Analisis Tataniaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)

ANALISIS TATANIAGA TEBU
(Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)

AMSETYO NUGROHO PUTRO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis
Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Amsetyo Nugroho Putro
NIM H34090064

ABSTRAK
AMSETYO NUGROHO PUTRO. Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus:
Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah). Dibimbing oleh
RATNA WINANDI.
Tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula. Tebu
petani dapat dijual kepada pabrik gula untuk memenuhi permintaan pasar
akan gula. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi saluran, fungsi,
lembaga, dan struktur pasar pada sistem tataniaga tebu, serta menganalisis
efisiensi operasional tataniaga tebu dengan pendekatan marjin tataniaga,
farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan
wawancara dilakukan kepada petani di Kecamatan Trangkil dengan metode
purposive sampling, sedangkan metode mengikuti alur komoditi dilakukan
kepada lembaga tataniaga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4
saluran tataniaga dengan lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda

pada setiap salurannya. Berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share, dan
rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan saluran tataniaga satu
merupakan saluran yang paling efisien.
Kata kunci: Efisien, efisiensi, farmer’s share, Kecamatan Trangkil,
tataniaga tebu

ABSTRACT
AMSETYO NUGROHO PUTRO. Sugarcane Commerce Analysis (Case
Study: Trangkil district, Pati regency, Central Java). Guided by RATNA
WINANDI.
Sugarcane can be used as raw material for the manufacture sugar.
Cane farmers crops can be sold to sugar factories to meet the market
demand for sugar. Therefore, research is needed to find out about business
administration cane sugar in a comprehensive overview of business
administration. The purpose of this study is to identify the channel, function,
organization, and structure of the market in sugar cane business
administration systems, and analyze operational efficiency with a cane
trading system trading system margin approach, the farmer's share, and the
ratio of benefits to costs. Observations and interviews were conducted to
farmers in Sub Trangkil with purposive sampling method, while the method

of follow the flow of commodity is done to institutions trading system. The
results showed that there is a 4 channel trading system with institutions,
functions, and different market structures on each channel. Under margin
trading system, the farmer's share, and the ratio of benefits to costs shows
one channel trading system is the most efficient channels.
Keywords: efficiency, efficient, farmer’s share, Trangkil district, sugarcane
marketing

ANALISIS TATANIAGA TEBU
(Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)

AMSETYO NUGROHO PUTRO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah)
Nama
: Amsetyo Nugroho Putro
NIM
: H34090064

Disetujui oleh

Dr Ir Ratna Winandi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : ⦅ M|AZNャ⦅
セ Z@ M Z@
.:: ::miaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil,
Kab..:.. .:.'eE P Ii, Jawa Tengah)
: .-\111 - ,. ·0 . ' groho Putro
Nama
: H ' G@ ャセ@ - J6-l
NIM

Disetujui oleh

Dr Ir Ratna Winandi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh


Tanggal Lulus:

1 0 FEB 2014

PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah)”. Penulisan skipsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga tebu
yang tercipta di Kecamatan Trangkil, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga
tebu, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi, dan menganalisis saluran
mana yang lebih efisien berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan
rasio keuntungan terhadap biaya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku
dosen pembimbing yang memberikan bimbingan selama penulisan skripsi
dan penelitian berlangsung. Selain itu penulis berterima kasih kepada
kepada kedua orangtua Osner Silalahi dan Dorima Sihombing karena telah

memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama proses penulisan.
Terima kasih kepada sanak saudara Ir Walter Silalahi , Merry Sirait, Eva
Silalahi, Ridho Silalahi, Dwi Silalahi, Yogiman Sitanggang dan seluruh
sanak saudara yang turut serta membantu dan mendukung penulis. Tak lupa
juga penulis berterima kasih kepada sahabat dan kerabat Tyas Widyastini,
Zakky Raihan, Manaor Bismar, Mega Pratiwi, Winda Anggraini, Aditya
Maulana , Bobby Nasution, Raymond, Handi, Tommy, Taufik Arifin, dan
seluruh kerabat yang turut membantu dam proses penulisan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih
belum sempurna. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini
bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bogor, Februari 2014

Amsetyo Nugroho Putro

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6


Tujuan Penelitian

8

Manfaat Penelitian

8

Ruang Lingkup Penelitian

8

TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN

9
15

Kerangka Pemikiran Teoritis


15

Kerangka Pemikiran Operasional

22

METODE PENELITIAN

25

Lokasi dan Waktu Penelitian

25

Jenis dan Sumber Data

25

Metode Pengumpulan Data


25

Metode Pengolahan Data

26

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

28

KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

30

HASIL DAN PEMBAHASAN

33

Sistem Tataniaga

33

Saluran Tataniaga

33

Analisis Fungsi Tataniaga

36

Analisis Struktur Pasar

39

Analisis Perilaku Pasar

40

Analisis Marjin Tataniaga

43

Farmer’s share

47

Rasio Keuntungan terhadap Biaya

48

Efisiensi Saluran Tataniaga

50

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

50
50

Saran

51

DAFTAR PUSTAKA

51

LAMPIRAN

13

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012
Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012
(juta ton)
Perkembangan produksi gula tahun 2008-2012
Data harga gula di tingkat petani dan pabrik gula serta marjin
tataniaga tahun 2012
Produksi tebu di sentra penghasil tebu terbesar (ton)
Produksi tebu di sentra produksi tebu di Jawa Tengah tahn
2011
Harga tebu di tingkat petani dan di tingkat penjual serta marjin
tataniaga tebu tahun 2008-2012 di Jawa Tengah
Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia
Perbandingan struktur pasar
Sebaran jumlah penduduk di kecamatan Trangkil berdasarkan
mata pencaharian tahun 2012
Jumlah produksi tebu per kecamatan di kabupaten Pati tahun
2012
Sebaran petani responden berdasarkan usia di kecamatan
Trangkil tahun 2013
Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan
terakhir di kecamatan Trangkil tahun 2013
Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan di kecamatan
Trangkil tahun 2013
Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan
lahan di kecamatan Trangkil tahun 2013
Fungsi dan aktivitas dari petani dan setiap lembaga tataniaga
tebu di kecamatan Trangkil
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 1
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 2
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 3
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 4
Marjin tataniaga dari saluran tataniaga tebu di kecamatan
Trangkil tahun 2012
Analisis farmer's share pada saluran tataniaga tebu di
kecamatan Trangkil pada tahun 2012
Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran tataniaga tebu
di kecamatan Trangkil

1
2
3
3
6
6
7
11
19
29
30
31
31
32
32
37
43
44
44
45
46
48
49

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Kurva marjin tataniaga
Kerangka pemikiran operasional sistem tataniaga tebu
Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Sistem tataniaga tebu di kecamatan Trangkil tahun 2012

21
24
36

DAFTAR LAMPIRAN
1

2
3
4
5

Data petani responden berkaitan dengan alamat, usia,
pendidikan, luas lahan, produktivitas, produksi tebu, status
kepemilikan lahan dan rendemen tebu yang dihasilkan
Nilai farmer’s share pada setiap saluran tataniaga tebu di
kecamatan Trangkil
Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap
saluran tataniaga tebu di kecamatan Trangkil
Kuesioner penelitian
Dokumentasi penelitian

52
54
54
55
71

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 244 juta jiwa lebih
hingga tahun 2012 memicu bertambahnya permintaan pangan baik dalam jumlah,
mutu, dan keragamannya. Pertambahan jumlah penduduk tersebut tidak diimbangi
dengan pertumbuhan kapasitas produksi pangan domestik yang mengalami
hambatan adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan infrastruktur pangan
yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim usaha yang
kurang kondusif. Kapasitas produksi yang tidak dapat memenuhi peningkatan
permintaan kebutuhan pangan bisa mengakibatkan terjadinya impor pangan.
Kebijakan impor pangan yang meningkat menyebabkan stabilitas ketersediaan
pangan menjadi rentan karena bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain.
Tabel 1 Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012
Jumlah
Penduduk
(jiwa)

Beras
(ton)

2008

230 913 149

2009
2010

Daging
Sapi
(ton)

Jagung
(ton)

Kedelai
(ton)

24 220 688 020

8 900 000

2 291 000

2 440 568

281 000

234 913 149

24 011 553 560

8 800 000

2 349 000

2 522 647

314 000

237 641 326

23 941 246 680

9 800 000

2 407 000

2 606 619

353 000

2011

241 182 182

24 809 470 452

10 300 000

2 466 000

2 782 058

357 000

2012

244 775 796

25 032 241 554

10 700 000

2 525 000

2 873 613

326 000

Tahun

Gula (ton)

Sumber : Badan Pusat Statistik dan Badan Ketahanan Pangan, 2013 (Diolah)

Pada tabel 1 diketahui bahwa jumlah permintaan gula merupakan salah satu
komoditi yang terus mengalami peningkatan di Indonesia. Peningkatan kebutuhan
akan gula di Indonesia membuat pemerintah Indonesia menjadikan gula sebagai
salah satu dari lima komoditas strategis yang termasuk dalam program
swasembada gula. Hingga saat ini usaha swasembada pangan lima komoditi
strategis yakni kedelai, daging sapi, beras, dan jagung dinilai belum
memperlihatkan hasil yang optimal. melalui program peningkatan ketahanan
pangan nasional tahun 2012, terjadi peningkatan produksi pada beberapa
komoditas sumber pangan strategis yaitu, padi sebesar 2.74 persen, jagung sebesar
7.38 persen, dan daging sapi sebesar 6.67 persen, dan gula sebesar 23.32 persen,
sedangkan kedelai mengalami penurunan sebesar 8.24 persen dari tahun 2011 Hal
tersebut dilihat dari tingkat ketersediaan beberapa komoditas pangan domestik
yang masih bergantung kepada impor seperti kedelai, gula, dan daging sapi.
Indonesia mengimpor kedelai dari negara lain sebesar 70 persen, gula sebesar 54
persen, dan daging sapi 20 persen. Beras dan jagung juga diimpor dari negara lain
masing-masing sebesar 11 persen dan 5 persen (Badan Ketahanan Pangan
Nasional, 2013).. Gula merupakan salah satu komoditi strategis bahan pangan
yang mengalami peningkatan produksi terbesar pada tahun 2012.

2

Tabel 2 Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012 (juta ton)
Komoditas
Padi
Jagung
Kedelai
Gula
Daging Sapi

2008
60.32
16.32
0.77
2.30
0.39

2009
64.40
17.63
0.97
2.24
0.41

2010
66.47
18.33
0.91
2.21
0.43

2011
66.76
17.64
0.85
2.23
0.45

2012
68.59
18.94
0.78
2.75
0.483

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (Diolah)

Gula merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia dimana
pemerintah berkewajiban untuk menyediakan gula dalam jumlah yang sesuai pada
tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Selain sebagai komoditas
strategis, gula juga menjadi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat baik untuk
membuat minuman maupun sebagai bahan pendukung membuat makanan.
Banyaknya industri makanan dan minuman yang memanfaatkan gula dalam
produksinya memicu pemerintah untuk mampu menyediakan gula dalam jumlah
yang mencukupi sehingga tidak terjadi kekurangan gula baik dalam konsumsi
rumah tangga, maupun keperluan industri. Produksi gula dalam negeri hingga
tahun 2012 masih belum mampu memenuhi konsumsi gula nasional baik
konsumsi langsung atau konsumsi rumah tangga maupun konsumsi tidak
langsung atau keperluan industri. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk
menutupi kekurangan produksi gula tersebut adalah dengan melakukan impor
gula. Pada tahun 2012, produksi gula Indonesia untuk keperluan konsumsi adalah
sebesar 2.75 juta ton per tahun. Hal tersebut masih jauh dari target produksi untuk
memenuhi kebutuhan gula konsumsi yang mencapai 2.87 juta ton per tahun.
Konsumsi gula masyarakat Indonesia pada tahun 2012 mencapai 12 kg per kapita.
Hingga tahun 2012, kebutuhan gula untuk konsumsi rumah tangga secara nasional
mencapai 2.87 juta ton per tahun atau sekitar 250 ton per bulannya.
Program pemerintah pada tahun 2014 adalah terciptanya swasembada gula
nasional. Hal tersebut dimaksudkan bahwa Indonesia mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi gula nasional mulai dari produksi gula yang bersumber dari
areal tebu rakyat (252 166 ha) dan areal tebu swasta (198 131 ha). Target produksi
gula pada tahun 2013 adalah sebesar 2.8 juta ton dan 3.1 juta ton untuk tahun
2014. Penetapan target produksi gula tersebut melihat dari kondisi produksi gula
nasional (baik gula konsumsi maupun gula untuk keperluan industri) pada tahun
2012 yang mencapai 2.75 juta ton dari target 2.54 juta ton. Adanya perbedaan
antara target produksi dan realisasi produksi yang terjadi pada tahun 2012
memunculkan adanya gap yang cukup besar yaitu mencapai 0.21 juta ton atau
sekitar 7.6 persen dari target produksi gula pada tahun 2012.

3

Tabel 3 Perkembangan produksi gula tahun 2008-2012

Tahun

Areal
(ha)

2008
2009
2010
2011
2012

436 847
422 935
435 901
447 320
450 297

Produksi
Produksi
Tebu
Rendemen
Gula (juta
(juta
(%)
ton)
ton)
32.96
8.2
2.70
32.17
7.8
2.62
34.22
6.5
2.21
30.32
7.4
2.23
33.73
7.9
2.75

Konsumsi
Gula
Nasional
(juta ton)
4.03
4.13
4.55
4.67
5.20

Impor Gula
(juta ton)
1.82
1.60
2.91
2.60
2.53

Sumber : Kementrian Pertanian, 2013 (Diolah)

Berdasarkan tabel 3, konsumsi gula di Indonesia semakin mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya pertambahan
jumlah penduduk. Tingginya konsumsi gula nasional yang tidak diimbangi
dengan peningkatan produksi gula dalam negeri sehingga menyebabkan Indonesia
harus mengimpor gula untuk memenuhi kekurangan gula tersebut. Pada tahun
2012, harga gula mengalami fluktuasi dari Januari hingga Desember. Hal tersebut
dapat dilihat dari Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4 Data harga gula di tingkat pabrik dan di tingkat retail serta marjin
tataniaga tahun 2012
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember

Harga Gula (Rp/kg)
Marjin (Rp/kg)
tingkat pabrik
tingkat retail
7 400
8 700
1 300
8 200
9 700
1 500
8 100
9 600
1 500
8 050
9 900
1 850
8 100
9 900
1 800
9 000
10 800
1 800
8 777
10 700
1 923
9 300
11 000
1 700
8 700
10 500
1 800
8 500
10 200
1 700
8 500
10 200
1 700
8 400
10 200
1 800

Sumber : Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2013

Tabel 4 mengindikasikan adanya marjin atau selisih harga yang besar antara
harga di tingkat produsen ke pedagang perantara dengan harga dari pedagang
perantara ke konsumen akhir. Adanya marjin dalam tataniaga tebu menunjukkan
bahwa terdapat berbagai lembaga tataniaga yang turut berkontribusi. Semakin
tinggi marjin yang terjadi dalam tataniaga, maka semakin rendah penerimaan yang
didapatkan oleh petani karena marjin adalah jumlah biaya dengan keuntungan.
Menurunnya minat petani akibat rendahnya penerimaan petani tebu merupakan

4

salah satu penyebab ketidakberhasilan program swasembada gula selama satu
dekade terakhir (Tunggul, 2013). Apabila setiap lembaga tataniaga mengambil
keuntungan dari perannya, maka akan terjadi gap harga di petani dengan harga di
pasar. Petani sebagai produsen sekaligus penerima harga (price taker) sering
dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang terlebih dahulu mengetahui harga.
Selain itu, kelemahan petani juga terletak pada kurangnya informasi terhadap
pasar (mekanisme pasar) yang menyebabkan lemahnya posisi petani dalam rantai
tataniaga. Tabel 4 menyatakan bahwa harga gula pada tahun 2012 mengalami
fluktuasi baik di tingkat produsen maupun di tingkat pasar. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, fluktuasi harga timbul sebagai akibat adanya perubahan
jumlah konsumsi serta perubahan jumlah penawaran yang dapat dilihat dari
perubahan jumlah produksinya. Tingginya jumlah penawaran gula sangat
bergantung kepada produksi tebu. Hal tersebut dikarenakan tebu merupakan
bahan baku dalam produksi gula. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa tinggi
rendahnya produksi gula tidak hanya dipengaruhi oleh luas lahan dan produksi
tebu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh rendemen yang terkandung di dalam tebu
itu sendiri.
Tebu merupakan tanaman perkebunan musiman yang mengandung zat gula
pada batangnya yang digunakan sebagai bahan baku produksi gula dalam negeri.
Tebu hasil panen petani dapat dijual kepada pabrik gula untuk memenuhi
permintaan pasar akan gula. Berdasarkan Tabel 5, produksi tebu nasional dari
tahun ke tahun menunjukkan adanya fluktuasi. Faktor penyebab produksi tebu
yang berfluktuatif tersebut salah satunya adalah karena adanya perubahan dari
lahan yang digunakan dalam budidaya tebu.
Jumlah produksi yang dihasilkan petani tebu dapat mempengaruhi tingkat
pendapatan yang diterimanya. Semakin besar jumlah produksi, maka akan
semakin besar pula pendapatan yang diterimanya. Tetapi dalam kenyataannya,
tingkat pendapatan petani tebu tidak hanya dilihat dari jumlah produksi tebu saja.
Tinggi rendahnya pendapatan yang diterima petani juga dipengaruhi oleh harga
yang diterima dan biaya yang dikeluarkan. Strategi yang dilakukan oleh petani
untuk mengurangi tingginya biaya yang dikeluarkan salah satunya adalah dengan
memilih saluran tataniaga yang efisien. Tataniaga merupakan serangkaian fungsi
yang diperlukan dalam proses yang terkait dengan kegiatan distribusi dari
produsen (petani tebu) sampai dengan konsumen (pabrik gula). Serangkaian
fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan), dan fungsi fasilitas (pembiayaan,
resiko, standarisasi, dan grading). Pelaksanaan fungsi tersebut dilakukan oleh
kelompok atau individu yang disebut lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga
merupakan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan tataniaga,
menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen ke konsumen akhir, serta
mempunyai hubungan dengan usaha atau individu lainnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) jenis
lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu, terdiri dari petani tebu,
APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), kelompok tani, pedagang sari
tebu, penempur, dan pabrik gula. Lembaga tataniaga berperan dalam menjalankan
fungsi-fungsi tataniaga serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal
mungkin dengan imbalan yang disebut marjin tataniaga atau marjin tataniaga yang
terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan. Tinggi rendahnya marjin tataniaga

5

sering kali digunakan dalam menilai tingkat efisiensi tataniaga. Marjin tataniaga
yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi tataniaga yang tinggi
karena tinggi atau rendahnya marjin tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor
fisik tataniaga seperti pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Interpretasi
terhadap marjin tataniaga yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat banyak
pedagang perantara yang terlibat dalam proses tataniaga. Marjin yang tinggi
tersebut dinilai dapat diturunkan dengan memperpendek saluran tataniaganya.
Dalam kenyataannya, tinggi atau rendahnya marjin tataniaga tidak bergantung
pada banyaknya lembaga pamasaran yang terlibat, melainkan berdasarkan fungsi
yang dilakukan oleh lembaga tataniaga.
Peran pedagang perantara tersebut akan menyebabkan adanya marjin
tataniaga. Marjin tataniaga dalam saluran tataniaga melalui APTRI sebesar 17.71
persen , kelompok tani sebesar 20.68 persen , penempur 21.41 persen, dan
pedagang sari tebu sebesar 40.20 persen. Pemilihan saluran tataniaga (pedagang
perantara) yang dilakukan oleh petani bukan berdasarkan marjin tataniaga
melainkan berdasarkan farmer’s share (porsi harga yang dinikmati petani di
tingkat konsumen yang dalam hal ini adalah pedagang perantara). Persentase
farmer’s share yang diterima oleh petani tebu jika menjual ke APTRI adalah
sebesar 84.60 persen, sedangkan farmer’s share jika menjual ke kelompok tani
dan penempur hanya 70 persen dan farmer’s share jika menjual ke pedagang sari
tebu hanya sebesar 20 persen. Farmer’s share yang relatif lebih besar bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan dari selisih penerimaan (farmer’s share petani)
dikurangi biaya produksi (Soetrisniati, 2011).
Tujuan akhir dari tataniaga tebu adalah pabrik gula. Pabrik gula menggiling
tebu dari petani tebu untuk diproduksi menjadi gula. Tetapi dalam kenyataannya,
petani jarang melakukan penjualan langsung kepada pabrik gula karena adanya
penerapan sistem kualitas (grading) yang ketat oleh pabrik gula. Jarak antara
lokasi produksi dengan pasar juga dapat memberikan dampak pada biaya yang
dikeluarkan petani dalam hal transportasi. Semakin jauh lokasi tataniaga, maka
semakin besar pula biaya transportasi yang dikeluarkan oleh petani. Oleh karena
itu, petani lebih memilih memasarkan hasilnya melalui lembaga tataniaga yang
berperan sebagai pedagang perantara untuk membantu mendistribusikan tebu.
Penelitian yang dilakukan oleh Soestrisniati (2011) tersebut menunjukkan bahwa
setiap pedagang perantara (APTRI, pedagang sari tebu, kelompok tani, dan
penempur) mengambil marjin tataniaga yang dibebankan kepada petani tebu
sebagai akibat adanya aktivitas pendistribusian tebu sehingga posisi tawar petani
rendah dan pendapatan yang diterima petani juga menjadi rendah.
Indonesia mempunyai beberapa daerah penghasil tebu yang tersebar baik di
Jawa maupun di luar Jawa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tebu cocok untuk
ditanam di daerah tropis seperti Indonesia. Beberapa daerah penghasil tebu
terbesar di Indonesia disebut sebagai sentra produksi tebu. Sentra produksi tebu di
Indonesia terdapat di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tabel 5
menunjukkan bahwa rata-rata produksi tebu Provinsi Jawa Timur paling tinggi
dibandingkan sentra produksi lainnya seperti Provinsi Lampung dan Jawa Tengah.
Rata-rata produksi provinsi Jawa Tengah hanya mampu mencapai 4.87 juta ton
per tahun dan menempati produksi terbesar ketiga setelah Jawa Timur dan
Lampung. Rendahnya produksi tebu yang dihasilkan di Jawa Tengah disebabkan
oleh luas lahan yang rendah yaitu sebesar 61 176 ha dibandingkan dengan

6

Lampung (117 404 ha) dan Jawa Timur (200 594 ha) (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2012).
Tabel 5 Produksi tebu di sentra penghasil tebu terbesar (ton)
Produksi Tanaman Tebu (Ton)

Tahun
Lampung
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-Rata

Jawa Tengah

8 864 022.0
9 638 834.0
8 963 292.0
10 278 665.0
7 579 100.7
9 064 782.7

5 111 218.0
5 029 383.0
4 627 527.0
5 480 403.0
4 127 020.5
4 875 110.3

Jawa Timur
17 056 027.0
15 621 724.0
14 326 166.0
16 302 574.0
13 650 574.0
15 391 413.0

Sumber : DGI , 2013 (Diolah)

Kabupaten Pati memiliki luas areal perkebunan tebu terbesar di Provinsi
Jawa Tengah. Daerah produksi tebu di Kabupaten Pati mencapai total sebesar
23.3 persen dari total luas lahan tebu di Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2012).
Kondisi tersebut membuat Kabupaten Pati menarik untuk diketahui bagaimana
sistem tataniaga tebu yang akan berdampak pada pendapatan yang diterima petani
tebu di Kabupaten Pati melalui analisis fungsi tataniaga dengan menggunakan
pendekatan sistem tataniaga yang terjadi pada komoditi tebu di Kecamatan
Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Perumusan Masalah
Sentra produksi tebu di Jawa Tengah terletak di Kabupaten Pati, Sragen,
Tegal, Rembang, dan Kudus. Jumlah produksi tebu yang dihasilkan kelima
kabupaten tersebut merupakan jumlah terbesar diantara kabupaten lainnya di Jawa
Tengah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 yang menyatakan jumlah produksi
tebu di daerah sentra di Jawa Tengah.
Tabel 6 Produksi tebu di sentra produksi tebu di Jawa Tengah tahun 2011
Jumlah produksi
No
Kabupaten
Luas areal (ha)
(ton)
1
Pati
15 038.55
54 529.43
2
Sragen
9 019.00
32 885.21
3
Tegal
3 425.98
21 138.15
4
Rembang
5 594.00
20 579.15
5
Kudus
3 727.60
14 090.33
Sumber : BPS Jawa Tengah, 2012 (Diolah)

Kabupaten Pati merupakan penghasil tebu terbesar di Jawa Tengah. Hal
tersebut dapat dilihat dari jumlah tebu yang dihasilkan di Kecamatan Pati yaitu
sebesar 54 529.43 ton (BPS Jawa Tengah, 2012). Jumlah produksi yang

7

dihasilkan petani tebu dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterimanya.
Tetapi dalam kenyataannya, tingkat pendapatan petani tebu tidak hanya dilihat
dari jumlah produksi tebu saja. Tinggi rendahnya pendapatan yang diterima petani
juga dipengaruhi oleh penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Strategi yang
dilakukan oleh petani untuk mengurangi tingginya biaya yang dikeluarkan salah
satunya adalah dengan memilih saluran tataniaga atau tataniaga yang efisien.
Tabel 7 Harga tebu di tingkat petani dan di tingkat pabrik gula serta marjin
tataniaga tebu tahun 2008-2012 di Jawa Tengah
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012

Harga tebu di tingkat Harga tebu di tingkat
petani (Rp/Kg)
pabrik gula (Rp/Kg)
200
210
220
250
250
275
300
310
310
350

Marjin tataniaga tebu
(Rp/kg)
10
30
25
10
40

Sumber : Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2013 (Diolah)

Berdasarkan Tabel 7 mengindikasikan adanya marjin tataniaga tebu yang
terjadi karena adanya lembaga tataniaga yang turut berperan dalam memasarkan
tebu dari petani ke konsumen. Dalam sistem tataniaga suatu komoditi terdapat
variasi saluran tataniaga dengan alur tataniaga yang berbeda juga. Adanya
perbedaan alur tataniaga tersebut menyebabkan perbedaan dalam harga jual,
keuntungan, serta biaya tataniaga untuk masing-masing lembaga tataniaga
termasuk petani. Untuk meningkatkan keuntungan dan posisi tawar petani, maka
dapat digunakan saluran tataniaga yang efisien. Saluran tataniaga yang terbaik
adalah menjual tebu langsung ke pabrik gula tanpa melalui pedagang perantara
sehingga tidak terdapat marjin tataniaga. Fakta yang terjadi di lapangan
menunjukkan bahwa petani mengalami kendala modal dalam hal biaya
transportasi dari lokasi produksi tebu ke pabrik gula sehingga petani menjual tebu
kepada pedagang perantara, selain itu sistem standar kualitas (grading) yang ketat
terhadap tebu mengakibatkan petani enggan menjual langsung ke pabrik tebu
padahal petani tebu telah mengeluarkan biaya transportasi.
Standar kualitas yang diinginkan oleh pabrik gula terdiri dari persentase pol
tebu, kemurnian nira, dan jumlah nira. Hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
petani yang disebabkan oleh sistem penebangan tebu yang tidak baik, jarak yang
jauh antara lokasi produksi tebu dengan pabrik gula, dan waktu pengangkutan
yang terlalu lama karena faktor jarak (P3GI, 2008). Penerapan standar kualitas
tersebut mengakibatkan banyak tebu yang tidak diterima oleh pabrik gula. Hal
tersebut berdampak pada rendahnya harga yang diterima petani sehingga
keuntungan yang diterima oleh petani rendah.
Kendala yang dihadapi petani tersebut mengakibatkan posisi tawar
(bargaining position) rendah dalam pendistribusian tebu sehingga petani
membutuhkan peran pedagang perantara dalam mendistribusikan tebu ke pabrik
gula. Peran pedagang perantara tersebut menimbulkan struktur pasar yang tidak
sempurna (berbentuk Oligopsoni). Struktur pasar oligopsoni terdiri dari beberapa
penjual yang mempunyai modal dan pengaruh yang kuat daripada penjual.

8

Pembeli yang memiliki modal dan pengaruh yang kuat mengarah kepada
pedagang perantara. Pedagang perantara dalam tataniaga komoditi tebu dapat
berupa APTRI, Kelompok Tani, pedagang sari tebu dan penempur. Penjual dalam
struktur oligopoli adalah petani tebu yang biasanya memiliki posisi tawar yang
lebih rendah dari pembeli.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa produksi tebu di Jawa
Tengah cenderung mengalami fluktuatif bahkan pada tahun 2011 mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya. Selain jumlah produksi yang berfluktuatif,
tingkat harga tebu di petani dan pedagang juga mengalami fluktuasi tiap tahunnya.
Penentuan harga yang dilakukan oleh pedagang menyebabkan barganing position
petani lemah. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas tataniaga tersebut
layak untuk diteliti di Kabupaten Pati yang merupakan sentra produksi di Provinsi
Jawa Tengah. Penelitian di Kecamatan Trangkil bermanfaat untuk melihat
efisiensi sistem tataniaga yang dilihat dari marjin, farmer’s share , rasio biaya dan
keuntungan. Oleh karena itu, permasalahan tataniaga di Kabupaten Pati adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana sistem tataniaga tebu yang terjadi di Kecamatan Trangkil?
2.
Apakah sistem tataniaga sudah efisien dengan menganalisis marjin
tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan petani di
Kecamatan Trangkil?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil.
2.
Menganalisis tingkat efisiensi sistem tataniaga pada saluran tataniaga tebu
di Kecamatan Trangkil dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share,
dan rasio biaya dan keuntungan.
Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
4.

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:
Bagi petani, sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur
tataniaga tebu sehingga kesejahteraan petani meningkat.
Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan untuk
mengefisienkan tataniaga tebu.
Bagi pihak lain, sebagai bahan referensi dalam upaya penyempurnakan
masalah penelitian.
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi
penulis dan meningkatkan kompetensi dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh selama proses perkuliahan agribisnis.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Petani
yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah petani yang berada di

9

Kecamatan Trangkil yang melakukan usahatani tebu. Selain itu, lembaga tataniaga
yang menjadi responden adalah lembaga yang terlibat langsung dalam proses
tataniaga tebu seperti APTRI, Kelompok Tani, pedagang sari tebu, dan penempur.
Analisis penelitian ini dibatasi untuk melihat dan mengkaji saluran tataniaga
tebu di daerah penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan untuk
melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu.

TINJAUAN PUSTAKA
Tataniaga Agribisnis dari Aspek Ilmu Ekonomi
Tataniaga agribisnis adalah salah satu sub-sistem yang menjadi salah satu
faktor penentu dalam efisiensi dan efektivitas dari sistem agribisnis. Sistem
agribisnis tersebut terdiri dari sarana produksi pertanian (sub-sistem input),
usahatani (on farm), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian, serta sub-sistem
penunjang (penelitian, pembiayaan, informasi tataniaga, kebijakan tataniaga).
Asmarantaka (2012) menjelaskan tataniaga berdasarkan perspektif makro
merupakan kegiatan produktif yang mengalirkan produk mulai dari petani sebagai
produsen hingga konsumen akhir dengan tujuan pemenuhan kepuasan.
Pemenuhan kepuasan ini dilakukan dengan berbagai cara salah satunya
penambahan nilai guna dari berbagai aspek yaitu bentuk, tempat, waktu, dan
kepemilikan. Rahim dan Hastuti (2008) menyatakan hal serupa, bahwa dalam
tataniaga atau yang juga dapat dikatakan dengan pemasaran tidak hanya memiliki
arti menawarkan atau menjual barang tetapi tataniaga mencakup berbagai kegiatan
di antaranya penjualan, pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan penyortiran.
Tataniaga merupakan serangakaian tahapan aktivitas dan peristiwa dari
fungsi-fungsi yang terkoordinasi dalam pergerakan mengalirnya produk dan jasa
dari tangan produsen primer hingga ke konsumen akhir (Kohls dan Uhl, 2002).
Terdapat beberapa cara dalam melakukan pendekatan pada suatu sistem tataniaga.
Setiap pendekatan-pendekatan memiliki perspektif dasar dan cara berpikir sendiri
terhadap suatu proses tataniaga. Pendekatan yang umum digunakan adalah
melalui tiga pendekatan seperti yang didefinisikan Kohls dan Uhl (2002), yaitu
pendekatan fungsi, pendekatan kelembagaan, dan pendekatan sistem perilaku.
Boyd, Walker dan Larreche dalam Alda (2013) juga mendefinisikan tataniaga
sebagai suatu proses sosial dengan kegiatan yang memungkinkan pihak-pihak
terlibat mendapat apa yang dibutuhkan melalui pertukaran produk kepada pihak
lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, tujuan tataniaga adalah pencapaian
kepuasan kebutuhan konsumen untuk mencapai kepuasan tersebut melakukan
serangkaian kegiatan identifikasi, komunikasi, negosiasi, pengolahan terhadap
barang atau jasa yang diperjualbelikan.
Dalam tataniaga tebu proses penambahan nilai produk dilakukan dengan
cara menggilingkan tebu ke pabrik gula untuk menjadi gula. Tebu telah panen
selanjutnya dapat dijual petani kepada pedagang ataupun pabrik gula. Pabrik
penggilingan tebu dan pembuat gula kemudian menjual gula (nilai guna, bentuk,
kepemilikan, dan tempat). Gula merupakan nilai guna atau nilai tambah yang

10

yang terjadi dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Tebu mengalir mulai dari tingkat
petani sampai ke tangan konsumen akhir dalam bentuk gula.
Botani Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum) telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu
oleh bangsa Persia, Cina, India dan kemudian menyusul bangsa Eropa.
Penanaman tebu di Indonesia dimulai pada saat sistem tanam paksa yang
dilakukan oleh Belanda. Hal tersebut dilakukan oleh Belanda bertujuan untuk
memberi keuntungan besar untuk kas negara pemerintah kolonial Belanda.
Setelah sistem tanam paksa dihentikan, usaha perkebunan dilakukan oleh
pengusaha-pengusaha swasta. Akan tetapi, perluasan perkebunan tebu tidak
pernah melampaui Pulau Jawa karena tanaman tebu lebih sesuai untuk ditanam di
Pulau Jawa.
Dalam dunia tumbuhan, tanaman tebu tersusun dalam sistematika sebagai
berikut:
Kingdom
:
Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
:
Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
:
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
:
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
:
Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)
Subkelas
:
Commelinidae
Ordo
:
Poales
Famili
:
Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
:
Saccharum
Spesies
:
Saccharum officinarum L.
Sumber : Sutardja (2008)

Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai
sifat tersendiri sebab didalam batang tebu terdapat zat gula. Tebu berkembang
biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tanaman tebu memiliki
waktu pertumbuhan selama 12 hingga 18 bulan di iklim tropis dan dipanen sekitar
bulan Januari hingga Agustus. Tebu memiliki lima fase kehidupan yang meliputi
fase perkecambahan yang dimulai dengan pembentukan taji pendek dan akar stek
pada umur satu minggu dan diakhiri pada fase kecambah pada umur lima minggu,
fase pertunasan yang dimulai dari umur lima minggu sampai umur 3,5 bulan, fase
pemanjangan batang yang dimulai pada umur 3,5 bulan sampai sembilan bulan,
fase kemasakan yang merupakan fase yang terjadi setelah pertumbuhan vegetatif
menurun dan sebelum batang tebu mati. Pada fase ini kandungan gula di dalam
tebu mulai terbentuk hingga titik optimal dan setelah itu rendemennya akan turun
secara berangsur-angsur dan terakhir adalah fase kematian.

11

Tabel 8 Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia
Varietas
PS 851
PS 862
PS 863
PS 864
PS 865
PS 881
PS 882
PS 921
PSBM 901
PSCO 902
PSJT 941
Bululawang
Kentung
Kidang Kencana

Diameter Batang
Sedang
Besar
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang-besar
Sedang
Sedang-besar

Kemasakan
Awal-tengah
Awal-tengah
Awal-tengah
Tengahan-lambat
Awal-tengah
Awal
Awal-tengah
Tengahan
Awal-tengah
Sangat awal
Tengahan
Tengah-lambat
Awal-tengah
Tengah-lambat

Rendemen
10.74
10.87
11.75
8.34
9.38
10.22
10.19
8.53
9.93
10.99
10.18
7.51
8.33
9.51

Sumber : Kementrian Pertanian, 2009

Berbagai varietas tebu telah diluncurkan oleh Kementrian Pertanian untuk
meningkatkan produksi petani. Kualitas bibit tebu merupakan salah satu faktor
yang sangat menentukan keberhasilan pengusahaan tanaman tebu. Bibit tebu yang
baik adalah bibit yang cukup (lima sampai enam bulan), murni (tidak tercampur
varietas lain), bebas dari penyakit dan tidak mengalami kerusakan fisik. Pada
Tabel 8 dapat dilihat beberapa varietas tebu beserta ciri-cirinya.
Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula didalam batang tebu yang
dinyatakan dalam persen. Bila dikatakan rendemen tebu sebesar 10 persen, artinya
adalah bahwa dari 100 kg tebu yang digiling ke pabrik gula akan memperoleh
gula sebesar 10 kg (Sutardja, 2008). Akan tetapi fakta di lapangan rata-rata
rendemen petani tebu berkisar antara delapan sampai sepuluh persen. Terdapat
tiga macam rendemen, yaitu rendemen contoh, rendemen sementara, dan
rendemen efektif.
1.
Rendemen Contoh
Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah
suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Dengan kata lain
rendemen contoh bertujuan untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa
tingkat rendemen yang sudah ada sehingga dapat diketahui kapan saat tebang
yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen yang memadai.
Rumus : Nilai nira x Faktor rendemen = Rendemen
2.

Rendemen Sementara
Perhitungan ini dilakukan untuk menentukan bagi hasil gula, namun
sifatnya masih sementara. Hal ini untuk memenuhi ketentuan yang
menginstruksikan agar penentuan bagi hasil gula dilakukan secepatnya setelah
tebu petani digiling sehingga petani tidak menunggu terlalu lama sampai selesai
giling namun diberitahu dengan perhitungan rendemen sementara.
Rumus : Rendemen Sementara = Faktor Rendemen x Nilai Nira.

12

3.

Rendemen Efektif
Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling
habis dalam jangka waktu tertentu. Perhitungan rendemen efektif ini dapat
dilaksanakan dalam jangka waktu 15 hari atau disebut juga satu periode giling.
Apabila suatu pabrik gula mempunyai hari giling 150 hari, maka jumlah periode
giling adalah 150:15=10 periode. Hal ini berarti terdapat 10 kali rendemen efektif
yang bisa diberitahukan dan diperhitungkan kepada petani tebu.
Tebu yang digiling di suatu pabrik gula jelas hanya sebagian kecil saja yang
akan menjadi gula. Jika 100 kg tebu mempunyai rendemen 10 persen maka hanya
10 kg gula yang dapat dari satu kuintal tebu tersebut (Kantor Pelayanan Pajak
BUMN 2005).
Manfaat Tebu
Tebu (Sacharum officianarum) termasuk keluarga Graminae atau rumputrumputan dan berkembang biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas.
Tebu tumbuh di lebih dari 200 negara, India adalah terbesar kedua produsen gula
sedangkan penghasil terbesarnya adalah Brazil. Di Negara Karibia tebu diolah
menjadi Falernum dan dipergunakan sebagai bahan campuran coctail.
Selain sebagai bahan baku gula, tebu juga banyak khasiat sebagai obat,
khasiat tebu adalah sebagai berikut :
1.
Ekstrak sari tebu ditambah dengan jeruk nipis dan garam biasa di konsumsi
di India bertujuan untuk memberikan kekuatan gigi dan gusi.
2.
Air tebu dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh sakit tenggorokan dan
mencegah sakit Flu serta bisa menjaga badan kita agar sehat. Air tebu ini
pun dapat di konsumsi penderita diabetes sebagai pemanis karena kadar
gulanya rendah.
3.
Tebu bersifat alkali sehingga dapat membantu melawan kanker payudara
dan prostat.
4.
Tebu dapat dikonsumsi secara langung dengan cara dibuat jus, dibuat
menjadi tetes rum dan dibuat menjadi ethanol yang nantinya dapat
digunakan sebagai bahan bakar.
5.
Mengkonsumsi air tebu secara teratur dapat menjaga metabolisme tubuh
kita dari kekurangan cairan karena banyak kegiatan yang sudah dilakukan
sehingga dapat terhindar dari stroke. Dengan banyaknya kandungan
karbohidrat sehingga dapat menambah kekuatan jantung, mata, ginjal dan
otak. Membantu mengobat penyakit kuning karena memberi kekuatan untuk
hati yang menjadi lemah karena penyakit kuning. Membantu dalam menjaga
aliran air kencing yang jelas dan juga membantu ginjal agar dapat berfungsi
dengan baik (Ahira, 2011).
Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah
penelitian yang terkait terkait dengan sistem tataniaga tebu yang dilihat dari
konsep saluran dan lembaga tataniaga, fungsi, marjin tataniaga, famer’s share,
dan struktur pasar. Adapun penelitian terdahulu yang menjadi acuan yaitu
Rimbawan (2012) dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Tebu di Wilayah

13

Kerja Pabrik Gula Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah” dan Soetrisniati
(2011) dengan judul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus Desa Pulorejo,
Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)”.
Penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan (2012) dilakukan di wilayah
kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah menjelaskan bahwa terdapat
empat saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 meliputi petani, kelompok tani, dan
pabrik gula. Saluran tataniaga 2 meliputi petani, kelompok tani lahan swasta, dan
pabrik gula. Saluran tataniaga 3 meliputi petani, Koperasi Petani Tebu Rakyat
(KPTR), dan pabrik gula serta saluran tataniaga 4 yaitu petani dan pabrik gula.
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga adalah
fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang
dilakukan berupa pembelian dan penjualan yang dilakukan oleh petani, kelompok
tani lahan sewa, dan KPTR. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa
penanggulangan risiko dan pembiayaan dilakukan oleh kelompok tani dan
kelompok tani lahan swasta.
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani tebu dan kelompok tani mengarah
ke pasar persaingan sempurna karena jumlahnya yang banyak, produk yang
diperdagangkan homogen yaitu tebu, terdapat hambatan keluar masuk pasar dari
pinjaman kredit modal, serta harga dibentuk oleh mekanisme pasar lelang.
Struktur pasar yang dihadapi kelompok tani lahan swasta mendekati oligopoli
karena jumlahnya yang sedikit, sifat produk yang homogen, terdapat hambatan
keluar masuk pasar, serta harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar lelang.
Adapun struktur pasar yang dihadapi KPTR mendekati oligopoli, karena
jumlahnya yang sedikit, produk bersifat homogen, tidak ada hambatan keluar
masuk pasar, serta harga ditentukan oleh KPTR.
Perilaku pasar dapat diamati dari input-output sytem yang meliputi praktik
pembelian oleh KPTR dan investor gula, serta proses penjualan yang dilakukan
oleh petani, kelompok tani, kelompok tani lahan swasta, dan dan KPTR. Power
system meliputi penetapan harga tetap yang dilakukan oleh KPTR, harga gula
ditetapkan dari proses lelang yang menunjukkan bahwa posisi tawar petani tinggi
karena proses lelang diikuti oleh perwakilan petani. Comminication system
meliputi proses komunikasi antar lembaga tataniaga yang sangat informatif
dengan adanya sinder kebun dan lembar Surat Perintah Pengeluaran Gula (SPPG).
Serta system for adapting to internal and external change yang menjelaskan
bahwa kerja sama anat lembaga tataniaga gula terjalin atas proses jual, beli, dan
pengolahan.
Saluran tataniaga yang paling efisien pada sistem tataniaga tebu di wilayah
kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah adalah saluran tataniaga 4.
Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang kecil, famer’s share yang
besar, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar. Namun saluran
yang paling diminati oleh petani tebu adalah saluran tataniaga 3 karena lembaga
tataniaga pada saluran ini menawarkan kemudahan kepada petani.
Terdapat beberapa persamaan antara penelitian yang dilakukan Rimbawan
dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu komoditi yang diteliti yaitu tebu dan
metode analisis kuantitatif yang digunakan. Metode kuantitatif yang digunakan
terdiri dari marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya keuntungan yang
digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga tebu. Namun terdapat pula
perbedaan diantara kedua penelitian tersebut yaitu pada lokasi penelitian.

14

Penelitian yang Rimbawan dilakukan di wilayah kerja pabrik gula Sragi,
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, sedangkan penelitian yang akan dilakukan
berlokasi di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah.
Penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) dilakukan di Desa
Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur menjelaskan
bahwa terdapat empat saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 meliputi petani,
Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) dan pabrik gula. Saluran tataniaga 2
meliputi petani, kelompok tani dan pabrik gula. Saluran tataniaga 3 meliputi
petani, penempur dan pabrik gula. Saluran tataniaga 4 meliputi petani, pedagang
sari tebu dan konsumen.
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam
tataniaga tebu ini adalah fungsi pertukaran dilakukan oleh lembaga tataniaga dan
petani tidak melakukan kegiatan pembelian. Pada saluran 1 dan 2 petani
melakukan fungsi fisik yaitu pengangkutan. Fungsi fisik penyimpanan dilakukan
oleh APTRI dan pedagang sari tebu. Fungsi fasilitas penanggungan risiko,
pembiayaan dan informasi pasar dilakukan pada setiap lembaga tataniaga. Fungsi
sortasi dilakukan petani dan penempur. Fungsi pengolahan dilakukan oleh
pedagang sari tebu yang mengolah tebu menjadi minuman sari tebu.
Struktur pasar yang dihadapi petani, penempur dan pedagang sari tebu
mendekati pasar persaingan sempurna karena terdapat banyak penjual, produk
yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk keluar dan masuk pasar. Pasar
oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani karena sedikitnya penjual, sifat
produk homogen dan adanya kesulitan untuk keluar masuk pasar.
Perilaku pasar dapat dilihat dari praktik pembelian dan penjualan, sistem
penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga.
Praktik pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara langsung.
Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah tawar menawar antara petani dan
lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan penempur berdasarkan harga
lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah. Pembayaran hasil penjualan
dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama antar lembaga tataniaga
dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan kredit bagi petani untuk
usahatani tebu.
Saluran tataniaga yang efisien dalam sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo,
Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur adalah saluran tataniaga1.
Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang rendah, farmer’s share yang
besar dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar.
Dari uraian di atas diketahui bahwa terdapat beberapa kesamaan antara
penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) dengan penelitian yang akan
dilakukan. Kesamaan tersebut terletak pada komoditi yang diteliti yaitu tebu dan
metode analisis kuantitatif yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi
sistem tataniaga tebu, antara lain marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio
keuntungan biaya. Selain terdapat kesamaan, terdapat pula perbedaan anatar
keduanya, yaitu perbedaan lokasi penelitian. Soetrisniati melakukan penelitian di
Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur,
sedangkan penelitian yang akan dilakukan berlokasi di Kecamatan Trangkil,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

15

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau
batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian
yang akan dilakukan. Batasan-batasan tersebut terkait dengan variabel-variabel
yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah analisis
tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah terdiri dari
saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan
perilaku pasar. Selain itu variabel yang akan diteliti meliputi marjin tataniaga,
farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya untuk menilai efisiensi tataniaga
secara operasional.

Sistem Tataniaga
Definisi tataniaga adalah serangkaian fungsi yang diperlukan dalam
penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer
sampai ke konsumen akhir (Hammond dan Dahl, 1977). Kohl dan Uhl (2002)
menjelaskan bahwa tataniaga adalah seluruh aktivitas bisnis yang terlibat dalam
arus produk dan pelayanan dari titik awal produk tersebut dihasilkan hingga
produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Menurut Kotler (2002), tataniaga
adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan
apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan
secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Limbong
dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa tataniaga mencakup segala aktivitas yang
diperlukan dalam pemindahan hak milik yang menyelenggarakan saluran fisiknya
termasuk jas