Analisis Gerakan Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah
ANALISIS GERAKAN SOSIAL DI KECAMATAN SUKOLILO,
KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH
CITRA DEWI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Gerakan
Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Citra Dewi
NIM I34100045
iv
ABSTRAK
CITRA DEWI. Analisis Gerakan Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO
Gerakan sosial untuk mempertahankan atau memperjuangkan kondisi
lingkungan hidup yang baik tidak jarang berujung pada kekalahan atau menjadi
kasus yang berlarut-larut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan
gerakan penolakan pendirian pabrik semen oleh warga Sukolilo ditinjau dari
faktor penyebab, modal sosial, dan tahapan dalam dinamika gerakan. Analisis
didasarkan pada kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan adalah
ancaman hilangnya lahan, ancaman hilangnya sumber air, rusaknya ekologi
pegunungan karst, kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan hukum, dan
kekhawatiran dampak sosial yang timbul. Modal sosial yang kuat berupa jaringan
yang luas, kepercayaan, dan norma yang kuat berperan penting dalam
keberhasilan gerakan. Proses dalam tahapan dinamika gerakan yang ditempuh
warga diawali dengan membangun kepercayaan dan jaringan, pembangkitan
kesadaran, perluasan jaringan, lobi, advokasi, dan demo, perjuangan di aras
pengadilan, hingga berakhir dengan kemenangan juridis di tingkat Mahkamah
Agung pada tahun 2013.
Kata kunci: gerakan sosial, modal sosial, tahapan gerakan sosial
ABSTRACT
CITRA DEWI. Analysis of the Social Movement in Sukolilo, Pati, Jawa
Tengah. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO
Social movement for protecting the environment rarely end up with win
situation for the community. This study analyzes the achievement of Sukolilo
community against the establishment of a cement plant from the point of view of
its causal factors, social capital, and stages of the movement. The research carried
out by combining the qualitative and quantitative approach of study. The results
showed that factors that lead to the emergence of the movement are loss of
agricultural land, water resource degradation, ecological destruction of karst
mountain, government policies that are not compatible with law, and further its
downstream social impact to the community. Strong social capital with its
extensive networks, trust and norms are key success of the movement. The
movement started from building trust and networks, generating awareness among
local community, network expansion, lobbying, advocacy, demonstration,
struggle at local state court, until to the Supreme Court that decided local
community as the winner (2013).
Keywords: social movements, social capital, stages of social movements
vi
ANALISIS GERAKAN SOSIAL DI KECAMATAN SUKOLILO,
KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH
CITRA DEWI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
viii
Judul Skripsi : Analisis Gerakan Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati,
Jawa Tengah
Nama
: Citra Dewi
NIM
: I34100045
Disetujui oleh
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Gerakan Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah“ berhasil diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan
syarat kelulusan sebagai Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
ini dilakukan bertujuan untuk menganalisis gerakan sosial yang terjadi di
Kecamatan Sukolilo sampai dengan keberhasilannya. Peneliti secara khusus ingin
berterima kasih kepada Mama Sri Nooryati, Bapak Agus Purnomo, Mbak
Arikadia Noviani atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang tiada hentinya
mengalir untuk kelancaran penulisan skripsi ini. Skripsi ini juga tidak mungkin
terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1) Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan pengertian selama proses
penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.
2) Siti Chaakimah, Wulandari, dan Mugi Lestari selaku sahabat penulis yang
senantiasa memberikan doa dan semangat.
3) Keluarga besar Griya Insan Cendekia, sebagai rumah kedua, terutama Karina
Mako, Annisyia Zarina, Fika Rahimah, Fikra Sufi, dan Venny Maulina, yang
selalu memberikan keceriaan dan dukungan.
4) Indah Tri Utami, Estya Permana, Sahda Handayani, dan Natrisya Sekararum
selaku teman satu bimbingan untuk bantuan dan semangatnya.
5) Keluarga besar SKPM angkatan 47 yang telah memberikan semangat, doa,
bantuan, dan dukungan, serta berkenan menjadi rekan yang baik selama ini.
6) Mas Gunretno dan Mbak Gunarti sekeluarga yang telah membantu dan
menerima saya dengan baik, serta Mbak Sih, Dik Probo, Mas Boti, dan Mas
Sigit yang sudah menemani melakukan pengambilan data dan dan melakukan
observasi.
7) Masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat Kecamatan Sukolilo atas ilmu yang
diberikan serta kerjasama yang baik selama pengumpulan data serta keluarga
besar di Kudus atas dukungan dan bantuannya.
8) Pihak-pihak lain sebagai teman diskusi, pemberi semangat dan bantuan yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa karya ini terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Mei 2015
Citra Dewi
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Gerakan Sosial
Tahapan dalam Gerakan Sosial
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Sosial
Definisi Gerakan Lingkungan
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Lingkungan
Bentuk-Bentuk Gerakan Lingkungan
Konsep Modal Sosial
Modal Sosial dalam Gerakan Sosial
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Konseptual
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengambilan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
RENCANA PEMBANGUNAN PABRIK SEMEN DAN KONDISI
SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Rencana Pembangunan Pabrik Semen
Lokasi dan Kegiatan Penambangan dan Pengolahan Semen
Penambangan, Pabrik Pengolahan, dan Jalan Produksi
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi Demografi
Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan
Penggunaan Lahan (Sawah dan Non Sawah)
Status Penguasaan Lahan Responden
Produksi Pertanian Responden
Ikhtisar
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA GERAKAN
PENOLAKAN PENDIRIAN PABRIK SEMEN
Ancaman Hilangnya Lahan Pertanian maupun Non Pertanian
Ancaman Hilangnya Sumber Air
Rusaknya Ekologi Pegunungan Karst
Kebijakan Pemerintah yang Dianggap Tidak Sesuai dengan Hukum
xv
xv
xvi
1
1
3
4
4
5
5
5
6
8
9
9
10
11
11
12
13
13
17
17
17
17
18
19
21
21
21
22
24
24
25
28
31
32
34
37
37
38
41
42
xiv
Kekhawatiran akan Dampak Sosial yang Ditimbulkan
Ikhtisar
DINAMIKA GERAKAN PENOLAKAN DAN MODAL SOSIAL
PENDIRIAN PABRIK SEMEN OLEH WARGA SUKOLILO
Emergence (Tahap Munculnya Gerakan)
Coalescene (Penggabungan)
Bureucratization
Perluasan Jaringan
Lobi, Advokasi, dan Demo
Perjuangan di Aras Pengadilan
Decline (Berakhirnya Gerakan)
Ikhtisar
SIMPULAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
43
44
47
47
49
51
52
54
58
64
68
69
69
70
71
77
DAFTAR TABEL
Tabel
1
Tabel
2
Tabel
3
Tabel
4
Tabel
5
Tabel
6
Tabel
7
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
8
9
10
11
Tabel
12
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
13
14
15
16
Rencana lokasi dan kegiatan penambangan &
pengolahan semen
Lokasi, peruntukan, dan luas lahan rencana
penambangan bahan baku, pabrik dan utilitas, dan jalan
produksi PT Semen Gresik
Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk di tujuh desa yang terkena dampak langsung
tahun 2007
Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Tujuh Desa
Penelitian Tahun 2007
Pendidikan Penduduk di Tujuh Desa yang Terkena
Dampak Langsung Tahun 2007
Luas lahan sawah berdasarkan jenis pengairan di tujuh
desa penelitian yang terkena dampak langsung
Luas lahan non sawah di tujuh desa penelitian yang
terkena dampak langsung
Distribusi luas lahan pertanian responden
Penguasaan lahan responden
Jumlah persil responden
Komoditas pertanian pada musim hujan dan kemarau
responden
Produksi gabah responden pada musim hujan
(ton/ha/musim hujan)
Produksi pertanian responden pada musim kemarau
Ketergantungan responden terhadap sumber air
Skema Alur Hukum di Pengadilan
Fase-fase gerakan penolakan pabrik semen oleh
warga Sukolilo
21
23
25
26
27
29
30
31
31
32
32
33
33
40
61
66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 10
Gambar 11
Kerangka Pemikiran
Rencana lokasi penambangan bahan baku, pabrik
pengolahan, dan jalan produksi
Peta Kecamatan Sukolilo dalam Kabupaten Pati
Aliran Sungai Seluna dari Waduk Kedung Ombo
Pegunungan Kendeng
Sawah di Desa Gadudero
Aliran utama dari Sungai Juana
Aliran Sungai Juana
Aliran air yang berasal dari Gua Pawon yang merupakan
gua bawah tanah
Irigasi yang berasal dari Waduk Kedung Ombo atau
biasa disebut dengan jratun
Omah Kendeng, tempat serba guna yang biasanya
13
22
24
39
79
79
79
79
79
79
80
xvi
Gambar 12
Gambar 13
Gambar 14
Gambar 15
Gambar 16
digunakan untuk kegiatan yang berkaitan dengan
gerakan penolakan pendirian pabrik
Kendi-kendi berisi air yang berasal dari seluruh mata
air di Pegunungan Kendeng
Pertemuan antara warga Sukolilo dengan pengacara
Penjelasan mengenai gerakan warga Sukolilo yang
dijelaskan Gunarti dalam Seminar di STAIN Kudus
Proses pendirian rumah diskusi di Hutan Sonokeling
Proses pembuatan jamu yang keuntungannya digunakan
untuk gerakan penolakan pendiriain pabrik
80
80
80
80
80
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Dokumentasi Penelitian
Kuesioner dan Daftar Pertanyaan
Daftar nama responden
79
81
85
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses integrasi ekonomi di seluruh dunia, yang disebut dengan globalisasi,
terus mengganggu keamanan sosial dan ekonomi miliaran orang (Devall,
Drengson, Schroll, 2001). Berbagai cara dilakukan Indonesia demi mengejar
ketertinggalan di era globalisasi khususnya dengan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, salah satunya dengan melakukan kegiatan penambangan. Praktek
pertambangan pada era Orde Baru didukung oleh pemerintah dengan
dikeluarkannya Undang-undang Pokok Pertambangan No.11 Tahun 1967 Pasal 7.
Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa bahan galian dapat diusahakan oleh pihak
swasta. Dengan adanya UU tersebut, hak dan kepentingan rakyat kecil menjadi
semakin tergeser karena segala bentuk pembangunan yang dilakukan hanya untuk
mengejar keuntungan pemodal besar (Ariendi GT dan Kinseng RA, 2011).
Semenjak dikeluarkannya UU ini, persoalan akses sumberdaya oleh masyarakat
semakin krusial. Hal ini diperparah dengan tidak adanya legalitas hak kepemilikan
sehingga negara dapat dengan mudah bila sewaktu-waktu merelokasi atau bahkan
menggusur masyarakat dari tempat mereka. Menurut Maulida (2012), dalam
kenyataannya penggunaan tanah-tanah tersebut jauh dari upaya untuk
menyejahterakan masyarakat dan lebih digunakan untuk ekspansi industri-industri
dan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi praktis, jauh dari kesan
pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Praktek pertambangan tidak hanya menggeser kepentingan rakyat kecil
secara ekonomi saja, namun praktek ini juga memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halim Y et al. (2001) di
Kecamatan Panceng dan Paciran, dampak negatif terhadap lingkungan akibat
penambangan meliputi beberapa hal. Dampak negatif tersebut adalah perubahan
relief, ketidakstabilan lereng, kerusakan tanah, terjadinya perubahan tata air
permukaan dan air bawah tanah, hilangnya vegetasi penutup, dan perubahan flora
dan fauna. Selain itu, dampak negatif lain yang ditimbulkan dari kegiatan
penambangan berupa meningkatkanya kadar debu dan kebisingan, terjadinya
kerusakan jalan, serta terjadinya kecelakaan penambang dan kecelakaan lalu lintas.
Dampak negatif dari aktifitas pertambangan baik dari segi ekonomi maupun
lingkungan mengancam keberlangsungan kehidupan warga sehingga
menimbulkan keresahan warga. Keresahan yang dirasakan oleh warga inilah yang
menjadi awal mereka melakukan perlawanan dan salah satunya dengan
membentuk gerakan sosial. Sebuah gerakan sosial muncul sebagai akibat dari
akumulasi kekecewaan dan ketertindasan. Menurut penelitian Hafid (2001) di
kasus Jenggawah, pada tahun 1977 petani mulai membentuk beberapa kelompok
petani untuk memobilisasi perjuangan. Kelompok ini mengkoordinasi perjuangan
menentang kebijakan dan tindakan PTP yang berkonspirasi dengan militer dan
birokrat. Masalah penyebab gerakan ini bukan hanya terjadi di Jenggawah saja,
banyak tempat lain di Indonesia yang juga mengalami nasib yang sama.
Seluruh gerakan, baik yang dilakukan oleh petani maupun warga merupakan
bagian dari gerakan sosial. Gerakan sosial menurut Giddens [tidak ada tahun]
dikutip oleh dalam Martono (2012) merupakan suatu upaya kolektif untuk
2
mengejar suatu kepentingan bersama, atau gerakan yang bertujuan untuk
mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup-lingkup
lembaga yang sudah ada. Sedangkan menurut Turner dan Killan [tidak ada tahun]
dikutip oleh Martono (2012) secara formal gerakan sosial didefinisikan sebagai
suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu
untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau
kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Sztompka (2004) berpendapat
bahwa gerakan sosial harus memiliki empat kriteria yaitu adanya kolektivitas,
memiliki tujuan bersama, kolektivitasnya tersebar, dan tindakannya memiliki
derajat spontanitas yang tinggi.
Dalam sebuah gerakan sosial, dinamika gerakan yang terjadi berbeda-beda
dalam setiap kasus. Dalam dinamika gerakan sosial, pada akhirnya sebuah
gerakan dapat mencapai sebuah kesuksesan, stagnansi, bahkan kegagalan.
Dinamika yang terjadi dalam gerakan sosial disebabkan karena berbagai faktor
dan modal sosial dapat dijadikan pertimbangan keberhasilan suatu gerakan.
Robert Putnam (1995) dikutip oleh Alfiasari et al (2009) mengemukakan bahwa
modal sosial adalah suatu institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks),
norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust), yang mendorong
pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan
bersama. Pierre Bourdie (1970) dikutip oleh Alfiasari et al (2009) mendefiniskan
modal sosial sebagai jaringan sosial terlembagakan serta berlangsung terus
menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik.
Coleman (1988) memandang modal sosial sebagai kepercayaan, norma
perilaku, jaringan sosial, dan kombinasi dari ketiganya. Modal sosial sendiri
melekat pada struktur hubungan antara aktor, aspek-aspek struktur sosial kepada
pelaku dilihat sebagai sumber daya yang dapat mereka gunakan untuk mencapai
kepentingan mereka. Dalam penelitiannya, Coleman (1988) mengaitkan modal
sosial dengan suatu organisasi. Berdasarkan pernyataannya, dapat dilihat bahwa
modal sosial berfungsi untuk menyelidiki sumber daya dalam sebuah aksi kolektif,
untuk mengetahui elemen apa saja yang paling dibutuhkan untuk mencapai tujuan
gerakan, dan untuk menguji bagaimana sebuah gerakan dapat muncul.
Dalam satu kasus gerakan lingkungan di Indonesia, warga yang tinggal dan
menggantungkan hidupnya pada Pegunungan Kendeng khususnya warga yang
bermukim di Kecamatan Sukolilo telah melakukan gerakan lingkungan sejak
tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2013. Dalam menjalankan kehidupannya,
baik untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun bertani, warga mengandalkan
mata air yang terdapat pada Pegunungan Kendeng. Tidak hanya sumber air saja
yang dimanfaatkan warga, namun lahan kapur di Pegunungan Kendeng untuk
ditanami tanaman ladang yang hasilnya dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Pada tahun 2006, PT Semen Gresik bermaksud mendirikan pabrik di
beberapa desa yang termasuk ke dalam Kecamatan Sukolilo, namun warga yang
bermukim di Kecamatan Sukolilo menolak rencana pendirian pabrik. Pada tahun
2009, perusahaan tersebut gagal untuk melakukan peletakkan batu pertama dan
melakukan kegiatan penambangan di kawasan pegunungan tersebut. Di tahun
2010, Mahkamah Agung (MA) secara resmi menetapkan Semen Gresik tidak
layak untuk mendirikan pabrik berikut melakukan kegiatan penambangan.
Gugatan pun dimenangkan oleh warga yang kontra terhadap rencana pendirian
pabrik dan kegiatan penambangan. Pada bulan Januari tahun 2013, kemenangan
3
secara resmi dimenangkan oleh warga setelah MA menolak Peninjauan Kembali
(PK) yang diajukan oleh Semen Gresik.
Keberhasilan gerakan penolakan oleh warga Sukolilo untuk menggagalkan
rencana pendirian pabrik dan melakukan kegiatan penambangan Semen Gresik
merupakan hal yang jarang terjadi Indonesia. Kebanyakan kasus yang terjadi
antara warga dengan pihak swasta maupun pemerintah berujung kekalahan
maupun menjadi kasus yang berlarut-larut. Oleh karena itu penelitian ini ingin
menganalisis keberhasilan gerakan penolakan yang dilakukan oleh warga Sukolilo
dilihat dari faktor-faktor yang menyebabkan gerakan penolakan pendirian pabrik
Semen Gresik, modal sosial yang terdapat di dalam warga Sukolilo yang digalang
untuk membangun gerakan penolakan, dan juga proses-proses yang ditempuh oleh
warga Sukolilo dalam menggalang gerakan penolakan pendirian pabrik.
Masalah Penelitian
Pada awal tahun 2013 MA menolak Peninjauan Kembali (PK) yang
diajukan oleh PT Semen Gresik. Keputusan tersebut menandai keberhasilan
gerakan penolakan pendirian pabrik semen. Konflik diawali ketika PT Semen
Gresik bermaksud untuk mendirikan pabrik di kawasan Pegunungan Kendeng,
yaitu di beberapa desa di Kecamatan Sukolilo. Warga yang bermukim di Sukolilo
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sangat bergantung pada mata air dan segala
keragaman hayati yang terdapat pada Pegunungan Kendeng. Dikhawatirkan
dengan adanya kegiatan penambangan sebagai bahan baku operasi pabrik,
mengganggu kuantitas dan kualitas sumber daya Pegunungan Kendeng yang
digunakan oleh warga. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab warga
melakukan gerakan penolakan pendirian pabrik semen karena diperkirakan akan
mengancam keberlangsungan hidup mereka. Karena hal-hal tersebut maka
diajukan pertanyaan penelitian, apa saja faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya gerakan penolakan pabrik semen yang dilakukan oleh warga
Sukolilo?
Modal sosial yang dimiliki dan tumbuh oleh warga yang bermukim di
sekitar kawasan Sukolilo berfungsi sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan
untuk mencapai tujuan dari gerakan yang dilakukan. Kepercayaan di antara
warga maupun dengan pihak lain, jaringan yang mereka miliki, dan norma-norma
yang mereka pegang dan jalani berpengaruh dalam setiap tahap dalam dinamika
gerakan penolakan pabrik semen PT Semen Gresik. Mengingat hal tersebut, maka
pertanyaan penelitian selanjutnya adalah, sejauh mana modal sosial yang
terdapat di kalangan warga Sukolilo digalang untuk membangun gerakan
penolakan pendirian pabrik semen?
Keberhasilan warga Pegunungan Kendeng yang ditandai dengan ditolaknya
PK yang diajukan oleh PT Semen Gresik pada tahun 2013 bukanlah suatu hal
yang dapat dicapai secara tiba-tiba. Gerakan penolakan pendirian pabrik semen
PT Semen Gresik ini mempunyai proses tersendiri dalam setiap tahap
dinamikanya, mulai dari tahap kemunculan, pembentukan, formalisasi, hingga
berakhirnya gerakan yang ditandai dengan keberhasilan gerakan. Terbukti pada
kasus masuknya pabrik semen pada tahun 2006, warga sekitar Pegunungan
Kendeng melakukan berbagai bentuk gerakan. Hingga pada tahun 2013, mereka
secara resmi berhasil menggagalkan perusahaan semen PT Semen Gresik untuk
mendirikan pabrik dan melakukan kegiatan eksploitasi. Terkait dengan hal
4
tersebut, maka pertanyaan ketiga dari penelitian ini adalah, apa proses-proses
yang ditempuh oleh warga Sukolilo dalam menggalang gerakan penolakan
pabrik semen?
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pabrik semen adalah semua kegiatan
yang termasuk di dalamnya dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Kegiatan tersebut adalah kegiatan penambangan batu kapur dan tanah liat,
pendirian pabrik pengolahan, dan transportasi bahan baku dari quarry site (daerah
penambangan) ke pabrik pengolahan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah
dipaparkan yaitu menganalisa gerakan sosial warga Pegunungan Kendeng.
Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya gerakan penolakan
pabrik semen yang dilakukan oleh warga Sukolilo.
2. Menganalisis sejauh mana modal sosial yang terdapat dan tumbuh di kalangan
warga Sukolilo digalang untuk membangun gerakan penolakan pendirian
pabrik semen.
3. Menganalisis proses-proses yang ditempuh dalam setiap tahap dinamika
gerakan oleh warga Sukolilo dalam menggalang gerakan penolakan pabrik
semen.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak, diantara lain:
1. Akademisi
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi mengenai
modal sosial dalam dinamika gerakan penolakan pendirian pabrik dan
kegiatan operasional PT Semen Gresik yang dilakukan oleh warga Sukolilo.
Selain itu diharapkan pula hasil dari penelitian ini dapat menambah khasanah
dalam kajian ilmu gerakan sosial dalam bentuk gerakan lingkungan.
2. Pemangku Kebijakan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan
bagi pemangku kebijakan dalam menyusun dan mengambil kebijakan
mengenai peraturan pemanfaatan sumber daya alam khususnya tentang
pertambangan.
3. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
masyarakat mengenai modal sosial dalam dinamika gerakan penolakan
pendirian pabrik PT Semen Gresik yang dilakukan oleh warga Sukolilo.
Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan warga Sukolilo
maupun warga Pegungan Kendeng pada umumnya sebagai bukti tambahan
dalam memperjuangkan hak-hak atas pengelolaan Pegunungan Kendeng.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Gerakan Sosial
Demo, pemboikotan, sabotase, dan hal-hal yang mengarah pada tindakan
anarki sering dikaitkan dengan gerakan sosial. Namun, tidak seluruh gerakan
sosial berujung destruktif seperti yang biasa dicap oleh warga. Menurut Martono
(2012), secara umum gerakan sosial dimaknai sebagai sebuah gerakan yang lahir
dari sekelompok individu untuk memperjuangkan kepentingan, aspirasi atau
menuntut adanya perubahan yang ditujukan oleh sekelompok tertentu, misalnya
pemerintah atau negara. Gerakan sosial merupakan bentuk dari kolektifitas orangorang di dalamnya untuk membawa atau menentang perubahan. Stzompka (2004)
memberikan batasan definisi gerakan sosial. Menurutnya, gerakan sosial harus
memiliki empat kriteria, pertama, adanya kolektivitas; kedua, memiliki tujuan
bersama, yaitu mewujudkan perubahan tertentu; ketiga, kolektivitasnya relatif
tersebar namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi formal; keempat,
tindakannya memiliki derajat spontanitas tinggi namun tidak terlembaga dan
bentuknya tidak konvensional.
Dalam salah satu penelitiannya, Paige (1975) mengemukakan bahwa
gerakan sosial terdiri atas aksi-aksi kolektif yang berada di luar kerangka
institusional normal suatu masyarakat dan melibatkan para peserta yang memiliki
beberapa kesamaan perasaan identitas. Suatu peristiwa dianggap kolektif jika
sumber menyebutkan lebih dari 10 peserta atau jika terdapat bukti tak langsung
mengenai peserta kelompok melalui penggunaan kata-kata yang mengandung arti
atau tindakan kolektif seperti rapat umum, kerusuhan, pemogokan, revolusi,
pemberontakan, atau kata-kata yang berkenaan dengan kolektifitas, seperti
gerombolan gerilya, serikat kerja, liga, partai, atau golongan. Paige juga
menambahkan bahwa hanya peristiwa-peristiwa kolektif non-institusional yang
pesertanya memiliki kesamaan identitas yang dianggap sebagai elemen pokok
suatu gerakan sosial.
Klandermans (2004) menjelaskan bahwa gerakan sosial adalah aksi kolektif
yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan yang sama dan solidaritas
yang berinteraksi secara berkelanjutan dengan elit dan pemegang kekuasaan.
Gerakan sosial merupakan penolakan kolektif. Mereka berfokus pada aksi
langsung yang menentang elit, pemegang kekuasaan, kelompok lain, atau budaya
lain. Gerakan sosial juga berfokus pada orang-orang yang mempunyai tujuan yang
sama dan solidaritas. Mereka menginginkan pemegang kekuasaan untuk
melakukan sesuatu, untuk merubah atau mengembalikan perubahan. Menurutnya,
kemunculan gerakan sosial disebabkan karena tiga hal. Pertama karena orangorang mengeluh, kedua karena orang-orang mempunyai sumberdaya untuk
dimobilisasikan, dan karena adanya kesempatan politik.
Pada penjelasan lain, karakteristik dari gerakan sosial adalah tergabung
dalam hubungan konflik dimana lawannya dapat diidentifikasi dengan jelas;
terhubung oleh ikatan informal; mempunyai identitas kolektif (De la Porta &
Diani, 2006 dikutip oleh Christiansen 2009). Gerakan sosial dapat diterjemahkan
sebagai organisasi maupun kelompok informal yang terhubung dengan konflik
6
ekstra institutional yang berorientasi pada tujuan. Tujuan ini dapat ditujukan pada
kebijakan yang spesifik atau samar serta untuk merubah perubahan budaya.
Tahapan dalam Gerakan Sosial
Suatu gerakan sosial memiliki dinamikanya masing-masing yang
berlangsung dari awal terbentuknya sebuah gerakan hingga gerakan itu akhirnya
menghilang. Oleh para sosiolog, tahapan dalam gerakan sosial disebut dengan life
cycle of social movement. Christiansen (2009) dalam tulisannya yang berjudul
„Empat Tahap dalam Gerakan Sosial‟ menjelaskan tahap-tahap yang terjadi dalam
gerakan sosial yang dikembangkan berdasarkan teori para sosiolog terdahulu,
mulai dari awal terbentuknya hingga terjadinya berakhirnya gerakan. Teori yang
digunakan oleh Christiansen (2009) merujuk pada teori yang dicetuskan oleh
Herbert Blumer (1951) dikutip oleh De la Porta dan Diani (2006). Dalam teori
yang dikeluarkan Blumer dikatakan bahwa di dalam suatu gerakan sosial akan
terjadi empat tahap, yaitu social ferment (gejolak sosial), popular excitement
(ketidakpuasan dan aksi yang lebih jelas), formalization (formalisasi), dan
institutionalization (institusionalisasi). Teori yang dicetuskan oleh Blumer
tersebut kemudian dikembangkan oleh Armand Mauss (1975). Dalam teorinya,
dikatakan bahwa dalam suatu gerakan sosial terdapat lima tahap didalamnya.
Tahapan dalam teori yang dikemukakan oleh Mauss yaitu incipiency (awal mula),
coalescene (penggabungan), institutionalization (institusionalisasi), fragmentation
(perpecahan), dan demise (kematian).
Dalam teori yang dikemukakan oleh Blumer (1951) yang dikutip oleh De
la Porta dan Diani (2006), dikatakan bahwa pada tahap social ferment (gejolak
sosial) dicirikan dengan adanya kegiatan yang tidak terorganisir dan tidak terfokus.
Di tahap kedua yaitu popular excitement, penyebab ketidakpuasan dan tujuan aksi
sudah terlihat lebih jelas. Pada tahap ketiga yaitu formalization (formalisasi),
dibentuk organisasi formal yang diperuntukan untuk mencapai tujuan gerakan
dengan mendisiplinkan partisipasi dan koordinasi strategi. Di tahap terakhir yaitu
tahap institutionalization (institusionalisasi), gerakan menjadi bagian dari
masyarakat dan mengkristal ke dalam struktur profesional.
Teori Blumer yang telah dijelaskan di atas kemudian dikembangkan oleh
Armand Mauss (1975) menjadi lima tahap. Tahap pertama dalam teori Mauss
adalah incipiency (awal mula). Dalam tahap ini ini Mauss (1975) mengutip
kalimat dari Blumer (1951) dalam tahap social ferment, yaitu dalam tahap ini
dicirikan dengan kegiatan yang tidak terkoordinasi dan tidak terorganisir, dengan
tidak adanya kepemimpinan atau keanggotan yang diakui, serta sedikitnya kontrol.
Tahap kedua dalam teori ini adalah coalescene (penggabungan) di mana dalam
tahap ini perkembangan gerakan ditandai dengan tindakan represif dan provokatif
kepada pemerintah atau lembaga-lembaga lain oleh masyarakat. Hal tersebut
terjadi sebagai akibat dari kekecewaan dari kegagalan yang dirasakan oleh
masyarakat terhadap kinerja dari pemerintah. Tahap ketiga adalah
institutionalization (institusionalisasi). Dalam tahap institusionalisasi gerakan
sudah terorganisir dan terkoordinasi secara luas serta sumber daya yang dimiliki
oleh masyarakat mulai digunakan. Di tahap ini proses politik seperti melobi dan
berkampanye juga telah dilakukan. Media massa mulai menganggapi dengan
serius, politisi mulai bersaing untuk mendukung, dan juga terdapat juru bicara
yang berfungsi pada saat diadakan pertmuan-pertemuan.
7
Tahap keempat dalam teori Mauss (1975) yaitu fragmentation
(perpecahan) terdapat beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya perpecahan.
Hal pertama yang menyebabkan perpecahan dalam gerakan sosial adalah adanya
perasaan bahwa hal-hal yang mereka perjuangkan telah berkembang ke arah yang
baik dan ancaman terhadap kebutuhan mereka sudah mulai mereda. Situasi ini
akan menyebabkan mereka beralih ke penyebab ketidaknyamanan yang lain atau
memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali. Mereka akan terpecah menjadi
bagian yang fanatik (yang tetap bertahan pada gerakan sebelumnya) atau keluar
dari gerakan. Penyebab kedua adalah mereka yang tetap berada dalam gerakan
memerangi sesama anggota mengenai strategi dan taktik. Terdapat kelompok
yang memutuskan untuk tetap menjaga keaslian perjuangan hingga keberhasilan
tercapai dan terdapat kelompok yang memilih untuk memodifikasi program.
Tahap terkahir atau tahap kelima dari teori yang dikemukakan oleh Mauss (1975)
demise (kematian). Dalam suatu gerakan, kematian jarang diakui sebagai
kematian. Sebaliknya, tahap ini mungkin didefinisikan sebagai keberhasilan dari
gerakan, karena mungkin sebagian besar tujuannya telah dicapai atau mungkin
sebaliknya, kematian dari suatu gerakan didefinisikan sebagai kemunduran.
Seiring dengan dinamika pengetahuan, para akademisi menamai ulang
tahap-tahap yang telah dicetuskan oleh sosiolog terdahulu yang membahas tentang
tahapan gerakan sosial. Berdasarkan tulisan Christiansen (2009), tahapan tersebut
terdiri dari emerge (kemunculan), coalescene (bergabung), bureaucratization
(formalisasi), dan decline (berakhirnya gerakan). Menurutnya, model empat tahap
ini memiliki kegunaan yang penting dalam memahami aksi kolektif dan
menyediakan bingkai analisis untuk para sosiolog dalam memahami gerakan
sosial mulai dari terbentuk, berkembang, dan menghilangnya suatu gerakan.
Selain itu, model empat tahap ini juga dapat digunakan untuk mengetahui dampak
pada masa lalu dan masa yang akan datang.
Pada tahap I yaitu emerge, individu merasa tidak puas dan tidak nyaman
dengan keadaan yang ada, baik karena disebabkan kebijakan atau kondisi sosial
tertentu, tetapi mereka tidak mengambil tindakan dan bergerak secara individu
(tidak secara kolektif). Pada tahap II yaitu coalescene, menjelaskan bahwa di
tahap ini tidak hanya perasaan umum mengenai ketidaknyamanan saja tapi sudah
mengkaji tentang apa penyebab ketidaknyamanan itu dan siapa atau apa yang
bertanggungjawab. Perasaan tidak puas tidak lagi menjadi perasaan individual dan
tidak terkoordinat, namun menjadi kolektif (Rex D. Hoppe 1950 dalam
Christiansen 2009). Dalam tahap ini gerakan yang dilakukan sudah terorganisir
dan membuat strategi. Pada tahap III yaitu bureaucratization, kekuatan politik
lebih besar daripada tahap-tahap sebelumnya. Banyak gerakan sosial yang gagal
pada tahap ini karena sulit bagi para anggota untuk tetap mengelola emosi untuk
terus mengejar kebutuhan dan mobilisasi sangat bergantung kepada partisipannya.
Tahap IV yaitu decline, Miller (1999) seperti yang dikutip oleh Christiansen
(2009) beragumen bahwa ada empat jalan dimana gerakan sosial mengalami
penuruan, yaitu represi, kooptasi, kekeberhasilan, dan kegagalan. Represi muncul
ketika pihak berwenang melakukan tindakan (kadang berupa kekerasan) untuk
mengontrol atau bahkan menghancurkan gerakan sosial. Kooptasi terjadi ketika
suatu gerakan memiliki ketergantungan yang tinggi pada otoritas dan karisma dari
pemimpin. Kooptasi dapat berlangsung ketika pemimpin pergerakan melakukan
kerjasama dengan pihak berwenang atau target dari gerakan. Pemimpin tersebut
8
menjadi terintegrasi dengan organisasi di luar gerakan dan memakai nilai-nilainya
daripada memakai nilai-nilai gerakan sosial itu sendiri. Yang ketiga adalah
keberhasilan. Tentu saja tidak semua gerakan sosial pada akhirnya hancur karena
represi atau kooptasi. Beberapa mengalami penurunan karena gerakan tersebut
telah berhasil. Gerakan lokal yang ukurannya kecil dengan tujuan-tujuan spesifik
biasanya mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu
keberhasilan. Yang terakhir adalah kegagalan. Kegagalan dari gerakan sosial baik
dari organisasi atau kegagalan strategis terjadi pada banyak organisasi.
Salah satu contoh decline dapat dilihat dari kasus yang diteliti oleh Hartoyo
(2010) di Lampung. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa dinamika agraria yang
terjadi pada tempat penelitannya berkahir pada involusi gerakan. Hal ini
disebabkan gerakan petani yang muncul dan berkembang di dalam struktur politik
yang sudah terbuka di era demokratisasi tidak mampu memperkuat dirinya dan
melakukan perubahan substansif nasib petani. Stagnasi gerakan petani terjadi
karena dalam proses penguatan struktur mobilisasi sumberdaya diwarnai
disorientasi perilaku para elit aktor yang konsekuensinya tidak dapat diprediksi
dan dikontrol. Selain itu penyebab stagnasi dari gerakan ini disebabkan struktur
sumberdaya mobilisasi melemah dan sifat struktural organisasi gerakan semakin
melekat pada sistem agraria yang mapan, sedangkan program perjuangan belum
terlembagakan.
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Sosial
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aji GB (2005) mengenai
Serikat Petani Pasundan (SPP), dijelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
terbentuknya Serikat Petani Pasundan adalah adanya kesadaran kritis, momentum
reformasi sebagai titik kebangkitan, dan kemiskinan petani akibat berkurangnya
lahan. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Hartoyo (2010) di Lampung,
gerakan sosial terjadi akibat adalanya ketimpangan penguasaan lahan dan
pemiskinan tani, serta ketegangan struktural agraria karena perubahan pola
penguasaan tanah. Selain itu, penyebab munculnya gerakan sosial yang terjadi di
Lampung karena adanya praktik penguasaan tanah komunitas oleh negara dan
perusahaan dengan cara tidak fair, konflik pertanahan, dan tumbangnya rezim
Orde Baru yang membuat kemunculan gerakan petani semakin banyak.
Berbeda dengan dua kasus di atas, pada kasus yang terjadi di Kalibakar
yang diteliti oleh Wahyudi (2009) terdapat beberapa faktor-faktor penyebab
timbulnya gerakan. Faktor-faktor tersebut adalah adanya aspek sejarah sosial
(tanah eks HGU perkebunan) dan kesalahan prosedur penerbitan HGU. Selain itu,
faktor-faktor penyebab munculnya gerakan sosial di Kalibakar disebabkan adanya
kemunculan tokoh reformis, pro dan kontra di kalangan masyarakat, dukungan
partai politik, soliditas, solidaritas, dan militansi di kalangan petani gerakan,
ketidak-berdayaan penegakkan keamanan, kondisi struktural Kalibakar, serta
terciptanya peluang karena kondusifitas iklim politik.
9
Definsi Gerakan Lingkungan
Menurut Diani (1995) yang dikutip oleh Rootes (2004), gerakan lingkungan
adalah jaringan interaksi informal yang terdiri dari individu-individu maupun
kelompok-kelompok yang tidak memiliki afiliasi organisasi maupun organisasi
dari berbagai derajat formalitas (termasuk partai politik, terutama Green Parties)
yang terlibat dalam aksi kolektif yang termotivasi oleh isu-isu lingkungan.
Jaringan tersebut umumnya longgar dan tidak terlembagakan, tetapi bentukbentuk aksi dan tingkat integrasi mereka bervariasi. Terkadang, gerakan
lingkungan tidak identik dengan organisasi yang menentang. Hanya ketika
organisasi (dan lainnya, biasanya pengorganisasian aktornya kurang formal)
terlibat dalam jaringan dan tindakan kolektif.
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Lingkungan
Menurut Devall, Drengson, dan Schroll (2001) gerakan lingkungan memang
sudah memiliki sejarah yang panjang, namun gerakan lingkungan modern dimulai
sejak akhir 1960-an. Adanya efek yang nyata dari percepatan industrialisasi dan
eksploitasi sumberdaya alam membuat banyak orang peduli untuk melakukan
konservasi dan pencegahan. Kritik radikal untuk industrialisme kapitalis dan
demokrasi perwakilan yang terkait dengan yang kontra-budaya menciptakan
ruang publik untuk mengembangkan gerakan sosial baru. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Gadgil dan Guha (1994), karakter dari gerakan lingkungan
ini berbeda-beda di tiap negara. Negara-negara seperti Amerika, Kanada,
Australia dan Asia, dan negara-negara bagian utara lebih fokus kepada isu-isu
tentang polusi. Di Eropa Barat, isu lingkungan yang mendominasi adalah tentang
konsekuensi dari degradasi lingkungan terhadap manusia.
Dalam salah satu kasus di India, demonstrasi dilakukan oleh masyarakat
desa yang bertempat tinggal di sekitar Sungai Narmada karena mereka merasa
terpinggirkan dengan adanya pembangunan dam. Mereka melakukan gerakan
menentang adanya dam, karena dengan adanya dam akan mengganggu
keseimbangan ekosistem sungai dan dapat menyebabkan berbagai macam sumber
penyakit. Kasus ini adalah salah satu kasus dari beberapa kasus dimana salah satu
industri atau petani komersial mengintimidasi (seringkali dengan bantuan negara)
pemakai sumberdaya lain seperti petani miskin. Konflik ini diperparah bila terlihat
adanya degradasi lingkungan dari aktifitas perindustrian.
Tidak hanya sumberdaya air saja yang dipermasalahkan, pada tahun 1973
masyarakat India juga membuat gerakan lingkungan untuk menentang
komersialisasi hutan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja dan
membahayakan masyarakat di sekitar hutan. Di India, gerakan tidak sebatas pada
daerah aliran sungai dan hutan saja, di laut pun para nelayan melakukan gerakan
lingkungan yang diawali dengan adanya konflik antara nelayan tradisional dengan
nelayan modern (beroperasi dengan menggunakan trawl) yang melanggar batasbatas nelayan tradisional. Nelayan modern dianggap telah membahayakan
lingkungan karena peningkatan polusi. Aktifitas seperti penambangan juga
memberikan dampak negatif pada lingkungan karena telah menimbulkan
deforestasi, menghabiskan sumberdaya air, dan juga menyebabkan erosi.
10
Bentuk-Bentuk Gerakan Lingkungan
Menurut Rootes (2004), tidak semua hubungan dalam gerakan lingkungan
selalu mudah terlihat. Ketika gerakan sudah didirikan dengan baik, tindakan
bergeser dari protes yang sangat terlihat menjadi lobi yang kurang terlihat dan
bahkan melakukan keterlibatan yang konstruktif dengan pemerintah dan
perusahaan. Rootes menjelaskan bahwa gerakan lingkungan akar rumput
melibatkan hubungan antar bidang yang lebih luas di masyarakat. Dari
penelitiannya mencerminkan bahwa perempuan lebih percaya diri dalam
bertindak pada tingkat lokal daripada di ruang publik yang lebih luas. Dengan
demikian aktivitas lingkungan di tingkat akar rumput merupakan sarana penting
untuk pembelajaran sosial tentang isu-isu lingkungan, sebuah tempat belajar untuk
berpartisipasi, titik masuk untuk aktivitas dan isu-isu baru, sumber revitalisasi dari
gerakan lingkungan, dan sarana yang dibuat lebih representatif secara sosial.
Menurut Bruelle (2000) yang dikutip oleh Rootes (2004), penggunaan frames
yang berbeda oleh enviromentalis menimbulkan konsekuensi dalam cara mereka
berkampanye dan bentuk organisasi yang mereka adopsi. Organisasi gerakan
lingkungan yang berkomitmen pada konservasionisme atau ekologisme
mempunyai perbedaan dalam pemilihan strategi, taktik, dan bentuk aksinya. FoE
dan Greenpeace belajar dengan etik yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi
dengan yang berkuasa.
Di India, kelompok sains yang populer memainkan alat musik dengan
memainkan lagu-lagu daerah di seluruh bagian Kerala untuk meningkatkan
kesadaran akan deforestasi dan polusi. Di bagian Karntaka, tema tentang
kerusakan lingkungan disajikan dalam drama dan tari tradisional. Beberapa camp
juga didirkan untuk melakukan pemulihan lingkungan dengan mempromosikan
penghijauan kembali hutan. Walking tour juga disediakan untuk mengajak pada
donatur untuk mendonasikan tanah bagi yang tidak bertanah. Pada kasus
kerusakan di pesisir, para nelayan dibantu dengan beberapa organisasi melakukan
aksi yang bertujuan untuk: 1. Membuka kesadaran masyarakat tentang hubungan
antara air dan kehidupan dan untuk menginisiasi untuk melindungi air; 2.
Membangun jaringan kepada pihak-pihak berfokus pada bidang dengan isu ini; 3.
Meminta pemerintah agar membuat peraturan tentang keberlanjutan pemakaian
air dan untuk menguatkan keberadaan agen-agen pengatur air; 4. Menaksir
dampak yang sudah terjadi, mengidentifikasi area dan detail masalah, dan
mempraktekan peremajaan sumberdaya air; 5. Menyebarkan praktek konservasi
air dan memperbarui teknologi alat tangkap ikan (Gadgil dan Guha, 1994).
Selain melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatakan
kesadaran untuk peduli lingkungan, sebagai taktik dalam perjuangan dan
menumbuhkan kesadaran kritis, program-program mengenai perbaikan ekologi
pun dilakukan. Banyak organisasi yang mengorganisasi masyarakat untuk
melakukan penghijauan kembali, konservasi tanah dan air, dan mengadopsi
teknologi yang ramah lingkungan. Dalam dekade terakhir, banyak yang telah
membangun organisasi level makro untuk mengkoordinasikan berbagai macam
kelompok dan aktivitas.
11
Konsep Modal Sosial
Para peneliti banyak mengemukakan konsep-konsep tentang modal sosial,
beberapa diantaranya adalah James Coleman, Robert Putnam, dan Pierre Bourdie.
Masing-masing mengemukakan konsep modal sosial dari sudut pandang yang
berbeda. Putnam (1995) dalam tulisannya mengatakan, bahwa modal sosial
mengacu kepada jaringan, norma, dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama agar saling menguntungkan. Putnam juga mengatakan bahwa
jaringan berfungsi memfasilitasi koordinasi dan komunikasi, memperkuat reputasi,
dan memungkinkan dilema kolektif dapat dipecahkan. Dalam hal kepercayaan
sosial, korelasi erat antara kepercayaan sosial dan keanggotaan suatu ikatan tidak
hanya lintas waktu dan lintas individu, tetapi juga lintas negara. Dari survei World
Values Survey tahun 1991 ditemukan bahwa kepercayaan sosial dan keterlibatan
masyarakat sangat berkorelasi. Semakin besar kepadatan ikatan keanggotaan di
masyarakat, maka rasa semakin percaya warganya semakin besar. Kepercayaan
dan keterlibatan adalah dua sisi faktor dasar yang sama.
Dalam tulisan lain mengenai modal sosial, Uphoff (2000) yang dikutip oleh
Rosyida (2011) menjelaskan mengenai hubungan sosial (jaringan), norma, dan
kepercayaan. Menurutnya hubungan sosial (jaringan) merupakan pola-pola
hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non materi.
Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan
berbasis pada kebutuhan. Norma menurutnya merupakan kesepakatankesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama, sedangkan
kepercayaan menunjukkan norma tentang hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk
menjadi seseorang yang layak dipercaya.
Dalam beberapa fungsi penting kepercayaan, Mollering (2011) dalam
Dharmawan (2002) mengatakan bahwa kerjasama dapat berarti pula sebagai
proses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjadinya hubungan-hubungan
antar individu tanpa dilatar belakangi rasa saling curiga. Trust juga membantu
merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi
satu kesatuan. Dalam hubungan antara jaringan, kepercayaan, dan norma,
Dharmawan (2002) mengatakan bahwa masyarakat yang besar di atas jaringan
sosial yang kokoh hanya akan terbentuk bila trust telah tertanam dan berfungsi
secara operasional dan sesuai kesepakatan umum (dikukuhkan dan dikawal oleh
norma-norma umum) diantara anggota masyarakat yang bersangkutan.
Modal Sosial dalam Gerakan Sosial
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Edwards (2013), modal sosial paling
baik dipahami sebagai akses sosial ke sumber daya. Modal sosial adalah
penghubung dan konsep struktural yang mengacu pada kemampuan individu atau
kelompok dalam menggunakan hubungan dan posisi sosial mereka dalam
berbagai jaringan sosial untuk mengakses berbagai sumber daya. Walaupun
terdapat perbedaan-perbedaan, teori tributarian yang dikemukakan oleh Bourdieu,
Coleman and Lin mempunyai kecocokan untuk 3 alasan. Pertama, mereka melihat
modal sosial sebagai penghubung dan ditanamkan dalam jaringan dan konteks
sosial yang spesifik. Kedua, modal sosial, seperti sumber daya lainnya, bisa
didistribusikan secara merata, ataupun dapat diperoleh secara sepadan untuk
semua pelaku pergerakan sosial dalam suatu perkumpulan masyarakat. Ketiga,
12
ketiganya mengetahui bahwa konteks sosial mempengaruhi „nilai penggunaan‟
suatu modal sosial untuk pergerakan.
Kerangka Pemikiran
Perasaan ketidaknyamanan dan perasaan terancam yang disebabkan oleh
rencana masuknya pabrik semen untuk melakukan kegiatan penambangan dan
pendirian pabrik di kawasan Sukolilo merupakan salah penyebab timbulnya
gerakan penolakan ini. Perasaan terancam yang dirasakan oleh warga yang
bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng disebabkan karena Pegunungan
tersebut mempunyai sumber mata air bawah tanah, memilki berbagai macam
keanekaragaman hayati, serta terdapat lahan yang digunakan warga untuk bertani.
Sumber daya air dan keanekaragaman hayati berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan mereka salah satunya untuk mengairi ladang dan sawah baik pada
musim kemarau maupun pada saat musim hujan.
Sumber daya air yang terganggu kuantitas dan kualitasnya akibat aktifitas
pertambangan diduga akan menyebabkan penurunan produktiftas lahan pertanian
yang mereka garap maupun miliki. Dengan menurunnya produktifitas pertanian,
diduga akan menyebabkan perubahan pada pendapatan yang akan mempengaruhi
keberlangsungan kehidupan mereka. Data mengenai ketergantungan pada sumber
daya air dikumpulkan dengan metode kuantitatif. Faktor-faktor lain yang
menyebabkan timbulnya gerakan penolakan pendirian pabrik oleh warga
Pegunungan Kendeng akan diteliti dengan metode kualitatif dengan cara
melakukakan wawancara mendalam kepada beberapa informan, melakukan
observasi, serta dengan studi dokumentasi data sekunder.
Di sisi lain, modal sosial berupa norma, jaringan, dan kepercayaan yang
dimiliki oleh warga Pegunungan Kendeng, khususnya warga Sukolilo, diduga
turut memberi pengaruh terhadap setiap tahapan dalam dinamika gerakan.
Dinamika berlangsungnya proses gerakan penolakan pendirian pabrik PT Semen
Gresik berlangsung dari awal munculnya gerakan hingga tahap akhir dari gerakan.
Dinamika ini diawali dengan adanya emerge (kemunculan) kemudian dilanjutkan
dengan coalescene (penggabungan), bureaucratization )serta diakhiri dengan
decline (berakhirnya gerakan). Berkahirnya gerakan ditandai dengan keberhasilan
warga Pegunungan Kendeng untuk mencegah PT Semen Gresik mendirikan
pabrik. Secara ringkas kerangka analisis dapat digambarkan seperti berikut
13
Faktor-faktor
penyebab
timbulnya gerakan
penolakan pabrik
semen
Dinamika gerakan
penolakan
pendirian pabrik
semen
Keberhasilan
gerakan penolakan
pendirian pabrik
semen
Modal Sosial:
- Norma
- Jaringan
- Kepercayaan
Keterangan:
= Mempengaruhi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
1.
2.
Keberhasilan warga Sukolio dalam melakukan gerakan penolakan pabrik
semen dilatar belakangi oleh faktor-faktor penolakan yang kuat, yaitu
ancaman hilangnya lahan pertanian maupun non pertanian, ancaman
hilangnya sumber air, rusaknya ekologi pegunungan karst, kebijakan
pemerintah yang tidak sesuai dengan hukum, dan kekhawatiran akan
dampak sosial.
Keberhasilan warga Sukolilo mencegah pendirian pabrik semen dipengaruhi
modal sosial berupa norma, jaringan, dan kepercayaan yang terdapat dalam
setiap tahap dinamika gerakan penolakan.
Definisi Konseptual
1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gerakan lingkungan,
disebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem yang dapat mengancam
keberlangsungan hidup makhluk hidup di dalamnya. Adanya kegiatan
penambangan di sumber maupun di sekitar mata air dan di lahan-lahan
khususnya lahan pertanian, dikhawatirkan dapat mengganggu kuantitas dan
kualitas sumber air dan juga hilangnya lahan-lahan pertanian. Hal ini
dikhawatirkan akan berdampak pada keberlangsungan kehidupan mereka.
Dengan adanya efek yang nyata dari percepatan industrialisasi dan
eksploitasi sumberdaya alam tersebut, membuat banyak orang peduli untuk
melakukan konservasi dan pencegahan.
14
2.
Dalam penelitian ini beberapa faktor penyebab terjadinya gerakan penolakan
pendirian pabrik semen, yaitu ketergantungan warga terhadap sumber air
diteliti dengan menggunakan metode kuantitatif. Disamping itu, faktorfaktor lain penyebab ter
KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH
CITRA DEWI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Gerakan
Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Citra Dewi
NIM I34100045
iv
ABSTRAK
CITRA DEWI. Analisis Gerakan Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO
Gerakan sosial untuk mempertahankan atau memperjuangkan kondisi
lingkungan hidup yang baik tidak jarang berujung pada kekalahan atau menjadi
kasus yang berlarut-larut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan
gerakan penolakan pendirian pabrik semen oleh warga Sukolilo ditinjau dari
faktor penyebab, modal sosial, dan tahapan dalam dinamika gerakan. Analisis
didasarkan pada kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan adalah
ancaman hilangnya lahan, ancaman hilangnya sumber air, rusaknya ekologi
pegunungan karst, kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan hukum, dan
kekhawatiran dampak sosial yang timbul. Modal sosial yang kuat berupa jaringan
yang luas, kepercayaan, dan norma yang kuat berperan penting dalam
keberhasilan gerakan. Proses dalam tahapan dinamika gerakan yang ditempuh
warga diawali dengan membangun kepercayaan dan jaringan, pembangkitan
kesadaran, perluasan jaringan, lobi, advokasi, dan demo, perjuangan di aras
pengadilan, hingga berakhir dengan kemenangan juridis di tingkat Mahkamah
Agung pada tahun 2013.
Kata kunci: gerakan sosial, modal sosial, tahapan gerakan sosial
ABSTRACT
CITRA DEWI. Analysis of the Social Movement in Sukolilo, Pati, Jawa
Tengah. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO
Social movement for protecting the environment rarely end up with win
situation for the community. This study analyzes the achievement of Sukolilo
community against the establishment of a cement plant from the point of view of
its causal factors, social capital, and stages of the movement. The research carried
out by combining the qualitative and quantitative approach of study. The results
showed that factors that lead to the emergence of the movement are loss of
agricultural land, water resource degradation, ecological destruction of karst
mountain, government policies that are not compatible with law, and further its
downstream social impact to the community. Strong social capital with its
extensive networks, trust and norms are key success of the movement. The
movement started from building trust and networks, generating awareness among
local community, network expansion, lobbying, advocacy, demonstration,
struggle at local state court, until to the Supreme Court that decided local
community as the winner (2013).
Keywords: social movements, social capital, stages of social movements
vi
ANALISIS GERAKAN SOSIAL DI KECAMATAN SUKOLILO,
KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH
CITRA DEWI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
viii
Judul Skripsi : Analisis Gerakan Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati,
Jawa Tengah
Nama
: Citra Dewi
NIM
: I34100045
Disetujui oleh
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Gerakan Sosial di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah“ berhasil diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan
syarat kelulusan sebagai Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
ini dilakukan bertujuan untuk menganalisis gerakan sosial yang terjadi di
Kecamatan Sukolilo sampai dengan keberhasilannya. Peneliti secara khusus ingin
berterima kasih kepada Mama Sri Nooryati, Bapak Agus Purnomo, Mbak
Arikadia Noviani atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang tiada hentinya
mengalir untuk kelancaran penulisan skripsi ini. Skripsi ini juga tidak mungkin
terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1) Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan pengertian selama proses
penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.
2) Siti Chaakimah, Wulandari, dan Mugi Lestari selaku sahabat penulis yang
senantiasa memberikan doa dan semangat.
3) Keluarga besar Griya Insan Cendekia, sebagai rumah kedua, terutama Karina
Mako, Annisyia Zarina, Fika Rahimah, Fikra Sufi, dan Venny Maulina, yang
selalu memberikan keceriaan dan dukungan.
4) Indah Tri Utami, Estya Permana, Sahda Handayani, dan Natrisya Sekararum
selaku teman satu bimbingan untuk bantuan dan semangatnya.
5) Keluarga besar SKPM angkatan 47 yang telah memberikan semangat, doa,
bantuan, dan dukungan, serta berkenan menjadi rekan yang baik selama ini.
6) Mas Gunretno dan Mbak Gunarti sekeluarga yang telah membantu dan
menerima saya dengan baik, serta Mbak Sih, Dik Probo, Mas Boti, dan Mas
Sigit yang sudah menemani melakukan pengambilan data dan dan melakukan
observasi.
7) Masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat Kecamatan Sukolilo atas ilmu yang
diberikan serta kerjasama yang baik selama pengumpulan data serta keluarga
besar di Kudus atas dukungan dan bantuannya.
8) Pihak-pihak lain sebagai teman diskusi, pemberi semangat dan bantuan yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa karya ini terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Mei 2015
Citra Dewi
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Gerakan Sosial
Tahapan dalam Gerakan Sosial
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Sosial
Definisi Gerakan Lingkungan
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Lingkungan
Bentuk-Bentuk Gerakan Lingkungan
Konsep Modal Sosial
Modal Sosial dalam Gerakan Sosial
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Konseptual
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengambilan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
RENCANA PEMBANGUNAN PABRIK SEMEN DAN KONDISI
SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Rencana Pembangunan Pabrik Semen
Lokasi dan Kegiatan Penambangan dan Pengolahan Semen
Penambangan, Pabrik Pengolahan, dan Jalan Produksi
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi Demografi
Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan
Penggunaan Lahan (Sawah dan Non Sawah)
Status Penguasaan Lahan Responden
Produksi Pertanian Responden
Ikhtisar
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA GERAKAN
PENOLAKAN PENDIRIAN PABRIK SEMEN
Ancaman Hilangnya Lahan Pertanian maupun Non Pertanian
Ancaman Hilangnya Sumber Air
Rusaknya Ekologi Pegunungan Karst
Kebijakan Pemerintah yang Dianggap Tidak Sesuai dengan Hukum
xv
xv
xvi
1
1
3
4
4
5
5
5
6
8
9
9
10
11
11
12
13
13
17
17
17
17
18
19
21
21
21
22
24
24
25
28
31
32
34
37
37
38
41
42
xiv
Kekhawatiran akan Dampak Sosial yang Ditimbulkan
Ikhtisar
DINAMIKA GERAKAN PENOLAKAN DAN MODAL SOSIAL
PENDIRIAN PABRIK SEMEN OLEH WARGA SUKOLILO
Emergence (Tahap Munculnya Gerakan)
Coalescene (Penggabungan)
Bureucratization
Perluasan Jaringan
Lobi, Advokasi, dan Demo
Perjuangan di Aras Pengadilan
Decline (Berakhirnya Gerakan)
Ikhtisar
SIMPULAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
43
44
47
47
49
51
52
54
58
64
68
69
69
70
71
77
DAFTAR TABEL
Tabel
1
Tabel
2
Tabel
3
Tabel
4
Tabel
5
Tabel
6
Tabel
7
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
8
9
10
11
Tabel
12
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
13
14
15
16
Rencana lokasi dan kegiatan penambangan &
pengolahan semen
Lokasi, peruntukan, dan luas lahan rencana
penambangan bahan baku, pabrik dan utilitas, dan jalan
produksi PT Semen Gresik
Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk di tujuh desa yang terkena dampak langsung
tahun 2007
Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Tujuh Desa
Penelitian Tahun 2007
Pendidikan Penduduk di Tujuh Desa yang Terkena
Dampak Langsung Tahun 2007
Luas lahan sawah berdasarkan jenis pengairan di tujuh
desa penelitian yang terkena dampak langsung
Luas lahan non sawah di tujuh desa penelitian yang
terkena dampak langsung
Distribusi luas lahan pertanian responden
Penguasaan lahan responden
Jumlah persil responden
Komoditas pertanian pada musim hujan dan kemarau
responden
Produksi gabah responden pada musim hujan
(ton/ha/musim hujan)
Produksi pertanian responden pada musim kemarau
Ketergantungan responden terhadap sumber air
Skema Alur Hukum di Pengadilan
Fase-fase gerakan penolakan pabrik semen oleh
warga Sukolilo
21
23
25
26
27
29
30
31
31
32
32
33
33
40
61
66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 10
Gambar 11
Kerangka Pemikiran
Rencana lokasi penambangan bahan baku, pabrik
pengolahan, dan jalan produksi
Peta Kecamatan Sukolilo dalam Kabupaten Pati
Aliran Sungai Seluna dari Waduk Kedung Ombo
Pegunungan Kendeng
Sawah di Desa Gadudero
Aliran utama dari Sungai Juana
Aliran Sungai Juana
Aliran air yang berasal dari Gua Pawon yang merupakan
gua bawah tanah
Irigasi yang berasal dari Waduk Kedung Ombo atau
biasa disebut dengan jratun
Omah Kendeng, tempat serba guna yang biasanya
13
22
24
39
79
79
79
79
79
79
80
xvi
Gambar 12
Gambar 13
Gambar 14
Gambar 15
Gambar 16
digunakan untuk kegiatan yang berkaitan dengan
gerakan penolakan pendirian pabrik
Kendi-kendi berisi air yang berasal dari seluruh mata
air di Pegunungan Kendeng
Pertemuan antara warga Sukolilo dengan pengacara
Penjelasan mengenai gerakan warga Sukolilo yang
dijelaskan Gunarti dalam Seminar di STAIN Kudus
Proses pendirian rumah diskusi di Hutan Sonokeling
Proses pembuatan jamu yang keuntungannya digunakan
untuk gerakan penolakan pendiriain pabrik
80
80
80
80
80
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Dokumentasi Penelitian
Kuesioner dan Daftar Pertanyaan
Daftar nama responden
79
81
85
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses integrasi ekonomi di seluruh dunia, yang disebut dengan globalisasi,
terus mengganggu keamanan sosial dan ekonomi miliaran orang (Devall,
Drengson, Schroll, 2001). Berbagai cara dilakukan Indonesia demi mengejar
ketertinggalan di era globalisasi khususnya dengan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, salah satunya dengan melakukan kegiatan penambangan. Praktek
pertambangan pada era Orde Baru didukung oleh pemerintah dengan
dikeluarkannya Undang-undang Pokok Pertambangan No.11 Tahun 1967 Pasal 7.
Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa bahan galian dapat diusahakan oleh pihak
swasta. Dengan adanya UU tersebut, hak dan kepentingan rakyat kecil menjadi
semakin tergeser karena segala bentuk pembangunan yang dilakukan hanya untuk
mengejar keuntungan pemodal besar (Ariendi GT dan Kinseng RA, 2011).
Semenjak dikeluarkannya UU ini, persoalan akses sumberdaya oleh masyarakat
semakin krusial. Hal ini diperparah dengan tidak adanya legalitas hak kepemilikan
sehingga negara dapat dengan mudah bila sewaktu-waktu merelokasi atau bahkan
menggusur masyarakat dari tempat mereka. Menurut Maulida (2012), dalam
kenyataannya penggunaan tanah-tanah tersebut jauh dari upaya untuk
menyejahterakan masyarakat dan lebih digunakan untuk ekspansi industri-industri
dan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi praktis, jauh dari kesan
pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Praktek pertambangan tidak hanya menggeser kepentingan rakyat kecil
secara ekonomi saja, namun praktek ini juga memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halim Y et al. (2001) di
Kecamatan Panceng dan Paciran, dampak negatif terhadap lingkungan akibat
penambangan meliputi beberapa hal. Dampak negatif tersebut adalah perubahan
relief, ketidakstabilan lereng, kerusakan tanah, terjadinya perubahan tata air
permukaan dan air bawah tanah, hilangnya vegetasi penutup, dan perubahan flora
dan fauna. Selain itu, dampak negatif lain yang ditimbulkan dari kegiatan
penambangan berupa meningkatkanya kadar debu dan kebisingan, terjadinya
kerusakan jalan, serta terjadinya kecelakaan penambang dan kecelakaan lalu lintas.
Dampak negatif dari aktifitas pertambangan baik dari segi ekonomi maupun
lingkungan mengancam keberlangsungan kehidupan warga sehingga
menimbulkan keresahan warga. Keresahan yang dirasakan oleh warga inilah yang
menjadi awal mereka melakukan perlawanan dan salah satunya dengan
membentuk gerakan sosial. Sebuah gerakan sosial muncul sebagai akibat dari
akumulasi kekecewaan dan ketertindasan. Menurut penelitian Hafid (2001) di
kasus Jenggawah, pada tahun 1977 petani mulai membentuk beberapa kelompok
petani untuk memobilisasi perjuangan. Kelompok ini mengkoordinasi perjuangan
menentang kebijakan dan tindakan PTP yang berkonspirasi dengan militer dan
birokrat. Masalah penyebab gerakan ini bukan hanya terjadi di Jenggawah saja,
banyak tempat lain di Indonesia yang juga mengalami nasib yang sama.
Seluruh gerakan, baik yang dilakukan oleh petani maupun warga merupakan
bagian dari gerakan sosial. Gerakan sosial menurut Giddens [tidak ada tahun]
dikutip oleh dalam Martono (2012) merupakan suatu upaya kolektif untuk
2
mengejar suatu kepentingan bersama, atau gerakan yang bertujuan untuk
mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup-lingkup
lembaga yang sudah ada. Sedangkan menurut Turner dan Killan [tidak ada tahun]
dikutip oleh Martono (2012) secara formal gerakan sosial didefinisikan sebagai
suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu
untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau
kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Sztompka (2004) berpendapat
bahwa gerakan sosial harus memiliki empat kriteria yaitu adanya kolektivitas,
memiliki tujuan bersama, kolektivitasnya tersebar, dan tindakannya memiliki
derajat spontanitas yang tinggi.
Dalam sebuah gerakan sosial, dinamika gerakan yang terjadi berbeda-beda
dalam setiap kasus. Dalam dinamika gerakan sosial, pada akhirnya sebuah
gerakan dapat mencapai sebuah kesuksesan, stagnansi, bahkan kegagalan.
Dinamika yang terjadi dalam gerakan sosial disebabkan karena berbagai faktor
dan modal sosial dapat dijadikan pertimbangan keberhasilan suatu gerakan.
Robert Putnam (1995) dikutip oleh Alfiasari et al (2009) mengemukakan bahwa
modal sosial adalah suatu institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks),
norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust), yang mendorong
pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan
bersama. Pierre Bourdie (1970) dikutip oleh Alfiasari et al (2009) mendefiniskan
modal sosial sebagai jaringan sosial terlembagakan serta berlangsung terus
menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik.
Coleman (1988) memandang modal sosial sebagai kepercayaan, norma
perilaku, jaringan sosial, dan kombinasi dari ketiganya. Modal sosial sendiri
melekat pada struktur hubungan antara aktor, aspek-aspek struktur sosial kepada
pelaku dilihat sebagai sumber daya yang dapat mereka gunakan untuk mencapai
kepentingan mereka. Dalam penelitiannya, Coleman (1988) mengaitkan modal
sosial dengan suatu organisasi. Berdasarkan pernyataannya, dapat dilihat bahwa
modal sosial berfungsi untuk menyelidiki sumber daya dalam sebuah aksi kolektif,
untuk mengetahui elemen apa saja yang paling dibutuhkan untuk mencapai tujuan
gerakan, dan untuk menguji bagaimana sebuah gerakan dapat muncul.
Dalam satu kasus gerakan lingkungan di Indonesia, warga yang tinggal dan
menggantungkan hidupnya pada Pegunungan Kendeng khususnya warga yang
bermukim di Kecamatan Sukolilo telah melakukan gerakan lingkungan sejak
tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2013. Dalam menjalankan kehidupannya,
baik untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun bertani, warga mengandalkan
mata air yang terdapat pada Pegunungan Kendeng. Tidak hanya sumber air saja
yang dimanfaatkan warga, namun lahan kapur di Pegunungan Kendeng untuk
ditanami tanaman ladang yang hasilnya dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Pada tahun 2006, PT Semen Gresik bermaksud mendirikan pabrik di
beberapa desa yang termasuk ke dalam Kecamatan Sukolilo, namun warga yang
bermukim di Kecamatan Sukolilo menolak rencana pendirian pabrik. Pada tahun
2009, perusahaan tersebut gagal untuk melakukan peletakkan batu pertama dan
melakukan kegiatan penambangan di kawasan pegunungan tersebut. Di tahun
2010, Mahkamah Agung (MA) secara resmi menetapkan Semen Gresik tidak
layak untuk mendirikan pabrik berikut melakukan kegiatan penambangan.
Gugatan pun dimenangkan oleh warga yang kontra terhadap rencana pendirian
pabrik dan kegiatan penambangan. Pada bulan Januari tahun 2013, kemenangan
3
secara resmi dimenangkan oleh warga setelah MA menolak Peninjauan Kembali
(PK) yang diajukan oleh Semen Gresik.
Keberhasilan gerakan penolakan oleh warga Sukolilo untuk menggagalkan
rencana pendirian pabrik dan melakukan kegiatan penambangan Semen Gresik
merupakan hal yang jarang terjadi Indonesia. Kebanyakan kasus yang terjadi
antara warga dengan pihak swasta maupun pemerintah berujung kekalahan
maupun menjadi kasus yang berlarut-larut. Oleh karena itu penelitian ini ingin
menganalisis keberhasilan gerakan penolakan yang dilakukan oleh warga Sukolilo
dilihat dari faktor-faktor yang menyebabkan gerakan penolakan pendirian pabrik
Semen Gresik, modal sosial yang terdapat di dalam warga Sukolilo yang digalang
untuk membangun gerakan penolakan, dan juga proses-proses yang ditempuh oleh
warga Sukolilo dalam menggalang gerakan penolakan pendirian pabrik.
Masalah Penelitian
Pada awal tahun 2013 MA menolak Peninjauan Kembali (PK) yang
diajukan oleh PT Semen Gresik. Keputusan tersebut menandai keberhasilan
gerakan penolakan pendirian pabrik semen. Konflik diawali ketika PT Semen
Gresik bermaksud untuk mendirikan pabrik di kawasan Pegunungan Kendeng,
yaitu di beberapa desa di Kecamatan Sukolilo. Warga yang bermukim di Sukolilo
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sangat bergantung pada mata air dan segala
keragaman hayati yang terdapat pada Pegunungan Kendeng. Dikhawatirkan
dengan adanya kegiatan penambangan sebagai bahan baku operasi pabrik,
mengganggu kuantitas dan kualitas sumber daya Pegunungan Kendeng yang
digunakan oleh warga. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab warga
melakukan gerakan penolakan pendirian pabrik semen karena diperkirakan akan
mengancam keberlangsungan hidup mereka. Karena hal-hal tersebut maka
diajukan pertanyaan penelitian, apa saja faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya gerakan penolakan pabrik semen yang dilakukan oleh warga
Sukolilo?
Modal sosial yang dimiliki dan tumbuh oleh warga yang bermukim di
sekitar kawasan Sukolilo berfungsi sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan
untuk mencapai tujuan dari gerakan yang dilakukan. Kepercayaan di antara
warga maupun dengan pihak lain, jaringan yang mereka miliki, dan norma-norma
yang mereka pegang dan jalani berpengaruh dalam setiap tahap dalam dinamika
gerakan penolakan pabrik semen PT Semen Gresik. Mengingat hal tersebut, maka
pertanyaan penelitian selanjutnya adalah, sejauh mana modal sosial yang
terdapat di kalangan warga Sukolilo digalang untuk membangun gerakan
penolakan pendirian pabrik semen?
Keberhasilan warga Pegunungan Kendeng yang ditandai dengan ditolaknya
PK yang diajukan oleh PT Semen Gresik pada tahun 2013 bukanlah suatu hal
yang dapat dicapai secara tiba-tiba. Gerakan penolakan pendirian pabrik semen
PT Semen Gresik ini mempunyai proses tersendiri dalam setiap tahap
dinamikanya, mulai dari tahap kemunculan, pembentukan, formalisasi, hingga
berakhirnya gerakan yang ditandai dengan keberhasilan gerakan. Terbukti pada
kasus masuknya pabrik semen pada tahun 2006, warga sekitar Pegunungan
Kendeng melakukan berbagai bentuk gerakan. Hingga pada tahun 2013, mereka
secara resmi berhasil menggagalkan perusahaan semen PT Semen Gresik untuk
mendirikan pabrik dan melakukan kegiatan eksploitasi. Terkait dengan hal
4
tersebut, maka pertanyaan ketiga dari penelitian ini adalah, apa proses-proses
yang ditempuh oleh warga Sukolilo dalam menggalang gerakan penolakan
pabrik semen?
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pabrik semen adalah semua kegiatan
yang termasuk di dalamnya dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Kegiatan tersebut adalah kegiatan penambangan batu kapur dan tanah liat,
pendirian pabrik pengolahan, dan transportasi bahan baku dari quarry site (daerah
penambangan) ke pabrik pengolahan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah
dipaparkan yaitu menganalisa gerakan sosial warga Pegunungan Kendeng.
Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya gerakan penolakan
pabrik semen yang dilakukan oleh warga Sukolilo.
2. Menganalisis sejauh mana modal sosial yang terdapat dan tumbuh di kalangan
warga Sukolilo digalang untuk membangun gerakan penolakan pendirian
pabrik semen.
3. Menganalisis proses-proses yang ditempuh dalam setiap tahap dinamika
gerakan oleh warga Sukolilo dalam menggalang gerakan penolakan pabrik
semen.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak, diantara lain:
1. Akademisi
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi mengenai
modal sosial dalam dinamika gerakan penolakan pendirian pabrik dan
kegiatan operasional PT Semen Gresik yang dilakukan oleh warga Sukolilo.
Selain itu diharapkan pula hasil dari penelitian ini dapat menambah khasanah
dalam kajian ilmu gerakan sosial dalam bentuk gerakan lingkungan.
2. Pemangku Kebijakan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan
bagi pemangku kebijakan dalam menyusun dan mengambil kebijakan
mengenai peraturan pemanfaatan sumber daya alam khususnya tentang
pertambangan.
3. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
masyarakat mengenai modal sosial dalam dinamika gerakan penolakan
pendirian pabrik PT Semen Gresik yang dilakukan oleh warga Sukolilo.
Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan warga Sukolilo
maupun warga Pegungan Kendeng pada umumnya sebagai bukti tambahan
dalam memperjuangkan hak-hak atas pengelolaan Pegunungan Kendeng.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Gerakan Sosial
Demo, pemboikotan, sabotase, dan hal-hal yang mengarah pada tindakan
anarki sering dikaitkan dengan gerakan sosial. Namun, tidak seluruh gerakan
sosial berujung destruktif seperti yang biasa dicap oleh warga. Menurut Martono
(2012), secara umum gerakan sosial dimaknai sebagai sebuah gerakan yang lahir
dari sekelompok individu untuk memperjuangkan kepentingan, aspirasi atau
menuntut adanya perubahan yang ditujukan oleh sekelompok tertentu, misalnya
pemerintah atau negara. Gerakan sosial merupakan bentuk dari kolektifitas orangorang di dalamnya untuk membawa atau menentang perubahan. Stzompka (2004)
memberikan batasan definisi gerakan sosial. Menurutnya, gerakan sosial harus
memiliki empat kriteria, pertama, adanya kolektivitas; kedua, memiliki tujuan
bersama, yaitu mewujudkan perubahan tertentu; ketiga, kolektivitasnya relatif
tersebar namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi formal; keempat,
tindakannya memiliki derajat spontanitas tinggi namun tidak terlembaga dan
bentuknya tidak konvensional.
Dalam salah satu penelitiannya, Paige (1975) mengemukakan bahwa
gerakan sosial terdiri atas aksi-aksi kolektif yang berada di luar kerangka
institusional normal suatu masyarakat dan melibatkan para peserta yang memiliki
beberapa kesamaan perasaan identitas. Suatu peristiwa dianggap kolektif jika
sumber menyebutkan lebih dari 10 peserta atau jika terdapat bukti tak langsung
mengenai peserta kelompok melalui penggunaan kata-kata yang mengandung arti
atau tindakan kolektif seperti rapat umum, kerusuhan, pemogokan, revolusi,
pemberontakan, atau kata-kata yang berkenaan dengan kolektifitas, seperti
gerombolan gerilya, serikat kerja, liga, partai, atau golongan. Paige juga
menambahkan bahwa hanya peristiwa-peristiwa kolektif non-institusional yang
pesertanya memiliki kesamaan identitas yang dianggap sebagai elemen pokok
suatu gerakan sosial.
Klandermans (2004) menjelaskan bahwa gerakan sosial adalah aksi kolektif
yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan yang sama dan solidaritas
yang berinteraksi secara berkelanjutan dengan elit dan pemegang kekuasaan.
Gerakan sosial merupakan penolakan kolektif. Mereka berfokus pada aksi
langsung yang menentang elit, pemegang kekuasaan, kelompok lain, atau budaya
lain. Gerakan sosial juga berfokus pada orang-orang yang mempunyai tujuan yang
sama dan solidaritas. Mereka menginginkan pemegang kekuasaan untuk
melakukan sesuatu, untuk merubah atau mengembalikan perubahan. Menurutnya,
kemunculan gerakan sosial disebabkan karena tiga hal. Pertama karena orangorang mengeluh, kedua karena orang-orang mempunyai sumberdaya untuk
dimobilisasikan, dan karena adanya kesempatan politik.
Pada penjelasan lain, karakteristik dari gerakan sosial adalah tergabung
dalam hubungan konflik dimana lawannya dapat diidentifikasi dengan jelas;
terhubung oleh ikatan informal; mempunyai identitas kolektif (De la Porta &
Diani, 2006 dikutip oleh Christiansen 2009). Gerakan sosial dapat diterjemahkan
sebagai organisasi maupun kelompok informal yang terhubung dengan konflik
6
ekstra institutional yang berorientasi pada tujuan. Tujuan ini dapat ditujukan pada
kebijakan yang spesifik atau samar serta untuk merubah perubahan budaya.
Tahapan dalam Gerakan Sosial
Suatu gerakan sosial memiliki dinamikanya masing-masing yang
berlangsung dari awal terbentuknya sebuah gerakan hingga gerakan itu akhirnya
menghilang. Oleh para sosiolog, tahapan dalam gerakan sosial disebut dengan life
cycle of social movement. Christiansen (2009) dalam tulisannya yang berjudul
„Empat Tahap dalam Gerakan Sosial‟ menjelaskan tahap-tahap yang terjadi dalam
gerakan sosial yang dikembangkan berdasarkan teori para sosiolog terdahulu,
mulai dari awal terbentuknya hingga terjadinya berakhirnya gerakan. Teori yang
digunakan oleh Christiansen (2009) merujuk pada teori yang dicetuskan oleh
Herbert Blumer (1951) dikutip oleh De la Porta dan Diani (2006). Dalam teori
yang dikeluarkan Blumer dikatakan bahwa di dalam suatu gerakan sosial akan
terjadi empat tahap, yaitu social ferment (gejolak sosial), popular excitement
(ketidakpuasan dan aksi yang lebih jelas), formalization (formalisasi), dan
institutionalization (institusionalisasi). Teori yang dicetuskan oleh Blumer
tersebut kemudian dikembangkan oleh Armand Mauss (1975). Dalam teorinya,
dikatakan bahwa dalam suatu gerakan sosial terdapat lima tahap didalamnya.
Tahapan dalam teori yang dikemukakan oleh Mauss yaitu incipiency (awal mula),
coalescene (penggabungan), institutionalization (institusionalisasi), fragmentation
(perpecahan), dan demise (kematian).
Dalam teori yang dikemukakan oleh Blumer (1951) yang dikutip oleh De
la Porta dan Diani (2006), dikatakan bahwa pada tahap social ferment (gejolak
sosial) dicirikan dengan adanya kegiatan yang tidak terorganisir dan tidak terfokus.
Di tahap kedua yaitu popular excitement, penyebab ketidakpuasan dan tujuan aksi
sudah terlihat lebih jelas. Pada tahap ketiga yaitu formalization (formalisasi),
dibentuk organisasi formal yang diperuntukan untuk mencapai tujuan gerakan
dengan mendisiplinkan partisipasi dan koordinasi strategi. Di tahap terakhir yaitu
tahap institutionalization (institusionalisasi), gerakan menjadi bagian dari
masyarakat dan mengkristal ke dalam struktur profesional.
Teori Blumer yang telah dijelaskan di atas kemudian dikembangkan oleh
Armand Mauss (1975) menjadi lima tahap. Tahap pertama dalam teori Mauss
adalah incipiency (awal mula). Dalam tahap ini ini Mauss (1975) mengutip
kalimat dari Blumer (1951) dalam tahap social ferment, yaitu dalam tahap ini
dicirikan dengan kegiatan yang tidak terkoordinasi dan tidak terorganisir, dengan
tidak adanya kepemimpinan atau keanggotan yang diakui, serta sedikitnya kontrol.
Tahap kedua dalam teori ini adalah coalescene (penggabungan) di mana dalam
tahap ini perkembangan gerakan ditandai dengan tindakan represif dan provokatif
kepada pemerintah atau lembaga-lembaga lain oleh masyarakat. Hal tersebut
terjadi sebagai akibat dari kekecewaan dari kegagalan yang dirasakan oleh
masyarakat terhadap kinerja dari pemerintah. Tahap ketiga adalah
institutionalization (institusionalisasi). Dalam tahap institusionalisasi gerakan
sudah terorganisir dan terkoordinasi secara luas serta sumber daya yang dimiliki
oleh masyarakat mulai digunakan. Di tahap ini proses politik seperti melobi dan
berkampanye juga telah dilakukan. Media massa mulai menganggapi dengan
serius, politisi mulai bersaing untuk mendukung, dan juga terdapat juru bicara
yang berfungsi pada saat diadakan pertmuan-pertemuan.
7
Tahap keempat dalam teori Mauss (1975) yaitu fragmentation
(perpecahan) terdapat beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya perpecahan.
Hal pertama yang menyebabkan perpecahan dalam gerakan sosial adalah adanya
perasaan bahwa hal-hal yang mereka perjuangkan telah berkembang ke arah yang
baik dan ancaman terhadap kebutuhan mereka sudah mulai mereda. Situasi ini
akan menyebabkan mereka beralih ke penyebab ketidaknyamanan yang lain atau
memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali. Mereka akan terpecah menjadi
bagian yang fanatik (yang tetap bertahan pada gerakan sebelumnya) atau keluar
dari gerakan. Penyebab kedua adalah mereka yang tetap berada dalam gerakan
memerangi sesama anggota mengenai strategi dan taktik. Terdapat kelompok
yang memutuskan untuk tetap menjaga keaslian perjuangan hingga keberhasilan
tercapai dan terdapat kelompok yang memilih untuk memodifikasi program.
Tahap terkahir atau tahap kelima dari teori yang dikemukakan oleh Mauss (1975)
demise (kematian). Dalam suatu gerakan, kematian jarang diakui sebagai
kematian. Sebaliknya, tahap ini mungkin didefinisikan sebagai keberhasilan dari
gerakan, karena mungkin sebagian besar tujuannya telah dicapai atau mungkin
sebaliknya, kematian dari suatu gerakan didefinisikan sebagai kemunduran.
Seiring dengan dinamika pengetahuan, para akademisi menamai ulang
tahap-tahap yang telah dicetuskan oleh sosiolog terdahulu yang membahas tentang
tahapan gerakan sosial. Berdasarkan tulisan Christiansen (2009), tahapan tersebut
terdiri dari emerge (kemunculan), coalescene (bergabung), bureaucratization
(formalisasi), dan decline (berakhirnya gerakan). Menurutnya, model empat tahap
ini memiliki kegunaan yang penting dalam memahami aksi kolektif dan
menyediakan bingkai analisis untuk para sosiolog dalam memahami gerakan
sosial mulai dari terbentuk, berkembang, dan menghilangnya suatu gerakan.
Selain itu, model empat tahap ini juga dapat digunakan untuk mengetahui dampak
pada masa lalu dan masa yang akan datang.
Pada tahap I yaitu emerge, individu merasa tidak puas dan tidak nyaman
dengan keadaan yang ada, baik karena disebabkan kebijakan atau kondisi sosial
tertentu, tetapi mereka tidak mengambil tindakan dan bergerak secara individu
(tidak secara kolektif). Pada tahap II yaitu coalescene, menjelaskan bahwa di
tahap ini tidak hanya perasaan umum mengenai ketidaknyamanan saja tapi sudah
mengkaji tentang apa penyebab ketidaknyamanan itu dan siapa atau apa yang
bertanggungjawab. Perasaan tidak puas tidak lagi menjadi perasaan individual dan
tidak terkoordinat, namun menjadi kolektif (Rex D. Hoppe 1950 dalam
Christiansen 2009). Dalam tahap ini gerakan yang dilakukan sudah terorganisir
dan membuat strategi. Pada tahap III yaitu bureaucratization, kekuatan politik
lebih besar daripada tahap-tahap sebelumnya. Banyak gerakan sosial yang gagal
pada tahap ini karena sulit bagi para anggota untuk tetap mengelola emosi untuk
terus mengejar kebutuhan dan mobilisasi sangat bergantung kepada partisipannya.
Tahap IV yaitu decline, Miller (1999) seperti yang dikutip oleh Christiansen
(2009) beragumen bahwa ada empat jalan dimana gerakan sosial mengalami
penuruan, yaitu represi, kooptasi, kekeberhasilan, dan kegagalan. Represi muncul
ketika pihak berwenang melakukan tindakan (kadang berupa kekerasan) untuk
mengontrol atau bahkan menghancurkan gerakan sosial. Kooptasi terjadi ketika
suatu gerakan memiliki ketergantungan yang tinggi pada otoritas dan karisma dari
pemimpin. Kooptasi dapat berlangsung ketika pemimpin pergerakan melakukan
kerjasama dengan pihak berwenang atau target dari gerakan. Pemimpin tersebut
8
menjadi terintegrasi dengan organisasi di luar gerakan dan memakai nilai-nilainya
daripada memakai nilai-nilai gerakan sosial itu sendiri. Yang ketiga adalah
keberhasilan. Tentu saja tidak semua gerakan sosial pada akhirnya hancur karena
represi atau kooptasi. Beberapa mengalami penurunan karena gerakan tersebut
telah berhasil. Gerakan lokal yang ukurannya kecil dengan tujuan-tujuan spesifik
biasanya mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu
keberhasilan. Yang terakhir adalah kegagalan. Kegagalan dari gerakan sosial baik
dari organisasi atau kegagalan strategis terjadi pada banyak organisasi.
Salah satu contoh decline dapat dilihat dari kasus yang diteliti oleh Hartoyo
(2010) di Lampung. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa dinamika agraria yang
terjadi pada tempat penelitannya berkahir pada involusi gerakan. Hal ini
disebabkan gerakan petani yang muncul dan berkembang di dalam struktur politik
yang sudah terbuka di era demokratisasi tidak mampu memperkuat dirinya dan
melakukan perubahan substansif nasib petani. Stagnasi gerakan petani terjadi
karena dalam proses penguatan struktur mobilisasi sumberdaya diwarnai
disorientasi perilaku para elit aktor yang konsekuensinya tidak dapat diprediksi
dan dikontrol. Selain itu penyebab stagnasi dari gerakan ini disebabkan struktur
sumberdaya mobilisasi melemah dan sifat struktural organisasi gerakan semakin
melekat pada sistem agraria yang mapan, sedangkan program perjuangan belum
terlembagakan.
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Sosial
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aji GB (2005) mengenai
Serikat Petani Pasundan (SPP), dijelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
terbentuknya Serikat Petani Pasundan adalah adanya kesadaran kritis, momentum
reformasi sebagai titik kebangkitan, dan kemiskinan petani akibat berkurangnya
lahan. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Hartoyo (2010) di Lampung,
gerakan sosial terjadi akibat adalanya ketimpangan penguasaan lahan dan
pemiskinan tani, serta ketegangan struktural agraria karena perubahan pola
penguasaan tanah. Selain itu, penyebab munculnya gerakan sosial yang terjadi di
Lampung karena adanya praktik penguasaan tanah komunitas oleh negara dan
perusahaan dengan cara tidak fair, konflik pertanahan, dan tumbangnya rezim
Orde Baru yang membuat kemunculan gerakan petani semakin banyak.
Berbeda dengan dua kasus di atas, pada kasus yang terjadi di Kalibakar
yang diteliti oleh Wahyudi (2009) terdapat beberapa faktor-faktor penyebab
timbulnya gerakan. Faktor-faktor tersebut adalah adanya aspek sejarah sosial
(tanah eks HGU perkebunan) dan kesalahan prosedur penerbitan HGU. Selain itu,
faktor-faktor penyebab munculnya gerakan sosial di Kalibakar disebabkan adanya
kemunculan tokoh reformis, pro dan kontra di kalangan masyarakat, dukungan
partai politik, soliditas, solidaritas, dan militansi di kalangan petani gerakan,
ketidak-berdayaan penegakkan keamanan, kondisi struktural Kalibakar, serta
terciptanya peluang karena kondusifitas iklim politik.
9
Definsi Gerakan Lingkungan
Menurut Diani (1995) yang dikutip oleh Rootes (2004), gerakan lingkungan
adalah jaringan interaksi informal yang terdiri dari individu-individu maupun
kelompok-kelompok yang tidak memiliki afiliasi organisasi maupun organisasi
dari berbagai derajat formalitas (termasuk partai politik, terutama Green Parties)
yang terlibat dalam aksi kolektif yang termotivasi oleh isu-isu lingkungan.
Jaringan tersebut umumnya longgar dan tidak terlembagakan, tetapi bentukbentuk aksi dan tingkat integrasi mereka bervariasi. Terkadang, gerakan
lingkungan tidak identik dengan organisasi yang menentang. Hanya ketika
organisasi (dan lainnya, biasanya pengorganisasian aktornya kurang formal)
terlibat dalam jaringan dan tindakan kolektif.
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Gerakan Lingkungan
Menurut Devall, Drengson, dan Schroll (2001) gerakan lingkungan memang
sudah memiliki sejarah yang panjang, namun gerakan lingkungan modern dimulai
sejak akhir 1960-an. Adanya efek yang nyata dari percepatan industrialisasi dan
eksploitasi sumberdaya alam membuat banyak orang peduli untuk melakukan
konservasi dan pencegahan. Kritik radikal untuk industrialisme kapitalis dan
demokrasi perwakilan yang terkait dengan yang kontra-budaya menciptakan
ruang publik untuk mengembangkan gerakan sosial baru. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Gadgil dan Guha (1994), karakter dari gerakan lingkungan
ini berbeda-beda di tiap negara. Negara-negara seperti Amerika, Kanada,
Australia dan Asia, dan negara-negara bagian utara lebih fokus kepada isu-isu
tentang polusi. Di Eropa Barat, isu lingkungan yang mendominasi adalah tentang
konsekuensi dari degradasi lingkungan terhadap manusia.
Dalam salah satu kasus di India, demonstrasi dilakukan oleh masyarakat
desa yang bertempat tinggal di sekitar Sungai Narmada karena mereka merasa
terpinggirkan dengan adanya pembangunan dam. Mereka melakukan gerakan
menentang adanya dam, karena dengan adanya dam akan mengganggu
keseimbangan ekosistem sungai dan dapat menyebabkan berbagai macam sumber
penyakit. Kasus ini adalah salah satu kasus dari beberapa kasus dimana salah satu
industri atau petani komersial mengintimidasi (seringkali dengan bantuan negara)
pemakai sumberdaya lain seperti petani miskin. Konflik ini diperparah bila terlihat
adanya degradasi lingkungan dari aktifitas perindustrian.
Tidak hanya sumberdaya air saja yang dipermasalahkan, pada tahun 1973
masyarakat India juga membuat gerakan lingkungan untuk menentang
komersialisasi hutan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja dan
membahayakan masyarakat di sekitar hutan. Di India, gerakan tidak sebatas pada
daerah aliran sungai dan hutan saja, di laut pun para nelayan melakukan gerakan
lingkungan yang diawali dengan adanya konflik antara nelayan tradisional dengan
nelayan modern (beroperasi dengan menggunakan trawl) yang melanggar batasbatas nelayan tradisional. Nelayan modern dianggap telah membahayakan
lingkungan karena peningkatan polusi. Aktifitas seperti penambangan juga
memberikan dampak negatif pada lingkungan karena telah menimbulkan
deforestasi, menghabiskan sumberdaya air, dan juga menyebabkan erosi.
10
Bentuk-Bentuk Gerakan Lingkungan
Menurut Rootes (2004), tidak semua hubungan dalam gerakan lingkungan
selalu mudah terlihat. Ketika gerakan sudah didirikan dengan baik, tindakan
bergeser dari protes yang sangat terlihat menjadi lobi yang kurang terlihat dan
bahkan melakukan keterlibatan yang konstruktif dengan pemerintah dan
perusahaan. Rootes menjelaskan bahwa gerakan lingkungan akar rumput
melibatkan hubungan antar bidang yang lebih luas di masyarakat. Dari
penelitiannya mencerminkan bahwa perempuan lebih percaya diri dalam
bertindak pada tingkat lokal daripada di ruang publik yang lebih luas. Dengan
demikian aktivitas lingkungan di tingkat akar rumput merupakan sarana penting
untuk pembelajaran sosial tentang isu-isu lingkungan, sebuah tempat belajar untuk
berpartisipasi, titik masuk untuk aktivitas dan isu-isu baru, sumber revitalisasi dari
gerakan lingkungan, dan sarana yang dibuat lebih representatif secara sosial.
Menurut Bruelle (2000) yang dikutip oleh Rootes (2004), penggunaan frames
yang berbeda oleh enviromentalis menimbulkan konsekuensi dalam cara mereka
berkampanye dan bentuk organisasi yang mereka adopsi. Organisasi gerakan
lingkungan yang berkomitmen pada konservasionisme atau ekologisme
mempunyai perbedaan dalam pemilihan strategi, taktik, dan bentuk aksinya. FoE
dan Greenpeace belajar dengan etik yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi
dengan yang berkuasa.
Di India, kelompok sains yang populer memainkan alat musik dengan
memainkan lagu-lagu daerah di seluruh bagian Kerala untuk meningkatkan
kesadaran akan deforestasi dan polusi. Di bagian Karntaka, tema tentang
kerusakan lingkungan disajikan dalam drama dan tari tradisional. Beberapa camp
juga didirkan untuk melakukan pemulihan lingkungan dengan mempromosikan
penghijauan kembali hutan. Walking tour juga disediakan untuk mengajak pada
donatur untuk mendonasikan tanah bagi yang tidak bertanah. Pada kasus
kerusakan di pesisir, para nelayan dibantu dengan beberapa organisasi melakukan
aksi yang bertujuan untuk: 1. Membuka kesadaran masyarakat tentang hubungan
antara air dan kehidupan dan untuk menginisiasi untuk melindungi air; 2.
Membangun jaringan kepada pihak-pihak berfokus pada bidang dengan isu ini; 3.
Meminta pemerintah agar membuat peraturan tentang keberlanjutan pemakaian
air dan untuk menguatkan keberadaan agen-agen pengatur air; 4. Menaksir
dampak yang sudah terjadi, mengidentifikasi area dan detail masalah, dan
mempraktekan peremajaan sumberdaya air; 5. Menyebarkan praktek konservasi
air dan memperbarui teknologi alat tangkap ikan (Gadgil dan Guha, 1994).
Selain melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatakan
kesadaran untuk peduli lingkungan, sebagai taktik dalam perjuangan dan
menumbuhkan kesadaran kritis, program-program mengenai perbaikan ekologi
pun dilakukan. Banyak organisasi yang mengorganisasi masyarakat untuk
melakukan penghijauan kembali, konservasi tanah dan air, dan mengadopsi
teknologi yang ramah lingkungan. Dalam dekade terakhir, banyak yang telah
membangun organisasi level makro untuk mengkoordinasikan berbagai macam
kelompok dan aktivitas.
11
Konsep Modal Sosial
Para peneliti banyak mengemukakan konsep-konsep tentang modal sosial,
beberapa diantaranya adalah James Coleman, Robert Putnam, dan Pierre Bourdie.
Masing-masing mengemukakan konsep modal sosial dari sudut pandang yang
berbeda. Putnam (1995) dalam tulisannya mengatakan, bahwa modal sosial
mengacu kepada jaringan, norma, dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama agar saling menguntungkan. Putnam juga mengatakan bahwa
jaringan berfungsi memfasilitasi koordinasi dan komunikasi, memperkuat reputasi,
dan memungkinkan dilema kolektif dapat dipecahkan. Dalam hal kepercayaan
sosial, korelasi erat antara kepercayaan sosial dan keanggotaan suatu ikatan tidak
hanya lintas waktu dan lintas individu, tetapi juga lintas negara. Dari survei World
Values Survey tahun 1991 ditemukan bahwa kepercayaan sosial dan keterlibatan
masyarakat sangat berkorelasi. Semakin besar kepadatan ikatan keanggotaan di
masyarakat, maka rasa semakin percaya warganya semakin besar. Kepercayaan
dan keterlibatan adalah dua sisi faktor dasar yang sama.
Dalam tulisan lain mengenai modal sosial, Uphoff (2000) yang dikutip oleh
Rosyida (2011) menjelaskan mengenai hubungan sosial (jaringan), norma, dan
kepercayaan. Menurutnya hubungan sosial (jaringan) merupakan pola-pola
hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non materi.
Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan
berbasis pada kebutuhan. Norma menurutnya merupakan kesepakatankesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama, sedangkan
kepercayaan menunjukkan norma tentang hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk
menjadi seseorang yang layak dipercaya.
Dalam beberapa fungsi penting kepercayaan, Mollering (2011) dalam
Dharmawan (2002) mengatakan bahwa kerjasama dapat berarti pula sebagai
proses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjadinya hubungan-hubungan
antar individu tanpa dilatar belakangi rasa saling curiga. Trust juga membantu
merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi
satu kesatuan. Dalam hubungan antara jaringan, kepercayaan, dan norma,
Dharmawan (2002) mengatakan bahwa masyarakat yang besar di atas jaringan
sosial yang kokoh hanya akan terbentuk bila trust telah tertanam dan berfungsi
secara operasional dan sesuai kesepakatan umum (dikukuhkan dan dikawal oleh
norma-norma umum) diantara anggota masyarakat yang bersangkutan.
Modal Sosial dalam Gerakan Sosial
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Edwards (2013), modal sosial paling
baik dipahami sebagai akses sosial ke sumber daya. Modal sosial adalah
penghubung dan konsep struktural yang mengacu pada kemampuan individu atau
kelompok dalam menggunakan hubungan dan posisi sosial mereka dalam
berbagai jaringan sosial untuk mengakses berbagai sumber daya. Walaupun
terdapat perbedaan-perbedaan, teori tributarian yang dikemukakan oleh Bourdieu,
Coleman and Lin mempunyai kecocokan untuk 3 alasan. Pertama, mereka melihat
modal sosial sebagai penghubung dan ditanamkan dalam jaringan dan konteks
sosial yang spesifik. Kedua, modal sosial, seperti sumber daya lainnya, bisa
didistribusikan secara merata, ataupun dapat diperoleh secara sepadan untuk
semua pelaku pergerakan sosial dalam suatu perkumpulan masyarakat. Ketiga,
12
ketiganya mengetahui bahwa konteks sosial mempengaruhi „nilai penggunaan‟
suatu modal sosial untuk pergerakan.
Kerangka Pemikiran
Perasaan ketidaknyamanan dan perasaan terancam yang disebabkan oleh
rencana masuknya pabrik semen untuk melakukan kegiatan penambangan dan
pendirian pabrik di kawasan Sukolilo merupakan salah penyebab timbulnya
gerakan penolakan ini. Perasaan terancam yang dirasakan oleh warga yang
bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng disebabkan karena Pegunungan
tersebut mempunyai sumber mata air bawah tanah, memilki berbagai macam
keanekaragaman hayati, serta terdapat lahan yang digunakan warga untuk bertani.
Sumber daya air dan keanekaragaman hayati berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan mereka salah satunya untuk mengairi ladang dan sawah baik pada
musim kemarau maupun pada saat musim hujan.
Sumber daya air yang terganggu kuantitas dan kualitasnya akibat aktifitas
pertambangan diduga akan menyebabkan penurunan produktiftas lahan pertanian
yang mereka garap maupun miliki. Dengan menurunnya produktifitas pertanian,
diduga akan menyebabkan perubahan pada pendapatan yang akan mempengaruhi
keberlangsungan kehidupan mereka. Data mengenai ketergantungan pada sumber
daya air dikumpulkan dengan metode kuantitatif. Faktor-faktor lain yang
menyebabkan timbulnya gerakan penolakan pendirian pabrik oleh warga
Pegunungan Kendeng akan diteliti dengan metode kualitatif dengan cara
melakukakan wawancara mendalam kepada beberapa informan, melakukan
observasi, serta dengan studi dokumentasi data sekunder.
Di sisi lain, modal sosial berupa norma, jaringan, dan kepercayaan yang
dimiliki oleh warga Pegunungan Kendeng, khususnya warga Sukolilo, diduga
turut memberi pengaruh terhadap setiap tahapan dalam dinamika gerakan.
Dinamika berlangsungnya proses gerakan penolakan pendirian pabrik PT Semen
Gresik berlangsung dari awal munculnya gerakan hingga tahap akhir dari gerakan.
Dinamika ini diawali dengan adanya emerge (kemunculan) kemudian dilanjutkan
dengan coalescene (penggabungan), bureaucratization )serta diakhiri dengan
decline (berakhirnya gerakan). Berkahirnya gerakan ditandai dengan keberhasilan
warga Pegunungan Kendeng untuk mencegah PT Semen Gresik mendirikan
pabrik. Secara ringkas kerangka analisis dapat digambarkan seperti berikut
13
Faktor-faktor
penyebab
timbulnya gerakan
penolakan pabrik
semen
Dinamika gerakan
penolakan
pendirian pabrik
semen
Keberhasilan
gerakan penolakan
pendirian pabrik
semen
Modal Sosial:
- Norma
- Jaringan
- Kepercayaan
Keterangan:
= Mempengaruhi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
1.
2.
Keberhasilan warga Sukolio dalam melakukan gerakan penolakan pabrik
semen dilatar belakangi oleh faktor-faktor penolakan yang kuat, yaitu
ancaman hilangnya lahan pertanian maupun non pertanian, ancaman
hilangnya sumber air, rusaknya ekologi pegunungan karst, kebijakan
pemerintah yang tidak sesuai dengan hukum, dan kekhawatiran akan
dampak sosial.
Keberhasilan warga Sukolilo mencegah pendirian pabrik semen dipengaruhi
modal sosial berupa norma, jaringan, dan kepercayaan yang terdapat dalam
setiap tahap dinamika gerakan penolakan.
Definisi Konseptual
1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gerakan lingkungan,
disebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem yang dapat mengancam
keberlangsungan hidup makhluk hidup di dalamnya. Adanya kegiatan
penambangan di sumber maupun di sekitar mata air dan di lahan-lahan
khususnya lahan pertanian, dikhawatirkan dapat mengganggu kuantitas dan
kualitas sumber air dan juga hilangnya lahan-lahan pertanian. Hal ini
dikhawatirkan akan berdampak pada keberlangsungan kehidupan mereka.
Dengan adanya efek yang nyata dari percepatan industrialisasi dan
eksploitasi sumberdaya alam tersebut, membuat banyak orang peduli untuk
melakukan konservasi dan pencegahan.
14
2.
Dalam penelitian ini beberapa faktor penyebab terjadinya gerakan penolakan
pendirian pabrik semen, yaitu ketergantungan warga terhadap sumber air
diteliti dengan menggunakan metode kuantitatif. Disamping itu, faktorfaktor lain penyebab ter