PENGARUH KOMBINASI NAA DAN KINETIN PADA KULTUR IN VITRO EKSPLAN DAUN TEMBAKAU

PENGARUH KOMBINASI NAPHTHALENE ACETIC ACID (NAA) DAN KINETIN
PADA KULTUR IN VITRO EKSPLAN DAUN TEMBAKAU
(Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95)
*

1

Daniar robbiani , Tutik Nurhidayati , Nurul Jadid

1

Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

ABSTRAK
Penelitian Pengaruh Kombinasi Naphthalene Acetic Acid (NAA) dan Kinetin Terhadap
Kultur In vitro Eksplan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95) bertujuan untuk
menentukan kombinasi konsentrasi NAA dan Kinetin yang efektif dan mengetahui pengaruh
morfogenesis eksplan dari kombinasi tersebut. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur
Jaringan Tumbuhan Program Studi Biologi ITS Surabaya. Penelitian ini disusun dalam Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama konsentrasi NAA, terdiri atas 6 level yaitu 0

ppm; 0,5 ppm; 1 ppm; 1,5 ppm; 2 ppm, dan 2,5 ppm. Faktor kedua konsentrasi Kinetin, terdiri atas 5
level yaitu 0 ppm; 1 ppm; 2 ppm; 3 ppm; and 4 ppm. Hasil menunjukkan bahwa jumlah proliferasi
tunas tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan 0 ppm NAA dan 4 ppm Kinetin (62,75 tunas/eksplan)
dan perlakuan dengan 2,5 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin memberikan hasil terbaik untuk proliferasi
akar (37,75 akar/eksplan). Kalus yang didapatkan paling dominan berwarna putih kehijauan dan
tekstur kompak.
Kata kunci: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, NAA, Kinetin, Kalus, Kultur jaringan
tumbuhan
ABSTRACT
The research of the influence of Naphthalene Acetic Acid (NAA) and Kinetin combination on
in vitro culture of Tobacco leaf explant (Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95) was conducted to
determine the effective combination of NAA and Kinetin concentration and to observe the explant
morphogenetic effect of its combination. This research was carried out in the plant tissue culture
laboratory, department of Biology ITS, Surabaya. This research was designed with completely
randomize design with two factors. The first factor was the NAA concentration, consisted of six levels
i.e. 0 ppm; 0.5 ppm; 1 ppm; 1,5 ppm; 2 ppm; and 2,5 ppm. The second factor was Kinetin
concentration, consisted of five levels i.e. and 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm, 3 ppm, and 4 ppm. The result
showed that highest amount of shoot proliferation was obtained from treatment with 0 ppm NAA and
4 ppm Kinetin (62,75 shoot/explant) and the treatment for 2,5 ppm NAA and 0 ppm Kinetin gave the
best result for root proliferation (37,75 root/explant). The most dominant callus obtained were white

greenish in colour and compact in texture.
Key words: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, NAA, Kinetin, Callus, Plant Tissue Culture

*Corresponding author Phone : +6285719149996
e-mail : niar.snoopy21@gmail.com
1
Alamat sekarang : Prodi Biologi, Fak MIPA,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

I PENDAHULUAN

Penanaman dan penggunaan tembakau di
Indonesia
Penanaman dan penggunaan
tembakau di Indonesia sudah dikenal sejak
lama. Komoditi tembakau mempunyai arti
yang cukup penting, tidak hanya sebagai

sumber pendapatan bagi para petani, tetapi
juga bagi Negara. Tembakau (daunnya)

digunakan sebagai bahan pembuatan rokok
(Hanum, 2008). Tembakau mengandung
alkaloid nikotin yang berdampak buruk bagi
kesehatan manusia juga sangat beracun bagi

serangga
sehingga
nikotin
dapat
dimanfaatkan
oleh
manusia
sebagai
bioinsektisida (Susilowati, 2006). Tembakau
juga dapat dimanfaatkan sebagai pewarna
kain sutera dengan menggunakan daunnya
untuk menjadi larutan celup pada proses
pencelupan kain sutera (Santosa, 2007).
Keistimewaan dan manfaat yang besar dari
tembakau membuat tembakau mempunyai

potensi untuk dikembangkan dalam berbagai
bidang.
Salah satu tanaman yang sering
dikembangkan adalah tembakau Madura.
Pada saat ini tembakau Madura yang
berkembang sebagai bahan baku rokok
adalah adalah var. Prancak 95 dan
Cangkring 95 (Basuki et al., 1999).
Keunggulan tembakau var. Prancak 95
adalah memiliki sifat hasil sedang, mutu
tinggi, aromanya khas, kadar nikotin rendah,
tahan terhadap penyakit lanas dan sesuai
ditanam di lahan tegal dan gunung. Selama
ini budidaya tembakau Madura dilakukan
secara konvensional. Budidaya tembakau
secara konvensional memerlukan proses
yang tidak sederhana dan waktu yang relatif
lama, selain itu sifat-sifat genetis tidak sama
persis seperti induknya. Seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan, tanaman

tembakau juga mulai dibudidayakan melalui
program pemuliaan tanaman. Hal tersebut
bertujuan untuk meningkatkan jumlah
produksi tanaman tembakau.
Salah satu program pemuliaan
tanaman tembakau tersebut adalah dengan
teknik kultur jaringan. Manfaat utama kultur
jaringan adalah menghasilkan tanaman baru
dalam jumlah yang besar dalam jangka
waktu yang relatif singkat dengan sifat dan
kualitas yang diharapkan sama dengan
induknya (Rahardja, 1995 dalam Yunus,
2007). Salah satu perbanyakan tanaman
tembakau secara in vitro yang efisien adalah
dengan mengkulturkan organ yaitu eksplan
dari daun muda tembakau (Hendaryono,
1994). Penggunaan eksplan dari jaringan
muda lebih sering berhasil karena sel-selnya
aktif membelah, dinding sel tipis karena
belum terjadi penebalan lignin dan selulose

yang menyebabkan kekakuan pada sel.

Selain itu faktor lain yang
memberikan pengaruh terhadap keberhasilan
perbanyakan tanaman secara in vitro adalah
zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh
yang banyak digunakan dalam kultur
jaringan adalah auksin dan sitokinin. NAA
(Naphthalene Acetic Acid) merupakan salah
satu
auksin
yang
berperan
dalam
perpanjangan sel. Sedangkan Kinetin (6furfury amino purine) adalah salah satu
sitokinin yang berperan untuk pembelahan
sel. Sitokinin bersama-sama dengan auksin
akan memberikan pengaruh interaksi
terhadap diferensiasi jaringan dalam kultur
jaringan tanaman (Hendaryono, 1994).

Penelitian terhadap interaksi antara
kinetin dan auksin pada kultur tembakau
telah membuktikan adanya peranan dari
kedua zat tumbuh ini terhadap pertumbuhan.
Kinetin yang berimbang dengan auksin dapat
menyebabkan pertumbuhan kalus (Abidin,
1985 dalam Fitrianti, 2006). Jumlah auksin
dan sitokinin yang perlu ditambahkan
kedalam kultur tergantung kandungan auksin
dan sitokinin endogen pada eksplan.
Berdasarkan penelitian Maryanto (1987)
dalam Suryowinoto (1991) pada kultur
tembakau (Nicotiana tabacum) dengan
perbandingan auksin : kinetin 5:0 atau 4:1
hanya terjadi pertumbuhan akar saja. Pada
jumlah perbandingan sebaliknya yaitu auksin
: kinetin 0:5 atau 1:4 hanya terjadi tunas
besar, tanpa ada akar sama sekali. Sedangkan
menurut
Suryowinoto

(1991)
dalam
Hendaryono (1994), pada kultur in vitro
daun muda tembakau pada medium MS
perlu ditambahkan zat pengatur tumbuh IAA
dan Kinetin dengan perbandingan 2:3 ppm.
Perbandingan konsentrasi yang tepat
antara sitokinin dan auksin akan memacu
pertumbuhan eksplan kultur in vitro. Oleh
karena itu, konsentrasi zat pengatur tumbuh
perlu diperhatikan untuk keberhasilan teknik
kultur jaringan. Berdasarkan observasi di
atas maka dilakukan penelitian kultur
jaringan tembakau dengan penambahan dua
jenis zat pengatur tumbuh yaitu auksin
(NAA) dan Sitokinin (Kinetin) pada berbagai
konsentrasi.

II METODOLOGI
1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari – Maret 2010 di Laboratorium Kultur
Jaringan Program Studi Biologi ITS. Jenis
tembakau Madura yang digunakan adalah
(Nicotiana tabacum L.var. Prancak 95) yang
diperoleh dari PT. Sadhana-Pasuruan.
2 Alat, Bahan, dan Cara Kerja
2.1 Tahap Persiapan
a. Sterilisasi Alat dan Ruang Kerja
Semua peralatan baik alat pembuatan
media (botol kultur) dan alat inokulasi eksplan
(cawan petri, scalpel blade, gunting eksplan,
pinset, kertas saring, dll) disterilisasi dengan
autoklaf dengan suhu 121oC tekanan 1,5 atm
selama 15 menit (Nugroho, 2004).
Laminair Air Flow (LAF) disemprot
dengan alkohol 70% dan alat-alat yang
dimasukkan ke dalam LAF juga harus disemprot
dengan alkohol 70%. Ruang tanam disterilisasi
dengan sinar UV selama 1 jam sebelum LAF

digunakan. Ketika LAF digunakan maka sinar
UV harus dimatikan dan blower dihidupkan
(Fitrianti, 2006).
b. Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi permukaan eksplan daun ini
ada 2 tahap yaitu sterilisasi tahap I yang
dilakukan di ruang persiapan dan sterilisasi tahap
II yang dilakukan di LAF. Sterilisasi tahap I
meliputi: Daun tembakau muda (daun kedua
sampai ketiga dari pucuk) diambil dari green
house dibilas dengan air mengalir hingga bersih.
Sedangkan sterilisasi tahap II meliputi: Daun
tembakau dimasukkan ke dalam 70 % etanol
selama 0,5 menit. Kemudian dibilas dengan
aquades steril selama 5 menit. Potongan daun
tembakau disterilisasi dengan 1% sodium
hypochlorite (Bayclin ™) selama ± 10 menit.
Kemudian dibilas tiga kali dengan aquades steril
selama 5 menit sebanyak 3 kali sambil digojog.
Selanjutnya eksplan diambil dengan pinset dan

ditiriskan pada kertas saring. (Fowke, L.C. et al,
1983).
2.2 Pembuatan Media
a. Pembuatan Stok Zat Pengatur Tumbuh
NAA dan Kinetin
Untuk pembuatan larutan stok NAA
(MerckTM), dilakukan penimbangan bahan
sebanyak 10 mg dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer berukuran 100 ml yang diberi
aquades sedikit. Sambil diaduk, diteteskan
sedikit demi sedikit larutan NaOH 1 N dengan
hati-hati sambil dikocok sampai zat pengatur

tumbuh larut benar. Kemudian ditambahkan
aquades steril ke dalam erlenmeyer hingga
volume mendekati 70 ml sambil dikocok-kocok.
Kemudian ditambahkan kembali aquades steril
ke dalam erlenmeyer sampai volume menjadi
100 ml. Kemudian larutan dipindahkan ke dalam
wadah stok, ditutup rapat dengan aluminium foil
dan kapas dan diberi label NAA. Selanjutnya
disimpan dalam lemari es. Untuk pembuatan
larutan stok Kinetin (TCITM) caranya juga sama
seperti pembuatan larutan stok NAA. Apabila zat
pengatur tumbuh belum larut, dapat dibantu
dengan memanaskannya dengan pemanas atau
hot plate (Santoso dan Nursandi, 2003).
Perhitungan perlakuan zat pengatur
tumbuh (Lampiran 4) menggunakan rumus
pengenceran yaitu:
V1.M1 = V2.M2
V1
= volume larutan stok yang dicari
M1
= dosis larutan stok yang tersedia
V2
= volume medium yang akan dibuat
M2
= dosis medium yang akan dibuat
(Hendaryono, 1994).

b. Pembuatan Media Kultur (Media MS)
Media kultur yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan media MS (Lampiran
1) yang terdiri dari unsur mikro, unsur makro,
sukrosa, vitamin, agar, dan zat pengatur tumbuh
(NAA dan Kinetin). Untuk pembuatan media
MS, erlenmeyer berukuran 1 liter disiapkan lalu
sebanyak 500 ml medium MS cair siap pakai
yang sudah mengandung unsur mikro, unsur
makro, sukrosa, vitamin, dipanaskan sambil
diaduk-aduk. Kemudian ditambahkan zat
pengatur tumbuh NAA sesuai konsentrasi (dalam
hal ini digunakan konsentrasi 0 ppm; 0,5 ppm; 1
ppm; 1,5 ppm; dan 2 ppm) dan Kinetin (dalam
hal ini digunakan konsentrasi 0 ppm; 1 ppm; 2
ppm; dan 3ppm) sambil diaduk homogen di atas
pemanas. Selanjutnya diukur pH larutan 5,8
menggunakan pH meter. Apabila terlalu asam
ditambahkan NaOH dan apabila terlalu basa
ditambahkan HCl. Jika pH telah sesuai,
ditambahkan agar-agar sebanyak 8 gr dan
medium MS cair ditambahkan kembali hingga
volume 1 L. Media dididihkan dan diaduk hingga
agar-agar larut dan tercampur rata kemudian
dibagi media sekitar 25 ml/botol ke dalam botol
kultur dalam keadaan masih cair. Botol kultur
ditutup rapat dengan penutup plastik dan
diautoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1,5 atm
selama 15 menit. Setelah itu, diberi label sesuai

perlakuan dan disimpan di dalam ruang steril
(Hendaryono, 1994).
2.3

Inokulasi Eksplan
Proses inokulasi dilakukan di laminar air
flow dengan kondisi aseptik. Alat-alat inokulasi
ditata didalam laminar air flow. Setiap alat
tersebut dicelupkan ke dalam alkohol 70% dan
dipanaskan di atas nyala api bunsen selama 1-2
menit. Bunsen yang akan dipakai hendaknya
terisi penuh. Daun Nicotiana tabacum L.
dikeluarkan dari botol sterilisasi dan diletakkan
pada cawan petri steril yang telah dilapisi kertas
tissue/kertas serap steril untuk menyerap
aquades. Kemudian daun dipotong-potong
persegi di atas petridish dengan ukuran 0,5 - 1
cm2. Eksplan tersebut kemudian diinokulasikan
ke dalam botol kultur yang telah berisi media MS
modifikasi dengan posisi horizontal (mendatar)
dan bagian abaksial menempel pada permukaan
medium (Dhaliwal et al., 2004). Media MS
modifikasi ini terdiri atas unsur makro, unsur
mikro, sukrosa, vitamin, agar, zat pengatur
tumbuh NAA dan Kinetin. Setiap botol kultur
berisi 2 eksplan. Botol ditutup rapat dan diberi
label yaitu tanggal dilakukan inokulasi eksplan
dan konsentrasi hormon yang digunakan.
Kemudian ditata rapi dalam rak kultur bertingkat.
Botol berisi eksplan diinkubasi pada suhu 2528oC, kelembaban 70% dengan fotoperiode 12
jam terang dan 12 jam gelap selama ± 1 bulan.
Setiap kolom rak kultur diberi pencahayaan
dengan lampu flourescen 40 watt (Gunawan,
1995).

H0 = Tidak ada pengaruh kombinasi zat
pengatur tumbuh NAA dan Kinetin
terhadap morfogenesis eksplan tanaman
tembakau.
H1 = Ada pengaruh kombinasi zat pengatur
tumbuh NAA dan Kinetin terhadap
morfogenesis eksplan tanaman tembakau.
Sedangkan variabel yang digunakan
adalah :
Variabel bebas
: perbandingan konsentrasi
zat pengatur tumbuh NAA
dan Kinetin
Variabel terikat
: jumlah akar dan jumlah
tunas
Variabel terkendali : pH, suhu, kelembaban,
dan pencahayaan.

3. Rancangan Penelitian dan Hipotesis

3.3 Uji Kualitatif
a. Kalus
Jika
eksplan
yang
ditumbuhkan
menghasilkan kalus maka dilakukan pengamatan
secara deskriptif yaitu morfologi kalus. Menurut
Ali et al. (2007) warna kalus yang terbentuk
antara lain kuning, kehijauan, dan hijau terang
sedangkan tekstur kalus yang terbentuk adalah
lunak, keras, dan kompak (Lampiran 3).
b. Respon Organogenesis dan Callogenesis
Respon organogenesis dan callogenesis
dilakukan pengukuran persentase pertumbuhan
eksplan yang meliputi respon callogenesis
(eksplan
membentuk
kalus),
respon
organogenesis tidak langsung (eksplan berkalus
bertunas, eksplan berkalus berakar, eksplan
berkalus bertunas berakar), dan respon
organogenesis langsung (eksplan bertunas,
eksplan berakar, eksplan bertunas dan berakar).

3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial
yang terdiri dari 2 faktor (Faktor 1= konsentrasi
NAA dan Faktor 2=konsentrasi Kinetin) dan
masing-masing 4 kali ulangan. Rancangan
penelitian disajikan pada tabel 2.
3.2 Uji Kuantitatif
Jika
eksplan
yang
ditumbuhkan
menghasilkan tunas atau akar, maka akan
dihitung jumlah tunas dan jumlah akar,
selanjutnya seluruh data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan
jika ada pengaruh maka dilanjutkan dengan uji
Tukey
dengan
tingkat
kesalahan
5%
menggunakan Minitab.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :

IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Respon Callogenesis Kultur In Vitro
Nicotiana tabacum L. var Prancak 95
Penambahan zat pengatur tumbuh NAA
dan Kinetin pada kultur in vitro eksplan daun
tembakau Madura (Nicotiana tabacum L. var.
Prancak 95) dengan konsentrasi yang berbeda
yaitu sebanyak 30 kombinasi memberikan respon
organogenesis dan callogenesis yang bervariasi.
Penelitian dilakukan selama 30 hari untuk
mengetahui respon morfogenesis dari Nicotiana
tabacum var. Prancak 95 yang ditandai dengan
terbentuknya kalus, tunas, dan akar dalam bentuk
persentase (Tabel 4.1).
Selain itu pengamatan secara deskriptif
juga dilakukan untuk mengetahui adanya respon
callogenesis, organogenesis langsung dan tidak
langsung. Callogenesis merupakan respon awal

yang ditandai dengan terbentuknya kalus yang
mulai terbentuk pada bagian tepi eksplan (bagian
perlukaan) bagian atas maupun bagian bawah
yang bersentuhan dengan media, tetapi kalus
lebih cepat terbentuk pada bagian yang
bersentuhan dengan media, yaitu bagian abaksial
daun. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan
proses pengambilan nutrisi medium oleh eksplan.
Penyerapan unsur hara akan lebih baik karena
terjadi kontak langsung antara media dengan
bagian abaksial daun. Munculnya kalus pada
bagian yang terluka diduga karena adanya
rangsangan dari jaringan pada eksplan untuk
menutupi lukanya. Hal ini sesuai pendapat dari
Thomas dan Davey (1975) dalam George and
Sherington (1993), mengemukakan bahwa
pembelahan
sel
yang
mengarah
pada
terbentuknya kalus terjadi dari adanya respon
terhadap luka dan suplai hormon alamiah atau
buatan dari luar ke dalam eksplan. Pada
perlakuan 0 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin
eksplan memberikan respon dengan penambahan
volume yaitu eksplan agak membesar dan
melengkung dan terbentuk tonjolan kecil yaitu
kalus tanpa disertai adanya respon organogenesis
yang nantinya akan tumbuh menjadi tunas, atau
akar (Gambar 4.1).

Kalus

Gambar 4.1. Eksplan dengan perlakuan 0 ppm
NAA dan 0 ppm Kinetin
Berdasarkan
Tabel
4.1,
respon
callogenesis pada eksplan Nicotiana tabacum L.
terjadi pada semua perlakuan dengan persentase
100% dan 25 %, kecuali pada perlakuan 0 ppm
NAA dengan penambahan Kinetin dengan
persentase 0% (Tabel 4.1).

Tumbuhnya kalus pada perlakuan 0 ppm
NAA dan 0 ppm Kinetin disebabkan adanya
pengaruh hormon endogen yang terkandung
dalam eksplan itu sendiri. Hormon endogen
tersebut juga mampu memacu sel untuk
berkembang dan memperbanyak diri tetapi waktu
yang dibutuhkan cenderung lama karena jumlah
hormon yang tidak tersedia secara pasti. Hal ini
membuktikan bahwa terbentuknya kalus sangat
dipengaruhi oleh peran jenis zat pengatur
tumbuh. Menurut Zulfiqar et al., (2009) kondisi
tersebut membuktikan bahwa pertumbuhan dan
morfogenesis tanaman secara in vitro
dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi
dari ZPT yang ada dalam eksplan baik endogen
maupun eksogen yang diserap dari media.
Pada perlakuan Kinetin tanpa penambahan
NAA, tidak terbentuk kalus. Sedangkan pada
perlakuan NAA tanpa penambahan Kinetin
terbentuk kalus, begitupula pada perlakuan
dengan interaksi NAA dan Kinetin. Berarti
dalam kasus ini NAA lebih berperan dalam
pembentukan kalus daripada Kinetin. NAA
(auksin) akan merangsang pertumbuhan sel-sel
eksplan, sehingga auksin akan cenderung
membentuk kalus karena terbentuknya kalus
berawal dari pembelahan sel pada daerah
meristematik yang tidak terspesialisasi. Pada
awal respon pertumbuhan, auksin akan memicu
pemanjangan sel melalui pelonggaran selulosa
dinding sel. Pemanjangan sel ini sebagai respon
terhadap NAA, namun sel tersebut tidak dapat
membelah karena tidak ada penambahan Kinetin.
Jika hanya Kinetin saja yang ditambahkan ke

dalam medium kultur, maka tidak akan ada
pengaruh apapun tehadap tumbuhnya kalus
karena Kinetin lebih berperan terhadap
pembelahan sel serta diferensiasi terbentuknya
tunas. Namun, jika Kinetin ditambahkan
bersama-sama dengan auksin maka sel-sel akan
mengalami pembelahan dan perkembangan
secara terus menerus. Rasio sitokinin terhadap
auksin mengontrol diferensiasi sel. Ketika
konsentrasi kedua hormon tersebut hampir sama,
massa sel akan terus bertambah (terbentuk
kalus). Penggunaan medium MS dengan
penambahan NAA dengan konsentrasi lebih
tinggi daripada konsentrasi Kinetin dapat
menginduksi proliferasi kalus. Zia et al., (2007)
menyebutkan bahwa bahwa kalus dapat tumbuh
pada beragam konsentrasi dan jenis zat pengatur
tumbuh, namun untuk zat pengatur tumbuh
Kinetin pada eksplan daun, kalus hanya tumbuh
pada Kinetin dengan konsentrasi yang rendah
yaitu dibawah 1 ppm, dan diatas 1 ppm kalus
tidak dapat tumbuh. Sedangkan pada zat
pengatur tumbuh NAA, kalus dapat tumbuh di
semua konsentrasi dan sebagian besar
menunjukkan persentase 100%. Selain itu,
interaksi zat pengatur tumbuh juga berpengaruh
tehadap warna dan tekstur kalus. Adapun tekstur
dan warna kalus disajikan pada Tabel 4.2

Morfologi kalus yang terbentuk pada
pengamatan selama 30 hari meliputi warna
putih, putih kehijauan, hijau, dan coklat.
Sedangkan tekstur yang terbentuk yaitu
kompak dan remah (Gambar 4.2).

Morfologi kalus yang terbentuk dominan
berwarna putih kehijauan dengan tekstur
kompak. Respon eksplan yang berasal dari
media dengan penambahan Kinetin memiliki
tekstur yang lebih kompak dan dominan
berwarna putih kehijauan. Dalam penelitian
ini dominan kalus yang muncul dari daerah
bekas pelukaan berwarna putih, lamakelamaan akan berubah berwarna putih
kehijauan dan kemudian berdiferensiasi
menjadi organ-organ vegetatif yakni tunas
dan akar. Hal tersebut terjadi kemungkinan
karena adanya kesesuaian antara medium,
zat pengatur tumbuh yang digunakan dengan
faktor lingkungan. Warna hijau ini
disebabkan kalus mengandung klorofil,
akibat interaksi NAA dan Kinetin terutama
Kinetin (sitokinin) yang berperan dalam
pembentukan klorofil pada kalus serta faktor
lingkungan yaitu paparan cahaya.. Hal ini
sesuai dengan pendapat Leupin (2000)
bahwa perubahan warna kalus menjadi putih
kehijauan, kemungkinan pada sel kalus
sudah mulai terbentuk klorofil. Kalus yang
berwarna putih tidak mengandung kloroplas,
tetapi mengandung plastid yang berisi butir
pati yang sedikit-demi sedikit tumbuh
menjadi sistem membran yang jelas yang
akhirnya terbentuklah butir-butir klorofil
dengan paparan cahaya, sehingga kalus
menjadi berwarna hijau. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan George & Sherrington
(1993), bahwa cahaya putih dapat
merangsang pembentukan kalus dan

organogenesis dalam kultur jaringan
tumbuhan.
Kalus kompak memiliki struktur
yang terorganisasi dan ditandai dengan nodul
berwarna hijau dan sangat baik untuk
regenerasi planlet. Tekstur kalus kompak
merupakan efek dari sitokinin yang berperan
dalam transport zat hara. Sistem transport
sitokinin dari bagian basal ke apeks akan
membawa air dan zat hara melalui pembuluh
pengangkut dan mempengaruhi potensial
osmotik dalam sel. Penambahan sukrosa
dalam medium akan mengalir melalui
pembuluh floem dan menimbulkan tekanan
turgor. Tekanan tersebut muncul akibat
adanya perbedaan konsentrasi larutan,
sehingga air dan zat hara (sukrosa) dari
medium akan masuk kedalam sel melalui
cara osmosis. Hal ini akan membuat dindingdinding sel semakin kaku, sehingga sel kalus
akan menjadi kompak.
Sukrosa yang
merupakan karbohidrat sebagai cadangan
makanan ini akan diubah menjadi pati yang
digunakan sebagai energi pada proses
morfogenesis eksplan, sehingga dapat
membantu sel untuk terus membelah.
Menurut Purwianingsih (2007), struktur
kalus yang kompak dan terjadi perubahan
warna
kekuningan
atau
kehijauan,
mengindikasikan terjadinya diferensiasi sel.
Kalus remah didapatkan pada perlakuan
dengan NAA lebih tinggi dari Kinetin dan
berwarna coklat karena terdapat pengaruh
komposisi medium dan zat pengatur tumbuh.
Kalus remah ini terjadi melalui proses
pertumbuhan
yang
mengarah
pada
pembentukan sel-sel yang berukuran kecil
dan berikatan longgar. Dalam hal ini, auksin
memiliki peran terhadap pembentukan kalus
remah. NAA menstimulasi pemanjangan sel
dengan cara penambahan plastisitas dinding
sel menjadi longgar, sehingga air dapat
masuk ke dalam dinding sel dengan cara
osmosis dan sel mengalami pemanjangan.
Oleh karena itu, kalus yang remah
mengadung banyak air karena belum
mengalami lignifikasi dinding sel, antara
kumpulan sel yang satu dengan yang lain
relatif mudah untuk dipisahkan. Pada
penelitian ini, kalus remah pada perlakuan

NAA dengan konsentrasi yang tinggi tumbuh
akar, namun tidak mengalami pemanjangan,
sedangkan pada perlakuan kombinasi NAA
dan Kinetin yang tinggi tidak dapat
berdiferensiasi menjadi tunas atau akar,
karena zat pengatur tumbuh dengan
konsentrasi
tinggi
ini
cenderung
menghambat diferensiasi kalus.
Peristiwa pencoklatan ini adalah peristiwa
alamiah, yang merupakan suatu proses
perubahan adaptif bagian tanaman akibat
adanya pengaruh seperti respon dari bekas
perlukaan pada eksplan dan juga merupakan
tahapan awal perubahan warna kalus menjadi
putih kehijauan. Hal ini terbukti pada kalus
yang berwarna coklat juga terdapat kalus
remah yang berwarna putih dan massa kalus
semakin bertambah dan juga ada yang
tumbuh akar. Perubahan warna juga diduga
karena adanya sintesis senyawa fenolik
akibat adanya cekaman berupa pelukaan
pada jaringan. Pernyataan tersebut diperkuat
oleh Verpoorte et al. (1993), bahwa
terjadinya pencokelatan pada jaringan adalah
karena aksi polifenol oksidase yang
disintesis akibat dari oksidasi jaringan ketika
terluka. Selain itu warna coklat ini berarti
terdapat proses degradasi klorofil karena
tidak ada penambahan
Kinetin dan
konsentrasi Kinetin yang rendah, dimana
Kinetin disini berperan dalam pembentukan
klorofil, sehingga menyebabkan warna hijau
tidak muncul. Hal ini sesuai dengan pendapat
Santosa dan Nursandi (2002) bahwa kalus
yang tidak hijau disebabkan oleh hilangnya
polarisasi,
sehingga
terjadi
proses
dekomposisi klorofil.
4.2 Respon Organogenesis Kultur In Vitro
Nicotiana tabacum L. var Prancak 95
Proses organogenesis eksplan secara in vitro
terjadi dengan dua cara yang berbeda yaitu
secara langsung dan tidak langsung. Eksplan
menunjukkan respon organogenesis secara
tidak langsung apabila eksplan tumbuh
melalui kalus, kemudian akan berdiferensiasi
menjadi
tunas
dan
akar.
Eksplan
menunjukkan respon secara organogenesis
langsung apabila eksplan tumbuh langsung
membentuk tunas dan akar, tanpa melalui

pembentukan kalus (Dhaliwal et al., 2003).
Menurut Attfield dan Evans (1991) dalam
Dhaliwal et al (2003), eksplan daun
tembakau dapat membentuk tunas dan akar
secara langsung atau tidak langsung,
tergantung zat pengatur tumbuh dalam
medium kultur. Eksplan menunjukkan
respon secara organogenesis tidak langsung
seperti pada perlakuan 0,5 ppm NAA dan 1
ppm Kinetin dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Berdasarkan Tabel 4.3 bahwa respon
proliferasi tunas dipengaruhi oleh kadar zat
pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam
media kultur MS. Pada perlakuan Kinetin tanpa
penambahan NAA, yang terbentuk hanyalah
tunas dengan jumlah yang banyak tanpa disertai
dengan pembentukan kalus dan akar dengan hasil
analisis ragam berbeda nyata dengan perlakuan 0
ppm NAA dan 0 ppm Kinetin.

Tunas

Kalus

Akar

Gambar

4.3.Eksplan membentuk kalus,
tunas, dan akar pada perlakuan
0,5 ppm NAA dan 1 ppm Kinetin

Respon organogenesis dapat dilihat melalui
Tabel 4.3 dan 4.4. Adanya respon
organogenesis
yang
diamati
berupa
proliferasi tunas dan akar.
4.2.1 Proliferasi Tunas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat interaksi yang nyata antara NAA dan
Kinetin terhadap jumlah tunas. Sementara
Kinetin sebagai faktor tunggal berpengaruh nyata
terhadap pembentukan tunas, dan NAA sebagai
faktor tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap
pembentukan tunas (Lampiran 4). Berdasarkan
hasil analisis uji tukey dengan selang
kepercayaan 95% bahwa jumlah tunas pada
perlakuan Kinetin 4 ppm dan NAA 0 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya
(Tabel 4.3). Rerata jumlah tunas pada medium
dengan berbagai kombinasi NAA dan Kinetin
disajikan pada Tabel 4.3.

Gambar 4.4. Grafik perbandingan rata-rata
jumlah tunas dengan konsentrasi zpt
Berdasarkan Gambar 4.4. menunjukkan
interaksi
zat
pengatur
tumbuh
yang
menghasilkan tunas paling banyak adalah
kombinasi 0 ppm NAA dan 4 ppm Kinetin
dengan rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan
adalah 62,75 tunas/eksplan. Terbentuknya tunas
pada perlakuan Kinetin tanpa penambahan NAA
ini dikarenakan zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan adalah Kinetin yang termasuk
sitokinin, dan fungsi sitokinin lebih memicu
pembentukan tunas dan pembelahan sel namun
cenderung menghambat pembentukan akar,
sedangkan
auksin
cenderung
memicu
pembentukan kalus dan akar. Hal ini
menunjukkan bahwa sitokinin sangat efektif
untuk menginisiasi tunas secara langsung
maupun tidak langsung. Selain itu konsentrasi
Kinetin yang tinggi juga menjadi penyebab
terhambatnya pemanjangan tunas, karena tidak
ada faktor NAA yang mempengaruhi dalam

pemanjangan sel. Konsentrasi Kinetin 4 ppm
yang ditambahkan disini merupakan konsentrasi
optimal untuk memicu pembentukan tunas. Hal
ini sesuai dengan penelitian Yunus (2007),
bahwa jumlah tunas terbanyak tumbuh pada
perlakuan Kinetin tunggal 4 ppm. Tunas yang
terbentuk pada perlakuan Kinetin 4 ppm tanpa
penambahan NAA dapat dilihat pada Gambar
4.5.

Gambar

4.5.

Tunas yang terbentuk pada
perlakuan 0 ppm NAA dan 4 ppm
Kinetin
Sedangkan perlakuan dengan penambahan
zat pengatur tumbuh NAA tanpa Kinetin tidak
menghasilkan tunas, hanya kalus dan akar saja
dengan hasil analisis ragam tidak berbeda nyata
dengan perlakuan 0 ppm NAA dan 0 ppm
Kinetin. Hal ini dikarenakan zat pengatur tumbuh
yang ditambahkan adalah NAA. Auksin lebih
berperan dalam inisiasi kalus dan akar. Tidak
terbentuknya tunas dikarenakan tidak adanya
Kinetin yang berperan dalam pembelahan sel
serta diferensiasi sel yang lebih ke arah
pembentukan tunas. Sehingga dapat diketahui
bahwa sitokinin sangat penting dalam
mengiduksi tunas eksplan daun tembakau
Nicotiana tabacum L.
Adapun interaksi antara zat pengatur
tumbuh NAA dan Kinetin dengan jumlah tunas
dapat dilihat pada gambar 4.4. Adanya interaksi
antara NAA dan Kinetin dapat mempengaruhi
terbentuknya tunas dengan baik. Hal ini
dibuktikan pada perlakuan interaksi tersebut
banyak yang menghasilkan tunas. Hal ini
dikarenakan terdapat pengaruh faktor NAA dan
Kinetin sebagai zat pengatur tumbuh.
Keseimbangan antara NAA dan Kinetin sangat
penting dalam menginduksi tunas karena masingmasing zat pengatur tumbuh tersebut mempunyai
peranan dalam menginduksi tunas. Skoog dan
Miller
(1950)
dalam
Kieber
(2002)
mengungkapkan bahwa dengan adanya auksin
dan sitokinin dalam medium dapat menstimulasi
sel-sel jaringan parenkim tembakau untuk

membelah. Pemanjangan sel, pembelahan sel,
morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan
merupakan proses yang sangat penting dalam
pembetukan kalus dan selanjutnya diikuti
pembentukan tunas. Hal ini menunjukkan bahwa
sitokinin (Kinetin) dan auksin (NAA) berperanan
saling melengkapi dalam menginduksi tunas.
Tunas sebagian besar terbentuk pada
bagian abaksial daun, sedangkan akar tumbuh
pada bagian adaksial daun. Dhaliwal et al (2004)
mengatakan bahwa pada eksplan daun tembakau
primordia tunas tumbuh dari sel-sel mesofil
palisade yang terletak di bagian adaksial daun,
sedangkan akar tumbuh dari barisan sel parenkim
dekat dengan pembuluh vaskuler. Skoog and
Miller, (1957) dalam Kieber (2002) mengatakan
sitokinin terlibat dalam berbagai aspek pada
pertumbuhan dan perkembangan tanaman
terutama
pembentukan
tunas.
Proses
perkembangan bakal tunas diawali dengan
pembelahan sel secara periklinal di sisi lateral
(periferal), agak di bawah daerah distal meristem
pucuk. Pembelahan sel secara periklinal yang
diikuti dengan pertumbuhan sel anak yang
menyebabkan tonjolan yang membentuk
primordial daun, sedangkan pembelahan sel
secara antiklinal dapat meningkatkan luas
permukaan primordia daun. Primordial daun
ditopang oleh sel prokambium, selanjutnya
prokambium tersebut akan menjadi tulang daun
(Qosim, 2005).
4.2.2 Proliferasi Akar
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
terdapat interaksi yang nyata antara NAA dan
Kinetin terhadap jumlah tunas dan jumlah akar.
Sementara faktor NAA sebagai faktor tunggal
berpengaruh nyata terhadap pembentukan akar
(Lampiran 4). Berdasarkan hasil analisis uji
Tukey dengan selang kepercayaan 95 % bahwa
jumlah akar pada perlakuan 2,5 ppm NAA dan 0
ppm Kinetin berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya (Tabel 4.4). Rerata jumlah akar pada
medium dengan berbagai kombinasi NAA dan
Kinetin disajikan pada Tabel 4.4.

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui
bahwa pada perlakuan tanpa penambahan NAA,
tidak terbentuk akar sama sekali, karena memang
tidak
ada
faktor
yang
mempengaruhi
terbentuknya akar yaitu auksin (NAA). Peran
auksin disini untuk menginduksi akar, sedangkan
sitokinin untuk mendorong proses morfogenesis
tunas. Pada perlakuan NAA tanpa penambahan
Kinetin, eksplan menunjukkan tumbuhnya akar
dengan rerata yang berbeda dan hasil analisis
ragam tidak berbeda nyata pada uji Tukey,
kecuali perlakuan 2,5 ppm NAA dan 0 ppm
Kinetin (Tabel 4.4). Kombinasi konsentrasi
optimum untuk pertumbuhan akar adalah 0 ppm
Kinetin dan 2,5 ppm NAA dengan rata-rata
jumlah akar adalah 37,75 akar/eksplan. Akar
yang terbentuk sangat banyak, hal ini
menunjukkan bahwa kadar NAA sebesar 2,5
ppm merupakan konsentrasi optimum yang
memberikan efek proliferasi akar yang baik
dibanding dengan perlakuan yang lain (Gambar
4.6).

Gambar 4.6

Akar yang terbentuk pada
perlakuan 2,5 ppm NAA dan 0
ppm Kinetin
Adanya penambahan NAA ini dapat
membuat kalus berdiferensiasi menjadi akar.
Dalam hal ini berarti auksin yang ditambahkan
dalam medium dapat memicu pembentukan akar
baik dalam konsentrasi rendah maupun tinggi.
Hal ini sesuai dengan penelitian Maryanto (1971)
dalam Suryowinoto (1996) bahwa pada kultur in
vitro tembakau dengan konsentrasi auksin dan
sitokinin 0 ppm:5 ppm hanya terbentuk akar saja
dengan jumlah yang sangat banyak.
Sedangkan interaksi antara NAA dan
Kinetin pada medium tidak berbeda nyata, hal ini
dapat dilihat degan kecilnya rerata jumlah akar
pada perlakuan kombinasi NAA dan Kinetin
(Tabel 4.4). Setiap eksplan memberikan respon
yang berbeda-beda terhadap tiap perlakuan yang
diujikan.

Gambar 4.7. Grafik perbandingan rata-rata jumlah
akar dengan konsentrasi zpt
Berdasarkan gambar 4.7 terdapat
interaksi antara zat pengatur tumbuh NAA dan
Kinetin dengan rata-rata jumlah akar yang
terbentuk. Akar-akar yang terbentuk sedikit,
namun tidak semua kombinasi dalam perlakuan
ini tumbuh akar, meskipun dalam media telah
ditambahkan NAA dan Kinetin, akar tidak dapat
terinduksi. Hal ini berarti terdapat faktor
inhibitor dengan adanya penambahan Kinetin.
Kinetin disini cenderung memicu pembentukan
tunas dan menghambat pembentukan akar. Lee et
al, (2002) menyatakan bahwa keberadaan
sitokinin juga menghambat kerja auksin dalam
hal pemanjangan sel pada hipokotil. Son et al
(2004) juga menyatakan bahwa respon transport
auksin dihambat oleh penambahan sitokinin
dalam hal pemanjangan akar pada daerah
meristem apikal akar. Hal ini sejalan dengan azas
keseimbangan auksin dan sitokinin yang
dikemukakan oleh George and Sherington (1993)
bahwa pembentukan akar memerlukan auksin
tanpa sitokinin atau sitokinin dalam konsentrasi
rendah.
Interaksi antara Kinetin dan NAA
berperan dalam mengontrol banyak aspek
pertumbuhan dan diferensasi sel. Ketika
dikombinasikan dengan NAA, Kinetin memicu
diferensiasi dan perkembangan sel, organ dan
seluruh bagian tanaman. Secara umum, rasio
sitokinin yang tinggi daripada auksin akan
memicu terbentuknya tunas dan pada medium
dengan konsentrasi sitokinin yang rendah tidak
mampu membuat kalus terdiferensiasi menjadi
tunas.
Hal
inilah
yang
menyebabkan
terbentuknya akar hanya sedikit pada medium
dengan penambahan Kinetin. Peningkatan
pemberian konsentrasi Kinetin baik tanpa
penambahan NAA maupun kombinasi dengan
NAA tampak bersifat menghambat dalam
mempengaruhi pembentukan akar pada eksplan

karena menghasilkan jumlah akar yang lebih
sedikit. Menurut Sugiharto (2007) kadar
sitokinin yang optimal untuk pertumbuhan tunas
dapat
menghambat
pertumbuhan
dan
pembentukan akar. Pernyataan ini sesuai dengan
hasil penelitian bahwa pada konsentrasi Kinetin
4 ppm yang dikombinasikan dengan berbagai
macam konsentrasi NAA, tidak merespon
pembentukan akar.
George
and
Sherington
(1993)
menyatakan bahwa auksin berpengaruh luas
terhadap
pertumbuhan,
merangsang
dan
mempercepat
pertumbuhan
akar,
serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas akar.
Semakin cepatnya saat terbentuk akar pada
media yang ditambahkan NAA menunjukkan
bahwa auksin dapat mengaktifkan enzim-enzim
yang berperan dalam pembuatan komponen sel
sehingga begitu mulai terjadinya pembelahan sel
maka NAA akan merangsang pembentukan selsel dengan cepat, sehingga dapat menginisiasi
pembentukan akar (Wattimena, 1991).
IV KESIMPULAN

Berdasar hasil penelitian dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Penambahan
zat
pengatur
tumbuh
Naphthalene Acetic Acid (NAA) dan Kinetin
memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas,
jumlah akar pada kultur in vitro eksplan daun
tembakau (Nicotiana tabacum L. var.
Prancak 95).
2. Respon Jumlah Tunas terbaik ditunjukkan
pada perlakuan dengan penambahan 4 ppm
Kinetin 0 ppm NAA, dengan rata-rata sebesar
62,75 tunas/eksplan. Sedangkan respon
jumlah akar terbaik ditunjukkan pada
perlakuan dengan penambahan 2,5 ppm NAA
0 ppm Kinetin dengan rata-rata sebesar 37,75
tunas/eksplan.
3. Organogenesis pada eksplan terjadi secara
langsung dan tidak langsung dan Callogenesis
terjadi pada eksplan pada semua perlakuan
kecuali perlakuan tanpa penambahan NAA.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ahmad dan Soedarmanto. 1982.
Budidaya Tembakau. CV Yasaguna.
Jakarta.
Ali, G., F. Hadi, Z. Ali, M. Tariq, and M. A.
Khan. 2007. Callus Induction and in vitro
Complete Plant Regeneration of Different
Cultivars ot Tobacco (Nicotiana tabacum
L.) on Media of Different Hormonal

Concentration. Biotechnology. Vol 6(4):
561-566
Basuki, S, Suwarso, A. Herwati, dan S.
Yulaikah. 1999. Biologi dan Morfologi
Tembakau Madura. Balai Penelitian
Tembakau dan Tanaman Serat. Malang
Dhaliwal, H. S., E. C. Yeung, and T. A. Thorpe.
2004. Tiba Inhibition of In vitro
Organogenesis in Excised Tobacco Leaf
Explants. In vitro cell. Dev. Biol. Plant
40:235-238. Plant Physiology Research
Group, Departement of Biological
Sciences, University of Calgary, Calgary,
Alberta, T2N 1N4, Canada
Fitrianti, A. 2006. Efektivitas Asam 2,4Diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan Kinetin
pada Medium MS dalam Induksi Kalus
Sambiloto dengan Eksplan Potongan
Daun. Skripsi. Biologi FMIPA UNS:
Semarang
Fowke, L. C., P. J. Rennie, and F. Constable.
1983. Organelles Associated with the
Plasma Membran of Tobacco Leaf
Protoplast. Plant Cell Report 2(1983):
292-295
George, E. F., and Sherrington, Ph.D. 1993.
Plant Propagation by Tissue Culture.
Exegetic Limited. London.
Gunawan, L.W., 1995. Teknik kultur jaringan
tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan
Tumbuhan, Pusat Antar Universitas
(PAU), Institut Pertanian Bogor (IPB).
Bogor.
Hanum, Chairani. 2008. Teknik Budidaya
Tanaman Jilid 3. Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah, Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta
Hendaryono, Daisy.P.S dan Ari Wijayani. 1994.
Teknik Kultur Jaringan (Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara
Vegetatif-Modern). Penerbit Kanisius.
Yogyakarta
Hidayat. 2007. Induksi Pertumbuhan Eksplan
Endosperm Ulin dengan IAA dan
Kinetine. Agritrop, 26 (4) : 147 – 152.
Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Denpasar Bali - Indonesia
Imelda Maria, Wulansari Aida, Poerba Yuyu
Suryasari. 2008. Regenerasi Tunas dari
Kultur
Tangkai
Daun
Iles-iles
(Amorphophallus
muelleri
Blume).
Biodiversitas Vol. 9, No. 3, Juli 2008, hal.
173-176

Judd.

2002. Plant Systematics. Sinauer
Associates, Inc. Publisher. Sunder Land,
Massachusetts U.S.A
Julia, H.L. 1990. Nicotiana tabacum L. Seccion
Toxicologia Hospital de Clinicas "José de
San Martin" Cordoba 2351 Capital Federal
1120
Argentina.
http://www.IPCSINCHEM
Kieber, Joseph J., and Ingrid B D’Agostino.
2002. Molecular mechanisms of cytokinin
action. Plant Biology 1999, 2:359–364.
Department of Biological Sciences.
Chicago
Lee, Dong Ju, Sung Soo Kim, Soung Soo Kim.
2002. The Regulation Of Korean Radish
Cationic Peroxidase Promoter By a Low
Ratio of Cytokinin To Auxin. Plant
Science 162 (2002) 345–353.
Leupin, Ruth E., Leupin Marianne, Charles
Ehret, Karl H. Erismann, And Witholt
Bernard. 2000. Compact Callus Induction
And Plant Regeneration Of A NonFlowering Vetiver From Java. Plant Cell,
Tissue And Organ Culture 62: 115–123.
Switzerland.
Marlin. 2005. Regenerasi In Vitro Planlet Jahe
Bebas Penyakit Layu Bakteri Pada
Beberapa Taraf Konsentrasi 6-Benzil
Amino Purine (BAP) dan 1 -Napthalene
Acetic Acid (NAA). Jurnal-Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia, volume 7 no-1: 8-14
Nugroho, A. 2004. Pedoman Pelaksanaan
Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Pant, B., and Manandhar, S. 2007. In Vitro
Propagation Of Carrot (Daucus Carota) L.
Scientific World, Vol. 5, No. 5, June.
Central Department Of Botany, Tribhuvan
University, Kirtipur, Kathmandu, Nepal.
Pauline, D. Kasi & Sumaryono. 2008.
Perkembangan Kalus Embriogenik Sagu
(Metroxylon sagu Rottb.) pada tiga sistem
kultur in vitro. Menara Perkebunan, 76(1),
1-10. Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia, Bogor.
Purwianingsih, Widi.Dra.M.Si, Kusdianti R,
Dra.M.Si, Yuniarti Linda, S.Si. Anatomi
Kalus Yang Berasal Dari Eksplan Daun
Catharanthus Roseous (L). G. Don (Tapak
Dara). Skripsi Yuniarti.
Qosim, Warid Ali, Poerwanto. R, Wattimena.
G.A, Dan Witjaksono. 2005. Pembentukan
Planlet Manggis Dari Kalus Nodular In
Vitro. Zuriat, Vol. 16, No. 2. Bogor

Rachman, A. Machfudz Dan Heri Istiana. 1997.
Teknik Budidaya Tembakau Madura. Balai
Penelitian Tanaman Tembakau Dan
Tanaman Serat. Malang.
Rahardja, P. C. 1995. Kultur Jaringan Teknik
Perbanyakan Tanaman Secara Modern.
Penebar Swadaya. Jakarta
Salisbury, F. B dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi
Tumbuhan. Jilid 3. Bandung: ITB.
Santosa, E. K. 2007. Pemanfaatan Daun
Tembakau (Nicotiana Tabacum) Sebagai
Pewarna
Kain
Sutera
dengan
Menggunakan Mordan Jeruk Nipis (Citrus
Aurantifolia Swingle) Diterapkan Pada
Lenan Rumah Tangga. Skripsi. Jurusan
Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas
Teknik UNS. Semarang
Santoso, U. dan Nursandi, F. 2003. Kultur
Jaringan Tanaman. Penerbit Universitas
Muhammadiyah Malang. Malang.
Silva, J. A. T. 2005. Simple Multiplication and
Effective Genetic Transformation (Four
Methods) of in vitro-grown Tobacco by
Stem Thin Cell Layers. Plant Science 169:
1046-1058
Smith dan Wood. 1992. Mollecular and Cell
Biochemistry. Cell Biology. Chapman &
Hall. London
Son, Ora, Hee-Yeon Choa, Kim Mi-Ran. 2004.
Induction of a Homeodomain–Leucine
Zipper Gene By Auxin Is Inhibited By
Cytokinin
In
Arabidopsis
Roots.
Biochemical and Biophysical Research
Communications 326 (2005) 203–209.
Korea
Steenis, Van. 2008. Flora Untuk Sekolah
Menengah di Indonesia. PT Pradnya
Paramita : Jakarta
Sudarmadji. 2003. Penggunaan Benzil Amino
Purine Pada Pertumbuhan Kalus Secara In
Vitro. Buletin Teknik Pertanian Vol 8 No.
1 2003.
Sugiharto Bowo, Rahayu Triastuti, Faatih
Mukhiissul. 2007. Propagasi Tanaman
Nilam (Pogostemon Cablin Benth.) Secara
In Vitro Dengan Kombinasi Sitokinin Dan
Auksin 2,4 D. MIPA, Vol. 17, No. 1,
Januari 2007: 39 – 47. Jurusan Pendidikan
Biologi FKIP UNS
Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang Dengan
Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman
Secara
In
Vitro.
Penerbit
Kanisius.Yogyakarta.

Susilowati, E. Y. 2006. Identifikasi Nikotin dari
Daun Tembakau Kering (Nicotiana
tabacum) dan Uji Efektivitas Ekstrak
Daun Tembakau sebagai Insektisida
Penggerek Batang Padi (Scirpophaga
innonata). Skripsi. Kimia FMIPA UNS.
Semarang
Suwarso. 1991. Pemuliaan Tanaman Tembakau
Virginia dan Tembakau asli dalam
Prosiding Pemuliaan Tanaman I. PPTI
Komda jatim. Malang.
Suwarso, A. Herwati, A. Rachman, dan Slamet.
1999. Pemuliaan Tembakau Madura.
Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman
Serat: Malang
Suwarso, A. Herwati, dan A. S. Murdiyati. 2006.
Varietas-varietas
Baru
Tembakau
Madura. Balai Penelitian Tembakau dan
Tanaman Serat: Malang
Suwarso, Anik Herwati. 2008. Varietas Unggul
Tembakau
Prancak
95.
www.bpatp.litbang.deptan.go.id
Tohari. 1992. Tembakau dalam fisiologi tanaman
budidaya tropik. Gajah Mada University
Press p.747-836. Yogyakarta
Verpoorte R, Van der Heijden R, Schripsema J.
1993. Plant biotechnology for the
production of alkaloids; present status and
prospect. J Nat Prod 56:186-207.
Wang, H., M. Zhao, B. Yang, Y. Jiang, and G.
Rao. 2008. Identification of Polyphenols
in Tobacco Leaf and Their Antioxidant
and Antimicrobial Activities. Food
Chemistry 107: 1399–1406
Wattimena, G. A. 1992. Diktat Zat Pengatur
Tumbuh Tanaman. Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman PAU Bioteknologi IPBDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bogor
Widiastoety, D. dan A.Santi. 1994. Pengaruh Air
Kelapa terhadap Pembentukan Proticorm
Like Bodies (PLBs) dari Anggrek Vanda
dalam Medium Cair. Jurnal Hortikultura
Volume 4 No. 2.
Yunus, Ahmad. 2007. Pengaruh IAA dan Kinetin
terhadap Pertumbuhan Eksplan Bawang
Merah (Allium ascalonicum L.) secara In
Vitro. Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus
No. 1: 53-58
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan : Cara
Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.
Jakarta. Agromedia Pustaka.
Zia,
Muhammad,
Riaz-ur-Rehman,
and
Chaudhary Muhammad Fayyaz. 2007.

Hormonal regulation for callogenesis and
organgenesis of Artemisia absinthium L.
African Journal of Biotechnology Vol. 6
(16), pp. 1874-1878. Plant Physiology
Laboratory,
Faculty
of
Biological
Sciences,
Quaid-i-Azam
University,
Islamabad, Pakistan.
Zulfiqar, Bushra, Akhtar Abbasi Nadeem,
Ahmad Touqeer, and Ishfaq Ahmed Hafiz.
2009. Effect of explant sources and
different Concentrations of plant growth
regulators on in vitro shoot proliferation
and rooting of avocado (persea americana
mill.). Pak. J. Bot., 41(5): 2333-2346.
Department of Horticulture, Pir Mehr Ali
Shah Arid Agriculture University,
Rawalpindi, Pakistan.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman.
Bumi Aksara. Jakarta