HUKUM ISLAM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM
RISALAH
HUKUM ISLAM DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM
Imam Hardjono
Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102
Telp. (0271) 717417, 719483 (Hunting) Faks. (0271) 715448
ABSTRAK
Hukum Islam di Indonesia telah lama hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat Islam di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama Islam. ini dapat ditelusuri pada masa-masa
awal Islam masuk Indonesia, akan tetapi perkembangannya mengalami pasang surut. Tulisan ini akan menelusuri tentang bagaimanakah sebenarnya kedudukan hukum Islam di dalam sejarah perjalanan tata hukum Indonesia selama ini? Mengapa disebuah negara
yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, keberadaan hukum Islam justru tidak mendapat tempat secara proporsional? Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penyebabnya? Melalui perspektif sejarah hukum, pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian
akan dicoba dijawab melalui tulisan ini.
Berdasarkan paparan di atas dapatlah diketahui, bahwa pemberlakuan hukum Islam di Indonesia selama in acapkali tidaklah sematamata didasarkan pada apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat
dan sebagai suatu bentuk pencerminan dan apa yang sebenarnva
dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat, akan tetapi lebih
banyak memperlihatkan wujudnya sebagai suatu hasil konstruksi
sosial yang diciptakan oleh sebagian orang, dengan maksud untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Upaya-upaya “penyisihan’
terhadap eksistensi hukum Islam dalam tata hukum Hindia Belanda
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
1
dan Indonesia, tidaklah semata-mata didasarkan pada pertimbangan
baik buruknya sistem hukum itu bila digunakan untuk mengatur
kehidupan rakyat, akan tetapi lebih banyak memperlihatkan sisisisi politis dan pertimbangan-pertimbangan ekonomisnya.
Kata Kunci: Hukum Islam, Sejarah Hukum
Pendahuluan
Pengakuan dan pemberlakuan
hukum Islam dalam sejarah perjalanan
tata hukum Indonesia memperlihatkan
alur sejarahnya sendiri. Baik pada era
pemerintahan Hindia Belanda maupun
setelah Indonesia merdeka, ada masamasa dimana muncul suatu pandangan
dan pengakuan --yang kemudian terwujud dalam berbagai kebijakan-- terhadap kedudukan hukum Islam sebagai
hukum yang berdiri di atas kekuatan
1
sendiri dan merupakan hukum yang
benar-benar hidup dalam masyarakat
Indonesia1. Akan tetapi ada juga masa
dimana justru hukum Islam hanya
dipandang sebagai bagian dari (terpersepsi ke dalam) hukum lain dan oleh
karenanya hukum Islam hanya mempunyai kekuatan berlaku jika hukum lain
tersebut memang menghendaki, yang
kemudian mencapai puncaknya pada
masa, dimana hukum Islam dikeluarkan
keberadaannya dari tata hukum yang ada2.
Hal ini didasarkan pada pendapat Carel Frederick Winter, Salomon Keyzer serta Lodewijk Williem
Christian, yang kemudian dikenal dengan teori-tori receptie in complexu. Untuk uraian sistem hukum di
Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda, beserta politik hukumnya, lihat lebih lanjut : Soepomo
(I). Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Cet. ketigabelas. Jakarta Pradnya Paramita.
1988. Soepomo (II). 1982. Sejarah Politik Hukum Adat Jilid I (Dan Zaman Kompeni Sehingga Tahun
1848). Cet. Kedua. Jakarta : Pradnya Paramita. 1982 Soepomo (III). 1982. Sejarah Politik Hukum Adat :
Jilid I (Masa 1848 - 1928). Cet. Kedua. Jakarta Pradnya Paramita. Setelah Indonesia merdeka, muncul
kembali pendapat yang relarif sama (sebagai sebuah wujud penentangan terhadap teori receptio), yang
didasarkan pada pandangan beberapa ahli hukum Indonesia yaitu Sajuti Thalib, dengan teori receptio a
contrario. Pandangan ini, diperkuat oleh pendapat Hazairin, dengan teori resepsi exit.nya.
2
Keadaan ini didasarkan pada penentangan Cornells van Vollenhoven beserta pengikutnya terhadap
isi pasal-pasal yang termuat di dalam RR tahun 1885, serta pandangan Christiaan Snouck Hurgronje,
yang kemudian mengemukakan teorinya yang terkenal yaitu teori receptie Pandangan inilah, yang
kemudian menjadi dasar dan dikeluarkannya berbagai peraturan yang bermaksud mencahut (mengeluarkan)
hukum Islam dan lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Untuk uraian tersehut, lihat lebih lanjut Sajuti
Thalib, Receptio A Contrario : Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Bina Aksara, Jakarta,
1985, hal. 4-8; Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris. Alumni, Bandung.
1993, hal. 14-15 dan .23; S A. Ichtianco, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indoesia
dalam Tjun Surjaman (Ed.). Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya. Cetk.
kedua, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994. hal. 101.102.
2
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
Munculnya kebijakan-kebijakan
yang demikian, tidaklah semata-mata
didasarkan pada apa yang sesungguhnya
terjadi di masyarakat dan sebagai suatu
hentuk pencerminan dan apa yang
sebenarnya dikehendaki oleh sebagian
besar masyarakat, akan tetapi lebih
banyak memperlihatkan wujudnya
sebagai suatu hasil konstruksi sosial yang
diciptakan oleh sebagian orang, dengan
maksud untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Upaya-upaya ‘penyisihan’
terhadap eksistensi hukum Islam dalam
tata hukum Hindia Belanda dan Indonesia, tidaklah semata-mata didasarkan
pada pertimbangan baik buruknya sistem
hukum itu bila digunakan untuk mengatur
kehidupan rakyat, akan tetapi lebih
banyak memperlihatkan sisi-sisi politis3
dan pertimbangan pertimbangan ekonomisnya4.
Kebijakan-kebijakan yang demikian sepertinya terus berlanjut setelah
Indonesia merdeka. Baik pada masa
pemerintahan Presiden Sukarno maupun
presiden Suharto, sebagai akibat dan
rasa saling curiga yang terjadi antara Islam
dan negara5, berbagai aspek yang
berkaitan dengan Islam dan keislaman —
- kecuali dimensi-dimensi ritualnya —
selalu berusaha dilemahkan dan dijinakkan, serta tidak pernah diberikan
kesempatan untuk eksis, tumbuh dan
berkembang6. Dalam konteks makro
seperti itulah, kemudian dapat dipahami,
bahwa meskipun pada masa pemerintahan Indonesia hukum Islam telah diakui
kedudukan hukum Islam sebagai hukum
yang berdiri di atas kekuatan sendiri,
akan tetapi, sepertinya belumlah mendapatkan tempatnya secara wajar dalam
tata hukum Indonesia, karena hukum
Islam “hanya” berkompeten di lingkungan
yang dipandang tidak netral, yaitu
masalah-masalah yang berada di lingkup
hukum keluarga dan waris, dengan
berbagai variasi penyempitan/pembatasan dan perluasan kewenangan.7
3
Mengenai sisi-sisi poIitis ini, lihat lebih laniut Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik
Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia. dalam Tjun Surjaman (Ed.).
Hukum Islam di Indonesia. Pemikiran dan Praktek. Cet. Kedua. Bandung Remaja Rosdakarya, Bandung,
1994.
4
Mengenai aspek-aspek ekonomi lihat, Sunaryati Hartono. Hukum Ekonomi Pembangunan
Indonesia. Bandung, Binacipta, 1908.
5
Pada satu sisi pemegang kekuasaan di Indonesia yang mendasarkan kekuasaan pada kerangka
landasan negara yang
nasonalis, melihat Islam (terutama partai.partal politik yang berlandaskan Islam) sehagai pesaing
kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis). Sedangkan pada
sisi lain, kalangan Islam (terutama para aktivis politik Islam, memandang negara selalu berusaha melakukan
manuver untuk menyingkirkan umat Islam dan pada saat yang bersamaan mendukung gagasan mengenal
sebuah masyarakat yang sekuler.
6
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Jakarta, Penerbit Paramadina dan Yayasan lbn Sina, 1998, hal. 3.
7
Munawir Sjadzali, Op. Cit. hal. 42.48.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
3
Bagaimanakah sebenarnya kedudukan hukum Islam di dalam sejarah
perjalanan tata hukum Indonesia selama
ini? Mengapa disebuah negara yang
sebagian besar penduduknya beragama
Islam, keberadaan hukum Islam justru
tidak mendapat tempat secara proporsional? Faktor-faktor apa sajakah yang
menjadi penyebabnya? Melalui perspektif sejarah hukum, pertanyaanpertanyaan itulah yang kemudian akan
dicoba dijawab melalui makalah ini.
Hukum Islam di Indonesia: Sebuah
Awal Sejarah
Hukum Islam di Indonesia telah
lama hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat Islam di Indonesia, seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan
agama Islam. Ini dapat ditelusuri pada
masa-masa awal Islam masuk Indonesia.
Sebelum Islam masuk, dalam
masyarakat membudaya kepercayaan
animisme dan dinamisme. Hanya saja
kemudian seiring dengan masuknya dan
munculnya berbagai agama di Indonesia,
maka lahirlah kerajaan-kerajaan, yang
masing-masing dibangun atas dasar
agama yang dianut mereka, seperti
kerajaan yang berdasarkan agama Hindu,
Budha, dan disusul kerajaan-kerajaan
Islam yang didukung para wali pembawa
dan penyiar agama Islam, seperti
berdirinya kerajaan Demak dan pesisir
8
utara Jawa Tengah.
Dengan demikian di dalam
wilayah-wilayah kerajaan yang mendasarkan pada ajaran agama Islam,
praktis sejak saat itu, Islam tidak hanya
sekedar berfungsi sebagai keyakinan,
tetapi juga sebagai panduan amaliah
praktis. Hal mi antara lain terlihat dan
kedudukan Raja yang mempunyai tiga
fungsi utama, yaitu sebagai: (1) Kepala
Pemerintah umum; (2) Kepala Pertahanan dan keamanan, dan (3) Penata
bidang agama8. OIeh karena itu, gelargelar raja pada saat itu pun mengambil
dan nama-nama Islam, seperti ; Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun, Senapati Hing Ngalogo, yaitu Panglima
tertinggi angkatan perang, dan Sayidin
Panatagama Khalifatullah, yaitu khalifah
Allah pengatur bidang agama. Simbolisasi
dan ketiga fungsi tersebut pun kemudian
terefleksi di dalam tata ruang wilayah,
yang tercermin dan adanya alun-alun,
kraton (sekarang kabupaten), dan masjid
dalam kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Pengaruh yang demikian kemudian
terlihat pula di dalam keseluruhan struktur
pemerintahan yang terbentuk. Adanya
jabatan Kanjeng Penghulu, Penghulu
Tuanku Mufti, Tuanku Kadi, di samping para raja dan bupati, sampai jabatan
Lebai, Modin, Kaum, dan sebagainya
di samping Lurah, Kepala Nagari/
Kampung, membuktikan hal tersebut9.
A. Qodry Azizy, “Peradilan Islam Batasan UIasan dan Sejarahnya di Indonesia”. Diktat, Semarang
Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 1982, hIm. 30.
9
Dadang Soedarna. Sejarah Peradilan Islam, Pekalongan Fakultas Syari’ah lAIN Walisongo,
1986. hlm. 33.
4
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
Penerimaan dan pelaksanaan
Hukum Islam di Indonesia, memang
terlihat jelas pada masa kerajaankerajaan Islam awal. Pada zaman
Kesultanan Islam, Hukum Islam sudah
diberlakukan secara resmi sebagai
hukum negara. Di Aceh, atau pada masa
pemerintahan Sultan Agung, misalnya,
Hukum Islam telah diberlakukan walaupun masih tampak sederhana10. Daniel
S. Lev menyebutkan sebagai corak
keberagaman mereka bersifat sinkretis,
atau meminjam istilah yang digunakan
M.C. Ricklefs, mereka sebagai Muslim,
Budhis, dan Hindu, seperti dalam kutipan
berikut:
“Tetapi orang dapat berpendapat
bahwa pengadopsian suatu agama baru
bukanlah hal yang luar biasa bagi elit
Jawa, yang sudah lama mengadopsi
berbagai cara pemujaan Hindu dan
Budhis yang rupanya tanpa rasa konffik.
Sungguh, penulis ini tidak begitu heran
ketika ia menemukan bahwa ada orangorang elite abad ke- 14 yang menganggap
diri mereka muslim, Budhis, dan Hindu
sekaligus’.11
Dalam konteks yang demikian,
hukum adat setempat — sebagai sistem
hukum lain yang juga hidup dan berkembang dalam masyarakat lokal —
dalam kenyataannya sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam.
Misalnya, di Banten pada masa kekuasaan Sultan Agung Tirtayasa, hukum adat
dan hukum agama tidak ada bedanya.
Di Sulawesi, di Wajo, hukum waris
menyesuaikan diri dengan hukum Islam.
Kenyataan ini dapat didukung oleh buktibukti historis berikut ini
1. Di daerah Bone dan Goa Sulawesi
Selatan, dipergunakan Kitab Muharrar dan Pepakem Cirebon serta
peraturan lain yang dibuat oleh B.J.D.
Clootwijk. Jadi, ketika VOC (
Verenigde Qost Indische Companie) berkuasa selama dua abad
(1602-1800 M), kedudukan hukum
islam tetap seperti semula,berlaku
dan berkembang di kalangan kaum
Muslimin Indonesia. Kenyataan ini,
menurut satu sumber, adalah karena
jasa Nuruddin al-Rinary (w. 1077 H/
1666 M) di Aceh, yang menulis buku
Sirat al-Mustaqim (jalan lurus)
pada tahun 1628 M. Kitab ini
merupakan kitab pertama yang
disebarkan ke seluruh wilayah
Indonesia untuk menjadi pegangan
umat Islam dalam menyelesaikan
persoalan hukum mereka. Kitab
tersebut, oleh Mufti Baujarmasin,
Syeikh Arsyad al Banjary (11221189 H/1716-1812 M) yang pernah
menuntut ilmu di Timur Tengah,
dikomentari dalam kitab yang diberi
10
A. Qodry Azizy, Op. Cit. hIm. 31.
MC. Ricklefs, ‘Islamisasi di Jawa Abad ke-14 hingga ke-l&’, dalam Tika Noorjaya dan Endang
Basri Ananda, Islamdi Asia Tenggara Perspektif Sejarah, Jakarta, LPEES, hlm. 76.
11
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
5
judul Sabil al- Muhtadin (jalan
orangorang yang mendapat petunjuk), yang kemudian dijadikan
pegangan dalam menyelesaikan
sengketa antara umat Islam di daerah
Kesultanan Banjar. Di daerah Kesultanan Palembang dan Banten juga
diterbitkan beberapa kitab hukum
Islam yang dijadikan pegangan dalam
masalah hukum keluarga dan warisan, yang kemudian diikuti kerajaan-kerajaan Demak, Jepara,
Tuban, Gresik, dan Ngampel.
2. Dalam Statuta Batavia 1642 M
disebutkan bahwa “Sengketa warisan antara orang pribumi yang
beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan
hukum Islam, yakni hukum yang
dipakai oleh rakyat sehari-hari”.
Menindaklanjuti klausul tersebut,
D.W. Freijer menyusun Compendium (buku ringkasan) rnengenai
hukum perkawinan dan kewarisan
Islam, setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, diberlakukan di daerah jajahan VOC,
yang kelak dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Tanggal 25 Mei 1760 M, VOC
mengeluarkan peraturan senada
yang disebut dengan resolutie der
Indische Regeering untuk diberlakukan.
12
13
6
4. Solomon Keyzer (1823-1868 M)
dan Cristian van den Berg (18451927 M) membiarkan hukum Islam
berlaku bagi masyarakat Islam.
Mereka menyatakan bahwa hukum
mengikuti agama yang dianut seseorang.12 Pandangan pada masa yang
pertama yang kemudian melahirkan
teori receptio in complexu, pada
intinya menyatakan, bahwa adat
istiadat dan hukum (adat) suatu
golongan hukum masyarakat adalah
receptio seluruhnya dan agama yang
dianut oleh golongan masyarakat itu.
Hukum adat suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulatbulat dan hukum agama yang dianut
oleh golongan masyarakat itu.13
Untuk kepentingan ini, pemerintah
Belanda mengeluarkan berbagai
kebijakan, sebagaimana dijelaskan
Munawir Sjadzali:
1. Bulan September 1808, ada
suatu instruksi dari pemerintah
Hindia Belanda kepada para
bupati yang berbunyi ; “Terhadap urnsan-urusan agama
orang-orang Jawa tidak akan
dilakukan gangguan-gangguan, sedangkan pemukapemuka agama mereka dibiarkan untuk memutus perkaraperkara tertentu dalam bi-
Munawir Sjadzali, dalam Tjun Surjaman (Ed.). Op. Cit, hal. 43-44.
Imam Sudiyat, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1985, hal. 3.
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
dang perkawinan dan kewarisan dengan syarat tidak ada
penyalahgunaan, dan banding
dapat dimintakan kepada
hakim banding”.
2. Tahun 1820 melalui Staatblad
No. 22 pasal 13 ditentukan
bahwa: “bupati wajib emperhatikan soal-soal agama Islam
dan untuk menjaga agar para
pemuka agama dapat melakukan tugas rnereka sesuai
dengan adat kebiasaan orang
Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka,
dan yang sejenis”. Dan istilah
bupati, dalam ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa peradilan agama telah
ada di seluruh pulau Jawa.
3. Tahun 1823 dengan resolusi
Gubernur Jendral tanggal 3 Juni
1923 No. 12 diresmikan Pengadilan Agama di kota Palembang
yang diketahui oleh Pangeran
Penghulu. Sedangkan untuk
kasus-kasus banding dapat
dimintakan kepada Sultan. Wewenang Pengadilan Agama
Palembang meliputi: (a) perkawinan, (b) perceraian, (c) pembagian harta, (d) kepada siapa
diserahkan anak apabila orang
tua bercerai, (e) apa hak masingmasing orang tua terhadap anak
14
tersebut, (f) pusaka dan wasiat, (g)
perwalian, dan (h) perkara-perkara lain yang menyangkut agama.
4. Tahun 1835, melalui resolusi
tanggal 7 Desember 1835, StbI.
1835 No. 58 pemerintah mengeluarkan penjelasan tentang pasal
13 StbI. 1820 No.20 yang isinya
sebagai berikut: “Apabila
terjadi sengketa orang-orang
Jawa satu sama lain mengenai
soal-soal perkawinan, pembagian harta, dan sengketasengkera sejenis, yang harus
diputus menurut hukum Islam,
para pemuka agama memberi
keputusan, tetapi gugatan
untuk mendapat pembayaran
yang timbul dari keputusan
para pemuka agama itu harus
diajukan kepada pengadilan
pengadilan biasa.”
5. Klimaksnya, melalui Stbl. 1882
No. 152 karena pemerintah Belanda tidak mampu menerapkan
Undang-Undang agama bagi kaum
bumi putra, dibentuklah Pengadilan
Agama dengan nama yang salah,
Priesterraad (Peradilan Pendeta)
di setiap wilayah Landraad atau
Pengadilan Negeri. Wewenangnya meliputi perkara-perkara yang
terjadi antara orang-orang Islam
dan diseleasikan menurut hukum
Islam.14
Munawir SjadzaIi, dalam Tjun Surjaman (Ed.). Op. Cit., haL 43
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
7
Lebih lanjut, di dalam politik
hukum pemerintah kolonial pada waktu
itu pengaruh dan pandangan receptio in
complexu tersebut di atas, tertuang di
dalam Reglement op het beleid der
regeering van Nederlandsch Indie
(yang seringkali disingkat dengan Regeringsreglement / RR), yang dimuat
dalam staatblad 1854: 129, yang kemudian dirubah dengan Staatblad 1855 2,
khususnya pada Pasal 1715, 78 dan 109.
Pasal 75 ayat (3) yang menyatakan: “ ... maka hakim bumi putera harus
memperlakukan undang-undang (peraturan) agama (godsdientige wetten),
instelling dan kebiasaan (adat) penduduk asli, sejauh tidak bertentangan
dengan asas-asas kepatutan dan keadilan
yang diakui umum”. Sedangkan Pasal 75
ayat (4) yang menyatakan : “Dengan
undang-undang (peraturan) agama,
instelling dan kebiasaan (adat) itu
pulalah, hendaknya hakim Eropa (raad
van justite) memutus perkara kepalakepala penduduk asli yang tidak tunduk
kepada pengadilan tingkat dini dan juga
perkara yang diajukan bandingnya atas
putusan hakim bumi putera mengenai
perkara perdata dan dagang’. Bahkan
di dalam Pasal 78 ayat (2) RR Staatblad
1855 : 2, ditegaskan lebih lanjut, bahwa
“Kalau terjadi perselisihan perdata
antara sesama penduduk inlander atau
penduduk yang dipersamakan dengan
15
mereka, diputuskan oleh kepala agama
atau kepala adat mereka, menurut
undang-undang agamanya atau adat
aslinya’.
Sedangkan Pasal 109 RR Staatbland 1855 : 2, mengatakan, bahwa
“ketentuan termaksud dalam pasal 75
dan 78 itu berlaku pula bagi mereka yang
dipersamakan dengan inlander yaitu
orang arab, orang Moor, orang Cina dan
semua mereka yang beragama Islam dan
orang- orang yang tidak beragama”.
Dan beberapa isi pasal di atas,
maka dapatlah diketahui. Bahwa pemerintah Belanda dan pemerintah Hindia
Belanda pada saat itu dengan peraturan
perundang-undangan yang tertulis dan
tegas telah mengakui bahwa godsdientige wetten (undang-undang Islam/
hukum Islam/peraturan-peraturan keagamaan) berlaku bagi orang Indonesia
yang beragama Islam.
Hukum Islam di Indonesia: Sejarah
di Bawah Jajahan Kolonialisme
Masuknya pemerintah kolonial
Belanda ke Indonesia, membawa perubahan-perubahan dalam pelaksanaan
hukum Islam, meskipun secara formal
hukum Islam tetap diberlakukan. Hal ini
didasari oleh adanya kecurigaan dan
sebagian pejabat Belanda pada awal
abad ke-19, meskipun mereka relatif
berhati-hati membuat penyataan. Menu-
Pasal ini berasal dari pasal 11 ALgmene Bepalingen vim Wecgeving, yang berbunyi, ‘bahwa oleh
hakim (jika tidak begitu tentunya), harus diberlakukan hukum agama, paranata-paranata rakyat dan
kebiasaan-kebiasaan dari yang bersangkutan”
8
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
rut Daniel S. Lev, ketegangan ini adalah
bagian “politisasi” kekuatan Islam
menghadapi penguasa-penguasa PanIslam. Selanjutnya ia menggambarkan
sebagai berikut
“Sejak mula-mula Islam melebarkan sayapnya di Indonesia, telah timbul
ketegangan-ketegangan, kadang-kadang tampak samar-samar dan tertahan,
dan terkadang pula nyata dan kasar, yaitu
antara tuntutan ke arah kekuasaan yang
terang-terangan Islam, dengan kekuasaan yang kenyataan kedalam bersifat
non-Islam, maupun yang bersifat sinkretis keagamaan.”16
Kompensasi dan wujud kecurigaan tersebut, pemerintah kolonial
mengintrodusir istilah het indische
adatrecht atau hukum adat Indonesia.
Gagasan ini disponsori oleh Cornelis van
Vallenhoven (1874-1933). Kemudian
dikembangkan oleh seorang penasihat
pemerintah Hindia Belanda tentang soalsoal Islam dan anak negeri jajahan,
Cristian Snouck Hurgronje (1857.
1936)17.
Dalam gagasan mereka, intinya
bahwa hukum yang berlaku bagi orang
Islam adalah hukum adat mereka masingmasing. Hukum Islam dapat berlaku
apabila telah dipersepsi atau diterima oleh
hukum adat. Jadi, hukum adalah yang
menentukan ada tidaknya hukum
IsIam18. Dan sinilah kemudian lahir teori
Receptie yang pada intinya menyatakan,
“tidak semua bagian dari hukum agama
diterima dalam hukum adat; hanyalah
beberapa bagian tertentu saja dari hukum
adat, yakni terutama bagian dari hidup
manusia yang sifatnya sangat pribadi
yang berhubungan erat dengan kepercayaan dan hidup batin, misalnya
hukum kekeluargaan, hukum perkawinan
dan hukum waris.19
Sebelum Snouck Hurgronje ditunjuk sebagai penasihat, pada tahun 1859
sesungguhnya telah dimulai upaya-upaya
campur tangan pemerintah kolonial
terhadap urusan-urusan keagamaan.
Gubernur Jendral, misalnya, menurut H.
Aqib Suminto20, dibenarkan mencampuri
masalah agama dan bahkan harus
mengawasi setiap gerak-gerik para
ulama, jika dipandang perlu demi
kepentingan ketertiban keamanan. Bagi
Snouck Hurgronje, sudah saatnya
pemerintah Belanda memerlukan
inlandsch politiek, suatu kebijaksanaan
mengenai pribumi untuk memahami dan
menguasai pribumi.
Snouck Hurgronje menyatakan,
Islam di Indonesia terbagi kepada “Islam
16
Daniel S. Lev, Peradilan agarna Islam di Indonesia, Diterjemahkan oleh H. Zaini Ahmad Noeh,
Jakarta: intermasa, 1990, hlm. .23.
17
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo, 1995, hal. 1517.
18
Munawir Sjadzali, dalam Tjun Surjaman (Ed,). Op. Cit.. hal. 45.
19
Imam Sudiyat, Loc Cit.
20
R. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, jakarta: LP3ES, 1986, Cet. 2. hlm. 10.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
9
sehagai agama” dan “Islam sebagai
doktrin politik”21, baik dalam bentuk
agitasi kaum fanatik setempat maupun
dalam bentuk Nonn-Islam. Terhadap
yang pertama, ia menawarkan suatu
sikap “toleransi” yang dijabarkan dalam
sikap netral terhadap kehidupan keagamaan. Sebaliknya, apabila kelihatannya
mengandung ‘sifat-sifat politik” harus
dibereskan dengan kekerasan. Setiap
campur tangan dalam masalah yang
berhubungan dengan Islam dan luar negeri
harus dipangkas di pangkal-nya.22
Didukung penampilan Snouck
Hurgronje sebagai Habib kulit putih’
(mufti Batavia?) dengan jubah dan
bersorban hijau, ia gampang memperdayai dan membuat masyarakat
terkagum-kagum tanpa menaruh curiga
atas ‘rencana iblisnya’. Sikap netralnya
terhadap kegiatan keagamaan bukan saja
berhasil meyakinkan mayoritas pejabatpejabat agama, tetapi kebanyakan kalau
bukan semua — kyai dan ulama, tidak
perlu takut dengan pemerintah kolonial,
sejauh mereka tidak melakukan kegiatan
propaganda politik. Dengan demikian,
bagi Hurgronje, betapapun besarnya
kekuasaan yang dijalankan oleh hakimhakim Islam atau guru-guru agama yang
independen, maka dalam masalah
duniawi dan politik orang Indonesia tetap
takluk di bawah bimbingan adatnya.
Dengan gagasannya ini, ia telah menolak
teori pendahulunya van de Berg, bahwa
hukum Islam telah diterima penuh oleh
masyarakat. Dengan teori Receptie ini
pula, menurut Harry J. Benda, Hurgronje
dikenal sebagai arsitek keberhasilan
politik Islam yang paling legendaris.
Muatan pokok teori receptie ini
adalah prinsip divide et impera yang
bertujuan untuk menghambat dan
menghentikan meluasnya hukum Islam
dan membentuk konsep hukum tandingan
yang mendukung politik pecah belah
pemerintah kolonial. Di Aceh, Hurgronje
telah berhasil mengkonfrontasikan antara
ulama dan uleebalang. Musuh kolonialisme, menurutnya, bukan Islam
sebagai agama, melainkan Islam sebagai
doktrin politik. Ia melihat kenyataan
bahwa Islam seringkali menimbulkan
bahaya terhadap kekuasaan Belanda.
Seperti kata Daniel S. Lev, “meskipun
ia tahu bahwa orang Islam di negeri
ini memandang agamanya sebagai
alat pengikat kuat yang membedakan
diri dari orang lain’.
Langkah-langkah politik Hurgron-
21
Ibid, hlm. 11. Lihat juga Harry J.Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya.
1980, hlm. 44.
22
Langkah yang ditempuh misalnya, dibatasinya jumlah jamaah haji Indonesia. Hal ini karena oleh
Hurgronje, haji dinilai tidak semata-mata sebagai ibadah, tetapi memiliki jaringan politik yang dapat
mengancam kepentingan pemerintah kolonial. Karena pada umumnya, waktu itu jamaah haji Indonesia
setelah menunaikan ibadah haji, banyak yang bermukim di sana. Lihat Harry J. Benda, Ibid. Bandingkan
dengan G.F. Pijper. “Politik Islam Pemerintah Belanda”, H. Baudet dan l.J. Brugmans (ed), Politik Etis
dan Revolusi Kemerdekaan, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 1987, hIm. 250.
10
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
je disampaikan di depan civitas akademika NIBA (Nederlandsche Indische
Bestuurs Academie) DeIft tahun 1911.
Pertama, terhadap dogma dan perintah
hukum yang murni agama, hendaknya
pemerintah bersikap netral. Kedua,
masalah perkawinan dan pembagian
warisan dalam Islam menuntut penghormatan, dan Ketiga, tiada satu pun
bentuk Pan-Islam boleh diterima oleh
kekuasaan Eropa23. Agaknya penglihatan Hurgronje terhadap perkawinan
dan kewarisan hanya dilihat sebagai
hubungan keperdataan biasa, terlepas
dan aspek ibadah. Padahal bagi orang
Islam sendiri, kedua rnasalah tersebut
memiliki muatan transenden yang tidak
lain memiliki unsur ibadah.
Melalui usaha-usaha terusmenerus dan sistematis, Hurgronje
berhasil mengganti teori receptie in
compulex menjadi teori receptie.
Pengaruh dan kritik-kritik yang
diajukan oleh C. van Vollenhoven dan
C. Snouck Hurgronje tersebut
tampaknya cukup berhasil. Hal ini
terbukti dengan adanva peruhahan dalam
politik hukum pemerintah kolonial, yang
berjalan secara sistematis, dengan halus
dan berangsur-angsur. Perubahan yang
pertama terlihat dengan diundangkannya
Staatblad 1907 204, yang mengubah
bunyi Pasal 75 RR lama, terutarna katakata “undang-undang (peraturan) agama’
sengaja dihilangkan/diperlunak, diganti
menjadi kata-kata bersayap, yaitu “ ...
diikuti peraturan yang berkenaan dengan
agama dan kebiasaan mereka”24.
Usaha-usaha untuk melemahkan
berlakunya hukum Islam, masih terus
dilanjutkan, karena tidak kuatnya reaksi
yang menentang dalam masyarakat
lndonesia.25
Hasil ini terlihat dengan dirubahnya
sebagian kata-kata di dalam Pasal 1
Staatblad 1907 204, yaitu “diikuti
peraturan-peraturan yang berkenaan
dengan agama dan kebiasaan mereka’,
menjadi: ‘memperhatikan peraturanperaturan yang berkenaan dengan agama
dan kebiasaan mereka” sebagaimana
yang termuat di dalam Staatblad 1919 :
621.
Puncak dan peruhahan-peruhahan
terhadap Pasal 75 RR tersebut, terjadi
melalni Staatblad 1925 : 415, 416 dan
447, yang mengubah Pasal 75 RR
menjadi Pasal 131 Indische Staatsregeling’ (I.S.) dan Staatblad 1929 :
221, yang rnenguhah Pasal 78 RR
23
H. Aqib Suminto, (4) op. cit hIm. 13.
Secara lengkap peruhahari terhadap pasal 75 ayat C) RR 1855 tersebut, sehagaimana tertuang di
dalam pass! I RR .1970 adalah sebagai berikut “mengenai penduduk asli, timur asing dan penduduk lain
asal dari kedua golongan pokok tersebut, dperlakukan ketentuan untuk golongan Eropa, sejauh dikehendaki
oleh kepentingan masyarakatnya, sedangkan untuk hal-hal yang lain diikuti peraturan yang berkenaan
dengan agama dan kebiasaam mereka’.
25
Sajuti Thalib, Op Cit. hal, 18.
24
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
11
menjadi Pasal 134 i.s.26 Pasal 134 I.S.26
yang menjadi sumber formal dan teoni
receptie inilah yang mencabut (mengeluarkan) hukum islam dan lingkungan tata
hukum Hindia Belanda.
Pasal 134 ayat (2) Indische
Staatsregeling (IS) yang sama bunyinya
dengan artikel pasal 78 R.R. 1855 R.R.
1907 dan R.R. 191, menetapkan
“Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila keadaan tersebut telah
diterima oleh hukum Adat mereka
dan sejauh tidak ditentukan lain oleh
ordonansi”.
Dalam teori receptie, yang ada
adalah hukum adat sementara hukum
Islam dianggap tidak ada. Hukum Islam
dianggap eksis, berarti, dan bermanfaat
bagi kepentingan pemeluknya, apabila
hukum Islam tersebut telah dipersepsi
oleh hukum adat.
Menindaklanjuti pasal 134 ayat
(2) IS tersebut, pada tahun 1929 pasal
134 ayat (2) diubah menjadi:
“Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila hukum adat mereka
menghendaki, dan sejauh tidak
26
ditentukan lain dengan sesuatu
ordonansi’.
Dalam Stb1. 1937 No. 116 dinyatakan
bahwa
“Pengadilan Agama di Jawa dan
Madura hanya berwenang memeriksa perkara perkawinan saja,
sedangkan perkara waris yang
selama berabad-abad menjadi kewenangannya diserahkan kepada
Pengadilan Negeri”.
Gerakan awal ini setidaknya
didasari oleh anggapan bahwa pusat
kekuatan Islam sebagai kekuatan politik,
adalah di Jawa dan Madura. Karena itu,
jika Peradilan Agama di Jawa dan
Madura telah berhasil dipaksa dengan
dikebiri’ sebagian wewenangnya, maka
untuk wilayah luar Jawa dan Madura
akan lebih mudah dilaksanakan.
Setelah Jawa dan Madura berhasil
“dijinakkan, pada tahun yang sama,
melalui Stb1. 1937 No. 638 dan 639
yang formalnya membentuk Kerapatan
Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
wilayah Kalimantan Selatan, kewenangannya dibatasi sebagaimana peradilan agama di Jawa dan Madura.
Apabila dirinci, kewenangan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura serta
Kalimantan Selatan berdasarkan Stbl.
Bunyi pasal 134 ayat (23 Staatblad 1929 : 221, adalah sebagai berikut ‘dalam hal terjadi perkara
perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila hukum adat
mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan ordonansi”.
12
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
1937 No. 116 adalah:
1. Perselisihan antara suami istri yang
beragama Islam.
2. Perkara-perkara tentang (a) nikah,
(b) talak, (c) cerai rujuk, (d) perceraian antara orang-orang yang
beragama Islam yang memerlukan
hakim agama Islam.
3. Memberi keputusan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk
jatuhnya talak yang digantungkan
(taklik talak) sudah ada.
5. Perkara mahar
6. Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh
suami,
Masalah-masalah yang berkaitan
dengan masalah kebendaan seperti
masalah wakaf, waris, wasiat, hibah,
hadanah, sedekah, baitul mal, menjadi
wewenang Peradilan Umum, sementara
untuk wilayah di luar Jawa-Madura dan
Kalimantan Selatan, tetap berlaku hukum
Islam tanpa ada pembatasan.
Di sisi lain, pada tahun 1937 juga
dalam Stbl. No. 610 dibentuk Hof voor
Islamietische Zaken (Mahkamah Islam
Tinggi), sebagai pengadilan tingkat
banding untuk pengadilan tinggi. Boleh
jadi, ini ditempuh sebagai langkah
persuasi — untuk tidak mengatakan hatihati — - agar tidak terlalu drastis dan
mengundang kecurigaan.
Dalam konteks yang lain munculnya berbagai kebijakan di atas, menurut
pernyataan dari beberapa kalangan,
dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah Hindia Belanda untuk merealisasikan
kebijakannya, yang kemudian dikenal
dengan sebutan de bewuste rechtspolitiek.27 Dengan mendasarkan pada
ide-ide kaum liberalis yang universalis,
pada saat itu muncullah suatu kehendak
untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi
hukum, tidak saja bagi orang-orang
Eropa yang berada di Hindia Belanda,
akan tetapi bagi semua golongan penduduk yang ada disitu secara parsial dan
berangsur.
Hal ini secara nyata terlihat di
dalam dan apa yang diatur di dalam Pasal
163 Indische Staatsregeling jo Pasal
131 Indische Staarsregeling (I.S.).
Meskipun di dalam Pasal 163 I.S.,
orang- orang yang bertempat tinggal di
Hindia Belanda dibedakan dalam tiga
golongan, yaitu golongan Eropa, Timur
Asing (baik timur asing Tiong Hwa
maupun timur asing bukan Tiong Hwa)
dan Bumi Putera, akan tetapi menurut
Pasal 131 IS., terhadap tiga golongan
tersebut hanyalah diberlakukan dua
sistem hukum, yaitu sub sistem hukum
Eropa bagi golongan Eropa dan Timur
Asing (terutama yang berkaitan dengan
hukum harta kekayaan) dan sub sistem
hukum adat bagi golongan Bumi Putera.
27
Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional : Dinamika Sosial Politik
dalam Perkembangan Hukum Indonesia. Jakarta, Rajawali Pers, 1094, hal. 19.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
13
Di satu sisi, ide yang demikian
memperlihatkan sisi baiknya, karena
kebijakan ini diberlakukan dengan
maksud untuk memberikan kepastian
hak kepada individu-individu anggota
masyarakat dan memperlakukan seluruh
penduduk negeri dengan sikap dan
perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif, yang mendasarkan pada pandangan bahwa semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum. Akan
tetapi di sisi lain, sebagai konsekuensi
maraknya dan gerakan-gerakan yang
menghendaki terbentuknya unifikasi dan
kodifikasi hukum, maka hukum kemudian diidentikkan sebagai hukum negara,
yang berarti tidak ada hukum di luar itu.
Konsekuensi lebih lanjut yang kemudian
muncul adalah, terjadilah usaha-usaha
penyisihan tatanan normatif asli yang
semula mengatur kehidupan manusia,
yang sekaligus juga merupakan pengingkaran terhadap eksistensi dan segala
sesuatu yang berbau lokal dan tradisional.
Hal ini dapat dilihat dari pendapat
Munawir Sjadzali28, yang antara lain
menyatakan, bahwa secara politis
pemberlakuan ketentuan yang terdapat
28
di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling jo Pasal 131 Indische Staatsregeling (l.S.) dapat ditafsirkan sebagai
upaya untuk menghambat dan menghentikan meluasnya hukum Islam dan
membentuk konsep hukum tandingan
yang menurut pandangan mereka lebih
baik, yaitu hukum adat. Kebijakan ini,
lanjut Munawir, merupakan bagian dan
skenario yang lebih besar, yaitu untuk
mencegah kalau rakyat Indonesia yang
sebagian besar memeluk agama Islam
(sesuai dengan jiwa dan ajarannya)
mengusahakan agar masyarakat, agama
dan hukumnya terpadu dengan baik
dalam satu paduan yang serasi yang
justru akan semakin memperkuat perlawanan mereka terhadap pemerintahan
Hindia Belanda. Oleh karena itulah,
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ichtianto, para penasehat pemerintah
Hindia Belanda29 pada waktu itu berusaha menjauhkan segala unsur-unsur
ajaran Islam ke kelslaman dan kehidupan
negara, ketatanegaraan, masyarakat dan
hukum.30
Sedangkan dari sisi ekonomi,
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sunaryati Hartono, politik hukum
Munawir Sjadzali, Op. Cii. hal. 45.
Keadaan ini antara lain didasarkan pada rekomendasi Snouck Hurgronje, yang antara lain
menganjurkan diterapkannya standar ganda bagi umat Islam di Hindia Belanda. Negara di satu sisi dapat
saja mengizinkan dimensi ritual Islam untuk tumbuh dan berkembang, akan tetapi di sisi lain, negara
tidak boleh memberikan ruang dan kesempatan bagi herkembangnya Islam politik. Uraian lebih lanjut
tentang nasihat Snouck Hurgronje ini, baca Harry J Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980. hIm. 44.
30
ldris Ramulyo. Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agarria dan Hukum
Perkawinan is1am Jakarta Ind- Hill, Co, l985, hal. 96.
29
14
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
pemerintah Hindia Belanda sebagaimana
yang diatur di dalam Pasal 163 jo Pasal
131 I.S. tersebut, tidaklah semata-mata
agar hukum yang berlaku bagi masingmasing golongan lebih sesuai dengan latar
belakang kebudayaannya31, akan tetapi
lebih banyak didasarkan pada politik
ekonomi pemerintah Hindia Behanda
yang bertujuan untuk menciptakan
struktur ekonomi, yang di satu pihak
dapat meningkatkan peranan (pengusaha) Belanda di dalam bidang perdagangan internasional, dan di lain pihak
memanfaatkan kesuburan tanah dan
sumber alam lain yang berlimpah, tanpa
terlalu banyak mengubah cara hidup
orang pribumi Indonesia.32 Hal ini hanya
dapat tercapai, bila penduduk di Hindia
Belanda di bagi ke dalam tiga golongan
dengan fungsi dan perannya sendirisendiri, yaitu bangsa Indonesia asli
sebagai golongan produsen (yang wajib
menghasilkan bahan-bahan mentah);
golongan Eropa (dan Jepang) sebagai
penjual, eksportir dan/atau importir, dan
golongan timur asing sebagai pedagang
perantara yang membawa bahan-bahan
mentah dari bangsa Indonesia asli ke
pengusaha-pengusaha Eropa dan
menjual barang- barang yang diimpor
oleh pengusaha Eropa kepada golongan
penduduk Eropa Timur Asing dan
Indonesia.33
Hukum Islam di Indonesia: Sejarah
di “Rumah” Sendiri
Gaung dan pengaruh teori receptie
dalam masyarakat ternyata berjalan
cukup lama dan telah menguasai pikiran
hukum Indonesia. Teori yang menurut
Sajuti Thalib, secara formal lahir melalui
IS 1929 pasal 134 tersebut, ‘telah
tertanam begitu kuat dalam alam pikiran
orang Indonesia. Seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai
suatu hal yang benar dan biasa saja,
bahwa hukum Islam itu bukan hukum di
Indonesia.34 Telah tertanam pada pikiran
31
Alasan ini dalam beberapa persoalan tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya saja orang Jepang yang
secara antropologis Iebih banyak kemiripannya dengan orang Timur Asing, ternyata dimasukkan ke dalam
(dipersamakan dengan) golongan Eropa. Demikian pula orang timur asing yang pada awalnya tunduk pada
hukum adatnya, kemudian kepada mereka justru diberlakukan hukum Eropa (meskipun secara terbatas).
32
Sunarjati Hartono, Loc Cit
33
Sunaryati Hartono. Peranan Ekonomi dalam Pembangunan Hukum Nasional. Artidjo Alkotsar.
Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta Fakultas Hukum - Ull. Yogyakarta, 1997, hal. 250.
34
Pengaruh teori receptie ini berpengaruh bukan saja pada para sarjana yang hidup pada masa-masa
sebelum kemerdekaan dan diberlakukannya Undang.Undang Dasar 1945 yang secara formal menghapus
teori tersebut, tetapi Juga hingga pertengahan dekade 70-an, banyak hakim dalam lingkungan Peradilan
Umum yang diminta menyelesaikan kasus warisan antara orang Islam, diselesaikan menurut Hukum Adat.
Kenyataan ini diindikasikan. misalnya dalam kasus pembagian warisan almarhum Subchan, Z.E. seorang
pemimpin Islam Indonesia terkemulca. Subchan Z.E. meninggal dalam kecelakaan mobil di Makkah alMukarramah 21 Januari 1973. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 96/1973 P ditetapkan
bahwa ahli waris yang berhak mewarisi adalah ayah kandung almarhum. Salinan memori putusan Pengadilon
Negeri Jakarta Pusat tersebut, selengkapnya lihat Sajuti Thalib, Op Cit. hal. 47-52.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
15
orang, bahwa yang berlaku adalah
hukum adat dan hanyalah kalau hukum
Islam telah menjadi hukum adat, barulah
menjadi hukum.35
Keadaan yang demikian ini —
meskipun UUD 1945 telah menghapus
berlakunya Pasal 134 I.S. — meskipun
tidak dapat diartikan sebagai kebijakan
waktu setelah Indonesia merdeka.36
Memang tidaklah dapat dipungkiri,
bahwa sistem pengelolaan hukum yang
modern — yang meliputi tata organisasi,
prosedur-prosedur dan asas-asas
doktrinal pengadaan dan penegakannya
- — telah terlanjur tercipta sepenuhnya
sebagai warisan kolonial yang tidak
mudah dirombak dan diganti begitu saja
dalam waktu yang singkat. Bagaimanapun, seluruh alur perkembangan sistem
hukum di Indonesia telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti
berdasarkan konfigurasi asas-asas yang
telah digariskan sejak lama sebelum
kolonial tumbang.37 Akan tetapi meskipun demikian, tidaklah berarti tidak ada
usaha-usaha yang dilakukan oleh sebagian ahli hukum Indonesia, yang mencoba
membalik keadaan tersebut. Adanya
ketidakpuasan dari mereka, yang menghendaki agar d Indonesia tetap diberlakukan hukum Islam tanpa melalui
hukum adat, yang antara lain dipelopori
35
oleh Hazairin, lalu muncullah pendapat,
bahwa justru seharusnya hukum adat
baru berlaku jika tidak bertentangan
dengan hukum Islam.38
Memang dalam waktu yang sama,
telah mulai muncul kesadaran di dalam
sebagian masyarakat Muslimin, bahwa
kelahiran UUD 1945 seharusnya telah
menggantikan UU Negara jajahan
Hindia Belanda. Mengutip Soepomo,
Thalib menyebutkan bahwa sejak tahun
1945 hingga 1975 masih ada dua kubu
pendapat yang berbeda. Satu pihak
mengatakan bahwa pasal 134 ayat (2)
IS tidak herlaku lagi, tetapi pihak lain
demi kepastian hukum pasal tersebut
terus diberlakukan.39
Kontroversi tersebut dapat dilihat
dalam uraian berikut. Pada saat
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
merumuskan Dasar Negara, para
pemimpin Islam berusaha memulihkan
dan mendudukkan hukum Islam dalam
negara Indonesia yang merdeka. Dalam
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, disepakati
bahwa Negara berdasar Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun
kemudian, atas desakan pihak Kristen - - atau versi lain rnenyebut utusan dan
wilayah negara Indonesia bagian timur
Sajuti Thalib, Op. Cit. Hal. 39.
Ibid, 39.
37
Soetandyo Wignjosoebroto, Op Cit. hal. l87- 188.
38
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukurn. Jakarta Bina Aksara, Jakarta, 1985.
39
Sajuti Thalib, Op. Cit., hal. 56.
36
16
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
— dengan alasan kesatuan dan persatuan, panitia sembilan akhirnya mengeluarkan tujuh kalimat tersebut dan
Pembukaan UUD 1945 dan diganti
dengan kata ‘Yang Maha Esa” yang
menurut Daud Ali, mengandung norma
dan garis hukum.40
Pada tahun 1950 dalam Konferensi Departemen Kehakiman di
Salatiga, Prof. Hazairin telah mengarahkan suatu analisis dan pandangan agar
hukum Islam itu berlaku di Indonesia,
tidak berdasar pada hukum adat.
Berlakunya hukum Islam, menurut
Hazairin, supaya disandarkan pada
penunjukkan peraturan perundangundangan sendiri. Sama seperti hukum
adat selama ini, yang dasar memperlakukan hukum adat itu sendiri ialah
berdasar sokongan peraturan perundang-undangan.41 Karena itu, haruslah
dipersiapkan dan dibuatkan perundangundangan untuk itu.
Pada bagian lain, mengomentari
pasal 29 UIJD 1945 ayat (1) Hazairin
mengemukakan, bahwa bunyi Pasal
tersebut, hanya mungkin ditafsirkan,
diantaranya sebagai berikut
1. Dalam negara Indonesia tidak boleh
terjadi atau berlaku sesuatu yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah
Islam bagi umat Islam, atau yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah
agama Nasrani bagi umat Nasrani,
atau yang bertentangan dengan
kaidah-kaidah agama Hindu-Bali
bagi orang-orang Hindu-Bali, atau
yang bertentangan dengan kesusilaan
agama Budha bagi orang Budha.
2. Negara Republik Indonesia wajib
menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang
Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi
orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan
perantaraan kekuasaan negara.
3. Syariat yang tidak memerlukan
bantuan kekuasaan negara untuk
menjalankannya, dan karena itu
dapat dijalankan sendiri oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan,
menjadi kewajiban pribadi terhadap
Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.42
Beleh jadi karena gigihnya perjuangan Hazairin dalam usaha memberlakukan hukum Islam di Indonesia, maka
oleh Daniel S. Lev ia dianggap tokoh
yang menginginkan pembaharuan di
Indonesia secara spektakuler dan radikal
untuk melaksanakan ijtihad dalam
rangka mengembangkan mazhab Indo-
40
Daud Ali, “Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Tlnjauan Surjaman, op. cit.,
hIm. 74.
41
Sajuti Thalib, Op Cit., hal. 66.
42
Daud Ali, Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya’, dalam Tinjauan Surjaman, Op. cit.,
hIm. 74.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
17
nesia sendiri.43
Pandangan Hazairin tersebut
sesungguhnya sangat realistis, sejalan
dengan bukti-bukti historis yang ada. Di
Aceh misalnya, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan
mengenai harta mereka, termasuk
kewarisan, diatur menurut hukum Islam.
Ketentuan adat dalam upacara perkawinan, sejauh tidak bertentangan dengan
hukum Islam, dapat diterima.
Di Minangkabau, dikenal adagium
atau pepatah-petitih : adat basandi
syara’, syara’ basandi kitabullah (adat
bersendi syarak dan syarak bersendi
kitahullah). Sistem kekerabatan Minangkabau oleh sejarah dicatat menggunakan
sistem patrilineal, yaitu suatu sistem
kekerabatan bahwa dalam penentuan
hubungan kekerabatan dihubungkan dan
garis ibu saja. Namun agaknya sekarang
ini, kata Amir Syarifuddin, telah mulai
berubah. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan orientasi
kekerabatan tersebut. Antara lain,
pertama, pengaruh hukum Islam yang
menempatkan ayah (suami) sebagai
kepala keluarga. Implikasinya, komposisi
keluarga berubah dan bentuk anak-ibumamak dalam extended family yang
menjadi ciri khas kekerabatan matri-
lineal, menjadi keluarga inti (nuclear
family), yang komposisinya anak-ibuayah, sebagai sistem kekeluargaan
parental44
Menurut Amir Suarifuddin perubahan sistem keluarga tersebut sudah
demikian merata terjadi, baik di kampung-kampung, apabila dalam kehidupan kota, meskipun harus diakui masih
bersifat matrilokal. Kedua, sistem
ekonomi masyarakat yang semula
terpusat pada tanah berubah menjadi
eonomi moneter. Demikian halnya
pendidikan modern dan kehidupan
merantau orang Minang telah membuka
cakrawala baru.45
Tidak ada informasi yang jelas,
mengapa masih ada saja orang- orang
Islam yang belum menerima dan menyadari kenyataan sejarah tersebut. Ada
yang secara terang-terangan ingin
mempertahankan teori iblis itu. Pilahkan
hingga menjelang kelahiran UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, mereka juga menentang habis-habisan, meskipun pada
akhirnya harus menerima fakta sejarah
yang menginginkannya sejak lama.46
Meskipun harus diakui bahwa
kendati hukum Islam telah diterima
kembali sebagai sistem yang berlaku
43
Daniel S. Lev, Op. Cit., Hal. 295. Lihat juga Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tinta Mas, hal. 1-3.
44
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, Cet. 2.
1993, hlm. 170.
45
Ibid.
46
Ibid, hal. 170
18
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
sepenuhnya bagi umat Islam dengan
mengeluarkan hukum adat, atau dengan
kata lain hukum adat baru berlaku apabila
tidak bertentangan dengan hukum Islam,
wacana materiilnya terbatas pada
hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Dan sinilah kemudian
dikenal dengan teori receptie exit atau
receptio a contrario.47
M. Daud Ali mencoba menganalisis mengapa hukum Islam terbatas
dalam hukum muamalat saja, atau lebih
sempit lagi hukum keluarga, kewarisan,
dan perwakafan. Ia memilah hukum Islam
di Indonesia menjadi dua. Pertama,
hukum Islam yang berlaku secara formal
yuridis, yaitu hukum Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia
lainnya dan benda lainnya yang disebut
hukum muamalat. Bagian ini menjadi
hukum positif berdasarkan peraturan
perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan, dan wakaf. Kedua,
hukum Islam yang bersifat normatif, yang
mempunyai sanksi. Yang terakhir ini
dapat berubah ibadah murni atau hukum
pidana. Masalah pidana, menurutnya,
belum memerlukan peraturan.48 Karena
ini lebih tergantung pada kesadaran dan
tingkatan iman takwa kaum muslimin
Indonesia sendiri.Pada tahun 1970 keluar
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10
47
48
UU tersebut dijelaskan bahwa dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia
terdapat empat lingkungan peradilan,
yaitu (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan
Agama, (c) Peradilan Tata Usaha negara,
dan (d) Peradilan Militer.
Secara yuridis formal. klausul
tersebut memberikan konsensi bahwa
hukum Islam menjadi dasar hukum
materiil bagi kaum muslimin yang
berurusan di Peradiln Agama Menindaklnjuti amanat UU No. 14 Tahun 1970
tersebut, setelah empat tahun lahir
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Menurut Prof.
Mahadi, sejak berlakunya UU No. I
Tahun 1974 tersebut berarti telah
sampailah ajal teori iblis/receptie
tersebut. Pasal 2 ayat U mernyatakan
hahwa: “Praktis dengan mengacu pada
bunyi pasal tersebut, ketentuan hukum
agama menjadi tolok ukur sah-tidaknya
suatu perkawinan dan segala akibat
hukumnya. Dengan kata lain, hukum
Islam secara langsung berlaku tanpa
harus melalui diresipir oleh hukum adat.
Memang Undang-undang Perkawinan tersebut dalam konteks pelaksanaan hukum perkawinan Islam masih
punya ‘ganjalan. Pasal 63 UU No. 1/
1974 menegaskan bahwa setiap keputusan Pengadilan Agama baru dapat
dieksekusi setelah ada fiat eksekusi
(eksekutoir verklaring) dan Pengadilan
Sajuti Thalib, Op. Cit., hal. 65-69.
M. Daud Ali, dalam Tjun Surjaman, Loc. Cit.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
19
Negeri. Secara teoritis fiat eksekusi
tersebut lebih bersifat administratif, tetapi
dalam pelaksanaannya tidak jarang
terjadi pelampauan kewenanagan dan
Pengadilan Neeri. Sehingga berakibat
menurunkan nilai sebuah keputusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Artinya, eksekusi terhadap putusan
Peradilan Agama tidak dapat dijalankan,
ironis memang.
Mengakhiri uraian ini, adalah
menarik apa yang disimpulkan oleh
Muhammad Daud Ali, bahwa sejak tahun
1974 (1) Secara formal yuridis, Hukum
Islam dapat berlaku langsung tanpa melalui
hukum adat, (2) Hukum Islam sama
kedudukannya dengan hukum adat dan
hukum Barat, dan (3) Republik Indonesia
dapat mengatur suatu masalah sesuai
dengan hukum Islam sepanjang peraturan
itu untuk memenuhi kebutuhan hukum
khusus umat Islam dan berlaku hanya bagi
umat Islam, hal inilah pula yang kemudian
terlihat di dalam Peraturan Pemerintah
No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan
tanah - milik, Undang-undang No. 10
Tahun 1988, yang merubah UndangUndang No 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, Undang-Undang No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa telah te
HUKUM ISLAM DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM
Imam Hardjono
Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102
Telp. (0271) 717417, 719483 (Hunting) Faks. (0271) 715448
ABSTRAK
Hukum Islam di Indonesia telah lama hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat Islam di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama Islam. ini dapat ditelusuri pada masa-masa
awal Islam masuk Indonesia, akan tetapi perkembangannya mengalami pasang surut. Tulisan ini akan menelusuri tentang bagaimanakah sebenarnya kedudukan hukum Islam di dalam sejarah perjalanan tata hukum Indonesia selama ini? Mengapa disebuah negara
yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, keberadaan hukum Islam justru tidak mendapat tempat secara proporsional? Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penyebabnya? Melalui perspektif sejarah hukum, pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian
akan dicoba dijawab melalui tulisan ini.
Berdasarkan paparan di atas dapatlah diketahui, bahwa pemberlakuan hukum Islam di Indonesia selama in acapkali tidaklah sematamata didasarkan pada apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat
dan sebagai suatu bentuk pencerminan dan apa yang sebenarnva
dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat, akan tetapi lebih
banyak memperlihatkan wujudnya sebagai suatu hasil konstruksi
sosial yang diciptakan oleh sebagian orang, dengan maksud untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Upaya-upaya “penyisihan’
terhadap eksistensi hukum Islam dalam tata hukum Hindia Belanda
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
1
dan Indonesia, tidaklah semata-mata didasarkan pada pertimbangan
baik buruknya sistem hukum itu bila digunakan untuk mengatur
kehidupan rakyat, akan tetapi lebih banyak memperlihatkan sisisisi politis dan pertimbangan-pertimbangan ekonomisnya.
Kata Kunci: Hukum Islam, Sejarah Hukum
Pendahuluan
Pengakuan dan pemberlakuan
hukum Islam dalam sejarah perjalanan
tata hukum Indonesia memperlihatkan
alur sejarahnya sendiri. Baik pada era
pemerintahan Hindia Belanda maupun
setelah Indonesia merdeka, ada masamasa dimana muncul suatu pandangan
dan pengakuan --yang kemudian terwujud dalam berbagai kebijakan-- terhadap kedudukan hukum Islam sebagai
hukum yang berdiri di atas kekuatan
1
sendiri dan merupakan hukum yang
benar-benar hidup dalam masyarakat
Indonesia1. Akan tetapi ada juga masa
dimana justru hukum Islam hanya
dipandang sebagai bagian dari (terpersepsi ke dalam) hukum lain dan oleh
karenanya hukum Islam hanya mempunyai kekuatan berlaku jika hukum lain
tersebut memang menghendaki, yang
kemudian mencapai puncaknya pada
masa, dimana hukum Islam dikeluarkan
keberadaannya dari tata hukum yang ada2.
Hal ini didasarkan pada pendapat Carel Frederick Winter, Salomon Keyzer serta Lodewijk Williem
Christian, yang kemudian dikenal dengan teori-tori receptie in complexu. Untuk uraian sistem hukum di
Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda, beserta politik hukumnya, lihat lebih lanjut : Soepomo
(I). Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Cet. ketigabelas. Jakarta Pradnya Paramita.
1988. Soepomo (II). 1982. Sejarah Politik Hukum Adat Jilid I (Dan Zaman Kompeni Sehingga Tahun
1848). Cet. Kedua. Jakarta : Pradnya Paramita. 1982 Soepomo (III). 1982. Sejarah Politik Hukum Adat :
Jilid I (Masa 1848 - 1928). Cet. Kedua. Jakarta Pradnya Paramita. Setelah Indonesia merdeka, muncul
kembali pendapat yang relarif sama (sebagai sebuah wujud penentangan terhadap teori receptio), yang
didasarkan pada pandangan beberapa ahli hukum Indonesia yaitu Sajuti Thalib, dengan teori receptio a
contrario. Pandangan ini, diperkuat oleh pendapat Hazairin, dengan teori resepsi exit.nya.
2
Keadaan ini didasarkan pada penentangan Cornells van Vollenhoven beserta pengikutnya terhadap
isi pasal-pasal yang termuat di dalam RR tahun 1885, serta pandangan Christiaan Snouck Hurgronje,
yang kemudian mengemukakan teorinya yang terkenal yaitu teori receptie Pandangan inilah, yang
kemudian menjadi dasar dan dikeluarkannya berbagai peraturan yang bermaksud mencahut (mengeluarkan)
hukum Islam dan lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Untuk uraian tersehut, lihat lebih lanjut Sajuti
Thalib, Receptio A Contrario : Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Bina Aksara, Jakarta,
1985, hal. 4-8; Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris. Alumni, Bandung.
1993, hal. 14-15 dan .23; S A. Ichtianco, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indoesia
dalam Tjun Surjaman (Ed.). Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya. Cetk.
kedua, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994. hal. 101.102.
2
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
Munculnya kebijakan-kebijakan
yang demikian, tidaklah semata-mata
didasarkan pada apa yang sesungguhnya
terjadi di masyarakat dan sebagai suatu
hentuk pencerminan dan apa yang
sebenarnya dikehendaki oleh sebagian
besar masyarakat, akan tetapi lebih
banyak memperlihatkan wujudnya
sebagai suatu hasil konstruksi sosial yang
diciptakan oleh sebagian orang, dengan
maksud untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Upaya-upaya ‘penyisihan’
terhadap eksistensi hukum Islam dalam
tata hukum Hindia Belanda dan Indonesia, tidaklah semata-mata didasarkan
pada pertimbangan baik buruknya sistem
hukum itu bila digunakan untuk mengatur
kehidupan rakyat, akan tetapi lebih
banyak memperlihatkan sisi-sisi politis3
dan pertimbangan pertimbangan ekonomisnya4.
Kebijakan-kebijakan yang demikian sepertinya terus berlanjut setelah
Indonesia merdeka. Baik pada masa
pemerintahan Presiden Sukarno maupun
presiden Suharto, sebagai akibat dan
rasa saling curiga yang terjadi antara Islam
dan negara5, berbagai aspek yang
berkaitan dengan Islam dan keislaman —
- kecuali dimensi-dimensi ritualnya —
selalu berusaha dilemahkan dan dijinakkan, serta tidak pernah diberikan
kesempatan untuk eksis, tumbuh dan
berkembang6. Dalam konteks makro
seperti itulah, kemudian dapat dipahami,
bahwa meskipun pada masa pemerintahan Indonesia hukum Islam telah diakui
kedudukan hukum Islam sebagai hukum
yang berdiri di atas kekuatan sendiri,
akan tetapi, sepertinya belumlah mendapatkan tempatnya secara wajar dalam
tata hukum Indonesia, karena hukum
Islam “hanya” berkompeten di lingkungan
yang dipandang tidak netral, yaitu
masalah-masalah yang berada di lingkup
hukum keluarga dan waris, dengan
berbagai variasi penyempitan/pembatasan dan perluasan kewenangan.7
3
Mengenai sisi-sisi poIitis ini, lihat lebih laniut Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik
Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia. dalam Tjun Surjaman (Ed.).
Hukum Islam di Indonesia. Pemikiran dan Praktek. Cet. Kedua. Bandung Remaja Rosdakarya, Bandung,
1994.
4
Mengenai aspek-aspek ekonomi lihat, Sunaryati Hartono. Hukum Ekonomi Pembangunan
Indonesia. Bandung, Binacipta, 1908.
5
Pada satu sisi pemegang kekuasaan di Indonesia yang mendasarkan kekuasaan pada kerangka
landasan negara yang
nasonalis, melihat Islam (terutama partai.partal politik yang berlandaskan Islam) sehagai pesaing
kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis). Sedangkan pada
sisi lain, kalangan Islam (terutama para aktivis politik Islam, memandang negara selalu berusaha melakukan
manuver untuk menyingkirkan umat Islam dan pada saat yang bersamaan mendukung gagasan mengenal
sebuah masyarakat yang sekuler.
6
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Jakarta, Penerbit Paramadina dan Yayasan lbn Sina, 1998, hal. 3.
7
Munawir Sjadzali, Op. Cit. hal. 42.48.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
3
Bagaimanakah sebenarnya kedudukan hukum Islam di dalam sejarah
perjalanan tata hukum Indonesia selama
ini? Mengapa disebuah negara yang
sebagian besar penduduknya beragama
Islam, keberadaan hukum Islam justru
tidak mendapat tempat secara proporsional? Faktor-faktor apa sajakah yang
menjadi penyebabnya? Melalui perspektif sejarah hukum, pertanyaanpertanyaan itulah yang kemudian akan
dicoba dijawab melalui makalah ini.
Hukum Islam di Indonesia: Sebuah
Awal Sejarah
Hukum Islam di Indonesia telah
lama hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat Islam di Indonesia, seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan
agama Islam. Ini dapat ditelusuri pada
masa-masa awal Islam masuk Indonesia.
Sebelum Islam masuk, dalam
masyarakat membudaya kepercayaan
animisme dan dinamisme. Hanya saja
kemudian seiring dengan masuknya dan
munculnya berbagai agama di Indonesia,
maka lahirlah kerajaan-kerajaan, yang
masing-masing dibangun atas dasar
agama yang dianut mereka, seperti
kerajaan yang berdasarkan agama Hindu,
Budha, dan disusul kerajaan-kerajaan
Islam yang didukung para wali pembawa
dan penyiar agama Islam, seperti
berdirinya kerajaan Demak dan pesisir
8
utara Jawa Tengah.
Dengan demikian di dalam
wilayah-wilayah kerajaan yang mendasarkan pada ajaran agama Islam,
praktis sejak saat itu, Islam tidak hanya
sekedar berfungsi sebagai keyakinan,
tetapi juga sebagai panduan amaliah
praktis. Hal mi antara lain terlihat dan
kedudukan Raja yang mempunyai tiga
fungsi utama, yaitu sebagai: (1) Kepala
Pemerintah umum; (2) Kepala Pertahanan dan keamanan, dan (3) Penata
bidang agama8. OIeh karena itu, gelargelar raja pada saat itu pun mengambil
dan nama-nama Islam, seperti ; Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun, Senapati Hing Ngalogo, yaitu Panglima
tertinggi angkatan perang, dan Sayidin
Panatagama Khalifatullah, yaitu khalifah
Allah pengatur bidang agama. Simbolisasi
dan ketiga fungsi tersebut pun kemudian
terefleksi di dalam tata ruang wilayah,
yang tercermin dan adanya alun-alun,
kraton (sekarang kabupaten), dan masjid
dalam kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Pengaruh yang demikian kemudian
terlihat pula di dalam keseluruhan struktur
pemerintahan yang terbentuk. Adanya
jabatan Kanjeng Penghulu, Penghulu
Tuanku Mufti, Tuanku Kadi, di samping para raja dan bupati, sampai jabatan
Lebai, Modin, Kaum, dan sebagainya
di samping Lurah, Kepala Nagari/
Kampung, membuktikan hal tersebut9.
A. Qodry Azizy, “Peradilan Islam Batasan UIasan dan Sejarahnya di Indonesia”. Diktat, Semarang
Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 1982, hIm. 30.
9
Dadang Soedarna. Sejarah Peradilan Islam, Pekalongan Fakultas Syari’ah lAIN Walisongo,
1986. hlm. 33.
4
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
Penerimaan dan pelaksanaan
Hukum Islam di Indonesia, memang
terlihat jelas pada masa kerajaankerajaan Islam awal. Pada zaman
Kesultanan Islam, Hukum Islam sudah
diberlakukan secara resmi sebagai
hukum negara. Di Aceh, atau pada masa
pemerintahan Sultan Agung, misalnya,
Hukum Islam telah diberlakukan walaupun masih tampak sederhana10. Daniel
S. Lev menyebutkan sebagai corak
keberagaman mereka bersifat sinkretis,
atau meminjam istilah yang digunakan
M.C. Ricklefs, mereka sebagai Muslim,
Budhis, dan Hindu, seperti dalam kutipan
berikut:
“Tetapi orang dapat berpendapat
bahwa pengadopsian suatu agama baru
bukanlah hal yang luar biasa bagi elit
Jawa, yang sudah lama mengadopsi
berbagai cara pemujaan Hindu dan
Budhis yang rupanya tanpa rasa konffik.
Sungguh, penulis ini tidak begitu heran
ketika ia menemukan bahwa ada orangorang elite abad ke- 14 yang menganggap
diri mereka muslim, Budhis, dan Hindu
sekaligus’.11
Dalam konteks yang demikian,
hukum adat setempat — sebagai sistem
hukum lain yang juga hidup dan berkembang dalam masyarakat lokal —
dalam kenyataannya sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam.
Misalnya, di Banten pada masa kekuasaan Sultan Agung Tirtayasa, hukum adat
dan hukum agama tidak ada bedanya.
Di Sulawesi, di Wajo, hukum waris
menyesuaikan diri dengan hukum Islam.
Kenyataan ini dapat didukung oleh buktibukti historis berikut ini
1. Di daerah Bone dan Goa Sulawesi
Selatan, dipergunakan Kitab Muharrar dan Pepakem Cirebon serta
peraturan lain yang dibuat oleh B.J.D.
Clootwijk. Jadi, ketika VOC (
Verenigde Qost Indische Companie) berkuasa selama dua abad
(1602-1800 M), kedudukan hukum
islam tetap seperti semula,berlaku
dan berkembang di kalangan kaum
Muslimin Indonesia. Kenyataan ini,
menurut satu sumber, adalah karena
jasa Nuruddin al-Rinary (w. 1077 H/
1666 M) di Aceh, yang menulis buku
Sirat al-Mustaqim (jalan lurus)
pada tahun 1628 M. Kitab ini
merupakan kitab pertama yang
disebarkan ke seluruh wilayah
Indonesia untuk menjadi pegangan
umat Islam dalam menyelesaikan
persoalan hukum mereka. Kitab
tersebut, oleh Mufti Baujarmasin,
Syeikh Arsyad al Banjary (11221189 H/1716-1812 M) yang pernah
menuntut ilmu di Timur Tengah,
dikomentari dalam kitab yang diberi
10
A. Qodry Azizy, Op. Cit. hIm. 31.
MC. Ricklefs, ‘Islamisasi di Jawa Abad ke-14 hingga ke-l&’, dalam Tika Noorjaya dan Endang
Basri Ananda, Islamdi Asia Tenggara Perspektif Sejarah, Jakarta, LPEES, hlm. 76.
11
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
5
judul Sabil al- Muhtadin (jalan
orangorang yang mendapat petunjuk), yang kemudian dijadikan
pegangan dalam menyelesaikan
sengketa antara umat Islam di daerah
Kesultanan Banjar. Di daerah Kesultanan Palembang dan Banten juga
diterbitkan beberapa kitab hukum
Islam yang dijadikan pegangan dalam
masalah hukum keluarga dan warisan, yang kemudian diikuti kerajaan-kerajaan Demak, Jepara,
Tuban, Gresik, dan Ngampel.
2. Dalam Statuta Batavia 1642 M
disebutkan bahwa “Sengketa warisan antara orang pribumi yang
beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan
hukum Islam, yakni hukum yang
dipakai oleh rakyat sehari-hari”.
Menindaklanjuti klausul tersebut,
D.W. Freijer menyusun Compendium (buku ringkasan) rnengenai
hukum perkawinan dan kewarisan
Islam, setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, diberlakukan di daerah jajahan VOC,
yang kelak dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Tanggal 25 Mei 1760 M, VOC
mengeluarkan peraturan senada
yang disebut dengan resolutie der
Indische Regeering untuk diberlakukan.
12
13
6
4. Solomon Keyzer (1823-1868 M)
dan Cristian van den Berg (18451927 M) membiarkan hukum Islam
berlaku bagi masyarakat Islam.
Mereka menyatakan bahwa hukum
mengikuti agama yang dianut seseorang.12 Pandangan pada masa yang
pertama yang kemudian melahirkan
teori receptio in complexu, pada
intinya menyatakan, bahwa adat
istiadat dan hukum (adat) suatu
golongan hukum masyarakat adalah
receptio seluruhnya dan agama yang
dianut oleh golongan masyarakat itu.
Hukum adat suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulatbulat dan hukum agama yang dianut
oleh golongan masyarakat itu.13
Untuk kepentingan ini, pemerintah
Belanda mengeluarkan berbagai
kebijakan, sebagaimana dijelaskan
Munawir Sjadzali:
1. Bulan September 1808, ada
suatu instruksi dari pemerintah
Hindia Belanda kepada para
bupati yang berbunyi ; “Terhadap urnsan-urusan agama
orang-orang Jawa tidak akan
dilakukan gangguan-gangguan, sedangkan pemukapemuka agama mereka dibiarkan untuk memutus perkaraperkara tertentu dalam bi-
Munawir Sjadzali, dalam Tjun Surjaman (Ed.). Op. Cit, hal. 43-44.
Imam Sudiyat, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1985, hal. 3.
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
dang perkawinan dan kewarisan dengan syarat tidak ada
penyalahgunaan, dan banding
dapat dimintakan kepada
hakim banding”.
2. Tahun 1820 melalui Staatblad
No. 22 pasal 13 ditentukan
bahwa: “bupati wajib emperhatikan soal-soal agama Islam
dan untuk menjaga agar para
pemuka agama dapat melakukan tugas rnereka sesuai
dengan adat kebiasaan orang
Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka,
dan yang sejenis”. Dan istilah
bupati, dalam ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa peradilan agama telah
ada di seluruh pulau Jawa.
3. Tahun 1823 dengan resolusi
Gubernur Jendral tanggal 3 Juni
1923 No. 12 diresmikan Pengadilan Agama di kota Palembang
yang diketahui oleh Pangeran
Penghulu. Sedangkan untuk
kasus-kasus banding dapat
dimintakan kepada Sultan. Wewenang Pengadilan Agama
Palembang meliputi: (a) perkawinan, (b) perceraian, (c) pembagian harta, (d) kepada siapa
diserahkan anak apabila orang
tua bercerai, (e) apa hak masingmasing orang tua terhadap anak
14
tersebut, (f) pusaka dan wasiat, (g)
perwalian, dan (h) perkara-perkara lain yang menyangkut agama.
4. Tahun 1835, melalui resolusi
tanggal 7 Desember 1835, StbI.
1835 No. 58 pemerintah mengeluarkan penjelasan tentang pasal
13 StbI. 1820 No.20 yang isinya
sebagai berikut: “Apabila
terjadi sengketa orang-orang
Jawa satu sama lain mengenai
soal-soal perkawinan, pembagian harta, dan sengketasengkera sejenis, yang harus
diputus menurut hukum Islam,
para pemuka agama memberi
keputusan, tetapi gugatan
untuk mendapat pembayaran
yang timbul dari keputusan
para pemuka agama itu harus
diajukan kepada pengadilan
pengadilan biasa.”
5. Klimaksnya, melalui Stbl. 1882
No. 152 karena pemerintah Belanda tidak mampu menerapkan
Undang-Undang agama bagi kaum
bumi putra, dibentuklah Pengadilan
Agama dengan nama yang salah,
Priesterraad (Peradilan Pendeta)
di setiap wilayah Landraad atau
Pengadilan Negeri. Wewenangnya meliputi perkara-perkara yang
terjadi antara orang-orang Islam
dan diseleasikan menurut hukum
Islam.14
Munawir SjadzaIi, dalam Tjun Surjaman (Ed.). Op. Cit., haL 43
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
7
Lebih lanjut, di dalam politik
hukum pemerintah kolonial pada waktu
itu pengaruh dan pandangan receptio in
complexu tersebut di atas, tertuang di
dalam Reglement op het beleid der
regeering van Nederlandsch Indie
(yang seringkali disingkat dengan Regeringsreglement / RR), yang dimuat
dalam staatblad 1854: 129, yang kemudian dirubah dengan Staatblad 1855 2,
khususnya pada Pasal 1715, 78 dan 109.
Pasal 75 ayat (3) yang menyatakan: “ ... maka hakim bumi putera harus
memperlakukan undang-undang (peraturan) agama (godsdientige wetten),
instelling dan kebiasaan (adat) penduduk asli, sejauh tidak bertentangan
dengan asas-asas kepatutan dan keadilan
yang diakui umum”. Sedangkan Pasal 75
ayat (4) yang menyatakan : “Dengan
undang-undang (peraturan) agama,
instelling dan kebiasaan (adat) itu
pulalah, hendaknya hakim Eropa (raad
van justite) memutus perkara kepalakepala penduduk asli yang tidak tunduk
kepada pengadilan tingkat dini dan juga
perkara yang diajukan bandingnya atas
putusan hakim bumi putera mengenai
perkara perdata dan dagang’. Bahkan
di dalam Pasal 78 ayat (2) RR Staatblad
1855 : 2, ditegaskan lebih lanjut, bahwa
“Kalau terjadi perselisihan perdata
antara sesama penduduk inlander atau
penduduk yang dipersamakan dengan
15
mereka, diputuskan oleh kepala agama
atau kepala adat mereka, menurut
undang-undang agamanya atau adat
aslinya’.
Sedangkan Pasal 109 RR Staatbland 1855 : 2, mengatakan, bahwa
“ketentuan termaksud dalam pasal 75
dan 78 itu berlaku pula bagi mereka yang
dipersamakan dengan inlander yaitu
orang arab, orang Moor, orang Cina dan
semua mereka yang beragama Islam dan
orang- orang yang tidak beragama”.
Dan beberapa isi pasal di atas,
maka dapatlah diketahui. Bahwa pemerintah Belanda dan pemerintah Hindia
Belanda pada saat itu dengan peraturan
perundang-undangan yang tertulis dan
tegas telah mengakui bahwa godsdientige wetten (undang-undang Islam/
hukum Islam/peraturan-peraturan keagamaan) berlaku bagi orang Indonesia
yang beragama Islam.
Hukum Islam di Indonesia: Sejarah
di Bawah Jajahan Kolonialisme
Masuknya pemerintah kolonial
Belanda ke Indonesia, membawa perubahan-perubahan dalam pelaksanaan
hukum Islam, meskipun secara formal
hukum Islam tetap diberlakukan. Hal ini
didasari oleh adanya kecurigaan dan
sebagian pejabat Belanda pada awal
abad ke-19, meskipun mereka relatif
berhati-hati membuat penyataan. Menu-
Pasal ini berasal dari pasal 11 ALgmene Bepalingen vim Wecgeving, yang berbunyi, ‘bahwa oleh
hakim (jika tidak begitu tentunya), harus diberlakukan hukum agama, paranata-paranata rakyat dan
kebiasaan-kebiasaan dari yang bersangkutan”
8
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
rut Daniel S. Lev, ketegangan ini adalah
bagian “politisasi” kekuatan Islam
menghadapi penguasa-penguasa PanIslam. Selanjutnya ia menggambarkan
sebagai berikut
“Sejak mula-mula Islam melebarkan sayapnya di Indonesia, telah timbul
ketegangan-ketegangan, kadang-kadang tampak samar-samar dan tertahan,
dan terkadang pula nyata dan kasar, yaitu
antara tuntutan ke arah kekuasaan yang
terang-terangan Islam, dengan kekuasaan yang kenyataan kedalam bersifat
non-Islam, maupun yang bersifat sinkretis keagamaan.”16
Kompensasi dan wujud kecurigaan tersebut, pemerintah kolonial
mengintrodusir istilah het indische
adatrecht atau hukum adat Indonesia.
Gagasan ini disponsori oleh Cornelis van
Vallenhoven (1874-1933). Kemudian
dikembangkan oleh seorang penasihat
pemerintah Hindia Belanda tentang soalsoal Islam dan anak negeri jajahan,
Cristian Snouck Hurgronje (1857.
1936)17.
Dalam gagasan mereka, intinya
bahwa hukum yang berlaku bagi orang
Islam adalah hukum adat mereka masingmasing. Hukum Islam dapat berlaku
apabila telah dipersepsi atau diterima oleh
hukum adat. Jadi, hukum adalah yang
menentukan ada tidaknya hukum
IsIam18. Dan sinilah kemudian lahir teori
Receptie yang pada intinya menyatakan,
“tidak semua bagian dari hukum agama
diterima dalam hukum adat; hanyalah
beberapa bagian tertentu saja dari hukum
adat, yakni terutama bagian dari hidup
manusia yang sifatnya sangat pribadi
yang berhubungan erat dengan kepercayaan dan hidup batin, misalnya
hukum kekeluargaan, hukum perkawinan
dan hukum waris.19
Sebelum Snouck Hurgronje ditunjuk sebagai penasihat, pada tahun 1859
sesungguhnya telah dimulai upaya-upaya
campur tangan pemerintah kolonial
terhadap urusan-urusan keagamaan.
Gubernur Jendral, misalnya, menurut H.
Aqib Suminto20, dibenarkan mencampuri
masalah agama dan bahkan harus
mengawasi setiap gerak-gerik para
ulama, jika dipandang perlu demi
kepentingan ketertiban keamanan. Bagi
Snouck Hurgronje, sudah saatnya
pemerintah Belanda memerlukan
inlandsch politiek, suatu kebijaksanaan
mengenai pribumi untuk memahami dan
menguasai pribumi.
Snouck Hurgronje menyatakan,
Islam di Indonesia terbagi kepada “Islam
16
Daniel S. Lev, Peradilan agarna Islam di Indonesia, Diterjemahkan oleh H. Zaini Ahmad Noeh,
Jakarta: intermasa, 1990, hlm. .23.
17
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo, 1995, hal. 1517.
18
Munawir Sjadzali, dalam Tjun Surjaman (Ed,). Op. Cit.. hal. 45.
19
Imam Sudiyat, Loc Cit.
20
R. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, jakarta: LP3ES, 1986, Cet. 2. hlm. 10.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
9
sehagai agama” dan “Islam sebagai
doktrin politik”21, baik dalam bentuk
agitasi kaum fanatik setempat maupun
dalam bentuk Nonn-Islam. Terhadap
yang pertama, ia menawarkan suatu
sikap “toleransi” yang dijabarkan dalam
sikap netral terhadap kehidupan keagamaan. Sebaliknya, apabila kelihatannya
mengandung ‘sifat-sifat politik” harus
dibereskan dengan kekerasan. Setiap
campur tangan dalam masalah yang
berhubungan dengan Islam dan luar negeri
harus dipangkas di pangkal-nya.22
Didukung penampilan Snouck
Hurgronje sebagai Habib kulit putih’
(mufti Batavia?) dengan jubah dan
bersorban hijau, ia gampang memperdayai dan membuat masyarakat
terkagum-kagum tanpa menaruh curiga
atas ‘rencana iblisnya’. Sikap netralnya
terhadap kegiatan keagamaan bukan saja
berhasil meyakinkan mayoritas pejabatpejabat agama, tetapi kebanyakan kalau
bukan semua — kyai dan ulama, tidak
perlu takut dengan pemerintah kolonial,
sejauh mereka tidak melakukan kegiatan
propaganda politik. Dengan demikian,
bagi Hurgronje, betapapun besarnya
kekuasaan yang dijalankan oleh hakimhakim Islam atau guru-guru agama yang
independen, maka dalam masalah
duniawi dan politik orang Indonesia tetap
takluk di bawah bimbingan adatnya.
Dengan gagasannya ini, ia telah menolak
teori pendahulunya van de Berg, bahwa
hukum Islam telah diterima penuh oleh
masyarakat. Dengan teori Receptie ini
pula, menurut Harry J. Benda, Hurgronje
dikenal sebagai arsitek keberhasilan
politik Islam yang paling legendaris.
Muatan pokok teori receptie ini
adalah prinsip divide et impera yang
bertujuan untuk menghambat dan
menghentikan meluasnya hukum Islam
dan membentuk konsep hukum tandingan
yang mendukung politik pecah belah
pemerintah kolonial. Di Aceh, Hurgronje
telah berhasil mengkonfrontasikan antara
ulama dan uleebalang. Musuh kolonialisme, menurutnya, bukan Islam
sebagai agama, melainkan Islam sebagai
doktrin politik. Ia melihat kenyataan
bahwa Islam seringkali menimbulkan
bahaya terhadap kekuasaan Belanda.
Seperti kata Daniel S. Lev, “meskipun
ia tahu bahwa orang Islam di negeri
ini memandang agamanya sebagai
alat pengikat kuat yang membedakan
diri dari orang lain’.
Langkah-langkah politik Hurgron-
21
Ibid, hlm. 11. Lihat juga Harry J.Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya.
1980, hlm. 44.
22
Langkah yang ditempuh misalnya, dibatasinya jumlah jamaah haji Indonesia. Hal ini karena oleh
Hurgronje, haji dinilai tidak semata-mata sebagai ibadah, tetapi memiliki jaringan politik yang dapat
mengancam kepentingan pemerintah kolonial. Karena pada umumnya, waktu itu jamaah haji Indonesia
setelah menunaikan ibadah haji, banyak yang bermukim di sana. Lihat Harry J. Benda, Ibid. Bandingkan
dengan G.F. Pijper. “Politik Islam Pemerintah Belanda”, H. Baudet dan l.J. Brugmans (ed), Politik Etis
dan Revolusi Kemerdekaan, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 1987, hIm. 250.
10
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
je disampaikan di depan civitas akademika NIBA (Nederlandsche Indische
Bestuurs Academie) DeIft tahun 1911.
Pertama, terhadap dogma dan perintah
hukum yang murni agama, hendaknya
pemerintah bersikap netral. Kedua,
masalah perkawinan dan pembagian
warisan dalam Islam menuntut penghormatan, dan Ketiga, tiada satu pun
bentuk Pan-Islam boleh diterima oleh
kekuasaan Eropa23. Agaknya penglihatan Hurgronje terhadap perkawinan
dan kewarisan hanya dilihat sebagai
hubungan keperdataan biasa, terlepas
dan aspek ibadah. Padahal bagi orang
Islam sendiri, kedua rnasalah tersebut
memiliki muatan transenden yang tidak
lain memiliki unsur ibadah.
Melalui usaha-usaha terusmenerus dan sistematis, Hurgronje
berhasil mengganti teori receptie in
compulex menjadi teori receptie.
Pengaruh dan kritik-kritik yang
diajukan oleh C. van Vollenhoven dan
C. Snouck Hurgronje tersebut
tampaknya cukup berhasil. Hal ini
terbukti dengan adanva peruhahan dalam
politik hukum pemerintah kolonial, yang
berjalan secara sistematis, dengan halus
dan berangsur-angsur. Perubahan yang
pertama terlihat dengan diundangkannya
Staatblad 1907 204, yang mengubah
bunyi Pasal 75 RR lama, terutarna katakata “undang-undang (peraturan) agama’
sengaja dihilangkan/diperlunak, diganti
menjadi kata-kata bersayap, yaitu “ ...
diikuti peraturan yang berkenaan dengan
agama dan kebiasaan mereka”24.
Usaha-usaha untuk melemahkan
berlakunya hukum Islam, masih terus
dilanjutkan, karena tidak kuatnya reaksi
yang menentang dalam masyarakat
lndonesia.25
Hasil ini terlihat dengan dirubahnya
sebagian kata-kata di dalam Pasal 1
Staatblad 1907 204, yaitu “diikuti
peraturan-peraturan yang berkenaan
dengan agama dan kebiasaan mereka’,
menjadi: ‘memperhatikan peraturanperaturan yang berkenaan dengan agama
dan kebiasaan mereka” sebagaimana
yang termuat di dalam Staatblad 1919 :
621.
Puncak dan peruhahan-peruhahan
terhadap Pasal 75 RR tersebut, terjadi
melalni Staatblad 1925 : 415, 416 dan
447, yang mengubah Pasal 75 RR
menjadi Pasal 131 Indische Staatsregeling’ (I.S.) dan Staatblad 1929 :
221, yang rnenguhah Pasal 78 RR
23
H. Aqib Suminto, (4) op. cit hIm. 13.
Secara lengkap peruhahari terhadap pasal 75 ayat C) RR 1855 tersebut, sehagaimana tertuang di
dalam pass! I RR .1970 adalah sebagai berikut “mengenai penduduk asli, timur asing dan penduduk lain
asal dari kedua golongan pokok tersebut, dperlakukan ketentuan untuk golongan Eropa, sejauh dikehendaki
oleh kepentingan masyarakatnya, sedangkan untuk hal-hal yang lain diikuti peraturan yang berkenaan
dengan agama dan kebiasaam mereka’.
25
Sajuti Thalib, Op Cit. hal, 18.
24
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
11
menjadi Pasal 134 i.s.26 Pasal 134 I.S.26
yang menjadi sumber formal dan teoni
receptie inilah yang mencabut (mengeluarkan) hukum islam dan lingkungan tata
hukum Hindia Belanda.
Pasal 134 ayat (2) Indische
Staatsregeling (IS) yang sama bunyinya
dengan artikel pasal 78 R.R. 1855 R.R.
1907 dan R.R. 191, menetapkan
“Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila keadaan tersebut telah
diterima oleh hukum Adat mereka
dan sejauh tidak ditentukan lain oleh
ordonansi”.
Dalam teori receptie, yang ada
adalah hukum adat sementara hukum
Islam dianggap tidak ada. Hukum Islam
dianggap eksis, berarti, dan bermanfaat
bagi kepentingan pemeluknya, apabila
hukum Islam tersebut telah dipersepsi
oleh hukum adat.
Menindaklanjuti pasal 134 ayat
(2) IS tersebut, pada tahun 1929 pasal
134 ayat (2) diubah menjadi:
“Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila hukum adat mereka
menghendaki, dan sejauh tidak
26
ditentukan lain dengan sesuatu
ordonansi’.
Dalam Stb1. 1937 No. 116 dinyatakan
bahwa
“Pengadilan Agama di Jawa dan
Madura hanya berwenang memeriksa perkara perkawinan saja,
sedangkan perkara waris yang
selama berabad-abad menjadi kewenangannya diserahkan kepada
Pengadilan Negeri”.
Gerakan awal ini setidaknya
didasari oleh anggapan bahwa pusat
kekuatan Islam sebagai kekuatan politik,
adalah di Jawa dan Madura. Karena itu,
jika Peradilan Agama di Jawa dan
Madura telah berhasil dipaksa dengan
dikebiri’ sebagian wewenangnya, maka
untuk wilayah luar Jawa dan Madura
akan lebih mudah dilaksanakan.
Setelah Jawa dan Madura berhasil
“dijinakkan, pada tahun yang sama,
melalui Stb1. 1937 No. 638 dan 639
yang formalnya membentuk Kerapatan
Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
wilayah Kalimantan Selatan, kewenangannya dibatasi sebagaimana peradilan agama di Jawa dan Madura.
Apabila dirinci, kewenangan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura serta
Kalimantan Selatan berdasarkan Stbl.
Bunyi pasal 134 ayat (23 Staatblad 1929 : 221, adalah sebagai berikut ‘dalam hal terjadi perkara
perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila hukum adat
mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan ordonansi”.
12
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
1937 No. 116 adalah:
1. Perselisihan antara suami istri yang
beragama Islam.
2. Perkara-perkara tentang (a) nikah,
(b) talak, (c) cerai rujuk, (d) perceraian antara orang-orang yang
beragama Islam yang memerlukan
hakim agama Islam.
3. Memberi keputusan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk
jatuhnya talak yang digantungkan
(taklik talak) sudah ada.
5. Perkara mahar
6. Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh
suami,
Masalah-masalah yang berkaitan
dengan masalah kebendaan seperti
masalah wakaf, waris, wasiat, hibah,
hadanah, sedekah, baitul mal, menjadi
wewenang Peradilan Umum, sementara
untuk wilayah di luar Jawa-Madura dan
Kalimantan Selatan, tetap berlaku hukum
Islam tanpa ada pembatasan.
Di sisi lain, pada tahun 1937 juga
dalam Stbl. No. 610 dibentuk Hof voor
Islamietische Zaken (Mahkamah Islam
Tinggi), sebagai pengadilan tingkat
banding untuk pengadilan tinggi. Boleh
jadi, ini ditempuh sebagai langkah
persuasi — untuk tidak mengatakan hatihati — - agar tidak terlalu drastis dan
mengundang kecurigaan.
Dalam konteks yang lain munculnya berbagai kebijakan di atas, menurut
pernyataan dari beberapa kalangan,
dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah Hindia Belanda untuk merealisasikan
kebijakannya, yang kemudian dikenal
dengan sebutan de bewuste rechtspolitiek.27 Dengan mendasarkan pada
ide-ide kaum liberalis yang universalis,
pada saat itu muncullah suatu kehendak
untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi
hukum, tidak saja bagi orang-orang
Eropa yang berada di Hindia Belanda,
akan tetapi bagi semua golongan penduduk yang ada disitu secara parsial dan
berangsur.
Hal ini secara nyata terlihat di
dalam dan apa yang diatur di dalam Pasal
163 Indische Staatsregeling jo Pasal
131 Indische Staarsregeling (I.S.).
Meskipun di dalam Pasal 163 I.S.,
orang- orang yang bertempat tinggal di
Hindia Belanda dibedakan dalam tiga
golongan, yaitu golongan Eropa, Timur
Asing (baik timur asing Tiong Hwa
maupun timur asing bukan Tiong Hwa)
dan Bumi Putera, akan tetapi menurut
Pasal 131 IS., terhadap tiga golongan
tersebut hanyalah diberlakukan dua
sistem hukum, yaitu sub sistem hukum
Eropa bagi golongan Eropa dan Timur
Asing (terutama yang berkaitan dengan
hukum harta kekayaan) dan sub sistem
hukum adat bagi golongan Bumi Putera.
27
Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional : Dinamika Sosial Politik
dalam Perkembangan Hukum Indonesia. Jakarta, Rajawali Pers, 1094, hal. 19.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
13
Di satu sisi, ide yang demikian
memperlihatkan sisi baiknya, karena
kebijakan ini diberlakukan dengan
maksud untuk memberikan kepastian
hak kepada individu-individu anggota
masyarakat dan memperlakukan seluruh
penduduk negeri dengan sikap dan
perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif, yang mendasarkan pada pandangan bahwa semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum. Akan
tetapi di sisi lain, sebagai konsekuensi
maraknya dan gerakan-gerakan yang
menghendaki terbentuknya unifikasi dan
kodifikasi hukum, maka hukum kemudian diidentikkan sebagai hukum negara,
yang berarti tidak ada hukum di luar itu.
Konsekuensi lebih lanjut yang kemudian
muncul adalah, terjadilah usaha-usaha
penyisihan tatanan normatif asli yang
semula mengatur kehidupan manusia,
yang sekaligus juga merupakan pengingkaran terhadap eksistensi dan segala
sesuatu yang berbau lokal dan tradisional.
Hal ini dapat dilihat dari pendapat
Munawir Sjadzali28, yang antara lain
menyatakan, bahwa secara politis
pemberlakuan ketentuan yang terdapat
28
di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling jo Pasal 131 Indische Staatsregeling (l.S.) dapat ditafsirkan sebagai
upaya untuk menghambat dan menghentikan meluasnya hukum Islam dan
membentuk konsep hukum tandingan
yang menurut pandangan mereka lebih
baik, yaitu hukum adat. Kebijakan ini,
lanjut Munawir, merupakan bagian dan
skenario yang lebih besar, yaitu untuk
mencegah kalau rakyat Indonesia yang
sebagian besar memeluk agama Islam
(sesuai dengan jiwa dan ajarannya)
mengusahakan agar masyarakat, agama
dan hukumnya terpadu dengan baik
dalam satu paduan yang serasi yang
justru akan semakin memperkuat perlawanan mereka terhadap pemerintahan
Hindia Belanda. Oleh karena itulah,
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ichtianto, para penasehat pemerintah
Hindia Belanda29 pada waktu itu berusaha menjauhkan segala unsur-unsur
ajaran Islam ke kelslaman dan kehidupan
negara, ketatanegaraan, masyarakat dan
hukum.30
Sedangkan dari sisi ekonomi,
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sunaryati Hartono, politik hukum
Munawir Sjadzali, Op. Cii. hal. 45.
Keadaan ini antara lain didasarkan pada rekomendasi Snouck Hurgronje, yang antara lain
menganjurkan diterapkannya standar ganda bagi umat Islam di Hindia Belanda. Negara di satu sisi dapat
saja mengizinkan dimensi ritual Islam untuk tumbuh dan berkembang, akan tetapi di sisi lain, negara
tidak boleh memberikan ruang dan kesempatan bagi herkembangnya Islam politik. Uraian lebih lanjut
tentang nasihat Snouck Hurgronje ini, baca Harry J Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980. hIm. 44.
30
ldris Ramulyo. Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agarria dan Hukum
Perkawinan is1am Jakarta Ind- Hill, Co, l985, hal. 96.
29
14
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
pemerintah Hindia Belanda sebagaimana
yang diatur di dalam Pasal 163 jo Pasal
131 I.S. tersebut, tidaklah semata-mata
agar hukum yang berlaku bagi masingmasing golongan lebih sesuai dengan latar
belakang kebudayaannya31, akan tetapi
lebih banyak didasarkan pada politik
ekonomi pemerintah Hindia Behanda
yang bertujuan untuk menciptakan
struktur ekonomi, yang di satu pihak
dapat meningkatkan peranan (pengusaha) Belanda di dalam bidang perdagangan internasional, dan di lain pihak
memanfaatkan kesuburan tanah dan
sumber alam lain yang berlimpah, tanpa
terlalu banyak mengubah cara hidup
orang pribumi Indonesia.32 Hal ini hanya
dapat tercapai, bila penduduk di Hindia
Belanda di bagi ke dalam tiga golongan
dengan fungsi dan perannya sendirisendiri, yaitu bangsa Indonesia asli
sebagai golongan produsen (yang wajib
menghasilkan bahan-bahan mentah);
golongan Eropa (dan Jepang) sebagai
penjual, eksportir dan/atau importir, dan
golongan timur asing sebagai pedagang
perantara yang membawa bahan-bahan
mentah dari bangsa Indonesia asli ke
pengusaha-pengusaha Eropa dan
menjual barang- barang yang diimpor
oleh pengusaha Eropa kepada golongan
penduduk Eropa Timur Asing dan
Indonesia.33
Hukum Islam di Indonesia: Sejarah
di “Rumah” Sendiri
Gaung dan pengaruh teori receptie
dalam masyarakat ternyata berjalan
cukup lama dan telah menguasai pikiran
hukum Indonesia. Teori yang menurut
Sajuti Thalib, secara formal lahir melalui
IS 1929 pasal 134 tersebut, ‘telah
tertanam begitu kuat dalam alam pikiran
orang Indonesia. Seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai
suatu hal yang benar dan biasa saja,
bahwa hukum Islam itu bukan hukum di
Indonesia.34 Telah tertanam pada pikiran
31
Alasan ini dalam beberapa persoalan tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya saja orang Jepang yang
secara antropologis Iebih banyak kemiripannya dengan orang Timur Asing, ternyata dimasukkan ke dalam
(dipersamakan dengan) golongan Eropa. Demikian pula orang timur asing yang pada awalnya tunduk pada
hukum adatnya, kemudian kepada mereka justru diberlakukan hukum Eropa (meskipun secara terbatas).
32
Sunarjati Hartono, Loc Cit
33
Sunaryati Hartono. Peranan Ekonomi dalam Pembangunan Hukum Nasional. Artidjo Alkotsar.
Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta Fakultas Hukum - Ull. Yogyakarta, 1997, hal. 250.
34
Pengaruh teori receptie ini berpengaruh bukan saja pada para sarjana yang hidup pada masa-masa
sebelum kemerdekaan dan diberlakukannya Undang.Undang Dasar 1945 yang secara formal menghapus
teori tersebut, tetapi Juga hingga pertengahan dekade 70-an, banyak hakim dalam lingkungan Peradilan
Umum yang diminta menyelesaikan kasus warisan antara orang Islam, diselesaikan menurut Hukum Adat.
Kenyataan ini diindikasikan. misalnya dalam kasus pembagian warisan almarhum Subchan, Z.E. seorang
pemimpin Islam Indonesia terkemulca. Subchan Z.E. meninggal dalam kecelakaan mobil di Makkah alMukarramah 21 Januari 1973. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 96/1973 P ditetapkan
bahwa ahli waris yang berhak mewarisi adalah ayah kandung almarhum. Salinan memori putusan Pengadilon
Negeri Jakarta Pusat tersebut, selengkapnya lihat Sajuti Thalib, Op Cit. hal. 47-52.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
15
orang, bahwa yang berlaku adalah
hukum adat dan hanyalah kalau hukum
Islam telah menjadi hukum adat, barulah
menjadi hukum.35
Keadaan yang demikian ini —
meskipun UUD 1945 telah menghapus
berlakunya Pasal 134 I.S. — meskipun
tidak dapat diartikan sebagai kebijakan
waktu setelah Indonesia merdeka.36
Memang tidaklah dapat dipungkiri,
bahwa sistem pengelolaan hukum yang
modern — yang meliputi tata organisasi,
prosedur-prosedur dan asas-asas
doktrinal pengadaan dan penegakannya
- — telah terlanjur tercipta sepenuhnya
sebagai warisan kolonial yang tidak
mudah dirombak dan diganti begitu saja
dalam waktu yang singkat. Bagaimanapun, seluruh alur perkembangan sistem
hukum di Indonesia telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti
berdasarkan konfigurasi asas-asas yang
telah digariskan sejak lama sebelum
kolonial tumbang.37 Akan tetapi meskipun demikian, tidaklah berarti tidak ada
usaha-usaha yang dilakukan oleh sebagian ahli hukum Indonesia, yang mencoba
membalik keadaan tersebut. Adanya
ketidakpuasan dari mereka, yang menghendaki agar d Indonesia tetap diberlakukan hukum Islam tanpa melalui
hukum adat, yang antara lain dipelopori
35
oleh Hazairin, lalu muncullah pendapat,
bahwa justru seharusnya hukum adat
baru berlaku jika tidak bertentangan
dengan hukum Islam.38
Memang dalam waktu yang sama,
telah mulai muncul kesadaran di dalam
sebagian masyarakat Muslimin, bahwa
kelahiran UUD 1945 seharusnya telah
menggantikan UU Negara jajahan
Hindia Belanda. Mengutip Soepomo,
Thalib menyebutkan bahwa sejak tahun
1945 hingga 1975 masih ada dua kubu
pendapat yang berbeda. Satu pihak
mengatakan bahwa pasal 134 ayat (2)
IS tidak herlaku lagi, tetapi pihak lain
demi kepastian hukum pasal tersebut
terus diberlakukan.39
Kontroversi tersebut dapat dilihat
dalam uraian berikut. Pada saat
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
merumuskan Dasar Negara, para
pemimpin Islam berusaha memulihkan
dan mendudukkan hukum Islam dalam
negara Indonesia yang merdeka. Dalam
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, disepakati
bahwa Negara berdasar Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun
kemudian, atas desakan pihak Kristen - - atau versi lain rnenyebut utusan dan
wilayah negara Indonesia bagian timur
Sajuti Thalib, Op. Cit. Hal. 39.
Ibid, 39.
37
Soetandyo Wignjosoebroto, Op Cit. hal. l87- 188.
38
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukurn. Jakarta Bina Aksara, Jakarta, 1985.
39
Sajuti Thalib, Op. Cit., hal. 56.
36
16
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
— dengan alasan kesatuan dan persatuan, panitia sembilan akhirnya mengeluarkan tujuh kalimat tersebut dan
Pembukaan UUD 1945 dan diganti
dengan kata ‘Yang Maha Esa” yang
menurut Daud Ali, mengandung norma
dan garis hukum.40
Pada tahun 1950 dalam Konferensi Departemen Kehakiman di
Salatiga, Prof. Hazairin telah mengarahkan suatu analisis dan pandangan agar
hukum Islam itu berlaku di Indonesia,
tidak berdasar pada hukum adat.
Berlakunya hukum Islam, menurut
Hazairin, supaya disandarkan pada
penunjukkan peraturan perundangundangan sendiri. Sama seperti hukum
adat selama ini, yang dasar memperlakukan hukum adat itu sendiri ialah
berdasar sokongan peraturan perundang-undangan.41 Karena itu, haruslah
dipersiapkan dan dibuatkan perundangundangan untuk itu.
Pada bagian lain, mengomentari
pasal 29 UIJD 1945 ayat (1) Hazairin
mengemukakan, bahwa bunyi Pasal
tersebut, hanya mungkin ditafsirkan,
diantaranya sebagai berikut
1. Dalam negara Indonesia tidak boleh
terjadi atau berlaku sesuatu yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah
Islam bagi umat Islam, atau yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah
agama Nasrani bagi umat Nasrani,
atau yang bertentangan dengan
kaidah-kaidah agama Hindu-Bali
bagi orang-orang Hindu-Bali, atau
yang bertentangan dengan kesusilaan
agama Budha bagi orang Budha.
2. Negara Republik Indonesia wajib
menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang
Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi
orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan
perantaraan kekuasaan negara.
3. Syariat yang tidak memerlukan
bantuan kekuasaan negara untuk
menjalankannya, dan karena itu
dapat dijalankan sendiri oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan,
menjadi kewajiban pribadi terhadap
Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.42
Beleh jadi karena gigihnya perjuangan Hazairin dalam usaha memberlakukan hukum Islam di Indonesia, maka
oleh Daniel S. Lev ia dianggap tokoh
yang menginginkan pembaharuan di
Indonesia secara spektakuler dan radikal
untuk melaksanakan ijtihad dalam
rangka mengembangkan mazhab Indo-
40
Daud Ali, “Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Tlnjauan Surjaman, op. cit.,
hIm. 74.
41
Sajuti Thalib, Op Cit., hal. 66.
42
Daud Ali, Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya’, dalam Tinjauan Surjaman, Op. cit.,
hIm. 74.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
17
nesia sendiri.43
Pandangan Hazairin tersebut
sesungguhnya sangat realistis, sejalan
dengan bukti-bukti historis yang ada. Di
Aceh misalnya, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan
mengenai harta mereka, termasuk
kewarisan, diatur menurut hukum Islam.
Ketentuan adat dalam upacara perkawinan, sejauh tidak bertentangan dengan
hukum Islam, dapat diterima.
Di Minangkabau, dikenal adagium
atau pepatah-petitih : adat basandi
syara’, syara’ basandi kitabullah (adat
bersendi syarak dan syarak bersendi
kitahullah). Sistem kekerabatan Minangkabau oleh sejarah dicatat menggunakan
sistem patrilineal, yaitu suatu sistem
kekerabatan bahwa dalam penentuan
hubungan kekerabatan dihubungkan dan
garis ibu saja. Namun agaknya sekarang
ini, kata Amir Syarifuddin, telah mulai
berubah. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan orientasi
kekerabatan tersebut. Antara lain,
pertama, pengaruh hukum Islam yang
menempatkan ayah (suami) sebagai
kepala keluarga. Implikasinya, komposisi
keluarga berubah dan bentuk anak-ibumamak dalam extended family yang
menjadi ciri khas kekerabatan matri-
lineal, menjadi keluarga inti (nuclear
family), yang komposisinya anak-ibuayah, sebagai sistem kekeluargaan
parental44
Menurut Amir Suarifuddin perubahan sistem keluarga tersebut sudah
demikian merata terjadi, baik di kampung-kampung, apabila dalam kehidupan kota, meskipun harus diakui masih
bersifat matrilokal. Kedua, sistem
ekonomi masyarakat yang semula
terpusat pada tanah berubah menjadi
eonomi moneter. Demikian halnya
pendidikan modern dan kehidupan
merantau orang Minang telah membuka
cakrawala baru.45
Tidak ada informasi yang jelas,
mengapa masih ada saja orang- orang
Islam yang belum menerima dan menyadari kenyataan sejarah tersebut. Ada
yang secara terang-terangan ingin
mempertahankan teori iblis itu. Pilahkan
hingga menjelang kelahiran UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, mereka juga menentang habis-habisan, meskipun pada
akhirnya harus menerima fakta sejarah
yang menginginkannya sejak lama.46
Meskipun harus diakui bahwa
kendati hukum Islam telah diterima
kembali sebagai sistem yang berlaku
43
Daniel S. Lev, Op. Cit., Hal. 295. Lihat juga Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tinta Mas, hal. 1-3.
44
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, Cet. 2.
1993, hlm. 170.
45
Ibid.
46
Ibid, hal. 170
18
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 1 - 22
sepenuhnya bagi umat Islam dengan
mengeluarkan hukum adat, atau dengan
kata lain hukum adat baru berlaku apabila
tidak bertentangan dengan hukum Islam,
wacana materiilnya terbatas pada
hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Dan sinilah kemudian
dikenal dengan teori receptie exit atau
receptio a contrario.47
M. Daud Ali mencoba menganalisis mengapa hukum Islam terbatas
dalam hukum muamalat saja, atau lebih
sempit lagi hukum keluarga, kewarisan,
dan perwakafan. Ia memilah hukum Islam
di Indonesia menjadi dua. Pertama,
hukum Islam yang berlaku secara formal
yuridis, yaitu hukum Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia
lainnya dan benda lainnya yang disebut
hukum muamalat. Bagian ini menjadi
hukum positif berdasarkan peraturan
perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan, dan wakaf. Kedua,
hukum Islam yang bersifat normatif, yang
mempunyai sanksi. Yang terakhir ini
dapat berubah ibadah murni atau hukum
pidana. Masalah pidana, menurutnya,
belum memerlukan peraturan.48 Karena
ini lebih tergantung pada kesadaran dan
tingkatan iman takwa kaum muslimin
Indonesia sendiri.Pada tahun 1970 keluar
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10
47
48
UU tersebut dijelaskan bahwa dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia
terdapat empat lingkungan peradilan,
yaitu (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan
Agama, (c) Peradilan Tata Usaha negara,
dan (d) Peradilan Militer.
Secara yuridis formal. klausul
tersebut memberikan konsensi bahwa
hukum Islam menjadi dasar hukum
materiil bagi kaum muslimin yang
berurusan di Peradiln Agama Menindaklnjuti amanat UU No. 14 Tahun 1970
tersebut, setelah empat tahun lahir
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Menurut Prof.
Mahadi, sejak berlakunya UU No. I
Tahun 1974 tersebut berarti telah
sampailah ajal teori iblis/receptie
tersebut. Pasal 2 ayat U mernyatakan
hahwa: “Praktis dengan mengacu pada
bunyi pasal tersebut, ketentuan hukum
agama menjadi tolok ukur sah-tidaknya
suatu perkawinan dan segala akibat
hukumnya. Dengan kata lain, hukum
Islam secara langsung berlaku tanpa
harus melalui diresipir oleh hukum adat.
Memang Undang-undang Perkawinan tersebut dalam konteks pelaksanaan hukum perkawinan Islam masih
punya ‘ganjalan. Pasal 63 UU No. 1/
1974 menegaskan bahwa setiap keputusan Pengadilan Agama baru dapat
dieksekusi setelah ada fiat eksekusi
(eksekutoir verklaring) dan Pengadilan
Sajuti Thalib, Op. Cit., hal. 65-69.
M. Daud Ali, dalam Tjun Surjaman, Loc. Cit.
Hukum Islam di Indoesia dalam ... (Imam Hardjono)
19
Negeri. Secara teoritis fiat eksekusi
tersebut lebih bersifat administratif, tetapi
dalam pelaksanaannya tidak jarang
terjadi pelampauan kewenanagan dan
Pengadilan Neeri. Sehingga berakibat
menurunkan nilai sebuah keputusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Artinya, eksekusi terhadap putusan
Peradilan Agama tidak dapat dijalankan,
ironis memang.
Mengakhiri uraian ini, adalah
menarik apa yang disimpulkan oleh
Muhammad Daud Ali, bahwa sejak tahun
1974 (1) Secara formal yuridis, Hukum
Islam dapat berlaku langsung tanpa melalui
hukum adat, (2) Hukum Islam sama
kedudukannya dengan hukum adat dan
hukum Barat, dan (3) Republik Indonesia
dapat mengatur suatu masalah sesuai
dengan hukum Islam sepanjang peraturan
itu untuk memenuhi kebutuhan hukum
khusus umat Islam dan berlaku hanya bagi
umat Islam, hal inilah pula yang kemudian
terlihat di dalam Peraturan Pemerintah
No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan
tanah - milik, Undang-undang No. 10
Tahun 1988, yang merubah UndangUndang No 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, Undang-Undang No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa telah te