007

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Pembuatan Biofilm Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial Nata
de CaSSQm

Nama
: Tutus Kuryaru
NIM
: F34090007

Disetujui oleh

Prof. Dr. Jr. Khaswar Syamsu, M.Sc.
Pembimbing

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala karuniaNya sehingga skripsi yang berjudul Pembuatan Biofilm Selulosa Asetat dari
Selulosa Mikrobial Nata de Cassava ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan bulan Maret-Juli 2013 ini ialah teknologi
bioindustri.
Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. selaku dosen pembimbing atas
bimbingan dan motivasi yang diberikan.

2. Dr. Prayoga Suryadarma, S.TP. MT. dan Drs. Purwoko, M.Si. sebagai
dosen penguji.
3. Segenap dosen dan staff Departemen Teknologi Industri Pertanian.
4. Segenap laboran Laboratorium TIN yang telah membantu selama proses
penelitian.
5. Pimpinan dan dewan CSR PT. Rabobank International Indonesia atas
beasiswa Rabobank Undergraduate Scholarship yang telah diberikan.
6. Bapak Sarino, Ibu Wagiyem, kakak Nanik Sri Suryani, adik Randy
Ardhika Putra, Muhamad Haris, serta seluruh keluarga dan sahabat, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
7. Teman-teman Pondok Harmoni dan TIN 46 atas kebersamaan yang
berkesan, doa, dan semangat yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014
Tutus Kuryani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN


viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Limbah Cair Tapioka

3

Nata de cassava

4

Selulosa asetat


4

Biofilm dan Bioplastik

5

METODE

6

Alat & Bahan

6

Prosedur Penelitian

6

HASIL DAN PEMBAHASAN


8

Nata de cassava

8

Selulosa asetat

9

Biofilm dan Bioplastik

12

Karakteristik fisik biofilm

13

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

17

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL

1 Analisis Proksimat dan Mineral Limbah Cair Tapioka
2 Hubungan Kandungan Asetil, Derajat Substitusi, Jenis Pelarut, dan
Kegunaannya
3 Analisis Proksimat Serbuk Selulosa Mikrobial Nata de cassava
4 Perbandingan Nilai Karakteristik Fisik Selulosa Asetat dari Berbagai
Jenis Selulosa Mikrobial

3
5
9
15

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan Rasio Asetat Anhidrida terhadap Rendemen Selulosa Asetat
2 Hubungan Rasio Asetat Anhidrida terhadap Kadar Air Selulosa Asetat
3 Hubungan Rasio Asetat Anhidrida terhadap Kadar Asetil Selulosa
Asetat
4 Hubungan Kadar Asetil dan Jumlah Pemlastis terhadap Kuat Tarik
Biofilm
5 Hubungan Kadar Asetil dan Jumlah Pemlastis terhadap Elongasi
Biofilm
6 Hubungan Kadar Asetil dan Jumlah Pemlastis terhadap Laju Transmisi
Uap (WVTR) Biofilm
7 Hubungan Kadar Asetil dan Jumlah Pemlastis terhadap Daya Serap Air
Biofilm

11
11
12
13
14
14
15

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Prosedur Pengujian
Data Uji Rendemen Selulosa Asetat
Uji Keragaman Rendemen Selulosa Asetat
Data Uji Kadar Air Selulosa Asetat
Uji Keragaman Kadar Air Selulosa Asetat
Data Uji Kadar Asetil Selulosa Asetat
Uji Keragaman Kadar Asetil Selulosa Asetat
Data Uji Kuat Tarik Biofilm
Uji Keragaman Kuat Tarik Biofilm
Data Elongasi Tarik Biofilm
Uji Keragaman Elongasi Biofilm
Data Laju Transmisi Uap (WVTR) Biofilm
Uji Keragaman Laju Transmisi Uap (WVTR) Biofilm

19
21
21
22
22
22
22
23
23
23
23
24
24

14 Data Daya Serap Air Biofilm
15 Uji Keragaman Daya Serap Air Biofilm

24
24

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selulosa asetat merupakan senyawa turunan selulosa yang diperoleh melalui
esterifikasi menggunakan pereaksi asetat anhidrida. Selulosa asetat merupakan
salah satu jenis polimer yang banyak digunakan untuk industri. Selulosa asetat
secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu selulosa triasetat (selulosa asetat
primer) dan selulosa diasetat (selulosa asetat sekunder). Selulosa asetat primer
dibuat melalui reaksi esterifikasi (asetilasi) selulosa dengan pereaksi anhidrida
asetat, sedangkan selulosa asetat sekunder dibuat dengan cara menghidrolisis
selulosa asetat primer (Desiyarni, 2006)
Secara komersial selulosa asetat dibuat dengan menggunakan bahan baku
pulp kayu berkualitas tinggi. Salah satu masalah dalam produksi selulosa asetat
dari pulp kayu adalah rendahnya kualitas dan kemurnian selulosa kayu karena
pulp kayu masih mengandung hemiselulosa dan lignin. Selulosa mikrobial adalah
jenis selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Selulosa mikrobial bersifat
renewable (dapat diperbarui), mempunyai karakteristik yang unik dan relatif lebih
murni dibandingkan dengan selulosa kayu. Selulosa mikrobial merupakan salah
satu alternatif sumber selulosa pada pembuatan selulosa asetat. Selulosa mikrobial
mempunyai beberapa keunggulan antara lain relatif murni sehingga tidak
membutuhkan proses delignifikasi, sifat hidrofilik yang sangat tinggi dan dapat
diproduksi dari berbagai macam substrat yang relatif mudah dan murah.
Berdasarkan keunggulan yang dimiliki tersebut maka selulosa jenis ini merupakan
alternatif sumber selulosa yang relatif murni pada produksi selulosa asetat.
Penelitian pembuatan selulosa asetat dari selulosa mikrobial telah dilakukan
antara lain oleh Safriani (2000), Darwis et al. (2003), dan Sani (2012). Safriani
(2000) telah meneliti pembuatan selulosa asetat dari selulosa mikrobial berbahan
baku kedelai (nata de soya) dan menggunakan selulosa asetat yang dihasilkan
sebagai polimer pada pembuatan coating. Darwis et al. (2003) telah meneliti
pembuatan selulosa triasetat dari selulosa mikrobial berbahan baku air kelapa
(nata de coco) dan menggunakan selulosa triasetat yang dihasilkan sebagai
polimer pada pembuatan membran mikrofiltrasi. Sani (2012) telah meneliti
potensi nata de cassava dari limbah cair tapioka sebagai membran selulosa asetat.
Safriani (2000) melakukan asetilasi dalam waktu 5, 7,5, dan 10 jam dengan
rasio asetat anhidrida 1:2, 1:3, dan 1:4 menghasilkan kadar asetil 14,55-41,72%.
Film selulosa asetat yang dihasilkan digunakan sebagai penyaring, kemasan, dan
amplop.
Penelitian ini menggunakan bahan baku nata de cassava untuk pembuatan
selulosa asetat sebagai upaya pemanfaatan limbah cair tapioka. Selulosa asetat
yang dihasilkan digunakan sebagai bahan pembuatan biofilm. Biofilm selulosa
asetat diharapkan dapat menjadi substitusi jenis plastik sintetis yang ada di
pasaran.

2
Perumusan Masalah
Selulosa mikrobial merupakan alternatif sumber selulosa dalam pembuatan
selulosa asetat. Selulosa asetat dapat digunakan sebagai bahan pembuatan biofilm
yang dapat diaplikasikan sebagai susbstitusi plastik. Kadar asetil selulosa asetat
dipengaruhi oleh rasio asetat anhidrida dan waktu asetilasi. Proses asetilasi pada
penelitian Safriani (2000) dilakukan dalam waktu 5, 7,5, dan 10 jam dengan rasio
asetat anhidrida 1:2, 1:3, dan 1:4 menghasilkan kadar asetil 14,55-41,72%. Sani
(2012) melakukan asetilasi dalam waktu 2 jam dengan rasio asetat anhidrida 1:5
menghasilkan kadar asetil 40,38%. Waktu asetilasi dalam penelitian ini dilakukan
dalam waktu lebih pendek daripada penelitian sebelumnya untuk mendapatkan
kadar asetil yang lebih rendah. Kadar asetil selulosa asetat untuk tujuan biofilm
harus mempunyai kadar asetil 36,5-42,2% agar dapat larut dalam pelarut aseton.
Karakteristik fisik biofilm selulosa asetat dipengaruhi oleh kadar asetil yang
digunakan dan penambahan pemlastis. Penelitian Safriani (2000) dilakukan
dengan menambahkan pemlastis jenis dietilena glikol, dimetil ftalat, dan tributil
fosfat dengan konsentrasi 17 dan 25% pada selulosa asetat nata de soya. Pada
penelitian ini dilakukan penambahan pemlastis gliserin terhadap selulosa asetat
yang dihasilkan. Nilai karakteristik fisik biofilm selulosa asetat diharapkan
mendekati nilai karakteristik plastik sintetis yang sudah ada sehingga dapat
menjadi substitusi jenis plastik tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk mendapatkan selulosa asetat
dari selulosa mikrobial yang berasal dari nata de cassava yang diolah secara
fermentasi dari limbah cair tapioka sebagai bahan biofilm. Tujuan khusus dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan selulosa mikrobial dari limbah cair tapioka dalam bentuk nata
de cassava.
2. Mengetahui pengaruh variasi rasio asetat anhidrida dan waktu asetilasi
terhadap penurunan kadar asetil.
3. Mendapatkan biofilm dari selulosa asetat dengan pelarut aseton dan
penambahan pemlastis gliserin.
4. Mengetahui pengaruh jumlah pemlastis dan kadar asetil selulosa asetat
terhadap nilai parameter/karakteristik biofilm yang dihasilkan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat antara lain:
1. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan tentang pemanfaatan limbah cair tapioka, pembuatan
selulosa asetat dari selulosa mikrobial serta karakteristik produk biofilm yang
dihasilkan.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai sumber informasi dan bisa dikembangkan ke penelitian selanjutnya.

3
Bagi perusahaan
Mengurangi cemaran limbah cair tapioka bagi industri tapioka serta menjadi
pertimbangan pemilihan bahan baku bagi industri biofilm.
3.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada proses pembuatan nata de cassava dari limbah
cair tapioka, pembuatan selulosa asetat dari serbuk selulosa mikrobial nata de
cassava, dilanjutkan dengan pembuatan biofilm dengan tambahan pemlastis
gliserin, serta pengujian karakteristik fisik biofilm.

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Cair Tapioka
Limbah cair industri tapioka dihasilkan dari proses pembuatan, baik dari
pencucian bahan baku sampai pada proses pemisahan pati dari airnya atau proses
pengendapan yang mengandung bahan organik. Seringkali limbah cair ini dibuang
langsung ke badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga berpotensi
menyebabkan pencemaran lingkungan (Nurhasan dan Pramudyanto 1996).
Proses degradasi bahan organik tersebut berlangsung lambat dan tidak
sempurna, sehingga dihasilkan senyawa organik berbau tajam. Limbah cair
tapioka yang digunakan sebagai air irigasi langsung dapat mengakibatkan
tanaman padi berumur muda mengalami cekaman dan mati. Tingginya nilai BOD
dan COD dalam limbah tersebut dapat menyebabkan kegagalan panen tambak
udang. Racun sianida dalam limbah berpotensi mencemari sungai penduduk
setempat.
Fauzi dkk (2010) menyatakan bahwa dari 100 kg ubi kayu dibutuhkan air
1.255 liter untuk proses produksi tapioka menghasilkan rendemen tapioka kasar
22 kg dan limbah cair 1.242,5 liter. Tabel 4 berikut ini menampilkan hasil analisis
proksimat dan mineral limbah cair tapioka:
Tabel 1 Analisis proksimat dan mineral limbah cair tapioka
Komponen
Air
Abu
Protein
Lemak
Serat kasar
Pati
Ca
Mg
Fe
Cu
Pb
Zn
Sumber: Jenie dkk (1994)

Satuan
%
% berat kering
% berat kering
% berat kering
% berat kering
% berat kering
μg/l
μg/l
μg/l
μg/l
μg/l
μg/l

Jumlah
99,25
0,07
0,16
0,22
0,00
0,29
62,400
4,900
0,750
0,083
0,064
0,013

4
Nata de cassava
Nata adalah hasil fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum, berbentuk
gel yang mengapung pada permukaan media atau tempat yang mengandung gula
dan asam. Selama ini masyarakat mengetahui nata hanya bisa dibuat dari air
kelapa. Oleh karena itu pada penelitian ini air sisa pengendapan pati dimanfaatkan
sebagai bahan baku media pembuatan Nata de cassava yang merupakan salah
satu usaha diversifikasi produk hasil pertanian.
Nata berasal dari Philipina untuk menyebut suatu pertumbuhan menyerupai
gel (agar-agar) yang terapung di permukaan, dimana gel tersebut merupakan
selulosa yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum. Bakteri Acetobacter
xylinum tergolong famili Pseudomonadaceae dan termasuk genus Acetobacter.
Berbentuk bulat, panjang 2 mikron, biasanya terdapat sel tunggal atau kadangkadang mempunyai rantai dengan sel yang lain. Acetobacter xylinum digunakan
dalam pembuatan nata karena bakteri ini mempunyai sifat yang spesifik. Bakteri
ini mempunyai kemampuan untuk membentuk selaput tebal pada permukaan
cairan fermentasi, yang ternyata adalah komponen menyerupai selulosa (selulosa
material). Komponen inilah yang lebih lanjut disebut nata. (Stainer et al 1963)
Pertumbuhan Acetobacter xylinum dalam medium yang cocok menghasilkan
massa berupa selaput tebal pada permukaan medium. Selaput tebal tersebut
mengandung 35-62% (bk) selulosa. Lapisan tebal tersebut terbentuk pada
permukaan medium, merupakan hasil akumulasi polisakarida ekstraseluler (nata)
yang tersusun oleh jaringan mikrofibril / pelikel. Pelikel tersebut adalah tipe
selulosa yang mempunyai struktur kimia seperti selulosa yang dibentuk oleh
tumbuhan tingkat tinggi. (Collado 1987 dan Moat 1988)
Pembentukan nata (polisakarisa ekstraseluler) memerlukan senyawa antara
lain yaitu heksosa fosfat. Heksosa fosfat mengalami oksidasi melalui lintasan
pentosa fosfat menghasilkan senyawa NADPH (senyawa penyimpan tenaga
pereduksi) dan melepas CO2. Gas CO2 yang dilepas akan terhambat dan menempel
pada mikrofibril selulosa, sehingga selulosa naik ke permukaan cairan (Meyer,
1960).
Selulosa disintesis melalui reaksi bertahap UDPG (uridin difosfat glukosa)
dan selodekstrin. Selodekstrin dihasilkan dari penggabungan UDP (uridin
difosfat) glukosa dengan unit glukosa (Meyer, 1960). Reaksi pembentukan
selodekstrin berlangsung terus sampai terbentuk senyawa, yang terdiri dari 30 unit
glukosa dengan ikatan β-1,4. Selodekstrin bergabung dengan lemak dan protein.
Proses tersebut merupakan proses antara dari UDP glukosa yang melibatkan
enzim selulosa sintetase (Moat 1988). Pembentukan polisakarida ekstrasellular
(nata) dapat terjadi 24 jam setelah inkubasi dan meningkat dengan cepat 4 hari
inkubasi, kemudian cenderung lambat pada hari berikutnya. Hal ini dikarenakan
keasaman medium bertambah serta gula dalam substrat berkurang. ( Alaban 1962)

Selulosa asetat
Selulosa asetat merupakan modifikasi selulosa dengan asetat anhidrida
dengan katalisator H2SO4 pada suhu 50oC. Mempunyai sifat termoplastik, dapat
diproduksi dengan ekstrusi atau solvent casting, film berpenampilan jernih dan

5
agak liat, tidak memiliki barier yang baik untuk uap air dan gas; barier yang baik
bagi minyak dan lemak, tidak edible, dan aplikasi secara umum untuk barangbarang moulding, sebagai lapisan untuk diwarnai. (Desiyarni 2006)
Reaksi yang berlangsung merupakan reaksi bolak-balik dan bersifat
eksotermis, yaitu:


+ �
�+


� , �
, � , ∆ℎ = − ,
(I. Harrison et al 2004)
Reaksi bolak-balik merupakan reaksi kesetimbangan, terjadi pada konversi
yang maksimum. Selulosa triasetat maksimum didapat pada waktu 1 jam asetilasi
dengan kadar asetil 44,175%. Untuk mendapatkan selulosa diasetat, maka proses
dilanjutkan ke tahap hidrolisa. Kadar asetil yang diperoleh adalah 39% pada
waktu asetilasi 15 jam, suhu 50oC dengan kadar air 0,537% bersifat serbuk putih,
tidak berbau, tidak berasa, dan tidak beracun. (Rosnelly dkk 2009)
Sifat selulosa asetat ditentukan oleh derajat substitusinya karena
berhubungan dengan kelarutannya dalam pelarut tertentu. Kadar asetil merupakan
ukuran jumlah gugus asetil yang diesterifikasi pada rantai selulosa dan
menentukan derajat substitusi (DS). Hubungan antara kadar asetil dengan derajat
substitusi ditunjukkan pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Hubungan kandungan asetil , derajat substitusi, jenis pelarut, dan
kegunaannya
Kandungan asetil

Derajat substitusi

Pelarut

Penggunaan

13.0-18.6

0.6-0.9

Air

-

22.2-32.2

1.2-1.8

2-Metoksi-etanol

plastik

36.5-42.2

2.2-2.7

Aseton

benang, film

Kloform

kain, pembungkus

43.0-44.8
2.8-3.0
Sumber: Fengel and Wegener (1984)

Biofilm dan Bioplastik
Biofilm diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat
dihancurkan secara alami. Proses pembentukan biofilm diawali dengan
melemahnya jarak antar partikel yang saling berkaitan dalam suatu cairan,
sehingga setelah terjadi proses penguapan akan terbentuk lembaran (Buckmann et
al 2002). Biofilm dapat dikembangkan menjadi bahan pengemas atau bioplastik
(Apriyanto 2007).
Bioplastik atau plastik organik adalah salah satu jenis plastik yang terbuat
dari sumber biomassa terbarukan, seperti minyak nabati, pati jagung, pati kacang
polong dan mikrobiota. Jika dibandingkan dengan plastik konvensional yang
terbuat dari bahan baku petroleum, kelebihan lain dari bioplastik adalah
diproduksi dari sumber terbarukan. Bioplastik pada umumnya bersifat dapat
terdegradasi secara alami (biodegradable).

6
Pembuatan biofilm dibantu oleh penambahan pemlastis (plasticizer).
Plasticizer merupakan bahan dengan berat molekul kecil sehingga dapat
bergabung ke dalam matriks protein dan polisakarida untuk meningkatkan sifat
fleksibilitas dan kemampuan membentuk film. Plasticizer meningkatkan volume
bebas atau mobilitas molekul primer dengan mengurangi ikatan hidrogen,
termasuk juga kemampuannya untuk mengikat air ke dalam sistem protein yang
mengandung plasticizer. Salah satu jenis plasticizer adalah gliserol. Gliserol
adalah senyawa alkohol dengan tiga buah gugus hidroksil dalam satu molekul
(alkohol trivilen). Gliserol ini berbentuk cair, kental, tidak berbau, transparan,
higroskopis, serta dapat larut dalam air dan alkohol. Selain itu, molekul gliserol
ini relatif kecil sehingga dapat dengan mudah disisipkan di antara rantai polimer
(Gontrad et al. 1993).

METODE
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu pembuatan nata de
cassava dari limbah cair tapioka, pembuatan selulosa asetat dari serbuk selulosa
mikrobial nata de cassava, pembuatan biofilm, dan pengujian karakteristik fisik
biofilm.

Alat & Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pengempa
hidrolik, pH meter, hammer mill dan saringan 40 mesh, shaker inkubator, hot
plate dan stirer, oven, vacuum filter, sentrifus dan tabung sentrifugasi.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain limbah cair tapioka,
Acetobacter xylinum, asam asetat (CH3COOH), gula (C12H22O11), amonium sulfat
((NH4)2SO4), asetat anhidrida ((CH3CO)2O), asam sulfat (H2SO4), aseton
(CH3COCH3), gliserin (C3H8O3), kertas saring, dan aquades.

Prosedur Penelitian
Pembuatan Nata de cassava
Nata de cassava dibuat dengan menggunakan prosedur Sani (2012). Limbah
cair tapioka disaring menggunakan saringan plastik untuk menghilangkan kotoran
kemudian diambil filtrat sebanyak 1000mL. Gula pasir sebanyak 10% (b/v) dan
amonium sulfat sebanyak 0,5% (b/v) ditambahkan ke dalam filtrat limbah cair
tapioka. Larutan kemudian dipanaskan hingga mendidih sambil diaduk. Setelah
mendidih, larutan dituang ke wadah fermentasi berupa loyang plastik yang
disterilkan dengan air mendidih kemudian diatur pH menjadi 3,5-4,5
menggunakan asam asetat glasial. Wadah kemudian ditutup dengan kertas koran
yang disterilkan dengan sinar UV, lalu diikat dengan karet dan didiamkan selama

7
satu malam. Keesokan harinya, sebanyak 20% (v/v) inokulum dituang ke dalam
media secara aseptis dan diinkubasi selama 8 hari hingga terbentuk nata.
Pembuatan serbuk selulosa mikrobial
Prosedur ini merupakan modifikasi penelitian Sani (2012). Lembaran nata
de cassava dicuci berulang dengan air dan dikelupas lapisan terluarnya kemudian
direbus hingga mendidih untuk mematikan bakteri yang tersisa. Nata kemudian
dimurnikan dengan perendaman dalam larutan NaOH 1% (b/v) selama 24 jam lalu
dinetralkan dengan perendaman dalam larutan asam asetat teknis 1% (v/v) selama
24 jam. Nata selanjutnya dipress dengan pengempa hidrolik untuk mengurangi
kandungan air dan mempercepat proses pengeringan. Pengeringan nata dilakukan
dengan penjemuran dalam greenhouse selama 2 hari. Nata yang telah kering
kemudian dipotong kecil lalu digiling menggunakan hammer mill 40 mesh.
Pembuatan selulosa asetat
Pembuatan selulosa asetat menggunakan modifikasi prosedur Safriani
(2000) dan Sani (2012). Sebanyak 10 gram serbuk selulosa mikrobial dicuci untuk
menyerap kandungan air dengan asam asetat glasial 50 mL lalu disaring dengan
vacuum filter. Serbuk nata yang telah bebas air kemudian diaktivasi dengan asam
asetat glasial 50mL dan H2SO4 0,2mL sebagai katalis dalam shaker inkubator
pada suhu 38oC selama 30 menit. Asetat anhidrid ditambahkan sebagai pelarut
dalam proses asetilasi dengan rasio serbuk nata:asetat anhidrida 1:3, 1:4, 1:5 (b:v).
Proses asetilasi dilakukan pada shaker inkubator selama 1, 2 dan 3 jam dengan
suhu 38oC hingga terbentuk larutan yang lebih kental berwarna cokelat. Setelah
proses asetilasi selesai, suspensi dihidrolisis dengan larutan asam asetat encer
dengan perbandingan 1:2 (asam asetat:aquades) sebanyak 12mL dalam shaker
inkubator pada suhu 50oC selama 30 menit. Larutan kemudian disentrifugasi.
Supernatan yang diperoleh dimasukkan ke dalam 500mL aquades sehingga
terbentuk serpihan selulosa asetat berwarna putih. Serpihan selulosa asetat
kemudian disaring menggunakan vacuum filter dan dicuci dengan aquades sampai
bau asam hilang. Serpihan kemudian dikeringkan dalam oven 50oC selama 6 jam
atau hingga kering.
Pembuatan biofilm
Prosedur merupakan modifikasi prosedur Safriani (2000). Sebanyak 10 gr
selulosa asetat dilarutkan dalam 45 ml aseton dan diaduk menggunakan stirer
hingga tercampur rata. Pemlastis gliserin ditambahkan ke dalam larutan dengan
variasi 15 dan 25% dari bobot selulosa asetat. Larutan yang dihasilkan dituang
pada plat kaca 30x25 cm lalu dikeringkan selama 1 jam pada suhu 60oC.
Lembaran bioplastik yang didapatkan kemudian diuji karakteristik fisiknya
meliputi ketebalan, kuat tarik dan elongasi, laju transmisi uap (Water Vapour
Transmission Rate/WVTR), dan daya serap air.

8
Pengujian karakteristik fisik biofilm
Pengujian biofilm dilakukan untuk mengetahui nilai beberapa karakter
fisiknya meliputi ketebalan, kuat tarik dan elongasi, laju transmisi uap (WVTR)
dan daya serap air. Uji kuat tarik dan elongasi dilakukan menggunakan metode
ASTM D638, WVTR menggunakan metode ISO 2528-1974(E) dan daya serap air
menggunakan metode ASTM D570. Prosedur pengujian karakteristik fisik biofilm
tercantum dalam Lampiran 1 poin 5-7.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Nata de cassava
Limbah cair tapioka merupakan hasil samping produksi tapioka yang masih
banyak mengandung bahan organik. Kandungan pati 0,29% dapat digunakan
sebagai sumber karbon sehingga merupakan media yang baik bagi Acetobacter
xylinum untuk membentuk nata de cassava. Bakteri ini mempunyai kemampuan
untuk mengkonversi glukosa menjadi selulosa membentuk matriks yang disebut
nata (Yoshino et al 1995).
Aktivitas pembentukan nata optimum pada pH 3,5-4,5 pada suhu ruang
sehingga perlu dilakukan pengaturan pH menggunakan asam asetat glasial.
Penambahan gula berfungsi sebagai sumber C sedangkan amonium sulfat sebagai
sumber N. Kondisi aseptis sangat dibutuhkan saat proses inokulasi untuk
mencegah kontaminasi kapang yang dapat mengganggu proses pembentukan nata.
Nata de cassava yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai ukuran
30x22,5 cm dan ketebalan rata-rata 1,5cm dan rendemen basah 986,25 gram per
1000 mL media. Peningkatan rendemen dapat dilakukan dengan memperpanjang
waktu fermentasi, semakin lama waktu fermentasi nata yang dihailkan semakin
tebal selain itu juga dapat meningkatkan kerapatan selulosa yang dihasilkan. Nata
perlu direbus untuk mematikan bakteri yang tersisa dan dilanjutkan dengan
perendaman dalam larutan NaOH 1%. Perendaman ini bertujuan mengurangi
pengotor seperti kandungan gula dan protein dalam nata sehingga tidak terjadi
browning pada saat pengeringan. NaOH sebagai cleaning agent bereaksi
menyabunkan lemak dan melarutkan protein. Selain itu, struktur selulosa akan
membengkak dan memudahkan saat proses asetilasi. Namun proses
pembengkakan akan berdampak pada peningkatan kristalinitas sehingga
diperlukan perendaman dalam asam asetat 1% untuk menetralkan nata dan
mengurangi kristalinitas struktur selulosa.
Daerah kristalin merupakan bagian yang mempunyai ikatan antar rantai
lebih erat dan lebih rapat. White dan Brown (1983) menyatakan bahwa selulosa
mikrobial bersifat kristalin, dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60 %,
yang berarti lebih banyak terdapat daerah kristalin dibandingkan daerah amorf.
Daerah kristalin mempunyai sifat reaktifitas yang rendah, sehingga sukar terjadi
reaksi asetilasi, sedangkan bagian amorf merupakan bagian yang lebih mudah
dicapai oleh pereaksi sehingga lebih reaktif. Agar daerah kristalin dapat dicapai
oleh pereaksi perlu dilakukan penggembungan (swelling) selulosa dengan

9
menggunakan pelarut. Semakin besar daerah kristalin suatu selulosa maka
semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menggembungkannya.
Penggembungan selulosa akan menyebabkan berkurangnya ikatan antar serat
selulosa, sehingga memudahkan masuknya pereaksi. Daerah kristalin sulit
dipenetrasi oleh pereaksi karena adanya ikatan intra dan antar rantai selulosa yang
sangat kuat melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Dadi et al. 2006)
Pembuatan serbuk selulosa mikrobial dilakukan dengan mengeringkan
lembaran nata. Proses pengempaan perlu dilakukan untuk mempercepat
pengeringan. Proses pengeringan dilakukan dengan penjemuran di dalam
greenhouse untuk mengurangi resiko yang diakibatkan cuaca. Pengeringan
menggunakan dryer dapat menyebabkan browning sehingga sangat tidak
disarankan. Lembaran nata kering kemudian dipotong kecil untuk memudahkan
saat penggilingan. Penggilingan dilakukan dengan hammer mill 40 mesh. Tujuan
dilakukan pengecilan ukuran adalah untuk mempercepat proses asetilasi.
Serbuk selulosa yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai rendemen
0,59% terhadap berat nata basah. Hasil analisis proksimat serbuk selulosa
mikrobial disajikan dalam Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3 Analisis kandungan serbuk selulosa mikrobial nata de cassava
Parameter
Kadar air
Kadar abu
Kadar protein
Kadar lemak
Kadar selulosa

Nilai (% wb)
4,24 ± 0,01
0,43 ± 0,06
3,13 ± 0,04
1,09 ± 0,01
82,37 ± 0,03

Kandungan selulosa sebesar 82,37% membuktikan bahwa kemurnian
selulosa mikrobial yang dihasilkan cukup tinggi meskipun masih terdapat
kandungan non selulosa. Kandungan non selulosa akan dihilangkan sebelum
proses aktivasi pada tahap pembuatan selulosa asetat.
Selulosa asetat
Selulosa asetat merupakan produk turunan selulosa melalui proses asetilasi
menggunakan pelarut asetat anhidrida. Asetilasi mensyaratkan kondisi bebas air
(Arifin 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan perlakuan awal yaitu perendaman
serbuk selulosa mikrobial dalam asam asetat glasial. Perendaman ini selain
bertujuan menarik air juga melarutkan impurities dalam serbuk selulosa mikrobial
yang ditunjukkan dengan perubahan warna asam asetat menjadi kecoklatan.
Berdasarkan hasil analisis proksimat yang ditampilkan pada Tabel 3, dapat diduga
bahwa impurities berasal dari kandungan protein dan lemak dalam serbuk selulosa
mikrobial.
Proses aktivasi diperlukan untuk tujuan menggembungkan struktur selulosa
sehingga proses asetilasi dapat berlangsung dengan lebih baik dan cepat. Aktivasi
dilakukan dengan menambahkan asam asetat glasial. Pada proses ini pula
dilakukan penambahan katalis H2SO4 pekat. Penambahan katalis berfungsi
mempercepat proses asetilasi.

10
Asetilasi merupakan proses utama dalam pembuatan selulosa asetat. Pada
penelitian ini digunakan variasi rasio asetat anhidrida 1:3, 1:4, dan 1:5. Landasan
menggunakan variasi ini berdasarkan persamaan reaksi asetilasi. Selulosa
merupakan polimer linier glukosa yang unit-unitnya terikat dengan ikatan 1,4-β-D
glukopiranosa. Bila diasumsikan satu molekul selulosa terdiri atas n unit glukosa
maka secara teoritis pada reaksi asetilasi sempurna, setiap 1 mol selulosa
membutuhkan 3n mol asetat anhidrida dan akan menghasilkan 1 mol selulosa
triasetat dan 3n mol asam asetat.
Selulosa triasetat hasil asetilasi sempurna memiliki rumus empirik
[C6H7O2(CH3CO)3]n. Bila diasumsikan bobot molekul selulosa mikrobial
(C6H7O2(OH)3)n adalah 162n gram/mol dan bobot molekul selulosa triasetat
adalah 240n gram/mol maka setiap 1 gram selulosa mikrobial (setara dengan
0,0062/n mol selulosa mikrobial) akan menghasilkan 0,0062/n mol selulosa
triasetat atau setara dengan 1,79 gram selulosa triasetat. Bila reaksi asetilasi
selulosa berlangsung sempurna dan tidak terjadi degradasi selulosa maka dari
setiap satu gram selulosa yang digunakan akan diperoleh selulosa triasetat
sebanyak 1,79 gram (Desiyarni, 2006).
Persamaan reaksi pembentukan selulosa triasetat tersebut adalah sebagai
berikut:
RSel-(OH)3
0,0062/n mol
162n g/mol
1,0044 gram

+ 3(CH3CO)2O
0,0186/n mol
102n g/mol
1,8972 gram



RSel-(OCOCH3)3
0,0062/n mol
240n g/mol
1,488 gram

+ 3CH3COOH
0,0186/n mol
60n g/mol
1,116 gram

Berdasarkan perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat
bereaksi dibutuhkan rasio selulosa:asetat anhidrida sebesar 1:2. Hasil penelitian
Safriani (2000) menunjukkan bahwa pada rasio tersebut rendemen selulosa asetat
rendah yaitu kurang dari 50% dengan kadar asetil di bawah 25% sedangkan pada
penelitian ini selulosa asetat yang dihasilkan diharapkan mempunyai kadar asetil
36,5-42,2% sehingga dapat dilarutkan dalam aseton pada pembuatan biofilm.
Oleh karena itu rasio dimulai dari 1:3.
Pertimbangan pemilihan variasi waktu asetilasi didasarkan pada penelitian
Sani (2012) dimana asetilasi dalam waktu 2 jam mampu menghasilkan kadar
asetil yang cukup tinggi yaitu 40,38%. Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan
waktu asetilasi untuk memperoleh kadar asetil di bawah angka tersebut sehingga
variasi waktu asetilasi adalah 1, 2 dan 3 jam.
Reaksi asetilasi dihentikan dengan penambahan asam asetat encer kemudian
mulai dihidrolisis pada suhu 50oC menggunakan perbandingan asam
asetat:aquades 2:1. Pada proses ini terjadi pemotongan rantai selulosa triasetat
menjadi selulosa diasetat. Persamaan reaksi hidrolisis adalah sebagai berikut:
RSel-(OCOCH3)3
1 mol
240 g/mol
240 gram

+ H2O
1 mol
18 g/mol
18 gram



RSel-(OCOCH3)2OH
1 mol
181 g/mol
181 gram

+ CH3COOH
1 mol
60 g/mol
60 gram

Hidrolisis dilakukan selama 30 menit. Setelah proses hidrolisis selesai,
suspensi kemudian disentrifugasi untuk memisahkan selulosa mikrobial yang
tidak larut. Pada penelitian ini endapan hanya terbentuk pada rasio asetat
anhidrida 1:3 dengan waktu asetilasi 1 jam. Endapan terbentuk karena selulosa

11
mikrobial belum larut seluruhnya. Pada rasio 1:4 dan 1:5 selulosa dapat larut
seluruhnya. Supernatan yang diperoleh kemudian dituang ke 500mL aquades
sehingga terbentuk serpihan selulosa asetat berwarna putih.
Selulosa asetat yang diperoleh dalam penelitian ini mempunyai rendemen
20,56-28,15%. Rendemen perolehan selulosa asetat disajikan pada Gambar 1
sebagai berikut:
30,00
25,00
Rendemen (%)

20,00

Waktu asetilasi 1
jam
Waktu asetilasi 2
jam
Waktu asetilasi 3
jam

15,00
10,00
5,00
0,00
1:3

1:4

1:5

Rasio asetat anhidrida
Gambar 1 Hubungan rasio asetat anhidrida dan waktu asetilasi terhadap rendemen
selulosa asetat

Kadar Air (%)

Berdasarkan grafik tersebut dapat ketahui bahwa rendemen turun seiring
bertambahnya rasio asetat anhidrida namun meningkat seiring bertambahnya
waktu asetilasi. Hasil analisis keragaman rendemen selulosa asetat (Lampiran 3)
menunjukkan bahwa baik rasio selulosa asetat maupun waktu asetilasi
berpengaruh terhadap rendemen. Asetat anhidrida yang ditambahkan tidak semua
dapat bereaksi dengan selulosa sehingga rasio produk dan bahan yang digunakan
semakin kecil. Peningkatan waktu asetilasi memberikan kesempatan selulosa
untuk bereaksi dengan asetat anhidrida sehingga rendemen meningkat.
Selulosa asetat yang dihasilkan dalam penelitian ini kemudian diuji kadar
air. Hasilnya adalah selulosa asetat memiliki kadar air antara 3,81-4,38%. Kadar
air selulosa asetat secara lengkap disajikan pada Gambar 2 berikut ini:
4,60
4,40
4,20
4,00
3,80
3,60
3,40

Waktu asetilasi 1
jam
Waktu asetilasi 2
jam
Waktu asetilasi 3
jam
1:3

1:4

1:5

Rasio asetat anhidrida
Gambar 2 Hubungan rasio asetat anhidrida dan waktu asetilasi terhadap kadar air
selulosa asetat

12

Kadar Asetil (%)

Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa kadar air cenderung
turun seiring bertambahnya rasio asetat anhidrida namun naik seiring
bertambahnya waktu asetilasi. Hasil uji keragaman terhadap kadar air selulosa
asetat (Lampiran 5) menunjukkan bahwa baik rasio asetat anhidrida maupun
waktu asetilasi tidak berpengaruh terhadap kadar air selulosa asetat. Hal ini
disebabkan kadar air selulosa asetat lebih dipengaruhi oleh waktu dan suhu
pengeringan.
Terhadap selulosa asetat yang dihasilkan juga diuji kadar asetilnya. Hasilnya
adalah selulosa asetat memiliki kadar asetil 30,60-44,51%. Kadar asetil selulosa
asetat ditampilkan pada Gambar 3 berikut ini:
50,00
45,00
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00

Waktu asetilasi 1 jam
Waktu asetilasi 2 jam
Waktu asetilasi 3 jam

1:3

1:4

1:5

Rasio Asetat Anhidrida
Gambar 3 Hubungan rasio asetat anhidrida dan waktu asetilasi terhadap kadar
asetil selulosa asetat
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa kadar asetil selulosa asetat
meningkat seiring bertambahnya rasio asetat anhidrida maupun waktu asetilasi.
Hasil uji keragaman kadar asetil (Lampiran 7) menunjukkan bahwa rasio asetat
anhidrida dan waktu asetilasi berpengaruh terhadap kadar asetil selulosa asetat.
Peningkatan jumlah asetat anhidrida maupun waktu asetilasi memberikan
kesempatan bagi selulosa untuk bereaksi membentuk selulosa asetat. Semakin
banyak selulosa yang terkonversi menjadi selulosa asetat semakin tinggi pula
kadar asetilnya.
Selulosa asetat yang ditargetkan dalam penelitian ini sesuai Tabel 2 yaitu
dengan kadar asetil 36,5-42,2%. Oleh karena itu perlakuan yang memenuhi syarat
yaitu pada rasio asetat anhidrida 1:4 dengan waktu asetilasi 1, 2, dan 3 jam serta
rasio asetat anhidrida 1:5 dengan waktu asetilasi 1 jam.

Biofilm dan Bioplastik
Selulosa asetat yang telah dihasilkan kemudian digunakan sebagai bahan
pembuat biofilm. Penelitian ini menggunakan metode cetak larut (solution
casting), maka selulosa asetat harus dilarutkan dengan pelarut yang sesuai. Jenis
pelarut untuk tujuan film yaitu aseton sehingga diperlukan selulosa asetat dengan

13
kadar 36,5-42,2%. Selulosa asetat yang digunakan berasal dari 4 perlakuan yaitu
dengan kadar asetil 36,7%, 37,72%, 38,7%, dan 40,19%.
Penambahan pemlastis perlu dilakukan karena film selulosa asetat yang
dihasilkan tanpa pemlastis sangat rapuh sehingga tidak dapat dikelupas dari
cetakan. Jenis pemlastis yang dipilih yaitu pemlastis dasar berupa gliserin. Jumlah
gliserin yang digunakan yaitu 15 dan 25 % dari bobot selulosa asetat yang
digunakan. Menurut Taskier dan Englewood (1970), jumlah pemlastis dalam
larutan sekitar 5-40% dan lebih disukai 9-25% berdasarkan bobot serpihan (flake)
diasetat yang digunakan dalam larutan. Namun penelitian Safriani (2000) yang
menggunakan jumlah pemlastis 9, 17, dan 25% menunjukkan bahwa pada
konsentrasi 9% tidak terbentuk film yang baik.
Film selulosa asetat yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna
kekuningan, transparan, dan memiliki ketebalan rata-rata 43µm. Ketebalan film
dapat diatur dengan mengubah kedalaman pencetak yang digunakan. Terhadap
biofilm yang dihasilkan kemudian dilakukan pengujian kuat tarik, elongasi, laju
transmisi uap (WVTR), dan daya serap air.

Karakteristik fisik biofilm
Rata-rata kuat tarik biofilm yang dihasilkan adalah 320,50 kgf/cm2. Kuat
tarik biofilm secara lengkap disajikan pada Gambar 4 berikut ini:
340,00
Kuat Tarik Kgf/Cm2

330,00
320,00
310,00
Jumlah Pemlastis 15 %

300,00
290,00

Jumlah Pemlastis 25 %

280,00
270,00
36,7

37,72

38,47

40,19

Kadar Asetil (%)
Gambar 4 Hubungan kadar asetil dan jumlah pemlastis terhadap kuat tarik biofilm
Berdasarkan grafik di atas kuat tarik biofilm meningkat seiring peningkatan
kadar asetil dan jumlah pemlastis. Hasil uji keragaman kuat tarik biofilm
(Lampiran 9) menunjukkan bahwa kadar asetil dan jumlah pemlastis berpengaruh
terhadap kuat tarik biofilm. Kadar asetil yang semakin tinggi mengakibatkan
jumlah polimer semakin banyak sehingga kerapatannya semakin tinggi dan
mengakibatkan kenaikan kekuatan tarik. Pemlastis berfungsi mengikat polimer
tersebut sehingga dihasilkan biofilm yang lebih elastis.
Elongasi biofilm yang dihasilkan mempunyai rata-rata 3,06%. Elongasi
biofilm secara lengkap disajikan pada Gambar 5 berikut ini:

Elongasi (%)

14
4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00

Jumlah Pemlastis 15 %
Jumlah Pemlastis 25 %

36,7

37,72

38,47

40,19

Kadar Asetil (%)
Gambar 5 Hubungan kadar asetil dan jumlah pemlastis terhadap elongasi biofilm

Laju Transmisi Uap (WVTR)
g/m2 /24 jam

Berdasarkan grafik di atas elongasi biofilm meningkat seiring peningkatan
kadar asetil dan jumlah pemlastis. Hasil uji keragaman elongasi biofilm
(Lampiran 11) menunjukkan bahwa kadar asetil dan jumlah pemlastis
berpengaruh terhadap elongasi biofilm.
Laju transmisi uap (WVTR) biofilm yang dihasilkan rata-rata 461,97
2
g/m /24 jam. Laju transmisi uap (WVTR) biofilm secara lengkap disajikan pada
Gambar 6 berikut ini:
468,00
466,00
464,00
462,00
460,00
458,00
456,00
454,00
452,00
450,00
448,00

Jumlah Pemlastis
15 %
Jumlah Pemlastis
25 %

36,7 37,72 38,47 40,19
Kadar Asetil (%)
Gambar 6 Hubungan kadar asetil dan jumlah pemlastis terhadap laju transmisi uap
(WVTR) biofilm
Berdasarkan grafik di atas laju transmisi uap (WVTR) biofilm meningkat
seiring peningkatan kadar asetil dan jumlah pemlastis. Hasil uji keragaman laju
transmisi uap (WVTR) biofilm (Lampiran 13) menunjukkan bahwa kadar asetil
dan jumlah pemlastis berpengaruh terhadap laju transmisi uap (WVTR). Polimer

15

Daya Serap Air (%)

selulosa asetat bersifat hidrofilik. Selain itu penambahan jumlah pemlastis dapat
meningkatkan permeabilitas.
Daya serap air biofilm yang dihasilkan rata-rata 10,52%. Daya serap air
biofilm secara lengkap disajikan pada Gambar 7 berikut ini:

10,65
10,60
10,55
10,50
10,45
10,40
10,35
10,30

Jumlah Pemlastis 15 %
Jumlah Pemlastis 25 %
36,7

37,72

38,47

40,19

Kadar Asetil (%)
Gambar 7 Hubungan kadar asetil dan jumlah pemlastis terhadap daya serap air
biofilm
Berdasarkan grafik di atas daya serap air biofilm meningkat seiring
peningkatan kadar asetil namun menurun seiring bertambahnya jumlah pemlastis.
Hasil uji keragaman daya serap air biofilm (Lampiran 15) menunjukkan bahwa
hanya jumlah pemlastis yang berpengaruh terhadap daya serap air. Peningkatan
jumlah pemlastis yang akan mengisi ruang diantara polimer menyebabkan
berkurangnya jumlah air yang dapat diserap.
Perbandingan penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya dirangkum
pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4 Perbandingan nilai karakteristik fisik selulosa asetat dari berbagai jenis
selulosa mikrobial
Jenis Selulosa

Nata de coco
(Darwis dkk
2003)
Nata de Soya
(Safriani
2000)
Nata de
Cassava
(hasil
penelitian)

Kuat
Elongasi
WVTR
tarik
(%)
(g/m2/24
(kgf/cm2)
jam)
440
3,10
-

Daya serap
air (%)

Aplikasi

205,85

Membran
filtrasi
Penyaring,
kemasan,
amplop
Substitusi
HDPE

192,61355,07

2,413,15

250,70582,34

10,08-19,88

296,10332,65

2,733,37

455,12465,82

10,42-10,52

Berdasarkan Tabel 4 di atas sebagian besar nilai karakteristik fisik biofilm
selulosa asetat hasil penelitian ini mendekati nilai karakteristik fisik selulosa
asetat dari jenis selulosa mikrobial lainnya. Kuat tarik dan daya serap air biofilm
selulosa asetat nata de cassava lebih rendah dibanding selulosa asetat nata de

16
coco. Hal tersebut disebabkan aplikasi selulosa asetat nata de coco adalah sebagai
membran sehingga harus dapat meneruskan larutan yang melaluinya.
Kuat tarik biofilm pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan kuat
tarik selulosa asetat menurut I. Harrison dkk (2004) yaitu 30 MPa atau setara
dengan 305,91 kgf/cm2, namun elongasi biofilm penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan elongasi selulosa asetat menurut I. Harrison dkk (2004)
yaitu 3,9%.
Sasaran aplikasi biofilm ini jika digunakan sebagai safety film tidak
memenuhi kriteria. Jika dibandingkan dengan karakteristik fisik Llumar Safety
and Security Film (CPFilms 2009) yaitu pada ketebalan 50 mikron, film
mempunyai kuat tarik 193 MPa setara dengan 19680,21 kgf/cm2 dan elongasi
>100%. Jika dibandingkan dengan nilai kuat tarik polyetilene film for packaging
JIS Z 1702-1986 (JIS 1986) yaitu 120 kg/cm2 maka film ini memenuhi syarat,
namun dilihat dari elongasi yaitu 150% maka biofilm ini tidak memenuhi syarat.
Oleh karena itu aplikasi biofilm ini masih harus dikombinasikan dengan bahan
pemlastis yang dapat meningkatkan kuat tarik dan elongasinya.
Biofilm ini dapat diaplikasikan sebagai pengganti HDPE. Nilai karakteristik
fisik biofilm ini memenuhi syarat berdasarkan Suyadi (2010) bahwa kuat tarik
HDPE adalah 21,73 N/mm2 atau setara dengan 221,58 kgf/cm2 dan elongasi 4,5%.
Aplikasi HDPE antara lain untuk jerigen minyak pelumas, botol susu dan kursi
lipat.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Limbah cair tapioka dapat dimanfaatkan untuk pembuatan selulosa
mikrobial nata de cassava dengan karakteristik liat, tebal, dan kuat. Selulosa
mikrobial yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan selulosa
asetat dengan pelarut asetat anhidrida. Selulosa asetat yang dihasilkan dalam
penelitian ini mempunyai kadar asetil antara 30,60-44,51%. Selulosa asetat yang
mempunyai kadar asetil 36,5-42,2% dapat digunakan untuk membuat biofilm
dengan pelarut aseton dan pemlastis gliserin. Biofilm yang terbentuk memiliki
rata-rata kekuatan tarik 320,50 kgf/cm2, elongasi 3,06%, WVTR 461,97 g/m2/24
jam, dan daya serap air 10,52%.

Saran
Perlu dilakukan perbandingan antara selulosa asetat yang berasal dari
berbagai jenis selulosa mikrobial seperti nata de coco, nata de pina dan nata de
soya untuk mengetahui hasil yang terbaik. Variasi jenis dan jumlah pemlastis
yang cocok digunakan pada selulosa asetat seperti glikol, fosfat, dan ftalat perlu
dilakukan untuk mengetahui pemlastis yang dapat meningkatkan kuat tarik dan
elongasinya sehingga cocok untuk tujuan bioplastis.

17

DAFTAR PUSTAKA
Alaban CA. 1962. Studies on The Optimum Condition for Nata de Coco
Bacterium or Nata for Formation in Coconut Water. The Philipine
Agriculturist volume 45.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1980. Official Method of
Analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemists Inc.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Method of
Analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemists Inc.
Apriyanto J. 2007. Karakteristik Biofilm dari Bahan Dasar Polivinil Alkohol
(PVOH) dan Kitosan [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Arifin B. 2004. Optimasi Kondisi Asetilasi Selulosa Bakteri dari Nata de Coco
[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[ASTM] American Society for Testing and Material. 1989. ASTM Book of
Standard D638: Standard Test Method for Tensile Properties of Plastic.
Philadelphia.
[ASTM] American Society for Testing and Material. 1991. ASTM Book of
Standard D871-91: Standard Methods of Testing Cellulose Acetate.
Philadelphia.
[ASTM] American Society for Testing and Material. 2010. ASTM Book of
Standard D570: Standard Test Method for Water Absorption of Plastics.
Philadelphia.
Buckmann AJP, T Nabuurs, GC Overbeek. 2002. Self Crosslinking Polymeric
Dispersants Used in Emulsion Polymerization. Netherland.
Collado LS. 1987. Nata; Processing and Problems of the Industry in the
Philipines traditional Food and their Processing in Asia. Japan: Nodai
Research Institute Tokyo University of Agriculture.
CPFilms. 2009. Llumar Safety and Security Film Physycal Properties. St Louis,
Missouri, USA: Solutia Inc.
Dadi AP, Varanasi S, Schall CA. 2006. Enhancement of Cellulose
Saccharification Kinetics Using an Ionic Liquid Pretreatment Step. Wiley
Periodicals. Inc. Wiley Interscience. 95(5):904-910.
Darwis A, Syamsu K, Suryani A, Yarni D. 2003. Proses Pembuatan Selulosa
Triasetat dari Selulosa Mikrobial untuk Pembuatan Membran Mikrofiltrasi.
Paten Indonesia No: ID 0 000 619 S.
Desiyarni. 2006. Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa
Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Fauzi AM, Rahmawakhida A, Hidetoshi Y. 2010. Kajian Strategi Produksi Bersih
di Industri Kecil Tapioka: Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara.
Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 18(2):60-65.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin:
Walter de Gruyter.
Goering, H.K. and P.J. Van Soest. 1970. Forage fiber analyses (apparatus,
reagents, procedures, and some applications). ARS/USDA Handbook No. 379,
Superintendent of Documents, Washington, DC: US Government Printing
Office.

18
Gontrad N, S Gulibert, dan JL Cuq. 1993. Water and glycerol as plasticizers
affect mechanical and water vapor barrier properties of an ediblewheat film. J.
Food Science. 58: 206-211.
I. Harrison, Huttenhuis PJG, Heesink ABM. 2004. BIOCA-Biomass Streams to
Produce Cellulose Acetate. Department of Chemical Engineering, Twente
University, Enschede. The Netherlands.
[ISO] International Organization for Standardization. ISO 2528-1974(E): Water
Vapour Transmision Rate (WVTR) Plate Method. Geneva, Switzerland.
Jenie B, Ridawati, Rahayu WP. 1994. Produksi Angkak oleh Monascus purpureus
dalam Medium Limbah Cair Tapioka, Ampas Tapioka dan Ampas Tahu.
Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 5(3):60-64.
[JIS] Japanese Industrial Standard. 1986. JIS Z 1702-1986: Polyetylene Film for
Packaging. Tokyo.
Meyer LH. 1960 Food Chemistry. NewYork: Reinhold Publishing Co.
Moat AG. 1988. Microbial Physiology. New York: John Wiley and Sons Inc.
NewYork.
Nurhasan dan Bb. Pramudyanto. 1996. Buku Panduan Penanganan Limbah Cair
Industri Kecil Tapioka. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Rosnelly CM, Darwis A, Noor E, Kaseno. 2009. Pembuatan Selulosa Diasetat
dari Pulp Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai Bahan Baku Pembuatan
Membran. Jurnal Agritek. 10(1):61-70
Safriani. 2000. Produksi Biopolimer dari Selulosa Asetat Nata de Soya [tesis].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sani CDS. 2012. Potensi Nata de cassava dari Limbah Cair Tapioka sebagai
Membran Selulosa Asetat [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Stainer, Doudoroff, Adelberg. 1963. The Microbial World. Prentice Hall, Inc.
Suyadi. 2010. Kaji Esksperimen Kekuatan Tarik Produk-Produk Berbahan Plastik
Daur Ulang. Di dalam: P