Studi Variasi Fenotifik Keladi Merah (Caladium bicolor (W. Aint)Vent.) Hasil Kultur Jaringan.

ABSTRAK
MELIANA. Studi Variasi Fenotipik Keladi Merah (Caladium bicolor(W.Aint)Vent)
Hasil Kultur Jaringan. Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI dan EDHI SANDRA.
Keladi merah (Caladium bicolor(W.Aint)Vent.) Blume) merupakan salah satu
jenis tanaman hias daun. Secara konvensional, tanaman ini diperbanyak secara vegetatif
sehingga pembentukan genotipe-genotipe baru tergolong sempit. Upaya peningkatan
ragam genetik dilakukan dengan variasi somaklonal yaitu melalui organogenesis in vitro.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi variasi fenotipik keladi merah hasil
variasi somaklonal dari kultur jaringan. Bahan tanaman yang digunakan adalah daun
muda tanaman keladi merah. Media dasar yang digunakan adalah Murashige and Skoog
(MS) yang ditambahkan BAP 10 mg/l dan NAA 0,5 mg/l. Penelitian terdiri dari 3 tahap
yaitu inisiasi, multiplikasi dan aklimatisasi. Pada tahap inisiasi eksplan membentuk tunas
pada 8 MSK. Tahap multiplikasi dilakukan 2 kali dengan interval waktu 2 bulan; jumlah
akar menunjukkan nilai yang tinggi dibandingkan rerata jumlah daun dan tunas. Pada
tahap aklimatisasi parameter yang diamati adalah karakter morfologi dan warna daun
pada umur dua bulan setelah diaklimatisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
visual tanaman hasil multiplikasi memiliki karakter morfologi yang berbeda dengan
tanaman induknya. Dari hasil subkultur ke-1 diperoleh 5 tanaman sedangkan subkultur
ke-2 diperoleh 6 tanaman yang bervariasi.
Kata kunci : Caladium bicolor(W. Aint)Vent, Kultur jaringan, Variasi morfologi.


ABSTRACT
MELIANA. Study of Phenotypic Variation of Wild Cocoyam (Caladium bicolor
(W.Aint)Vent) Resulted from Tissue Cultures. Supervised by DIAH RATNADEWI and
EDHI SANDRA.
Wild cocoyam (Caladium bicolor(W.Aint)Vent) Blume) is one of the ornamental
leaf plants. Conventionally,this plant reproduces vegetatively. So, the generation of new
genotypes is rare. Effort to increase genetic variation of plant was conducted through
somaclonal variation in in vitro culture. The research goal is to identify the phenotypic
variation of wild cocoyam from tissue culture due to somaclonal variation. Young leaves
were taken as the plant material. Murashige and Skoog (MS) medium added with BAP 10
mg/l and NAA 0,5 mg/l used as the basic medium. The research had three steps:
initiation, multiplication and acclimatization which was done 2 times in time 2 month
interval. Roots were more abundant than the average number of leaves and buds. While at
the acclimatization step, morphological characters of leaves was observed at the age of 2
months after being acclimatized. The visual results of this research showed that
regenerated plants have morphological characters that were different from it’s parent. The
first subculture gained 5 plants while the second subculture gained 6 plants with
phenotypic variation.
Key words : Caladium bicolor(W. Aint)Vent, Tissue culture, Morphological variation.


PENDAHULUAN
Latar belakang
Keladi merah (Caladium bicolor
(W.Aint) Vent) merupakan salah satu
jenis tanaman hias dilihat dari bentuk
dan warna daunnya. Daun Caladium
mempunyai ukuran dan warna yang
bervariasi. Batang berbentuk bulat dan
membentuk umbi di bagian bawah
permukaan tanah. Bunganya berbentuk
bulat memanjang dan tertutup oleh
seludang yang dimanfaatkan untuk
tempat perkembangbiakan (Prihmantoro
1997). Bentuk dan keindahan warna
daunnya membuat tanaman ini sangat
cocok untuk tanaman lanskap dan
tanaman pot (Deng dan Harbaugh 2006).
Caladium berasal dari Amerika Selatan
terutama di daerah yang beriklim
tropika dan dijadikan sebagai sumber

pendapatan. Warna daun Caladium yang
indah serta perawatannya yang mudah
dan
tahan
lama
menyebabkan
permintaan akan jenis tanaman ini
meningkat (Ali et al. 2007).
Pada
umumnya
Caladium
diperbanyak
dengan umbinya.
Perbanyakan dengan cara tersebut
menyebabkan
kecilnya
peluang
pembentukan genotipe-genotipe baru,
produksi bibit dihasilkan dalam waktu
yang lama serta menjadi rentan terhadap

hama dan penyakit (Gill et al. 1994;
Deng et al. 2007). Maka dibutuhkan
produksi benih tanaman Caladium
secara lebih cepat, serta bebas dari hama
dan penyakit. Salah satu teknik yang
digunakan
untuk
mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan
perbanyakan melalui kultur jaringan.
Perbanyakan
in
vitro
dapat
dilakukan dengan menggunakan dua
cara yaitu melalui organogenesis dan
embriogenesis. Organogenesis adalah
suatu proses untuk membentuk dan
menumbuhkan tunas dari jaringan
meristematik.

Regenerasi
eksplan
menjadi organ dan planlet dapat
diperoleh melalui jalur organogenesis
langsung
dan
tidak
langsung.
Organogenesis langsung yaitu eksplan
langsung
menumbuhkan
sel

meristematik
yang
kemudian
berdiferensiasi menjadi organ (tunas,
daun
atau
akar),

sedangkan
organogenesis tidak langsung terjadi
pembentukan kalus terlebih dahulu
(Hadipoentyanti
et
al.
2008).
Embriogenesis
merupakan
proses
perkembangan sel vegetatif atau sel-sel
somatik yang diperoleh dari berbagai
sumber eksplan (Zulkarnain 2009).
Dalam penelitian ini proses kultur
jaringan akan dilakukan melalui
organogenesis langsung yaitu dengan
induksi tunas.
Kelebihan dari teknik kultur
jaringan tanaman adalah dapat juga
menghasilkan keanekaragaman fenotipe.

Pada tanaman hias, hal itu justru
seringkali diharapkan dan memiliki nilai
jual yang tinggi. Keanekaragaman
fenotipe yang timbul dari proses
mikropropagasi disebut keragaman
somaklonal. Keragaman somaklonal
dapat muncul akibat faktor fisiologis,
faktor biokimia, faktor genetik tanaman,
atau oleh faktor lingkungan (Larkin dan
Scowcroft 1981). Fenomena variasi
somaklonal tersebut dapat ditunjukkan
dengan adanya daun tanaman yang
mengalami albino, tanaman menjadi
kerdil (pendek), perubahan bentuk dan
warna daun, batang, bunga, ukuran
umbi, ketajaman dan variasi daun
(Kumar 1995).
Hasil
penelitian
menunjukkan

beberapa tanaman yang mengalami
variasi somaklonal adalah Tulip
(Podwyszynska
2005),
Artemisia
(Aisyah et al. 2000), Caladium
(Hartman 1974). Kemudian pada tahun
1981 Lecouffe menemukan kultivar baru
dari
Caladium
yang dinamakan
“Marcel”. Variasi somaklonal tidak
terjadi pada semua tanaman; seperti
yang dilaporkan oleh Fatimah (2008)
bahwa pada
tanaman
Typonium
flagelliforme Lodd. Blume. Morfologi
benih tanaman asal kultur kalus tidak
berbeda dengan benih asal kultur

jaringan maupun benih konvensional.
Variasi somaklonal sangat diharapkan
dalam pemuliaan tanaman yaitu untuk
menghasilkan kultivar baru yang

2

memiliki keunggulan-keu
eunggulan dari
pada tanaman asalnya.. B
Berbagai cara
dilakukan oleh para ppeneliti untuk
menghasilkan keragaman
an pada suatu
tanaman; diantaranya den
engan perlakuan
zat pengatur tumbuhh kuat atau
mma. Penelitian
menggunakan sinar gamm
engatur tumbuh

ini, menggunakan zat pen
konsentrasi tinggi dan eksplan daun
ah untuk melihat
menggulung keladi merah
variasi yang ditimbulkan..
Tujuan
ertujuan untuk
Penelitian ini bert
fenotipik keladi
mengidentifikasi variasi fe
olor (W. Ait)
merah (Caladium bicolo
omaklonal dari
Vent.) hasil variasi som
kultur jaringan.

Media MS (Murashigee and
a Skoog)
1),
6(Tabel

Lampiran
AP),
αBenzylaminopurine
(BA
AA), bahan
naphthalenacetic acid (NA
jen, Bayclin
untuk sterilisasi (deterjen
,5%, Agrept 1
(5,25% NaClO) 5% dan 2,5%
g/l, Dithane M-45 1 g/l dan
da aquades
steril.
Metode
Pemilihan eksplan
akan adalah
Eksplan yang digunak
daun muda yang masih menggulung
m
dari
berumur 1 minggu dan terbebas
ter
hama dan penyakit.

NELITIAN
METODOLOGI PEN
Waktu dan Tempat
kan pada bulan
Penelitian dilaksanaka
Oktober 2010 hinggaa Mei 2011
atorium Kultur
bertempat di Laborato
iologi, Fakultas
Jaringan Departemen Bio
Matematika dan Ilmuu Pengetahuan
Bogor.
Alam, Institut Pertanian Bo
Alat dan Bahan
nakan adalah
Alat yang diguna
pipet ukur, gelas
timbangan, erlenmeyer,, pip
steril, autoklaf,
ukur, pengaduk, botol st
gunting, bunsen,
alumunium foil, pinset, gu
abinet (LAFC),
Laminar Air Flow Cab
p.
cawan petri, plastik wrap.
unakan adalah
Bahan yang digun
Gambar 1) yang
tanaman keladi merah (Ga
torium Kultur
diambil dari Laborato
rtemen Biologi.
Jaringan Unit Uji, Departe

tanaman keladi
Gambar 1 Indukan tan
merah.

lung yang
Gambar 2 Daun menggulun
agai eksplan.
digunakan sebaga
Pembuatan media
akan untuk
Botol yang digunak
penyimpanan kultur adalahh botol selai
tol dicuci dan
dengan ukuran 200 ml. Botol
menggunakan
disterilkan terlebih dahulu me
nit pada suhu
autoklaf selama ± 20 menit
121°C. Selanjutnya adalahh pembuatan
akan
labu
media
MS
menggunak
Larutan hara
Erlenmeyer 1000 ml. La
min, sukrosa,
makro, hara mikro, vitami
a, kemudian
dicampurkan hingga rata,
ditambahkan ZPT BAP 10 mg/l dan
uran larutan
NAA 0,5 mg/l. Campur
diencerkan
tersebut
kemudian
gga volume 1
menggunakan aquades hingg
iukur dengan
l. Setelah itu, pH larutan diu
saran 5,6-5,8.
pH meter hingga pada kisar
h pemberian
Tahap selanjutnya adalah
udian larutan
agar sebanyak 8 g/l, kemud
dituangkan ke
media dididihkan. Media dit
asing-masing
dalam botol kultur mas
sebanyak 25 ml. Botol yangg telah berisi
lam autoklaf
media lalu disterilkan dala
selama 20 menit pada suhuu 121°C dan

2

memiliki keunggulan-keu
eunggulan dari
pada tanaman asalnya.. B
Berbagai cara
dilakukan oleh para ppeneliti untuk
menghasilkan keragaman
an pada suatu
tanaman; diantaranya den
engan perlakuan
zat pengatur tumbuhh kuat atau
mma. Penelitian
menggunakan sinar gamm
engatur tumbuh
ini, menggunakan zat pen
konsentrasi tinggi dan eksplan daun
ah untuk melihat
menggulung keladi merah
variasi yang ditimbulkan..
Tujuan
ertujuan untuk
Penelitian ini bert
fenotipik keladi
mengidentifikasi variasi fe
olor (W. Ait)
merah (Caladium bicolo
omaklonal dari
Vent.) hasil variasi som
kultur jaringan.

Media MS (Murashigee and
a Skoog)
1),
6(Tabel
Lampiran
AP),
αBenzylaminopurine
(BA
AA), bahan
naphthalenacetic acid (NA
jen, Bayclin
untuk sterilisasi (deterjen
,5%, Agrept 1
(5,25% NaClO) 5% dan 2,5%
g/l, Dithane M-45 1 g/l dan
da aquades
steril.
Metode
Pemilihan eksplan
akan adalah
Eksplan yang digunak
daun muda yang masih menggulung
m
dari
berumur 1 minggu dan terbebas
ter
hama dan penyakit.

NELITIAN
METODOLOGI PEN
Waktu dan Tempat
kan pada bulan
Penelitian dilaksanaka
Oktober 2010 hinggaa Mei 2011
atorium Kultur
bertempat di Laborato
iologi, Fakultas
Jaringan Departemen Bio
Matematika dan Ilmuu Pengetahuan
Bogor.
Alam, Institut Pertanian Bo
Alat dan Bahan
nakan adalah
Alat yang diguna
pipet ukur, gelas
timbangan, erlenmeyer,, pip
steril, autoklaf,
ukur, pengaduk, botol st
gunting, bunsen,
alumunium foil, pinset, gu
abinet (LAFC),
Laminar Air Flow Cab
p.
cawan petri, plastik wrap.
unakan adalah
Bahan yang digun
Gambar 1) yang
tanaman keladi merah (Ga
torium Kultur
diambil dari Laborato
rtemen Biologi.
Jaringan Unit Uji, Departe

tanaman keladi
Gambar 1 Indukan tan
merah.

lung yang
Gambar 2 Daun menggulun
agai eksplan.
digunakan sebaga
Pembuatan media
akan untuk
Botol yang digunak
penyimpanan kultur adalahh botol selai
tol dicuci dan
dengan ukuran 200 ml. Botol
menggunakan
disterilkan terlebih dahulu me
nit pada suhu
autoklaf selama ± 20 menit
121°C. Selanjutnya adalahh pembuatan
akan
labu
media
MS
menggunak
Larutan hara
Erlenmeyer 1000 ml. La
min, sukrosa,
makro, hara mikro, vitami
a, kemudian
dicampurkan hingga rata,
ditambahkan ZPT BAP 10 mg/l dan
uran larutan
NAA 0,5 mg/l. Campur
diencerkan
tersebut
kemudian
gga volume 1
menggunakan aquades hingg
iukur dengan
l. Setelah itu, pH larutan diu
saran 5,6-5,8.
pH meter hingga pada kisar
h pemberian
Tahap selanjutnya adalah
udian larutan
agar sebanyak 8 g/l, kemud
dituangkan ke
media dididihkan. Media dit
asing-masing
dalam botol kultur mas
sebanyak 25 ml. Botol yangg telah berisi
lam autoklaf
media lalu disterilkan dala
selama 20 menit pada suhuu 121°C dan

3

tekanan 17,5 psi. Setelah itu, media
disimpan selama 3 hari pada suhu
ruangan, untuk memastikan ada
tidaknya kontaminasi pada media
tersebut.
Sterilisasi Alat dan Eksplan
Sterilisasi botol, cawan petri, alatalat
diseksi
dilakukan
dengan
menggunakan autoklaf pada tekanan
17,5 psi pada suhu 121ºC selama 30
menit. Mula-mula bahan eksplan dicuci
menggunakan air kran selama 15 menit,
lalu dipotong selebar ± 5 cm,
selanjutnya direndam didalam deterjen
selama 5-7 menit, lalu dibilas dengan air
kran.
Tahap selanjutnya dilakukan di
dalam LAFC (Laminar Air Flow
Cabinet) secara aseptik. Potonganpotongan
daun direndam dalam
bakterisida (Agrept 1 g/l) selama 30
menit, kemudian dalam fungisida
(Dithane
1 g/l) selama 15 menit,
selanjutnya dibilas hingga bersih dengan
aquades steril. Eksplan dipindahkan ke
dalam botol kultur steril. Selanjutnya
dilakukan sterilisasi bertingkat dengan
Bayclin (5,25% NaClO) sebanyak 5%
selama 10 menit dan 2,5% selama 5
menit. Setiap penggantian bahan
sterilan, dilakukan pembilasan dengan
aquades steril sebanyak 3 kali. Eksplan
yang
telah
disterilkan
dipotong
sepanjang 1 cm dan ditanam dalam
media yang telah disiapkan.
Fase Inisiasi dan Multiplikasi
Penanaman dilakukan secara aseptik
di LAFC. Tahap inisiasi menggunakan
zat pengatur tumbuh BAP 10 mg/l yang
dikombinasikan dengan NAA 0,5 mg/l.
Pada tahap multiplikasi dilakukan
pemisahan propagul dan ditanam dalam
media dengan komposisi yang sama. Hal
tersebut dilakukan sebanyak 2 kali,
subkultur ke-1 dan subkultur ke-2
dengan interval waktu 2 bulan.
Pemeliharaan kultur
Kultur disimpan pada ruangan
dengan suhu 25°C, intensitas cahaya
sebesar 1000 Lux selama 16 jam/hari.

Aklimatisasi
Planlet dari subkultur ke-1 dan ke-2
dikeluarkan dari botol kultur untuk
diaklimatisasi.
Planlet
yang
diaklimatisasi adalah mempunyai tinggi
± 5 cm, jumlah akar dan daun lebih dari
3. Aklimatisasi dilakukan dengan
menggunakan tanah, sekam dan pupuk
kompos dengan perbandingan 1:1:1
dalam polybag. Planlet dicuci bersih
dengan menggunakan air kran, agar
media tidak menempel pada planlet.
Selanjutnya pot disimpan dengan
penyungkupan selama 2 minggu,
kemudian
secara berangsur-angsur
sungkup dibuka.
Pengamatan
Pengamatan awal dilakukan 3-4 hari
setelah pengkulturan untuk melihat
kemungkinan terjadinya kontaminasi.
Pengamatan
selanjutnya
dilakukan
dalam 2 tahap, yaitu:
a. Pengamatan di laboratorium meliputi
saat muncul tunas, jumlah tunas, saat
muncul daun, jumlah daun, saat
muncul akar dan jumlah akar, yang
diamati seminggu sekali selama 7
minggu.
b.Pengamatan di fase aklimatisasi
meliputi parameter ketahanan hidup,
tinggi tanaman, panjang daun, lebar
daun, jumlah daun, warna dan bentuk
daun.
HASIL
Fase Inisiasi
Untuk tahap inisiasi, bahan eksplan
yang digunakan dipilih terlebih dahulu
dari indukan, yaitu masih muda berumur
± 1 minggu dan terbebas dari serangan
penyakit. Media dengan kombinasi BAP
10 mg/l dan NAA 0,5 mg/l
menunjukkan pertumbuhan tunas pada 8
MSK
(minggu
setelah
kultur).
Pertumbuhan setelah inokulasi pada 1
MSK sampai 8 MSK disajikan pada
Gambar Lampiran 8. Eksplan yang
berhasil tumbuh dalam media sebanyak
20 dari 30 eksplan. Kontaminasi
umumnya terjadi 3 hari setelah
inokulasi. Tingkat kontaminasi pada

3

tekanan 17,5 psi. Setelah itu, media
disimpan selama 3 hari pada suhu
ruangan, untuk memastikan ada
tidaknya kontaminasi pada media
tersebut.
Sterilisasi Alat dan Eksplan
Sterilisasi botol, cawan petri, alatalat
diseksi
dilakukan
dengan
menggunakan autoklaf pada tekanan
17,5 psi pada suhu 121ºC selama 30
menit. Mula-mula bahan eksplan dicuci
menggunakan air kran selama 15 menit,
lalu dipotong selebar ± 5 cm,
selanjutnya direndam didalam deterjen
selama 5-7 menit, lalu dibilas dengan air
kran.
Tahap selanjutnya dilakukan di
dalam LAFC (Laminar Air Flow
Cabinet) secara aseptik. Potonganpotongan
daun direndam dalam
bakterisida (Agrept 1 g/l) selama 30
menit, kemudian dalam fungisida
(Dithane
1 g/l) selama 15 menit,
selanjutnya dibilas hingga bersih dengan
aquades steril. Eksplan dipindahkan ke
dalam botol kultur steril. Selanjutnya
dilakukan sterilisasi bertingkat dengan
Bayclin (5,25% NaClO) sebanyak 5%
selama 10 menit dan 2,5% selama 5
menit. Setiap penggantian bahan
sterilan, dilakukan pembilasan dengan
aquades steril sebanyak 3 kali. Eksplan
yang
telah
disterilkan
dipotong
sepanjang 1 cm dan ditanam dalam
media yang telah disiapkan.
Fase Inisiasi dan Multiplikasi
Penanaman dilakukan secara aseptik
di LAFC. Tahap inisiasi menggunakan
zat pengatur tumbuh BAP 10 mg/l yang
dikombinasikan dengan NAA 0,5 mg/l.
Pada tahap multiplikasi dilakukan
pemisahan propagul dan ditanam dalam
media dengan komposisi yang sama. Hal
tersebut dilakukan sebanyak 2 kali,
subkultur ke-1 dan subkultur ke-2
dengan interval waktu 2 bulan.
Pemeliharaan kultur
Kultur disimpan pada ruangan
dengan suhu 25°C, intensitas cahaya
sebesar 1000 Lux selama 16 jam/hari.

Aklimatisasi
Planlet dari subkultur ke-1 dan ke-2
dikeluarkan dari botol kultur untuk
diaklimatisasi.
Planlet
yang
diaklimatisasi adalah mempunyai tinggi
± 5 cm, jumlah akar dan daun lebih dari
3. Aklimatisasi dilakukan dengan
menggunakan tanah, sekam dan pupuk
kompos dengan perbandingan 1:1:1
dalam polybag. Planlet dicuci bersih
dengan menggunakan air kran, agar
media tidak menempel pada planlet.
Selanjutnya pot disimpan dengan
penyungkupan selama 2 minggu,
kemudian
secara berangsur-angsur
sungkup dibuka.
Pengamatan
Pengamatan awal dilakukan 3-4 hari
setelah pengkulturan untuk melihat
kemungkinan terjadinya kontaminasi.
Pengamatan
selanjutnya
dilakukan
dalam 2 tahap, yaitu:
a. Pengamatan di laboratorium meliputi
saat muncul tunas, jumlah tunas, saat
muncul daun, jumlah daun, saat
muncul akar dan jumlah akar, yang
diamati seminggu sekali selama 7
minggu.
b.Pengamatan di fase aklimatisasi
meliputi parameter ketahanan hidup,
tinggi tanaman, panjang daun, lebar
daun, jumlah daun, warna dan bentuk
daun.
HASIL
Fase Inisiasi
Untuk tahap inisiasi, bahan eksplan
yang digunakan dipilih terlebih dahulu
dari indukan, yaitu masih muda berumur
± 1 minggu dan terbebas dari serangan
penyakit. Media dengan kombinasi BAP
10 mg/l dan NAA 0,5 mg/l
menunjukkan pertumbuhan tunas pada 8
MSK
(minggu
setelah
kultur).
Pertumbuhan setelah inokulasi pada 1
MSK sampai 8 MSK disajikan pada
Gambar Lampiran 8. Eksplan yang
berhasil tumbuh dalam media sebanyak
20 dari 30 eksplan. Kontaminasi
umumnya terjadi 3 hari setelah
inokulasi. Tingkat kontaminasi pada

4

Gambar 3 Eksplan yang m
mengalami
kematian dan ber
erwarna coklat.
Fase multiplikasi
Fase Subkultur ke-1
Setelah fase inisias
iasi selama 8
minggu, eksplan disubku
kultur ke media
baru dengan komposisi ya
yang sama (fase
subkultur ke-1) dann pengamatan
dilakukan 8 minggu lagi.
i. Pada Gambar
Lampiran
9,
terlih
rlihat
proses
pembentukan tunas dan akar dari
propagula yang tumbuh..
Pertumbuhan tunas yyang ditandai
dengan kuncup yangg memanjang
berwarna hijau yang te
terbentuk dari

erbentuk pada
nodul-nodul. Tunas yang terb
upakan tunas
fase subkultur ke-1, merup
terbentuk
adventif.
Daun
yang
rwarna hijau.
berukuran kecil dan berw
pada minggu
Pembentukan akar dimulai pa
akar
ke-2, terlihat dengan adanya
ad
tih. Selama
adventif berwana putih
ukan hingga
pengamatan yang dilakuk
gkatan jumlah
minggu ke-8 terjadi peningka
tunas, daun dan akar.
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Tunas
Daun
akar

Jumlah

kultur mencapai 33%. Kon
ontaminan yang
menyerang eksplan beru
rupa cendawan
dan bakteri, namun konta
taminasi bakteri
lebih banyak ditemui.
i. Kultur yang
mengalami organogenes
esis langsung
sebanyak 16 kultur. Sedan
angkan 4 kultur
enesis
tidak
mengalami
organogen
langsung.
i, eksplan yang
Selama fase inisiasi,
ditanam mengalami pperkembangan
inggunya. Pada
morfologi pada setiap min
1 MSK eksplan mulaii membesar, 2
membesar dan
MSK eksplan semakin m
berwarna hijau dan
ppada 4 MSK
lus pada ujungmuncul nodul-nodul kalu
ujung eksplan. Mingguu ke-7 nodulnodul semakin menghijau
jau dan minggu
agul dan tunaske-8 terbentuknya propag
tunas berwarna hijau.
lan mengalami
Kedua puluh ekspla
laju pertumbuhan dan pperkembangan
yang sama. Eksplan yang tidak
ul bakal tunas
membentuk nodul-nodul
menjadi cokelat
akhirnya berubah warna m
dan mati (Gambar 3).

1

2

3

4 5 6
Minggu

7

8

tunas,
Gambar 4 Hasil rerata jumlah
jum
kultur
daun dan akar pada
p
ada subkultur
keladi merah pada
ke-1.
kkan rerata
Gambar 4 menunjukk
n akar yang
jumlah tunas, daun dan
tur ke-1. Data
terbentuk pada fase subkultur
kultur selama
rerata jumlah tunas dari 20 ku
2,15 menjadi
8 MSK meningkat dari 2,
kkan
pola
7,75
dan
menunjukk
daun
pertumbuhan linier. Rerata jumlah
ju
,50 dan pada
pada minggu ke-1 yaitu 5,5
4,4. Terlihat
minggu ke-8 mencapai 14,
buhan tunas
hubungan antara pertumbu
relasi positif.
dengan daun yang berkorel
mbuhan tunas
Sama halnya dengan pertumb
uhan
akar
dan
daun,
pertumbuh
menunjukkan pola pertumbbuhan yang
SK.
masih meningkat pada 8 MSK
Fase Subkultur ke-2
kePada fase multiplikasi (subkultur
(su
elama 8 MSK
2) pengamatan dilakukan sela
juga, terhitung setelah dilakukan
bkultur ke-1.
pemisahan planlet hasil subk
ur,
diamati
Selama
periode
kultur,
h tunas,
daun
parameter terhadap jumlah
t
dan akar.
an 10 terlihat
Pada Gambar Lampiran
subkultur kepertumbuhan planlet hasil su
un, dan akar,
2. Pertumbuhan tunas, daun

5

mengalami peningkatan selama 8
minggu. Peningkatan tersebut sangat
pesat bila dibandingkan dengan
subkultur ke-1.

Jumlah

24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Tunas
Daun
akar

1

2

3

4 5 6
Minggu

7

8

Gambar 5 Hasil rerata jumlah tunas,
daun dan akar keladi merah
pada subkultur ke-2.
Pertumbuhan tunas, daun dan akar
pada fase subkultur ke-2 lebih besar dari
pada subkultur ke-1. Hal ini terlihat dari
hasil rerata parameter pada setiap fase
subkultur. Jumlah akar pada setiap
subkultur menunjukkan nilai rerata yang
tertinggi pada minggu ke-8.
Aklimatisasi
Pada tahap aklimatisasi, planlet
disungkup atau disimpan dalam ruangan
gelap selama 2 minggu. Pada kondisi in
vitro planlet diregenerasikan di dalam
lingkungan dengan kelembabpan tinggi
dan bersifat heterotrof, kemudian planlet
harus berubah menjadi autotrof bila
dipindahkan ke tanah dan lingkungan
luar. Yang siap untuk diaklimatisasi
adalah planlet dengan tinggi sekitar 5
cm, jumlah daun dan akar lebih dari 3.
Pengukuran yang dilakukan pada saat
tanaman akan diaklimatisasi dapat
dilihat pada Tabel Lampiran 2 dan 3.
Planlet hasil aklimatisasi dari
subkultur ke-1, diamati pada minggu ke8 setelah dipindahkan ke lingkungan
luar dapat dilihat pada Tabel Lampiran
4. Pengukuran terhadap parameterparameter yang digunakan menunjukkan
hasil yang bervariasi. Dalam hal ini,
tanaman yang berhasil hidup setelah
diaklimatisasi sekitar 86,7% dari 30
planlet. Sebagian planlet mengalami
kematian pada minggu ke-2 yakni pada

nomor 16, 22, 25 dan 28. Hal ini
disebabkan
tanaman
mengalami
kekeringan dan pembusukan. Tabel
Lampiran 5 memperlihatkan hasil
aklimatisasi setelah subkultur ke-2
diamati pada minggu ke-8. Dari 35
planlet yang ditanam, 85,7% berhasil
tumbuh dengan baik. Kematian planlet
terjadi pada nomor 16, 24, 29, 31 dan
35. Kematian pada aklimatisasi ke-2
dengan sebab yang sama seperti planlet
hasil subkultur ke-1.
Pengamatan terhadap bentuk dan
warna daun dilakukan setelah tanaman
berumur 2 bulan setelah aklimatisasi.
Kontrol (Gambar 1) yang digunakan
adalah indukan keladi merah yang
diperoleh dari Laboratorium Unit Uji,
Departemen Biologi, dan dijadikan
sebagai pembanding untuk melihat
variasi morfologi yang dihasilkan dari
subkultur ke-1 dan ke-2.
Pada
Gambar
Lampiran
11
memperlihatkan ciri-ciri morfologi hasil
subkultur ke-1 yang menunjukkan
adanya perbedaan bila dibandingkan
dengan kontrol. Dari 26 tanaman,
diperoleh 5 tanaman yang mempunyai
variasi bentuk dan warna yang berbeda.
Hasil subkultur ke-2, dari 30 tanaman,
dihasilkan 6 tanaman yang menunjukkan
adanya variasi (Gambar Lampiran 12).
Secara keseluruhan variasi bentuk dan
warna daun hasil aklimatisasi subkultur
ke-1 dan ke-2 tersaji pada Tabel
Lampiran 6 dan 7.
PEMBAHASAN
Teknik kultur jaringan tanaman
merupakan
perbanyakan tanaman
dengan cara mengambil jaringan mikro
tanaman yang ditumbuhkan secara in
vitro menjadi tanaman yang sempurna
dalam jumlah yang tidak terbatas.
Teknik ini didasarkan pada teori
totipotensi sel. Totipotensi merupakan
suatu fenomena dimana sel tanaman
mempunyai kemampuan
untuk
beregenerasi menjadi tanaman utuh bila
ditumbuhkan pada lingkungan yang
cocok (Salisbury & Ross 1995).
Keberhasilan penggunaan teknik kultur

6

jaringan sangat tergantung pada jenis
eksplan yang dikulturkan, media yang
digunakan dan lingkungan tumbuh
dimana kultur ditumbuhkan (Gunawan
1988). Pemilihan eksplan berupa daun
menggulung
yang
masih
muda
merupakan salah satu faktor penting
yang menentukan keberhasilan teknik
kultur jaringan. Pada daun yang
menggulung jaringan meristematik
masih aktif membelah diri, sehingga
akan lebih mudah tumbuh. Selain itu
eksplan dipilih yang mempunyai sifat
morfologi dan fisiologi yang baik agar
mendapat kultur yang baik pula. Roset
dan Bokelman (1980) dalam Sutjahjo
(1994), menyatakan bahwa eksplan yang
berasal dari daun atau bagian daun
memberikan keragaman genetik yang
lebih besar daripada eksplan dari bagian
tanaman lainnya. Menurut George &
Sherrington (1984) sumber eksplan
dapat mempengaruhi pertumbuhaan dan
potensi
morfogenetik.
Untuk
mendapatkan kalus atau organogenesis,
lebih baik digunakan daun berikut
tulang daunnya.
Organogenesis merupakan proses
pembentukan organ dari jaringan
eksplan. Organogenesis terjadi karena
dipicu oleh beberapa hal, yaitu
komponen yang terkandung pada media,
faktor endogen selama eksplan mulai
dikulturkan, serta senyawa manitol
selama inisiasi eksplan (Fahey 1986).
Regenerasi tanaman melalui jalur
organogenesis langsung terjadi apabila
tunas terbentuk dari potongan organ
seperti daun, batang dan akar tanpa
melalui kalus (Lestari & Yunita 2008).
Fase Inisiasi
Eksplan
yang
dikulturkan
sebanyak 30 dari satu induk tanaman.
Kontaminan yang menyerang eksplan
berupa cendawan dan bakteri, namun
kontaminasi bakteri lebih banyak
ditemui. Kontaminasi cendawan dan
bakteri dapat berasal dari ruang kultur,
permukaan eksplan, dan jaringan
eksplan bagian dalam. Perkembangan
eksplan sampai dengan terbentuknya
tunas terjadi selama 8 minggu (Gambar

Lampiran 8). Pada eksplan
daun
Anthurium, Geier (1986) membutuhkan
waktu yang lama untuk terbentuknya
tunas, sekitar 8-10 minggu. Hal itu
diawali dengan terbentuknya banyak
tunas berwarna kehijauan. Menurut
George dan Sherrington (1984),
konsentrasi hormon auksin dalam media
sebaiknya lebih rendah daripada
sitokinin, sehingga pertumbuhan tunas
lebih dahulu sebelum terbentuknya akar.
Pada Gambar Lampiran 8, Setelah
2 MSK
kultur pada fase inisiasi,
mengalami pembengkakan jaringan
eksplan. Hal ini disebabkan zat pengatur
tumbuh yang diberikan pada media
sehingga jaringan tumbuh membesar
dan mengalami diferensiasi.
Kultur
pada fase inisiasi, setelah 4 minggu
belum menunjukkan pertumbuhan tunas.
Kultur justru menunjukkan munculnya
nodul-nodul kalus pada ujung-ujung
eksplan. Pada 7 MSK, nodul-nodul
kalus semakin menghijau. Eksplan yang
tidak membentuk nodul bakal tunas
akhirnya berubah warna menjadi cokelat
dan mati. Pencoklatan (browning) bisa
terjadi pada sistem biologis tanaman
sebagai respon terhadap pengaruh fisik
seperti
memar
dan
luka bekas
pemotongan atau disebabkan
oleh
serangan penyakit dan kondisi yang
tidak normal (Santoso & Nursandi
2003). Selang waktu 1 minggu
kemudian, yaitu 8 MSK terbentuk
propagul dan tunas-tunas berwarna
hijau. Tunas-tunas adventif ini dapat
terbentuk langsung dari eksplan tanpa
melalui terbentuknya kalus terlebih
dahulu. Tunas yang terbentuk pada
penelitian ini sebagian besar adalah
tunas yang tumbuh pada bagian yang
terluka pada eksplan. Pola pertumbuhan
ini bersifat organogenesis langsung.
Tunas adventif yang diawali dari
pembentukan kalus terlebih dahulu
bersifat organogenesis tidak langsung.
Dalam hal ini kultur yang mengalami
organogenesis
tidak
langsung
dimungkinkan karena eksplan memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam
merespon lingkungan.

7

Tunas berkembang dari meristem
apikal, sehingga tunas yang muncul
akan berkembang membentuk suatu
formasi daun. Pertumbuhan
tunas
dipengaruhi oleh faktor lingkungan
yang menguntungkan bagi aktifitas
enzim, auksin endogen, kofaktor dan
sitokinin. Pertumbuhan daun terjadi
bersamaan dengan pertumbuhan tunas.
Menurut Widyastuti (2004) sitokinin
merupakan suatu zat pengatur tumbuh
sintetik yang tidak mudah dirombak
oleh sistem enzim dari tanaman
sehingga dapat memacu induksi dan
multiplikasi tunas. Senyawa nitrogen
yang terkandung dalam sitokinin
berperan untuk proses sintesis asamasam amino dan protein secara optimal
yang selanjutnya digunakan untuk
proses pertumbuhan dan perkembangan
eksplan yang dalam hal ini pembentukan
daun (Gardner et al. 1991).
Setelah 8 MSK pada fase inisiasi,
tunas yang tumbuh disubkultur dan
diamati selama 8 minggu lagi.
Pertumbuhan akar terjadi pada fase
subkultur ke-1, yaitu pada 2 MSK dan
mengalami peningkatan. Kenyataan ini
diperkuat oleh pernyataan Rochiman
dan Haryadi (1973), tunas yang
berkembang akan menghasilkan auksin
yang dapat merangsang pembentukan
akar.
Fase Multiplikasi
Hasil subkultur ke-1 menunjukkan
rata-rata jumlah tunas, jumlah daun dan
jumlah akar berturut-turut yaitu 7,75;
14,4 dan 14,85. Hasil tersebut
menunjukkan rata-rata pertumbuhan
akar meningkat dengan pesat, sebanding
dengan jumlah daun. Hal ini diduga,
eksplan yang ditanam pada media kultur
menghasilkan auksin endogen, yang
menyebabkan pertumbuhan eksplan
lebih diarahkan pada pemanjangan sel
dan pembentukan akar. Ada pula
beberapa tanaman yang tidak berespon
terhadap zat pengatur tumbuh yang
diberikan (faktor eksogen). Pendapat
tersebut didukung oleh Ahmad et al.
(2004) bahwa akar yang tumbuh pada
media dengan hormon sitokinin yang

lebih tinggi dari pada auksin,
kemungkinan diinduksi oleh faktor
endogen. Menurut Gunawan (1988)
bahwa interaksi antara zat pengatur
tumbuh
eksogen
dan
endogen
menentukan arah perkembangan suatu
kultur. Janick (1979), diacu dalam Ratna
(2002) menegaskan bahwa pembentukan
akar terjadi karena adanya pergerakan
auksin ke bawah, karbohidrat dan
rooting cofactor (zat-zat berinteraksi
dengan auksin yang mengakibatkan
terbentuknya akar).
Percobaan kedua, planlet yang
belum mempunyai akar, hasil subkultur
ke-1 dipindahkan ke dalam media baru
dengan komposisi media yang sama.
Hasil subkultur ke-2 menunjukkan ratarata jumlah tunas, daun dan akar
berturut-turut yaitu 17,45; 19,8 dan
20,35. Kecepatan multiplikasi tunas,
nilai rerata jumlah tunas, nilai rerata
jumlah daun, dan rerata jumlah helai
daun mengalami peningkatan dua kali
lipat dibandingkan subkultur ke-1. Hasil
penelitian Pratiwi (2009) menunjukkan
bahwa
multiplikasi
Anthurium
plowmanii ada peningkatan jumlah
tunas, daun dan akar lebih tinggi
dibandingkan dengan subkultur ke-1.
Hal ini dimungkinkan karena propagula
yang dipindahkan sudah berbentuk
planlet, sehingga kecepatan multiplikasi
kuncup adventif yang berikutnya lebih
tinggi dibanding yang masih berbentuk
jaringan eksplan.
Aklimatisasi
Aklimatisasi
merupakan
perpindahan tanaman dari lingkungan
yang terkendali ke lingkungan yang
tidak terkendali. Aklimatisasi dilakukan
pada planlet hasil subkultur ke-1 dan ke2. Planlet yang diaklimatisasi dengan
perakaran yang baik, yaitu berwarna
hijau, daun lebih dari 3 dengan batang
berwarna hijau tua. Planlet subkultur ke1 yang berhasil tumbuh dengan baik
setelah di aklimatisasi sekitar 86,7%
dari 30 tanaman (Tabel Lampiran 4).
sedangkan pada subkultur ke-2 sekitar
85,7% dari sebanyak 35 tanaman (Tabel
Lampiran 5). Kematian planlet saat

8

aklimatisasi dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yaitu, kelembaban
udara
dan
intensitas
cahaya.
Kelembapan
yang rendah
dapat
mengakibatkan kematian pada planlet.
Hal ini karena planlet hasil kultur
jaringan terbiasa hidup di lingkungan
dengan kelembapan tinggi, sedangkan
intensitas cahaya yang tinggi akan
menyebabkan suhu lingkungan yang
tinggi pula disertai dengan rendahnya
kelembabpan udara (Zulkarnain 2009).
Menurut
De
Klerk
(1990),
terlihatnya perbedaan fenotipe tanaman
merupakan
salah
satu
cara
memperkirakan ada atau tidaknya
keragaman genetik. Fenomena variasi
somaklonal ini dapat dilihat dari
perubahan bentuk dan warna daun, serta
bentuk daun. Dilihat dari Gambar
Lampiran 11 dan 12, variasi yang terjadi
dapat diduga sebagai keragaman
somaklonal. Sumber eksplan merupakan
faktor
penting
yang
dapat
mempengaruhi frekuensi terjadinya
variasi, baik variasi fenotipe maupun
genotipe
(Karf
1995;
Kumar
1995;Faried et al. 2006). Semakin tua
suatu jaringan yang dikulturkan,
semakin besar variasi yang ditimbulkan.
Keragaman pada planlet disebabkan
oleh adanya sel-sel yang bermutasi atau
variasi polisomik dari jaringan tertentu
(Thorpe 1990).
Keragamaan genetik yang terjadi di
dalam kultur jaringan bisa disebabkan
oleh perubahan struktur kromosom,
penggandaan jumlah kromosom dan
perubahan gen (Anthony et al. 2000).
Menurut Karf (1995), banyak bukti
menunjukkan
variasi
somaklonal
dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh,
terutama pada konsentrasi tinggi dalam
media. Kemungkinan zat pengatur
tumbuh tersebut bertindak sebagai
mutagen. Konsentrasi garam-garam
nutrien yang tinggi seperti kalsium dan
EDTA pada media kultur juga
meningkatkan
ketidaknormalan
kromosom pada kultur sel (Kumar
1995). Selanjutnya konsentrasi sukrosa
tinggi dapat menginduksi poliploidisasi
sel yang akan menghasilkan keragaman

genetik yang dapat memproduksi
varietas baru dengan karakter fisik dan
fenotipe tertentu, seperti perubahan
performa pertumbuhan, warna bunga,
peningkatan ukuran dan daya adaptasi.
Poliploidisasi tersebut akibat peristiwa
nondisjunction (segregasi yang tidak
normal dari kromosom pada saat
meiosis atau mitosis) sehingga terjadi
peningkatan ukuran sel dan jaringan
tanaman termasuk perubahan bentuk dan
warna. Variasi juga dapat ditimbulkan
oleh ketidakseimbangan gen atau tidak
sempurnanya kromosom.
SIMPULAN
Kultur jaringan keladi merah sudah
menghasilkan variasi somaklonal setelah
16 MSK. Subkultur ke-1 menghasilkan
5 tanaman sedangkan subkultur ke-2
memberikan 6 tanaman yang bervariasi
secara fenotipik.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang variasi yang ditimbulkan
pada proses multiplikasi sehingga dapat
menghasilkan keragaman yang memiliki
nilai jual yang tinggi. Perlu pula
dilakukan deteksi genetik terhadap
variasi
tersebut
sehingga
bisa
mengetahui penyebab dari keragaman
yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah S. 2000. Perakitan baru
Artemisia (Artemisia annua. L)
melalui induksi dan keragaman
somaklonal.[skripsi]. Bogor. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian.
Ahmad EU, Hayashi. T, Yazawa S.
2004.
Auxins
increase
the
occurrence of leaf-colour variants in
Caladium regenerated from leaf
explants. Sci Hort 100: 153–171.
Ali A, A. Munawar, S. Naz. 2007. An in
vitro study on micropopagation of
Caladium bicolor. International

8

aklimatisasi dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yaitu, kelembaban
udara
dan
intensitas
cahaya.
Kelembapan
yang rendah
dapat
mengakibatkan kematian pada planlet.
Hal ini karena planlet hasil kultur
jaringan terbiasa hidup di lingkungan
dengan kelembapan tinggi, sedangkan
intensitas cahaya yang tinggi akan
menyebabkan suhu lingkungan yang
tinggi pula disertai dengan rendahnya
kelembabpan udara (Zulkarnain 2009).
Menurut
De
Klerk
(1990),
terlihatnya perbedaan fenotipe tanaman
merupakan
salah
satu
cara
memperkirakan ada atau tidaknya
keragaman genetik. Fenomena variasi
somaklonal ini dapat dilihat dari
perubahan bentuk dan warna daun, serta
bentuk daun. Dilihat dari Gambar
Lampiran 11 dan 12, variasi yang terjadi
dapat diduga sebagai keragaman
somaklonal. Sumber eksplan merupakan
faktor
penting
yang
dapat
mempengaruhi frekuensi terjadinya
variasi, baik variasi fenotipe maupun
genotipe
(Karf
1995;
Kumar
1995;Faried et al. 2006). Semakin tua
suatu jaringan yang dikulturkan,
semakin besar variasi yang ditimbulkan.
Keragaman pada planlet disebabkan
oleh adanya sel-sel yang bermutasi atau
variasi polisomik dari jaringan tertentu
(Thorpe 1990).
Keragamaan genetik yang terjadi di
dalam kultur jaringan bisa disebabkan
oleh perubahan struktur kromosom,
penggandaan jumlah kromosom dan
perubahan gen (Anthony et al. 2000).
Menurut Karf (1995), banyak bukti
menunjukkan
variasi
somaklonal
dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh,
terutama pada konsentrasi tinggi dalam
media. Kemungkinan zat pengatur
tumbuh tersebut bertindak sebagai
mutagen. Konsentrasi garam-garam
nutrien yang tinggi seperti kalsium dan
EDTA pada media kultur juga
meningkatkan
ketidaknormalan
kromosom pada kultur sel (Kumar
1995). Selanjutnya konsentrasi sukrosa
tinggi dapat menginduksi poliploidisasi
sel yang akan menghasilkan keragaman

genetik yang dapat memproduksi
varietas baru dengan karakter fisik dan
fenotipe tertentu, seperti perubahan
performa pertumbuhan, warna bunga,
peningkatan ukuran dan daya adaptasi.
Poliploidisasi tersebut akibat peristiwa
nondisjunction (segregasi yang tidak
normal dari kromosom pada saat
meiosis atau mitosis) sehingga terjadi
peningkatan ukuran sel dan jaringan
tanaman termasuk perubahan bentuk dan
warna. Variasi juga dapat ditimbulkan
oleh ketidakseimbangan gen atau tidak
sempurnanya kromosom.
SIMPULAN
Kultur jaringan keladi merah sudah
menghasilkan variasi somaklonal setelah
16 MSK. Subkultur ke-1 menghasilkan
5 tanaman sedangkan subkultur ke-2
memberikan 6 tanaman yang bervariasi
secara fenotipik.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang variasi yang ditimbulkan
pada proses multiplikasi sehingga dapat
menghasilkan keragaman yang memiliki
nilai jual yang tinggi. Perlu pula
dilakukan deteksi genetik terhadap
variasi
tersebut
sehingga
bisa
mengetahui penyebab dari keragaman
yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah S. 2000. Perakitan baru
Artemisia (Artemisia annua. L)
melalui induksi dan keragaman
somaklonal.[skripsi]. Bogor. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian.
Ahmad EU, Hayashi. T, Yazawa S.
2004.
Auxins
increase
the
occurrence of leaf-colour variants in
Caladium regenerated from leaf
explants. Sci Hort 100: 153–171.
Ali A, A. Munawar, S. Naz. 2007. An in
vitro study on micropopagation of
Caladium bicolor. International

STUDI VARIASI FENOTIPIK KELADI MERAH
(Caladium bicolor (W. Aint)Vent.) HASIL KULTUR JARINGAN

MELIANA ROSMADEWI SUNARYA

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

9

Journal of Agriculture and Biology
5:731-735.
Anthony JF Griffiths, Jeffrey H. Miller,
David T. Suzuki, Richard C.
Lewontin, William M. Gelbart.
2000. An Introduction to Genetic
Analysis, W.H. 12 Freeman and
Company, New York.
Deng Z, BK. Harbaugh. 2006. ’Garden
White’-A large white fancy-leaved
Caladium for sunny landscapes and
large containers. Hort Sci 41: 840–
844.
Deng ZJ, F. Goktepe, B. Harbaugh.
2007. Assessment of genetic
diversity and relationships among
Caladium cultivars and species
using
molecular
markers
J.
American Soc Hort Sci 132: 147–
277.
De Klerk 1990. How to measure
somaclonal variation. Act Bot
Neerland 39 :129-144.
Fahey JW, J.N Reed, TL Ready, GM
Pace. 1986. Somatic embryogenesis
from three commercially important
inbreds of Zea mays. Plant Cell
Reports 5:35-38.
Faried MD, Yunus M, Nasrudin. 2006.
Variasi somaklonal tebu tahan
salinitas melalui mutagenesis in
vitro. J Agrivivor 5 (3) : 247-258.
Gardner FP, RB Pearce, RL Mitchell.
1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Herawati S, penerjemah. Jakarta. UI
Press.
Geier T. 1986. Factors affecting plant
regeneration for leaf segments of
Anthurium sccherzerianum Schott.
(Araceae) cultured in vitro. Plant
Cell, Tissue Organ Culture. 6 : 115125.
George EF, PD Sherrington. 1984. Plant
Propagation by Tissue Culture.
Exengetics Limited. England.

Gill RIS,SS Gill, SS Gosal, 1994.
Vegetative
propagation
of
Eucalyptus
tereticornis
Sm.
Through tissue culture, Plant tissue
culture. Bangladesh Association for
Plant Tissue Culture 4: 59–67.
Gunawan LW. 1988. Teknik Kultur
Jaringan.
Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman Pusat Antar
Universitas (PAU) Biotek IPB,
Bogor.
Hadipoentyanti E, Amalia, Nursalam,
Hartati SY, Suhesti S. 2008.
Perakitan Varietas Untuk Ketahanan
Nilam Terhadap Penyakit Layu
Bakteri. Di dalam: Industri Minyak
Atsiri yang Berkelanjutan: Peluang
dan
Tantangan.
Prosiding
Konferensi Nasional Minyak Atsiri
2008; Surabaya, 2-4 Desember
2008.
Surabaya:
Departemen
Perindustrian. hlm 17-28.
Hartman RD. 1974. Dasheen mosaic
virus and other phytopathogens
eliminated from Caladium, taro and
cocoyam by culture of shoot tips.
New Phytol 64: 237–246.
Karf A. 1995. Somaclonal variation as
tool
for
crop
improvement.
Euphytica 85: 295-302.
Kumar A. 1995. Somaclonal Variation.
Cell and Molecular Ganetics
Departemen,
Scottish
Crop
Research Institute,
Invergowrie
Dudee. Canada.
Larkin PJ, Scowcroft WR. 1981.
Somaclonal
variation-a novel
source of variability from cell
culture for plant improvement.
Theor Appl Gen. 60:197-214.
Lestari GE, Yunita R. 2008. Induksi
kalus dan regenerasi tunas padi
varietas fatmawati. Bul Agron
2:106-110.

10

Lecouffe M. 1981. Caladium humboldtii
and it's cultivar 'Marcel'. Aroideana,
4: 114–119

tanaman jagung.[disertasi]. Bogor.
Program
Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Podwyszynska M. 2005. Somaclonal
variaton in micropropagated Tulip
based on phenotype observation. J.
Frutt Otman 13: 109-122.

Taji AM, Dodd WA, Williams RR.
1992.
Plant
Tissue
Culture
Preactice. Botany Departemen,
Univercity
New
England,
Armidale.

Pratiwi I. 2009. Pengaruh Jenis Media
Dasar dan Kinetin untuk Induksi
Organogenesis
Anthurium
Gelombang
Cinta
(Anthurium
plowmanii) Secara In Vitro.[skripsi].
Bogor. Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Pertanian.
Prihmantoro. 1997. Tanaman Hias
Daun. Cetakan Pertama. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Ratna N. 2002. Pengaruh Auksin dan
Pemanasan Terhadap Pertumbuhan
Stek Tanaman Mawar.[skripsi].
Bogor. Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Rianawati S, Agus P, Budi M, Ridho K,
Suryanah. 2009. Embriogenesis
somatik dari eksplan daun anggrek
Phalaenopsis sp. L. J Agron 3:240248.
Rochiman K, Haryadi DD. 1973.
Pembiakan
Vegetatif.
Bogor:
Institut Pertanian Bogor Fakultas
Pertanian Depatemen Agronomi dan
Hortikultura.
Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur
Jaringan Tanaman. Universitas
Muhammadiyah Malang Press.
Malang.
Salisbury FB, Ross CW.1995. Fisiologi
Tanaman. Diah RL, Sumaryono,
penerjemah. Jilid ke-1&3. Bandung:
Penerbit ITB. Terjemahan dari:
Plant Physiol.
Sutjahjo TA. 1994. Induksi keragaman
somaklon kearah ketenggangan
terhadap keracunan alumunium pada

Thorpe TA. 1990. The current status of
plant tissue culture. P.1-33. In SS
Bhojwani (ed). Plant Tissue Culture:
Applications
and
Limitations.
Elsevier Sci. Publishers. Amsterdam
.New York.
Widyastuti N. 2004. Abnormalitas
Pertumbuhan dan Morfogenesis
Pada
Planlet
Krisan
(Chrysanthemum morifolium) dan
Kalalili (Zantedeschia rehmannii)
dalam Kultur In Vitro. Pusat
Pengkajian
Dan
Penerapan
Teknologi
Bioindustri,
Badan
Pengkajian
Dan
Penerapan
Teknologi, Jakarta.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan
Tanaman. Jakarta: PT Bumi Aksara.

STUDI VARIASI FENOTIPIK KELADI MERAH
(Caladium bicolor (W. Aint)Vent.) HASIL KULTUR JARINGAN

MELIANA ROSMADEWI SUNARYA

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRAK
MELIANA. Studi Variasi Fenotipik Keladi Merah (Caladium bicolor(W.Aint)Vent)
Hasil Kultur Jaringan. Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI dan EDHI SANDRA.
Keladi merah (Caladium bicolor(W.Aint)Vent.) Blume) merupakan salah satu
jenis tanaman hias daun. Secara konvensional, tanaman ini diperbanyak secara vegetatif
sehingga pembentukan genotipe-genotipe baru tergolong sempit. Upaya peningkatan
ragam genetik dilakukan dengan variasi somaklonal yaitu melalui organogenesis in vitro.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi variasi fenotipik keladi merah hasil
variasi somaklonal dari kultur jaringan. Bahan tanaman yang digunakan adalah daun
muda tanaman keladi merah. Media dasar yang digunakan adalah Murashige and Skoog
(MS) yang ditambahkan BAP 10 mg/l dan NAA 0,5 mg/l. Penelitian terdiri dari 3 tahap
yaitu inisiasi, multiplikasi dan aklimatisasi. Pada tahap inisiasi eksplan membentuk tunas
pada 8 MSK. Tahap multiplikasi dilakukan 2 kali dengan interval waktu 2 bulan; jumlah
akar menunjukkan nilai yang tinggi dibandingkan rerata jumlah daun dan tunas. Pada
tahap aklimatisasi parameter yang diamati adalah karakter morfologi dan warna daun
pada umur dua bulan setelah diaklimatisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
visual tanaman hasil multiplikasi memiliki karakter morfologi yang berbeda dengan
tanaman induknya. Dari hasil subkultur ke-1 diperoleh 5 tanaman sedangkan subkultur
ke-2 diperoleh 6 tanaman yang bervariasi.
Kata kunci : Caladium bicolor(W. Aint)Vent, Kultur jaringan, Variasi morfologi.

ABSTRACT
MELIANA. Study of Phenotypic Variation of Wild Cocoyam (Caladium bicolor
(W.Aint)Vent) Resulted from Tissue Cultures. Supervised by DIAH RATNADEWI and
EDHI SANDRA.
Wild cocoyam (Caladium bicolor(W.Aint)Vent) Blume) is one of the ornamental
leaf plants. Conventionally,this plant reproduces vegetatively. So, the generation of new
genotypes is rare. Effort to increase genetic variation of plant was conducted through
somaclonal variation in in vitro culture. The research goal is to identify the phenotypic
variation of wild cocoyam from tissue culture due to somaclonal variation. Young leaves
were taken as the plant material. Murashige and Skoog (MS) medium added with BAP 10
mg/l and NAA 0,5 mg/l used as the basic medium. The research had three steps:
initiation, multiplication and acclimatization which was done 2 times in time 2 month
interval. Roots were more abundant than the average number of leaves and buds. While at
the acclimatization step, morphological characters of leaves was observed at the age of 2
months after being acclimatized. The visual results of this research showed that
regenerated plants have morphological characters that were different from it’s parent. The
first subculture gained 5 plants while the second subculture gained 6 plants with
phenotypic variation.
Key words : Caladium bicolor(W. Aint)Vent, Tissue culture, Morphological variation.

STUDI VARIASI FENOTIFIK KELADI MERAH
(Caladium bicolor (W.Aint)Vent.) HASIL KULTUR JARINGAN

MELIANA ROSMADEWI SUNARYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sajana Sains pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul Skripsi : Studi Variasi Fenotifik Keladi Merah (Caladium bicolor (W. Aint)Vent.)
Hasil Kultur Jaringan.
Nama
: Meliana Rosmadewi Sunarya
NIM
: G34070023

Menyetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr.Ir Diah Ratnadewi
NIP 195703261981032001

Ir. Edhi Sandra M, Si
NIP 196610191993031002

Diketahui

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si
NIP 196410021989031002

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang
berjudul “Studi Variasi Fenotifik Keladi Merah (Caladium bicolor (W.Aint) Vent.) Hasil
Kultur Jaringan” disusun untuk suatu syarat memperoleh gelar sarjana bidang
Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir.Diah Ratnadewi dan Bapak
Ir.Edhi Sandra, M.Si selaku pembimbing serta Ucu Riyantini Maulida S.Si, M.Si dan
staf Laboratorium Kultur Jaringan Unit Uji Departemen Biologi atas saran yang telah
diberikan.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, kakakkakakku, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Dian Arizona S.Hut atas dukungan, do’a dan
kasih sayang yang diberikan. Teman-teman seperjuangan Biologi 44, Dini, Desi, Ovi,
Wardud, Kemala, Yana atas kasih sayang yang telah kalian berikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2011

Meliana Rosmadewi S

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Mei 1990 di Sumedang, Jawa Barat dari
pasangan Bapak Ade Sunarya dan Ibu Asih Sukaesih. Penulis merupakan anak ketiga dari
tiga bersaudara. Penulis mengawali pendidikan di SDN Malati tahun 1995-2001.
Selanjutnya di SMPN 2 Sumedang tahun 2001-2004 dan pendidikan menengah atas di
SMAN 2 Sumedang tahun 2004-2007. Pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Siswa Masuk IPB (USMI). Pada Tahun
2007 penulis diterima di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Pada masa kuliah penulis aktif sebagai organisasi mahasiswa Daerah Sumedang
(WAPEMALA). Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi sekertaris seminar PKM
dan asisten mata kuliah Kultur Jaringan. Praktek Lapang Biologi yang pernah diikuti
yaitu Studi Lapang Cangkuang Sukabumi, Praktek Lapang di PT Darul Fallah Bogor
(2010). Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains, Institut Pertanian
Bogor, penulis melakukan penelitian berjudul “Studi Variasi Fenotifik Keladi Merah
(Caladium bicolor (W. Aint)Vent.) Hasil Kultur Jaringan” di bawah bimbingan
Dr.Ir.Diah Ratnadewi dan Ir. Edhi Sandra M.Si

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................

iii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ..........................................................................................
Tujuan Penelitian ......................................................................................

1
2

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat ....................................................................................
Bahan dan Alat..........................................................................................
Metode Penelitian .....................................................................................
Pemilihan eksplan ......................................................................
Pembuatan media ....