PENERAPAN GRASI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

PENERAPAN GRASI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Hukum (S.H) Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan
pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar

Oleh
MIFTAHUL JANNAH
NIM. 10300113212

HUKUM PIDANA DAN KETATANEGARAAN
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2018

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama


: Miftahul Jannah

NIM

: 10300113212

Tempat/Tgl. Lahir

: Munte/8 Agustus 1995

Jurusan

: Hukum Pidana dan Ketatanegaraan

Fakultas

: Syari’ah dan Hukum

Alamat


: Jl. BTN Minasa Upa Bolk N16 No. 14

Judul

: Penerapan Grasi di Indinesia dalam Perspektif Hukum
Pidana Islam
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini

benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa
ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau
seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Samata, Gowa, 16 Agustus 2017
Penyusun,

MIFTAHUL JANNAH
NIM: 10300113212

ii


PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI

Pembimbing penulis skripsi Saudari MIFTAHUL JANNAH, NIM: 10300113212
Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi skripsi yang
bersangkutan dengan judul “Penerapan Grasi di Indonesia dalam Perspektif Hukum
Pidana Islam,” memandang bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan
dapat disetujui untuk diajukan ke sidang ujian Munaqasyah (Akhir).
Demikian persetujuan ini diberikan untuk proses selanjutnya.

Samata-Gowa, 16 Agustus 2018

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Hamsir, SH, M.Hum
NIP.19610404 199303 1005


Dr. H. Abd. Halim Talli, S.Ag., M.Ag.
NIP 19711020 199703 1 002

Penguji I

Penguji II

Dr. Dudung Abdullah, M.Ag.
NIP. 195402031985031002

Dra. Nila Sastrawati, M.Si.
NIP. 197107121997032002

iii

KATA PENGANTAR

Sebuah perjalanan hidup selalu memiliki awal dan akhir. Ibarat dunia ini yang
memiliki permulaan dan titik akhir. Setelah melewati perjalanan panjang dan
melelahkan, menyita waktu, tenaga, dan pikiran, sehingga penyusun dapat

merampungkan skripsi ini. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Jurusan Hukum Pidana dan
Ketatanegaraan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin.
Sepantasnya persembahan puji syukur hanya di peruntukan kepada Sang
Maha Mendengar dan Maha Melihat, Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: Grasi
dalam Perspektif Hukum Pidana Islam.
Kemudian shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw serta para
sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Islam sebagai agama samawi
sekaligus sebagai aturan hidup, yang telah mengantarkan dari dunia kebodohan
menuju ke dunia kepintaran.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah
membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini, dan kepada:
1. Kedua orang tua terkasih dan tersayang, Ayahanda Bahar M. dan Ibunda
Nuriadi N, semoga Allah Swt melimpahkan Ridho-Nya dan Kasih-Nya kepada
keduanya. Sebagaimana dia mendidik penulis semenjak kecil, yang atas asuhan,
limpahan kasih sayang serta dorongan mereka, penulis selalu peroleh kekuatan
material dan moril dalam merintis kerasnya kehidupan.

v


vi

2. Bapak Prof. Dr. H. Musafir Pababbbari, M.Ag., selaku Rektor UIN Alauddin.
Beserta seluruh Civitas Akademik atas bantuannya selama penyusun mengikuti
pendidikan.
3. Bapak Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin.
4. Ibu Dra. Nila Sastrawaty, M.Si., selaku ketua jurusan Hukum Pidana dan
Ketatanegaraan serta Ibu Dr. Kurniati, S.Ag., M.Hi., selaku sekretaris jurusan
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberi saran dan masukan
kepada penyusun.
5. Bapak Dr. Hamsir, S.H., M.Hum., dan Bapak Dr. H. Abd. Halim Talli, S.Ag.,
M.Ag., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya
dalam membimbing sampai selesainya penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Dudung Abdullah, M.Ag., selaku penguji I dan Ibu Dra. Nila
Sastrawati, M.Si., selaku penguji II yang telah banyak memberikan kritikan dan
masukan yang sifatnya membangun dalam penulisan studi ini.
7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
yang telah mencurahkan tenaga, pikiran serta bimbingannya dalam memberikan

berbagai ilmu pengetahuan dalam mencari secercah cahaya Ilahi dalam sebuah
pengetahuan di bangku kuliah.
8. Kak Canci, selaku staf jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan yang
senantiasa sabar dalam membantu penyusun dalam hal andministrasi.
9. Ucapan terima kasih juga kepada sahabat-sahabat seperjuanganku di HPK...
2013, yang telah banyak memberikan inspirasi dan masukan kepada penulis,
kenangan bersama kalian akan selalu terkenang.

vii

Akhirnya, meskipun skripsi ini telah penyusun usahakan semaksimal mungkin
agar terhindar dari kekeliruan dan kelemahan, baik dari segi substansi dan
metodologinya, penulis dengan tangan terbuka menerima kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan isi. Demikian semoga apa yang disusun dalam
skripsi ini diterima oleh Allah swt. sebagai amal saleh.,,Amien.
Samata-Gowa, 16 Agustus 2018
Penyusun,

MIFTAHUL JANNAH
NIM: 10300113212


DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL .......................................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................................

iii

PENGESAHAN .........................................................................................

iv

KATA PENGANTAR ...............................................................................


v

DAFTAR ISI ..............................................................................................

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ..............................................................

x

ABSTRAK ................................................................................................

xix

BAB I

PENDAHULUAN .....................................................................

1


A. Latar Belakang Masalah .......................................................

1

B. Rumusan Masalah.................................................................

7

C. Pengertian Judul ...................................................................

7

D. Kajian Pustaka ......................................................................

8

E. Metode Penelitian .................................................................

11


F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..........................................

13

TINJAUAN TEORETIS ..........................................................

15

A. Tinjuan Umum tentang Grasi ..............................................

15

1. Pengertian Grasi..............................................................

15

2. Sejarah Penerapan Grasi di Indonesia ............................

17

B. Pertimbangan Pemberian Grasi ...........................................

20

BAB III PENGAMPUNAN DALAM ISLAM ........................................

29

A. Pengertian Pengampunan dalam Islam ................................

29

B. Dasar Pengampunan dalam Islam .......................................

32

C. Pemberian Pengampunan terhadap Jarimah .......................

38

BAB II

viii

ix

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PELAKSANAAN GRASI ....
A.

46

Konsep Penerapan Grasi di Indonesia dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam .........................................................

46

Bentuk Pelaksaan Grasi di Indonesia ................................

55

BAB V PENUTUP .....................................................................................

66

A. Kesimpulan ..........................................................................

66

B. Saran ...................................................................................

66

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

67

LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................

70

B.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN
A. Transliterasi Arab-Latin
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya kedalam huruf latin dapat
dilihat pada tabel berikut:
1. Konsonan
Huruf
Arab
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ه‬

Nama

Huruf Latin

Nama

alif
ba
ta
sa
jim
ha
kha
dal
zal
ra
zai
sin
syin
sad
dad
ta
za
‘ain
gain
fa
qaf
kaf
lam
mim
nun
wau
ha

tidak dilambangkan
b
t
s
j
h
kh
d
x
r
z
s
sy
s
d
t
z

g
f
q
k
l
m
n
w
h

tidak dilambangkan
be
te
es (dengan titik di atas)
Je
ha (dengan titik di bawah)
Ka dan ha
de
zet (dengan titik di atas)
er
zet
es
es dan ye
es (dengan titik di bawah)
de (dengan titik di bawah)
te (dengan titik di bawah)
zet (dengan titik di bawah)
Apostrof terbalik
ge
ef
qi
ka
el
em
en
we
ha

x

xi

‫ء‬
‫ى‬

hamzah
ya


y

apostrof
ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda
apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (‘).
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal Bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal
atau menoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal Bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut :
Tanda

َ‫ا‬
ِ‫ا‬
ُ‫ا‬

Nama
fathah

Huruf Latin
A

Nama
a

kasrah

I

i

dammah

U

u

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat
dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu :
Tanda
َٔ
‫ى‬
َ‫ؤ‬
Contoh:
َRTْ Uَ

: kaifa

Nama
fathah dan yaa’
fathah dan wau

Huruf Latin
Ai
Au

Nama
a dani
a dan u

xii

‫ْ َل‬Vَ‫ھ‬

: haula

3. Maddah
Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu :
Harakat dan
Huruf
َ‫… ا‬
‫│…ى‬
َ
‫ى‬
‫ُو‬

Nama

Huruf dan Tanda

Nama

Fathah dan alif atau
yaa’
Kasrah dan yaa’
Dhammmah dan
waw

A

A dan garis di atas

I
U

I dan garis di atas
U dan garis di atas

Contoh:
‫`_ت‬

: maata

a`َ ‫َر‬

: ramaa

bْTِc

: qiila

ُ ْVdُ َe
‫ت‬

: yamuutu

4. Taa’ marbuutah
Transliterasi untuk taa’marbuutah ada dua, yaitu taa’marbuutah yang hidup
atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan dhammah, transliterasinya adalah
[t].sedangkan

taa’

marbuutah

transliterasinya adalah [h].

yang

mati

atau

mendapat

harakat

sukun,

xiii

Kalau pada kata yang berakhir dengan taa’ marbuutah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sedang al- serta bacaan kedua kata tersebut terpisah, maka taa’
marbuutah itu ditransliterasikan dengan ha [h].

Contoh :
ْ َo‫ْا‬
ُjk
َ ْ‫و‬lَ ِm_َn‫ط‬

: raudah al- atfal

ُjَpeْ qِ dَ m‫ُا‬jَrk_
ِ َnm‫ْا‬

: al- madinah al- fadilah

ُjdَ sْ tِ m‫ْا‬

: al-hikmah

5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydid( َ◌), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan
huruf (konsonang anda) yang diberi tandasyaddah.
Contoh :
_َp‫ﱠ‬x‫َر‬

: rabbanaa

_َpTْ y‫َ ﱠ‬z

: najjainaa

‫ ﱡ‬tَ m‫ْا‬
|

: al- haqq

}َ •‫ُ ﱢ‬z

: nu”ima

‫وﱞ‬qُ •َ

: ‘aduwwun

Jika huruf ‫ ى‬ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah (ƒّ ِx) maka ia ditranslitersikan sebagai huruf maddah menjadi i.
Contoh :

xiv

ƒ‫ِ ﱞ‬r•َ

: ‘Ali (bukan ‘Aliyyatau ‘Aly)

ƒ‫ِ ﱞ‬xlَ •َ

: ‘Arabi (bukan ‘Arabiyyatau ‘Araby)

6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ‫( ال‬alif
lam ma’arifah). Dalam pedoman transiliterasi ini, kata sandang ditransilterasikan
seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf
qamariyah.

Kata

sandang

tidak

mengikuti

bunyi

huruf

langsung

yang

mengikutinya.kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dihubungkan dengan garis mendatar (-).
Contoh :
ُ…d†‫ ﱠ‬m‫ ا‬: al-syamsu (bukan asy-syamsu)
ُjَm َ‡m‡‫ ﱠ‬mَ‫ ا‬: al-zalzalah (az-zalzalah)
jَnˆَ rَnmْ َ‫ ا‬: al-falsafah
‫ ُد‬‰َ ِŠmْ َ‫ا‬

: al-bilaadu

7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‘) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal
kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh :
َ‫ُوْ ن‬l`ُ ْ_َŒ : ta’muruuna
ُ ْV‫ﱠ‬pm‫ا‬
‫ع‬

: al-nau’

xv

‫ ٌء‬ƒَ
ْ ‫ﺷ‬

: syai’un

ُ ْl`ِ ُ‫ا‬
‫ت‬

: umirtu

8. Penulisan Kata Bahasa Arab Yang Lazim Digunakan Dalam Bahasa
Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau
kalimat yang belum dibakukan dalam Bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat
yang sudah lazim dan telah menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia,
atau sering ditulis dalam tulisan Bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia
akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata
Al-Qur’an (dari Al-Qur’an), al-hamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata
tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi
secara utuh. Contoh :
Fizilaal Al-Qur’an
Al-Sunnah qabl al-tadwin
ّٰ
9. Lafz al- Jalaalah (‫)ﷲ‬
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jar dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai mudaafilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf
hamzah.
Contoh :
‫ِدﻳْـﻨُﺎﻟ ٰﻠّ ِﻪ‬

ٰ
diinullah ‫_ﷲ‬
ِ ّ ِx billaah

xvi

Adapun taamarbuutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz al-jalaalah,
ditransliterasi dengan huruf [t].contoh :
‫ ُﻫ ْﻢ ِﰲ َر ْﲪَِﺔ اﻟ ٰﻠّ ِﻪ‬hum fi rahmatillaah
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
capital berdasarkan pedoman ajaran Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat,
bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata
sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf capital (Al-). Ketentuan yang
sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul refrensi yang didahului oleh kata
sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP,
CDK, dan DR). contoh:
Wa ma muhammadun illaa rasul
Inna awwala baitin wudi’ alinnasi lallazii bi bakkata mubarakan
Syahru ramadan al-lazii unzila fih al-Qur’an
Nazir al-Din al-Tusi
Abu Nasr al- Farabi
Al-Gazali

xvii

Al-Munqiz min al-Dalal
Jika nama resmi seseorang menggunakan kata ibnu (anak dari) dan Abu
(bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus
disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:
Abu Al-Wafid Mummad Ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abu Al-Walid
Muhammad (bukan : rusyd, abu al-walid Muhammad ibnu)
Nasr Hamid Abu Zaid, ditulis menjadi: Abu Zaid, Nasr Hamid (bukan: Zaid,
Nasr Hamid Abu)

B. Daftar Singkatan
Beberapa singkatan yang dilakukan adalah :
swt

= subhanallahu wata’ala

saw

= sallallahu ‘alaihi wasallam

a.s

= ‘alaihi al-sallam

H

= Hijriah

M

= Masehi

SM

= Sebelum Masehi

I

= Lahir Tahun (untuk orang yang masih hidup saja)

W

= Wafat Tahun

QS…/…4

= QS. Al-Baqarah/2:4 atau QS. Al-Imran/3:4

HR

= Hadis Riwayat
Untuk karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat beberapa singkatan berikut :

‫ص‬

=‫ﺻﻔﺤﺔ‬

‫‪xviii‬‬

‫ﺑﺪون ﻣﻜﺎن =‬

‫دم‬

‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ=‬

‫ﺻﻠﻌﻢ‬

‫ﻃﺒﻌﺔ=‬

‫ط‬

‫ﺑﺪون ﻧﺎﺷﺮ=‬

‫دن‬

‫اﱃ اﺧﺮﻫﺎ ‪ /‬اﱃ اﺧﺮﻩ=‬

‫اﱁ‬

‫ﺟﺰء=‬

‫ج‬

ABSTRAK
Nama
Nim
Jurusan
Fakultas
Judul

: Miftahul Jannah
: 10300113212
: Hukum Pidana dan Ketatanegaraan
: Syari’ah dan Hukum
: Penerapan Grasi di Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana
Islam

Skripsi ini membahas tentang persoalan konsep grasi, dengan sub
permasalahan yaitu: 1) Bagaimana bentuk pelaksanaan grasi di Indonesia ?, dan 2)
Bagaimana konsep penerapan grasi di Indonesia dalam perspektif hukum pidana
Islam?. Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk: 1) Untuk mengetahui bentuk
pelaksanaan Grasi di Indonesia, dan 2) Untuk memahami konsep Penerapan Grasi di
Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana Islam.
Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan beberapa metode
penulisan baik dalam pengumpulan data maupun dalam pengolahannya. Data yang
dikumpulkan adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan
data dan bahan-bahan pemikiran bersumber dari sejumlah literatur, baik mengubah
redaksi kalimatnya ataupun tidak.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Presiden memiliki Hak Preogratif
dalam memberikan putusan grasi kepada terpidana mati berdasarkan Undang-Undang
No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Sedangkan dalam hukum pidana Islam kedudukan
pengampunan atau pemaafan sangat strategis, karena keberadaanya ternyata dapat
merubah putusan hukuman mati, khususnya dalam tindak pidana pembunuhan secara
sengaja. Hal tersebut memungkinkan karena hukuman bagi pembunuh menurut
hukum Pidana Islam, adalah pilihan antara hukuman qishash atau membayar diyat.
Bahkan jika keluarga korban memaafkan pembayaran diyat pun tetap bisa diterima.
Namun, jika hal itu terjadi, maka hakim berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir
kepada pembunuh sebagai tindakan perlindungan terhadap kepentingan publik.
Implikasi dari penelitian ini adalah penjelasan dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2002 menyebutkan bahwa grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden
dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian
grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan
penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan
Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk
memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan,
mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan
pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan
rehabilitasi terhadap terpidana.

xix

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi, abolisi,
dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan terhadap dampak penderitaan
yang ditimbulkan oleh putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana yang telah
terbukti secara hukum dalam proses peradilan sebelumnya. Hanya saja, untuk
membatasi penggunaan kewenangan tersebut, sebelum Presiden akan menentukan
grasi, abolisi, dan amnesti tersebut, Presiden terlebih dahulu diharuskan mendapatkan
pertimbangan dari Mahkamah Agung ataupun Dewan Perwakilan Rakyat.1
Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis
peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi
bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak
prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat
mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani
pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga
bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.2
Pemberian grasi terhadap Antasari bukan yang pertama di era Presiden
Jokowi. Sebelumnya, pada Maret 2015, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga
pernah mengabulkan permohonan grasi terpidana mati kasus pembunuhan di
1

Jimly Asshiddqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Ed. II; Cet. I; Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h. 184.
2

Husin Wattimena, Pemberian dan Pencabutan Grasi Perspektif Hukum Islam, Jurnal Tahkim
Vol. XI No. 2, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon, Desember 2015. h. 48.

1

2

Pekanbaru, Riau, Dwi Trisna Firmansyah. Hukuman pidana mati bagi Dwi menjadi
pidana seumur hidup. 3
Presiden Jokowi juga pernah memberikan grasi kepada lima tahanan politik
dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) saat ia berkunjung ke Lapas Abepura,
Provinsi Papua pada 9 Mei 2015. Pemberian grasi ini sebagai upaya pemerintah
dalam menyelesaikan konflik di bumi Cenderawasih tersebut.
Adapun dalam sebuah contoh persoalan grasi yaitu, ketika Presiden Joko
Widodo (Jokowi) akhirnya mengabulkan permohonan grasi yang diajukan mantan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar. Keputusan Presiden
(Keppres) mengenai permohonan grasi ini telah dikirim ke Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan. Salah satu poin dalam Keppres itu adalah pengurangan masa
hukuman bagi Antasari sebanyak 6 tahun. Antasari menjalani hukuman setelah
dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran
Nasrudin Zulkarnaen, sehingga pria kelahiran 18 Mei 1953 ini divonis 18 tahun
penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2010.4
Karena itu, kabar dikabulkannya grasi oleh Presiden Jokowi menjadi kabar
yang menggembirakan bagi Antasari. Dengan segera mendatangi Lapas Tangerang
pada Rabu (25/1/2017) untuk mengetahui secara pasti mengenai grasi tersebut.
Menurut Antasari, permohonan grasinya yang dikabulkan itu bermakna besar.

3

Abdul Azis, Grasi-Grasi yang Diberikan Jokowi dan SBY, Dikutip dalam situs
https://tirto.id/grasi-grasi-yang-diberikan-jokowi-dan-sby-chEU. (Di akses pada Tanggal 15 Maret
2017).
4

Abdul Azis, Grasi-Grasi yang Diberikan Jokowi dan SBY, Dikutip dalam situs
https://tirto.id/grasi-grasi-yang-diberikan-jokowi-dan-sby-chEU. (Di akses pada Tanggal 15 Maret
2017).

3

"Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan dan berhasil, harus kita syukuri. Grasi ini
memiliki makna buat saya, keluarga dan bangsa Indonesia."
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan grasi memang
diperbolehkan bagi narapidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan regulasi yang ada, putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi
adalah pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menjelaskan
bahwa grasi adalah pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada
terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis
yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim.
Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif,
melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian
grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban
menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan
dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.5
Tujuan mekanisme permohonan grasi diatur dalam ketentuan Undang-Undang
No. 22 Tahun 2002 tentang Permohonan Grasi pada Bab II yang menjelaskan, yaitu:

5

Republik Indonesia, Penjelasan Umum Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi,
dikutip dalam buku Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan
Hukuman Mati: Analisis Atas Penggunaan Undang-Undang Grasi dan Putusan Mahkamah Konstitusi
terkait Grasi dalam Eksekusi Mati Gelombang Ke-3 (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR) dan LBH Masyarakat, 2016), h. 21.

4

Pasal 2
1. “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah
2 (dua) tahun.
3. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan
1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
a. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat
waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;
atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana
penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
keputusan pemberian grasi diterima”.
Pasal 3
“Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi
terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati”.
Pasal 4
1. “Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan
terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Agung.
2. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
a. Peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. Pengurangan jumlah pidana; atau
c. Penghapusan pelaksanaan pidana”. 6
Dalam kaitannya dengan masalah potongan menjalani hukuman (grasi)
tersebut, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah di Amandemen
mengingat dalam pasal 14 ayat (1) telah disebutkan bahwa:
“Presiden memberi grasi dan
pertimbangan Mahkamah Agung”.7

rehabilitasi

dengan

memperhatikan

6

Republik Indonesia, Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dikutip
dalam buku Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan
Hukuman Mati, h. 17.
7

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara 1945, Undang-Undang 1945 Hasil
Amandemen dan Proses Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Secara Lengkap, (Cet. VI; Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), h. 10.

5

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi
memberikan definisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden.8
Kedudukan pemaafan sangat strategis dalam hukum pidana Islam, karena
keberadaanya ternyata dapat merubah putusan hukuman mati, khususnya dalam
tindak pidana pembunuhan secara sengaja. Hal tersebut memungkinkan karena
hukuman bagi pembunuh menurut hukum Pidana Islam, adalah pilihan antara
hukuman qishash atau membayar diyat. Bahkan jika keluarga korban memaafkan
pembayaran diyat pun tetap bisa diterima. Namun, jika hal itu terjadi, maka hakim
berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada pembunuh sebagai tindakan
perlindungan terhadap kepentingan publik.9
Pengampunan terhadap qishash dibolehkan menurut kesepakatan para fuqaha,
bahkan lebih utama dibandingkan pelaksanaanya. Pernyataan untuk memberikan
pengampunan tersebut dapat dilakukan secara lisan ataupun secara tertulis.
Redaksinya bisa dengan lafazh (kata) memaafkan, membebaskan, mengugurkan,
melepaskan, memberikan, dan sebagainya.10

8

Republik Indonesia, Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dikutip
dalam buku Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan
Hukuman Mati, h. 17.
9

Umar Attaimi, Lembaga Maaf dalam Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta: Aynat Publishing,
2010), h. 119.
10

161.

Ahmad Wardi Muchlish, Hukum Pidana Islam (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.

6

Pemaafaan lebih diutamakan daripada pelaksaan qishhash. Dalam Al-Qur’an,
Allah swt berfirman dalam Q.S al-Baqarah/ 2:178, yaitu:

ۚ ٰ َ >= ۡ ‫ُﻮ ْا ُﻛ ِﺘ َﺐ َﻠَ ۡﻴ ُ ُﲂ ﻟۡ ِﻘ َﺼ ُﺎص ِﰲ ﻟۡﻘَ ۡ َ ۖﲆ ﻟۡ ُﺤﺮ ِﺑ ﻟۡ ُﺤ ّ ِﺮ َو ﻟۡ َﻌ ۡﺒﺪُ ِﺑ ﻟۡ َﻌ ۡﺒ ِﺪ َو ۡ => َ ٰﻧﱺ ِﺑ‬%‫ َ)ﻦ َءا َﻣ‬+ِ * ‫ﳞَﺎ‬- ٓ 0/ َ ‫ﻳ‬
‫ُۥ ِﻣ ۡﻦ‬3َ ‫ﻧﱺ ﻓَ َﻤ ۡﻦ ُﻋ ِﻔ َﻲ‬
ٞ
ِ ‫ء ﻓَ ﺗِ ّ َﺒﺎ ُۢع ِﺑ ﻟۡ َﻤ ۡﻌ ُﺮ‬ٞ ‫ﳾ‬
‫ُۥ‬Yَ َ‫ ﻓ‬Hَ ِ /‫ّ ُ ۡﲂ َو َر ۡ َﲪ ۗﺔ ﻓَ َﻤ ِﻦ ۡﻋﺘَﺪَ ٰى ﺑ َ ۡﻌﺪَ َذ‬D‫ﻒ ِ ّﻣﻦ * ِر‬Fٞ ‫ َ ۡﲣ ِﻔ‬Hَ ِ /‫ـ ٖ ۗﻦ َذ‬/ ‫ ۡﺣ َﺴ‬Oِ ‫ َدا ٓ ٌء اﻟ َ ۡﻴ ِﻪ‬- ‫وف َو‬
ۡ َ ‫ ِﻪ‬F‫ ِﺧ‬N
N
١٧٨ ‫ﲓ‬ٞ ‫ ِﻟ‬- ‫اب‬
ٌ ‫َ َﺬ‬
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tapi
barangsiapa yang memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia
mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya yang baik
(pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu.
Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang
sangat pedih.11
Penerapan hukum pidana Islam dalam rangka menyelamatkan manusia baik
individual maupun sosial dari kerusakan dan menghilangkan hal-hal yang
menimbulkan kejahatan. Hukum pidana Islam berusaha mengamankan masyarakat
dengan berbagai ketentuan. Dasar yang digunakan adalah Al-Qur’an, hadits, dan
berbagai keputusan ulil amri yang mempunyai wewenang menetapkan hukuman. 12
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mengangkat judul: “Grasi dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam”.

11

Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Sinergi Pustaka, 2012), h. 33-

34.
12

Sahid HM, Epistemologi Hukum Pidana Islam: Dasar-dasar Fiqh Jinayah, (Surabaya:
Pustaka Idea, 2015), h. 85.

7

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut dan melihat masih
terdapat kekurangan pengetahuan mengenai persoalan grasi, maka yang menjadi
pokok masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana penerapan pelaksanaan Grasi
menurut Islam?”
Berdasarkan dari pokok masalah tersebut, maka yang menjadi sub-sub
masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk pelaksanaan grasi di Indonesia ?
2. Bagaimana konsep penerapan grasi di indonesia dalam perspektif hukum
pidana Islam?
C. Pengertian Judul
Untuk menghindari kekeliruan dalam penafsiran terhadap pengertian
sebenarnya, maka penulis akan menjelaskan beberapa kata dalam judul skripsi, yaitu
sebagai berikut:
1. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh
Presiden.13
2. Hukum Pidana Islam, adalah hukum syara’ yang berkaitan dengan tindak
pidana dan hukumannya. Maksud tindak pidana dalam hal ini adalah
perbuatan yang dilarang oleh syara‘ dan diancam dengan hukuman had,
qishash, dan ta‘zir. Sedang yang dimaksud dengan hukuman adalah

13

Republik Indonesia, Penjelasan Umum Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi,
dikutip dalam buku Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan
Hukuman Mati, h. 17.

8

pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena
melanggar ketentuan-ketentuan syara’.14
D. Kajian Pustaka
Masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini yaitu konsep grasi dalam
pelaksanaanya di Indonesia dan perspektif hukum pidana Islam. Banyak literatur
yang membahas tentang masalah tersebut, namun belum ada literatur yang membahas
secara khusus tentang judul skripsi ini. Agar nantinya pembahasan ini lebih fokus
pada pokok kajian maka dilengkapi beberapa literatur yang masih berkaitan dengan
pembahasan yang dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:
Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, dalam bukunya
“Pembatasan Grasi dan Hukuman Mati: Analisis Atas Penggunaan Undang-Undang
Grasi dan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Grasi dalam Eksekusi Mati
Gelombang Ke-3”. Buku ini naskah yang diserahkan (Intitute for Criminal Justice
reform (IJCR) dan LBH Masyarakat) kepada Komisi III DPR RI dalam Fungsinya
melakukan pengawasan terhadap partner kerjanya yakni Jaksa Agung lewat
mekanisme RDP. Naskah ini menjadi penting sebagai isntrumen Pengawasan
terhadap Eksekusi Mati bagi Terpidana Mati dilakukan secara menyeluruh dengan
tujuan menghapuskan praktek-praktek hukuman mati di Indonesia atau Moratorium
Hukuman Mati. 15
Peter Benenson dalam bukunya “Keadilan yang Cacat: Peradilan yang tidak
Adil dan Hukuman Mati di Indonesia”. Bukunya menguraikan tentang Laporan ini
didasarkan pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Amnesty International dan
14
15

Sahid HM, Epistemologi Hukum Pidana Islam: Dasar-dasar Fiqh Jinayah, h. 5.

Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan
Hukuman Mati, h. iii.

9

berfokus pada perkembangan penggunaan hukuman mati di Indonesia beberapa tahun
belakangan, khususnya sejak bulan Desember 2014, ketika Presiden Joko Widodo
mengumumkan rencananya untuk mengeksekusi terpidana mati terkait kejahatan
narkoba.16
Ahmad Wardi Muchlish, dalam bukunya “Hukum Pidana Islam”. Buku ini
menjelaskan tentang pengertian qishasah, dasar hukumnya, dan hal-hal yang
mengugurkan hukuman qishash. Salah satunya yang dapat mengugurkan qishash
yaitu pengampunan.17 Menurut penulis buku ini menjelaskan secara lengkap dengan
disertai para ulama mahzab tentang proses pemaafan terhadap putusan qishash yang
telah diputuskan oleh hakim.
Umar Attaimi, dalam bukunya “Lembaga Maaf dalam Hukum Islam”. Buku
ini menguraikan tentang kedudukan lembaga maaf terhadap putusan mati dan bentuk
proses lembaga maaf dalam praktik hukum di Indonesia. 18 Menurut penulis, buku ini
menguraikan secara jelas bagaimana sejarah pemaafan dalam konteks sejarah Islam
terutama pada masa Nabi Muhammad saw. Meskiupun memberikan maaf kepada
pelaku kejahatan itu sangat sulit dan dibutuhkan secara ikhlas dan sukarela serta
tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Husin Wattimena, dalam jurnal penelitiannya “Pemberian dan Pencabutan
Grasi Perspektif Hukum Islam”. Penelitian memberikan penjelasan tentang selaku
kepala negara, Presiden memiliki hak prerogatif, dalam pemberian grasi kepada
terpidana, berdasarkan penjelasan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang
16

Peter Benenson, Keadilan yang Cacat: Peradilan yang tidak Adil dan Hukuman Mati di
Indonesia. Terj. Suryo Wibowo, (Inggris: Amnesty International, 2015), h. 11.
17

Ahmad Wardi Muchlish, Hukum Pidana Islam, h. 160.

18

Umar Attaimi, Lembaga Maaf dalam Hukum Islam, h. 120.

10

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, bahwa pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010. Sedangkan menurut hukum Islam, perlakuan
grasi terhadap terpidana hanya berlaku pada hukuman qisasdiyat dan ta’zir, dan tidak
berlaku bagi jarimah hudud. Pihak korban, atau keluarga korban hanya boleh
memberikan grasi terhadap sanksi hukum berupa qisas, atau diyat tertentu saja. Juga
tidak bisa memberi grasi terhadap sanksi ta’zir, yang telah diputus oleh hakim kepada
terpidana. 19
Mei Susanto, dalam jurnal penelitiannya “Perkembangan Pemaknaan Hak
Prerogatif Presiden: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUUXIII/2015”. Penelitian ini memberikan pemahaman mengenai Putusan Nomor
22/PUU-XIII/2015 yang menunjukkan adanya perkembangan pemikiran mengenai
pemaknaan hak prerogatif Presiden Indonesia yang tidak hanya terbatas pada hak
eksklusif yang dimiliki presiden tanpa dapat diganggu gugat oleh lembaga negara
lainnya. Pemaknaan hak prerogatif oleh presiden salah satunya yaitu pemberian
amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi.20
Dari beberapa literatur-literatur yang telah dikemukakan, baik secara
kelompok maupun perorangan. Tidak ditemukan yang membahas secara signifikan
tentang persoalan yang diuraikan dalam skripsi. Meskipun ada diantaranya yang
mengkaji tentang konsep grasi, namun masih bersifat umum, maka dengan itu penulis
ingin mengkaji secara mendalam tentang Grasi dalam perspektif Hukum Pidana
Islam.
19

Husin Wattimena, Pemberian dan Pencabutan Grasi Perspektif Hukum Islam, Jurnal
Tahkim Vol. XI No. 2. h. 48.
20

Mei Susanto, Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden: Kajian Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIII/2015. Jurnal Yudisial, Vol. 9 No. 3 Desember 2016,
Komisi Yudisial Republik Indonesia, h. 256-257.

11

E. Metode Penelitian
Agar suatu penelitian dapat bersifat obyektif maka dalam mengambil
kesimpulan harus berpedoman pada metode penelitian. Dalam melakukan penelitian,
penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
pustaka (library research), yaitu mengumpulkan data dan bahan-bahan pemikiran
bersumber dari sejumlah literatur, baik mengubah redaksi kalimatnya ataupun tidak.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian, penulis menggunakan pendekatan sebagai
berikut:
a. Pendekatan Teologis Normatif (Syar’i), pendekatan ini dimaksudkan
untuk mengarahkan pemahaman masyarakat, praktisi hukum, dan para
mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk
lebih memahami mengenai pelaksanaan grasi di Indonesia dan perspektif
hukum pidana Islam,
b. Pendekatan Yuridis

Formal, Pendekatan ini

dimaksudkan untuk

mengarahkan pemahaman masyarakat, praktisi hukum, dan para
mahasiswa mengenai pelaksanaan grasi yang telah diputuskan oleh
Presiden.
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun pembagiannya yaitu, sebagai berikut :

12

a. Sumber Data
Penulisan skripsi menggunakan sumber data kepustakaan (library
research). Dalam penulisan skripsi menggunakan sumber data, yaitu :
1) Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dan sumber pertama.
2) Data sekunder, adalah antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan
sebagainya.21 Dan untuk menguatkan data sekunder maka digolongkan
yaitu sebagai berikut:
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari: berupa Undang-Undang, yaitu : norma atau kaedah
dasar yaitu:
1) Al-Qur’an dan Hadits
2) Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi,
4) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan
Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, dan sebagainya.
c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus (hukum), dan ensiklopedi.22
21

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Cet. 2; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 30.
22

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, h. 31-32.

13

4. Pengolahan dan Analisis Data
a. Teknik Pengolahan
Adapun langkah-langkah dalam mengolah data adalah sebagai berikut:
1) Identifikasi data, yaitu melakukan proses klasifikasi terhadap data
yang langsung diperoleh dari lapangan berupa data primer dan data
yang diperoleh dari bahan kepustakaan berupa data sekunder.
2) Editing data adalah pemeriksaan data hasil penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui relevansi (hubungan) dan keabsahan data yang akan
dideskripsikan dalam menemukan jawaban pokok permasalahan.
b. Analisis Data
Data yang diperoleh dan yang telah diolah, penyajian data dilakukan dengan
menganalisanya. Analisis data yang dilakukan dengan metode deduktif. Metode
deduktif adalah metode yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan
masalah yang telah dipaparkan, yaitu sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan grasi di Indonesia,
b. Untuk memahami konsep grasi dalam perspektif hukum pidana Islam.

14

2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan teoritis yaitu
memberikan pemahaman tentang pelaksanaan grasi di Indonesia kepada
seluruh warga masyarakat dan terutama mahasiswa yang bergelut di dunia
hukum.
b. Secara Praktis
Secara praktis pembahasan terhadap konsep grasi ini diharapkan dapat
memberi manfaat dan pengetahuan untuk kepentingan seluruh pihak baik
itu mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat
serta mahasiswa.
c. Secara Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan-bahan kepustakaan di
bidang hukum yang berkaitan dengan bentuk pelaksanaan grasi di
Indonesia dan konsep grasi dalam sudut pandang hukum pidana Islam.

BAB II
TINJAUAN TEORETIS
A. Tinjauan Umum tentang Grasi
1. Pengertian Grasi
Secara bahasa grasi berasal dari bahasa Belanda (gratie), diartikan dengan
“pengurangan hukuman yang diberikan kepala negara (Presiden) kepada seorang
terhukum.”1 Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Grasi berarti
“ampunan yg diberikan oleh kepala negara kepada orang yg telah dijatuhi hukuman”2
Selanjutnya menurut Jimly Asshiddiqe, grasi merupakan kewenangan
Presiden yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan
putusan pengadilan yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan,
ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan peradilan.”3
Secara yuridis pengaturan grasi terdapat di dalam UUD 1945, UndangUndang Nomor 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi.
Di dalam Undang-Undang Dasat 1945 Pasal 14 ayat (1) dinyatakan: “Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung.” 4

1

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 149.

2

Kementerian Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa
Kementerian Pendidikan Nasional, 2008), h. 489.
3

Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi R.I, 2006), h. 175-176.
4

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara 1945, Undang-Undang 1945 Hasil
Amandemen dan Proses Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Secara Lengkap, (Cet. VI; Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), h. 10.

15

16

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi
memberikan definisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden.5
Di berbagai sistem hukum di banyak negara, ada beberapa istilah lain yang
merujuk pada pengertian grasi. Di Amerika Serikat dan Filipina dikenal adanya
istilah pardon yang artinya pengampunan dan istilah clemency atau executive
clemency yang artinya pengampunan secara luas. Di negara-negara yang berbentuk
monarki, seperti Spanyol dipergunakan istilah pardon (indulto) dan derecho de
Garcia (right of grace), di Inggris dipergunakan istilah pardon dan Royal Prerogative
Mercy atau clemency atau graces begitu pula berlaku di Negara Kanada, Perancis,
dan Iran.6
Dalam aplikasinya pardon dan clemency mempunyai arti dan implikasi yang
berbeda di masing-masing negara. Tetapi secara umum di beberapa negara hanya
digunakan istilah pardon saja, seperti di Afrika Selatan, Rusia, Chile, Swiss. Istilahistilah yang terkait dengan terminologi pardon (pengampunan) adalah commutation
yang artinya pergantian atau peringanan jenis hukuman; remission‛yang artinya

5

Republik Indonesia, Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dikutip
dalam buku Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan
Hukuman Mati, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan LBH Masyarakat. 2016), h.
17.
6

Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan Hukuman
Mati: Analisis Atas Penggunaan Undang-Undang Grasi dan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait
Grasi dalam Eksekusi Mati Gelombang Ke-3, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
dan LBH Masyarakat, 2016), h. 2.

17

penghapusan atau pengurangan masa hukuman atau denda; reprieve yang artinya
penundaan sementara atas hukuman; amnesty yang artinya penghapusan kejahatan. 7
Maka istilah clemency secara luas adalah mencakup makna-makna
terminologi tersebut diatas atau hanya mengandung makna kata amnesty dan pardon.
Istilah grasi berasal dari bahasa Belanda gratie atau genade yang berarti rahmat.
Pengertian grasi dalam arti sempit berarti merupakan tindakan pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana atau
hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. 8
2. Sejarah Penerapan Grasi di Indonesia
Pemberian grasi atau pengampunan pada mulanya di zaman kerajaan absolut
di Eropa adalah berupa anugrah raja (Vorstelijke Gunst) yang memberikan
pengampunan kepada orang yang telah di pidana, jadi sifatnya sebagai kemurahan
hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuh negara-negara modern di mana
kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintah atas pengaruh dari
paham

Trias

Politicia,

yang

mana

kekuasaan

pemerintahan

tidak

dapat

sekehendaknya ikut campur kedalam kekuasaan kehakiman, maka pemberian grasi
berubah sifatnya menjadi sebagai upaya koreksi terhadap putusan pengadilan,
khususnya dalam hal mengenai pelaksanaanya.9

7

Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan Hukuman
Mati: Analisis Atas Penggunaan Undang-Undang Grasi dan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait
Grasi dalam Eksekusi Mati Gelombang Ke-3, h. 3.
8

Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupulu, Pembatasan Grasi dan Hukuman
Mati: Analisis Atas Penggunaan Undang-Undang Grasi dan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait
Grasi dalam Eksekusi Mati Gelombang Ke-3, h. 3.
9

Adami Chazawi, Hukum Pidana 2, (Ed. Revisi; Cet. 7; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2016), h. 198-199.

18

Di Indonesia sendiri dasar peniadaan pidana yang telah diatur dalam KUHP.
Hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana oleh sebab grasi ditentukan oleh
Pasal 14 ayat (1) Undag-Undang Dasar 1945, yang rumusan lengkapnya (setelah
diamandemen) ialah “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung”.
Secara historis dua konstitusi (selain Undang-Undag Dasar 1945) yang pernah
berlaku di Indonesia, yakni Konstitusi RIS (1949) dan Undang-Undang Dasar Serikat
1950 juga memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan Grasi. 10
Di dalam konstitusi ini aturan mengenai grasi juga dicantumkan, tepatnya
pada Pasal 160, pada ayat (1) dan (2) dikatakan:
“Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman yang didjatuhkan
oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannja sesudah meminta nasehat
dari Mahkamah Agung, sekadar dengan undang-undang federal tidak ditunjuk
pengadilan jang lain untuk memberi nasehat.”

Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan:

“Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat
didjalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang federal, diberikan kesempatan untuk memberi
ampun.” 11

10

Adami Chazawi, Hukum Pidana 2, h. 199.

11

Adami Chazawi, Hukum Pidana 2, h. 199.

19

Ketika berlakunya Konstitusi RIS ini diundangkan Undang-Undang Darurat
No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi (6-7-1950), yang kini tidak berlaku dan digantikan
dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002. Dalam Undang-Undang Dasar Serikat
1950 (diundangkan tanggal 15-8-1950), pada Pasal 107 ayat (1,2) dicantumkan pula
tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada dengan Pasal 160 ayat 1 dan 2
Konstitusi Repuplik Indonesia Serikat, sebagai berikut:
1. Presiden mempunyak hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang
dijatuhkan oleh keputusan pengadilan; hal itu dilakukannya sesudah nasihat
dari Mahkamah Agung sekedar dengan Undang-Undang tidak ditunjuk
pengadilan yang lain untuk memberi nasihat,
2. Jika hukuman mati dijatuhkan, maka putusan pengadilan itu tidak dapat
dijalankan, melainkan sesudh Presiden, menurut aturan-aturan yang
ditetapkan dengan Undang-Undang, diberikan kesempatan untuk memberikan
grasi. 12
Pada zaman Hindia Belanda dulu mengenani hukum acara dalam hal grasi di
atur dalam Ratieregeling (Sttb. 1933 No. 2) dan setelah Proklamasi dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 67 Tahun 1948 tentang permohonan
Grasi, yang kedua-duanya kemudian dicabut oleh oleh Undang-Undang Grasi No. 3
Tahun 1950 (LN 1950 No. 40). Undang-Undang Grasi No. 3 Tahun 1950 sejak
tanggal 22 Oktober 2002 tidak berlaku lagi, karena dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Undang-Undang Grasi yang baru yakni Undang-Undang No. 2 Tahun 2002. 13
B. Pertimbangan Pemberian Grasi
Dalam literatur hukum tata negara, persoalan mengenai makna hak prerogatif
sebagai salah satu kekuasaan presiden, sering kali menimbulkan perbedaan dan
perdebatan. Hak prerogatif merupakan kekuasaan istimewa yang dimiliki oleh

12

Adami Chazawi, Hukum Pidana 2, h. 200.

13

Adami Chazawi, Hukum Pidana 2, h. 200-201.

20

seorang presiden tanpa dapat dicampuri oleh lembaga lainnya. Pandangan tersebut
seolah-olah menempatkan presiden memiliki kewenangan yang sangat mutlak dan
tidak dapat dibatasi sesuai prinsip checks and balances dalam ajaran konstitusi yang
dianut Indonesia. 14
Pemaknaan hak prerogatif sebagai kekuasaan yang tidak secara tegas
dituliskan dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan, namun
keberadaannya tetap diakui khususnya dalam rangka mengisi kekosongan hukum atas
perkara atau kejadian ketatanegaraan yang ada di depan mata. Karena itu, hak
prerogatif ini bersifat melekat dan memilik