Profil Industri Pengolahan Kayu

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU
DI PROPINSI SUMATERA UTARA
IWAN RISNASARI, S. HUT

PROGRAM ILMU KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

I. PENDAHULUAN
Sumberdaya yang potensinya tinggi dan sudah diakui keberadaannya namun pemanfaatannya
yang tidak optimal adalah sumberdaya Hutan. Sedemikian besarnya peranan sumberdaya hutan
tersebut sehingga Indonesia menjadi suatu negara yang disebut sebagai paru-paru dunia.
Produk-produk yang dihasilkan dari sektor ini pun mempunyai kontribusi yang penting dalam
perolehan devisa negara. Faktor-faktor tersebut yakni sumberdaya hutan yang banyak tersedia
dan besarnya permintaan pasar mendorong bermunculannya industri-industri pengolahan kayu,
mulai dari industri penggergajian, plywood, pulp dan kertas, furniture serta industri pengolahan
lainnya.
Setelah sekian waktu menjadi primadona dan mempunyai kontribusi yang penting bagi
pemasukan devisa yang berasal dari sektor non migas, ternyata dalam perkembangan
selanjutnya industri pengolahan kayu tersebut mempunyai permasalahan yang serius. Data yang
diperoleh dari Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi), menunjukkan bahwa
hutan di Indonesia hanya mampu menyediakan kayu sebesar 33 juta meter kubik pada tahun

1996. padahal kebutuhan industri pengolahan kayu akan bahan baku adalah sebesar 40 juta
meter kubik. Sehingga ada kekurangan rata-rata 7 juta meter kubik per tahun. Sedangkan
untuk industri pulp dan kertas masih ada kekurangan rata-rata sebesar 5 juta meter kubik pada
tahun 1996. Skephi juga melihat adanya pertumbuhan kapasitas terpasang industri pulp dan
kertas yang tidak rasional dengan ketersediaan bahan baku yang ada sejak tahun 1996 dan tidak
mustahil tetap berlanjut sampai sekarang. Tingginya biaya produksi kayu juga membuat
pengusaha pulp dan kertas sedang mempertimbangkan untuk mengimpor kayu dari Australia
karena harganya yang relatif murah, khususnya dibandingkan dengan mengembangkan HTI di
Indonesia. Dari segi persaingan perdagangan internasional juga mengalami berbagai hambatan,
misalnya dengan hadirnya negara-negara produsen plywood baru seperti Malaysia.
Kondisi tersebut hampir dialami oleh semua industri-industri pengolahan kayu di Indonesia.
Bahkan banyak iantaranya yang sudah tidak aktif lagi berproduksi lagi. Hal ini yang melatar
belakangi penulis untuk memaparkan profil industri pengolahan kayu di Propinsi Sumatera Utara
sekaligus mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul pada industri-industri
tersebut.
II. INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA
A. Jenis Industri Pengolahan Kayu di Propinsi Sumatera Utara
Industri pengolahan kayu di Sumatera Utara mencakup industri kayu gergajian (sawmill), kayu
lapis (plywood), pulp, moulding, korek api dan chopstik. Industri sawmill, plywood dan pulp
merupakan industr kayu hulu. Industri-industri tersebut tidak hanya mengolah produk-produk

yang siap dipasarkan, tetapi juga mengolah kayu bulat menjadi produk yang dibutuhkan sebagai
bahan baku bagi industri-industri hilir seperti moulding dan mebel. Dimana industri hilir ini
mengolah bahan baku tersebut menjadi barang jadi. Keadaan industri pengolahan kayu di
Propinsi sumatera Utara pada periode tahun 1990/1991 hingga tahun 1997/1998 dapat dilihat
pada tabel berikut:

2001 digitalized by USU digital libary

Tabel 1. Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Propinsi Sumatera Utara
No

Jenis
Industri

1.

Kayu

Jumlah Unit Usaha (Buah)
‘90/’91


‘91/’92

‘92/’93

‘93/’94

176

176

168

168

‘94/’95

‘95/’96

‘96/’97


‘97/’98

69

69

69

52

Gergajian
2.

Kayu Lapis

5

5


5

5

4

4

4

4

3.

Moulding

2

2


2

2

2

2

2

17

4.

Wood Working

1

1


1

4

-

-

-

-

5.

Pulp

1

1


1

1

1

1

1

1

6.

Korek Api

3

3


3

3

3

3

3

3

7.

Chopstick

1

1


1

1

1

1

1

1

189

189

181

184


80

80

80

78

Jumlah

Sumber Data : Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara

Sedangkan kapasitas dari masing-masing jenis industri tersebut adalah :
Tabel 2. Kapasitas Produksi Industri Pengolahan Kayu Propinsi SumateraUtara

N

3

Jenis Industri

Kapasitas Produksi (M )

o
‘90/’91-‘91/’92

‘92/’93

‘93/’94

‘94/’95-

1

Kayu Gergajian

556.100,00

481.000,00

584.565,00

‘96/’97
666.800,56

2

Kayu Lapis

208.400,00

112.000,00

310.250,00

832.473,00

3

Moulding

20.000,00

20.000,00

20.000,00

20.000,00

4

Wood Working

25.000,00

38.000,00

38.000,00

-

5

Pulp

165.000,00

165.000,00

219.000,00

219.000,00

6

Korek Api

4.600,00

4.600,00

4.530,00

4.530,00

7

Chopstick

12.000,00

12.000,00

12.000,00

12.000,00

991.100,00

832.600,00

1.1880345,00

922.330,56

Jumlah

Sumber Data : Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara
Industri-industri tersebut banyak yang terkonsentrasi di Kabupaten deli serdang, terutama untuk
industri kayu gergajian. Selama periode tersebut industri kayu gergajian terus mengalami
penurunan jumlah unit usahanya. Sedangkan industri yang mengalami perkembangan di Propinsi
Sumatera Utara adalah industri Moulding. Industri sawmill meskipun unit usahanya semakin
sedikit namun industri tersebut cenderung untuk meningkatkan kapasitas terpasang outputnya.
Demikian juga dengan industri kayu lapis yang meningkatkan kapasitas terpasangnya hingga
mencapai dua kali lipat.

2001 digitalized by USU digital libary

B. Tenaga Kerja
Industri pengolahan kayu yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah industri kayu lapis.
Hal ini disebakan adanya kebijakan pemerintah tentang peningkatan industri terpadu, yang
berintikan industri kayu lapis. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendorong berkembangnya
industri kayu lapis. Dengan adanya kebijakan tersebut maka sebagian investasi dialokasikan ke
industri kayu lapis. Pada industri kayu gergajian dan kayu lapis menunjukkan penurunan jumlah
tenaga kerja karena adanya penurunan produksi. Sedangkan industri pulp sejak tahun 1988
sudah tidak ada kegiatan produksi, berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan. Untuk
industri moulding dan komponen bahan bangunan serta industri perabotandan kelengkapan
rumah tangga menunjukkan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja.
Tabel 3. Jumlah Tenaga Kerja Per Kelompok Industri Pengolahan Kayu

No

Jenis Industri

Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
1996

1997

1998

1

Kayu Gergajian

8.974

8.506

4.189

2

Kayu Lapis

11.586

11.586

8.103

3

Pulp/Rayon

2.375

2.375

2.375

4

Moulding & komponen bahan bangunan

4.863

8.241

8.103

2.246
Perabot & kelengkapan RT dari kayu
5
Sumber data:
Kanwil
Departemen
Peindustrian
dan
SumateraUtara

4.723
Perdagangan

3.782
Propinsi

C. Ketersediaan bahan Baku
Industri pengolahan kayu yang membutuhkan pasokan kayu bulat adalah industri yang langsung
mengolah kayu (industri pengolahan kayu hulu) seperti industri kayu gergajian, pulp dan kayu
lapis. Di Sumatera Utara industri korek api dan chopstick juga langsung memasok kayu bulat.
Sedangkan industri pengolahan kayu hilir seperti moulding dan mebel (furniture) mengolah bahan
baku yang berasal dari industri kayu gergajian. Dengan demikian berkembangnya industri hilir
sangat ditentukan oleh industri pengolahan kayu hulu sebagai pemasok bahan baku. Jenis kayu
yang banyak digunakan adalah kayu Meranti, Pinus dan Karet.
Kebutuhan industri terhadap kayu bulat ditentukan oleh kapasitas terpasang dari industri serta
efisiensi penggunaan bahan baku.
Selama ini kapasitas terpasang industri pengolahan kayu di
Sumatera Utara cenderung jauh melebihi kemampuan produksi kayu bulat. Hal tersebut otomatis
menyebabkan industri kesulitan dalam mendapatkan bahan baku. Secara umum di Propinsi
Sumatera Utara, kekurangan bahan baku untuk mencukupi kebutuhan industri pengolahan kayu
sudah berlangsung sejak tahun 1980 sampai dengan sekarang. Padahal sejak tahun 1985 telah
dikeluarkan keputusan tentang pelarangan ekspor kayu bulat dalam rangka mencukupi
kebutuhan dalam negeri. Sedangkan kayu-kayu tersebut tidak seluruhnya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu di Sumatera Utara, karena dari produksi kayu
bulat ada yang diedarkan keluar propinsi. Realisasi pemenuhan bahan baku industri pengolahan
kayu hulu disajikan pada tabel 4.

2001 digitalized by USU digital libary

Tabel 4. Realisasi Pemenuhan Bahan Baku Untuk IPKH

No

Tahun

Jumlah IPKH
(Unit)

1

1994/1995

78

2

1995/1996

78

3

1996/1997

78

4

1997/1998

78

5

1998/1999

78

Bahan Baku
Kebutuhan
Pemenuhan
(Rencana)
(Realisasi)
3.041.180
2.289.595,37
(75 %)
3.041.180
2.279.333,24
(75 %)
3.041.180
1.967.963,90
(65 %)
3.041.180
2.030.289,13
(67 %)
3.041.180
1.196.524,12
(39,34 %)

Sumber : Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Sumatera Utara
Kekurangan bahan baku untuk industri hulu ini juga berimplikasi pada ketidaktersediaan bahan
baku untuk industri hilir yang menggunakan bahan baku kayu gergajian. Kesulitan memperoleh
bahan baku ini mengakibatkan industri tidak mampu berproduksi , sehingga semakin banyak
industri yang tidak aktif lagi terutama industri kayu gergajian. Di lain pihak industri-industri yang
ada cenderung untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Hal ini menunjukkan industri
pengolahan kayu terlepas dari sektor kehutanan, sehingga tidak memperhatikan potensi bahan
baku yang tersedia.
Upaya yang dilakukan untuk menutupi kekurangan bahan baku tersebut antara lain dengan
mendatangkan kayu bulat dari propinsi lain seperti Aceh, Riau dan Jambi. Rekapitulasi
pemanfaatan kayu bulat di propinsi Sumatera disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Rekapitulasi Pemanfaatan Kayu Bulat di Propinsi Sumatera Utara

N
o

Tahun

1
2
3
4
5

1994/1995
1995/1996
1996/1997
1997/1998
1998/1999

Jumlah

Produksi (M3)
Dimanfaatkan Diangkut keluar
di Sumut
Sumut
1.231.700,00
247.700,00
1.164.500,00
283.400,00
1.272.200,00
521.300,00
1.092.900,00
708.200,00
437.468,47
550.813,42
5.198.768,47
2.311.413,42

Pemasukan dari
Propinsi Lain (M3)
1.057.900
1.114.900
695.700
937.400
362.700*)
4.168.600

Keterangan : *) Data s/d Desember 1998
Sumber : Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi
Sumatera Utara
D. Perkembangan Produksi Kayu Olahan Propinsi Sumatera Utara
Produksi kayu gergajian di Propinsi Sumatera Utara pada periode tahun 1996/1997 hingga tahun
1999/2000 mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan adanya kebijakan pemerintah berupa Surat

2001 digitalized by USU digital libary

Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1980 dan Surat Keputusan Bersama Empat Dirjen Tahun
1981 tentang peningkatan industri terpadu yang berintikan kayu lapis. Dengan adanya kebijakan
ini, sebagian besar kayu bulat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan industri kayu lapis
sehingga pasokan bahan baku untuk industri kayu gergajian menjadi berkurang. Kemudian pada
tahun 1989 pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui SK Menkeu No. 210/KMK.013/1989 dan
No. 534/KMK.013/1992 tentang peningkatan pajak ekspor kayu gergajian, dengan tujuan untuk
lebih mendorong industri pengolahan kayu lanjutan. Di lain pihak industri pengolahan kayu
lanjutan belum siap, sehingga terjadilah kelebihan produksi kayu gergajian dalam negeri karena
tidak bisa diekspor. Keadaan ini mengakibatkan industri menurunkan produksinya. Adanya
pencabutan larangan ekspor kayu bulat oleh pemerintah pada tahun 1998 berpengaruh nyata
terhadap produksi kayu gergajian. Karena dari 26 unit industri kayu gergajian yang ada di
Sumatera Utara pada tahun 1997/1998, 22 unit tidak terkait HPH. Tentu saja HPH yang tidak
memiliki industri lebih memilih untuk mengekspor kayu bulat, karena lebih menguntungkan dari
pada menjual kayu kepada industri didalam negeri. Dengan demikian industri tersebut semakin
sulit untuk mendapatkan bahan baku. Diperkirakan kebutuhan industri kayu gergajian yang tidak
terkait HPH cenderung banyak dipenuhi oleh kayu dari hutan masyarakat yang pada umumnya
memiliki kualitas kayu rendah.
Adanya kebijakan pemerintah yang lebih mendukung industri kayu lapis menyebabkan produksi
kayu lapis cenderung lebih stabil. Dari 4 unit industri kayu lapis di Sumatera Utara 3 unit
merupakan industri yang terkait dengan HPH. Sehingga pemenuhan bahan baku untuk industri
ini berkesinambungan. Adanya pemberlakuan kembali ekspor kayu bulat juga mempengaruhi
produksi kayu lapis.
Kemampuan produksi industri kayu lapis pada tahun 1990/1991 – 1993/1994 melebihi kapasitas
terpasang industri. Secara teoritis, suatu industri tidak dapat berproduksi melebihi kapasitas
terpasangnya. Akan tetapi peningkatan produksi dapat dilakukan dengan penambahan waktu
kerja (kerja lembur) atau menambah shift, misalnya dari satu shift menjadi dua shift dalam sehari
kerja. Peningkatan produksi dilakukan terutama apabila permintaan pasar meningkat dengan
tingkat harga yang menguntungkan, dapat pula terjadi karena persediaan kayu bulat sudah
terlampau banyak. Namun sejak tahun 1994/1995 kemampuan produksi kayu lapis semakin
menurun. Suatu industri berproduksi di bawah kapasitas terpasang kemungkinan disebabkan
karena kekurangan bahan baku, kemampuan pasar untuk menampung barang (produksi)
menurun, peralatan produksi rusak atau pertimbangan (kebijaksanaan) khusus pengusaha.
Jika dilihat dari rendemennya, efisiensi penggunaan bahan baku untuk industri kayu lapis di
Sumatera Utara masih rendah. Industri kayu lapis termasuk industri yang memerlukan teknologi
tinggi, sehingga dalam proses produksinya memerlukan mesin-mesin yang memadai dan
ketrampilan tenaga kerja yang cukup.
Selain menghasilkan produk kayu lapis, produk lain yang dihasilkan oleh industri tersebut adalah
block board. Produk block board belum begitu berkembang di Sumatera Utara dibandingkan
kayu lapis, sehingga produksinya pertahun relatif kecil. Block board hampir sama dengan kayu
lapis, namun lapisan inti atau lapisan tengahnya menggunakan papan-papan yang direkat.
Dengan demikian selain menggunakan bahan veneer, block board juga menggunakan bahan
baku dari kayu gergajian.
Untuk produksi pulp Sumatera Utara sejak tahun 1990/1991 hingga tahun 1998/1999 terus
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan konsumsi kertas per kapita penduduk Indonesia
setiap tahun terus meningkat. Pada tahun 1989 konsumsi kertas sebesar 5,7 kg per kapita, pada
tahun 1994 naik menjadi 14 kg per kapita. Selama Pelita VI diperkirakan terjadi pertumbuhan

2001 digitalized by USU digital libary

konsumsi kertas sebesar 10 %. Di pasar dunia kebutuhan kertas juga meningkat tajam. Annual
Review, Pulp and Paper International (1995) menyatakan bahwa kebutuhan pulp dunia saat ini
lebih dari 105,6 juta ton. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi 140 juta ton pada tahun
2005, sehingga terjadi lonjakan kebutuhan sekitar 34,4 juta ton dalam 10 tahun (Republika, 17
Juni 1996 dalam Kartodihardjo (1996)). Dengan demikian kebutuhan akan pulp sebagai bahan
baku kertas terus meningkat. Industri kertas dan pulp di Indonesia mempunyai keunggulan
komparatif yang cukup tinggi, karena didukung oleh sumber daya alam yang dapat diperbaharui
berupa Hutan Tanaman Industri (HTI). Dalam rangka mensuplai bahan baku industri pulp dan
kertas Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan telah menandatangani
kesepakatan bersama dengan 5 industri pulp dan kertas untuk membeli chips yang dihasilkan,
salah satunya adalah PT Inti Indorayon Utama (Sumatera Utara). Namun sejak tahun 1998 PT
Inti Indorayon Utama menurun produksinya akibat kasus penurunan muka air Danau Toba dan
pencemaran lingkungan.
Untuk industri moulding yang merupakan industri hilir, penurunan produksi kayu gergajian
mengakibatkan penurunan yang sangat tajam terhadap produksi moulding. Adanya kebijakan
pemerintah untuk meningkatkan pajak ekspor kayu gergajian dengan tujuan untuk mendorong
pertumbuhan industri hilir belum dapat dimanfaatkan secara penuh. Peningkatan produksi hanya
terjadi pada kurun waktu 3 tahun. Bahkan sejak berlakunya kembali ekspor kayu bulat yang
menyebabkan produksi kayu gergajian semakin menurun, industri moulding tidak berproduksi
lagi, meskipun jumlah unit industri semakin bertambah. Tahun 1999/2000 indutri tersebut
berproduksi kembali.
Rendemen dari industri moulding berkisar antara 70% – 79 %. Rendemen yang sangat besar ini
menunjukkan bahwa industri moulding akan sangat tergantung pada industri gergajian.
Menurunnya produksi kayu gergajian bisa mematikan industri moulding bila efisiensi bahan-baku
moulding tetap sebesar itu.
Tidak jauh berbeda dengan industri lainnya, industri korek api yang menggunakan bahan baku
kayu bulat terus mengalami penurunan produksi terutama sejak tahun 1998 industri tersebut
tidak mampu lagi berproduksi. Demikian juga dengan industri chopstick yang mengalami
fluktuasi produksi sejak tahun 1998 tidak mampu lagi berproduksi. Rendemen dari kedua industri
tersebut berkisar antara 40 – 50 % dengan kemampuan produksi yang sangat rendah apabila
dibandingkan kapasitas terpasang output.
E. Nilai Tambah Industri Pengolahan Kayu
Nilai tambah adalah tambahan pada nilai penjualan dari proses produksi terhadap pengolahan
dari suatu bahan baku. Analisa nilai tambah adalah untuk mengetahui manfaat sosial ekonomi
dari suatu industri. Dari hasil pengolahan data sensus industri oleh Biro Pusat Statistik (BPS,
1992), nilai tambah industri kayu lapis (ISIC 33.113) menempati urutan ke-6 setelah industri
kerajinan dan ukiran kayu (ISIC 33.140), perabot rumah tangga (ISIC 33.210), moulding (ISIC
33.112), kayu gergajian (ISIC 33.111), dan barang lain dari kayu (ISIC 33.190).
Sementara itu dari kategori ISIC 33 industri kayu lapis menduduki urutan pertama dalam
menyerap kayu bulat, yaitu sebesar 71,8 %. Dominasi industri kayu lapis ini menunjukkan bahwa
secara nasional sebagian besar kayu bulat yang diproduksi diolah menjadi produk yang rendah
nilai tambahnya. Atau alokasi pemanfaatan kayu bulat dari hutan alam di Indonesia belum
optimal (Hariadi, 1996). Berdasarkan rata-rata nilai tambah yang dihasilkan oleh industri dapat
diketahui bahwa Industri yang memiliki rata-rata nilai tambah tertinggi adalah industri pulp,
diikuti oleh industri kayu gergajian dan kayu lapis.
Tingginya nilai tambah industri pulp ini
menggambarkan bahwa industri tersebut lebih efisien dibandingkan industri pengolahan kayu
yang lain. Namun sejak tahun 1998 industri pulp mengalami masalah hingga produksinya

2001 digitalized by USU digital libary

menurun drastis dan hingga sekarang tidak berproduksi lagi. Hingga akhir tahun 1997 industri
pulp, kayu gergajian dan kayu lapis belum mampu meningkatkan nilai tambahnya.
Dari data nilai tambah dapat dilihat bahwa pemanfaatan kayu bulat di Sumatera Utara belum
optimal, karena sebagian besar kayu bulat diolah menjadi kayu lapis yang nilai tambahnya relatif
rendah. Industri yang mampu meningkatkan nilainya adalah industri kayu lapis aneka inti yang
menghasilkan block board dan particle board, yaitu antara 32,2 % sampai dengan 66,49% per
M3 kayu yang diolah. Sedangkan industri moulding dan komponen bahan bangunan mampu
meningkatkan nilai tambahnya antara 40,15% sampai dengan 55,07%.
Tabel 6. Nilai Tambah Per Kelompok Industri
Jenis Industr

Nilai Tambah/ Value added (Juta rupiah)
1994
NT

Kayu

1995
%

NT

1996
%

NT

1997
%

NT

%

11.136,214

71,44

26.456,445

96,06

9.529,940

60,73

24.388,232

55,52

139.196,114

45,22

154.791,597

46,41

135.430,217

62,22

144.199,554

51,43

295.647,391

269,86

327.028,,022

96,08

362.944,745

123,14

42.060,195

40,15

45.577,847

41,03

59.665,241

60,27

56.902,552

55,07

8.975,576

32,12

15.323,478

36,92

27.323,818

74,59

43.897,451

66,49

Gergajian
Kayu
Lapis
Pulp
Moulding
B.Board,
P.Borad

Sumber Data : Biro Pusat Statistik Sumatera Utara (Data Olahan)
F. Permintaan Pasar
Orientasi pasar hasil industri kayu gergajian diarahkan untuk skala kecil, dengan kapasitas kurang
dari 5.000 M3 adalah lokal dan antar pulau. Untuk skala sedang dengan kapasitas 6.000 – 12.000
M3 adalah antar pulau, lokal dan ekspor. Sedangkan industri skala besar dengan kapasitas
12.000 M3 keatas adalah ekspor, antar pulau dan lokal. Demikian pula dengan industri kayu lapis
dengan perincian skala besar dengan kapasitas lebih dari 80.000M3, sedang dengan kapasitas
40.000 – 80.000 M3 dan kecil dengan kapasitas kurang dari 40.000 M3. Untuk industri pulp dan
kertas yang menggunakan bahan baku kayu pada umumnya berskala besar dengan kapasitas
lebih dari 2.000 ton perhari, orientasi pemasarannya diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan
dalam negeri dan ekspor (Rusolono, 1985).
Untuk ekspor kayu olahan Sumatera Utara didominasi oleh produk kayu lapis, diikuti oleh produk
pulp, moulding, block board dan kayu gergajian. Sedangkan produk korek api dan chopstick
untuk pasaran dalam negeri. Permintaan ekspor untuk produk kayu lapis tinggi karena produk
tersebut merupakan material yang ideal untuk digunakan sebagai pelapis dinding interior. Kayu
lapis dapat dibentuk menjadi lembaran-lembaran yang lebar sehingga dapat melapisi dinding atau
lantai yang luas dengan cepat. Selain itu kayu lapis tidak mudah menyusut dan mengembang,
serta mempunyai kemampuan untuk meredam suara dan mengisolasi udara panas.

2001 digitalized by USU digital libary

DAFTAR PUSTAKA
BPS, 1996. Statisik Industri Besar Dan Sedang Propinsi Sumatera Utara. Biro Pusat Statistik
Sumatera Utara. Medan.
Dinas Kehutanan, 1999. Statistik Kehutanan. Dinas Kehutaan Propinsi Dati. I Sumatera Utara.
Medan.
Dinas Kehutanan. 1990-1998. Laporan Tahunan 1990/1991 – 1997/1998. Dinas Kehutaan
Propinsi Dati. I Sumatera Utara. Medan.
Kartodihardjo, H. 1996. Pengembangan Industri Pulp Dan Kertas : Keuntungan Bagi Siapa ?
Jurnal Teknologi Hasil Hutan Volume IX No. 2. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Kartodihardjo, H. 1996. Restrukturisasi Industri Kehutanan Dalam Pengembangan Kehutanan
Secara Lestari.
Bahan Seminar Mahasiswa Kehutanan Indonesia VI Tanggal 26
Desember 1996. Bogor.
Rusolono, T. 1985. Profil Industri Perkayuan Sebagai Tolok Ukur Arah Pembinaan Dan
Pengembangan Industri Perkayuan (Studi Kasus Di Propinsi Kalimantan Timur). Skripsi.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

2001 digitalized by USU digital libary