Manusia adalah Hamba
Seringkali sikap-sikap menentang, khususnya dalam
kancah pemikiran, disebabkan oleh “ketidaktahuan “ atau
adanya proses-proses “kekaburan” yang timbul dari
anggapan picik bahwa “apa yang ada dalam pikiran”
identik dengan “apa yang ada dalam kenyataan”. Tingkat
kerancuan ini-dan ketidak pahaman yang ditimbulkannya
serta penentangan dan permusuhan sebagai
kelanjutannya kian bertambah kompleks ketika “apa yang
ada dalam pikiran” tersebut merupakan sesuatu yang
kuno dan berakar dalam. Sebab, kekunoan itu telah
memberinya sifat kepurbaan, suatau sifat yang
membuatnya bernilai otoritatif dan tidak dapat diotak-atik
atau didekati, karena merupakan otoritas suci.
Salah satu pemikiran yanga mengakar kuat dan otoritatif
tersebut-yang hampir merupakan akidah karena
kepurbaan dan dominasinya-adalah pemikiran bahwa AlQur’an yang diturunkan oleh Jibril kepada Muhammad
dari hadirat Allah adalah teks yang qadim dan azali, dan
ia merupakan salah satu di antara sifat-sifat Dzat Tuhan.
Karena Dzat Tuhan adalah azali dan tak bermula maka
demikian pula halnya dengan sifat-sifat-Nya dan segala
yang berasal dari-Nya. Al-Qur’an adalah firman Allah
dengan demikian, ia juga qadim karena termasuk
diantara sifat-sifatnya yang azali dan qadim tersebut. Jadi
siapapun yang mengatakan ia baru dan tidak qadim atau
bahwa ia “tercipta” yang sebelumnya tidak ada kemudian
ada-artinya ia muncul di alam-maka orang tersebut telah
menentang akidah dan layak dikenal julukan kafir. Jika
orang yang menyatakan muslim maka hukumnya murtadlah yang berlaku atasnya karena persolan ke-qadim-an
Al-Qur’an ini, maksudnya ia tidak tercipta dan baru,
termasuk poin-poin akidah yang tidak akan genap
keimanan seoarng muslim kecuali dengan menerimanya
sepenuh hati.
Kritik teks, kajian ketiga yang ia lakukan adalah kajian
tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, dalam kitabnya mafhum anNashsh yang akan menjadi objek pembahasan dalam
tulisan ini. Kitab ini lebih tepat disebut dengan naqd annashsh, karena di dalamnya membahasan tentang AlQur’an dan ilmu-ilmunya dengan analisis-kritis.
Maksudnya adalah kritik dalam artinya yang modern.
Dengan demikian, konsepsi tentang ke-azali-an al-Qur’an
bukanlah bagian dari akidah sama sekali. Ungkapan
tentang lauh al-mahfuzh yang terdapat dalam Al-Qur’an,
seperti al-kursi, al-‘arsy, dan sebagainya, harus dipahami
secara metaforik dan bukannya literal. Pengertian “Allah
menjaga Al-Qur’an” bukan dalam pengertian “Dia
memeliharanya di langit dalam bentuk tertulis di lauh
mahfuzh”. Bukan demikian , akan tetapi maksudnya Dia
memeliharanya di dunia ini dan dalam kalbu orang-orang
yang beriman kepadanya. begitu pula firman Allah:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an
dan sesungguhnya Kami lah yang akan memeliharanya”.
Firman ini bukan intervensi Tuhan secara langsung di
dalam proses pemeliharaan, kodifikasi dan pembukuan,
melainkan intervensi, dan merangsang mereka betapa
penting memelihara al-Qur’an ini.
Historisitas, kembali pada pembedaan yang dasardasarnya telah dibuat oleh Mu’tazilah, yaitu pembedaan
antara kuasa dan tindakan dalam perspektif fakta ilahiah.
Kuasa Tuhan bersifat mutlak dan sama sekali tidak
berbatas karena merupakan salah satu dari sifat Dzat
yang bersifat qadim. Ini dari satu segi, tetapi dari segi
lain kuasa ini mempresentasikan “kemungkinankemungkinan” (potensi) yang tiada batas bagi tindakan
(aksi). Dengan demikian, tindakan berkaitan dengan
dunia yang relatif sekalipun sumber dan akar
efektivitasnya terdapat pada kuasa yang mutlak.
Tindakan tadi dari segi pertaliannya dengan yang relatif
dan historis tidak bisa terlepas dari sejarah.
Menggunakan ungkapan Abu Hamid al-Ghazali dalam
misykah al-Anwar, tindakan pertama Tuhan adalah
menciptakan alam semesta, mengeluarkannya dari gulita
ketiadaan menuju cahaya wujud. Penciptaan alam
dengan demikian, dapat dianggap sebagai fakta historis
dalam dirinya sendiri, yaitu sebagi “kejadian” yang tidak
ada presiden kecuali dalam ilmu Tuhan berupa yang tidak
kita ketahui hakikatnya. Karena kita mengatakan bahwa
dunia adalah “baru” (muhdats). Sementara persoalan
“kebaruan alam” ini sendiri tidak lain adalah persoalan
temporalitas dan historisitasnya. Dengan demikian,
konsep histositas ini melekat pada keberadaan dunia dan
tepatnya, proses perwujudannya-baik perwujudan ini
diwujudkan dari ketiadaan sama sekali atau dibuat dari
materi yang bersifat qadim[5]. Jadi kejadian dalam masa,
bahkan sekalipun masa tersebut adalah momen awal dari
masa tersebut, yaitu momen yang meisahkan antara
wujud Tuhan yang absolut dan transenden dengan wujudwujud yang tergantung dan historis. Kalangan yang
menyakini ke-qadim-an Al-Qur’an beranggapan bahwa
firman Tuhan adalah sifat Dzat dan bukannya sifat
tindakan seperti dinyatakan Mu’tazilah. Mereka berpijak
pada pernyataan yang terdapat dalam al-Qur’an
bahwasanya Allah memulai penciptaan dengan perintah
kejadian Tuhan. Setiap kali Allah SWT.menghendaki
sesuatu maka Dia cukup mengatakan “jadilah”, maka
jadilah. Sudah barang tentu, mustahil bagi kita
membayangkan bahwa Allah SWT.melafalkan ujaran tadi
sebagiamana yang dilakukan manusia. Karena itu,
perintah kejadian dari Tuhan diatas tidak bisa tidak harus
dipahami secara metaforik, sebagaimana lauh mahfuzh
juga kami nyatakan untuk depahami dengan cara yang
sama. Sebab, pemahaman yang harfiah dapat
menjatuhkan kita pada persoalan-persoalan yang dapat
mengusik akidah kita.
Ini pandangan yang berkat interes politik berhasil
mendominasi dan menguasai sejarah kebudayaan ArabIslam. Dengan penguasaan dan dominasi ini tidak lantas
menjadikan pandangan tadi berhak atas klaim
“kebenaran” dalam pengertian apa pun. Sebab ia
mengandung analisis motologis yang hampir-hampir
paganistik yang dapat menodai konsep tauhid yang kita
tahu merupakan konsep kunci dalam akidah Islam, justru
pandangan Mu’tazilah yang telah kami coba uraikan di
depan lebih sejalan dengan semangat akidah Islam ini.
Secara global pandangan ini dapat diberikan dalam
bagan berikut: yang perlu kita cermati dalam hal ini,
perlu kita analisa terlebih dahulu supaya kita tidak
terjerumus dalam hal yang menyesatkan.
kancah pemikiran, disebabkan oleh “ketidaktahuan “ atau
adanya proses-proses “kekaburan” yang timbul dari
anggapan picik bahwa “apa yang ada dalam pikiran”
identik dengan “apa yang ada dalam kenyataan”. Tingkat
kerancuan ini-dan ketidak pahaman yang ditimbulkannya
serta penentangan dan permusuhan sebagai
kelanjutannya kian bertambah kompleks ketika “apa yang
ada dalam pikiran” tersebut merupakan sesuatu yang
kuno dan berakar dalam. Sebab, kekunoan itu telah
memberinya sifat kepurbaan, suatau sifat yang
membuatnya bernilai otoritatif dan tidak dapat diotak-atik
atau didekati, karena merupakan otoritas suci.
Salah satu pemikiran yanga mengakar kuat dan otoritatif
tersebut-yang hampir merupakan akidah karena
kepurbaan dan dominasinya-adalah pemikiran bahwa AlQur’an yang diturunkan oleh Jibril kepada Muhammad
dari hadirat Allah adalah teks yang qadim dan azali, dan
ia merupakan salah satu di antara sifat-sifat Dzat Tuhan.
Karena Dzat Tuhan adalah azali dan tak bermula maka
demikian pula halnya dengan sifat-sifat-Nya dan segala
yang berasal dari-Nya. Al-Qur’an adalah firman Allah
dengan demikian, ia juga qadim karena termasuk
diantara sifat-sifatnya yang azali dan qadim tersebut. Jadi
siapapun yang mengatakan ia baru dan tidak qadim atau
bahwa ia “tercipta” yang sebelumnya tidak ada kemudian
ada-artinya ia muncul di alam-maka orang tersebut telah
menentang akidah dan layak dikenal julukan kafir. Jika
orang yang menyatakan muslim maka hukumnya murtadlah yang berlaku atasnya karena persolan ke-qadim-an
Al-Qur’an ini, maksudnya ia tidak tercipta dan baru,
termasuk poin-poin akidah yang tidak akan genap
keimanan seoarng muslim kecuali dengan menerimanya
sepenuh hati.
Kritik teks, kajian ketiga yang ia lakukan adalah kajian
tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, dalam kitabnya mafhum anNashsh yang akan menjadi objek pembahasan dalam
tulisan ini. Kitab ini lebih tepat disebut dengan naqd annashsh, karena di dalamnya membahasan tentang AlQur’an dan ilmu-ilmunya dengan analisis-kritis.
Maksudnya adalah kritik dalam artinya yang modern.
Dengan demikian, konsepsi tentang ke-azali-an al-Qur’an
bukanlah bagian dari akidah sama sekali. Ungkapan
tentang lauh al-mahfuzh yang terdapat dalam Al-Qur’an,
seperti al-kursi, al-‘arsy, dan sebagainya, harus dipahami
secara metaforik dan bukannya literal. Pengertian “Allah
menjaga Al-Qur’an” bukan dalam pengertian “Dia
memeliharanya di langit dalam bentuk tertulis di lauh
mahfuzh”. Bukan demikian , akan tetapi maksudnya Dia
memeliharanya di dunia ini dan dalam kalbu orang-orang
yang beriman kepadanya. begitu pula firman Allah:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an
dan sesungguhnya Kami lah yang akan memeliharanya”.
Firman ini bukan intervensi Tuhan secara langsung di
dalam proses pemeliharaan, kodifikasi dan pembukuan,
melainkan intervensi, dan merangsang mereka betapa
penting memelihara al-Qur’an ini.
Historisitas, kembali pada pembedaan yang dasardasarnya telah dibuat oleh Mu’tazilah, yaitu pembedaan
antara kuasa dan tindakan dalam perspektif fakta ilahiah.
Kuasa Tuhan bersifat mutlak dan sama sekali tidak
berbatas karena merupakan salah satu dari sifat Dzat
yang bersifat qadim. Ini dari satu segi, tetapi dari segi
lain kuasa ini mempresentasikan “kemungkinankemungkinan” (potensi) yang tiada batas bagi tindakan
(aksi). Dengan demikian, tindakan berkaitan dengan
dunia yang relatif sekalipun sumber dan akar
efektivitasnya terdapat pada kuasa yang mutlak.
Tindakan tadi dari segi pertaliannya dengan yang relatif
dan historis tidak bisa terlepas dari sejarah.
Menggunakan ungkapan Abu Hamid al-Ghazali dalam
misykah al-Anwar, tindakan pertama Tuhan adalah
menciptakan alam semesta, mengeluarkannya dari gulita
ketiadaan menuju cahaya wujud. Penciptaan alam
dengan demikian, dapat dianggap sebagai fakta historis
dalam dirinya sendiri, yaitu sebagi “kejadian” yang tidak
ada presiden kecuali dalam ilmu Tuhan berupa yang tidak
kita ketahui hakikatnya. Karena kita mengatakan bahwa
dunia adalah “baru” (muhdats). Sementara persoalan
“kebaruan alam” ini sendiri tidak lain adalah persoalan
temporalitas dan historisitasnya. Dengan demikian,
konsep histositas ini melekat pada keberadaan dunia dan
tepatnya, proses perwujudannya-baik perwujudan ini
diwujudkan dari ketiadaan sama sekali atau dibuat dari
materi yang bersifat qadim[5]. Jadi kejadian dalam masa,
bahkan sekalipun masa tersebut adalah momen awal dari
masa tersebut, yaitu momen yang meisahkan antara
wujud Tuhan yang absolut dan transenden dengan wujudwujud yang tergantung dan historis. Kalangan yang
menyakini ke-qadim-an Al-Qur’an beranggapan bahwa
firman Tuhan adalah sifat Dzat dan bukannya sifat
tindakan seperti dinyatakan Mu’tazilah. Mereka berpijak
pada pernyataan yang terdapat dalam al-Qur’an
bahwasanya Allah memulai penciptaan dengan perintah
kejadian Tuhan. Setiap kali Allah SWT.menghendaki
sesuatu maka Dia cukup mengatakan “jadilah”, maka
jadilah. Sudah barang tentu, mustahil bagi kita
membayangkan bahwa Allah SWT.melafalkan ujaran tadi
sebagiamana yang dilakukan manusia. Karena itu,
perintah kejadian dari Tuhan diatas tidak bisa tidak harus
dipahami secara metaforik, sebagaimana lauh mahfuzh
juga kami nyatakan untuk depahami dengan cara yang
sama. Sebab, pemahaman yang harfiah dapat
menjatuhkan kita pada persoalan-persoalan yang dapat
mengusik akidah kita.
Ini pandangan yang berkat interes politik berhasil
mendominasi dan menguasai sejarah kebudayaan ArabIslam. Dengan penguasaan dan dominasi ini tidak lantas
menjadikan pandangan tadi berhak atas klaim
“kebenaran” dalam pengertian apa pun. Sebab ia
mengandung analisis motologis yang hampir-hampir
paganistik yang dapat menodai konsep tauhid yang kita
tahu merupakan konsep kunci dalam akidah Islam, justru
pandangan Mu’tazilah yang telah kami coba uraikan di
depan lebih sejalan dengan semangat akidah Islam ini.
Secara global pandangan ini dapat diberikan dalam
bagan berikut: yang perlu kita cermati dalam hal ini,
perlu kita analisa terlebih dahulu supaya kita tidak
terjerumus dalam hal yang menyesatkan.