Pembangunan Manusia Di Indonesia Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Charisma Kuriata Ginting S.
Alumnus S2 MEP SPs USU

Irsad Lubis
Dosen Fakultas Ekonomi USU

Kasyful Mahalli
Dosen Fakultas Ekonomi USU

Abstract: Most of study of human development focused on human capital as a factor of economic growth. Meanwhile, specific factors that determine human development itself unexplored systematically. This research aims to analyze influence of household consumption for food and non-food, government expenditure for education, headcount of poverty ratio and economic crisis in Indonesia. This study uses data of time series and cross section to each research variable covering 26 provinces in year 1996, 1999, 2002, 2004, 2005 and 2006, according to the availability of data for particular variables. This quantitative analysis applies random effect method to test the hypothesis. This method has an advantage because it able to explain the variance of characteristic of each province behaviors of human development. The results show quite significance influence among household consumption for food and non-food, government expenditure for education, headcount of poverty ratio and economic crisis to human development in Indonesia. Amount of influence showed by coefficient of regression of independent variables, which are: –0,9829 for household consumption for food, 1,2774 for household consumption for nonfood, 26,6791 for government expenditure for education, –0.214 for rate of poverty. The dummy shows negative influence

Keywords: human development, household consumption, poverty and government expenditure

PENDAHULUAN

Di tengah makin membaiknya kinerja

perekonomian, persoalan pengangguran dan


kemiskinan masih saja tak terselesaikan.

Kebanyakan upaya yang dilakukan

pemerintah

adalah

bagaimana

mengembangkan investasi sektor riil yang

pada gilirannya akan membuka akses pada

lapangan kerja yang semakin luas. Untuk itu

pemerintah bekerja keras membenahi sistem

dan aturan agar lebih ringkas, murah dan


memiliki kepastian hukum. Tetapi semua itu

tidak memberikan hasil yang memuaskan

bagi kesejahteraan rakyat pada umumnya.

Angka kemiskinan sampai dengan Juni 2007

berjumlah 37,17 juta jiwa atau 17,75 persen

populasi penduduk Indonesia (Kompas,

11/12/2007).

Publikasi UNDP dalam Human

Development Report 2007/2008 menyatakan

rasio penduduk Indonesia berpenghasilan


maksimal US$2/hari mencapai 52,4 persen.

Fakta ini membuktikan bahwa pertumbuhan

ekonomi tidak dengan sendirinya menjamin

terciptanya kesejahteraan masyarakat (trickle

down effect).

Banyak negara – termasuk Indonesia –

menerapkan strategi pembangunan yang

menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi.

Tujuan pembangunan adalah meningkatkan

pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan


indikator gross domestic product/gross

national product (GDP/GNP). Jadi, dalam

hal ini, disadari atau tidak disadari, manusia

adalah sebagai input dalam proses

pertumbuhan, bukan sasaran pertumbuhan

ekonomi.

Pada tahun 1990 United Nation

Development

Program

(UNDP)


memperkenalkan ”Human Development

Index” (HDI) atau Indeks Pembangunan

Manusia (IPM). Menurut Drapper (1990)

dalam kata pengantarnya pada Human

Development Report 1990, munculnya HDI

bukan berarti mengenyampingkan peran

17

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.1, Agustus 2008

GDP, tetapi bagaimana menerjemahkan GDP tersebut ke dalam pembangunan manusia.
Pembangunan manusia, menurut definisi UNDP, adalah proses memperluas pilihan-pilihan penduduk (people’s choice). Dari sekian banyak pilihan, ada tiga pilihan yang dianggap paling penting, yaitu: panjang umur dan sehat, berpendidikan, dan standar hidup yang layak. Pilihan lain yang dianggap mendukung tiga pilihan di atas adalah kebebasan politik, hak asasi manusia, dan penghormatan hak pribadi. Pembangunan manusia lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi, lebih dari sekedar peningkatan pendapatan dan lebih dari sekedar proses produksi komoditas serta akumulasi modal.
Alasan mengapa pembangunan manusia perlu mendapat perhatian adalah: pertama, banyak negara berkembang – termasuk Indonesia – yang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi gagal mengurangi kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan. Kedua, banyak negara maju yang mempunyai tingkat pendapatan tinggi ternyata tidak berhasil mengurangi masalah-masalah sosial, seperti: penyalahgunaan obat, AIDS, alkohol, gelandangan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga, beberapa negara berpendapatan rendah mampu mencapai tingkat pembangunan manusia yang tinggi karena mampu menggunakan secara bijaksana semua sumber daya untuk mengembangkan kemampuan dasar manusia.
Untuk mengukur ketiga pilihan tersebut, UNDP menyusun suatu indeks komposit berdasarkan tiga indikator, yaitu: angka harapan hidup pada waktu lahir (life expectancy at birth), angka melek huruf penduduk dewasa (adult literacy rate) dan rata-rata lama sekolah (mean years of schooling), dan kemampuan daya beli (purchasing power parity). Indikator angka harapan hidup mengukur kesehatan, indikator angka melek huruf penduduk dewasa dan rata-rata lama sekolah mengukur pendidikan dan terakhir indikator daya beli mengukur standar hidup.

Rumah tangga memegang peranan penting dalam pembangunan manusia, di mana pengeluaran rumah tangga memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan manusia, seperti: makanan, kesehatan dan pendidikan. Pengeluaran rumah tangga ditentukan oleh pendapatan. Penduduk miskin akan lebih banyak atau bahkan seluruh pendapatannya digunakan untuk kebutuhan makanan dibandingkan penduduk

kaya. Akibatnya penduduk miskin tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak jika hanya mengandalkan pendapatannya. Di sinilah perlu campur tangan pemerintah untuk membantu penduduk yang kurang mampu atau miskin.
Lanjouw, dkk. (2001) menyatakan pembangunan manusia di Indonesia adalah identik dengan pengurangan kemiskinan. Investasi di bidang pendidikan dan kesehatan akan lebih berarti bagi penduduk miskin dibandingkan penduduk tidak miskin, karena aset utama penduduk miskin adalah tenaga kasar mereka. Adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan murah akan sangat membantu untuk meningkatkan produktifitas, dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan. Brata (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa distribusi pendapatan adalah determinan paling berperan dalam pembangunan manusia di Indonesia, di samping determinan pendapatan per kapita dan rata-rata lama sekolah perempuan. Ranis dan Stewart (2002) menyatakan hal yang sama kecuali adanya tambahan determinan pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Brata (2005) menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah, investasi dan distribusi pendapatan sebagai determinandeterminan pembangunan manusia di Indonesia. Investasi sebagai penentu pembangunan manusia dipertegas oleh Ranis dan Stewart (2005), di samping determinan pendapatan per kapita dan jumlah penduduk miskin. METODE
Dalam penelitian ini alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda dengan metode GLS (Generalized Least Square) HASIL Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia
Perkembangan pembangunan manusia di Indonesia, seperti disebutkan dalam ”Indonesia Human Development Report 2004” (UNDP, 2004), sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi dari awal tahun 1970-an sampai akhir 1990-an. Pertumbuhan ekonomi memungkinkan penduduk untuk mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan menjadi lebih banyak. Sementara itu, pengeluaran pemerintah untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan relatif sedikit. Kebutuhan akan

18

Charisma Kuriata Ginting S., Irsad Lubis, dan Kasyful Mahalli: Pembangunan Manusia di Indonesia...

peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk kedua bidang sosial tersebut makin sangat dibutuhkan sejak krisis ekonomi menerpa.
Sampai dengan tahun 1996 tingkat pembangunan manusia regional cukup mengagumkan, seperti tampak dari berkurangnya kemiskinan dan membaiknya tingkat harapan hidup dan melek huruf (BPSBappenas-UNDP, 2001). Namun pencapaian tersebut segera mendapatkan tantangan ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Akibat krisis ekonomi, tidak satu propinsi pun yang tidak mengalami penurunan IPM, sehingga IPM 1999 menjadi lebih rendah dari IPM 1996. Tahun 2002 IPM kembali mengalami perbaikan, namun perbaikan tersebut pada umumnya belum mampu menyamai tingkat IPM tahun 1996.
UNDP membedakan tingkat IPM berdasarkan tiga klasifikasi yakni: low (IPM kurang dari 50), lower-medium (IPM antara 50 dan 65,99), upper-medium (IPM antara 66 dan 79,99) dan high (IPM 80 ke atas). IPM regional Indonesia termasuk kategori menengah-bawah (lower-medium) sampai menengah-atas (upper-medium). Tahun 2006, IPM regional tingkat menengah-bawah masih diduduki provinsi Papua, NTB dan NTT. Ketiga provinsi ini termasuk regional dengan rasio penduduk miskin tertinggi di Indonesia.
Anjloknya IPM Indonesia sebagai akibat dari krisis ekonomi ditentukan oleh faktor daya beli masyarakat yang terpuruk disebabkan membumbungnya inflasi. Daya beli masyarakat merupakan salah satu komponen dalam komposit IPM. Komponen lainnya sama sekali tidak terganggu secara signifikan. Bahkan indeks pendidikan yang direpresentasi oleh adult literacy rate dan mean years schooling menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.
Satu hal yang sering kali dikaitkan dengan pembangunan manusia adalah pertumbuhan ekonomi. Para ahli ekonomi banyak mengamati sejauh mana hubungan dan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pembangunan manusia. Demikian pula halnya dengan UNDP yang menyatakan bahwa hingga akhir tahun 1990-an, pembangunan manusia di Indonesia ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB). Pertumbuhan PDB akan meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia.
Perkembangan IPM regional dan pendapatan regional domestik bruto (PDRB) relatif tidak seirama. Perkembangan PDRB yang tinggi tidak selalu diikuti oleh perkembangan IPM yang tinggi pula. Sebaliknya, pertumbuhan PDRB yang rendah belum tentu diikuti oleh perkembangan IPM yang rendah pula. Provinsi DIY memiliki prestasi terbaik dalam menerjemahkan pertumbuhan ekonomi ke dalam pembangunan manusia. DIY urutan 17 pada PDRB per kapita tetapi mencapai urutan 4 pada IPM. Prestasi ini tetap bertahan sejak tahun 2002 (Tabel 1). Keberhasilan ini tidak terlepas predikat DIY sebagai provinsi dengan derajat kesehatan kedua terbaik nasional setelah DKI (Dinkes DIY, 2005). Hal ini didukung oleh political will pemerintah provinsi di mana anggaran untuk kesehatan mencapai 93 persen APBD Kabupaten/Kota (Dinkes DIY, 2005). DIY mampu dan berhasil menerjemahkan pertumbuhan ekonomi ke dalam pembangunan manusia. Dengan kata lain, setiap sen pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati sebanyak mungkin penduduk.
Provinsi Papua dengan PDRB menempati urutan 4, tetapi hanya menempati urutan paling rendah, 26, pada IPM (Tabel 1). Ini adalah bukti bahwa sumber daya alam yang begitu besar yang dimiliki Provinsi Papua tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyatnya. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bahwa tahun 2006 terdapat peningkatan penanaman modal asing (PMA) sebesar 786,86 persen atau menjadi US$ 121,5 juta (dibandingkan US$ 13,7 juta pada tahun 2005). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut lebih dinikmati pemerintah pusat dan investor asing dari pada penduduk setempat.

Setiap tahun sejak tahun 1990, UNDP telah menerbitkan Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) yang berisi perkembangan IPM negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam laporan terakhirnya, posisi Indonesia meningkat satu tingkat dari urutan 107 pada tahun 2004 menjadi urutan 106 pada tahun 2005. Prestasi

19

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.1, Agustus 2008

ini terutama disumbang oleh peningkatan pencapaian indikator umur harapan hidup yang menduduki urutan 89, di mana tahun sebelumnya berada pada urutan 108.

Tabel 1. Perkembangan PDRB dan IPM Tahun 2006

Rank (2002)

Provinsi

PDRB per kapita

PDRB rank

IPM


1 (1) DIY

5.174.604,79

17 73,7

2 (3) Sulut

6.261.864,54

14 74,4

3 (5) Bengkulu 4.214.593,64

22 71,3

4 (4) Jambi

4.980.313,79


18 71,3

5 (2) Maluku

2.706.329,71

24 69,7

6 (6) Jateng

4.682.581,73

20 70,3

7 (7) Lampung 4.277.425,73

21 69,4

8 (10) Sultra


2.442.350,23

25 67,8

9 (9) Sumbar

6.681.547,98

11 71,6

10 (15) Sumut

7.381.670,74

9 72,5

11 (12) NTT

2.357.261,37


26 64,8

12 (11) Kalteng

7.665.434,49

6 73,4

13 (13) DKI

34.887.057,60

1 76,3

14 (8) Riau

17.503.036,29

3 73,8

15 (14) Jabar

6.495.458,40

12 70,3

16 (19) Bali

6.464.848,92

13 70,1

17 (16) Sulsel

4.868.280,36

19 68,8

18 (25) NTB

3.647.098,17

23 63,0

19 (21) Sulteng

5.239.289,74

16 68,8

20 (18) Kaltim

32.892.611,88

2 73,3

21 (17) Sumsel

7.567.551,60

7 71,1

22 (24) Kalbar

6.014.624,48

15 67,1

23 (20) Jatim

7.412.421,71

8 69,2

24 (22) NAD

9.123.780,65

5 69,4

25 (23) Kalsel

7.255.293,10

10 67,7

26 (26) Papua

9.318.288,79

4 62,8

Sumber: BPS, UNDP, beberapa publikasi

PDRB
IPM rank
rank minus
IPM rank 4 13 2 12 10 12 99 15 9 13 7 17 4 21 4 83 72 24 2 51 10 30 12 0 14 -1 20 -1 25 -2 19 -3 6 -4 11 -4 23 -8 18 -10 16 -11 22 -12 26 -22

Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga untuk Makanan dan Bukan Makanan
Pemahaman tentang konsumsi rumah tangga di sini bukanlah secara teori makroekonomi, tetapi lebih pada pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap pembangunan manusia. Diasumsikan bahwa rumah tangga melakukan aktifitas konsumsi pada dua jenis barang/jasa, yakni: makanan (food) dan bukan makanan (non food). Eksistensi konsumsi rumah tangga yang mencapai 52,3 persen dari PDB (BPS, 2006) diyakini berperan penting dalam pembangunan manusia.
Biaya yang dikeluarkan untuk kelompok makanan dihitung menggunakan consumption approach, artinya yang sudah benar-benar dikonsumsi. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk kelompok bukan makanan dihitung menggunakan delivery approach, artinya konsumsi/pengeluaran barang-barang yang sudah dibeli/diperoleh/ digunakan oleh rumah tangga selama masa referensi (BPS, 2005).
Mencermati perkembangan proporsi konsumsi makanan dan non makanan di

Indonesia (Gambar 1), terdapat tendensi proporsi konsumsi makanan menurun disubstitusi oleh konsumsi non makanan. Namun demikian, rasio konsumsi makanan masih lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Proporsi konsumsi makanan tertinggi terjadi pada tahun 1996, sedangkan non makanan pada tahun 2005. Yuliarmi (2008) menemukan bahwa pola konsumsi masyarakat ditentukan oleh tingkat penghasilan atau kemapanan. Konsumsi masyarakat kurang mapan didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok atau primer. Sedangkan masyarakat mapan lebih banyak berkonsumsi pada kebutuhan sekunder dan tersier. Makanan dapat dikategorikan sebagai kebutuhan pokok. Gambar 1 menunjukkan masyarakat Indonesia bergerak menuju kemapanan karena proporsi konsumsi makanan dari tahun ke tahun semakin berkurang.
Salah satu indikator untuk menilai kesejahteraan masyarakat adalah struktur pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga dengan pangsa pengeluaran makanan yang tinggi tergolong rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan relatif rendah dibandingkan dengan rumah tangga dengan proporsi pengeluaran makanan yang rendah. Hal ini mendukung Hukum Engel (Engel’s law) yang ditemukan Engel (1857). Engel mengamati enam jenis pengeluaran rumah tangga, yakni: makanan, pakaian, perumahan, kendaraan/transportasi, kesehatan/pendidikan/ rekreasi dan tabungan. Hukum Engel mengatakan: pada saat pendapatan meningkat, proporsi pengeluaran untuk makanan turun meskipun nilai aktualnya meningkat, dengan asumsi selera tetap. Dengan perkataan lain, elastisitas pendapatan (income elasticity) terhadap permintaan makanan lebih kecil dari 1.
Jika Engel’s law diterapkan terhadap Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa provinsi yang tingkat pendapatannya tinggi akan lebih rendah proporsi konsumsi makanannya dibandingkan dengan provinsi yang berpendapatan rendah. Data tahun 2006 menunjukkan bahwa NTT dengan PDRB/kapita Rp 2,36 juta adalah provinsi tertinggi proporsi konsumsi makanannya. Sementara proporsi konsumsi makanan paling rendah berada pada Provinsi Kaltim dengan PDRB/kapita Rp 32,89 juta.

20

%

Charisma Kuriata Ginting S., Irsad Lubis, dan Kasyful Mahalli: Pembangunan Manusia di Indonesia...

70 60 50 40 30 20 10 0
1996

1999 2002 2004 2005 FOOD NON FOOD

2006

Gambar 1. Perkembangan Proporsi Konsumsi Makanan dan Bukan Makanan di Indonesia
Periode 1996-2006
Perkembangan Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan
Mengapa pemerintah perlu peduli terhadap pelayanan publik pendidikan dan kesehatan? Pendidikan dan kesehatan yang baik akan meningkatkan kapasitas dan kemerdekaan hidup yang dinamakan manfaat intrinsik. Pendidikan dan kesehatan berperan membuka peluang yang lebih besar untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi yang dinamakan manfaat instrumental (Lanjouw, dkk. 2001).
Kondisi umum pendidikan di Indonesia ditandai oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM); sekitar 58 persen dari tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang, hanya 4 persen yang berpendidikan tinggi. Prospek peningkatan kualitas SDM di masa yang akan datang pun terlihat suram. Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi masih relatif rendah yakni 56 persen untuk SLTP, 32 persen untuk SLTA dan 12 persen untuk perguruan tinggi (Susenas, 2002).
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 ada disebutkan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus mengalokasikan 20 persen anggaran untuk bidang pendidikan di luar gaji dan biaya kedinasan. Jadi, anggaran pendidikan yang dimaksud di sini adalah termasuk kategori anggaran pembangunan karena tidak termasuk di dalamnya anggaran rutin yang berupa gaji dan lain-lain. Pelaksanaan APBN-P 2006, belanja pemerintah pusat untuk pendidikan hanya 9,3 persen.
Banyak kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan. Rata-rata anggara

belanja rutin pada APBN sebesar 15 persen, pembayaran cicilan hutang 20 persen, 30 persen ditransfer ke daerah-daerah, dan subsidi 5 persen yang sebagian besar untuk listrik dan BBM. Hanya tertinggal 30 persen untuk anggaran pembangunan. Apakah mungkin dialokasikan 20 persen untuk sektor pendidikan saja, padahal di luar pendidikan, ada sektor lain yang erat kaitannya dengan pembangunan manusia, misalnya sektor kesehatan?
Dari tahun 1996 hingga 2006 pengeluaran pemerintah bidang pendidikan bertumbuh signifikan, rata-rata 250 persen per tahun, di mana pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 486 persen. Lonjakan yang terjadi pada tahun 2005 disebabkan oleh munculnya UU No. 23 Tahun 2003 yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen.
Tahun 2005 pengeluaran pemerintah untuk pendidikan sebesar Rp 46,3 ribu/kapita/tahun. Angka ini relatif besar mengingat per kapita di sini mencakup seluruh penduduk (219,8 juta jiwa), tidak khusus usia sekolah dasar dan lanjutan pertama saja (usia 7-15 tahun, wajib belajar 9 tahun). Tahun 2005 jumlah penduduk usia 715 tahun adalah 37,9 juta jiwa (Bappenas, 2005). Jadi, jika dikonversi menurut penduduk usia 7-15 tahun saja, maka subsidi pemerintah untuk sektor pendidikan menjadi sebesar Rp 268 ribu/kapita/tahun. Jumlah ini tentu saja tidak memadai.
Badan PBB untuk Urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) meletakan pendidikan Indonesia turun dari peringkat ke-58 menjadi ke-62 dari 130 negara. Bandingkan Malaysia di peringkat ke-56 dan Brunei di peringkat ke43 (Diknas, 2007).
Menurut hasil survey The Political & Economic Risk Country (PERC) tahun 2001, disebutkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti (Republika, 24/01/2003). Dari penelitian The International Education Achievment (IEA) tahun 2000, diketahui bahwa kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara dan terendah di antara negara-negara ASEAN (Republika, 24/01/2003).

21

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.1, Agustus 2008

Perkembangan Rasio Penduduk Miskin

Kemiskinan menjadi masalah yang

terus-menerus menjadi agenda dan sasaran

kebijakan pembangunan yang disusun

pemerintah. Namun sejarah mencatat bahwa

pemerintah sering kali gagal bahkan

memperburuk keadaan. Sebagai contoh,

pemerintah pada masa orde baru

memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan

mengandalkan “trikle down effect” sebagai

strategi mencapai pemerataan. Pada akhirnya

waktu juga yang menjawab bahwa strategi

tersebut tidak efektif.

Perkembangan rasio penduduk miskin

(RPM) sangat dipengaruhi oleh kondusifitas

perekonomian.

Sebab,

kemiskinan

berhubungan langsung dengan pendapatan,

dan pendapatan bersumber dari aktifitas

perekonomian. Oleh karena itu, manakala

krisis ekonomi melanda Indonesia, jumlah

penduduk miskin pun bertambah. Buktinya,

dari tahun 1996 ke tahun 1999 rasio

penduduk miskin meningkat 34 persen.

Kemudian pada tahun 2002 dan 2005

mengalami kemajuan, bahkan tahun 2005

rasio penduduk miskin telah lebih rendah

dari masa sebelum krisis. Tetapi pada tahun

2006 RPM kembali meningkat menjadi 17,75

persen, lebih tinggi dari kondisi sebelum

krisis, 17,47 persen. Penyebabnya adalah

meningkatnya laju inflasi pada tahun 2006

akibat kebijakan pemerintah menaikkan

harga BBM pada Oktober 2005.

PEMBAHASAN

Tabel 2. Hasil Estimasi Metode GLS

Dependent

Independent Variable

Variable: PMI C

PRM PRB PPD

Coefficient 71,8304 -0,9829 1,2774 26,6791

t- Stat R2

75,63 ** -4,24 ** 4,70 ** 7,18 ** 0,88

F -Stat

224,5146

**Signifikan pada tingkat α 1%

*Signifikan pada tingkat α 5%

RPM -0,2140 -7,28 **

D -0,7447 -2,27 *

Koefisien regresi PRM (pengeluaran rumah tangga untuk makanan) sama dengan 0,9829. Ini berarti jika PRM meningkat 1 juta rupiah, maka IPM akan turun 0,9829 satuan. Sebaliknya, jika PRM turun 1 juta rupiah maka IPM akan meningkat 0,9829 satuan. Pengaruh variabel PRM ini relatif tinggi dan sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99,99 persen. Terbukti bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia di Indonesia.

Pola konsumsi masyarakat Indonesia

menunjukkan perkembangan ke arah yang

benar, yang sesuai dengan Hukum Engel,

bahwa semakin sejahtera suatu rumah

tangga/masyarakat/bangsa maka semakin

kecil proporsi pengeluaran konsumsi untuk

makanan. Perkembangan konsumsi rumah

tangga untuk makanan menunjukkan tren

menurun,

sehingga

mendukung

pembangunan manusia.

Koefisien regresi PRB (pengeluaran

rumah tangga untuk bukan makanan) sama

dengan 1,2774. Artinya, bilamana terjadi

peningkatan PRB sebesar 1 juta rupiah maka

IPM akan meningkat 1,2774 satuan.

Demikian pula sebaliknya, jika PRB turun 1

juta rupiah maka IPM akan turun sebesar

1,2774 satuan. Pengaruh PRB terhadap IPM

ini signifikan pada tingkat kepecayaan 99,99

persen. Pengeluaran konsumsi rumah tangga

untuk bukan makanan berpengaruh positif

terhadap pembangunan manusia di

Indonesia.

Perkembangan proporsi pengeluaran

konsumsi masyarakat untuk bukan makanan

menunjukkan tren meningkat. Masyarakat

sudah menyadari akan pentingnya

mengedepankan pengeluaran konsumsi

bukan makanan yang notabene termasuk di

dalamnya pendidikan dan kesehatan karena

pendidikan dan kesehatan yang baik

membuka peluang lebih besar bagi

pendapatan yang lebih baik pula.

Koefisien regresi variabel PPD

(pengeluaran pemerintah untuk pendidikan)

adalah 26,6791. Ini adalah nilai koefisien

terbesar dari antara variabel-variabel bebas

dalam model. Koefisien PPD sama dengan

26,6791 berarti bilamana PPD meningkat 1

juta rupiah, maka IPM akan meningkat pula

sebesar 26,6791 satuan. Pengaruh PPD

terhadap IPM ini signifikan pada tingkat

kepercayaan 99,99 persen. Variabel PPD

berpengaruh positif terhadap perkembangan

pembangunan manusia.

Dengan hasil estimasi sedemikian,

makin jelas bahwa pembangunan manusia di

Indonesia sangat ditentukan oleh pemerintah.

Nilai koefisien PPD yang relatif besar

menunjukkan bahwa pengaruh PPD terhadap

pembangunan manusia adalah besar.

Diharapkan pemerintah berani untuk segera

merealisasikan anggaran pendidikan 20

persen karena hasil estimasi ini menunjukkan

bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah

22

Charisma Kuriata Ginting S., Irsad Lubis, dan Kasyful Mahalli: Pembangunan Manusia di Indonesia...

untuk pendidikan terhadap pembangunan manusia adalah empat kali lipat lebih. Begitu besarnya pengaruh PPD ini, masalah pembangunan manusia akan dapat terselesaikan hanya dengan melakukan pumping up terhadap variabel ini.
Koefisien regresi variabel RPM (rasio penduduk miskin) adalah -0,2140. Berarti tiap peningkatan RPM sebesar 100 persen maka IPM akan turun 21,40 satuan. Sebaliknya, jika RPM turun sebesar 100 persen maka IPM akan meningkat 21,40 satuan. Pengaruh variabel RPM terhadap IPM signifikan pada tingkat kepercayaan 99,99 persen. Benar adanya bahwa semakin tinggi populasi penduduk miskin akan menekan tingkat pembangunan manusia, sebab penduduk miskin memiliki daya beli yang rendah. Daya beli masyarakat merupakan salah satu indikator komposit indeks pembangunan manusia.
Hasil estimasi variabel dummy (D) menunjukkan pengaruh yang signifikan pada tingkat kepercayaan 97,57 persen. Koefisien regresinya bertanda negatif menunjukkan bahwa kondisi krisis ekonomi berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia. Penjelasannya, pada masa krisis ekonomi laju inflasi meningkat tajam (pada saat yang sama tingkat pendapatan tetap atau bahkan menurun), akibatnya daya beli masyarakat menurun, dan akhirnya kesejahteraan masyarakat menurun. Jumlah penduduk miskin bertambah, pengeluaran konsumsi rumah tangga diutamakan untuk membeli makanan, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan dan kesehatan berkurang, dan pada akhirnya masyarakat menjadi bodoh dan tingkat kematian tinggi.
KESIMPULAN 1. Berdasarkan nilai koefisien determinasi
pada hasil estimasi sebesar 0,88, maka variabel pembangunan manusia di Indonesia mampu dijelaskan oleh variabel-variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan, pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk bukan makanan, rasio penduduk miskin, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan dummy (proksi krisis ekonomi) sebesar 88 persen. Selebihnya yang 12 persen dijelaskan oleh variabelvaribel lain di luar model yang digunakan.

2. Variabel-variabel yang digunakan menjelaskan pembangunan manusia menunjukkan arah pengaruh masingmasing yaitu: pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan berpengaruh negatif, pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk bukan makanan berpengaruh positif, rasio penduduk miskin berpengaruh negatif, dan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia.
3. Memperbandingkan besarnya nilai koefisien variabel-variabel yang menjelaskan pembangunan manusia, maka variabel pengeluaran pemerintah untuk pendidikan adalah yang terbesar, diikuti berturut-turut oleh variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk bukan makanan, pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan dan terkecil variabel rasio penduduk miskin.
4. Krisis ekonomi berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia secara signifikan.

SARAN

1. Sudah saatnya pembangunan tidak lagi

diletakkan pada kekuatan sumber daya

alam (natural resources based), tetapi

pada kekuatan sumber daya manusia

(human resource based). Caranya adalah

dengan

meletakkan

prioritas

pembangunan pada pembangunan

manusia, karena pada akhirnya

pembangunan manusia yang berhasil

akan bermuara pada pertumbuhan

ekonomi yang tinggi.

2. Diharapkan pemerintah berani

mewujudkan anggaran pendidikan 20

persen sesuai Undang-Undang No. 23

Tahun 2003, karena hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa kontribusi

pengeluaran pemerintah untuk

pendidikan sangat besar bagi

pembangunan manusia.

3. Agar semakin banyak lagi penelitian-

penelitian yang digelar yang bertema

pembangunan manusia, maka semakin

banyak pula solusi yang dapat diperoleh

untuk meningkatkan pembangunan

manusia di Indonesia. Diharapkan

seluruh perguruan tinggi di Indonesia

memiliki lembaga/badan demografi yang

mengkhususkan perhatiannya pada

pembangunan manusia.

23

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.1, Agustus 2008

DAFTAR RUJUKAN BPS, 1998. PDRB Propinsi-Propinsi
Menurut Penggunaan 1994-1997. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia.
____, 2002. PRDB Propinsi-Propinsi Menurut Penggunaan 1998-2001. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia.
____, 2005. PDRB Propinsi-Propinsi Menurut Penggunaan 2000-2004. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia.
____, 2006. PDRB Propinsi-Propinsi Menurut Penggunaan 2000-2004. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia.
____, 2008. Trends of the Selected SocioEconomic Indicators of Indonesia. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia.
BPS-Bappenas-UNDP, 2001. Indonesia Human Development Report 2001. Towards a New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia, Bappenas dan UNDP Indonesia.
__________________, 2004. National Human Development Report 2004. The Economics of Democracy: Finanncing Human Development in Indonesia. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia, Bappenas dan UNDP Indonesia.
Brata, Aloysius Gunadi, 2004. Analisis Hubungan Imbal Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Penelitian – Universitas Atma Jaya.
Brata, Aloysius Gunadi, 2005. Investasi Sektor Publik Lokal, Pembangunan Manusia, dan Kemiskinan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian – Universitas Atma Jaya.
Depdiknas, 2007. Pembangunan Manusia Indonesia. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Provinsi DIY. Diakses dari: http://lpmpjogja.diknas.go.id/ index2.php?option=com_content&do_ pdf=1&id=197, 7/18/2008 12:39 PM.

Dinas Kesehatan Propinsi D.I.Y., 2005. Profil Kesehatan Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2005. Yogyakarta: Dinkes Prop. DIY.
Lanjouw, P., M. Pradhan, F. Saadah, H. Sayed, R. Sparrow, 2001. Poverty, Education and Health in Indonesia: Who Benefits from Public Spending?. World Bank Working Paper No. 2739. Washington D.C.: World Bank. Diakses dari: http://papers.ssrn.com/ sol3/papers.cfm?abstract_id=6344 51&rec=1&srcabs=447165, 6/22/2007 2:41 PM.
Ranis, Gustav and Stewart, Frances, 2002. Economic Growth and Human Development in Latin America. Cepal No. 78. The UN Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC). Diakses dari: http://www.eclac.org/publicaciones/x ml/2/19952/lcg2187i-Ranis.pdf 12/11/ 2007 4:57 PM.
Ranis, Gustav and Stewart, Frances, 2005. Dynamic Links between the Economy and Human Development. DESA Working Paper No. 8. Washington D.C.: World Bank.
UNDP, 1990. Human Development Report 1990. New York: Oxford University Press.
_____, 1995. Human Development Report 1995. New York: Oxford University Press.
_____, 2007. Human Development Report 2007/2008. New York: Palgrave Macmillan.
Yuliarmi, Ni Nyoman, 2008. Pengaruh Konsumsi Rumah Tangga, Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali. Buletin Studi Ekonomi Volume 13 Nomor 2 Tahun 2008.

24