Pemodelan Respon Fisiologis Sapi Perah FH Dara Berdasarkan Perubahan Suhu Udara Dan Kelembaban Relatif Menggunakan Artificial Neural Network

ABSTRACT
Modeling The Effect of Air Temperature and relative humidity on
Termoregulatory Responses of Dairy Heifers Friesian Holstein
with Artificial Neural Network
Surajudin, B.P. Purwanto and A. Yani
An experiment was conducted to create a model of air temperature and relative
humidity effect on termoregulatory responses of FH dairy heifers. Four dairy
heifers were kept with normal feeding in dairy barn, Faculty of Animal Science,
Bogor Agriculture University. Observed variables were environment factors (air
temperature, relative humidity and temperature –humidity index/THI) and the
termoregulatory responses (rectal temperature and skin temperature). Data were
analized by artificial neural network (ANN) with back propagation methods. Data
procesing used 2 variables data input layer, 6 variables hidden layer and 2 variables
data output layer. The results showed that with iterations, the error percentage
predicted rectal and skin temperatures were 0,5 % and 1,1 % respectively. The ANN
simulated showed clearly there was an effect of the air temperature and relative
humidity on the termoregulatory responses (rectal temperature and skin temperature).
Therefore, the model can be use to predict termoregulatory responses using
measurements of air temperature and relative humidity. The rectal temperature was
more sensitive to heat stress than that of skin temperature due to changes in air
temperature and relative humidity.

Keyword : Termoregulatory, artificial neural network, back propagation

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu utama di Indonesia terutama
sapi perah Fries Holland (FH). Sapi perah yang berasal dari Belanda ini mempunyai
sifat yang peka terhadap kondisi lingkungan terutama terhadap perubahan iklim
mikro yang terjadi di sekitar kandang. Unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi
produksi panas dan pelepasan panas pada sapi FH adalah suhu, kelembaban, radiasi
matahari dan kecepatan angin.
Daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat
penting agar dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan genetiknya. Lingkungan
mempunyai proporsi yang lebih besar daripada pengaruh genetik ternak, sehingga
manajemen lingkungan yang baik harus dapat diterapkan untuk menghasilkan
produktivitas sesuai yang diharapkan. Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam
peningkatan produktivitas ternak ialah dengan melakukan manajemen pengendalian
lingkungan iklim mikro ternak.
Manajemen pengendalian lingkungan iklim mikro yang baik, dibutuhkan data
lingkungan mikroklimat dan respon fisiologis sapi perah tersebut. Data lingkungan
mikroklimat antara lain: suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin dan radiasi

matahari pada sekitar ternak yang dapat mempengaruhi respon fisiologis pada ternak.
Adapun data respon fisiologis ternak antara lain : frekuensi denyut jantung (Hr),
frekuensi pernafasan (Rr), suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts) dan suhu
tubuh (Tb). Untuk memperoleh hubungan antara suhu udaradan kelembaban relatif
terhadap respon fisiologis ternak, diperlukan analisis sifat dan pola hubungan antara
kondisi lingkungan terhadap respon fisiologis ternak.
Pemecahan analisis dan pola hubungan tersebut dapat dilakukan dengan
analisis metode regresi sederhana. Metode regresi sederhana mempunyai kelemahan
yaitu tidak adanya umpan balik. Untuk mengatasi masalah analisis tersebut dilakukan
analisis menggunakan

Artificial Neural Network (ANN) atau Jaringan Syaraf

Tiruan (JST) yang dapat memberikan umpan balik. Jaringan syaraf tiruan adalah
jaringan dari sekelompok unit pemroses kecil yang dimodelkan berdasarkan jaringan
syaraf manusia. JST merupakan sistem adaptif yang dapat mengubah strukturnya
untuk memecah masalah berdasarkan informasi eksternal maupun internal yang

mengalir melalui jaringan tersebut. Salah satu cabang dari Artificial Intelligence (AI)
adalah Artificial Neural Network (ANN). Jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu

sistem pemrosesan informasi yang didesain dengan menirukan cara kerja otak
manusia dalam menyelesaikan suatu masalah dengan melakukan proses belajar
melalui perubahan bobot sinapsisnya. Jaringan syaraf tiruan mampu melakukan
pengenalan kegiatan berbasis data masa lalu. Data masa lalu akan dipelajari oleh
jaringan syaraf tiruan sehingga mempunyai kemampuan untuk memberikan
keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari. Dalam analisis ini dicoba
untuk dipelajari dan dicoba penerapannya di bidang fisiologi lingkungan ternak
yaitu mendeteksi respon fisiologis sapi perah terhadap perubahan suhu udaradan
kelembaban udaranya.
JST yang berupa susunan sel-sel syaraf tiruan (neuron) dibangun berdasarkan
prinsip-prinsip organisasi otak manusia. Usaha manusia dalam mengembangkan
suatu sistem yang meniru kemampuan dan perilaku makhluk hidup telah berlangsung
selama beberapa dekade belakangan ini. Jaringan syaraf tiruan (JST) merupakan
hasil perkembangan ilmu dan teknologi yang kini sedang berkembang pesat. JST
yang berupa susunan sel-sel syaraf tiruan (neuron) dibangun berdasarkan prinsipprinsip organisasi otak manusia. Perhatian yang besar pada JST disebabkan adanya
keunggulan yang dimilikinya seperti kemampuan untuk belajar, komputasi paralel,
kemampuan untuk memodelkan fungsi nonlinier dan sifat fault tolerance.
Secara sederhana, JST adalah sebuah alat pemodelan data statistik tidak-linier.
JST dapat digunakan untuk memodelkan hubungan yang kompleks antara input dan
output untuk menemukan pola-pola pada data.

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui hubungan
antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis sapi
perah, aplikasi pemodelan dan simulasi artificial neural network dalam menganalisis
pola hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon
fisiologis sapi perah, sehingga dapat memberikan masukan untuk perbaikan
manajemen lingkungan ternak dalam pemeliharaan sapi perah.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Lingkungan Hidup Sapi FH
Lingkungan merupakan keseluruhan faktor eksternal tidak-genetik yang
mempengaruhi pertumbuhan ternak. Lingkungan ternak dapat dibagi menjadi
lingkungan fisik, sosial dan termal. Faktor fisik diantaranya ruang, cahaya, suara,
tekanan dan peralatan. Faktor sosial meliputi jumlah ternak dalam satu kandang dan
tingkah laku ternak. Faktor termal meliputi temperatur udara, kelembaban relatif,
pergerakan udara dan radiasi (Esmay, 1978).
Keadaan lingkungan yang selamanya dapat memberikan kenyamanan pada
ternak untuk berproduksi secara optimal, sehingga perlu pengendalian lingkungan

ternak. Kondisi panas di atas normal mempengaruhi temperatur, kelembaban relatif,
radiasi matahari, yang dapat mempengaruhi beban penerimaan panas yang
mempengaruhi performa, pengurangan tingkat

kenyamanan ternak dan dapat

menyebabkan kematian (Mader et al, 2006).
Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang
mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 oC. Jika suhu lingkungan turun hingga
kurang dari 0 oC, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis yang
menyebabkan penurunan produksi susu pada sapi Holstein dan Jersey adalah 21-25
o

C, Brown Swiss adalah 30-32 oC dan Brahman adalah 38 oC (Sainsbury dan

Sainsbury, 1982).
Sapi FH akan berproduksi tinggi jika ditempatkan pada suhu lingkungan 18,3
o

C dengan kelembaban 55%. Jika melebihi suhu tersebut ternak akan melakukan


penyesuaian secara fisiologis dan tingkah laku. Secara fisiologis ternak akan
mengalami cekaman panas dan akan berakibat pada: 1) penurunan nafsu makan;
2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan
katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan
konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan suhu tubuh, respirasi dan denyut
jantung (Mc. Dowell, 1972); dan 7) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Ingram
dan Dauncey, 1985).
Menurut Yani (2007), suhu udara dalam kandang berasal dari suhu udara
lingkungan yang naik pada pagi sampai siang hari dan menurun kembali pada sore
hari. Di daerah Darmaga Bogor pada pukul 09.20 WIB suhu udara dalam kandang

memiliki kecenderungan meningkat dari posisi dekat lantai menuju posisi dekat atap
karena panas matahari yang diterima atap dihantarkan ke dalam kandang sehingga
semakin dekat dengan atap suhu udara semakin tinggi.
Termoregulasi
Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang tergantung kepada
produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan
atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya
konstan, paling tidak suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan terlalu besar

(Isnaeni, 2006). Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak
seperti respirasi, pencernaan dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu.
Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk
mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi
metabolisme adalah temperatur (Ensminger dan Tyler, 2006). Menurut Amir (2010)
peningkatan kandungan energi ransum sapi perah dara PFH menyebabkan
peningkatan respon termoregulasinya.
Menurut Brown-Brandl et al. (2006), adanya kontinuitas produksi panas oleh
tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada
perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006),
kesulitan dalam pelepasan panas secara sensible, menyebabkan ternak melepaskan
panas secara insensible (evaporasi). Schutz et al. (2008) menyatakan evaporasi pada
dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera
menyebabkan proses fisiologis pada sapi, dan pada saat istirahat hewan lebih toleran
pada suhu tinggi.
Panas yang dibentuk di dalam tubuh diperoleh dari panas hasil kegiatan
metabolisme di dalam tubuh dan panas dari luar tubuh. Produksi panas di dalam
tubuh antara lain berasal dari metabolisme basal, panas hasil kegiatan pencernaan,
kerja pada otot dan metabolisme proses-proses produksi. Panas yang diperoleh dari
luar tubuh berupa penyerapan panas dari radiasi matahari di sekitar ternak (baik

langsung maupun pantulannya), melalui konduksi dengan benda yang lebih panas
dan melalui konveksi oleh aliran udara panas di sekitarnya (Rahardja, 2007).

4

Suhu Rektal
Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima
panas. Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran
suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat
(Schmidt-Nielsen, 1997). Pada sapi perah, suhu tubuh (suhu rektal) normal berada
pada kisaran 37,8 – 39,2 oC dengan rataan suhu rektal sebesar 38,5 oC (Kelly, 1984).
Sedangkan menurut Ensminger dan Tyler (2006), suhu normal rektal sapi perah
berkisar antara 38,0 – 39,3 o C dengan rataan sebesar 38,4 oC. Namun pada kondisi
tertentu suhu rektal dapat bervariasi, diantaranya pada saat estrus atau birahi,
pergantian musim dan pergantian waktu antara pagi hari dengan sore hari (Curtis,
1983).
Selain itu menurut Purwanto et al. (1991), suhu rektal sapi perah meningkat
pada suhu lingkungan 30 oC dibandingkan dengan suhu 10 atau 20 oC.

Suhu


lingkungan yang panas akan menurunkan pelepasan panas tubuh melalui jalur
sensible (tidak evaporatife). Sebaliknya pelepasan panas tubuh melalui jalur
evaporasi akan meningkat sehingga mengakibatkan produksi panas metabolis akan
berubah mengikuti respon termoregulasi.
Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap Ternak
Perah Fries Holland
Ternak merupakan hewan homeoterm yaitu hewan yang selalu berusaha
untuk mempertahankan suhu tubuhnya tetap seiring dengan berubahnya suhu
lingkungan. Suhu tubuh ternak selalu diupayakan untuk tetap konstan melalui
mekanisme umpan balik negatif pada hipotalamus. Suhu yang konstan sangat
dibutuhkan oleh ternak karena beberapa alasan. Perubahan suhu lingkungan dapat
mempengaruhi konformasi protein dan aktifitas enzim yang dapat menyebabkan
reaksi di dalam sel terganggu. Perubahan suhu berpengaruh terhadap energi kinetik
yang dimiliki setiap molekul sehingga dapat meningkatkan laju reaksi di dalam sel
(Isnaeni, 2006).
Kenaikan suhu udara mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung
dan pernafasannya setiap menitnya. Peningkatan produksi panas selalu diikuti
dengan peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Purwanto
et al., 1991). Peningkatan frekuensi pernafasan diharapkan dapat membantu hewan


5

meningkatkan pelepasan panas melalui pernafasan.

Peningkatan denyut jantung

dapat membantu transportasi oksigen dan zat makanan ke seluruh tubuh, selain itu
peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas metabolisme ke
seluruh tubuh yang dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh (Gatenby dan
Martawidjaya, 1986). Fluktuasi perubahan suhu dapat mengakibatkan stres pada
ternak. Stres secara fisiologis dicirikan dengan peningkatan aktivitas kelenjar
Pituitari-adrenal dan usaha pengembalian respon homeostasis. Variasi lingkungan
memberikan efek yang luas terhadap respon fisiologis yang berhubungan dengan
aktivasi sistem syaraf simpati dan medula adrenal (Dantzer dan Movemede, 1987).
Menurut
menguntungkan

Sugeng
terhadap


(1998),

suhu

kehidupan

udara

ternak

yang
sapi.

tinggi

sangat

kurang

Pengaruh

yang

kurang

menguntungkan ini dalam hal konsumsi pakan, air minum dan tingkah laku. Ternak
sapi yang tertimpa suhu tinggi akan mengalami stres berat dan gagal dalam mengatur
panas tubuh. Akibatnya ternak yang bersangkutan akan banyak minum tetapi nafsu
makan berkurang dan makanan yang dikonsumsi rendah.
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting,
karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat
menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas

melalui kulit dan saluran

pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Rh).
Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas
terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Yani dan
Purwanto, 2006).

Kelembaban nisbi mempengaruhi pada pernafasan dan peluh

hewan. Udara yang sangat kering menyebabkan ketidaknyamanan pada hewan.
Kelembaban nisbi rendah, angin dan suhu tinggi menyebabkan meningkatnya
kebutuhan air untuk hewan (Tjasyono, 2004). Kelembaban tinggi dapat berakibat
langsung terhadap penurunan jumlah panas yang hilang akibat penguapan. Pada
kelembaban tinggi, penguapan tertahan yang berarti akan meningkatkan panas pada
sapi (Sugeng, 1998).
Menurut Yani dan Purwanto (2006) kecepatan angin meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu udara dan radiasi matahari. Sementara disisi lain tubuh
sapi FH memerlukan kecepatan angin yang lebih untuk mereduksi cekaman
panasnya, sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang hari pada kondisi udara

6

cerah tidak banyak berpengaruh terhadap penurunan cekaman panas tubuh sapi FH.
Selanjutnya Lee dan Keala (2005) menyatakan bahwa penambahan kecepatan angin
akan membantu sapi FH menurunkan cekaman panas pada saat malam hari karena
pada malam hari metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk mempertahankan suhu
tubuh. Penambahan kecepatan angin (1,125 m/det) dapat mengoptimalkan kerja
metabolisme sapi FH sehingga ternak tersebut merasa nyaman.
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) atau Artificial Neural Network adalah suatu
metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini
menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron yang
diorganisasikan sebagai jaringan yang saling berhubungan sehingga mirip dengan
jaringan syaraf manusia. Jaringan syaraf tiruan dibentuk untuk memecahkan suatu
masalah tertentu seperti pengenalan pola atau klasifikasi karena proses pembelajaran
(Eliyani, 2005).
Sejak ditemukan pertama kali oleh McCulloch dan Pitts pada tahun 1948,
JST telah berkembang pesat dan telah digunakan pada banyak aplikasi. Jaringan
Syaraf Tiruan (JST) telah dikembangkan sejak tahun 1940. Belum ada definisi yang
baku mengenai JST ini. Teori yang menginspirasi lahirnya sistem jaringan syaraf
muncul dari bermacam disiplin ilmu: terutama dari neuro science, teknik, dan ilmu
komputer, juga dari psikologi, matematika, fisika, dan ilmu bahasa. Ilmu-ilmu ini
bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem kecerdasan
(Kusumadewi, 2003).
Menurut Puspatiningrum (2006), hal yang ingin dicapai dengan melatih JST
adalah untuk mencapai keseimbangan antara kemampuan memorisasi dan
generalisasi. Kemampuan memorisasi adalah kemampuan JST untuk mengambil
kembali secara sempurna sebuah pola yang telah dipelajari, sedangkan kemampuan
generalisasi adalah kemampuan JST untuk menghasilkan respon yang bisa diterima
terhadap pola-pola input yang serupa (namun tidak identik) dengan pola-pola yang
sebelumnya telah dipelajari. Hal ini sangat bermanfaat bila pada suatu saat ke dalam
JST diinputkan informasi baru yang belum pernah dipelajari, maka JST itu masih
akan tetap dapat memberikan tanggapan yang baik, memberikan keluaran yang
paling mendekati.

7

Prinsip kerja dari JST itu mengadopsi prinsip kerja penyaluran informasi
sistem jaringan syaraf pada manusia. Namun, keterbatasan yang dimiliki oleh JST
merupakan sebagian kecil dari kemampuan sistem syaraf pada manusia. Setiap polapola informasi input dan output yang diberikan ke dalam JST diproses dalam neuron.
Neuron-neuron tersebut terkumpul di dalam lapisan-lapisan yang disebut Neuron
layer yang terdiri dari lapisan input, lapisan tersembunyi dan lapisan output
(Kusumadewi, 2003).
Selanjutnya Kusumadewi (2003), mengatakan bahwa arsitektur jaringan
dalam aplikasinya antara lain: 1). Jaringan layar tunggal (single layer network)
contohnya adaline, hopfield, dan perceptron. 2). Jaringan layar jamak (multi layer
network) contohnya madaline, backpropagation dan neocognitron. 3). Jaringan
dengan lapisan kompetitif (Competitif layer network) contohnya LVQ.
Konsep kerja bagaimana informasi tersalurkan dalam JST dimulai dari nodenode input. Misalkan ada sinyal yang masuk ke node input. Node-node input ini
memiliki fungsi untuk menerima sinyal informasi dari luar dan meneruskannya ke
node-node pada lapisan tersembunyi. Tidak semua sinyal yang dikirimkan akan
disampaikan ke node-node tersembunyi.
Besarnya sinyal yang disampaikan akan tergantung dari tingkat kekuatan
hubungan antara tiap-tiap node input dengan masing-masing node tersembunyi.
Seperti manusia, ketika kita belajar belum tentu apa yang kita pelajari dapat kita
pahami, maka untuk menganalogikan tingkat kekuatan hubungan ini, digunakanlah
faktor pembobot (weight). Sehingga, sinyal yang diterima oleh node-node di lapisan
tersembunyi merupakan sinyal terbobot atau weigthed signal.
Propagasi Balik (Back propagation)
Metode propagasi balik perambatan galat mundur (back propagation) adalah
sebuah metode sistematik untuk pelatihan multilayer jaringan syaraf tiruan. Metode
ini memiliki dasar matematis yang kuat, obyektif dan algoritma ini mendapatkan
bentuk persamaan dan nilai koefisien dalam formula dengan meminimalkan jumlah
kuadrat galat error melalui model yang dikembangkan (training set) (Brace, 1997).
a. Pada lapisan masukan, dihitung keluaran dari setiap elemen pemroses melalui
lapisan luar.

8

b. Dihitung kesalahan pada lapisan luar yang merupakan selisih antara data aktual
dan target.
c. Kesalahan tersebut ditransformasikan pada kesalahan yang sesuai di sisi masukan
elemen pemroses.
d. Propagasi balik di lakukan terhadap kesalahan-kesalahan ini pada keluaran setiap
elemen pemroses ke kesalahan yang terdapat pada masukan. proses ini diulangi
sampai masukan tercapai.
e. Seluruh bobot diubah dengan menggunakan kesalahan pada sisi masukan elemen
dan luaran elemen pemroses yang terhubung.
Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses dapat dilihat
pada Gambar 1.

Gambar 1. Tiruan Neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses
Keterangan :
aj : Nilai aktivasi dari unit j.
wj,i : Bobot dari unit j ke unit i
ini: Penjumlahan bobot dan masukan ke unit i
g : Fungsi aktivasi
ai : Nilai aktivasi dari unit i
Sumber : Eliyani (2005)

9

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi
Ternak Perah, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan
selama dua bulan yaitu bulan Nopember sampai Desember 2011.
Materi
Penelitian ini menggunakan sapi perah dara Fries Holland sebanyak empat
ekor dengan kisaran bobot badan 180 kg sampai 220 kg. Kemudian ternak tersebut
diberi pakan berupa hijauan segar (rumput gajah dan rumput lapang) secara normal
sebanyak 20 kg/ekor/hari dan konsentrat sebanyak 2 kg per ekor per hari. Pemberian
pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi pukul 08.00 dan sore pukul 15.00 WIB,
sedangkan air minum ad libitum.
Alat Ukur
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer bola basah
(wet bulb temperature) dan temperatur bola kering (dry bulb temperature),
termometer rektal (Safety, Japan), infra red temperature (digital surface temperature)
(Anritsu HI-2000, Tokyo).
Prosedur
Pemeliharaan Ternak
Sapi perah dara sebanyak empat ekor dipelihara di dalam kandang ikat
bersama ternak yang lain dengan perlakuan normal, waktu dan jumlah pemberian
pakan tidak dibedakan.
Parameter yang Diukur
Pengukuran lingkungan iklim mikro dalam kandang meliputi suhu
lingkungan (Ta), kelembaban udara (Rh). Pengukuran respon fisiologis antara lain
terhadap suhu permukaan kulit (Ts) dan suhu rektal (Tr).
Cara Pengambilan Data
Pengukuran dilakukan mulai pagi hari pukul 06.00 – 16.00 WIB. Pengukuran
pertama ke pengukuran berikutnya dilakukan paling cepat setelah 1 jam, dengan

mengacu pada perbedaan suhu udara. Apabila suhu udara belum berubah dari
pengukuran sebelumnya maka pengukuran suhu udara dan kelembaban relatif serta
respon fisiologis ditunda sampai terjadi perubahan suhu udaranya.
Metode Pengukuran
1. Pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan termometer bola
basah dan bola kering.
2. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung menggunakan rumus Hahn (1985)
yaitu:

THI = DBT + 0,36 WBT + 41,2; DBT= suhu bola kering (oC) dan

WBT = suhu bola basah (oC).
3. Suhu permukaan kulit (Ts), diukur di empat titik tubuh sapi yaitu punggung
(A), dada (B), tungkai atas (C), tungkai bawah (D). Rataan suhu permukaan
kulit dihitung berdasarkan rumus Mc Lean et al. (1983); Ts = 0,25 (A+B) +
0,32 C + ) 0,18 D.
4. Suhu rektal diukur menggunakan termometer klinis yang dimasukkkan ke
dalam rektal selama 3 – 5 menit.
Rancangan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dimasukkan dalam program Microsoft Excel kemudian
diolah menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan, sehingga dapat diketahui pola
hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon
fisiologis pada sapi perah FH.
Jaringan Syaraf Tiruan yang digunakan adalah metode algoritma propagasi
balik. Algoritma pelatihan propagasi balik banyak dipakai pada aplikasi pengaturan
karena proses pelatihannya didasarkan pada hubungan yang sederhana, yaitu: jika
keluaran memberikan hasil yang salah, maka penimbang (weight) dikoreksi supaya
galatnya dapat diperkecil dan respon jaringan selanjutnya diharapkan akan lebih
mendekati nilai yang benar. Back propagation juga berkemampuan untuk
memperbaiki penimbang pada lapisan tersembunyi (hidden layer).
Algoritma propagasi balik, dapat dideskripsikan sebagai berikut: ketika
jaringan diberikan pola masukan sebagai pola pelatihan maka pola tersebut menuju
ke unit-unit pada lapisan tersembunyi untuk diteruskan ke unit-unit lapisan keluaran.
Kemudian unit-unit lapisan keluaran memberikan tanggapan yang disebut sebagai

11

keluaran jaringan. Saat keluaran jaringan tidak sama dengan keluaran yang
diharapkan maka keluaran akan menyebar mundur (backward) pada lapisan
tersembunyi diteruskan ke unit pada lapisan masukan. Oleh karenanya maka
mekanisme pelatihan tersebut dinamakan back propagation atau propagasi balik.
Tahap pelatihan ini merupakan langkah bagaimana suatu jaringan syaraf itu
berlatih, yaitu dengan cara melakukan perubahan penimbang (sambungan antar
lapisan yang membentuk jaringan melalui masing-masing unitnya). Sedangkan
pemecahan masalah baru akan dilakukan jika proses pelatihan tersebut selesai, fase
tersebut adalah fase mapping atau proses pengujian atau testing.
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)
Pemodelan dimulai dengan membangun model Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
untuk dapat memperoleh nilai respon fisiologis pada ternak berdasarkan kondisi
iklim mikronya, menggunakan metode propagasi balik. Arsitektur jaringan syaraf
terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan masukan (input layer) terdiri atas variabel
masukan tiga unit sel syaraf, lapisan tersembunyi (hidden layer) terdiri atas enam
unit sel syaraf, dan lapisan keluaran (output layer) terdiri atas dua sel syaraf. Struktur
ANN metode propagasi balik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Struktur ANN (Artficial Neuron Network) Metode Propagasi Balik (Back
ipropagation) yang Digunakan dalam Penelitian
Lapisan masukan
(input layer)
(3 unit)

Lapisan tersembunyi
(Hidden layer)
(6 neuron)

Lapisan keluaran
(output layer)
(2 unit)

x0 : bias
x1: suhu udara (Ta)
x2: kelembaban udara (Rh)

h0 : bias
h1, h2,h3,h4,h5

y1:suhu rektal (Tr)
y2: suhu kulit (Ts)

Penghubung antar lapisan digunakan pembobot. Bobot sebagai jembatan
yang menghubungkan input layer ke setiap neuron pada hidden layer adalah wij (wij:
bobot yang menghubungkan unit input layer ke-i ke neuron ke-j pada hidden layer),
sedangkan penghubung setiap neuron pada hidden layer ke output layer adalah vjk
(vjk: bobot yang menghubungkan neuron ke-j pada hidden layer menuju ke-k pada
output layer).

12

Skema arsitektur ANN untuk respon fisiologis suhu rektal (Tr) dan Suhu
permukaan kulit (Ts) sapi perah FH pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 2.

y1

y2

Gambar 2. Skema Arsitektur ANN Metode Propagasi Balik (Back Propagation)
Pemodelan Respon Fisiologis Suhu Rektal (Tr) Dan Suhu Kulit (Ts)
Sapi Perah FH pada Suhu dan Kelembaban Udara Berbeda
Keterangan: x: masukan / input (x1dan x2), x0: bias pada masukan / input, Wij :
Bobot pada lapisan tersembunyi, Vjk : Bobot pada lapisan keluaran, h: jumlah unit
pengolah pada lapisan tersembunyi (h1....h5), h0: bias pada lapisan tersembunyi,
y: keluaran hasil .

Aktivasi Jaringan ANN
Algoritma back propagation membagi proses belajar ANN menjadi empat
tahapan utama yang dilakukan secara iterative sehingga jaringan menghasilkan
perilaku yang diinginkan. Tahapan-tahapan aktivasi jaringan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Inisialisasi yaitu dilakukan pengkodean data input (xi ) dan target tk menjadi nilai
dengan kisaran [0..1], kemudian memberikan nilai pada wij dan vjk secara random
dengan kisaran (-1 sampai 1).
2. Perambatan maju (feed forwards step) yaitu melakukan training pada xi dan tk
kemudian menghitung besarnya hj dan yp
1
hj = --------------1 + e- wij xi

1
yp = -------------1 +e- vjk hj

13

Selama perambatan maju, tiap unit masukan (xi) menerima sebuah masukan
sinyal ini ke tiap-tiap lapisan tersembunyi h1,…..,hj. Tiap unit tersembunyi ini
kemudian menghitung aktivasinya dan mengirimkan sinyalnya (hj) ke tiap unit
keluaran. Tiap unit keluaran (yk) menghitung aktivasinya untuk membentuk
respon pada jaringan untuk memberikan pola masukan.
3.

Perambatan mundur (backward step) : Menentukan nilai

wij dan vjk,

menghitung error pada output layer, menentukan p, vjk, j dan wij
k = yp (1-yt)(yt-yk)
vjk = vjk + k . hj
j = hj (1-hj) kk . vjk
wij = wij + j . xi
dimana  adalah constant of learning rate (misal =0.5)
Selama pelatihan, tiap unit keluaran membandingkan perhitungan
aktivasinya yp dengan nilai targetnya yt untuk menentukan kesalahan pola tersebut
dengan unit itu. Berdasarkan kesalahan ini, faktor δk(p=p1dan p2) dihitung
δkdigunakan untuk menyebarkan kesalahan pada unit keluaran yp kembali ke
semua unit pada lapisan sebelumnya (unit-unit tersembunyi yang dihubungkan ke
yp). Dengan cara yang sama, faktor (h = 1,2…,5) dihitung untuk tiap unit
tersembunyi hj. Nilai δkdigunakan untuk mengupdate bobot-bobot antara lapisan
tersembunyi dan lapisan masukan.
Setelah seluruh faktor δ ditentukan, bobot untuk semua lapisan diatur secara
serentak. Pengaturan bobot vjk (dari unit tersembunyi hj ke unit keluaran yp)
didasarkan pada faktor δkdan aktivasi hj dari unit tersembunyi hj, didasarkan pada
faktor δj dan aktivasi xi unit masukan, karena perubahan bobot ini akan terjadi
secara terus menerus selama proses iterasi.
4.

Menentukan error atau galat acuan dengan cara jumlah kuadrat dari selisih
output yang diharapkan dengan output aktual dengan rumus sebagai berikut:

14

Keterangan :
Yt = vektor nilai output yang diharapkan
Yp = vektor nilai output aktual
N = jumlah data dalam training
 = besar galat yang diinginkan
Perhitungan kesalahan merupakan pengukuran bagaimana jaringan dapat
belajar dengan baik. Kesalahan pada keluaran dari jaringan merupakan selisih
antara keluaran prediksi (current output) dan keluaran target (desired output).
Menghitung nilai SSE (Sum Square Error)yang merupakan hasil penjumlahan
nilai kuadrat errorneuron ke-1 dan neuronke-2 pada lapisan output tiap data,
dimana hasil penjumlahan keseluruhan nilai SSE akan digunakan untuk
menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error)tiap iterasi (Kusumadewi,
2003).

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian
Berdasarkan pengambilan data selama penelitian yang berlangsung mulai
pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB, data yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu
lingkungan berkisar antara 23,7 – 33,7 oC, kelembaban udara antara 55 – 96%, THI
(Temperature Humidity Index) antara 73,18 – 83,86. Nilai pengukuran yang
diperoleh lebih tinggi dibandingkan rataan nilai optimum untuk kenyamanan sapi
perah. Menurut West (2003), ternak sapi perah membutuhkan temperatur nyaman
13-18 oC atau THI (Temperature Humidity Index) < 72, THI > 72 sapi mengalami
stres dan THI > 84 memungkinkan kematian pada sapi perah. Sementara McNeilly
(2001) menyatakan bahwa zona termoneutral (ZTN) berada pada suhu lingkungan
13 – 25 oC dan kelembaban relatif (Rh) 50 – 60%.
Gambar 3 dan 4 menunjukan pola perubahan kondisi iklim mikro yang
berfluktuasi pada lokasi penelitian. Pada gambar tersebut, suhu lingkungan (Ta) dan
THI mengilustrasikan pola perubahan yang baku yaitu pola parabolik. Berdasarkan
nilai THI yang didapat yaitu berkisar antara THI 72- 84, menunjukkan bahwa sapi
mengalami cekaman panas, hal ini seperti yang telah di laporkan oleh (Amir, 2010
dan Yani, 2007).

06.00

12.00
Waktu Pengamatan (WIB)

Gambar 3. Rataan Pola Perubahan Suhu Lingkungan pada Lokasi Penelitian

16.00

06.00

12.00

16.00

Waktu Pengamatan (WIB)
(a) Kelembaban udara (Rh)

06.00

12.00

16.00

Waktu Pengamatan (WIB)
(b)Temperature Humidity Index (THI)
Gambar 4. Rataan Pola Perubahan Lingkungan Mikro: (a) Kelembaban Udara dan
(b) Temperature Humidity Index (THI)

Menurut Yani (2007), suhu udara dalam kandang berasal dari suhu udara
lingkungan yang naik pada pagi sampai siang hari dan menurun kembali pada sore
hari. Pada pukul 09.20 WIB, suhu udara dalam kandang memiliki kecenderungan
meningkat dari posisi dekat lantai menuju posisi dekat atap karena panas matahari

17

yang diterima atap dihantarkan ke dalam kandang sehingga semakin dekat dengan
atap suhu udara semakin tinggi.
Suhu udara dan kelembaban menyebabkan perubahan keseimbangan panas
dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan
tingkah laku ternak. Iklim mikro disuatu tempat yang tidak mendukung bagi
kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan
secara maksimal (McNeilly, 2001).
Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara terhadap
Suhu Rektal (Tr)
Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengaturan suhu tubuh yang
lazim digunakan karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih mudah
dilakukan pengukurannya daripada parameter suhu tubuh lainnya. Dari hasil
pengukuran di lapang, suhu rektal berkisar antara 38,13 – 39,7 oC. Rataan suhu
rektal ini masih tergolong pada suhu normal bagi sapi perah, seperti yang dinyatakan
Schutz et al. (2009) sebesar 38,2 – 39,1 oC, tetapi ternyata telah telah terjadi
cekaman panas pada saat suhu rektal melebihi suhu 39,2 oC. Hasil penelitian
Purwanto et al. (1993) serta Kendall et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu
lingkungan 30 oC serta 32,2 oC, suhu rektal dapat mencapai lebih dari 39,8 oC serta
40 oC. Kondisi suhu rektal yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh
bekerja secara ekstra untuk mencapai keseimbangan panas yang baik dengan
pelepasan panas. Untuk mengetahui suhu rektal sapi perah dapat digunakan hasil
simulasi ANN berdasarkan suhu dan kelembaban udara di sekitar kandang sapi perah
tersebut.
Pengaruh Suhu Dan Kelembaban Udara terhadap
Suhu Kulit (Ts)
Rataan suhu permukaan kulit sapi perah selama pengamatan bervariasi antara
31,97 – 36,55 oC. Rataan suhu rektal ini masih tergolong pada suhu normal sapi
perah yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara
33,5 – 37,1 oC (Tucker et al., 2008). Disamping itu sapi perah yang diamati adalah
sapi perah yang sudah lama beradaptasi terhadap lingkungan panas dan dipelihara
selalu dikandangkan sehingga tidak terkena langsung radiasi panas matahari.

18

Menurut Martini (2006), bahwa kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh
(termoregulasi) melalui dua cara yaitu pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran
darah di pembuluh kapiler. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat
dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga
panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, suhu tubuh
akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah
(vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh.
Suhu tubuh merupakan perwujudan suhu organ-organ di dalam tubuh serta
organ-organ di luar tubuh. Suhu tubuh diwakili oleh suhu rektal dan suhu diluar
tubuh diwakili oleh suhu permukaan kulit. Pola perubahan suhu tubuh sesuai dengan
pola perubahan suhu rektal, karena suhu rektal mempunyai pengaruh sebesar 86%
terhadap suhu tubuh, sedangkan suhu kulit pengaruhnya sebesar 14% (McLean et al.,
1983). Besarnya cekaman panas yang dicerminkan oleh nilai suhu tubuh sebagian
besar dipengaruhi oleh besarnya nilai suhu rektal dan sebagian lagi sisanya oleh suhu
kulit. Namun demikian, kulit berperan penting dalam menerima rangsangan panas
atau dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke
hipotalamus. Rangsangan suhu tersebut diteruskan ke pusat pengatur panas yang juga
di hipotalamus untuk melakukan usaha-usaha penurunan produksi atau pengeluaran
panas (Isnaeni, 2006).
Penerapan Artificial Neural Network (ANN)
Penerapan Artificial Neural Network metode pelatihan propagasi balik
dilakukan terhadap data-data pelatihan dengan harapan kesalahan (error) terkecil
sekitar 0.001. Setelah dilakukan iterasi berulang-ulang dihasilkan nilai kesalahan
(error) yang semakin menurun dari setiap iterasi. Nilai kesalahan (error) yang
terkecil pada output prediksi terhadap output target, padaYp1 (suhu rektal) dan Yp2
(suhu kulit)

yaitu setelah dilakukan iterasi sebanyak 800.000/25 (32.000 kali),

diperoleh nilai error pada suhu rektal sebesar 0,011435 dan pada suhu kulit sebesar
0,035597. Penurunan nilai error pada suhu rektal dan suhu kulit selama proses iterasi
dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 5.

19

Tabel 2. Penurunan Nilai Error Berdasarkan Tahapan Iterasi untuk Suhu Rektal
(Yp1) dan Suhu Kulit (Yp2)
No

Tahap Iterasi ke

Error Yp1

Error Yp2

1

25

0,34674

0,823380

2

100

0,023144

0,295907

3

1000

0,023099

0,291108

4

100.000

0,017674

0,045818

5

500.000

0,011811

0,036245

6

600.000

0,011492

0,035946

7

700.000

0,011438

0,035742

8

800.000

0,011435

0,035597

Gambar 5. Proses Iterasi yang Menghasilkan Nilai Error Terendah untuk suhu rektal
(yp1) dan suhu kulit (yp2)
Validasi Hasil Artificial Neural Network (ANN)
Validasi hasil ANN pada suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) berdasarkan
suhu dan kelembaban udara, dengan cara membandingkan data suhu rektal dan suhu
kulit hasil perhitungan ANN dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapang.

20

Validasi dilakukan pada kondisi suhu dan kelembaban udara yang sama antara data
hasil penghitungan ANN dan data hasil pengukuran di lapang.
Validasi dimulai setelah didapatkan nilai error terendah, kemudian dilakukan
proses normalisasi kembali, yaitu normalisasi data input (x1, x2), data target (yt1, yt2)
dan hasil prediksi perhitungan ANN (yp1, yp2). Proses dan hasil normalisasi data
dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil validasi menunjukkan kecenderungan hasil penghitungan ANN
mendekati hasil pengukuran lapang dengan nilai rataan persentase error yang
rendah.yaitu yp1 = 0,50 % dan yp2= 1,12 %. Pada beberapa titik validasi terjadi
perbedaan persentase error yang cukup besar, tetapi masih dalam batasan yang
rendah (% error < 5 %). Hal tersebut dapat diartikan bahwa nilai prediksi sudah
mendekati nilai aktualnya. Nilai persentase error yang rendah ini menunjukkan
bahwa hasil penghitungan ANN memiliki akurasi yang tinggi sehingga dapat
dijadikan acuan untuk pendugaan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) berdasarkan
suhu dan kelembaban udara.

21

Tabel 3. Hasil Normalisasi Data dari Proses Iterasi: Data Input, Data Output
dan iPersentase Error antara Target dan Prediksi Data Output
Input

Suhu Rektal (Tr)
Target Prediksi
Error

SuhuKulit (Ts)
Target
Prediksi
Error

Ta

Rh

0

( C)

(%)

(0C)

(0C)

23,70

96,00

38,25

38,43

0,48

32,01

32,08

0,22

24,00

96,00

38,40

38,50

0,27

31,97

32,36

1,20

24,35

94,00

38,56

38,47

0,22

32,21

32,45

0,74

25,00

88,00

38,15

38,31

0,42

33,59

32,44

3,42

25,45

90,00

38,27

38,56

0,75

32,93

33,14

0,63

25,80

82,67

38,13

38,17

0,09

32,82

32,72

0,31

26,17

80,33

38,33

38,13

0,52

32,62

32,84

0,67

26,67

82,67

38,27

38,46

0,50

33,35

33,51

0,47

27,20

84,00

38,65

38,68

0,07

34,95

34,08

2,48

27,60

77,67

38,43

38,41

0,05

33,67

33,90

0,68

28,10

74,00

38,54

38,34

0,52

33,98

33,98

0,01

28,67

72,33

38,83

38,44

1,01

34,60

34,31

0,85

29,00

71,00

38,85

38,50

0,89

33,86

34,48

1,82

29,30

73,67

39,23

38,79

1,11

35,29

34,89

1,14

29,60

76,00

39,70

39,06

1,62

35,16

35,30

0,40

30,03

67,00

38,61

38,72

0,28

35,04

34,92

0,36

30,87

61,00

38,64

38,60

0,12

34,49

35,07

1,68

31,15

60,00

38,44

38,63

0,48

35,13

35,16

0,08

31,60

59,00

38,78

38,68

0,26

36,06

35,39

1,85

31,80

60,33

38,59

38,83

0,62

35,01

35,64

1,79

32,10

57,00

38,74

38,69

0,13

36,49

35,57

2,52

32,50

58,33

38,82

38,89

0,19

36,35

35,93

1,16

32,80

55,00

38,90

38,78

0,31

35,61

35,91

0,85

33,20

55,00

38,63

38,91

0,72

36,55

36,12

1,16

33,30

55,00

38,60

38,90

0,78

35,70

36,19

1,38

(%)

Rataan Error

0,50

(0C)

(0C)

(%)

1,11

Keterangan : Target (Hasil pengukuran di lapang)
Prediksi (Hasil perhitungan ANN)

22

Simulasi Pendugaan Suhu Rektal (Tr) dan Suhu Kulit (Ts)
Simulasi adalah teknik penyusunan dari kondisi yang nyata dan kemudian
melakukan percobaan pada model yang dibuat dari sistem. Simulasi dilakukan
dengan memperhatikan parameter suhu dan kelembaban udara pada setiap kondisi
mulai dari nilai minimum sampai nilai maksimum yang terukur di lapang. Simulasi
dengan mengkombinasikan nilai input suhu dan kelembaban udara, sehingga
didapatkan variasi nilai output suhu rektal dan suhu kulit. Contoh hasil simulasi
menggunakan ANN dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil simulasi suhu dan
kelembaban udara, apabila ingin mengetahui berapa respon fisiologis sapi perah pada
suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) sapi perah tersebut, tidak perlu mengukur
langsung kepada ternaknya, tetapi cukup melihat suhu dan kelembaban udara yang
terukur saat itu, kemudian disimulasikan dengan ANN.
Hasil simulasi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat respon fisiologis
sapi perah (suhu rektal dan suhu kulit) terhadap perubahan suhu dan kelembaban
udara yang berbeda-beda.
Tabel 4. Contoh Hasil Simulasi ANN Perkiraan Suhu Rektal (Tr) dan Suhu Kulit
(Ts) pada Suhu dan Kelembaban Udara yang Berbeda-beda
Suhu udara
(oC)
24
24
24
26
26
26
28
28
28
30
30
30
32
32
32
34
34
34

Kelembaban udara
(%)
96
94
92
96
94
92
96
94
92
96
94
92
96
94
92
96
94
92

Suhu Rektal
(oC)
39,11
38,86
38,68
39,11
38,86
38,68
39,60
39,28
39,05
39,99
39,63
39,35
40,30
39,91
39,59
40,54
40,13
39,80

Suhu Kulit
(oC)
35,63
35,32
35,04
35,63
35,32
35,04
36,73
36,35
36,00
37,51
37,14
36,78
38,03
37,71
37,39
38,37
38,10
37,82

23

Berdasarkan hasil prediksi dari simulasi ANN menunjukkan bahwa semakin
meningkat suhu udara, maka semakin meningkat pula suhu rektal dan suhu kulit sapi
perah. Semakin meningkat kelembaban udara baik pada suhu yang sama atau pada
suhu yang meningkat pula, mengakibatkan peningkatan suhu rektal dan suhu kulit.
Hasil simulasi ANN ini juga dapat diperoleh korelasi antara suhu dan kelembaban
udara dengan tingkat stress sapi berdasarkan suhu rektal dan suhu kulit. Menurut
Schutz et al. (2009), bahwa suhu rektal sapi perah pada kondisi normal adalah 38,2 –
39,1 oC. Sementara menurut Tucker et al. (2008), bahwa suhu permukaan kulit sapi
yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar 33,5 – 37,1 oC.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sapi perah mengalami cekaman panas
apabila suhu rektal lebih dari 39,1 oC atau suhu kulit lebih dari 37,1 oC.
Berdasarkan hasil prediksi hasil simulasi ANN, perubahan kelembaban dan
suhu udara sangat sensitif mempengaruhi suhu rektal dan suhu kulit pada sapi perah.
Tingkat cekaman panas berdasarkan suhu rektal pada suhu dan kelembaban udara
yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Suhu dan Kelembaban Udara pada Saat Sapi Perah Mulai Mengalami
Cekaman Panas dengan Indikator Suhu Rektal dan Suhu Kulit
Suhu Udara
(oC)
22 - 25

Kelembaban Udara
(%)
> 49

Indikator
Cekaman Panas
-

26

> 96

Suhu rektal

27

> 94

Suhu rektal

28

> 92

Suhu rektal

29

> 90

Suhu rektal

30 - 34

> 88

Suhu rektal

31

> 92

Suhu rektal dan suhu kulit

32

> 90

Suhu rektal dan suhu kulit

33

> 88

Suhu rektal dan suhu kulit

34

> 86

Suhu rektal dan suhu kulit

Peningkatan kelembaban udara pada suhu udara yang sama dan suhu udara
yang berbeda sangat mempengaruhi terhadap cekaman panas pada sapi perah. Pada
saat suhu udara 22 – 25 oC, secara umum tidak terjadi cekaman panas walaupun

24

terjadi perubahan kelembaban udara, karena suhu rektal dan suhu kulit masih pada
kisaran normal. Pada saat suhu udara 26 – 34 oC, sapi perah akan mengalami
cekaman panas apabila terjadi peningkatan kelembaban udara pada suhu tersebut
dengan indikator cekaman panas pada suhu rektal, tetapi selama kelembaban udara
masih di bawah ambang batas maka sapi perah tersebut tidak mengalami cekaman
panas, baik dari indikator suhu rektal atau suhu kulit. Peningkatan kelembaban udara
pada suhu udara yang sama dan suhu udara yang berbeda sangat mempengaruhi
terhadap perubahan suhu rektal dibandingkan perubahan suhu kulit. Cekaman panas
dengan indikator suhu kulit mulai terjadi apabila suhu udara naik menjadi 31 oC
dengan kelembaban udara di atas 92 %. Pada saat suhu udara yang tinggi yaitu 32 –
34 oC, akan terjadi cekaman panas dengan indikator suhu rektal dan suhu kulit, tetapi
suhu rektal lebih sensitif dibandingkan suhu kulit.

25

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Artificial Neural Network (ANN) dapat melakukan klasifikasi pola hubungan
antara kondisi iklim mikro, berdasarkan peubah suhu dan kelembaban udara di dalam
kandang sapi perah FH terhadap respon fisiologisnya pada peubah suhu rektal (Tr)
dan suhu permukaan kulit (Ts). Pemodelan menggunakan metode pembelajaran
propagasi balik (back propagation) sangat cocok pada penelitian ini. Hal ini dapat
terlihat dari persentase tingkat akurasi yang tinggi yaitu setelah dilakukan training
data sebanyak (800.000/25) 32.000 kali iterasi, data error terendah, yaitu 0,011435
untuk suhu rektal (Tr) dan 0,02094 untuk suhu kulit (Ts).
Hasil prediksi dengan persentase error yang rendah 0,05% pada suhu rektal
(Tr) dan 1,12% pada suhu kulit (Ts), maka dapat menjadi acuan untuk pemodelan
atau simulasi perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) sapi perah FH
berdasarkan kondisi suhu dan kelembaban udara yang bervariasi.
Saran
Metode propagasi balik (back propagation) ternyata memiliki kelemahan
yakni proses pelatihan memerlukan waktu yang lama karena membutuhkan banyak
iterasi sampai mencapai error stabil, maka untuk memperbaikinya perlu dicoba
pengubahan arsitektur jaringan dengan mengubah jumlah neuron pada hidden layer
atau penerapan metode pembelajaran ANN yang lain.
Perlu pengembangan jumlah peubah selain peubah suhu dan kelembaban
udara, seperti

kecepatan angin, radiasi matahari dan parameter lainnya yang

memungkinkan adanya korelasi dengan respon fisiologis seperti denyut jantung dan
frekuensi pernafasan.

PEMODELAN RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH DARA
BERDASARKAN PERUBAHAN SUHU UDARA DAN
KELEMBABAN RELATIF MENGGUNAKAN
ARTIFICIAL NEURAL NETWORK

SKRIPSI
SURAJUDIN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

PEMODELAN RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH DARA
BERDASARKAN PERUBAHAN SUHU UDARA DAN
KELEMBABAN RELATIF MENGGUNAKAN
ARTIFICIAL NEURAL NETWORK

SKRIPSI
SURAJUDIN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
Surajudin. D14086025. 2012. Pemodelan Respon Fisiologis Sapi Perah FH Dara
Berdasarkan Perubahan Suhu Udara dan Kelembaban Relatif Menggunakan
Artificial Neural Network. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr.
Pembimbing Anggota : Ahmad Yani, STP., M.Si.
Sapi perah FH mempunyai sifat peka terhadap perubahan iklim mikro yang
dapat mempengaruhi produksi dan pelepasan panas pada tubuh sapi. Unsur iklim
mikro itu antara lain suhu dan kelembaban udara, radiasi matahari dan kecepatan
angin. Sifat peka tersebut dapat di ukur dari respon fisiologis sapi antara lain
frekuensi denyut jantung (Hr), frekuensi pernafasan (Rr), Suhu rektal (Tr), Suhu kulit
(Ts) dan suhu tubuh (Tb). Pemecahan masalah hubungan antara unsur iklim mikro
dengan respon fisiologis pada sapi perah telah banyak dilakukan dengan pendekatan
regresi sederhana. Sejalan dengan perkembangan di bidang pemodelan, maka perlu
dikaji pemanfaatannya dalam bidang fisiologi peternakan. Salah satu model yang
cocok untuk pemodelan fisiologi yaitu Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural
network).
Penelitian ini bertujuan untuk mencoba pemodelan dan simulasi hubungan
antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis sapi
perah yaitu menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN).
Pelaksanaan penelitian pada Bulan Nopember sampai Desember 2011 di
Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah Departemen IPTP,
Fakultas Peternakan, Institut pertanian Bogor. Sapi perah FH dara dipelihara dalam
kandang ikat dengan perlakuan pakan normal yaitu pemberian hijauan sebanyak 20
kg/ekor/hari dan konsentrat 2 kg/ekor/hari. Pemberian pakan dilakukan pada pukul
08.00 dan pukul 15.00 WIB. Parameter iklim mikro yang diukur yaitu suhu udara
(Ta) dan kelembaban udara (Rh), dengan respon fisiologis yang diukur yaitu suhu
rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts). Data dianalisis menggunakan jaringan syaraf
tiruan/artificial neural network dengan metode algoritma propagasi balik/back
propagation. Pemodelan dimulai dengan membangun model jaringan syaraf tiruan
(JST), membentuk arsitektur jaringan (menentukan input layer, hidden layer, dan
output layer) serta aktivasi jaringan dengan cara inisialisasi data, training data
(perambatan maju dan perambatan mundur) hingga ke penentuan nilai error
terendah.
Hasil pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 06.00
sampai pukul 16.00 WIB menunjukkan bahwa suhu udara berkisar antara 23,7 – 33,7
o
C, kelembaban udara (Rh) 55% – 96%, THI antara 73,18 – 83,86. Suhu udara
meningkat pada siang hari dan mencapai puncaknya, kemudian turun lagi pada sore
hari. Kelembaban udara menunjukkan hal yang sebaliknya. Suhu rektal berkisar
antara 38,13 – 39,7 oC, melebihi nilai rataan suhu rektal normal yaitu 38,2 – 39,1 oC,
dengan suhu kulit yang berkisar antara 31,97 – 36,55 oC, yang masih dalam kisaran
normal yaitu 33,5 – 37,1 oC. Penerapan jaringan syaraf tiruan/ artificial neural
network dilakukan dengan training data melalaui proses iterasi sebanyak 800.000/25
(32.000 kali), untuk mendapatkan nilai error terendah pada yp1 (suhu rektal) sebesar
0,011435 dan yp2 (suhu kulit) sebesar 0,020294. Hasil validasi perhitungan ANN

didapatkan persentase nilai error hasil prediksi dengan hasil pengukuran di lapang
pada suhu rektal dan suhu kulit berturut-turut 0,5% dan 1,12%. Simulasi pendugaan
suhu rektal dan suhu kulit melalui suhu dan kelembaban udara didapatkan bahwa
sapi perah akan mengalami cekaman panas apabila suhu udara yang meningkat
dengan kelembaban udara yang meningkat pula. Indikator cekaman panas lebih
sensitif terjadi pada suhu rektal daripada suhu kulit.
Kata kunci : Termoregulasi, artificial neural network, back propagation.

iii

ABSTRACT
Modeling The Effect of Air Temperature and relative humidity on
Termoregulatory Responses of Dairy Heifers Friesian Holstein
with Artificial Neural Network
Surajudin, B.P. Purwanto and A. Yani
An experiment was conducted to create a model of air temperature and relative
humidity effect on termoregulatory responses of FH dairy heifers. Four dairy
heifers were kept with normal feeding in dairy barn, Faculty of Animal Science,
Bogor Agriculture University. Observed variables wer