ANALISIS LONGSOR DI KOTA BANDAR LAMPUNG

ABSTRACT
LANDSLIDES ANALYSIS IN BANDAR LAMPUNG CITY

By
ANDHI

Since 2010, landslide of the region of Bandar Lampung is tend to increased. Natural
factors (i.e. rainfall, steep slopes, geological conditions, regolith, the fault/escarpment)
and management factors (i.e. population, land cover, and road infrastructure) are
triggering landslides. This research aims: (1) to analyze the factors that cause landslides
and determine the formula of landslide vulnerability (TKL); (2) determine the area of
landslides vulnerability (TKL); and (3) determining the efforts/actvities and role of
stakeholders in the landslide mitigation in order to reduce the impact and protect the
people who live in areas prone to landslides. This study was conducted in April-May
2015 in the region of Bandar Lampung city. Methods were using descriptive analysis,
map analysis based on Geographical Information Systems (GIS), and semi-quantitative
analysis involved method of Analitical Hierarchy Process (AHP). The results showed
that the landslide in the city of Bandar Lampung caused by natural factors (weight 0.67)
and management factors (weight 0.33). The most influential parameters on natural
factors were 3-day cumulative rainfall (weight 0.26), slope (weight 0.17), geology
(weight 0.10), fault/escarpment (weight 0.09), regolit (weight 0.05). Parameters having

an effect on the management of landslide factors, namely land cover (weight 0.18),
road infrastructure (weight 0.10), and population density (0.05). The landslides
vulnerability (TKL) in region of Bandar Lampung that TKL = 0.26 + 0.17 HHK LH +
0.10 G + 0.09 KTR PS + 0.05 + 0.18 0.10 PL + I + 0.05 KP. The landslides
vulnerability in the region of Bandar Lampung as follows: not prone to landslides
(75.65%); little prone to landslides (9.8%); rather prone to landslides (14.46%); and
prone to landslides (0.09%). The total areas is prone to landslides (7.4 hectares) in
Panjang District, the rest one (less than1 hectare) in Langkapura District.
Efforts/activities priority disaster mitigation of landslides in sequence: (1) dissemination
of mitigation, (2) enforcement of law, (3) rehabilitation/reboisation, (4) relocation of
residents of areas prone to landslides, (5) preparation of building control landslide or
structuring region. The important role of stakeholders in landslide mitigation in
sequence as follows: (1) government agencies; (2) community of areas prone to
landslides; (3) the expert/practitioners (4) private institutions; and (5) NGOs.
Keywords: landslide, landslide vulnerability, mitigation

ABSTRAK
ANALISIS LONGSOR DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

ANDHI
Sejak tahun 2010, kejadian longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung cenderung
meningkat. Faktor alamiah (yaitu curah hujan, curamnya lereng, kondisi geologi,
regolit [tanah], adanya sesar/patahan/gawir) dan faktor manajemen (penduduk,
penutupan lahan, dan infrastruktur jalan) merupakan pemicu terjadinya longsor.
Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis faktor-faktor yang penyebab terjadinya
longsor dan menentukan formula Tingkat Kerawanan Longsor (TKL); (2) menentukan
tingkat kerawanan longsor (TKL); dan (3) menentukan upaya dan peran pemangku
kepentingan (stakeholder) dalam mitigasi longsor untuk mengurangi dampak dan
melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana longsor. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April – Mei 2015 di Wilayah Kota Bandar Lampung. Metode
Penelitian menggunakan analisis deskriptif, analisis peta berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG), dan analisis semi kuantitatif menggunakan metode Analisis Hirarki
Proses (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa longsor di wilayah Kota Bandar
Lampung disebabkan oleh faktor alami (bobot 0,67) dan faktor manajemen (bobot
0,33). Parameter yang paling berpengaruh pada faktor alami adalah curah hujan
kumulatif 3 hari (bobot 0,26), kemiringan lahan (bobot 0,17), geologi (bobot 0,10),
patahan/sesar/gawir (bobot 0,09), ketebalan tanah/regolit (bobot 0,05). Parameter yang
berpegaruh pada faktor manajemen terhadap longsor yaitu penutupan lahan (bobot
0,18), infrastruktur jalan (bobot 0,10), dan kepadatan penduduk (0,05). Tingkat

Kerawanan Longsor (TKL) Wilayah Kota Bandar Lampung yaitu TKL=0,26 HHK +
0,17 LH+ 0,10 G+ 0,09 PS + 0,05 KTR+ 0,18 PL + 0,10 I+ 0,05 KP. Tingkat
kerawanan longsor di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut: tidak rawan
longsor (75,65%); sedikit rawan longsor (9,8%); agak rawan longsor (14,46%); dan
rawan longsor (0,09%). Luas wilayah yang rawan longsor (7,4 hektar) di Kecamatan
Panjang, sisanya (40% (perbukitan terjal) yaitu: (1) Kecamatan Bumi Waras 25 ha;
Kecamatan Kemiling 757,50 ha; (3) Kecamatan Panjang 98,44 ha; (4) Kecamatan
Sukabumi 168,57 ha; (5) Kecamatan Tanjungkarang Barat 107,07 ha; (6) Kecamatan
Teluk Betung Barat 220,40 ha; dan (7) Kecamatan TelukBetung Timur 317,79 ha.

Di wilayah berbukit sampai terjal tersebut, banyak warga masyarakat yang bermukim
di wilayah yang rawan longsor tersebut. Keadaan ini memang memprihatinkan,
masyarakat tersebut terpaksa menempati wilayah yang rawan longsor, salah satunya
disebabkan faktor kemiskinan, meskipun mereka sadari ancaman tanah longsor setiap
saat menanti (Donie, 2013).

Penelitian dan publikasi upaya pencegahan untuk mengurangi risiko (mitigasi)
terhadap bencana longsor serta faktor-faktor penyebabnya di Wilayah Kota
Bandar Lampung masih sangat sedikit. Untuk itu penelitian tentang analisis
longsor yang terjadi di Kota Bandar Lampung perlu dilakukan.


6
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
(1) Menganalisis faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya longsor
di Wilayah Kota Bandar Lampung;
(2) Menentukan tingkat kerawanan longsor (TKL) di Wilayah Kota Bandar
Lampung;
(3) Menentukan upaya mitigasi dan peran pemangku kepentingan (stakeholder)
dalam upaya mengurangi dampak bencana longsor dan melindungi
masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana longsor.

C. Kerangka Pemikiran

Sebagian wilayah Kota Bandar Lampung merupakan perbukitan terjal (dengan
kemiringan>40%) yang merupakan wilayah yang rawan longsor. Menurut
Bappeda Kota Bandar Lampung (2013), luas wilayah Bandar Lampung yang datar
sampai landai mencapai 60% (11.833,2 ha), wilayah landai sampai miring
mencapai 35% (6.902,7 ha), sedangkan sangat miring sampai curam hanya 4%
(788.88 ha). Sejak tahun 2010 sampai 2015, kejadian longsor di Wilayah Kota

Bandar Lampung cenderung meningkat (Tabel 1). Beberapa faktor alami (yaitu
curah hujan, curamnya lereng, kondisi geologi, regolit [tanah], adanya
sesar/patahan) dan faktor manajemen (penduduk, penutupan lahan, dan
infrastruktur jalan) merupakan pemicu terjadinya longsor (Paimin, dkk, 2009).
Peristiwa tanah longsor di suatu wilayah dengan kelerengan terjal (kemiringan
>45%), pada umumnya didahului oleh kejadian hujan dengan intensitas hujan

7
tinggi (Muntohar, 2009).

Faktor yang penting selain intensitas hujan adalah

lamanya hujan yang berpengaruh nyata terhadap longsor.

Sedangkan hasil penelitian Sarya dkk. (2014), bahwa curah hujan di atas 50 mm
per jam menyebabkan tanah longsor dangkal di Desa Wonodadi Kulon,
Kabupaten Pacitan. Kejadian tanah longsor dangkal ini telah menyebabkan
gangguan dan kerusakan di sepanjang jaringan transportasi. Selanjutnya Sarya
dkk. (2014), menetapkan kurva ambang batas intensitas (I)-durasi (D) curah hujan
untuk tanah longsor dangkal di Desa Wonodadi Kulon tersebut dengan persamaan

yaitu I = 52D-0,79.
Curah hujan antara 101 sampai 298 mm terjadi hanya dalam 2 hari dengan
intensitas curah hujan maksimum berkisar antara 41 mm/jam hingga 79 mm/jam
menyebabkan longsor. Hasnawir (2012) menyatakan bahwa curah hujan di atas 50
mm per jam menyebabkan tanah longsor dangkal di Sulawesi Selatan.
Menurut Harjadi (2013), kondisi bentuk lahan perbukitan dan pegunungan dengan
kemiringan lereng > 45% dengan tekstur tanah liat ringan sampai berat dan
dilewati sesar geologi, kedalaman regolit >2 m, kepadatan penduduk > 5.000
jiwa/km2, dan curah hujan >300 mm berturut-turut selama 3 hari, berpotensi
terjadinya longsor.

Hasil penelitian Harjadi (2013) di Kabupaten Banjarnegara, Karanganyar, dan
Purworejo, antara lain: dengan bentuk lahan dari Hilly (H) hingga Mountain
(Pegunungan, M), kemiringan lereng 38% hingga >85%; relief perbukitan hingga
pegunungan, batuan induk batuan beku lunak (Iw) pelapukan lanjut warna coklat;
erosi alur dan jurang tingkat berat, kedalaman solum sangat dalam (>90 cm) dan

8
regolit dalam (100-200 cm), jenis tanah masing-masing Inceptisols, Ultisols;
permeabilitas sedang sampai cepat (20 – 125 mm/jam), drainase agak baik; pori

mikro banyak; konsistensi basah plastis, kondisi lembab gembur dan kering agak
keras; tekstur lempung liat berpasir (SCL), liat berdebu (SiCl); struktur granular
kasar lemah, blocky sedang lemah; warna tanah coklat kemerahan hingga cokat
kehitaman; kandungan bahan organik rendah (25 ton/ha/th) dan nilai erodibilitas tanah (K) sangat peka (>0,56); dari
kondisi biofisik di tiga lokasi tersebut juga ditunjang oleh adanya curah hujan,
yaitu dengan semakin tinggi intensitas curah hujan maka semakin berpotensi
terjadinya longsor. Ketiga wilayah tersbut memiliki tingkat kerawanan longsor
yang tertinggi di Banjarnegara (skor 3,8), Purworejo (skor 3,6) dan Karanganyar
(skor 3,1). Ketiga lokasi termasuk daerah dengan formasi geologi sama dan samasama dilewati garis sesar, sehingga faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
longsor antara lain: curah hujan dan kemiringan lereng serta penggunaan lahan.
Penggunaan lahan sebagian besar tegalan dan hanya satu lokasi di pemukiman.

Hasil penelitian Nugroho dkk. (2014), menunjukkan bahwa faktor yang paling tinggi
dalam mempengaruhi ancaman longsor di Kecamatan Pejawaran Kabupaten
Banjarnegara adalah kemiringan lereng dan litologi atau jenis batuan penyusun lapisan
tanah.
Hasil penelitian Ahmad, dkk. (2014) di DAS Budong-Budong, Kabupaten
Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan bahwa terjadinya longsor
banyak dipengaruhi oleh proses geologi dan sebagian oleh proses denudasi akibat
aktivitas iklim. Longsor yang terjadi umumnya terjadi dan dipicu oleh pergerakan


9
tanah/batuan pada lereng >40%. Tipe pergerakan longsor yang dominan adalah
tipe longsoran (sliding), dengan tipe material adalah rock slide dan debris slide
pada percampuran material tanah dan tufa. Pergerakan massa dapat dihambat
dengan penerapan metode vegetatif.

Secara sistematis faktor-faktor yang menentukan terjadinya longsor, analisis, dan
upaya mitigasinya tertera pada pada Gambar 1.

Curah Hujan
Tinggi, 3 hari
berturut- turut

-

- Lahan berlereng
>25%
- Regolit dalam


-

Tanah Jenuh Air
Adanya Bidang Luncuran
Kondisi geologi, litologi,
sesar/patahan/gawir
Daya ikat/Kohesimelemah
Daya dorong menguat

-

Tekanan
Populasi
penduduk
Getaran
jalan
Penutupan
lahan

Analisis Hirarki

Proses
(AHP)

Formula
Tingkat
Kerentanan
Longsor
(TKL)

Tanah Longsor

Mitigasi
Longsor

Upaya dan
Peran Pelaku
Mitigasi

Peta Tingkat
Kerawanan

Longsor

Gambar 1. Sistematika analisis dan mitigasi longsor di Bandar Lampung

Mitigasi longsor dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab
longsor dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) antara lain: lembaga
pemerintah, lembaga swadaya masyarkat (LSM), pakar/praktisi, lembaga swasta,
dan masyarakat.

10
D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka memberikan
informasi dalam upaya pencegahan bahaya longsor kepada:
(1) masyarakat, khususnya yang bermukim di kawasan yang berpotensi rawan
longsor;
(2) para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti pemerintah daerah,
pemerintah pusat, lembaga swadaya masyarakat, praktisi, dan lain-lain yang
berkecimpung di bidang mitigasi dan penangangan longsor.

E. Hipotesis

(1) Longsor dipengaruhi oleh curah hujan kumulatif tiga harian, lereng terjal,
kondisi geologi dan adanya sesar/patahan/gawir, kedalaman regolit,
kepadatan penduduk, kondisi penutupan lahan, dan adanya infrastruktur
jalan yang memotong lereng merupakan pemicu longsor di Wilayah Kota
Bandar Lampung.
(2) Faktor yang paling berpengaruh terhadap longsor di Wilayah Kota Bandar
Lampung adalah curah hujan.

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Bencana Geologi, Pergerakan Tanah, dan Longsor

Proses-proses geologi baik yang berasal dari dalam bumi (endogen) maupun dari
luar bumi (eksogen) dapat berdampak negatif bagi mahluk hidup yang berada di
sekitarnya. Dampak negatif ini akibat timbulnya bahaya dan bahkan bencana
geologi (geological hazards), seperti tanah longsor, letusan gunung berapi, gempa
bumi, tsunami, erosi, salinasi, dan banjir. Bencana geologi berdampak buruk bagi
aktivitas manusia yaitu dapat menyebabkan korban jiwa dan kerugian material
(harta benda) (Noor, 2006).

Selanjutnya menurut Noor (2006), pergerakan tanah berupa longsoran dari massa
batuan/tanah adalah proses perpindahan suatu massa batuan/tanah akibat gaya
gravitasi. Adanya gerakan tanah pada wilayah pemukiman yang dibangun di
daerah perbukitan yang kurang memperhatikan kestabilan lereng, struktur batuan,
dan proses geologi yang mungkin terjadi sering menimbulkan kerusakan
bangunan, rumah, dan fasilitas umum.

Menurut Harjadi (2013), proses terjadinya longsor apabila suatu wilayah dengan
kelerengan yang curam (>45%),pada bagian bawah permukaan tanah tersebut
bersifat kedap air yang dapat berperan sebagai bidang luncur. Sebelum
terjadinya longsor biasanya didahului dengan curah hujan yang tinggi (>300 mm)

12

selama tiga hari berturut-turut, air hujan yang jatuh masuk ke dalam pori-pori
tanah di atas lapisan batuan kedap sehingga tekanan tanah terhadap lereng
meningkat (Paimin, dkk., 2009). Selanjutnya longsor terjadi jika tahanan geser
massa tanah atau batuan lebih kecil dari tekanan geser pada sepanjang bidang
longsoran yang disebabkan oleh adanya peningkatan kejenuhan air tanah (Pakasi,
dkk., 2015).

Menurut Harjadi, dkk. (2007), longsoran merupakan salah satu jenis gerakan
massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar
lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng
tersebut. Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: (1) longsoran translasi, (2) longsoran
rotasi, (3) pergerakan blok, (4) runtuhan batu, (5) rayapan tanah, dan (6) aliran
bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di
Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa
manusia adalah aliran bahan rombakan.

B. Tipe-tipe Gerakan Tanah/Longsor
Menurut Noor (2006), gerakan tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Gerakan tanah tipe aliran lambat (slow flowage), yang terdiri dari:
a.

Rayapan (creep), yaitu perpindahan material batuan dan tanah ke arah
lereng dengan pergerakan yang sangat lambat.

b.

Rayapan tanah (soil creep), merupakan perpindahan material tanah ke
arah kaki lereng.

c.

Rayapan talus (Talus creep), merupakan perpindahan ke arah kaki
lereng dari material talus/scree.

13

d.

Rayapan batuan (Rock creep), merupakan perpindahan ke arah kaki
lereng dari blok-blok batuan.

e.

Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep), merupakan perpindahan
ke arah kaki lereng dari limbah batuan.

f.

Solifluction/Liquefaction, merupakan aliran yang sangat perlahan ke
arah kaki lereng dari material debris batuan yang jenuh air.

2. Gerakan tanah tipe aliran cepat (rapid flowage), terdiri dari:
a.

Aliran lumpur (mudflow), merupakan perpindahan dari material
lempung dan lanau yang jenuh air pada teras yang berlereng landai.

b.

Aliran tanah dan batuan (earthflow), merupakan perpindahan secara
cepat material debris batuan yang jenuh air.

c.

Aliran cepat massa tanah dan batuan (Debris avalance), merupakan
suatu aliran yang meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit
dan berlereng terjal.

3.

Gerakan tanah tipe longsor (landslides), terdiri dari:
a.

Nendatan (slump), merupakan longsoran ke bawah dari satu atau
beberapa bagian debris batuan, umumnya membentuk gerakan rotasional.

b.

Longsoran dari campuran massa tanah dan batuan (debris slide),
merupakan longsoran yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material
tanah yang tidak terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran ini ditandai
oleh suatu bidang rotasi pada bagian belakang bidang luncurnya.

c.

Gerakan jatuh bebas dari campuran massa tanah dan batuan (debris
fall), merupakan longsoran material debris tanah secara vertikal akibat
gravitasi.

14

d.

Longsoran masa batuan (rock slide), merupakan luncuran dari massa
batuan melalui bidang perlapisan, joint (kekar), atau permukaan
patahan/sesar.

e.

Gerakan jatuh bebas massa batuan (rock fall), merupakan luncuran
jatuh bebas dari blok batuan pada lereng-lereng yang terjal.

f.

Amblesan (subsidence), merupakan penurunan tanah yang disebabkan
oleh pemadatan dan isostasi/gravitasi.

Menurut Arsyad (2010) dan Asdak (2002, dalam Banuwa, 2013), longsor
merupakan suatu bentuk erosi dengan proses pengangkutan atau pemindahan
tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Longsor terjadi sebagai
akibat meluncurnya suatu volume tanah yang jenuh air di atas lapisan kedap air.
Lapisan tersebut mengandung liat yang tinggi yang setelah jenuh air berperan
sebagai bidang luncur.
Selanjutnya menurut Banuwa (2013), penyebab longsor adalah: (1) lereng yang
cukup curam, (2) terdapat lapisan di bawah permukaan tanah yang agak kedap air
dan lunak yang akan berperan sebagai bidang luncur; dan (3) terdapat cukup air
dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat di atas lapisan kedap air menjadi jenuh.
Bentuk kejadian yang mirip longsor adalah tanah merayap (soil creep),
perbedaannya adalah massa tanah pindah ke bagian bawah pada bidang yang
sama.
C. Faktor-faktor Penyebab Gerakan Tanah
Menurut Noor (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:

15

1.

Faktor yang bersifat pasif pada gerakan tanah adalah:
a. Litologi, yaitu material yang tidak terkonsolidasi atau rentan dan mudah
meluncur karena basah akibat masuknya air ke dalam tanah.
b. Stratigrafi, merupakan lapisan batuan dan perselingan batuan antara
batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang
permeabel dan batuan yang impermeabel.

Gambar 2. Tipe-tipe gerakan tanah
Sumber: Noor (2006)

16

c. Stratigrafi, merupakan lapisan batuan dan perselingan batuan antara
batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang
permeabel dan batuan yang impermeabel.
d. Struktur Geologi, yaitu jarak antara rekahan/joint pada batuan patahan,
zona hancuran, bidang foliasi, dan kemiringan lapisan batu yang besar.
e. Topografi, terjadi pada lereng yang terjal atau vertikal.
f. Iklim yaitu perubahan temperatur tahunan yang ekstrim dengan frekuensi
hujan yang intensif.
g. Material organik, yaitu kondisi lebat atau jarangnya vegetasi penutup
lahan.
h. Faktor yang bersifat aktif pada gerakan tanah, antara lain:
a. Gangguan yang tejadi secara alamiah ataupun buatan.
b. Lereng yang terjal akan semakin terjal karena terjadinya erosi air.
c. Proses infilitrasi air hujan yang meresap ke dalam tanah, yang melebihi
kapasitasnya sehingga tanah menjadi jenuh air.
d. Getaran-getaran tanah yang diakibatkan oleh seismisitas atau kendaraan
berat.

Selanjutnya Noor (2006) menyebutkan adanya faktor internal yang dapat
menyebabkan terjadinya gerakan tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan
yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan mudah terlepas dari ikatannya
dan meluncur ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada di sekitarnya
serta membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah ini
disebabkan sifat porositas dan kelolosan air (permeabilitas) tanah/batuan maupun
rekahan yang intensif dari masa tanah/batuan tersebut. Selain itu, adanya faktor

17

eksternal yang dapat mempercepat dan memicu terjadinya gerakan tanah antara
lain: (1) sudut kemiringan lereng, (2) perubahan kelembaban tanah/batuan karena
masuknya air hujan, (3) tutupan dan pola pengolahan lahan, (4) pengikisan oleh
air tanah, (5) aktivitas manusia seperti penggalian dan sebagainya (Noor, 2006)

D. Faktor-faktor Alami Penyebab Longsor

Menurut Paimin, dkk. (2009), faktor utama penyebab longsor adalah, yaitu faktor
alami dan faktor manajemen. Faktor alami merupakan faktor-faktor yang berasal
dari kondisi alam, yaitu: (1) curah hujan, (2) kondisi geologi, (3) keberadaan
patahan/sesar/gawir, (4) kedalaman tanah (regolit). Faktor manajemen terdiri
dari: (1) penggunaan lahan, (2) infrastruktur jalan, dan (3) kepadatan pemukiman.
1.

Curah Hujan

Terdapat dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan deras yang
mencapai 70 – 100 mm per hari (Heath dan Sarosa,1988, dalam Subhan, 2008)
dan hujan kurang deras namun berlangsung terus-menerus selama beberapa jam
hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat. Menurut
Karnawati, dkk. (2011), seluruh kejadian bencana alam gerakan tanah di tahun
2001 umumnya terjadi setelah hujan turun selama beberapa jam hingga beberapa
hari yang kemudian disusul hujan deras sesaat (1 – 2 jam). Selanjutnya
Karnawati, dkk. (2011), menyatakan bahwa faktor curah hujan yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor mencakup terjadinya peningkatan curah hujan yang
menyebabkan tekanan air pori bertambah besar, kandungan air dalam tanah naik
dan terjadi pengembangan liat dan mengurangi tegangan geser, lapisan tanah

18

jenuh air. Selain itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan rembesan air masuk
dalam retakan tanah serta menyebabkan terjadinya genangan air. Wilayah
Indonesia mengalami curah hujan maksimum pada bulan Oktober – Januari,
sehingga apabila dihubungkan dengan kejadian gerakan tanah yang selalu terjadi
pada musim hujan, maka sebagai pemicu penyebab terjadinya gerakan tanah
adalah adanya curah hujan yang tinggi. Hujan deras yang terjadi merupakan salah
satu pemicu terjadinya tanah longsor yang terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah
(Kompas.com, 2014). Peristiwa longsor di Kelurahan Bumi Raya, Kecamatan
Bumi Waras, Kota Bandar Lampung juga dipicu oleh hujan deras (Merdeka.com,
2013).
Peristiwa tanah longsor di suatu wilayah dengan kelerengan terjal (kemiringan
>45%), pada umumnya didahului oleh kejadian hujan dengan intensitas hujan
tinggi (Muntohar, 2009). Berbagai hasil penelitian menentukan batas curah hujan
dalam hal intensitas curah hujan, durasi dengan rasio intensitas curah hujan, curah
hujan kumulatif pada waktu tertentu, rasio curah hujan dengan curah hujan harian,
curah hujan sebelumnya dengan curah hujan rata-rata tahunan, dan curah hujan
harian dengan maksimum rasio curah hujan sebelumnya. Hasil penelitian
Wieczorek (1987) di La Honda California Amerika Serikat, longsor belum terjadi
bila curah hujan kurang dari 28 cm (280 mm), karena kondisi ini belum cukup
menyebabkan kejenuhan air tanah yang memicu longsor. Faktor yang penting
selain intensitas hujan adalah lamanya hujan yang berpengaruh nyata terhadap
longsor.
Hasil penelitian Sarya dkk. (2014), menunjukkan bahwa curah hujan di atas 50
mm per jam menyebabkan tanah longsor dangkal di Desa Wonodadi Kulon,

19

Kabupaten Pacitan. Curah hujan rata- rata pada Bulan Mei menunjukkan curah
hujan sebesar 314 mm dan total curah hujan mencapai 184 mm atau mencapai
61% dari curah hujan rata-rata. Selanjutnya Sarya dkk. (2014), menetapkan kurva
ambang batas intensitas (I)-durasi (D) curah hujan untuk tanah longsor di Desa
Wonodadi Kulon tersebut dengan persamaan yaitu I = 52D-0,79. Penelitian
Hasnawir (2012), curah hujan antara 101 sampai 298 mm terjadi hanya dalam 2
hari dengan intensitas curah hujan maksimum berkisar antara 41 mm/jam hingga
79 mm/jam, menunjukkan bahwa curah hujan di atas 50 mm per jam
menyebabkan tanah longsor di Sulawesi Selatan.

2. Kondisi Geologi
Menurut Ahmad, dkk. (2014), faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya
gerakan tanah adalah struktur geologi, sifat bawaan batuan, hilangnya perekat
tanah karena proses alami (pelarutan), dan gempa. Struktur geologi yang
mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah kontak batuan dasar dengan
pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan
merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga
menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap. Gempa bumi
adalah getaran pada kulit bumi yang disebabkan oleh pelepasan energi akibat
aktivitas lempeng-lempeng kerak bumi atau pun kegiatan patahan di darat atau
dasar laut. Dampak dari gempa bumi dapat berupa goncangan permukaan tanah
(ground shaking), pergeseran permukaan tanah (ground faulting) dan tsunami.
Goncangan permukaan tanah dapat mengakibatkan tanah longsor/gerakan tanah
dan penurunan permukaan tanah.

20

Gerakan tanah disebabkan oleh faktor penahan lateral yang hilang, kelebihan
beban, getaran, tahanan bagian bawah hilang. Menurut Direktorat Geologi Tata
Lingkungan (2000, dalam Subhan, 2008), faktor-faktor utama penyebab gerakan
tanah terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor-faktor utama penyebab gerakan tanah
No. Faktor Penyebab
1
Hilangnya penahan lateral

Mekanisme Utama
a. Aktivitas erosi
b. Pelapukan
c. Kemiringan bertambah akibat gerakan
d. Pemotongan bagian bawah
2
Kelebihan beban tanah
a. Air hujan yang meresap pada tanah
b. Penimbunan bangunan
c. Adanya genangan air di lereng bagian
atas
3.
Getaran
a. Gempa bumi
b. Getaran karena ulah manusia
4
Hilangnya tahanan bagian
a. Pengikisan oleh air bawah
bawah
b. Pemotongan lereng bagian bawah
c. Erosi
d. Penambangan/pembuatan terowongan.
5
Tekanan lateral
a. Pengisian air di pori-pori antar butir
tanah
b. Pengembangan tanah
Sumber: Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, 2000 (dalam Subhan,
2008).
Hasil Penelitian Ahmad, dkk. (2014) yang dilaksanakan di Sub DAS Salo Lebbo,
DAS Budong-budong, Kabupaten Mamuju Tengah, menunjukkan proses aktif
geomorfologi banyak dipengaruhi oleh proses struktur geologi dan sebagian oleh
proses denudasi yang dihasilkan dari aktivitas iklim yang banyak memberikan
pengaruh terhadap hasil akhir bentuk morfologi.
Bergeraknya massa batuan pada lereng tergantung juga kondisi resistensi/kekompakan/kekuatan batuan. Batu lempung jenis smektit dan monmorilonit, napal,

21

serpih, batuan malihan (metamorfik) akibat alterasi hidrotermal (kaolinisasi, argilitisasi, dan sebagainya) merupakan batuan yang tidak stabil dan mudah bergerak
jika bercampur air, yang sangat berperan sebagai massa/bidang luncur. Secara
umum batuan-batuan tersebut mengeras dan retak-retak pada kondisi kering,
sedangkan pada kondisi basah akan mengembang karena menyerap air sangat
ting