Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) terhadap Penghambatan Efek Toksik Tartrazin dan Rhodamin pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus

(1)

PENGAR PENGHAM

RUH EKSTR MBATAN EFE

RAK BIJI BLI EK TOKSIK T

PROLIFE

KEN

FAKULTAS INSTITU

IGO (Benincas TARTRAZIN RASI LIMFO

SKRIPSI

NNY MULIA F24070033

TEKNOLOGI UT PERTANIA BOGOR

2011

sa hispida Thu DAN RHODA OSIT TIKUS

AWAN

I PERTANIAN AN BOGOR

unb Cogn) TE AMIN PADA

N

ERHADAP A AKTIVITASS


(2)

THE INFLUENCE OF BLIGO (

Benincasa hispida

Thunb Cogn) SEED

EXTRACT TOWARDS THE INHIBITION OF TARTAZINE AND

RHODMINE TOXIC EFFECT ON THE PROLIFERATION ACTIVITY OF A

RAT LYMPHOCYTES

Kenny Muliawan and Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat, M.sc

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone: +62 818 0899 7972, E-mail: kenny_muliawan@yahoo.com

ABSTRACT

Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) is one of medical plants that would be useful as medicine for some diseases. Previous study of bligo showed that bligo extract has the ability to cure ulcer in rats and should no toxicity in rat serum analysis. This effect is estimated to be due to some bioactive compounds, like fenolic, terpene, flavonoid c-glycoside and sterols that have antioxidant effect. This bioactive compound were asumed to be able to increase lymphocyte cell proliferation activity. This research purpose is to get the scientific data and to know the effect of consuming bligo seed extract in rat growth and on spleen lymphocyte cell proliferation activity. Three groups of rats, including control or 0 g/kg bw of bligo seed extract, 0.1 g/kg bw bligo seed extract, and 1 g/kg bw bligo seed extract. After 90 day treatment, splenocytes of rats were cultured in the presence of LPS 12.5 µg/ml culture, tartrazine 90 µg/ml, 180 µg/ml, 270 µg/ml culture, or rhodamine 6 µg/ml, 12 µg/ml, 18 µg/ml culture. After 72 hours of incubation, spleen lymphocyte cell proliferation activity was measured by MTT method. Results of this research showed that 0.1 g/kg bw bligo seed extract has increased proliferation activity by 14.30% on treatment with LPS, -0.09% on tartrazine 90 µg/ml culture, 11.42% on tartrazine 180 µg/ml culture, 21.92% on tartrazine 270 µg/ml culture, meanwhile, lymphocyte cultured with rhodamine 6 µg/ml culture, rhodamin 12 µg/ml culture, and rhodamin 18 µg/ml culture, has increased proliferation activity of 25.22%, 7.42%, and 12.19% respectively, compare to that of lymphocyte cultured with media alone. And 1 g/kg bw bligo seed extract can increase proliferation activity by 12.30% on LPS, 24.38% on tartrazine 90 µg/ml, 11.54% on tartrazine 180 µg/ml, 52.74% on tartrazine 270 µg/ml, -4.03% on rhodamine 6 µg/ml, -15.04% on rhodamin 12 µg/ml, and -17.66% on rhodamin 18 µg/ml, compare to that of control culture. Bligo seed extract can prevent toxic effect of tartrazine and rhodamine. The effective result was from rats that gavaged with 0.1 g/kg bw bligo seed extract. The conclusion of this research is bligo is good for health.

Keywords: bligo, Benincasa hispida, proliferation, lymphocyte, tartrazine, rhodamine, rats, MTT method


(3)

KENNY MULIAWAN. F24070033. Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) terhadap Penghambatan Efek Toksik Tartrazin dan Rhodamin pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus. Di bawah bimbingan Fransiska Rungkat Zakaria. 2011.

RINGKASAN

Dewasa ini produk pangan dari tanaman seperti sayur, buah, dan serealia dilaporkan memiliki keunggulan di bidang kesehatan dan menunjukkan kecendrungan menurunkan resiko penyakit kanker dibandingkan dengan sumber pangan hewani. Tanaman pangan di Indonesia yang belum banyak diteliti potensinya sebagai pangan yang memiliki komponen bioaktif yang baik untuk kesehatan salah satunya adalah bligo (Benincasa hispida).

Benincasa hispida Thunb Cogn atau disebut bligo merupakan tanaman menjalar, batang berkayu, lunak, berbulu, warna hijau. Buah buni, bulat memanjang, berdaging, panjang 15-20 cm, warna hijau keputih-putihan dan bagian yang digunakan biji dan buah. Biji bligo berbentuk seperti biji mentimun tetapi sedikit lebih besar dan berwarna putih kekuningan. Biji buah bligo telah dimanfaatkan di Cina sebagai pengobatan antihelmitik.

Komponen bioaktif yang terdapat pada bligo seperti komponen fenolik selain diduga dapat meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit juga diduga dapat menghambat efek toksik dari beberapa senyawa xenobiotik. Eksploitasi potensi bligo dapat dilakukan melalui kajian biologisnya atau secara in vivo menggunakan hewan percobaan terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek konsumsi ekstrak biji bligo dengan konsentrasi 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb terhadap kondisi tikus Sprague Dawley melalui kenaikan berat badan dan tingkat konsumsinya, mempelajari efek konsumsi ekstrak biji bligo terhadap tingkat proliferasi sel limfosit sebagai indikasi sistem imun atau sifat immunomodulator pada tikus Sprague Dawley, dan mempelajari pengaruh ekstrak biji bligo terhadap penghambatan efek toksik dari senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin terhadap tingkat proliferasi sel limfosit tikus Sprague Dawley.

Penelitian terhadap ekstrak biji bligo ini dilakukan secara in vivo selama 90 hari. Tikus percobaan dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan yaitu, kelompok tikus kontrol, kelompok tikus yang disonde ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan kelompok tikus yang disonde ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Kemudian limfa dari tikus percobaan diisolasi untuk mendapatkan sel limfositnya. Sel limfosit yang didapatkan kemudian dikulturkan dan diberi perlakuan dengan media saja sebagai kontrol, penambahan LPS, atau penambahan senyawa xenobiotik berupa tartrazin atau rhodamin. Perhitungan sel limfosit hidup dilakukan dengan metode MTT. Hasilnya dibandingankan dengan nilai absorbansi perlakuan dengan kontrol dan dinyatakan sebagai Indeks Stimulasi (IS) dalam persen.

Hasil dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak biji bligo baik pada konsentrasi 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb tidak mempengaruhi pertumbuhan tikus Sprague Dawley, pemberian ekstrak biji bligo tidak mempengaruhi nafsu makan atau tidak mengurangi nafsu makan tikus. Setelah 90 hari perlakuan, ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dapat meningkatkan aktivitas proliferasi sebesar 14.30% pada perlakuan dengan penambahan LPS, -0.09% pada tartrazin 90 µg/ml, 11.42% pada tartrazin 180 µg/ml, dan 21.92% pada tartrazin 270 µg/ml, sementara pada kultur rhodamin 6 µg/ml, rhodamin 12 µg/ml, dan rhodamin 18 µg/ml, ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dapat meningkatkan proliferasi limfosit secara berturut-turut sebesar 25.22%, 7.42%, dan 12.19% dibandingkan dengan kultur kontrol (proliferasi spontan). Ekstrak biji bligo 1 g/kg bb dapat meningkatkan aktivitas proliferasi sebesar 12.30% pada LPS, 24.38% pada tartrazin 90 µg/ml, 11.54% pada tartrazin 180 µg/ml, 52.74% pada tartrazin 270 µg/ml, -4.03% pada rhodamin 6 µg/ml, -15.04% pada rhodamin 12 µg/ml, dan -17.66% pada rhodamin 18 µg/ml dibandingkan dengan limfosit pada kultur kontrol.


(4)

Ekstrak biji bligo dengan konsentrasi 0.1 g/kg bb dapat digunakan sebagai imunomodulator baik pada kultur kontrol maupun pada kultur dengan xenobiotik. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb pada kultur dengan tartrazin (90 µg/ml, 180 µg/ml, dan 270 µg/ml) tidak berpengaruh secara nyata terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit tikus. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb pada kultur dengan rhodamin (6 µg/ml, 12 µg/ml, dan 18 µg/ml) berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan aktivitas proliferasi limfosit. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb dapat menghambat efek toksik dari tartrazin dan rhodamin.

Perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb menunjukkan hasil paling efektif pada kondisi tubuh normal dan tidak sakit dengan aktivitas proliferasi limfosit limfa tertinggi dan paling resisten terhadap serangan xenobiotik terutama rhodamin. Komponen bioaktif yang diduga bertindak sebagai antioksidan dari ekstrak biji bligo adalah senyawa fenolik, terpene (alunsenol dan multiflurenol), flavonoid c-glikosida, dan sterol.


(5)

PENGARUH EKSTRAK BIJI BLIGO (Benincasa hispida Thunb Cogn) TERHADAP PENGHAMBATANEFEK TOKSIK TARTRAZIN DAN RHODAMIN PADA AKTIVITAS

PROLIFERASI LIMFOSIT TIKUS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

KENNY MULIAWAN F24070033

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(6)

Judul Skripsi : Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) Terhadap Penghambatan Efek Toksik Tartrazin dan Rhodamin Pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus

Nama : Kenny Muliawan

NIM : F24070033

Menyetujui: Pembimbing I,

Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat, M.sc NIP 19490614.198503.2.001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.sc NIP 19680505.199203.2.002


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) terhadap Penghambatan Efek Toksik Tartrazin dan Rhodamin pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 21 April 2011 Yang membuat pernyataan

Kenny Muliawan F24070033


(8)

© Hak cipta milik Kenny Muliawan, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, Fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(9)

BIODATA PENULIS

Kenny Muliawan. Lahir di Jakarta, 28 April 1989 dari ayah Rudi Muliawan dan ibu Yunita Tjen, sebagai putra kedua dari dua bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 13 Jakarta, selama SMA penulis berhasil menjadi juara kedua Olimpiade Sains SMA Mata Pelajaran Fisika Tingkat Kotamadya Jakarta Utara Tahun 2006. Penulis diterima di IPB pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi S1, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten mata kuliah Mikrobiologi Pangan pada tahun 2010. Penulis juga menjadi atlet catur IPB dan menjadi juara pertama kompetisi catur beregu pada OMI IPB 2008 sampai 2010. Pada tahun 2008 penulis memperoleh beasiswa dari Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Penulis melaksanakan penelitian pada tahun 2010 di Kampus IPB Darmaga, Bogor.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa dan Hiyang Buddha atas karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) terhadap PenghambatanEfek Toksik Tartrazin dan Rhodamin pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus dilaksanakan di Laboratorium SEAFAST dan Ilmu dan Teknologi Pangan Kampus IPB Darmaga, Bogor sejak bulan Febuari sampai April 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat, M.Sc sebagai dosen pembimbing.

2. Dr. Ir. Hj. Endang Prangdimurti, M.Si dan Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc sebagai dosen penguji.

3. Mama dan Papa yang selalu memberi dukungan. 4. Cici yang selalu membantu iuran SPP.

5. Kak Sugito, Kak Anas, Kak Zatil, Kak Jali, Dinda, dan Anisa sebagai teman satu tim penelitian. 6. Pak Adi, Bu Sri, dan Pak Wahid sebagai teknisi yang telah membantu pelaksanaan penelitian. 7. Kak Anto dan Kak Nindi yang telah membantu selama penelitian.

8. Ko Kenci, Ci Kallista, Kak Umam, dan Kak Kamlit yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membagi pengalaman kepada penulis.

9. Sindhu, Eddy, dan Ricky (Sindhu’s Angel) yang selalu menghibur dan mendukung penulis. 10. Amel, Reggie, Eliana, dan teman-teman ITP 44 yang selalu mendukung dan memicu semangat

penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan.

Bogor, 21 April 2011


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ……….…………... iii

DAFTAR TABEL ……….….………..……... v

DAFTAR GAMBAR ……….……….…….…. vi

DAFTAR LAMPIRAN ……….…………..………. vii

PENDAHULUAN ……….….………... 1

Latar Belakang ……….……….…….………....…….. 1

Tujuan ………..……….... 2

Hipotesis ………..……… 3

Manfaat Penelitian …………..………. 3

TINJAUAN PUSTAKA ………..……….. 4

Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) …..………....……… 4

Tartrazin ………..……….……….... 6

Rhodamin ………..……….………..…… 7

Limfosit ………..……….………... 8

Proliferasi Limfosit ………...………...……….…. 10

Kultur Sel ………...………...………... 11

Tikus Percobaan ………...………...…...……..….. 12

METODOLOGI ………..………...…….…….……. 14

Waktu dan Tempat ………..………...….…….…….. 14

Alat dan Bahan ………...………..………... 14

Metode Penelitian ………...………...………... 14

Pembuatan Ekstrak Bligo ………...……….…....….….….. 14

Pemeliharaan Tikus ………...……….……..…... 15

Pengukuran Proliferasi Sel Limfosit Limfa …………...………….….…...…….… 15

A.Isolasi limfosit limfa ………...…………..……...….… 15

B. Perhitungan sel limfosit limfa ………...………...….... 16

C. Pengujian proliferasi sel limfosit limfa menggunakan MTT ………...…….…………...… 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ………..…………...…………. 19

Kondisi Tikus Percobaan ………..…….……… 19

Berat Badan dan Sisa Pakan ………..…....……… 19

Proliferasi Sel Limfosit Limfa ………....…………..…. 21

SIMPULAN DAN SARAN ………..……….. 35

Simpulan ……….…………..………. 35

Saran ……….………..………... 36

DAFTAR PUSTAKA ……….……….………..………... 37


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data Biologis Tikus ……….……….….. 13

Tabel 2. Komposisi Bahan dalam 100 g Pakan ...…...……….………. 15

Tabel 3. Rata-rata berat badan tikus selama 3 bulan ……….……….……….. 20


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Buah bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) ………..……… 4

Gambar 2. Diagram alir penelitian ………...…………..…..… 18

Gambar 3. Sel limfosit limfa pada hemasitometer ………...………...….… 22

Gambar 4. Pengambilan organ limfa dalam laminair flow steril ….……….... 23

Gambar 5. Indeks stimulasi sel limfosit spontan, dengan mitogen LPS, dan senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin pada kultur kontrol dan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb ……….…...……... 25

Gambar 6. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan mitogen LPS pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb …..….………...………. 26

Gambar 7. Reaksi penangkapan radikal bebas oleh komponen fenolik dan reaksi pengkelatan logam oleh komponen fenolik ………...………...………. 27

Gambar 8. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb ………...………… 29

Gambar 9. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb ……….………..………… 30

Gambar 10. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …….………... 31

Gambar 11. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …….………...……….. 32

Gambar 12. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …….…….………...………. 33

Gambar 13. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …….………...…………..… 34


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Perkembangan berat tikus selama 90 hari ……….……….. 43

Lampiran 2a. Tabel konsumsi pakan selama 90 hari ……….……….. 49

Lampiran 2b. Tabel konsumsi pakan rata-rata bulan ke-1, ke-2 dan ke-3 ……….….………. 60

Lampiran 3. Tabel ANOVA terhadap konsumsi pakan rata-rata bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 ……….………... 60

Lampiran 4. Berat tikus hari ke 0 ……….……….……..………….… 61

Lampiran 5. Tabel ANOVA berat tikus hari ke 0 ……….………….……... 61

Lampiran 6 . Berat tikus bulan ke-1 ……….……….…………... 61

Lampiran 7. Tabel ANOVA berat tikus bulan ke 1 ……….……....………….…….….. 61

Lampiran 8. Berat tikus bulan ke-2 ……….……….…………... 61

Lampiran 9. Tabel ANOVA Berat tikus bulan ke-2 ………..…... 62

Lampiran 10. Berat tikus bulan ke-3 ………... 62

Lampiran 11. Tabel ANOVA Berat tikus bulan ke-3 ……….…….…... 62

Lampiran 12. Pertumbuhan tikus selama 3 bulan ……….…...…… 62

Lampiran 13. Tabel ANOVA Pertumbuhan tikus selama 3 bulan ……….……...…... 62

Lampiran 14. Data hasil absorbansi splenosit tikus pada setiap kelompok tikus …………...….…. 63

Lampiran 15. Data hasil Indeks Stimulasi splenosit tikus pada setiap kelompok tikus ………..…. 63

Lampiran 16. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan LPS ………..……….……… 64

Lampiran 17. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml …………..………..……... 65

Lampiran 18. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml ………..………..………. 65

Lampiran 19. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml ………...………. 66

Lampiran 20a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml ………...…….…… 67

Lampiran 20b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml ………..…..……...… 67

Lampiran 21a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml ………...………….……... 68

Lampiran 21b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml ………...…... 68

Lampiran 22a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml ……….……..………... 69

Lampiran 22b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml ………...… 69

Lampiran 23a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan LPS ………..………..…..… 70


(15)

Lampiran 23b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan

LPS ……….…...… 70 Lampiran 23c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan

LPS ………...……… 71 Lampiran 24a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan

tartrazin 90 µg/ml ……….……… 72 Lampiran 24b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan

tartrazin 90 µg/ml ……….……… 72 Lampiran 24c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan

tartrazin 90 µg/ml ……….………….... 73 Lampiran 25a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan

tartrazin 180 µg/ml ………...… 74 Lampiran 25b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan

tartrazin 180 µg/ml ……….….….… 74 Lampiran 25c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan

tartrazin 180 µg/ml ……….……... 75 Lampiran 26a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan

tartrazin 270 µg/ml ……….…………..… 76 Lampiran 26b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan

tartrazin 270 µg/ml ………...……… 76 Lampiran 26c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan

tartrazin 270 µg/ml ……….……….….… 77 Lampiran 27a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan

rhodamin 6 µg/ml ………..…....………... 78 Lampiran 27b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan

rhodamin 6 µg/ml ………....…... 78 Lampiran 27c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan

rhodamin 6 µg/ml ………..……...… 79 Lampiran 28a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan

rhodamin 12 µg/ml ………..………..……... 80 Lampiran 28b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan

rhodamin 12 µg/ml ………..…………...… 80 Lampiran 28c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan

rhodamin 12 µg/ml ………..………... 81 Lampiran 29a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan

rhodamin 18 µg/ml ………..………...… 82 Lampiran 29b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan

rhodamin 18 µg/ml ………... 82 Lampiran 29c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan

rhodamin 18 µg/ml ……….………..…... 83


(16)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya zaman, manusia dituntut untuk menjadi lebih praktis dan lebih efisien dalam menjalankan kehidupannya. Akibatnya terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan. Konsumsi pangan pada zaman sekarang ini lebih cenderung pada konsumsi pangan dalam bentuk instan dan memiliki citarasa yang enak dengan banyak mengandung lemak, garam, gula, dan senyawa xenobiotik (pewarna, pengawet, dan lain-lain). Dimana hal ini dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, cardiovaskuler, osteoporosis, diabetes militus tipe II bahkan penyakit kanker (WCRF/AICR 1997).

Perkembangan ilmu pangan dan gizi menunjukkan bahwa pangan nabati baik sayur-sayuran maupun buah-buahan selain mengandung komponen zat gizi juga mengandung zat non gizi yang sangat berguna bagi kesehatan yaitu serat makanan (dietary fiber) dan antioksidan. Pangan nabati tidak hanya diunggulkan karena kandungan seratnya, tapi juga senyawa fitokimia yang terkandung di dalamnya. Fitokimia (phytochemicals) atau disebut juga produk sekunder tanaman (secondary plant product) mulai dikenal tahun 1950-an. Dalam beberapa tahun terakhir fitokimia menjadi sorotan banyak peneliti karena kaitannya dengan status kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya. Di antaranya ada yang dapat memberikan efek fisiologis yang menguntungkan bagi kesehatan karena dapat mencegah penyakit-penyakit degeneratif (Nair 2001; Inoue et al. 2002).

Komponen fitokimia meliputi berbagai kelompok senyawa, seperti fenol, alkaloid, turunan isoprene: terpen, dan steroid (Pandoyo 2000). Beberapa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glukosinolat, polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat. Fungsi fisiologis yang dimiliki antara lain sebagai antikanker, antimikroba, antioksidan, antiinflamasi, immunostimulan, pengatur tekanan darah, pengatur kadar gula darah dan penurun kadar kolesterol (Reyburn et al. 1998).

Benincasa hispida Thunb Cogn atau disebut bligo merupakan tanaman menjalar, batang berkayu, lunak, berbulu, warna hijau. Buah berbentuk seperti buah buni, bulat memanjang, berdaging, panjang 15-20 cm, warna hijau keputih-putihan dan bagian yang digunakan biji dan buah. Buah ini secara tradisional digunakan sebagai laksatif (anti sembelit), diuretik, tonik, aphrodisiac, kardiotonik (penguat otot jantung), urynary calkuli (batu saluran kencing), penyakit darah, insanity, epilepsi, dan juga dalam kasus jaundice (penyakit kuning), dispepsia (kesalahan saluran pencernaan atas), demam dan gangguan mentruasi (Kirtikar dan Basu 1975). Buah ini secara umum digunakan sebagai sayuran di India dan negara tropis lainnya juga merupakan tanaman obat yang sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit epilepsi dan gangguan syaraf lainnya (Aslokar et al. 1992).

Ekstrak metanolik buah ini dilaporkan memiliki khasiat antiulker (gangguan pencernaan) (Grover et al. 2001), antiinflamasi (Chandrababu et al. 2001), antihistamin dan aktivitas antidepresant (Anilkumar dan Ramu 2002). Selain itu, ekstrak metanol juga memiliki efek menstabilkan sel mast, aktivitas diuretik dan aktivitas nephroprotektif (perlindungan sel saraf) melawan keracunan merkuri pada tikus (Mingyu et al. 1995). Berdasarkan hasil penelitian (Rukumani et al. 2003) bahwa ekstrak metanol Benincasa hispida Thunb Cogn menunjukkan aktivitas antikanker yang signifikan, perlindungan terhadap bronchospasm yang diinduksi histamin, aktivitas neotropic (vitamin sel saraf) dan antidepresan. Menurut Kumar dan Vimalavathini (2004) bahwa kemampuan ekstrak Benincasa hispida terhadap aktivitas anorektik (penyakit yang berkaitan dengan anus dan rektum) dimediasi melalui sistem saraf pusat (CNS) tanpa mempengaruhi pengosongan gastrik.


(17)

Di Cina, biji dari buah Benincasa hispida Thunb Cogn digunakan dalam pengobatan antihelmitik. Minyak dari biji buah ini merupakan bahan saporifik, baik untuk otak dan liver dan efektif untuk pengobatan sifilis. Abu dari biji buah ini untuk pengobatan gonorhoea, pengobatan terhadap luka dan bengkak (Nadkarni’s 1995).

Hasil penelitian Sugito (2010) menunjukkan bahwa ekstrak biji bligo tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 5 g/kg bb dengan metode akut, ekstrak biji bligo juga tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb. Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan bahwa ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme hati, dilihat dari berat hati, SGOT, SGPT, bilirubin, total trigliserida, kolesterol, dan protein total, ekstrak biji bligo secara nyata menurunkan kadar alkali fosfatase, bilirubin total, glukosa, lemak total, dan meningkatkan kadar albumin, dan ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme ginjal, dilihat dari kadar urea, fosfor, kalsium, dan kalium.

Sejak beberapa tahun belakangan ini, tanaman herbal diyakini memiliki khasiat dalam mencegah dan menyembuhkan penyakit tertentu, tetapi tanaman herbal umumnya digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan atau konsumsi tanpa pengawasan dokter atau ahli terkait. Beberapa publikasi terbaru menyebutkan adanya konsekuensi serius dari efek samping beberapa produk herbal (Gurib dan Fakim 2006; Bush et al. 2007 dalam Fragoso et al. 2009). Beberapa efek samping yang letal dan berbahaya dilaporkan sebagai dampak penggunaan beberapa produk herbal. Efek samping ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, termasuk efek toksik langung dari herbal, efek dari kontaminan yang terkandung dalam produk herbal, dan interaksi antara herbal dengan obat. Tanaman herbal dapat mencegah penyakit tertentu karena senyawa fitokimia yang terdapat di dalamnya dapat meningkatkan status imun orang yang mengonsumsinya. Untuk melihat peningkatan status imun individu salah satunya dapat dilihat dari aktivitas proliferasi sel limfosit. Kemampuan sel limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon, menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik (Zakaria et al. 2003).

Potensi bligo (Benincasa hispida) sebagai sumber senyawa fitokimia dan fenolik selain diduga dapat meningkatkan aktivitas proliferasi sel limfosit, juga diduga dapat menghambat efek toksik dari beberapa senyawa xenobiotik. Hal ini penting untuk dieksploitasi agar dapat menunjang perkembangannnya. Eksploitasi bligo dapat dilakukan melalui kajian potensi biologisnya atau secara in vivo menggunakan hewan percobaan terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Studi terhadap aktivitas proliferasi limfosit ini juga melibatkan beberapa parameter, seperti pengamatan ada tidaknya kematian tikus akibat pemberian ekstrak biji bligo, pengamatan dapat tidaknya ekstrak biji bligo digunakan sebagai immunomodulator, dan pengamatan ada tidaknya pengaruh ekstrak biji bligo terhadap penghambatan efek toksik dari senyawa xenobiotik (tartrazin dan rhodamin) terhadap aktivitas proliferasi limfosit.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui efek konsumsi ekstrak biji bligo dengan konsentrasi 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb terhadap kondisi tikus Sprague Dawley melalui kenaikan berat badan dan tingkat konsumsinya. 2. Mempelajari efek konsumsi ekstrak biji bligo terhadap tingkat proliferasi sel limfosit sebagai

indikasi sistem imun atau sifat immunomodulator pada tikus Sprague Dawley.

3. Mempelajari pengaruh ekstrak biji bligo terhadap penghambatan efek toksik dari senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin terhadap tingkat proliferasi sel limfosit tikus Sprague Dawley.


(18)

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa ekstrak biji bligo memiliki komponen bioaktif seperti komponen fenolik, terpene (alunsenol dan multiflurenol), flavonoid c-glikosida, dan sterol yang bersifat antioksidan yang dapat diserap sehingga memiliki peranan dalam mempertahankan aktivitas proliferasi limfosit sebagai indikasi respon imun atau sifat immunomodulator. Selain itu komponen fenolik dari ekstrak biji bligo mampu mengurangi efek toksik dari senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan suatu informasi berupa data ilmiah ekstrak biji bligo terhadap peranan untuk pangan dan pemeliharaan kesehatan melalui sifat immunomodulator secara in vivo. Informasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pangan fungsional berbasis bligo yang lebih bersaing.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bligo (

Benincasa hispida

Thunb Cogn)

Benincasa hispida Thunb Cogn atau sering disebut bligo merupakan tanaman menjalar, berbatang berkayu, lunak, berbulu, warna hijau. Daun tunggal, bulat, tepi rata, ujung tumpul, pangkal membulat, panjang 10-17 cm, lebar 9-15 cm, warna hijau. Bunga tunggal, berkelamin dua, tumbuh di ketiak daun, mahkota berbulu halus, warna kuning. Buah berbentuk seperti buah buni, bulat memanjang, berdaging, panjang 15-20 cm, warna hijau keputih-putihan. Bligo mempunyai banyak nama daerah di Indonesia, antara lain: Kundo (Aceh), Gundur (Gayo), Kudul (Simalur), Undru (Nias), Kundue (Minangkabau), Sardak (Lampung), Butong (Dayak), Leyor (Sunda), Baligo (Jawa), Bhaligu, Kondur (Madura), Kunrulu (Bugis), Laha (Irian) (Hermanto 1993).

Gambar 1. Buah bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) (Anonim 2009)

Di Indonesia, bligo digunakan sebagai tanaman obat yang dapat digunakan dalam penyembuhan berbagai penyakit antara lain; biji untuk obat: batu ginjal, demam, kencing manis, pelembut kulit, radang paru, radang usus, sembelit, tonik dan wasir. Buahnya untuk pengobatan: disentri, panas dalam, pendarahan pada organ bagian dalam danonik (Hermanto 1993).

Benincasa hispida Thunb Cogn. yang merupakan famili Curcubitaceae dikenal dengan banyak nama antara lain: bhuru kulu atau safet kolu (Gujarat), petha (Hindi), white pumpkin, white gouard atau wax gourd atau ash gourd, chinese preserving melon, hairy melon (English) dan kushmanda (Sansekerta). Buah ini secara tradisional digunakan sebagai laksatif, diuretik, tonik, aphrodisiac, kardiotonik, urynary calkuli, penyakit darah, insanity, epilepsi, dan juga dalam kasus jaundice, dispepsia, demam dan gangguan mentruasi (Kirtikar dan Basu 1975). Buah ini secara umum digunakan sebagai sayuran di India dan negara tropis lainnya juga merupakan tanaman obat yang sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit epilepsi dan gangguan syaraf lainnya (Aslokar et al. 1992).

Ekstrak metanolik buah ini dilaporkan memiliki khasiat antiulker (Grover et al. 2001), antiinflamasi (Chandrababu et al. 2001), antihistamin dan aktivitas antidepresant (Anilkumar dan Ramu 2002). Selain itu, ekstrak metanol juga memiliki efek menstabilkan sel mast, aktivitas diuretik dan aktivitas nephroprotektif melawan keracunan merkuri pada tikus (Mingyu et al. 1995). Berdasarkan hasil penelitian (Rukumani et al. 2003) bahwa ekstrak metanol Benincasa hispida Thunb Cogn menunjukkan aktivitas antikanker yang signifikan, perlindungan terhadap bronchospasm (gangguan saluran pernafasan) yang diinduksi histamin, aktivitas neotropic dan antidepresan. Menurut Kumar dan Vimalavathini (2004) bahwa kemampuan ekstrak Benincasa hispida terhadap aktivitas anorektik dimediasi melalui sistem saraf pusat tanpa mempengaruhi pengosongan gastrik. Menurut


(20)

Qodrie et al. (2009) bahwa Benincasa hispida yang diekstrak dengan etanol secara farmakologi membuktikan manfaatnya sebagai pengontrol suhu tubuh pada saat demam dan menghilangkan nyeri. Pada dosis 250 dan 500 mg/kg bb ekstrak buah ini secara signifikan mampu menurunkan antinociceptive tikus wistar.

Menurut Sivarajan (1994) buah ini digunakan untuk pengobatan gastrointestinal, penyakit pernafasan, penyakit jantung, vermifuge, diabetes militus dan penyakit uriner. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kumar dan Vimalavathini (2004) menunjukkan bahwa buah Benincasa hispida mengandung fitokimia dari golongan triterpen yaitu alunsenol dan multiflurenol yang mempunyai efek menyetabilkan mast sel pada tikus. Selain itu buah Benincasa hispida Thunb Cogn yang diekstrak dengan metanol, mampu melindungi bronchospasm yang diinduksi oleh histamin. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak buah ini mempunyai aktivitas antihistaminik. Kemampuan perlindungan sudah ditunjukkan pada dosis 50 mg/kg bb dan dosis maksimalnya 400 mg/kg bb, karena diatas dosis ini tidak menunjukkan kenaikan perlindungan yang signifikan. Sedangankan perlindungan yang dilakukan oleh obat antihistaminik chlorphrniramine maleate dan atropine sulfat sudah ditunjukkan pada dosis 2 mg/kg bb.

Berdasarkan penelitian Shetty et al. (2008) bahwa ekstrak buah Benincasa hispida Thunb Cogn mempunyai kemampuan penyembuhan pada ulcer di tikus percobaan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa aktif pada buah ini seperti terpene, flavonoid c-glikosida, dan sterol memiliki efek antioksidan. Senyawa ini menurunkan malondialdehid (MDA), kadar superoksida dismutase (SOD) di dalam sel darah merah, tingkat homogenat dan vitamin C pada plasma darah, jika dibandingkan dengan tikus kontol yang tidak diberi ekstrak buah Benincasa hispida Thunb Cogn. Mekanisme ini memungkinkan terjadinya penghambatan luka mukosa lambung dengan scavenging radikal bebas dan menekan produksi SOD dan vitamin C dalam tikus. Penurunan kadar SOD dan vitamin C pada tikus percobaan diduga disebabkan tingginya senyawa antioksidan pada ekstrak buah Benincasa hispida sehingga tubuh tikus percobaan menekan produksi SOD.

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dari hasil eksplorasi bligo mengandung beberapa senyawa fitokimia yang antara lain; triterpenen (alnusenol, multiflasenol, isomultiflasenol), flavon (iso-vitesix) dan sterol (lupeol, lupeol asetat dan β-sitosterol). Beberapa konstituen penting yang diisolasi dari buah Benincasa hispida Thunb Cogn antara lain: triterpen, sterol dan glikosida serta minyak-minyak volatil (Yoshizumi et al. 1998; Wu et al. 1987).

Beberapa komponen yang terdapat pada tanaman dan digunakan sebagai produk herbal antara lain: polisakarida (serat) dan pektin dari daun naupal (Reyburn et al. 1998). Daun dan minyak peppermint mengandung asetaldehida, amyl alcohol, methyl ester, limone, pinene, phellandrene, cardinene, pugelone dan dimethyl sulfide. Komponen minornya terdiri dari alpha-pinene, sabinene, terpinolene, ocimene, gamma-terpinene, fenchene, alpha- dan beta-thujone, citronellol dan senyawa lainnya (Nair 2001; Inoue et al. 2002). Daun bunga dan akar dandelion mengandung quercetin, luteolin, luteolin-7-O-glucoside, p-hydroxyphenylacetic acid, germacranolide acids, clhorogenic acid, chicoric acid. Monocaffeyltartaric acid, scopoletin, aesculetin, aesculin, cichoriin, amidiol, faradiol, caffeic acid, taraxacoside, taraxasterol, inulin dan kandungan kalium yang tinggi (Williams et al. 1995; Hu dan Kitts 2003; Seo et al. 2005). Mullein mengandung harpagoside, harpagide, aucubin, hesperidin, verbascoside, saponin, dan minyak atsiri (Turker dan Camper 2002). Akar dari stinging nettle mengandung polisakarida, vitamin C, karoten, beta sitosterol, flavonoid quercetin, rutin dan kaempferol (Newall et al. 1996; Schottner et al. 1997; Konrad et al. 2000).

Di Cina, biji dari buah Benincasa hispida Thunb Cogn digunakan dalam pengobatan antihelmitik (anti cacing). Biji dari buah bligo ini berbentuk seperti biji mentimun tetapi sedikit lebih besar dan berwarna putih kekuningan. Minyak dari biji buah ini memberikan rasa yang pedas, baik


(21)

untuk otak dan liver dan efektif untuk pengobatan sifilis. Abu dari biji buah ini untuk pengobatan gonorhoea, pengobatan terhadap luka dan bengkak (Nadkarni’s 1995).

Hasil penelitian Sugito (2010) menunjukkan bahwa ekstrak biji bligo tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 5 g/kg bb dengan metode akut, ekstrak biji bligo juga tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb. Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan bahwa ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme hati, dilihat dari berat hati, SGOT, SGPT, bilirubin, total trigliserida, kolesterol, dan protein total, ekstrak biji bligo secara nyata menurunkan kadar alkali fosfatase, bilirubin total, glukosa, lemak total, dan meningkatkan kadar albumin, dan ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme ginjal, dilihat dari kadar urea, fosfor, kalsium, dan kalium.

Sejumlah tanaman curcubitaceae lainnya juga memiliki aktivitas antikanker dan antioksidan (Yang et al. 2007) seperti Curcubita moscata (buah), Momordica charantia (buah mentah), Cucumis melo (buah matang). Berdasarkan hasil penelitian Rach dan Sunita (2008) bahwa Benincasa hispida Thunb Cogn yang diekstrak dengan petroleum eter dan metanol mempunyai kemampuan antikanker dan antioksidan yang siknifikan terhadap tikus percobaan, dibandingkan dengan Benincasa hispida Thunb Cogn yang diekstrak dengan metanol, etil asetat, aqueous, dan omoprazol.

Kumar dan Vimalavathini (2004) menyatakan bahwa Benincasa hispida Thunb Cogn yang diekstrak dengan metanol memiliki kemampuan antibakteri. Ekstrak ini mampu menghambat pertumbuhan Propionibakterium acne dan Staphylococcus epidermidis, dimana kedua bakteri ini menyebabkan inflamasi pada jerawat. Ekstrak buah ini mampu menghambat kedua bakteri uji baik pada metode difusi disk dan difusi agar. Nilai MIC ekstrak buah ini terhadap Propionibakterium acne dan Staphylococcus epidermidis sebesar 0.049 mg/ml dan nilai MBC nya sebesar 0.049 dan 0.186 mg/ml. Dari hasil analisa kimia, ekstrak metanol dari Benincasa hispida Thunb Cogn positif mengandung triterpenoid, flavonoid, carbohidrat, glikosida, vitamin dan asam uronic. Dengan demikian ekstak etanol dari buah ini mampu menghambat inflamasi pada jerawat dengan menghambat pertumbuhan bakteri Propionibakterium acne dan Staphylococcus epidermidis.

Berdasarkan uji Toksisitas akut yang dilakukan oleh Qodrie et al. (2009) terhadap ekstrak etanol Benincasa hispida Thunb Cogn menunjukkan bahwa ekstrak ini tidak bersifat lethal sampai penggunaan 5 g/kg bb. Dan tidak menunjukkan adanya gejala keracunan selama dilakukan penelitian.

Tartrazin

Tartrazin atau yang juga dikenal sebagai E102 atau FD&C yellow 5 merupakan pewarna sintetik azo dye berwarna kuning lemon yang diperoleh dari coal tar. Tartrazin memiliki nama kimia trinatrium 5-hidroksi-1-(4-sulfonatofenil)-4-[4-sulfanatofenilazo]-H-pirazol-3-karboksilat dengan C.I. No. 19140, nomor CAS 1934-21-0 dan beberapa nama sinonim antara lain acid yellow 23, filter yellow, food yellow 4, C.I. acid yellow 23, dan lain-lain (Burdock 1997).

Tartrazin adalah garam trinatrium dari 4,5-dihidro-5-oxo-1-(4-sulfofenil)-4-[sulfofenil-azo]-H-pirazol-3-asam karboksilat, berbentuk bubuk berwarna kuning-jingga yang mudah larut dalam air, dengan larutannya berwarna kuning keemasan. Bila dilarutkan dalam asam sulfat pekat, akan terbentuk larutan berwarna kuning-jingga yang akan menjadi kuning bila diencerkan dengan air. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, dalam gliserol dan glikol mudah larut. Tartrazin tahan terhadap cahaya, asam asetat, HCl, NaOH 10%. Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna menjadi keruh. Adanya tembaga (Cu) akan mengubah warna kuning menjadi kemerah-merahan. Tartrazin memiliki rumus molekul C16H9N4Na3O9S2 (Winarno 2004).


(22)

Pada umumnya tartrazin digunakan dalam dessert (misalnya puding, custard, gelatin, es krim), permen, minuman (termasuk minuman berkarbonasi dan serbuk minuman perisa), daging olahan, dan sayuran beku yang dikalengkan. Selain itu juga digunakan dalam kosmetik dan obat. Tartrazin diizinkan penggunaanya dalam pangan di Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat, Australia, dan Eropa (Burdock 1997).

Tartrazin dapat menimbulkan reaksi alergi dan intoleransi seperti halnya pada semua pewarna azo dye, terutama pada orang yang menderita asma dan intoleransi terhadap aspirin. Mekanisme sensitifitasnya tidak diketahui dan biasanya disebut psudoalergi. Prevalensi intoleransi tartrazin diperkirakan kurang dari 0.12% dari populasi umum. Gejala sensitifitas tarhadap tartrazin dapat terjadi jika terpapar melalui kulit atau menelan senyawa yang mengandung tartrazin. Reaksi yang timbul antara lain anxiety (rasa takut dan bingung), migrain, depresi klinis, mata buram, gatal, rhinitis, urtikaria, lemah, panas, jantung berdebar, merasa lumpuh, pruritus, kulit bengkak dengan warna ungu, dan gangguan pola tidur. Pada kasus yang jarang, gejala sensitifitas tartrazin dapat timbul bahkan pada dosis kecil dan dapat berlangsung sampai 72 jam setelah terpapar. Beberapa peneliti menghubungkan tartrazin dengan gangguan obsessive-compulsive dan hiperaktif pada anak-anak. Menurut Depkes (1999) batas penggunaan maksimum tartrazin di Indonesia adalah 18-300 mg/kg. Menurut Inchem (1964), ADI tartrazin adalah 0-7.5 mg/kg bb.

Rhodamin

Rhodamin adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas. Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya pada makanan melalui Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85 dan menurut Inchem (2006) LD50 rhodamin adalah sebesar 89.5 mg/kg. Namun penggunaan rhodamin dalam makanan masih terdapat di lapangan. BPOM di Makassar berhasil menemukan zat rhodamin B pada kerupuk, sambal botol, dan sirup melalui pemeriksaan pada sejumlah sampel makanan dan minuman. Rhodamin B ini juga adalah bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pewarna dasar dalam tekstil dan kertas. Pada awalnya zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam sinar matahari (Marmion 1991).

Rumus Molekul dari rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar 479000. Zat yang sangat dilarang penggunaannya dalam makanan ini berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu kemerah-merahan, sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluorensi kuat. Rhodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl, dan NaOH, selain dalam air. Di dalam laboratorium, zat tersebut digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th dan titik leburnya pada suhu 165ºC (Winarno 2004).

Dalam analisis dengan metode destruksi dan metode spektrofometri, didapat informasi bahwa sifat racun yang terdapat dalam rhodamin B tidak hanya saja disebabkan oleh senyawa organiknya saja tetapi juga oleh senyawa anorganik yang terdapat dalam rhodamin B itu sendiri, bahkan jika rhodamin B terkontaminasi oleh senyawa anorganik lain seperti timbal dan arsen (Subandi 1999). Dengan terkontaminasinya rhodamin B dengan kedua unsur tersebut, menjadikan pewarna ini berbahaya jika digunakan dalam makanan.

Ciri makanan yang mengandung rhodamin B adalah warna kelihatan cerah (berwarna-warni), sehingga tampak menarik, ada sedikit rasa pahit (terutama pada sirup atau limun), muncul rasa gatal di tenggorokan setelah mengonsumsinya, dan baunya tidak alami sesuai makanannya.

Di dalam rhodamin B sendiri terdapat ikatan dengan klorin (Cl) yang dimana senyawa klorin ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif dan juga berbahaya. Reaksi untuk mengikat ion klorin


(23)

disebut sebagai sintesis zat warna. Disini dapat digunakan reaksi Frield-Crafts untuk mensintesis zat warna seperti triarilmetana dan xentana. Rekasi antara ftalat anhidrida dengan resorsinol dengan keberadaan seng klorida menghasilkan fluoresein. Apabila resorsinol diganti dengan N-N-dietilaminofenol, reaksi ini akan menghasilkan rhodamin B (Kusmayadi dan Sukandar 2009).

Selain terdapat ikatan rhodamin B dengan klorin terdapat juga ikatan konjugasi. Ikatan konjugasi dari Rhodamin B inilah yang menyebabkan Rhodamin B bewarna merah. Ditemukannya bahaya yang sama antara rhodamin B dan klorin membuat adanya kesimpulan bahwa atom klorin yang ada pada rhodamin B yang menyebabkan terjadinya efek toksik bila masuk ke dalam tubuh manusia. Atom Cl yang ada sendiri adalah termasuk dalam halogen, dan sifat halogen yang berada dalam senyawa organik akan menyebabkan toksik dan karsinogen (Kusmayadi dan Sukandar 2009).

Beberapa sifat berbahaya dari rhodamin B seperti menyebabkan iritasi bila terkena mata, menyebabkan kulit iritasi dan kemerahan bila terkena kulit hampir mirip dengan sifat dari klorin yang seperti disebutkan di atas berikatan dalam struktur rhodamin B. Penyebab lain senyawa ini begitu berbahaya jika dikonsumsi adalah senyawa tersebut adalah senyawa yang radikal. Senyawa radikal adalah senyawa yang tidak stabil. Dalam struktur rhodamin kita ketahui mengandung klorin (senyawa halogen), sifat halogen adalah mudah bereaksi atau memiliki reaktivitas yang tinggi maka dengan demikian senyawa tersebut karena merupakan senyawa yang radikal akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan berikatan dengan senyawa-senyawa dalam tubuh kita sehingga pada akhirnya akan memicu kanker pada manusia.

Klorin sendiri pada suhu ruang berbentuk sebagai gas. Sifat dasar klorin sendiri adalah gas beracun yang menimbulkan iritasi sistem pernafasan. Efek toksik klorin berasal dari kekuatan mengoksidasinya. Bila klorin dihirup pada konsentrasi di atas 30 ppm, klorin mulai bereaksi dengan air dan sel-sel yang berubah menjadi asam klorida (HCl) dan asam hipoklorit (HClO). Ketika digunakan pada tingkat tertentu untuk desinfeksi air, meskipun reaksi klorin dengan air sendiri tidak mewakili bahaya utama bagi kesehatan manusia, bahan-bahan lain yang hadir dalam air dapat menghasilkan disinfeksi produk sampingan yang dapat merusak kesehatan manusia. Klorit yang digunakan sebagai bahan disinfektan yang digunakan dalam kolam renang pun berbahaya, jika terkena akan menyebabkan iritasi pada mata dan kulit manusia (Kusmayadi dan Sukandar 2009).

Limfosit

Limfosit adalah bagian dari sel darah putih (leucocytes) yang tidak memiliki granula dalam sitoplasma (Kuby et al. 2007). Limfosit merupakan sel berukuran kecil, memiliki bentuk bulat dengan diameter 7-15 µm dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limfa, kelenjar limfe, dan timus. Sel ini merupakan inti dalam proses respon imun spesifik karena sel-sel limfosit dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen yang terdapat pada intraselular maupun ekstraselular (Kresno 1996).

Guyton dan Hall (2006) mengatakan bahwa limfosit manusia berjumlah sekitar 30% dari jumlah normal sel darah putih. Limfosit dapat membentuk ratusan jenis antibodi dan limfosit sensitif yang berbeda-beda. Masing-masing jenis, sifatnya spesifik untuk suatu antigen yang khusus dan tiap jenisnya dapat menggandakan diri mencapai jumlah yang sangat besar apabila distimulasi oleh antigen spesifik yang jumlahnya cukup.

Limfosit dibawa ke hampir semua jaringan dan organ vertebrata tingkat tinggi lewat dua jaringan sirkulasi, darah dan sistem limfa. Limfosit terdapat sebanyak 20-80% dari sel bernukleasi dalam darah dan lebih dari 99% dalam cairan limfatik (limfa) (Weissman et al. 1978).

Limfosit dibentuk di dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi menjadi sel limfosit B dan limfosit T. Berdasarkan fungsinya terdapat tiga kelompok sel limfosit, yaitu sel limfosit B, sel limfosit


(24)

T, dan sel limfosit NK (Natural Killer). Sel limfosit B dan T memiliki reseptor pada permukaan yang mampu mengenali antigen tertentu, sedangkan sel limfosit NK tidak mempunyai reseptor untuk mengenal antigen. Pada manusia normal, sel limfosit B berjumlah 5-15% dan sel limfosit T berjumlah sekitar 65-80% dari jumlah limfosit dalam tubuh. Kedua sel tersebut berperan sebagai respon spesifik di mana sel limfosit B berperan di dalam respon imun humoral dan sel limfosit T berfungsi dalam sistem imun seluler, sedangkan sel limfosit NK (Natural Killer) berperan dalam respon imun nonspesifik (Harris 1991).

Sel limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem dalam sumsum tulang belakang, tumbuh menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel memori. Limfosit B termasuk sistem perthanan humoral yaitu tidak menggunakan sel dalam melawan antigen tetapi menghasilkan zat yaitu berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen (Sheeler dan Bianchi 1982). Sel limfosit B dewasa memiliki imunoglobulin permukaan atau Surface Immunoglobulin (sIg) yang bertindak sebagai reseptor antigen spesifik, terdapat 1.5 x 105 molekul sIg pada permukaan membrane sel limfosit B yang memiliki status peningkatan sesuai dengan antigen tertentu. Sel limfosit B dewasa bergerak ke jaringan limfoid primer dan sekunder untuk dapat memberikan respon terhadap rangsangan antigenik dengan cara pembelahan dan diferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori dibawah kontrol sitokin, khususnya limfokin yang disekresi oleh sel limfosit T (Roitt dan Delves 2001).

Sel limfosit T merupakan sistem pertahanan seluler termasuk leukosit non fatogenik yang berasal dari stem sel (sumsum tulang belakang), kemudian bermigrasi ke organ timus untuk menjadi dewasa. Sel limfosit T membelah diri di dalam organ timus dengan sangat cepat. Sel limfosit T dalam proses pendewasaannya mengalami diferensiasi menjadi tiga bentuk, yaitu sel Thelper (Th), Tsuppresor (Ts), dan Tcytotoxic (Tc). Sel Thelper merupakan sel limfosit T yang berperan dalam stimulasi antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut sitokin. Sel Tsuppresor berperan menekan aktivitas sel limfosit T yang lain dan mempunyai aktivitas menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoxic berperan untuk menghacurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler seperti virus (Baratawijaya 2007).

Menurut Roitt dan Delves (2001) sel Thelper dapat dibedakan dari sel Tcytotoxic berdasarkan adanya glikoprotein yang berbeda pada permukaan membran mereka. Sel limfosit T yang memiliki CD4 berfungsi sebagai sel Thelper sedangkan sel limfosit T yang memiliki CD8 pada permukaan membrannya berfungsi sebagai sel Tcytotoxic. Sel limfosit T memiliki T Cell Antigen Receptor (TCR) yang dapat mengenali epitop suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada Antigen Presenting Cell (APC) yaitu Mayor Histocompatibility Complex (MHC). Sel limfosit T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mengsekresikan berbagai sitokin. Sitokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel-sel fagosit, sel NK, dan sel lain yang terlibat dalam respon imun.

Sel limfosit NK atau Natural Killer termasuk sel nul karena tidak memiliki reseptor antigen pada permukaan tetapi memiliki reseptor untuk komplemen (C) dan fragmen molekul antibodi (Kresno 1996). Sel limfosit NK memiliki granula yang banyak seperti granula azurofilik dan ukuran lebih besar dari sel limfosit B dan T sehingga dikenal dengan LGL (Roitt dan Delves 2001).

Sel limfosit NK berfungsi sebagai sel efektor sitolitik yang dapat menyerang dan melisis sel target yaitu sel abnormal seperti sel neoplastik, sel terinfeksi virus atau patogen seluler, dan sel normal yang tidak dewasa (Roitt dan Delves 2001).


(25)

Proliferasi Limfosit

Proliferasi limfosit adalah suatu fungsi biologis, yaitu proses perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Proses tersebut menghasilkan sel-sel efektor atau sel-sel plasma yang berperan dalam respon spesifik dan non spesifik. Jika sel dikultur dengan senyawa mitogen, sel limfosit akan berproliferasi secara non spesifik. Respon proliferasi limfosit digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Zakaria et al. 2003).

Kemampuan sel limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon, menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik. Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan merupakan indikator kualitas respon imun. Berbagai jenis bahan pangan seperti jahe, kunyit, dan bawang putih telah diketahui dan diteliti memiliki aktivitas imunostimulan, yaitu meningkatkan kemampuan proliferasi sel limfosit untuk meningkatkan sistem imunitas (Zakaria et al. 2003).

Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel, baik sel T maupun sel B dalam persentase tinggi. Mitogen dikenal sebagai aktivator poliklonal karena dapat mengaktivasi banyak klon sel T atau sel B tanpa tergantung spesifitas antigennya. Stimulasi limfosit dengan antigen atau mitogen mengakibatkan berbagai reaksi biokimia di dalam sel, di antaranya adalah fosforilasi nukleoprotein, pembentukan DNA dan RNA, serta peningkatan metabolisme lemak, dan lain-lain. Aktivitas sel T dan sel B berproliferasi ini dapat diukur melalui Indeks Stimulasi (IS) (Zakaria et al. 2000).

Beberapa jenis mitogen yang umum merupakan protein yang mengikat gula yang disebut lektin, yang secara spesifik mengikat glikoprotein pada pada permukaan berbagai sel, termasuk limfosit. Pengikatan molekul lektin ke glikoprotein membran sering memicu aglutinasi, atau pengklusteran sel, yang kemudian memicu aktivasi seluler dan proliferasi (Bartosz 1990).

Menurut Tizar (1988), mitogen yang sering digunakan dalam proliferasi limfosit dapat berupa senyawa lektin dan non lektin. Contoh mitogen berupa senyawa lektin adalah PHA (Phytohaemagglutinin), PWM (Pokeweed), dan contoh mitogen berupa senyawa non lektin adalah Con A (Concanavalin A), dan LPS (Lipopolisakarida). Senyawa Con A berasal dari ekstrak tanaman kacang jaks (Conavalin ensiformis). LPS berasal dari suatu bakteri Gram negatif seperti E. coli dan Salmonella thyphymurium. Menurut Lao et al. (2001) aktivitas mitogen bersifat spesifik, seperti Con A dan PHA umumnya menginduksi proliferasi limfosit sel T, LPS menginduksi sel B, sedangkan PWM menginduksi sel T dan B.

Pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan pewarnaan MTT (3-[4,5-dimetilthiazol-2yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide; thiazolyl blue) yang ditambahkan pada media kultur (5 mg/ml) (Wyllie et al. 1998). Prinsip dari metode MTT ini adalah reduksi enzim suksinat dehidrogenase pada sel dari garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi kristal biru formazan yang kemudian dihitung absorbansinya menggunakan microplate reader atau ELISA Reader pada λ 570 nm. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesis oleh semua sel pada mitokondria. Semakin banyak terbentuk warna formazan, berarti jumlah enzim yang menghidrolisis garam tetrazolium juga banyak dan hal ini menunjukkan jumlah sel yang hidup banyak (Bounous 1992).

Selain dengan metode MTT, terdapat juga jenis metode pengujian proliferasi sel lainnya, yaitu dengan menggunakan metode pewarnaan biru trifan dan dilihat menggunakan mikroskop pada perbesaran 400 kali. Prinsip metode ini adalah penyerapan zat warna melalui membran sel, biru trifan hanya dapat mewarnai jika sel tersebut rusak, sehingga digunakan untuk membedakan sel yang mati atau rusak dengan sel yang hidup. Sel yang hidup memiliki bentuk bulat dan berwarna terang,


(26)

sedangkan sel yang mati memiliki bentuk mengkerut dan berwarna biru. Sel mati tesebut berwarna biru disebabkan pecahnya dinding sel yang mengakibatkan warna biru dari biru trifan dapat masuk dan mewarnai keseluruhan sel (Shaper 1998).

Kultur Sel

Kultur sel merupakan teknik mengembangbiakkan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel biasanya dilakukan pada sel limfosit. Biakan sel atau jaringan akan diamati untuk mempelajari sifat sel di luar tubuhnya. Pelaksanaan kultur sel secara in vitro ini memerlukan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi di dalam tubuh meliputi pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi (Davis 1994). Pengaturan kondisi untuk pertumbuhan merupakan suatu keuntungan karena kondisi fisiologis dari kultur sel relatif konstan, sedangkan kekurangannya adalah hilangnya spesifitas sel, karena sel bekerja tidak secara terintegritas dalam suatu jaringan, tetapi selnya terpisah-pisah. Kultur sel dilakukan dalam media yang kondisinya steril, butuh keahlian dan keterampilan khusus dan biaya relatif mahal (Malole 1990).

Menurut Freshney (1994), terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel dalam kultur (in vitro) dengan sel di dalam tubuh (in vivo). Interaksi yang spesifik antar sel pada jaringan secara in vitro hilang karena sel tersebar dan mudah bergerak, laju pertumbuhan sel meningkat karena ada kemungkinan berproliferasi. Lingkungan kultur kekurangan beberapa komponen yang mempengaruhi pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem saraf dan sistem endokrin. Energi yang dibutuhkan dalam metabolisme in vitro berasal dari glikolisis, sedangkan meabolisme sel secara in vivo berasal dari glikolisis, daur Krebs, dan transpor elektron.

Media pertumbuhan kultur sel berfungsi mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik, sehingga sel dapat bertahan hidup, berkembang dan berdiferensiasi dan menyediakan substansi-substansi yang tidak dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang umumnya terkandung adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu. Pemilihan media harus didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan dari studi penggunaan sel tersebut. Media yang sering digunakan untuk kultur sel limfosit adalah RPMI-1640. RPMI (Rosewell Park Memorial Institut). Selain 1640 terdapat juga 1630 dan RPMI-1629 (Davis 1994).

Dalam pembuatan media kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik. Penambahan buffer bertujuan menjaga keseimbangan pH yaitu memiliki pH 7.4 karena jika pH sedikit lebih rendah dari pH 7, pertumbuhan sel akan terhambat (Freshney 1994). Buffer yang sering digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik bertujuan mencegah kontaminasi media. Antibiotik yang berbeda mempunyai spektrum antimikroba yang berbeda seperti Penicilin merupakan antimikroba untuk bakteri gram positif, Streptomicin untuk bakteeri gram positif dan negatif, sedangkan Gentamicin untuk bakteri gram positif, negatif, dan mikroplasma (Freshney 1994). Selain itu juga ditambahkan serum untuk menunjang pertumbuhan sel di luar tubuh dan pelekatan sel. Serum yang biasanya digunakan sebagai suplemen standar adalah serum janin sapi (Fetal Calf Serum atau Fetal Bovine Serum), karena kaya dengan faktor pertumbuhan dan rendahnya kandungan gamma globulin. Penambahan serum berkisar 5-20% (Walun et al. 1990).

Disamping medium, jumlah atau konsentrasi sel yang dikulturkan harus diperhatikan. Jumlah sel limfosit yang dikulturkan sekitar 1-4 x 106 sel/ml, karena sel limfosit tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah atau kurang dari 1.5 x 105 sel/ml (Bellanti 1993).

Sel limfosit memerlukan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi O2 yang rendah masih dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhannya tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob.


(27)

Temperatur kultur dipertahankan 37oC. konsentrasi 5 % CO2 dan 95% udara bertujuan membuat kondisi yang sama dengan kondisi di dalam tubuh. Temperatur dapat mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 misalnya pada temperatur rendah akan terjadi perubahan ionisasi sehingga terjadi perubahan pH (Freshney 1994).

Kultur sel limfosit dapat digunakan sebagai model uji toksisitas karena limfosit adalah sel yang bertanggungjawab terhadap respon imun spesifik, dimana sel tersebut mempunyai kemampuan untuk mengenal berbagai macam antigen yang berbeda (Cambier 1987). Lebih dari satu juta struktur antigenik dapat dibedakan karena kemampuan pengenalan yang dimiliki limfosit. Limfosit mempunyai fungsi yang paling beragam dibanding semua sel dalam sistem imun. Menurut Kresno (1996), sel limfosit mampu mengenal setiap jenis antigen baik antigen yang terdapat pada intraseluler maupun ekstraseluler misalnya dalam cairan tubuh atau dalam tubuh.

Tikus Percobaan

Tikus putih merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model untuk percobaan laboratorium. Hal ini disebabkan karena tikus putih sangat produkstif dan mudah dalam pengelolaannya. Selain itu, siklus hidup dari hewan ini relatif pendek, jumlah anak perkelahiran banyak, serta sifat produksi dan reproduksinya menyerupai hewan mamalia (Mariwaki 1987). Tikus putih termasuk dalam Kingdom Animalia, Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Superfamili Muroidea, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus Rattus dan Spesies Rattus sp (Robinson 1979). Penelitian toksikologi suatu sampel memerlukan serangkaian percobaan in vivo melibatkan hewan uji dengan harapan mendapatkan estimasi keamanan atau tingkat toksisitas suatu sampel pada manusia.

Tikus laboratorium berasal dari tikus liar yang sudah didomistikasi. Mencit laboratorium biasanya berwarna putih, matanya berwarna merah dan biasanya tidak terlalu agresif. Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus; tingkat pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia; kekurangpekaan tikus pada senyawa neurotoksik dan teratogen. Tikus dapat membuat vitamin C sendiri sedangkan sumber vitamin C manusia hanya melalui makanan. Berbeda dengan manusia, tikus tidak mempunyai kantung empedu (Koeman 1987).

Terdapat lima galur tikus putih, yaitu galur Sprague Dawley, Wistar, Sherman, Osborne-Mendel dan Long-Evans. Untuk studi kesehatan dan penyakit pada manusia, tikus Sprague Dawley merupakan model yang sangat bagus untuk toksikologi, reproduksi, farmakologi dan tingkah laku. Galur Sprague Dawley yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai ciri berwarna putih albino, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya (Malole dan Pramono 1989).

Berikut ini beberapa karakteristik anatomis dan fisiologis tikus Sprague Dawley: Rumus gigi tikus Sprague Dawley adalah 2 (I 1/1, M 3/3) = 16. Gigi seri tumbuh terus menerus. Tikus akan menggigit atau menjepit dengan gigi serinya yang tajam jika salah penanganan. Esofagus masuk ke lambung melewati lubang yang kecil karena ada lipatan jaringan pada lambung. Karena struktur anatomis tersebut, tikus tidak mampu muntah. Seperti kuda, tikus tersebut tidak mempunyai kantung empedu. Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus sementara paru-paru kanan terdiri atas empat lobus. Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae tersebar, dari garis tengah ventral melewati panggul, toraks dan bagian leher. Uretra tikus betina tidak berhubungan dengan vagina atau vulva. Kelenjar membrane niktitasi (kelenjar Harderian) merupakan kelenjar lakrimal terpigmentasi yang teletak di belakang bola mata, melingkari saraf optik. Hasil sekresi dari kelenjar


(28)

ini kaya akan lemak dan porfirin. Meskipun banyak spesies lain memiliki kelenjar Harderian, pada tikus kelenjar ini memiliki fungsi khusus. Selama masa stress dan atau sakit tertentu, air mata mengalir dan mewarnai wajah di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata mengering, pigmen tersebut memberikan warna seperti darah kering. Pigmen tersebut akan berpendar saat dipaparkan pada sinar ultraviolet dan mengandung sedikit darah atau tidak sama sekali. Respon tikus terhadap penurunan suhu ruang/kandang berupa termogenesis tanpa gemetar. Sedangkan saat suhu kandang meningkat, terjadi vaskularisasi pada ekornya yang panjang, yang juga berperan sebagai organ termoregulator. Sebagian besar termogenesis tersebut terjadi pada jaringan lemak yang coklat, konsentrasi yang paling tinggi ditemukan pada jaringan subkutan di antara skapula (Malole dan Pramono 1989).

Tabel 1. Data Biologis Tikus

Kriteria Nilai Berat badan dewasa jantan 450-520 g

Berat badan dewasa betina 250-300 g

Berat lahir 5-6 g

Suhu tubuh 35,9-37,5°C

Harapan hidup 2,5-3,5 tahun Konsumsi makanan 10 g/100 g/hari Konsumsi air minum 10-12 mL/100 g/hari Jumlah pernafasan 70-115/menit Penggunaan oksigen 0,68-1,10 mL/g/hari Detak jantung 250-450/menit Volume darah 54-70 mL/kg Tekanan darah 84-134/60 mmHg Lama produksi ekonomis 9 bulan

Lama bunting 19-21 hari

Umur sapih 21 hari

Umur dewasa kelamin 35 hari Jumlah anak per kelahiran 6 sampai 15 Kecepatan pertumbuhan 1 gram/hari


(29)

III. METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Febuari 2010 sampai April 2010, bertempat Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen ITP dan SEAFAST CENTER IPB, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta IPB, dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Alat untuk pemeliharaan tikus, yaitu: kandang plastik dengan tutup yang terbuat dari kawat, botol minum, wadah pakan, dan timbangan.

b. Alat untuk pembuatan ekstrak biji bligo, yaitu: blender kering, blender basah, kain kasa, botol, gelas piala, dan tabung reaksi.

c. Alat untuk pemberian ekstrak biji bligo pada tikus, yaitu: alat sonde (syringe yang dilengkapi dengan jarum berujung bundar).

d. Alat untuk anastesi tikus, yaitu: toples kaca besar.

e. Alat untuk pengambilan sampel limfa, yaitu: alat bedah, alumunium foil, dan cawan petri steril. f. Alat untuk analisis proliferasi limfosit, yaitu: laminar flow hood steril, pipet mikro, tabung

sentrifuse steril, syringe steril, pipet pasteur steril, sentrifuse, hemasitometer, microplate 96 sumur, ELISA reader, mikroskop, mikroskop inverted, inkubator, timer, dan counter.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Bahan untuk pemeliharaan tikus, yaitu: air minum dalam kemasan dan ransum yang mengikuti standar AIN 1976.

b. Bahan untuk pembuatan ekstrak biji bligo, yaitu: biji bligo kering dan air akuades. c. Bahan untuk euthanasia tikus, yaitu: eter atau kloroform, dan alkohol 70%.

d. Bahan untuk analisis proliferasi limfosit, yaitu: limfa tikus, RPMI-1640, Phosphat Buffer Saline (PBS), Fetal Bovine Serum (FBS), NH4Cl 0.85% steril, biru trifan, 3-[4,5-dimetilthiazol-2yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide; thiazolyl blue (MTT), Lipopolisakarida (LPS) Salmonella thyphimurium, Tartrazin 0.3 mg/ml, 0.6 mg/ml, 0.9 mg/ml, Rhodamin 20 µg/ml, 40 µg/ml, 60 µg/ml, dan HCl-isopropanol 0.04 N.

Metode Penelitian

Pembuatan Ekstrak Bligo (mengacu Sugito 2010)

Pembuatan ekstrak bligo dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Biji bligo kering yang didapat dari Fytagoras BV Plant Science Belanda digiling dengan menggunakan disk mill, kemudian diayak dengan ayakan 70 mesh.

b. Tepung biji bligo ditambahkan dengan aquades. Untuk pembuatan ekstrak dengan dosis 0.1 g/kg bb, tiap 1 g bubuk biji bligo ditambahkan 50 ml akuades kemudian didiamkan selama 10


(30)

menit sambil diaduk. Untuk dosis 1 g/kg bb, tiap 1 g bubuk biji bligo ditambahkan 5 ml akuades kemudian didiamkan selama 10 menit sambil diaduk.

c. Selanjutnya, agar homogen ekstrak disaring dengan menggunakan saringan 70 mesh.

Pemeliharaan Tikus (mengacu Sugito 2010)

Tahap-tahap pemilihan dan pemeliharaan tikus, sebagai berikut:

1. Tikus Sprague Dawley jantan dan betina berumur sekitar 2 bulan dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 8 tikus jantan dan 2 betina. Selisih berat rata-rata kelompok tidak lebih dari 5 g.

2. Kelompok 1 merupakan kontrol negatif, kelompok kedua diberikan ekstrak biji bligo sebanyak 0.1 g/kg bb, sedangkan kelompok 3 diberikan ekstrak biji bligo sebanyak 1 g/kg bb. Ransum yang digunakan sesuai dengan standar AIN (1976), ransum dan air diberikan secara ad libitum. 3. Tikus diadaptasi selama 10 hari. Setelah masa adaptasi selesai, tiap harinya tikus kelompok 1

disonde dengan air; tikus kelompok 2 disonde dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb; sementara tikus kelompok 3 disonde dengan ekstrak bligo 1 g/kg bb.

4. Tikus dipelihara selama 90 hari (3 bulan).

5. Pengamatan kondisi tikus mencakup observasi tanda-tanda klinis, berat badan dan konsumsi pakan.

Tabel 2. Komposisi Bahan dalam 100 g Pakan

No Bahan Berat (g)

1. Kasein 23.06

2. Minyak jagung 4.79

3. Serat (CMC) 5.00

4. Campuran mineral 3.25

5. Vitamin 1.00

6. Air 8.77

7. Karbohidrat (Maizena) 54.13

Komposisi vitamin: vitamin A (1000 IU), vitamin B1 (1,4 mg), vitamin B2 (1,6 mg), vitamin B6 (2 mg), Vitamin B12 (3 mg), vitamin C (60 mg), vitamin D (100 IU), vitamin E (5 mg), nikotinamida (9 mg), kalsium pantotenal (5 mg).

Campuran mineral : NaCl (139,3 mg), KI (0,790 mg), KH2PO4 (389 mg), MgSO4.7H2) (57,3 mg), CaCO3 (381,4 mg), FeSO4.7H2O (27 mg), MnSO4.7H2O (4,01 mg), ZnSO4.7H2O (0,548 mg), CuSO4.5H2O (0,477 mg) dan CoCl2.6H2O (0,023 mg).

Pengukuran Proliferasi Sel Limfosit Limfa

A.

Isolasi limfosit limfa (Prangdimurti 1999)

Tikus yang sudah diterminasi dengan cara pembiusan diambil organ limfanya secara steril, kemudian dicuci dengan 5 ml PBS dalam botol steril selanjutnya pekerjaan dilakukan di bawah laminar flow hood steril. Limfa dipindahkan ke dalam cawan petri steril yang berisi 5 ml RPMI-1640. Limfa tersebut digerus sampai homogen dengan syringe steril, selanjutnya dimasukkan dengan pipet


(31)

pasteur ke dalam tabung sentrifuse 15 ml steril. Suspensi kemudian disetrifuse dengan kecepatan 2500 rpm (559.5 g) selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet (bagian bawah) dijentik-jentikkan, ditambah 2 ml NH4Cl 0.85% steril, didiamkan selama 2 menit, kemudian ditambahkan 3 ml RPMI-1640, selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm (559.5 g) selama 5 menit. Supernatan yang berisi sel darah merah yang lisis dibuang. Pelet dijentik-jentikkan, ditambahkan 5 ml RPMI-1640, lalu disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm (559.5 g) selama 5 menit. Endapan sel limfosit disuspensikan dengan 5 ml RPMI-1640 lengkap yang sudah ditambah antibiotik.

B.

Penghitungan sel limfosit limfa

Sebelum dilakukan pengkulturan suspensi sel limfosit, dilakukan penghitungan sel limfosit dengan biru trifan. Suspensi sel limfosit sebanyak 50 µl ditempatkan dalam sumur microplate, ditambah 50 µl biru trifan (perbandingan 1:1). Perhitungan sel limfosit dilakukan dengan hemasitometer di bawah mikroskop pada pembesaran 400 kali, perhitungan dilakukan pada sel yang hidup (sel yang akan dikultur 95% hidup). Sel hidup tampak terang, jernih, dan berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati akan berwarna biru mengkerut. Berdasarkan hasil perhitungan pada area 2 kotak besar (@ 16 kotak kecil) kemudian ditentukan jumlah sel yang hidup setiap mililiter suspensi dengan rumus:

N = V/2 x FP x 104 sel/ml Keterangan:

N = jumlah sel/ml

V/2 = rata-rata jumlah sel terhitung dari 2 bidang pandang berlawanan FP = Faktor Pengenceran

104 = jumlah sel per luas bidang pandang (1.0 mm x 1.0 mm x 0.1 mm)

C.

Pengujian proliferasi sel limfosit limfa menggunakan MTT (mengacu

Puspaningrum 2003; Keller

et al.

2005

)

Tujuannya melihat kemampuan proliferasi sel limfosit melalui teknik kultur. Suspensi sel limfosit ditepatkan menjadi 2 x 106 sel/ml melalui pengenceran dengan RPMI-1640. Selanjutnya dikultur dalam microplate 96 sumur, ke dalam tiap sumur dimasukkan 60 µl suspensi sel limfosit, kemudian setiap kultur ditambah 30 µl RPMI-1640 lengkap untuk kultur kontrol, atau 30 µl mitogen LPS S. thyphimurium (0.417 mg dalam 10 ml PBS) sehingga konsentrasinya 12.5 µg/ml kultur, atau 30 µl tartrazin 0.3 mg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 90 µg/ml kultur, tartrazin 0.6 mg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 180 µg/ml kultur, atau tartrazin 0.9 mg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 270 µg/ml kultur, atau 30 µl rhodamin 20 µg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 6 µg/ml kultur, rhodamin 40 µg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 12 µg/ml kultur, atau rhodamin 60 µg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 18 µg/ml kultur. Tiap suspensi sel limfosit limfa tikus dikultur dalam 3 sumur atau dibuat triplo. Selanjutnya ke dalam tiap sumur ditambah 10 µl FBS sehingga volume tiap sumur berisi 100 µl. Kultur sel diinkubasi pada suhu 37ºC dengan atmosfer 5% CO2, 95% udara, dan RH 96% selama 72 jam. Empat jam sebelum masa inkubasi berakhir ke dalam masing-masing sumur ditambahkan 10 µl larutan MTT 0.5%. Setelah masa inkubasi berakhir 80 µl HCl-isopropanol 0.04 N ditambahkan pada setiap sumur. Sebelum pengukuran absorbansi dilakukan, setiap sumur diperiksa apakah kultur terkontaminasi atau tidak menggunakan mikroskop inverted.


(32)

Kemudian absorbansi masing-masing sumur diukur dengan microplate reader (ELISA reader) pada λ 570 nm. Nilai OD (Optical Density) hasil pembacaan dengan ELISA reader bersifat proposional terhadap jumlah sel hidup dengan menentukan IS (indeks stimulus) sebagai penentuan aktivitas proliferasi. IS dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

IS = OD sel perlakuan (dengan mitogen, LPS, Tartrazin, Rhodamin) OD sel kontrol (tanpa mitogen, LPS, Tartrazin, Rhodamin)

Besar peningkatan atau penurunan aktivitas proliferasi limfosit akibat penambahan LPS, tartrazin, atau rhodamin dalam % dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

% Aktivitas = (IS perlakuan (LPS, Tartrazin, Rhodamin) – IS spontan) X 100% IS spontan

Besar % Aktivitas kultur dengan perlakuan LPS atau tartrazin atau rhodamin kemudian dibandingkan dengan kultur kontrol dan dianalisis dengan uji statistik yaitu dengan uji T.


(33)

Berikut ini adalah diagram alir penelitian:

Hasil Dan Pembahasan

Gambar 2. Diagram alir penelitian (Modifikasi metode Sugito 2010) Biji Bligo

Penggilingan dan pengayakan 70 mesh

Penyondean

1 g/kg bb 0,1 g/kg bb

Pembuatan ekstrak

1 gram dalam 5 mL, dan 1 gram dalam 50 mL aquades

Pemeliharaan selama 90 hari dan disonde 1 kali/hari 1 mL aquades

Aquades

Kontrol (10 ekor tikus)

Perlakuan 2 (10 ekor tikus) Perlakuan 1 (10 ekor

tikus)

Terminasi

PengambilanLimfa

Analisis Proliferasi Limfosit: 1. Isolasi Limfosit

2. Perhitungan Sel Limfosit 3. Pengujian Proliferasi Dengan

Metode MTT LPS atau Tartrazin atau

Rhodamin

Analisis ANOVA dan Uji T


(34)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Tikus Percobaan

Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih galur Sprague Dawley jantan dan betina berumur 60 hari, yang diperoleh dari Laboratorium Bersama Hewan Percobaan (SEAFAST Centre dan Departemen Ilmu Teknologi Pangan) IPB sebanyak 30 ekor, dimana 24 ekor diantaranya adalah tikus jantan dan 6 ekor sisanya adalah tikus betina. Berat rata-rata tikus pada awal masa adaptasi adalah 166.77 ± 10.54 gram. Setelah diadaptasikan selama seminggu berat rata-rata tikus menjadi 195.07 ± 15.26 gram. Penggunaan tikus Sprague Dawley disebabkan tikus ini mudah didapat, banyak digunakan dalam penelitian imunitas, dan tidak bisa muntah. Selanjutnya tikus percobaan dipelihara dalam kandang individu yang terbuat dari bahan plastik. Kondisi ruangan diatur pada suhu 22-24 ºC, dan dengan siklus gelap terang masing-masing selama 12 jam. Menurut Muchtadi (1989) suhu optimum ruangan untuk tikus percobaan berkisar 22-24 ºC.

Sebelum diberi perlakuan, tikus percobaan diadaptasikan selama seminggu tujuannya agar tikus percobaan menyesuaikan dengan lingkungan baru atau lingkungan laboratorium, mengamati apakah tikus terus digunakan atau tidak dalam penelitian misalnya tidak sakit dan berperilaku normal, dan menyeragamkan kondisi tikus sebelum diberi perlakuan (Muchtadi 1989). Pakan dan minuman diberikan secara ad libitum, dimana formulasi pakan standar yang diberikan mengacu pada America Institute of Nutrition (AIN 1976). Pakan standar dengan kadar protein 20% berasal dari kasein susu (komposisi pakan secara lengkap disajikan pada Tabel 2). Minuman yang diberikan berupa air aqua dengan menggunakan botol individu yang berwarna gelap.

Pakan yang diberikan pada tikus percobaan dalam bentuk bubuk dan berjumlah 20 gram/ekor/hari. Pemberian pakan dalam jumlah 20 gram/ekor/hari sudah mencukupi kebutuhan konsumsi pakan tikus per hari untuk berat badan tikus 250-300 gram. Selain itu pemberian pakan 20 gram/ekor/hari bertujuan menentukan jumlah pakan riil yang dikonsumsi setiap harinya. Pakan ditempatkan dalam wadah alumunium yang diganti setiap 3 hari sekali. Pakan dan minum diberikan pada pukul 08.00-09.00 WIB untuk setiap harinya, dan sisa pakan ditimbang untuk mengetahui berat pakan yang dikonsumsi oleh tikus. Penggantian pakan diberikan pada kisaran waktu yang sama dengan tujuan untuk memberikan keseragaman dalam penelitian ini berkaitan dengan waktu konsumsi pakan, perubahan jumlah konsumsi, waktu sonde, dan perubahan berat badan. Penggantian botol minum dilakukan setiap 3 hari sekali. Penggantian kandang tikus juga dilakukan setiap 3 hari sekali, hal ini dilakukan karena setelah 3 hari kandang tampak basah dan berbau amoniak dari urin tikus.

Berat Badan dan Sisa Pakan

Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap hari selama 15 hari pertama dan selanjutnya dilakukan setiap 2 hari sekali sampai 90 hari. Penimbangan berat badan tikus dilakukan dalam kisaran waktu yang sama, yaitu pada pukul 08.00-09.00 WIB, dan dilakukan sebelum pengggantian pakan dan penyondean ekstrak biji bligo. Berat badan tikus digunakan untuk menghitung volume ekstrak biji bligo yang akan disonde pada hari berikutnya. Volume ekstrak biji bligo untuk sonde rata-rata bertambah 0.1 ml dalam 4 hari pemeliharaan tikus atau setelah mengalami periode penimbangan sebanyak 2 kali. Penimbangan berat badan tikus bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tikus, memperkirakan tingkat kesehatan, dan indikasi keracunan subkronis akibat pemberian ekstrak biji bligo.


(35)

Tikus dibagi menjadi 3 kelompok setelah masa adaptasi, setiap kelompok terdiri atas 8 tikus jantan dan 2 tikus betina. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol yang disonde dengan aquades sebanyak 1 ml untuk setiap tikus. Kelompok kedua adalah kelompok perlakuan yang disonde dengan ekstrak biji bligo sebanyak 0.1 g/kg bb. Kelompok ketiga adalah kelompok perlakuan yang disonde dengan ekstrak biji bligo sebanyak 1 g/kg bb. Hasil penimbangan berat badan tikus selama 3 bulan disajikan pada Tabel 3. Data ini sama dengan yang dilaporkan oleh Sugito (2010).

Tabel 3. Rata-rata berat badan tikus selama 3 bulan

Perlakuan Bulan ke-

0 (g) 1 (g) 2 (g) 3 (g)

Kontrol 165.6 ± 11.41 257.3 ± 34.70 296.5 ± 30.37 330.8 ± 43.76 0.1 g/kg bb 167.0 ± 6.79 255.1 ± 26.99 299.1 ± 27.32 319.1 ± 45.93 1 g/kg bb 166.3 ± 11.13 257.9 ± 37.30 290.1 ± 37.26 315.0 ± 47.91

Tabel 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata tikus setelah satu bulan pertama sebesar 91.7 g untuk tikus kontrol, 88.1 g untuk tikus perlakuan 0.1 g/kg bb, dan 91.6 g untuk tikus perlakuan 1 g/kg bb. Pertumbuhan rata-rata tikus satu bulan berikutnya (pertumbuhan berat badan tikus bulan ke-1 dan bulan ke-2) sebesar 39.2 g untuk tikus kontrol, 44.0 g untuk tikus perlakuan 0.1 g/kg bb, dan 32.2 g untuk tikus perlakuan 1 g/kg bb. Dan pertumbuhan rata-rata tikus satu bulan berikutnya adalah sebesar 34.3 g untuk tikus kontrol, 20.0 g untuk tikus perlakuan 0.1 g/kg bb, dan 24.9 g untuk tikus perlakuan 1 g/kg bb. Pertumbuhan rata-rata selama 3 bulan sebesar 165.2 ± 43.79 g untuk tikus kontrol, 152.1 ± 45.93 g untuk tikus perlakuan 0.1 g/kg bb, dan 148.0 ± 73.78 g untuk tikus perlakuan 1 g/kg bb. Berdasarkan uji statistik ANOVA (p>0.05), pemberian ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb tidak berpengaruh secara nyata terhadap berat badan tikus pada bulan 1, ke-2, dan ke-3 dan pemberian ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb juga tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan berat badan tikus selama 3 bulan.

Perhitungan jumlah konsumsi pakan pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan uji statistik ANOVA, konsumsi pakan tikus pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 tidak berbeda secara nyata antara tikus kontrol dan tikus yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi tikus baik tikus kontrol dan tikus perlakuan tidak memiliki perbedaan yang signifikan walaupun secara umum tikus perlakuan mengonsumsi pakan lebih banyak.

Tabel 4. Rata-rata konsumsi pakan bulan ke-1, ke-2, dan ke-3

Perlakuan Bulan ke-

1 (g) 2 (g) 3 (g)

Kontrol 16.88 ± 1.06 16.52 ± 1.20 17.50 ± 0.77 0.1 g/kg bb 17.89 ± 1.45 17.13 ± 1.78 17.79 ± 2.25 1 g/kg bb 18.43 ± 1.24 18.48 ± 1.39 18.13 ± 1.71

Tabel 4 menunjukkan bahwa konsumsi pakan tikus yang diberi ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb lebih tinggi dari tikus kontrol baik pada bulan ke-1, ke-2, maupun ke-3. Selisih jumlah konsumsi pakan rata-rata antara tikus kontrol dengan tikus perlakuan pada bulan ke-1 adalah sebesar 1.01 g untuk tikus 0.1 g/kg bb dan sebesar 1.55 g untuk tikus 1 g/kg bb. Selisih jumlah


(1)

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan 1.00000 5 .000000 .000000

IS Perlakuan .64000 5 .180986 .080939

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 IS Spontan &

IS Perlakuan 5 . .

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

IS Spontan - IS Perlakuan

.36000

0 .180986

.08093 9

.13527 6

.58472

4 4.448 4 .011

Lampiran 27b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan 1.09700 5 .000000 .000000

IS Perlakuan 1.37380 5 .148806 .066548

Paired Samples Correlations


(2)

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Error

Mean Lower Upper Pair

1

IS Spontan - IS Perlakuan

-.27680 0

.148806 .06654 8

-.46156 7

-.09203 3

-4.159 4 .014

Lampiran 27c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan .94400 5 .000000 .000000

IS Perlakuan .90600 5 .257604 .115204

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 IS Spontan &

IS Perlakuan 5 . .

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

IS Spontan - IS

Perlakuan .03800

0 .257604

.11520 4

-.28185 8

.35785


(3)

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan 1.00000 5 .000000 .000000

IS Perlakuan .55980 5 .111269 .049761

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 IS Spontan &

IS Perlakuan 5 . .

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

IS Spontan - IS Perlakuan

.44020

0 .111269

.04976 1

.30204 2

.57835

8 8.846 4 .001

Lampiran 28b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan 1.09700 5 .000000 .000000

IS Perlakuan 1.17860 5 .272135 .121702

Paired Samples Correlations


(4)

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Error

Mean Lower Upper Pair

1

IS Spontan - IS Perlakuan

-.08160 0

.272135 .12170 2

-.41950 0

.25630

0 -.670 4 .539

Lampiran 28c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan .94400 5 .000000 .000000

IS Perlakuan .80200 5 .330064 .147609

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 IS Spontan &

IS Perlakuan 5 . .

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

IS Spontan - IS

Perlakuan .14200

0 .330064

.14760 9

-.26782 9

.55182


(5)

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan 1.00000 5 .000000 .000000

IS Perlakuan .51260 5 .107382 .048022

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 IS Spontan &

IS Perlakuan 5 . .

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

IS Spontan - IS Perlakuan

.48740

0 .107382

.04802 2

.35406 8

.62073

2 10.149 4 .001

Lampiran 29b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan 1.09700 5 .000000 .000000

IS Perlakuan 1.23120 5 .132037 .059049


(6)

Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed) Pair

1

IS Spontan - IS Perlakuan

-.13420 0

.132037 .05904 9

-.29814 5

.02974

5 -2.273 4 .085

Lampiran 29c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 IS Spontan .94400 5 .000000 .000000

IS Perlakuan .77718 5 .330266 .147699

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 IS Spontan &

IS Perlakuan 5 . .

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

IS Spontan - IS

Perlakuan .16682

0 .330266

.14769 9

-.24325 9

.57689


Dokumen yang terkait

Uji toksisitas akut dan subkronis biji buah bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) secara in vivo pada tikus Sprague Dawley

0 6 237

Kajian penghambatan efek toksik karmoisin dan rhodamin terhadap proliferasi sel limfosit tikus oleh ekstrak daun jelatang (Urtica dioica L.)

3 30 134

Pengaruh yogurt sinbiotik berbasis probiotik lokal terhadap proliferasi sel limfosit, kadar malonaldehida, dan aktivitas superoksida dismutase pada tikus percobaan

1 15 197

UJI ORGANOLEPTIK DAN KADAR VITAMIN C YOGHURT BUAH BLIGO (Benincasa hispida) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI Uji Organoleptik Dan Kadar Vitamin C Yoghurt Buah Bligo (Benincasa hispida) DENGAN Penambahan Konsentrasi Starter Bakteri Dan Ekstrak Buah Nangka (A

0 2 16

UJI ORGANOLEPTIK DAN KADAR VITAMIN C YOGHURT BUAH BLIGO (Benincasa hispida) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI Uji Organoleptik Dan Kadar Vitamin C Yoghurt Buah Bligo (Benincasa hispida) DENGAN Penambahan Konsentrasi Starter Bakteri Dan Ekstrak Buah Nangka (A

0 1 12

EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI EKSTRAK ETANOLIK EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI FRAKSI PETROLEUM ETER EKSTRAK ETANOLIK TANAMAN CEPLUKAN (Physalis angulata Linn.) TERHADAP SEL HeLa.

0 0 16

Uji Efek Anti Hiperglikemia Rebusan Biji Labu Bligo (Benincasa hispida. Cogn) Pada Tikus Persilangan PhMp - Ubaya Repository

0 0 1

Pengaruh Pemberian Air Perasan Buah Labu Bligo (Benincasa Hispida Cogn.) Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah Kelinci Putih Jantan Dengan Toleransi Glukosa - Ubaya Repository

0 0 1

Penghambatan Proliferasi Limfosit Mencit Balbc oleh Ekstrak Testis Sapi Bali: Peran TGF-β

0 0 9

UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK BIJI BUAH BLIGU (Benincasa hispida (Thunb) Cogn.) TERHADAP TIKUS (Rattus norvegicus) YANG DI INDUKSI PARASETAMOL

1 1 93