Penentuan suhu kritis atas pada sapi perah dara fries holland berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pakan melalui simulasi Artificial Neural Network

PENENTUAN SUHU KRITIS ATAS PADA SAPI PERAH
DARA FRIES HOLLAND BERDASARKAN RESPON
FISIOLOGIS DENGAN MANAJEMEN PAKAN
MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL
NEURAL NETWORK

DADANG SUHERMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penentuan Suhu
Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis
dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan

dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor

Bogor, Agustus 2013

Dadang Suherman
NIM D161080031

RINGKASAN
DADANG SUHERMAN. Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara
Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi
Artificial Neural Network. Dibimbing oleh BAGUS P PURWANTO, WASMEN
MANALU dan IDAT G PERMANA.
Lingkungan iklim mikro merupakan salah satu tantangan terbesar yang
dihadapi peternak dalam pengembangan ternak sapi perah di Indonesia adalah
cekaman panas. Kondisi iklim di Indonesia bersifat panas sepanjang tahun, sekitar
suhu udara 290C selama 6 jam yang disebabkan radiasi matahari dan kelembaban
udara yang sangat intensif. Cekaman panas di alam bersifat kronis, cuaca panas

hanya sedikit berkurang pada malam hari, dan terjadi peningkatan yang besar
akibat kombinasi suhu dan kelembaban udara sebagai penentu suhu kritis yang
dapat menurunkan performa produksi ternak. Beberapa penelitian telah dilakukan
di Indonesia seperti modifikasi lingkungan fisik (naungan dan pendinginan),
manajemen pemberian pakan dan peningkatan manajemen nutrisi untuk
meminimalkan efek cekaman panas terhadap respon fisiologis berupa suhu kulit,
suhu rektal, suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernafasan. Akan tetapi,
strategi manajemn pakan untuk menentukan dan menimimalkan cekaman panas
pada suhu kritis belum dilakukan secara menyeluruh. Penentuan suhu kritis pada
sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis cukup intensif dilakukan di daerah
subtropis. Namun demikian, penentuan suhu kritis pada sapi dara FH yang
dipelihara di daerah tropis seperti Indonesia belum dilakukan secara intensif.
Begitu juga, penentuan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon
fisiologis dengan manajemen pakan melalui simulasi Artificial Neural Network
belum dilakukan secara intensif.
Penelitian pertama dilakukan pada peternakan sapi perah rakyat di Kebon
Pedes Bogor sebagai daerah dataran sedang (400-600 dpl) dan peternakan sapi
perah rakyat di Pondok Rangon Jakarta sebagai dataran rendah (200-400 dpl) dari
bulan Januari hingga Februari 2011. Tujuan penelitian ini untuk menentukan suhu
kritis pada sapi dara FH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada

masing-masing waktu dan suhu lingkungan di dua daerah berbeda. Enam ekor
sapi dara FH digunakan untuk masing-masing daerah pada penelitian ini. Ternak
dipelihara selama 14 hari dengan diberikan pakan pada pagi hari pukul 06.00 dan
sore hari pukul 15.00, rasio pemberian rumput dan konsentrat setiap hari antara
60:40 Pengambilan data dilakukan setiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00
selama 14 hari selama kurun waktu dua bulan. Peubah yang diukur meliputi
parameter rata-rata iklim dalam kandang (suhu udara, kelembaban udara, THI,
dan kecepatan angin), parameter respon fisiologis (suhu kulit, suhu rektal, suhu
tubuh, denyut jantung, dan frekuensi respirasi). Rancangan yang digunakan adalah
pengamatan secara langsung pada ternak. Penentuan suhu kritis pada sapi dara FH
berdasarkan respon fisiologis disimulasikan dengan menggunakan analisis
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network).
Penelitian kedua dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian IPT perah,
Fapet, IPB dari bulan Maret hingga Juni 2011. Tujuan penelitian ini untuk
menentukan suhu kritis pada sapi dara FH dalam kandang berdasarkan respon
fisiologis dengan manajemen waktu pemberian pakan dan kualitas pemberian

konsentrat dengan kandungan TDN berbeda. Enam ekor sapi dara FH digunakan
pada penelitian ini. Sebanyak enam perlakukan yang digunakan merupakan
kombinasi dari waktu pemberian pakan (pukul 05.00 dan 18.00), (pukul 08.00 dan

16.00), dan level TDN konsentrat (70 %, 75 %, 75 % mengandung minyak kelapa
3.5 %). Ternak diberikan pakan dua kali setiap hari dengan rumput gajah dan
konsentrat. Penelitian dilakukan selama enam periode dan setiap periode selama
14 hari dari.pukul 05.00 hingga pukul 20.00. Parameter yang diukur meliputi
parameter unsur cuaca (suhu udara, kelembaban udara, THI, kecepatan angin, dan
radiasi matahari), parameter respon fisiologis (suhu kulit, suhu rektal, denyut
jantung, dan frekuensi respirasi), konsumsi pakan, kecepatan konsumsi pakan,
kecepatan mengunyah, dan pertambahan bobot badan. Rancangan yang digunakan
adalah Rancangan Bujur Sangkar Latin 6x6. Analisis penentuan suhu kritis pada
sapi dara FH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen
waktu pemberian pakan dan kualitas pemberian konsentrat dengan kandungan
TDN berbeda disimulasikan dengan menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan
(Artificial Neural Network).
Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa model simulasi ANN dapat
digunakan untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH dengan indikator suhu
permukaan kulit, suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi respirasi pada berbeda
level suhu dan kelembaban udara di daerah Bogor dan Jakarta. Sapi dara FH
mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 26 0C dengan kelembaban
udara 86% dan di daerah Jakarta pada suhu udara 26 0C dengan kelembaban udara
88%, yang dicirikan dengan meningkatnya suhu rektal, sedangkan sapi dara FH

mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 31 0C dengan kelembaban
udara 86 % dan di daerah Jakarta pada suhu udara 32.5 0C dengan kelembaban
udara 88 %, yang dicirikan meningkatnya suhu kulit. Suhu rektal sapi dara FH
lebih sensitif terkena cekaman akibat perubahan suhu dan kelembaban udara
dibanding suhu kulit baik di daerah Bogor maupun Jakarta.
Sapi dara FH mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 22.5
0
C dengan kelembaban udara 78 % dan di daerah Jakarta pada suhu udara 23.5 0C
dengan kelembaban udara 78%, yang dicirikan dengan meningkatnya frekuensi
respirasi, sedangkan sapi dara FH mulai mengalami suhu kritis di daerah Bogor
pada suhu udara 24.5 0C dengan kelembaban udara 78 % dan di daerah Jakarta
pada suhu udara 23.5 0C dengan kelembaban udara 88 %, yang dicirikan
meningkatnya denyut jantung. Frekuensi respirasi sapi dara FH lebih sensitif
terkena cekaman akibat perubahan suhu dan kelembaban udara dibanding denyut
jantung baik di daerah Bogor maupun Jakarta.
Hasil peneltian didapatkan bahwa respon fisiologis lebih rendah pada sapi
dara FH yang diberi pakan pukul 05 dan 18.00 dibanding yang diberi pakan pukul
08.00 dan 16.00. Model penerapan ANN dapat digunakan untuk memprediksi
respon fisiologis sapi dara FH dengan input suhu dan kelembaban udara sebagai
penentu suhu kritis yang diberi pakan pukul 05.00 dan 18.00 dan pukul 08.00 dan

16.00 dengan pemberian konsentrat TDN 70 %, 75 %, dan TDN 75 % yang
mengandung minyak kelapa 3.5 %. Suhu kritis pada sapi dara FH terjadi
pergeseran semakin meningkat yang diberi pakan pukul 05.00 dan 18.00
dibanding yang diberi pakan pukul 08.00 dan 16.00, begitu juga dengan
pemberian konsentrat TDN 75 % yang mengandung minyak kelapa 3.5 %
dibanding pemberian konsentrat TDN 75 %. Suhu rektal dan Frekuensi respirasi

sapi dara FH lebih sensitif terkena cekaman akibat perubahan suhu dan
kelembaban udara dibanding suhu permukaan kulit dan denyut jantung, baik yang
diberi pakan pukul 05.00 dan 18.00 maupun yang diberi pakan pukul 08.00 dan
16.00 dengan pemberian konsentrat TDN 70 %, 75 %, dan 75 % yang
mengandung minyak kelapa 3.5 %. Kesimpulan dari penelitian ini dapat
memprediksi penentuan suhu kritis pada sapi dara FH dengan manajemen waktu
pemberian pakan dan pemberian pakan TDN yang berbeda. Penentuan suhu kritis
dari sapi perah dara dapat dilakukan dengan pengaturan waktu pemberian pakan
dan pemberian pakan dengan energi yang mudah dicerna. Begitu juga dalam
penentuan suhu kritis dari sapi perah dara perlu memperhatikan daerah dataran
rendah dan sedang.
Kata kunci: ANN, minyak kelapa, respon fisiologis, suhu kritis atas, TDN, waktu
pemberian


SUMMARY
DADANG SUHERMAN. Upper critical temperature of Fries Holland heifers
based on physiological responseses for feeding management using Artificial
Neural Network simulation. Supervised by BAGUS P PURWANTO, IDAT G
PERMANA and WASMEN MANALU.
The management strategy was carried out by predicting the heifer critical
temperature determination based on physiological response on feeding
management trough ANN simulation. The purpose of this research was to
determined the critical temperature for FH heifer based on physiological response
with on different feeding time which was fed concentrate that contains different
TDN. The objective of the present study is to evaluate physiological responses of
dairy heifer to feeding time when fed concentrate differences in TDN content. Six
dairy heifers were randomly allocated to 1 of 6 treatments: two feeding times (5
am/6 pm or 8 am/4 pm) of concentrate with 70 % or 75 % of concentrate
unsupplemented or supplemented with 3.5 % coconut oil, in each of 6 periods of
14 d each in 6 x 6 Latin square design. The environmental conditions (air
temperature, relatitive humidity, temperature humidity index, radiation, and wind
velocity) and animals responses (rectal temperature, skin temperature, body
temperature, heart rate, respiration rate, feed consumption, feed comsumption

rate, chewing rate, and average daily gain) were then measured. The
environmental condition were measured daily at 1 h intervals from 5 am to 8 pm.
The animals responses were measured at the 4th, 8th, 12th, 14th, day of each periode
at 1 h intervals from 5 am to 8pm, Tukey’s test and LSD were used for
statististical analysis among treatments. The heifer critical temperature
determination with physiological response indicator on feeding management was
simulated by using Artificial Neural Networks (ANN) analysis.
Artificial Neural Network (ANN) simulation for industrial engineering is
used to define critical temperature of Fries Holland (FH) heifer based on
physiological responses on models to predict rectal temperature, skin temperature,
heart rate and respiratory rate, using ambient temperature and humidity inputs.
The research was conducted using six dairy cattle in Bogor and Jakarta. The
heifers were fed 6 am and 3 pm daily. The environmental condition (Ta, Rh, THI,
and Va) and physiological responses (rectal temperature, skin temperature, heart
rate, and respiration rate) were then measured for 14 days in two months at 1 h
intervals started from 5 am to 8 pm. By using this ANN simulation. The critical
temperature for FH heifer were defined, from rectal temperature at Ta 26 0C and
Rh 86 % at Bogor, and at Ta 26 0C and Rh 88 % at Jakarta, from skin temperature
at Ta 31 0C and Rh 86 % at Bogor, and at Ta 32.5 0C and Rh 88 % at Jakarta,
from heart rate at Ta 24.5 0C and Rh 78 % at Bogor, and at Ta 23.5 0C and Rh 88

% in Jakarta, from respiratory rate at Ta 22.5 0C and Rh 78 % at Bogor, and Ta
23.5 0C and Rh 78 % at Jakarta.
The result of this research was physiological response was lower in FH
heifers which was fed at 05.00 am and 06.00 pm compared to the heifers which
was fed at 08.00 am and 04.00 pm. The critical temperature on FH heifer was
increased on heifers which was fed at 05.00 am and 06.00 pm compared to the
heifers which was fed at 08.00 am and 04.00 pm, and also with the feeding of

TDN 75 % concentrate that contains 3.5 % coconut oil compared with the feeding
of TDN 75% concentrate. The rectal temperature and respiration frequency of FH
heifers was more sensitive exposed to stress which was caused by temperature and
humidity changes compared to skin temperature and heart rate, both on the heifers
which was fed at 05.00 am and 06.00 pm and at 08.00 and 04.00 pm with the
feeding of TDN concentrate 70 %, 75 %, and 75 % that contains 3.5 % coconut
oil. The physiological responses were significantly lower on cattle which fed at 5
am and 6 pm than 8 am and 4 pm also for cattle which fed concentrate contained
3.5 % coconut oil than not containing that with the same TDN (75 %). Chewing
velocity was higher on cattle fed concentrate containing 3.5 % coconut oil than
without coconut oil. Average daily gain were higher on cattle fed 5 am and 6 pm
than 8 am and 4 pm or fed with concentrate containing 3.5 % coconut oil than

without coconut oil. The conclusion of this research can predict the critical
temperature determination for FH heifers with different feeding time management
and also different TDN feeding. The heat stress of dairy heifer could be reduced
with managemen feeding time and feeding with easily digestible nutrient.
Key word: ANN, coconut oil, feeding time, high critical temperature,
physiological responses, coconut oil, TDN

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

atau

seluruh


Karya

PENENTUAN SUHU KRITIS ATAS PADA SAPI PERAH
DARA FRIES HOLLAND BERDASARKAN RESPON
FISIOLOGI DENGAN MANAJEMEN PAKAN
MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL
NEURAL NETWORK

DADANG SUHERMAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Prof Dr Toto Toharnat, MSc
Prof Dr Ir Win Nugroho, MSc

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Dr Rudi Afnan, S.Pt, M.Sc.Agr
Dr Ahmad Fakih

Judul Disertasi

Nama
NIM

: Penentuan Suhu Kritis Atas Pada Sapi Dara Fries Holland
Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan
melalui Simulasi Artificial Neural Network
: Dadang Suherman
: D161080031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr
Ketua

Prof Wasmen Manalu, Phd
Anggota

Dr Ir Idat Galih Permana, MScAgr
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Muladno, MSA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 26 Agustus 2013

Tanggal Lulus :

Judui Disertasi

Nama
NIM

: Penentuan Suhu Kritis Atas Pada Sapi Dara Fries Holland
Berdasarkan Respon Fisioiogis dengan Manajemen Pakan
melalui Simulasi Artificial Neural Network
: Dadang Suherman
: D161080031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

s Priyo Purwanto, MAgr
Ketua

セM

セM

Prof Wasmen Manalu, Phd
Anggota

"

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Produksi
dan Teknologi Petemakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Muiadno, MSA

Tanggal Ujian : 26 Agustus 2013

Tanggal Lulus :

0 3 _5.EL2Ull --

--

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 sampai Juli 2011 ini ialah
penentuan suhu kritis, dengan judul Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah
Dara Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan
melalui Simulasi Artificial Neural Network.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bagus P. Purwanto,
MAgr, Prof Wasmen Manalu, Phd, dan Dr Ir Idat G. Permana, MScAgr selaku
pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Toto Toharnat, MSc dan Prof Dr Ir Win
Nugroho, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr Rudi
Afnan, SPt,MScAgr dan Dr Ahmad Fakih selaku penguji luar komisi pada ujian
terbuka, serta Sirojudin Spt yang telah membantu penelitian dan pengolah data, Di
samping itu, penghargaan sampaikan kepada Adi Rahman Spt, MSi, yang telah
membantu selama penelitian dan pengumpulan data, serta Ketua Program Studi
S3 IPTP dan staf Laboratorium Lapang Kandang Produksi Ternak Perah.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, isteri, anak-anak, dan
seluruh keluarga besar Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, atas doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan sebagai bahan pelajaran penulis untuk kegiatan dan atau
penelitian selanjutnya.

Bogor, Agustus 2013

Dadang Suherman

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xvi

DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

xviii
1
1
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Lingkungan Sapi Perah
Produksi Panas
Suhu dan Kelembaban Udara
Modifikasi Lingkungan Suhu Mikro
Respon Fisiologis
Manajemen Pakan
Konsumsi Pakan
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)

4
4
5
10
12
13
17
20
22

3 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS
SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND MELALUI SIMULASI
ARTIFICIAL NEURAL NETWORK BERBEDA DAERAH
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

24
24
25
30
43

4 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS
DENGAN MANAJEMEN WAKTU PEMBERIAN DAN KONSENTRAT
DENGAN KANDUNGAN TDN BERBEDA
Pendahuluan
Materi dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

44
44
46
53
84

5 PEMBAHASAN UMUM

85

6 SIMPULAN DAN SARAN

88

DAFTAR PUSTAKA

89

LAMPIRAN

97

DAFTAR TABEL

1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH

5

2 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu
serta konsumsi air dengan meningkatnya temperature lingkungan

11

3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH

15

4 Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi
dalam kondisi suhu lingkungan yang berbeda

16

5 Perbandingan konsumsi pakan, air minum, produsi susu, dan bobot
badan pada suhu 180C dan suhu 300C

22

6 Struktur Artificial Neural Network (ANN) metode propagasi balik
(back propagation) yang digunakan dalam penelitian

28

7 Rataan konsumsi BK, TDN, dan PK pakan sapi dara selama
penelitian

32

8 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal
(Yp 1 ), suhu kulit (Yp 2 ), frekuensi respirasi (Yp 3 ) dan denyut jantung
(Yp 4 ) pada daerah Bogor

38

9 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal
(Yp 1 ), suhu kulit (Yp 2 ), frekuensi respirasi (Yp 3 ) dan denyut jantung
(Yp 4 ) pada daerah Jakarta

39

10 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts)
pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan
Jakarta

40

11 Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut
jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di
Bogor dan Jakarta

41

12 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi mulai mengalami suhu
kritis (cekaman panas) dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu
kulit (Ts) di Bogor dan Jakarta

42

13 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi mulai mengalami suhu
kritis (cekaman panas) dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan
denyut jantung (Hr) di Bogor dan Jakarta

42

14 Komposisi dan kandungan pakan penelitian (% asfeed)

47

15 Skema perlakuan penelitian dengan Rancangan Bujur Sangkar Latin

49

16 Struktur Artificial Neural Network (ANN) metode propagasi balik
(back propagation) yang digunakan dalam penelitian

50

17 Rataan suhu udara, kelembaban udara, THI, kecepatan angin, dan
radiasi matahari selama Maret-Juni 2011

54

18 Rataan konsumsi BK, TDN, protein ransum, dan PBB sapi perah
dara selama perlakuan

57

19 Rataan suhu rektal ternak pada siang hari (0C)

59

20 Rataan suhu permukaan kulit ternak pada siang hari (0C)

62

21 Rataan suhu tubuh ternak pada siang hari (0C)

64

22 Rataan denyut jantung ternak pada siang hari (kali/menit)

67

23 Rataan frekuensi respirasi ternak pada siang hari (kali/menit)

70

24 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu
rektal (Yp 1 ) dan suhu kulit (Yp 2 ) pada waktu pemberian pagi pukul
05.00 dan sore pukul 18.00 dengan pemberian konsentrat TDN
berbeda

71

25 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk frekuensi
respirasi (Yp 1 ) dan denyut jantung (Yp 2 ) pada waktu pemberian pagi
pukul 05.00 dan sore pukul 18.00 dengan pemberian konsentrat TDN
berbeda

72

26 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu
rektal (Yp 1 ) dan suhu kulit (Yp 2 ) pada waktu pemberian pagi pukul
08.00 dan sore pukul 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN
berbeda

72

27 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk frekuensi
respirasi (Yp 1 ) dan denyut jantung (Yp 2 ) pada waktu pemberian pagi
pukul 08.00 dan sore pukul 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN
berbeda

73

28 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts)
pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu
pemberian pagi pukul 05.00 dan sore pukul 18.00 dengan pemberian
konsentrat TDN yang berbeda

74

29 Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut
jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada
waktu pemberian pagi pukul 05.00 dan sore pukul 18.00 dengan
pemberian konsentrat TDN yang berbeda

75

30 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts)
pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu
pemberian pagi pukul 08.00 dan sore pukul 16.00 dengan pemberian
konsentrat TDN yang berbeda

76

31 Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut
jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada
waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore pukul 16.00 dengan
pemberian konsentrat TDN yang berbeda

77

32 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai
mengalami suhu kritis dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu

kulit (Ts) pada waktu pemberian pagi pukul 05.00 dan sore pukul
18.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda

78

33 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai
mengalami suhu kritis dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan
denyut jantung (Hr) pada waktu pemberian pagi pukul 05.00 dan sore
pukul 18.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda

79

34 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai
mengalami suhu kritis dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu
kulit (Ts) pada waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore pukul
16.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda

80

35 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai
mengalami suhu kritis dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan
denyut jantung (Hr) pada waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore
pukul 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda

81

36 Rataan kecepatan konsumsi pakan (gram/menit)

83

37 Rataan kecepatan mengunyah (kali/menit)

84

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu
lingkungan

6

2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan
produksi panas

14

3 Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses

23

4 Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu
kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts),
frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara PFH pada
suhu dan kelembaban udara berbeda

28

5 Rataan fluktuasi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), indeks
suhu kelembaban (THI), dan kecepatan angin (Va) selama
Januari-Februari 2011 di Bogor dan Jakarta

31

6 Rataan fluktuasi suhu rektal (Tr) sapi dara PFH tiap jam dari pukul
05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta

33

7 Rataan fluktuasi suhu permukaan kulit (Ts) sapi dara PFH tiap jam
dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan
Jakarta

34

8 Rataan fluktuasi suhu tubuh (Tb) sapi dara PFH tiap jam dari pukul
05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta

35

9 Rataan fluktuasi denyut jantung (Hr) sapi dara PFH tiap jam

dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan
Jakarta

36

10 Rataan fluktuasi frekuensi respirasi(Ts) sapi dara PFH tiap jam
dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan
Jakarta

37

11 Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu
kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts),
frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara PFH pada
suhu dan kelembaban udara berbeda

51

12 Rataan fluktuasi lingkungan mikro; (a) Suhu udara, dan
(b) kelembaban udara, dan (c) indeks suhu kelembaban (THI) lokasi
penelitian

55

13 Rataan fluktuasi lingkungan mikro; (d) kecepatan angin dan
(e) radiasi matahari lokasipenelitian

56

14 Fluktuasi rataan suhu rektal pada berbagai perlakuan

58

15 Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi pakan pukul 05.00 &
18.0 IB dan 08.00 & 16.00 WIB

59

16 Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi perlakuan
pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan
penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75%

60

17 Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak pada berbagai perlakuan.

61

18 Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak yang diberi pakan Pukul
05.00 &18.00 WIB dan 08.00 & 16.00 WIB

61

19 Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak yang diberi perlakuan
pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%,
dan penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75%

62

20 Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak pada berbagai perlakuan

63

21 Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi pakan Pukul
05.00 &18.00 WIB dan 08.00 & 16.00 WIB

64

22 Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi perlakuan pemberian
konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan
penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75%

65

23 Fluktuasi rataan denyut jantung ternak pada berbagai perlakuan

65

24 Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi pakan Pukul
05.00 &18.00 WIB dan 08.00 & 16.00 WIB

66

25 Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi perlakuan
pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan
penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75%

67

26 Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak pada berbagai perlakuan

68

27 Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak yang diberi pakan pukul
05.00 &18.00 WIB dan 08.00 & 16.00 WIB

69

28 Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak yang diberi perlakuan
pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan
penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75%

70

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pemberian hijauan (pagi/sore) setiap periode berdasarkan
perlakuan (kg/pemberian (pagi/sore)/hari)

97

2 Pemberian konsentrat (pagi/sore) setiap periode berdasarkan
perlakuan (kg/pemberian (pagi/sore)/hari)

97

3 Rataan unsur cuaca kandang selama enam periode

98
0

4 Rataan suhu rektal tiap jam selama enam periode ( C)

98

5 Rataan suhu permukaan kulit tiap jam selama enam periode (0C)

99

6 Rataan suhu tubuh tiap jam selama enam periode (0C)

99

7 Rataan denyut jantung tiap jam selama enam periode (kali/menit)

100

8 Rataan frekuensi respirasi tiap jam selama enam periode (kali/menit)

100

9 Rataan hasil pengukuran suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan
frekuensi respirasi sapi dara PFH di lokasi Bogor

101

10 Rataan hasil pengukuran suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan
Frekuensi respirasi sapi dara PFH di lokasi Jakarta

101

11 Data output dan input untuk proses iterasi ANN di lokasi Bogor

102

12 Data output dan input untuk proses iterasi ANN di lokasi Jakarta..

104

13 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr), suhu permukaan
kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) pada
suhu dan kelembaban udara yang berbeda di lokasi Bogor

106

14 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr), suhu permukaan
kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) pada
suhu dan kelembaban udara yang berbeda di lokasi Jakarta

113

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penampilan produksi sapi perah sangat dipengaruhi lingkungan
(klimatologis, nutrisional, manajerial) dan hereditas, karena produksi ternak
tersebut merupakan manifestasi dan interaksi antara hereditas dengan lingkungan.
Rendahnya produksi erat kaitannya dengan rendahnya mutu pakan dan
manajemen pakan serta kurang optimalnya penanganan klimatologis. Menurut
Haenlein (2008), nilai heritability produksi adalah 0.25, maka diindikasikan
bahwa produksi dipengaruhi oleh faktor genetik sebesar 25 %, dan 75 % lainnya
ditentukan lingkungan, di antaranya suhu dan kelembaban udara dalam kandang
serta manajemen pakan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi pada sapi perah FH
masih dapat dioptimalkan melalui penentuan suhu dan kelembaban udara dalam
kandang dan manajemen pakan. Dengan kata lain, produksi sapi perah Fries
Holland (FH) di Indonesia dapat ditingkatkan mendekati produksi berasal dari
Belanda beriklim subtropis.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas
sapi perah. Keunggulan genetik seekor sapi perah tidak akan ditampilkan optimal
apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Salah satu faktor lingkungan yang
menjadi kendala tidak terekspresinya sifat genetik ternak adalah lingkungan mikro
(Esmay 1986). Faktor-faktor lingkungan mikro yang menjadi kendala terutama
adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin
(Gebremedhin 1985; Purwanto et al. 2003), sehingga perlu upaya pengendalian
lingkungan mikro agar produktivitas ternak sapi perah dapat ditingkatkan.
Laporan Intergovemmental Panel on Climate Change (IPCC) yang
dikeluarkan tahun 2001, menyimpulkan bahwa peningkatan temperatur udara
global sejak tahun 1860 sampai dengan tahun 2000 sebesar 0.2-0.6 0C, sehingga
temperatur kritis rendah meningkat dari 20 0C menjadi 30 0C, begitu juga
termonetral berubah dari 30 0C menjadi 45 0C. Pemanasan global tersebut
terutama disebabkan oleh aktifitas manusia dan ternak berbasis pertanian yang
menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfir (FAO 2006). IPCC memprediksi
peningkatan rata-rata temperatur global antara tahun 1990 dan 2100 sebesar 1.16.40 C.
Saat ini pemanasan global merupakan salah satu ancaman dalam usaha
peternakan, yang diakibatkan adanya gangguan iklim berupa perubahan cuaca
yang tidak pasti, perubahan suhu dan kelembaban udara serta curah hujan
meningkat. Hal tersebut mengakibatkan perencanaan budidaya dan produksi
peternakan tidak pasti, sehingga produktivitas rendah, peningkatan penyakit, dan
perubahan pola pemeliharan peternakan.
Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan berproduksi secara optimum
bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal
sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah.
Peningkatan performa sapi perah agar sesuai dengan kondisi lingkungan yang
mencekam dapat dilakukan dengan manajemen suhu lingkungan dan manajemen

2

pakan, sehingga diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi cekaman pada
pada tubuh ternak (Nardone et al. 2010).
Pada daerah pengembangan sapi perah Fries Holland (FH) di daerah tropis,
suhu lingkungan siang hari mencapai 29 0C selama lebih dari 6 jam. Sapi perah
tersebut mengalami cekaman panas berkelanjutan sehingga produksi maksimal
tidak tercapai. Dalam keadaan cekaman panas pada suhu kritis diperlukan energi
tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan
pernapasan, dan hal ini dapat menyebabkan produksi menurun. Oleh karena itu,
perlu adanya suatu penelitian tentang penentuan suhu kritis berdasarkan respon
fisiologis dan manajemen pakan di daerah tropis pada dataran tinggi dan sedang,
untuk meningkatkan produktivitasnya.
Kombinasi suhu dan kelembaban udara merupakan faktor-faktor penentu
dalam menentukan suhu kritis pada sapi perah. Suhu lingkungan ideal bagi sapi
perah FH di daerah subtropis berkisar antara 4.4-21.1 0C, dan suhu kritis 27 0C.
Hasil penelitian Sudono et al. (2003) di daerah tropis memperlihatkan produksi
tidak berbeda dengan di daerah subtropis, apabila suhu lingkungan sekitar 18.3 0C
dan kelembaban udara sekitar 55 %, serta penampilan produksi masih cukup baik
bila suhu lingkungan meningkat sampai 21.1 0C, dan suhu kritis sekitar 27 0C
memperlihatkan penampilan produksi semakin menurun.
Beberapa upaya dilakukan peternak dan pakar lingkungan peternakan untuk
mengurangi cekaman panas pada sapi perah dengan memberikan naungan dalam
bentuk kandang, pemberian kipas angin, pemberian shelter di sekitar kandang,
waktu dan kualitas pemberian pakan, dan pemberian minum dengan air dingin.
Upaya ini belum dapat menjawab seberapa besar dapat mereduksi cekaman panas
sapi perah akibat suhu dan kelembaban udara baik berasal dari lingkungan
maupun dalam kandang tanpa adanya pengukuran perubahan suhu dan
kelembaban udara terhadap respon fisiologis dan korelasinya, agar besaran
cekaman panas yang diterima ternak dapat diketahuinya. Korelasi suhu dan
kelembaban udara dengan respon fisiologis ternak akan membentuk suatu formula
yang diharapkan dapat memprediksi kondisi respon fisiologis pada suatu keadaan
suhu dan kelembaban udara tertentu.
Pemecahan analisis dan pola hubungan antara kondisi lingkungan mikro
dalam kandang dengan respon fisiologis ternak dan manajemen pakan biasanya
dilakukan dengan analisis metode regresi, namun metode regresi mempunyai
kelemahan tidak adanya umpan balik. Untuk mengatasi kelemahan analisis
tersebut, untuk pertama kalinya dalam bidang fisiologi lingkungan ternak dicoba
penggunaan Artificial Neural Network (ANN) atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
yang dapat memberikan umpan balik. Metode ANN lebih akurat dibandingkan
metode regresi, karena memperhatikan aspek umpan balik sehingga
perhitungannya dilakukan secara berulang (iterasi).
ANN merupakan jaringan dari sekelompok unit pemprosesan kecil yang
dimodelkan berdasarkan jaringan syaraf manusia, sistem adaptif yang dapat
mengubah strukturnya untuk memecahkan masalah berdasarkan informasi baik
eksternal maupun internal yang mengalir melalui jaringan. Salah satu sistem
pemprosesan informasi yang didesain dengan menirukan cara kerja otak manusia
dalam menyelesaikan suatu masalah dengan melakukan proses belajar melalui
perubahan bobot sinopsisnya. ANN mampu melakukan pengenalan kegiatan

3
berbasis data masa lalu yang akan dipelajari oleh jaringan syaraf tiruan, sehingga
mempunyai kemampuan untuk memberikan keputusan terhadap data yang belum
pernah dipelajari. Analisis ANN pertama kali dicoba dan dipelajari penerapannya
di bidang fisiologi lingkungan ternak, yaitu untuk menentukan suhu kritis pada
sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis dan manajemen pakan.
Teori lahirnya sistem jaringan syaraf tiruan muncul terutama dari disiplin
ilmu teknik, neuro science, computer, matematika, fisika, dan psikologi. Disiplin
ilmu-ilmu tersebut bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem
kecerdasan (Kusumadewi 2003). Jaringan Syaraf Tiruan merupakan suatu metode
komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini menggunakan
elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron dan diorganisasikan
sebagai jaringan syaraf manusia. Jaringan Syaraf Tiruan dibentuk untuk
memecahkan suatu masalah tertentu seperti pengenalan pola atau klasifikasi
karena proses pembelajaran (Eliyani 2005).
Penentuan formula suhu kritis dari korelasi suhu dan kelembaban udara
dengan respon fisiologis sapi perah FH dan manajemen pakan dicoba
menggunakan ANN. ANN memiliki kemampuan dalam memprediksi data yang
akan datang dengan pola data yang sudah ada sebelumnya, melalui proses training
data dengan iterasi tertentu, sampai menghasilkan tingkat error yang diinginkan.
Data respon fisiologis ternak berupa suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan
frekuensi respirasi pada suhu dan kelembaban udara tertentu akan dijadikan input
dalam ANN, dan output-nya berupa suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan
frekuensi respirasi sapi perah FH pada berbagai suhu dan kelembaban udara yang
diinginkan. Hasil prediksi dari simulasi menggunakan ANN diharapkan dapat
digunakan untuk menentukan suhu kritis dan cekaman panas berdasarkan respon
fisiologis pada sapi dara Fries Holland di dua daerah dengan lingkungan dataran
berbeda dan manajemen pakan.

Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi dan menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis
sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda.
2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu
pemberian pakan berbeda.
3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan
pemberian kualitas pakan berbeda.
4. Menyusun serta penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah
dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya.

Manfaat Penelitian
1. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi
dara FH di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda.
2. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi
dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda.

4

3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi
dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.
4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan
manajemen pakan sebagai salah satu bahan di dalam menterapkan kebijakan
untuk pengembangan peningkatan produksinya.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua
daerah dengan lingkungan lingkungan dataran berbeda.
2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu
pemberian pakan berbeda.
3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan
pemberian kualitas pakan berbeda.
4. Menyusun dan penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah
dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Lingkungan Sapi Perah
Sapi-sapi perah Eropa mempunyai kisaran suhu nyaman yang rendah
sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan dengan
suhu lingkungan panas. Supaya sapi perah Fries Holland yang diternakkan di
suatu daerah dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan
genetiknya, maka kondisi lingkungan di daerah tersebut harus sesuai dengan
kondisi lingkungan asalnya. Sebagai perbandingan, menurut Pane (1986) bahwa
produksi susu sapi perah FH di daerah asalnya rata-rata 6352 kg per laktasi,
sedangkan di daerah tropis sekitar 2500-5000 kg per laktasi.
Iklim sangat berpengaruh terhadap produksi sapi perah, karena dapat
menyebabkan perubahan dalam keseimbangan panas tubuh ternak, keseimbangan
air, keseimbangan energi, dan tingkah laku. Fungsi-fungsi tersebut saling
berhubungan dan melibatkan sistem neuroendokrin. Selain itu, faktor iklim secara
tidak langsung mempengaruhi ketersediaan bahan makanan ternak, air minum
serta berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan.
Di daerah tropis pengaruh iklim yang langsung maupun tidak langsung
secara bersama-sama menjadi faktor pembatas terhadap penampilan produksi
ternak (Purwanto et al. 2003). Suhu lingkungan tinggi berpengaruh langsung
terhadap sifat-sifat fisiologis sapi perah, sehingga pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap produksi. Meskipun demikian, suhu lingkungan merupakan
faktor iklim yang sering dijadikan pertimbangan sebagai faktor membatasi

5
produksi, namun kelembaban udara tinggi mempunyai pengaruh sama menekan
produksi (Esmay 1986).
Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang
mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 0C. Jika suhu lingkungan turun hingga 0
0
C atau kurang, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis
menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey
adalah 21-25 0C, Brown Swiss adalah 30-32 0C, dan Brahman adalah 38 0C
(Sainsbury dan Sainsbury 1982). Suhu kritis untuk sapi Holstein adalah 21 0C,
Brown Swiss dan Jerseys adalah 24-27 0C, dan untuk Brahman adalah 32 0C.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa kisaran suhu lingkungan yang ideal
bagi sapi perah Eropa berkisar antara 1.1-21.1 0C, sehingga sapi perah dapat
berproduksi maksimal, sedangkan suhu kritis adalah 27 0C. Selengkapnya
pendapat beberapa peneliti tentang suhu ideal bagi sapi perah tersaji dalam Tabel
1
Tabel 1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH (0C)
Peneliti
Schmidt (1972)
McDowell (1972)
Sutardi (1981)
Yousef (1985)
Sudono (2003)

Suhu ideal
4.4 - 21.1
13 - 10
18.5 - 21.1
4 - 25
18.3 - 21

Suhu kritis
27
27
27
27

Di antara bangsa sapi perah, Fries Holland (FH) merupakan sapi tergolong
ke dalam bangsa sapi paling rendah daya tahan panasnya. Namun demikian, hasil
penelitian di kawasan tropis memperlihatkan produksinya tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan di negara asalnya, jika suhu lingkungannya sejuk, yaitu
sekitar 18.3 0C, dengan kelembaban udara sekitar 55 %, dan penampilan produksi
masih cukup baik jika suhu lingkungan meningkat sampai 21.1 0C (Sudono et al.
2003). Dengan demikian, daerah di Indonesia untuk perkembangan sapi perah
yang sesuai adalah daerah sejuk, berketinggian tempat di atas 1000 meter dari
permukaan laut.

Produksi Panas
Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe
ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan dikonsumsi dan kondisi lingkungan
mikro. Panas dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendisain sistem
kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan dan kemudian dilepas oleh tubuh
hewan terdiri atas panas sensibel (sensible heat) dan panas laten (latent heat).
Panas sensibel dan panas laten dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan
komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur
kandang.
Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) menambah beban panas bagi
ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi
kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu

6

nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara
sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara
lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi
melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran
panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di
sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui
feses dan urin (McDowell 1972).

Gambar 1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu lingkungan.
Penampilan produksi terbaik sapi perah FH akan dicapai pada suhu
lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban 55 %, bila melebihi suhu tersebut, ternak
akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku
(behaviour). Secara fisiologis ternak sapi FH mengalami cekaman panas akan
berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3)
penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, 4) peningkatan pelepasan
panas melalui penguapan, 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, 6)
peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001), dan
7) perubahan tingkah laku (Philips 2002), dan 8) meningkatnya intensitas
berteduh sapi (Schutz et al. 2008).
Cekaman panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH
melalui penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata 1996).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar
kandang) sebesar 5 oC dapat meningkatkan produksi susu sapi FH sebesar 10
kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman 2005).
Bangunan perkandangan akan mendapatkan perolehan dan kehilangan panas
dan massa dari dan ke lingkungan sekitarnya melalui proses perpindahan panas
dan massa secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas konduksi
terjadi melalui dinding dan atap bangunan dengan arah masuk dan keluar
bangunan termasuk konduksi panas dari dan ke dalam tanah. Perpindahan panas

7
dan massa secara konveksi terjadi karena aliran udara masuk dan keluar melalui
bukaan ventilasi. Perpindahan panas radiasi gelombang pendek dari radiasi
matahari dan refleksinya serta difusivitasnya selalu memiliki nilai positif.
Perpindahan panas radiasi gelombang panjang adalah radiasi dipancarkan oleh
permukaan bangunan dan diterima dari lingkungan di sekitar bangunan. Panas
lainnya ditimbulkan penghuni atau peralatan yang ada di dalam kandang juga
harus dapat diperhitungkan (Soegijanto 1999).
Perpindahan panas radiasi gelombang panjang terjadi antara ternak (sapi
perah FH) dengan lingkungan di sekitarnya melalui kulit sapi FH dominan
berwarna putih atau hitam. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada
ternak dengan lingkungannya terjadi, karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya
melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan (Esmay dan Dixon 1986).
Perpindahan panas secara konveksi pada kandang sapi perah FH di lingkungan
tropika basah terjadi pada atap bangunan kandang, lantai, bangunan penopangnya
seperti dinding, kerangka dan peralatan lainnya.
Keseimbangan panas di permukaan lantai pada bangunan perkandangan
ternak sapi perah FH meliputi radiasi gelombang panjang dari lantai ke atap,
pindah panas konveksi dari permukaan lantai ke udara dalam kandang, dan pindah
panas konduksi dari permukaan lantai ke lapisan di bawahnya atau sebaliknya.
Keseimbangan panas di udara dalam kandang sapi perah lebih mudah dihitung
karena proses pindah panas terjadi secara konveksi dari penutup (atap) kandang ke
udara dalam kandang terjadi secara alami dan melalui bukaan ventilasi baik
masuk maupun keluar (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas konveksi
dipengaruhi koefisien konveksi udara, kecepatan angin dan suhu lingkungan.
Semakin besar nilai koefisien konveksi dan kecepatan angin, maka akan semakin
cepat keseimbangan panas dalam ruangan konveksi.
Perpindahan panas secara konduksi terjadi pada penutup (atap) kandang sapi
FH, dinding bangunan, kerangka bangunan, ternak (sapi FH), air minum sapi FH,
tubuh sapi FH. Perpindahan panas konduksi sangat dipengaruhi oleh
konduktivitas bahan dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai konduktivitasnya,
bahan tersebut semakin cepat merambatkan panas (Esmay dan Dixon 1986).
Distribusi suhu dan kelembaban udara (Rh) pada kandang sapi perah FH
dipengaruhi luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan, sistem
ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin, pergerakan
udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian (greenhouse), faktor desain
sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara adalah dimensi
bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan ventilasi, jumlah
span dan sebagainya (Boutet 1987). Pertukaran udara dalam kandang sapi perah
dipengaruhi besarnya suhu lingkungan, produksi panas hewan, kelembaban,
konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap bangunan, pindah panas dari
lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi bangunan kandang (Hellickson
dan Walker 1983).
Pindah panas pada kandang sapi perah dapat terjadi secara radiasi, konveksi
maupun konduksi (Wathes dan Charles 1994), mengakibatkan adanya distribusi
suhu dalam kandang. Pindah panas secara radiasi dipengaruhi besarnya radiasi
matahari atau bahan, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Pindah panas pada
bahan bangunan kandang dipengaruhi konduktivitas bahan, tebal bahan dan

8

waktu. Secara konveksi sangat dipengaruhi suhu lingkungan, kecepatan angin,
waktu dan luasan daerah konveksi.
Analisis distribusi suhu dalam bangunan peternakan dapat dilakukan dengan
perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui sistem
ventilasi, sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam kandang.
Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah dalam 2 atau 3 dimensi
dapat dilakukan dengan metode finite element, metode finite difference (Cheney
dan Kincaid 1990), metode spectral dan finite volume dengan computational fluid
dynamics atau CFD (Versteeg dan Malalasekera 1995).
Ventilasi pada bangunan peternakan digunakan untuk mengendalikan suhu,
kelembaban udara, kotoran ternak dan pergerakan udara, sehingga kondisi
lingkungan mikro dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Ventilasi terjadi jika
terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat
mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola
aliran serta rintangan setempat (Takakura 1979). Laju ventilasi diukur dengan
satuan massa udara per unit waktu. Laju ventilasi minimum pada kandang
biasanya didasarkan pada kebutuhan pergerakan udara untuk kontrol kelembaban
(Esmay 1986).
Di daerah tropis seperti Indonesia, ventilasi bangunan kandang biasanya
digunakan adalah ventilasi alami, karena dapat menekan biaya dan tenaga kerja
dibanding dengan ventilasi lainnya. Ventilasi alami terjadi karena adanya
perbedaan tekanan udara akibat faktor angin dan faktor termal. Faktor angin dan
termal ini dimanfaatkan untuk menggerakkan udara dan menentukan laju ventilasi
alami yang terjadi. Laju ventilasi alami memiliki hubungan linier dengan
kecepatan udara dan tergantung pada perbedaan tekanan udara yang ditimbulkan
oleh perbedaan temperatur lingkungan (Takakura 1979). Laju pertukaran udara
dipengaruhi oleh total luas bukaan, arah bukaan, kecepatan angin, dan perbedaan
temperatur di luar dan di dalam kandang.
Kontrol manual sistem ventilasi alami dapat dilakukan dengan pembukaan
dan penutupan lubang ventilasi serta pengaturan bukaan pada dinding (