Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran
KEMENTERIAN KESEHATAN
Republik Indonesia
Pedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Kedokteran
Konsorsium Upaya Kesehatan
Direktorat Jendral Bina Upoaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan Repuhlik Indonesia
:'
I
I
Sambutan
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan
Puji syukur kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat rahmat
NYA, buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini dapat tersusun.
Saya menyambut gembira dengan diterbitkannya buku Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) ini. Berbeda dengan buku pedoman pedoman lain, PIIJPK ini
mempunyai kedudukan yang sangat khusus karena disusun oleh pehimpunan profesi,
untuk memenuhi mandat Undang Undang RI no 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
Saya harapkan dengan terbitnya PNPK ini, dapat memudahkan institusi upaya kesehatan,
dalam memberikan pelayanan kedokteran yang bermutu kepada masyarakat. Para
dokter pun akan memperoleh perlindungan hukum bila dalam menjalankan praktik
kedokteran mengikuti arahan dari PNPK.
Namun demikian, rumah sakit rumah sakit serta institusi pelayanan kesehatan
lainnya, mempunyai kewajiban untuk menjabarkan PNPK menjadi dokumen yang lebih
operasional, yang disebut Standar Prosedur Operasional (SPO), sesuai dengan tingkat
kompetensi fasilitas pelayanan kesehatan masing masing institusi.
Saya mengucapkan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi, kepada
para penyusun PNPK, yang telah bekerja keras menyusun buku yang sangat berharga
ini. Kepada direktur rumah sa kit, para dokter dan ahliahli lain saya ucapkan selamat
mempelajari dan membaca PNPK ini. Semoga Allah meridhoi niat baik kita
IA, .
. Akm•• Teher. SpU (KI
iii
Daftar lsi
Kata Pengantar
Daftar lsi
v
Ringkasan
vii
BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Dasar Hukum
2
3. Tujuan
3
4. 5asaran
3
BAB II. 5TANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN
5
A. Pendahuluan
5
B. Peran stan d ar pelayanan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
6
C. Jenis standar pelayanan kedokteran
7
BAB III. PEDOMAN NA510NAL PELAYANAN KEDOKTERAN
A. Uraian umum
9
9
B. Penyusunan PNPK
10
C. Proses Pembuatan PNPK
1 1
BAB IV. PANDUAN PRAKTIK KLlNI5
13
A. Panduan Praktik Klinis (PPK): Pengertian Umum
13
B. Penyusunan PPK
14
C. lsi PPK
15
D. Perangkat untuk pelaksanaan PPK
15
E. Penerapan PPK
16
F. Revisi PPK
18
BAB V. ALUR KLlNI5 DAN PENUNJANG PPK YANG LAIN
19
A. Alur klinis (Clinical Pathway)
19
B. Algoritme
22
C. Protokol
22
D. Prosedur
23
D. Standing orders
23
BAB VI. DISCLAIMER/PENYANGKALAN
25
BAB VII. PENUTUP
27
LAMPI RAN
28
DAFTAR 15TlLAH KUNCI
5 1
DAFTAR PU5TAKA
53
V
Ringkasan
Upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan horus dilakukan secara
berkesinambungan. Pemahaman dan penerapan evidence-based practice oleh dokter
secara individual merupakan hal yang baik untuk peningkatan kualitas pelayo nan.
Namun untuk penyakit atau kondisi klinis yang jumlahnya banyak, berisiko tinggi,
moho I, serta bervariasi dalam praktik diperlukan standardisasi.
Satu upaya penting yang dilakukan oleh Kemenkes adalah pembuatan standar
pelayanan. Di tingkat nasional diperlukan penyusunan Pedoman
Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berisi pernyataan yang sistematis, mutakhir,
evidence-based untuk membantu dokter / pemberi jasa pelayanan lain dalam
menangani pasien dengan kondisi tertentu. PNPK disusun oleh panel pakar (dari
organisasi profesi, akademisi, klinis, pakar lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan
hasilnya disahkan oleh Menteri Kesehatan.
Karena sifatnya yang canggih, mutakhir, maka PNPK horus diterjemahkan menjadi
Panduan Praktik Klinis (PPK) oleh masihmasing fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) sesuai dengan keadaan setempat. PPK disusun oleh Staf Medis
fasyankes, dengan mengacu pada PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka
lain. Karena jumlah PNPK terbatas, maka sebagian besar PPK dibuat dengan
merujuk pada sumber lain (artikel asli, metaanalisis, PNPK neg ora lain, buku ajar,
panduan organisasi profesi, petunjuk pelaksanaan program, dst).
PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi langkah termasuk clinical
pathway (CP untuk penyakit yang perjalanannya dapat diprediksi dan memerlukan
penanganan multidisiplin), algoritme (diagram untuk pengambilan keputusan yang
cepat), protokol (panduan pelaksanaan tugas yang cukup kompleks), prosedur
(panduan langkahIangkah tugas teknis), dan standing orders (instruksi tetap kepada
perawat). Perlu ditekankan CP tidak dibuat untuk semua penyakit namun terbatas
pada penyakit atau kondisi klinis yang lebih kurang homogen, perjalanan klinisnya
dapat diprediksi, serta memerlukan pendekatan multidisiplin.
Dalam setiap buku PPK horus disertakan disclaimer (wewanti, penyangkalan) yang
intinya menegaskan bahwa PPK hanya bersifat rekomendasi / advis, dan untuk
implementasinya horus disesuaikan dengan keadaan pasien. Disarankan disclaimer
mencakup minimal pernyataan bahwa ( 1) PPK dibuat untuk average patients, (2) PPK
disusun untuk penyakit tunggal, (3) respons pasien terhadap prosedur diagnosis dan
terapi bervariosi, (4) PPK dianggap sahih pada soot dicetak, dan (5) praktik dokter
horus mengakomodasi persepsi dan keinginan pasien dan keluarga. Dalam hal
dokter tidak melaksanokan apa yang tertulis di PPK, ia horus menjelaskan
alasannya dalam rekam medis.
vii
Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi segala
tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara substansi pelayanan medis harus
berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi medis yang telah ditapis
efektivitas, keamanan, aspek sosioekonomibudayanya sehingga menuju pada
pemerataan, peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan yang memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat. Untuk penyelenggaraan pelayanan medis
yang baik dalam arti efektif, efisien, berkualitas serta merata dibutuhkan
masukan berupa sumber daya manusia, fasiJitas, perala tan, dan dana sesuai
dengan prosedur serta metode yang memadai.
Perkembangan sosial ekonomi dan politik akhirakhir ini telah melahirkan
masyarakat yang makin sadar h ukum, sadar hak konsumen, termasuk
konsumen pelayanan kesehatan (pasien). Salah satu dampak akibat
meningkatnya kesadaran hukum tersebut adalah meningkatnya tuntutan
hukum kepada pemberi pelayanan kesehatan, baik kepada institusi maupun
kepada tenaga kesehatan. Namun belum semua institusi pelayanan kesehatan
dan tenaga kesehatan siap dalam menghadapi masalah tersebut.
Pada saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundangundangannya
dengan disahkannya Undangundang No. 29 tahun 2004 ten tang Praktik
Kedokteran pada bulan Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober
2005. Pengaturan praktik kedokteran tersebut bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan kualitas
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter gigi, serta memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/dokter gigi .
Undangundang Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 pasal 44 ayat (1)
menyatakan: Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran
gigi. Ayat (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dibedakan menurut
1
jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (3) Standar pelayanan W1tuk
dokter dan dokter gigi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri.
Standar pelayanan kedokteran (SPK) sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang Undang Praktik Kedokteran dalam implementasinya adalah Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional yang
dimaksud sesuai dengan Pasal 50 ayat 1 dan pasal 51 UndangW1dang Nomor
29 TahW1 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Pedoman ini merupakan acuan bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi
profesi dalam menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan
fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusW1 standar prosedur operasional
sebagaimana diamanahkan oleh UU Praktik Kedokteran .
Dasar Hukum
1. UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
44 ayat (I), pasal 50 dan 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia TahW1
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431);
2.
UndangUndang Nomor 32 TahW1 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 ten t ang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 TahW1 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. UndangUndang Nomor 36 TahW1 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. UndangUndang Nomor 44 TahW1 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia TahW1 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
2
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 ten tang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah
diubah
terakhir
dengan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
439/Menkes/PerNI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 ten tang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan;
7. Peraturan Menteri Kesehatan no147/MENKES/PER/2010 tentang Perizinan
RS
8. PERMENKES no 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan
Kedokteran
Tuiuan
Memberikan pedoman bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi
dalam menyusun PNPK dan panduan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam
menyusun SPO.
Sasaran
1. Kementerian Kesehatan
2. Organisasi profesi
3. Fasilitas pelayanan kesehatan
3
4
Bab 2
Standar Pelayanan Kedokteran
Pendahuluan
Dalam pus taka, undangundang, peraturan, dan panduan pelayanan kesehatan
banyak sekali istilah yang menggunakan kata standar, yang mungkin di satu
sisi bersifat tum pang tindih, di lain sisi mungkin artinya berbeda untuk satu
orang dengan orang lain. Contohnya: standar pelayanan, standar pelayanan
minimal, standar prosedur operasional (SPO), standard operating procedure
(SOP), standar pemeriksaan, standar fasilitas, dsb. Istilah standar yang
digunakan dalam ranah yang melibatkan pasien, keluarga, dan pihak lain
sangat rentan karena kata standar dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus
dilakukan. Karenanya kata atau istilah standar dalam ranah pelayanan
sebaiknya dihindarkan.
Dalam ranah kedokteran klinis, bila terdapat masalah yang belum terpecahkan,
maka terdapat alur pemecahan masalah sebagai berikut:
l. Kelompok yang diharapkan paling awal memberikan solusi adalah para
peneliti. Mereka menawarkan cara apa yang dapat dilakukan untuk
memecahkan masalah, seringkali tanpa memperrutungkan apakah cara
tersebut murah atau mahal, memerlukan alat sederhana atau canggih,
sumber daya manusia tertentu, dan dapat diterapkan atau tidak.
2. Proses yang berupaya untuk menyaring apakah opsi yang ditawarkan oleh
peneliti tersebut dapat diterapkan adalah health technology assessment
(HTA). HTA mengkaji hasil penelitian dengan menelaah efikasi,
efektivitas, efisiensi (dengan kajian ekonomi), serta aspekaspek lainnya
seperti masalah swnber daya d alam arti kata yang luas, sosial, budaya,
bahkan agama.
3. Hasil kajian HTA menjadi bahan penting dalam penyusunan Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berlaku secara nasional
dan Panduan Praktik Klinis (PPK) yang berlaku loka!.
5
4. Para dokter melakukan praktik dengan panduan PPK tersebut untuk
menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan memberi penjelasan
kepada pasien dan keluarganya tentang kemungkinan hasil pengobatan .
Dalam tataran pelaksanaan, PPK mungkin memerlukan satu atau lebih
perangkat untuk merinci panduan agar dapat dilakukan secara spesifik
dalam bentuk alur klinis (clinical pathway), algoritme, protokol,
prosedur, atau standing orders.
5. Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan pihak fasilitas pelayanan
secara terusmenerus melaksanakan audit klinis untuk menjamin bahwa
apa yang dilakukan oleh para pemberi jasa memang benar sesuai dengan
apa yang harus dilakukan seperti yang tercantum pada PPK.
Uraian tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1
Para peneliti menawarkan apa yang dapat dilakukan (what we can do)
2
HTA mengkaji opsi yang ditawarkan mana yang layak diterapkan (which
we can do)
3
PPK menetapkan apa yang seharusnya dilakukan (what we should do)
4
Praktisi menerapkan apa yang harus dilakukan (doing what we should do)
5
Penjarnin mutu audit klinis (did we do what we should do)
Peran standar pelayanan
dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan senantiasa dilakukan oleh para
pemberi jasa pelayanan dari waktu ke waktu . Kemajuan ilmu dan teknologi
kedokteran berlangsung dengan amat cepat, sehingga pemanfaatan kemajuan
tersebut tidak sertamerta dapat dilakukan secara seragarn dan konsisten.
Pemanfaatan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang dilakukan oleh
orang per orang dengan melakukan pendekatan evidence-based medicine (dengan
langkahlangkah memformulasi pertanyaan penelitian, menelusur evidence
mutakhir, melakukan telaah kritis evidence yang sahib, penting, dan dapat
diterapkan, dan menerapkannnya pada pasien secara individual) merupakan
hal yang arnat baik. Narnun untuk penyakit atau kondisi klinis yang jumlahnya
6
banyak, yang berisiko tinggi, atau cenderung menggunakan sumber daya yang
besar, apalagi apabila terdapat variasi yang luas dalam praktik seyogianya
dilakukan "standardisasi". Standardisasi, bila dirancang dan dilaksanakan
dengan baik dipercaya banyak manfaatnya baik bagi pasien, keluarga, pemberi
jasa pelayanan, serta fasilitas pelayanan.
Jenis standar pelayanan kedokteran
Mengingat sangat bervariasinya keadaan di fasilitas pelayanan kesehatan di
tanah air kita, maka mustahil dapat dibuat panduan yang dapat berlaku untuk
semua rumah sakit yang ada. Untuk itu diperlukan 2 jenis "standar"; yang satu
bersifat nasional yang menjadi rujukan bagi semua fasyankes yang ada, dan
satunya bersifat lokal yang disesuaikan dengan kondisi lokal, sebagai berikut:
1. "Standar" yang bersifat nasional (hanya dibuat untuk penyakit atau
kondisi klinis dengan syaratsyarat tertentu) disebut sebagai Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
2. "Standar" yang berlaku loka l untuk fasyankes disebut Panduan Praktik
Klinis (PPK) yang dapat disertai dengan
• Alur klinis (clinical pathway)
• Algoribne
• Protokol
• Prosedur
•
Standing orders
Catatan: PPK merupakan format teknis untuk istilah standar prosedur operasional
(SPO) yang terdapat dalam Undang-undang Praktik Kedokteran.
7
8
Bab 3
Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) adalah penyataan yang
dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence),
untuk membantu dokter dan dokter gigi dalam membuat keputusan klinis
tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis tertentu.
PNPK ini pada prinsipnya merupakan rekomendasi, dan dibuat berdasarkan
evidence mutakhir. Berbeda dengan format lain dalam standar pelayanan yang
merupakan pendekatan langkah demi langkah dalam pelayanan terhad ap
pasien, PNPK berisi informasi ten tang tata laksana pasien yang dianggap
paling efektif. Dokter menggunakan informasi pada PNPK ini bersama dengan
pengetahuan dan pengalamannya untuk menentukan rencana tata laksana
yang paling sesuai terhadap pasien dengan memperhitungkan keadaan lokal.
Dalam pus taka istilah Clinical Practice Guidelines (atau Clinical Guidelines)
digunakan baik untuk pedoman yang dibuat oleh kelompok pakar dan bersifat
nasional/global, maupun yang telah diadaptasi sesuai dengan kondisi fasilitas
setempat. Dalam dokumen ini, (1) untuk mengakomodasi pelbagai istilah yang
tum pang tindih, dan (2) menyadari perbedaan fasilitas yang amat luas di an tara
fasyankes yang ada, dibedakan 2 jenis dokumen:
1. Dokumen lengkap yang dibuat oleh kelompok pakar (profesi, akademisi,
pakar lain) dengan koordinasi Kementerian Kesehatan disebut sebagai
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Dalam pus taka PNPK
setara dengan National Clinical Practice Guidelines.
2. Dokumen yang dibuat oleh fasilitas kesehatan dengan mengacu pada
PNPK dan / atau swnber lain disebut sebagai Panduan Praktik Klinis
(PPK)
9
Penyusunan PNPK
Pemilihan topik
Topik PNPK dapat diajukan oleh siapa saja: JaJaran Kemenkes, organisasi
profesi, (perhimpunan) rumah sakit, dekan fakultas kedokteran / kedokteran
gigi, dst. Kemenkes (d.h.i. Konsorsium Upaya Kesehatan) bila perlu menulis
surat kepada institusi yang potensial memberi usulan topik. Bila jumlah usulan
terlalu banyak dilakukan pembahasan untuk menentukan prioritas.
Persyaratan PNPK
PNPK diperlukan bila suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu memiliki
satu atau lebih karakteristik berikut:
•
jumlah kasusnya banyak (high volume)
•
mempunyai risiko tinggi (high risk)
•
cenderung memerlukan biaya tinggi/banyak sumber daya (high cost)
terutama bila terdapat variasi yang luas (high variablitiy) di antara para praktisi
untuk penanganan kasus yang sarna.
Siapa yang menyusun PNPK
PNPK disusun oleh panel pakar yang bersifat multidisiplin dari organisasi
profesi, akademisi, pakar lain, di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan RI.
Karakteristik PNPK
Hasil akhir PNPK harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
10
•
Sahih / valid
•
•
•
•
Reproducible
Cost-effective
Representatif, sering harus multidisiplin
Dapat diterapkan dalam praktik
•
Fleksibel
•
•
Jelas
Terjadwal untuk dilakukan revisi
•
Dapat digunakan sebagai kriteria untuk audit klinis
Proses pembuatan PNPK
Pembentukan Panel Pakar
Panel pakar dibentuk oleh KUK sesuai dengan topik yang akan dibuat PNPKnya . Panel pakar bersifat multidisiplin mencakup semua aspek yang hendak
dibahas; jwnlah anggota Panel bervariasi, pada umwnnya antara 610 orang.
Idealnya anggota Panel mencakup para pakar di pusat dan daerah.
Dalam rapat pertama dengan panel pakar dilakukan halhal berikut:
• Penjelasan maksud pembuatan PNPK
• Penjelasan format PNPK (lihat Lampiran)
• Kesepakatan cara kerja, termasuk time-table
• Penentuan Ketua, Wakil Ketua, serta 1 atau 2 Sekretaris. Panel dapat
mengusulkan 1 atau 2 dokter (disebut sebagai PIC person in charge) (lihat bawah).
Menentukan person-in-charge (PIC)
Person-in-charge (PIC) adalah staf yang dipilih untuk membantu penyusunan
PNPK dari awal sampai akhir. PIC dapat disediakan oleh KUK (dokter muda
yang dikontrak untuk tujuan tersebut), atau disediakan oleh satu atau lebih
anggota Panel (misalnya staf muda di departemen terkait). Persyaratan PIC
adalah sebagai berikut:
• dokter;
• memahami evidence-based medicine dan langkahIangkahnya;
• mampu menulis / menyunting dokumen ilmiah dengan baik.
Bila pedu PIC akan diberikan pelatihan secukupnya. Tugas utama PIC adalah:
• Menyiapkan draft awal PNPK;
• Mengorganisasi komunikasi dengan semua anggota Panel untuk
membahas kemajuan penulisan PNPK melalui email;
• Merevisi draft PNPK dari awaktu ke waktu;
• Membantu KUK dalam penyuntingan akhir PNPK.
11
Pengembangan
dralt PNPK dan rapat-rapat
•
Draft awal PNPK dibuat oleh PIC di bawah arahan Ketua, Sekretaris,
serta anggota panel.
•
Draft awal tersebut dikembangkan bersama oleh seluruh anggota Panel
dengan mekanisme yang disepakati, terutama komunikasi melalui
email.
• Setiap bulan dilakukan rapat Panel yang dikordinasi oleh KUK untuk
membahas perkembangan pembuatan draft
PNPK, menyunting,
melakukan revisi, dan lainlain yang relevan . Bila dipandang perlu
dapat diundang nara sumber yang tidak masuk dalam Panel untuk
memperoleh masukan dalam halhal yang khusus.
• Oalam 3 atau 4 kali pertemuan draft diharapkan sudah selesai dan
diajukan dalam rapat pleno KUK.
•
Draft akhir yang sudah disepakati oleh Panel dan KUK diajukan
kepada Oirjen Pelayanan Medis untuk dibahas dan dimintakan
pengesahannya oleh Menteri Kesehatan.
Tampilan PNPK
• Tampilan PNPK dibakukan, dengan sampul yang menunjukkan
pengesahan dari Kementerian Kesehatan berupa logo Kemenkes dan
logo organisasi profesi yang beperan dalam pembuatan PNPK.
• Namanama pakar yang langsung berperan dalam pembuatan PNPK
tercantum dicantumkan sebagai kontributor.
Format PNPK
• Format baku PNPK mencakup Judul, Pendahuluan, Metodologi, Hasil
dan Oiskusi, Simpulan dan Rekomendasi, Oaftar Pus taka, Serta
Lampiran (lihat Lampiran).
12
Bab 4
Panduan Praktik Klinis
Panduan praktik klinis (PPK) adalah istilah teknis sebagai pengganti standar
prosedur operasional (SPO) dalam UndangW1dang Praktik Kedokteran yang
merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu W1tuk menghindarkan
kesalahpahaman yang mW1gkin terjadi, bahwa "standar" merupakan hal yang
harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis SPO dibuat berupa
PPK yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: alur klinis
(clinical pathway), protokol, prosedur, algoritme, standing order.
PPK: Pengertian Umum
PNPK dibuat berdasarkan pada evidence mutakhir, sehingga bersifat "ideal" dan
tidak selalu dapat diterapkan di semua fasyankes. Karena tidak ada panduan
pelayanan yang dapat dilakukan untuk semua tingkat fasilitas, maka PNPK
harus diterjemahkan sesuai dengan fasilitas setempat menjadi PPK. Berikut
contohcontoh mengapa PPK dapat sarna atau tidak di fasyankes yang berbeda:
• PPK untuk demam berdarah dengue (OBO) tanpa syok, karena tidak
memerlukan peralatan dan keahlian canggih sarna semua fasyankes.
• Oi suatu rumah sakit tipe A, PPK W1tuk penyakit jantung bawaan biru
mencakup pemberian prostaglandin, tindakan balloon atrial septosomy
(BAS), dilanjutkan dengan bedah korektii, karena semua sumber daya
tersedia. Oi rumah sakit tipe A yang lain fasilitas bedah jantung anak
tidak tersedia, sehingga PPKnya adalah setelah pasien didagnosis,
diberikan prostaglandin dan dilakukan BAS, pasien harus 、ゥョセオォN@
• Oi rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe B yang memiliki ahli bedah
saraf, alur klinis (clinical pathway) stroke nonhemoragik memerlukan
pendekatan multidisiplin yang antara lain melibatkan ahli bedah saraf.
NamW1 di rumah sakit tipe B yang lain ahli bedah saraf tidak tersedia
harus dibuat alur klinis yang berbeda.
Oengan demikian maka PPK bersifat hospital specific.
13
Tujuan PPK mencakup:
• Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan
tertentu
• Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
• Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
• Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
• Memberikan tata laksana dengan biaya yang memadai
Penyusunan PPK
PPK seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit / kondisi klinis yang
ditemukan dalam fasyankes. Namun dalam pelaksanaannya dapat dibuat
secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang
ada di tiap bagian . Bila tersedia PNPK, PPK dibuat dengan rujukan utama
PNPK. Namun karena PNPK hanya dibuat untuk sebagian kecil penyakit /
kondisi klinis, maka sebagian besar PPK (dengan segala turunannya) dibuat
dengan memperhatikan fasilitas setempat dan merujuk pada:
• Pus taka mutakhir berupa artikel asli
• Systematic review atau metaanalisis
• PNPK dari negara lain
• Buku ajar
• Panduan dari organisasi profesi
• Petunjuk pelaksanaan program dari Kemenkes
• Kesepakatan para staf medis
Oi rumah sakit umum PPK dibuat untuk penyakitpenyakit terbanyak untuk
setiap departemen, sedangkan untuk rumah sa k it tipe A dan tipe B yang
memiliki pelayanan subdisiplin harus dibuat PPK untuk penyakitpenyakit
terbanyak sesuai dengan divisi / subdisiplin masingmasing. Pembuatan PPK
dikoordinasi oleh Komite Medis setempat dan berlaku setelah disahkan oleh
Oireksi.
14
lsi PPK
Pada uumnya PPK berisi butirbutir berikut:
1.
Pengertian
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan fisis
4.
Prosedur diagnostik
5.
Diagnosis banding
6.
Pemeriksaan penunjang
7.
Terapi
8.
Edukasi
9.
Prognosis
10.
Daftar pustaka
Perangkat untuk pelaksanaan PPK
Dalam PPK mungkin terdapat halhal yang memerlukan rincian langkah demi
langkah. Untuk ini, sesuai dengan karakteristik permasalahan serta kebutuhan,
dapat dibuat clinical pathway (alur klinis), algoritme, protokol, prosedur,
maupun standing order.
Contoh:
• Dalam PPK disebutkan bahwa tatalaksana stroke nonhemoragik harus
dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta intervensi
dari hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik penyakit stroke
nonhemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis (clinical pathway, CP);
sehingga perlu dibuat CP untuk stroke nonhemoragik.
• Dalam PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu
dilakukan hemodialisis. Uraian rinei tentang hemodialisis dimuat
dalam protokol hemodialisis pada dokumen terpisah.
15
• Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan kejang demam
kompleks perlu dilakukan ptmgsi lumbal. Uraian pelaksanaan pungsi
lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur pungsi
lumbal dalam dokumen terpisah.
• Dalam tata laksana kejang demam diperlukan pemberian diazepam
rektal dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh perawat bila
dokter tidak ada; ini diatur dalam "standing order".
Penerapan PPK
Panduan Praktik Klinis (termasuk "turunanturunannya": clinical pathway,
algoritme, protokol, prosedur, standing orders) merupakan panduan yang harus
diterapkan sesuai dengan keadaan pasien. Oleh karenanya dikatakan bahwa
semua PPK bersifat rekomendasi atau advis. Apa yang tertulis dalam PPK
tidak harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali.
Berikut alasan mengapa PPK harus diterapkan dengan memperhatikan kondisi
pasien secara individual.
1 PPK dibuat untuk 'average patients'. Pasien dengan demam tifoid ada
yang masih dapat bekerja seperti biasa, di sisi lain ada yang hampir
meninggal. PPK dibuat bukan untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan
untuk pasien ratarata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah
kotor, tidak mau makan minum, mengigau, dan seterusnya.
2 PPK dibuat untuk penyakit atau kondisi kesehatan tunggal. Kembali
pada pasien demam tifoid . Pada PPK demam tifoid seolaholah pasien
tersebut hanya menderita demam tifoid; dia tidak menderita hipertensi,
tidak ada asma, tidak obes atau malnutrisi, tidak alergi kloramfenikol,
dan seterusnya. Padahal dalam praktik seorang pasien datang dengan
keluhan utama yang sesuai dengan demam tifoid, namun mungkin ia
juga menderita diabetes, alergi kloramfenikol, hipertensi dan sebagainya.
Contoh lain, seorang yang menderita kardiomiopati obstruktif m enurut
PPK harus diberikan propranolol; namun bila temyata ia menderita asma
berat, maka propranolol tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien
gonore yang harusnya diberikan penisilin namun tidak boleh diberikan
karena ia alergi penisilin. Atau seorang anak yang menderita diare
16
berdarah; menumt PPK misalnya hams diberikan kotrimoksazol sebagai
obat awal; namun bila ia menderita penyakit jantung bawaan bim dan
memperoleh warfarin maka kotrimoksasol tidak dapat diberikan.
3 Respons pasien terhadap prosedur diagnostik dan terapeutik sangat
bervariasi. Ada pasien yang disuntik penisilin jutaan unit tidak apaapa,
namun ada pasien lain yang baru disuntik beberapa unit sudah kolaps
atau manifestasi anafilaksis lain. Hal yang sarna juga terjadi pada
prosedur diagnostik, misal penggunaan zat kontras untuk pemeriksaan
pencitraan.
4 PPK dianggap valid pada saat dicetak. Kemajuan teknologi kesehatan
berlangsung amat cepat. Bila suatu obat yang semula dianggap efektif
dan aman, namun setahun kemudian terbukti memiliki efek samping
yang jarang namun fatal, misalnya disritmia berat, maka obat tersebut
tidak boleh diberikan. Di lain sisi, bila ada obat lain yang lebih efektif,
tersedia, dapat dijangkau, lebih aman, lebih sedikit efek sampingnya,
maka obat tersebut hams diberikan sebagai pengganti obat yang ada
dalam PPK.
5 Praktik kedokteran modem menghamskan kita mengakomodasi apa
yang dikehendaki oleh keluarga dan pasien. Sesuai dengan paradigma
evidence-based practice, yakni dalam tata laksana pasien diperlukan
kompetensi dokter, bukti ilmiah mutakhir, serta preferensi pasien (dan
keluarga), maka clinical decision making process hams menyertakan
persetujuan pasien. Bila menumt ilmu kedokteran ada obat atau
prosedur yang sebaiknya diberikan, namun pasien atau keluarganya
tidak setuju, maka dokter harus mematuhi kehendak pasien, tentunya
setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap.
Orang yang paling berwenang menilai secara kom prehensif keadaan pasien
adalah dokter yang bertugas merawat. Dialah yang akhimya menentukan
untuk memberikan atau tidak memberikan obat atau prosedur sesuai dengan
yang tertulis dalam PPK. Dalam hal ia tidak melaksanakan apa yang ada
dalam PPK, maka ia harus menuliskan alasannya dengan jelas dalam rekam
medis, dan ia hams siap untuk mempertanggungjawabkannya. Bila ini tidak
dilakukan maka dokter tersebut dianggap lalai melakukan kewajibannya
kepada pasien.
17
Revisi PPK
PPK merupakan panduan terkini untuk tata laksana pasien, karenanya harus
selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran . Untuk itu PPK
secara periodik perlu dilakukan revisi, biasanya setiap 2 tahun. Idealnya
meskipun tidak ada perbaikan, peninjauan tetap dilakukan setiap 2 tahun .
Masukan untuk revisi diperoleh dari PNPK yang baru (bila ada), pustaka
mutakhir, serta pemantauan rutin apakah PPK selama ini dapat dan sudah
dikerjakan dengan baik. Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber
yang berharga untuk revisi PPK; namun bila audit klinis belum dilaksanakan,
pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula .
Untuk menghemat anggaran, di rumahrumah sakit yang sudah mempunyai
'intranet', PPK dan panduan lain dapat di-upload yang dapat diakses setiap saat
oleh para dokter dan profesionallainnya, dan bila perlu dicetak.
18
Bab 5
Alur klinis & penuniang PPK yang
lain
Perangkat yang diperlukan untuk pelaksanaan PPK tertentu perlu diuraikan
lebih lanjut dalam Bab terpisah ini, mengingat terdapatnya kecenderungan
untuk terdapatnya perbedaan persepsi, terutama yang menyangkut alur klinis
(clinical pathway).
Alur klinis (Clinical Pathway)
Clinical pathway (CP, alur klinis) memiliki banyak sinonim, di antaranya care
pathway, care map, integrated care pathways, multidisciplinary pathways of
care, pathways of care, collaborative care pathways. CP dibuat untuk
memberikan rincian apa yang harus dilakukan pada kondisi klinis tertentu. CP
memberikan rencana tata laksana hari demi hari dengan standar pelayanan
yang dianggap sesuai. Pelayanan dalam CP bersifat multidisiplin sehingga
semua pihak yang terlibat dalam pelayanan (dokter/dokter gigi, perawat,
fisioterapis, dll) dapat menggunakan format yang sarna. Kelebihan format ini
adalah perkembangan pasien dapat dimonitor setiap hari, baik intervensi
maupun outcome-nya. Oleh karena itu maka CP paling layak dibuat untuk
penyakit atau kondisi klinis yang memerlukan pendekatan multidisiplin, dan
perjalanan klinisnya dapat diprediksi (pada setidaknya 70% kasus). Bila dalam
perjalanan klinis ditemukan halhal yang menyimpang, ini harus dicatat
sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut.
Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam CP dapat tidak
sesuai dengan harapan karena:
•
•
memang sifat penyakit pada individu tertentu,
terapi tidak diberikan sesuai dengan ketentuan,
•
pasien tidak mentoleransi obat, atau
•
terdapat komorbiditas.
19
Apa pun yang terjadi hams dilakukan evaluasi dan dokter memberikan
intervensi sesuai dengan keadaan pasien.
Pada umumnya di rumah sakit umum hanya 30% pasien dirawat dengan CP.
Selebihnya pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). CP hanya efektif
dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau kondisi kesehatan yang
perjalanannya predictable, khususnya bila memerlukan perawatan multidisiplin.
Beberapa pertanyaan yang dapat muncul:
a. Apakah CP perlu dibuat untuk semua penyakit?
Jawabnya telah dijelaskan di atas, tidak. CP hanya untuk penyakit yang
perjalanan klinisnya predictable dan memerlukan penanganan multidisiplin.
b. Apakah CP dibuat untuk perincian biaya perawatan?
Tidak. PPK dan semua perangkatnya, termasuk CP, hams patient oriented,
bukan DGR (diagnosis-related group)-oriented, length of stay oriented, atau BPJS-
oriented. Bahwa setelah CP dibuat digunakan untuk keperluan penghitungan
pembiayaan tentu hal tersebut sahsah saja.
c. Oapatkah penyakit lain dibuat CP sesuai dengan kondisi lokal?
Ide pembuatan CP adalah membuat standardisasi pemeriksaan dan tata
laksana pasien yang memililiki pola tertentu. Bila perjalanan klinis suatu
penyakit sangat bervariasi, misalnya diare atau sepsis, tentu sulit untuk
membuat 'standar' pemeriksaan dan tindakan yang diperlukan hari demi
hari. CP juga tidak efektif bila terdapat komorbiditas.
Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk membuat CP bagi
penyakit apa pun, dengan catatan:
•
ditetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas,
•
bila pasien sudah dirawat dengan CP namun temyata mengalami
komplikasi atau terdapat komorbiditas, maka pasien tersebut hams
dikeluarkan dari CP dan dirawat dengan perawatan biasa .
Keputusan untuk membuat CP pada kasuskasus seperti ini dilakukan atas
kesepakatan staf medis dengan mempertimbangkan efektivitas, sumber
daya, dan waktu yang diperlukan.
20
Berikut adalah contoh CP untuk diare pada bayi dan anak, yang secara
keseluruhan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi sehingga biasanya
tidak dibuat CP, namun dengan kriteria tertentu yang ketat dapat dibuat CP.
Contoh: CP untuk diare akut pada bayi dan anak
Kriteria inklusi (pasien harus memenuhi semua yang tersebut di bawah ini)
• Usia lebih 1 bulan dan kurang dari 5 tahun
• Menderita diare akut tanpa komplikasi
• Perkiraan derajat dehidrasi 5 hari
Pasien harus dikeluarkan dari CP (dan dirawat dengan perawatan biasa)
bila selama perawatan salah satu dari halhal berikut terjadi:
• Tidak terdapat perbaikan klinis dalam waktu 48 jam
• Terdapat muntah empedu dengan nyeri perut
• Diagnosis awal diragukan
• Tinja berdarah
Format CP
CP adalah dokumen tertulis. Terdapat pelbagai jenis format CP yang
tergantung pada jenis penyakit atau masalah serta kesepakatan para
profesional. Namun pada umumnya format CP berupa tabel yang kolomnya
21
merupakan waktu (hari, jam), sedangkan barisnya merupakan observasi /
pemeriksaan / tindakan / intervensi yang diperlukan. Format CP dapat amat
rumit dan rinci (misaInya pemberian obat setiap 6 jam dengan dosis tertentu;
bila ini melibatkan banyak obat maka menjadi amat rumit). Sebagian apa yang
harus diisi dapat merupakan check-list, namun tetap harus diberikan ruang
untuk menuliskan halhal yang perJu dicatat. Ruang yang tersedia untuk
mencatat halhal yang diperlukan juga dapat am at terbatas, lebihIebih fonnat
yang sarna diisi oleh semua profesi yang terlbat dalam perawatan, karena sifat
multidisiplin CPo
Algoritme
Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon pengambilan
keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa yang harus
dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan yang efektif
dalam beberapa keadaan klinis tertentu misaInya di ruang gawat darurat atau
instalasi gawat darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan
menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat untuk
memberikan pertolongan.
Protokol
Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi tertentu
yang cukup kompleks. MisaInya dalam PPK disebutkan bila pasien mengalami
atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu perlu dilakukan
pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan panduan berupa
protokol, bagaimana melakukan pemasangan ventilasi mekanik, dari
pemasangan endotracheal tube, mengatur konsentrasi oksigen, kecepatan
pernapasan, bagaimana pemantauannya, apa yang harus diperhatikan,
pemeriksaan berkala apa yang harus dilakukan, dan seterusnya. Dalam
protokol harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang
mungkin timbul dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu
intervensi harus dihentikan, dan seterusnya .
22
Prosedur
Prosedur merupakan uraian langkahdemilangkah untuk melaksanakan tugas
teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh perawat (misalnya cara
memotong dan mengikat talipusat bayi baru lahir, merawat luka, suctioning,
pemasangan pipa nasogastrik), atau oleh dokter (misalnya pungsi lumbal atau
biopsi sumsum tulang).
Standing orders
Standing orders adalah suatu set instruksi dokter kepada perawat atau
profesional kesehatan lain untuk melaksanakan tugas pada saat dokter tidak
ada di tempat. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien tertentu,
atau secara umum dengan persetujuan Komite Medis. Contoh: perawatan
pascabedah tertentu, pemberian antipiretik untuk demam, pemberian
antikejang per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia tertentu.
23
24
Bab 6
Disclaimer (Penyangkalan, Wewanti)
Sejalan dengan uraian dalam bab terdahulu, dalam setiap dokumen tertulis
PPK serta perangkat implementasinya mutlak harus dituliskan disclaimer
(wewanti, penyangkalan). Hal ini amat diperlukan untuk: (1) menghilangkan
kesalahpahaman atau salah persepsi tentang arti kata "standar", yang bagi
sebagian orang dimaknai sebagai "sesuatu yang harus dilakukan tanpa
kecuali"; (2) menjaga autonomi dok ter bahwa keputusan klinis merupakan
wewenangnya sebagai pihak yang dipercaya oleh pasien untuk memberikan
pertolongan medis.
Oalam disclaimer (yang harus dicantumkan pada setiap dokumen PPK) harus
tercakup butirbutir yang telah dikemukakan di atas, sebagai berikut:
• PPK dibuat untuk average patients
• PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal
• Reaksi individual terhadap p rosedur diagnosis dan terapi bervariasi
• PPK dianggap valid pada saat dicetak
• Praktik kedokteran modem harus lebih mengakomodasi preferensi
pasien dan keluarganya
Disclaimer harus dicantumkan di bagian depan setiap buku PPK. Oi luar negeri
seringkali disclaimer mencakup banyak hal lain yang rinci, misalnya pemyataan:
• PPK berisi panduan praktis, tidak berisi uraian lengkap tentang
penyakit / kondisi
• PPK bukan merupakan hal terbaik untuk semua pasien
• PPK bukan merupakan standard of medical care
• Penyusun tidak menjamin akurasi informasi yang ada dalam PPK
• Penyusun tidak bertanggung jawab terhadap hasil apa pun akibat
penggunaan PPK
• Bila dokter ragu disarankan melakukan konsultasi
25
26
Bab 7
Penutup
Dokumen ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi penyusun standar
pelayanan kedokteran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemarnpuan
masingmasing organisasi profesi, fasilitas maupun fasilitas pelayanan
kesehatan. Dengan demikian diharapkan dapat disusun standar pelayanan agar
terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien, bermutu dan merata sesuai
sumber daya, fasilitas, prafasilitas, dana dan prosedur serta metode yang
memadai menurut jenis dan strata pelayanan kesehatan masingmasing.
Dalam penerapannya PPK perlu terlebih dahulu dijabarkan oleh pihak rumah
sakit, disesuaikan sumber daya yang dimiliki.
27
Lampiran 1
Format Laporan PNPK
Laporan PNPK ratarata setebal50100 halaman, namun sangat bergantung
pada keluasan topik yang dibahas.
Format laporan PNPK secara umum adalah sebagai berikut:
Judul
Daftar isi
Daftar tabel, Gambar, Singkatan
Ringkasan Eksekutif (Bahasa Inggris)
Bab 1. Pendahuluan: Berisi pembenaran / alasan mengapa diperlukan PNPK,
dengan selalu mencantumkan salah satu atau lebih high v olume, high risk, high
cost, high variability
Bab 2. Metodologi
•
Pertanyaan klinis utama
•
Strategi pencarian bukti: database yang dikunjungi,
•
Telaah kritis
•
Peringkat bukti
•
Derajat rekomendasi
Bab 3. Hasil dan Pembahasan
Bab 4. Simpulan dan rekornendasi
Daftar Pustaka
Lampiran
Catatan: Format laporan bila perlu dapat dimodifikas i, namun butir-butirnya tetap
dipertahankan. Misalnya rekomendasi untuk topic tertentu dapat dikumpulkan pada
akhir PNPK, namun untuk topic lainnya lebih memadai bila dibuat per jenis bahasan.
28
Lampiran 2
Contoh Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
B
Republik Indonesia
Pedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Kedokteran
Konsorsium Upaya Kesehatan
Direktorat Jendral Bina Upoaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan Repuhlik Indonesia
:'
I
I
Sambutan
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan
Puji syukur kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat rahmat
NYA, buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini dapat tersusun.
Saya menyambut gembira dengan diterbitkannya buku Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) ini. Berbeda dengan buku pedoman pedoman lain, PIIJPK ini
mempunyai kedudukan yang sangat khusus karena disusun oleh pehimpunan profesi,
untuk memenuhi mandat Undang Undang RI no 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
Saya harapkan dengan terbitnya PNPK ini, dapat memudahkan institusi upaya kesehatan,
dalam memberikan pelayanan kedokteran yang bermutu kepada masyarakat. Para
dokter pun akan memperoleh perlindungan hukum bila dalam menjalankan praktik
kedokteran mengikuti arahan dari PNPK.
Namun demikian, rumah sakit rumah sakit serta institusi pelayanan kesehatan
lainnya, mempunyai kewajiban untuk menjabarkan PNPK menjadi dokumen yang lebih
operasional, yang disebut Standar Prosedur Operasional (SPO), sesuai dengan tingkat
kompetensi fasilitas pelayanan kesehatan masing masing institusi.
Saya mengucapkan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi, kepada
para penyusun PNPK, yang telah bekerja keras menyusun buku yang sangat berharga
ini. Kepada direktur rumah sa kit, para dokter dan ahliahli lain saya ucapkan selamat
mempelajari dan membaca PNPK ini. Semoga Allah meridhoi niat baik kita
IA, .
. Akm•• Teher. SpU (KI
iii
Daftar lsi
Kata Pengantar
Daftar lsi
v
Ringkasan
vii
BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Dasar Hukum
2
3. Tujuan
3
4. 5asaran
3
BAB II. 5TANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN
5
A. Pendahuluan
5
B. Peran stan d ar pelayanan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
6
C. Jenis standar pelayanan kedokteran
7
BAB III. PEDOMAN NA510NAL PELAYANAN KEDOKTERAN
A. Uraian umum
9
9
B. Penyusunan PNPK
10
C. Proses Pembuatan PNPK
1 1
BAB IV. PANDUAN PRAKTIK KLlNI5
13
A. Panduan Praktik Klinis (PPK): Pengertian Umum
13
B. Penyusunan PPK
14
C. lsi PPK
15
D. Perangkat untuk pelaksanaan PPK
15
E. Penerapan PPK
16
F. Revisi PPK
18
BAB V. ALUR KLlNI5 DAN PENUNJANG PPK YANG LAIN
19
A. Alur klinis (Clinical Pathway)
19
B. Algoritme
22
C. Protokol
22
D. Prosedur
23
D. Standing orders
23
BAB VI. DISCLAIMER/PENYANGKALAN
25
BAB VII. PENUTUP
27
LAMPI RAN
28
DAFTAR 15TlLAH KUNCI
5 1
DAFTAR PU5TAKA
53
V
Ringkasan
Upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan horus dilakukan secara
berkesinambungan. Pemahaman dan penerapan evidence-based practice oleh dokter
secara individual merupakan hal yang baik untuk peningkatan kualitas pelayo nan.
Namun untuk penyakit atau kondisi klinis yang jumlahnya banyak, berisiko tinggi,
moho I, serta bervariasi dalam praktik diperlukan standardisasi.
Satu upaya penting yang dilakukan oleh Kemenkes adalah pembuatan standar
pelayanan. Di tingkat nasional diperlukan penyusunan Pedoman
Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berisi pernyataan yang sistematis, mutakhir,
evidence-based untuk membantu dokter / pemberi jasa pelayanan lain dalam
menangani pasien dengan kondisi tertentu. PNPK disusun oleh panel pakar (dari
organisasi profesi, akademisi, klinis, pakar lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan
hasilnya disahkan oleh Menteri Kesehatan.
Karena sifatnya yang canggih, mutakhir, maka PNPK horus diterjemahkan menjadi
Panduan Praktik Klinis (PPK) oleh masihmasing fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) sesuai dengan keadaan setempat. PPK disusun oleh Staf Medis
fasyankes, dengan mengacu pada PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka
lain. Karena jumlah PNPK terbatas, maka sebagian besar PPK dibuat dengan
merujuk pada sumber lain (artikel asli, metaanalisis, PNPK neg ora lain, buku ajar,
panduan organisasi profesi, petunjuk pelaksanaan program, dst).
PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi langkah termasuk clinical
pathway (CP untuk penyakit yang perjalanannya dapat diprediksi dan memerlukan
penanganan multidisiplin), algoritme (diagram untuk pengambilan keputusan yang
cepat), protokol (panduan pelaksanaan tugas yang cukup kompleks), prosedur
(panduan langkahIangkah tugas teknis), dan standing orders (instruksi tetap kepada
perawat). Perlu ditekankan CP tidak dibuat untuk semua penyakit namun terbatas
pada penyakit atau kondisi klinis yang lebih kurang homogen, perjalanan klinisnya
dapat diprediksi, serta memerlukan pendekatan multidisiplin.
Dalam setiap buku PPK horus disertakan disclaimer (wewanti, penyangkalan) yang
intinya menegaskan bahwa PPK hanya bersifat rekomendasi / advis, dan untuk
implementasinya horus disesuaikan dengan keadaan pasien. Disarankan disclaimer
mencakup minimal pernyataan bahwa ( 1) PPK dibuat untuk average patients, (2) PPK
disusun untuk penyakit tunggal, (3) respons pasien terhadap prosedur diagnosis dan
terapi bervariosi, (4) PPK dianggap sahih pada soot dicetak, dan (5) praktik dokter
horus mengakomodasi persepsi dan keinginan pasien dan keluarga. Dalam hal
dokter tidak melaksanokan apa yang tertulis di PPK, ia horus menjelaskan
alasannya dalam rekam medis.
vii
Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi segala
tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara substansi pelayanan medis harus
berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi medis yang telah ditapis
efektivitas, keamanan, aspek sosioekonomibudayanya sehingga menuju pada
pemerataan, peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan yang memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat. Untuk penyelenggaraan pelayanan medis
yang baik dalam arti efektif, efisien, berkualitas serta merata dibutuhkan
masukan berupa sumber daya manusia, fasiJitas, perala tan, dan dana sesuai
dengan prosedur serta metode yang memadai.
Perkembangan sosial ekonomi dan politik akhirakhir ini telah melahirkan
masyarakat yang makin sadar h ukum, sadar hak konsumen, termasuk
konsumen pelayanan kesehatan (pasien). Salah satu dampak akibat
meningkatnya kesadaran hukum tersebut adalah meningkatnya tuntutan
hukum kepada pemberi pelayanan kesehatan, baik kepada institusi maupun
kepada tenaga kesehatan. Namun belum semua institusi pelayanan kesehatan
dan tenaga kesehatan siap dalam menghadapi masalah tersebut.
Pada saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundangundangannya
dengan disahkannya Undangundang No. 29 tahun 2004 ten tang Praktik
Kedokteran pada bulan Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober
2005. Pengaturan praktik kedokteran tersebut bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan kualitas
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter gigi, serta memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/dokter gigi .
Undangundang Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 pasal 44 ayat (1)
menyatakan: Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran
gigi. Ayat (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dibedakan menurut
1
jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (3) Standar pelayanan W1tuk
dokter dan dokter gigi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri.
Standar pelayanan kedokteran (SPK) sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang Undang Praktik Kedokteran dalam implementasinya adalah Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional yang
dimaksud sesuai dengan Pasal 50 ayat 1 dan pasal 51 UndangW1dang Nomor
29 TahW1 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Pedoman ini merupakan acuan bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi
profesi dalam menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan
fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusW1 standar prosedur operasional
sebagaimana diamanahkan oleh UU Praktik Kedokteran .
Dasar Hukum
1. UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
44 ayat (I), pasal 50 dan 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia TahW1
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431);
2.
UndangUndang Nomor 32 TahW1 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 ten t ang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 TahW1 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. UndangUndang Nomor 36 TahW1 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. UndangUndang Nomor 44 TahW1 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia TahW1 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
2
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 ten tang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah
diubah
terakhir
dengan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
439/Menkes/PerNI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 ten tang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan;
7. Peraturan Menteri Kesehatan no147/MENKES/PER/2010 tentang Perizinan
RS
8. PERMENKES no 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan
Kedokteran
Tuiuan
Memberikan pedoman bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi
dalam menyusun PNPK dan panduan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam
menyusun SPO.
Sasaran
1. Kementerian Kesehatan
2. Organisasi profesi
3. Fasilitas pelayanan kesehatan
3
4
Bab 2
Standar Pelayanan Kedokteran
Pendahuluan
Dalam pus taka, undangundang, peraturan, dan panduan pelayanan kesehatan
banyak sekali istilah yang menggunakan kata standar, yang mungkin di satu
sisi bersifat tum pang tindih, di lain sisi mungkin artinya berbeda untuk satu
orang dengan orang lain. Contohnya: standar pelayanan, standar pelayanan
minimal, standar prosedur operasional (SPO), standard operating procedure
(SOP), standar pemeriksaan, standar fasilitas, dsb. Istilah standar yang
digunakan dalam ranah yang melibatkan pasien, keluarga, dan pihak lain
sangat rentan karena kata standar dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus
dilakukan. Karenanya kata atau istilah standar dalam ranah pelayanan
sebaiknya dihindarkan.
Dalam ranah kedokteran klinis, bila terdapat masalah yang belum terpecahkan,
maka terdapat alur pemecahan masalah sebagai berikut:
l. Kelompok yang diharapkan paling awal memberikan solusi adalah para
peneliti. Mereka menawarkan cara apa yang dapat dilakukan untuk
memecahkan masalah, seringkali tanpa memperrutungkan apakah cara
tersebut murah atau mahal, memerlukan alat sederhana atau canggih,
sumber daya manusia tertentu, dan dapat diterapkan atau tidak.
2. Proses yang berupaya untuk menyaring apakah opsi yang ditawarkan oleh
peneliti tersebut dapat diterapkan adalah health technology assessment
(HTA). HTA mengkaji hasil penelitian dengan menelaah efikasi,
efektivitas, efisiensi (dengan kajian ekonomi), serta aspekaspek lainnya
seperti masalah swnber daya d alam arti kata yang luas, sosial, budaya,
bahkan agama.
3. Hasil kajian HTA menjadi bahan penting dalam penyusunan Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berlaku secara nasional
dan Panduan Praktik Klinis (PPK) yang berlaku loka!.
5
4. Para dokter melakukan praktik dengan panduan PPK tersebut untuk
menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan memberi penjelasan
kepada pasien dan keluarganya tentang kemungkinan hasil pengobatan .
Dalam tataran pelaksanaan, PPK mungkin memerlukan satu atau lebih
perangkat untuk merinci panduan agar dapat dilakukan secara spesifik
dalam bentuk alur klinis (clinical pathway), algoritme, protokol,
prosedur, atau standing orders.
5. Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan pihak fasilitas pelayanan
secara terusmenerus melaksanakan audit klinis untuk menjamin bahwa
apa yang dilakukan oleh para pemberi jasa memang benar sesuai dengan
apa yang harus dilakukan seperti yang tercantum pada PPK.
Uraian tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1
Para peneliti menawarkan apa yang dapat dilakukan (what we can do)
2
HTA mengkaji opsi yang ditawarkan mana yang layak diterapkan (which
we can do)
3
PPK menetapkan apa yang seharusnya dilakukan (what we should do)
4
Praktisi menerapkan apa yang harus dilakukan (doing what we should do)
5
Penjarnin mutu audit klinis (did we do what we should do)
Peran standar pelayanan
dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan senantiasa dilakukan oleh para
pemberi jasa pelayanan dari waktu ke waktu . Kemajuan ilmu dan teknologi
kedokteran berlangsung dengan amat cepat, sehingga pemanfaatan kemajuan
tersebut tidak sertamerta dapat dilakukan secara seragarn dan konsisten.
Pemanfaatan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang dilakukan oleh
orang per orang dengan melakukan pendekatan evidence-based medicine (dengan
langkahlangkah memformulasi pertanyaan penelitian, menelusur evidence
mutakhir, melakukan telaah kritis evidence yang sahib, penting, dan dapat
diterapkan, dan menerapkannnya pada pasien secara individual) merupakan
hal yang arnat baik. Narnun untuk penyakit atau kondisi klinis yang jumlahnya
6
banyak, yang berisiko tinggi, atau cenderung menggunakan sumber daya yang
besar, apalagi apabila terdapat variasi yang luas dalam praktik seyogianya
dilakukan "standardisasi". Standardisasi, bila dirancang dan dilaksanakan
dengan baik dipercaya banyak manfaatnya baik bagi pasien, keluarga, pemberi
jasa pelayanan, serta fasilitas pelayanan.
Jenis standar pelayanan kedokteran
Mengingat sangat bervariasinya keadaan di fasilitas pelayanan kesehatan di
tanah air kita, maka mustahil dapat dibuat panduan yang dapat berlaku untuk
semua rumah sakit yang ada. Untuk itu diperlukan 2 jenis "standar"; yang satu
bersifat nasional yang menjadi rujukan bagi semua fasyankes yang ada, dan
satunya bersifat lokal yang disesuaikan dengan kondisi lokal, sebagai berikut:
1. "Standar" yang bersifat nasional (hanya dibuat untuk penyakit atau
kondisi klinis dengan syaratsyarat tertentu) disebut sebagai Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
2. "Standar" yang berlaku loka l untuk fasyankes disebut Panduan Praktik
Klinis (PPK) yang dapat disertai dengan
• Alur klinis (clinical pathway)
• Algoribne
• Protokol
• Prosedur
•
Standing orders
Catatan: PPK merupakan format teknis untuk istilah standar prosedur operasional
(SPO) yang terdapat dalam Undang-undang Praktik Kedokteran.
7
8
Bab 3
Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) adalah penyataan yang
dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence),
untuk membantu dokter dan dokter gigi dalam membuat keputusan klinis
tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis tertentu.
PNPK ini pada prinsipnya merupakan rekomendasi, dan dibuat berdasarkan
evidence mutakhir. Berbeda dengan format lain dalam standar pelayanan yang
merupakan pendekatan langkah demi langkah dalam pelayanan terhad ap
pasien, PNPK berisi informasi ten tang tata laksana pasien yang dianggap
paling efektif. Dokter menggunakan informasi pada PNPK ini bersama dengan
pengetahuan dan pengalamannya untuk menentukan rencana tata laksana
yang paling sesuai terhadap pasien dengan memperhitungkan keadaan lokal.
Dalam pus taka istilah Clinical Practice Guidelines (atau Clinical Guidelines)
digunakan baik untuk pedoman yang dibuat oleh kelompok pakar dan bersifat
nasional/global, maupun yang telah diadaptasi sesuai dengan kondisi fasilitas
setempat. Dalam dokumen ini, (1) untuk mengakomodasi pelbagai istilah yang
tum pang tindih, dan (2) menyadari perbedaan fasilitas yang amat luas di an tara
fasyankes yang ada, dibedakan 2 jenis dokumen:
1. Dokumen lengkap yang dibuat oleh kelompok pakar (profesi, akademisi,
pakar lain) dengan koordinasi Kementerian Kesehatan disebut sebagai
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Dalam pus taka PNPK
setara dengan National Clinical Practice Guidelines.
2. Dokumen yang dibuat oleh fasilitas kesehatan dengan mengacu pada
PNPK dan / atau swnber lain disebut sebagai Panduan Praktik Klinis
(PPK)
9
Penyusunan PNPK
Pemilihan topik
Topik PNPK dapat diajukan oleh siapa saja: JaJaran Kemenkes, organisasi
profesi, (perhimpunan) rumah sakit, dekan fakultas kedokteran / kedokteran
gigi, dst. Kemenkes (d.h.i. Konsorsium Upaya Kesehatan) bila perlu menulis
surat kepada institusi yang potensial memberi usulan topik. Bila jumlah usulan
terlalu banyak dilakukan pembahasan untuk menentukan prioritas.
Persyaratan PNPK
PNPK diperlukan bila suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu memiliki
satu atau lebih karakteristik berikut:
•
jumlah kasusnya banyak (high volume)
•
mempunyai risiko tinggi (high risk)
•
cenderung memerlukan biaya tinggi/banyak sumber daya (high cost)
terutama bila terdapat variasi yang luas (high variablitiy) di antara para praktisi
untuk penanganan kasus yang sarna.
Siapa yang menyusun PNPK
PNPK disusun oleh panel pakar yang bersifat multidisiplin dari organisasi
profesi, akademisi, pakar lain, di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan RI.
Karakteristik PNPK
Hasil akhir PNPK harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
10
•
Sahih / valid
•
•
•
•
Reproducible
Cost-effective
Representatif, sering harus multidisiplin
Dapat diterapkan dalam praktik
•
Fleksibel
•
•
Jelas
Terjadwal untuk dilakukan revisi
•
Dapat digunakan sebagai kriteria untuk audit klinis
Proses pembuatan PNPK
Pembentukan Panel Pakar
Panel pakar dibentuk oleh KUK sesuai dengan topik yang akan dibuat PNPKnya . Panel pakar bersifat multidisiplin mencakup semua aspek yang hendak
dibahas; jwnlah anggota Panel bervariasi, pada umwnnya antara 610 orang.
Idealnya anggota Panel mencakup para pakar di pusat dan daerah.
Dalam rapat pertama dengan panel pakar dilakukan halhal berikut:
• Penjelasan maksud pembuatan PNPK
• Penjelasan format PNPK (lihat Lampiran)
• Kesepakatan cara kerja, termasuk time-table
• Penentuan Ketua, Wakil Ketua, serta 1 atau 2 Sekretaris. Panel dapat
mengusulkan 1 atau 2 dokter (disebut sebagai PIC person in charge) (lihat bawah).
Menentukan person-in-charge (PIC)
Person-in-charge (PIC) adalah staf yang dipilih untuk membantu penyusunan
PNPK dari awal sampai akhir. PIC dapat disediakan oleh KUK (dokter muda
yang dikontrak untuk tujuan tersebut), atau disediakan oleh satu atau lebih
anggota Panel (misalnya staf muda di departemen terkait). Persyaratan PIC
adalah sebagai berikut:
• dokter;
• memahami evidence-based medicine dan langkahIangkahnya;
• mampu menulis / menyunting dokumen ilmiah dengan baik.
Bila pedu PIC akan diberikan pelatihan secukupnya. Tugas utama PIC adalah:
• Menyiapkan draft awal PNPK;
• Mengorganisasi komunikasi dengan semua anggota Panel untuk
membahas kemajuan penulisan PNPK melalui email;
• Merevisi draft PNPK dari awaktu ke waktu;
• Membantu KUK dalam penyuntingan akhir PNPK.
11
Pengembangan
dralt PNPK dan rapat-rapat
•
Draft awal PNPK dibuat oleh PIC di bawah arahan Ketua, Sekretaris,
serta anggota panel.
•
Draft awal tersebut dikembangkan bersama oleh seluruh anggota Panel
dengan mekanisme yang disepakati, terutama komunikasi melalui
email.
• Setiap bulan dilakukan rapat Panel yang dikordinasi oleh KUK untuk
membahas perkembangan pembuatan draft
PNPK, menyunting,
melakukan revisi, dan lainlain yang relevan . Bila dipandang perlu
dapat diundang nara sumber yang tidak masuk dalam Panel untuk
memperoleh masukan dalam halhal yang khusus.
• Oalam 3 atau 4 kali pertemuan draft diharapkan sudah selesai dan
diajukan dalam rapat pleno KUK.
•
Draft akhir yang sudah disepakati oleh Panel dan KUK diajukan
kepada Oirjen Pelayanan Medis untuk dibahas dan dimintakan
pengesahannya oleh Menteri Kesehatan.
Tampilan PNPK
• Tampilan PNPK dibakukan, dengan sampul yang menunjukkan
pengesahan dari Kementerian Kesehatan berupa logo Kemenkes dan
logo organisasi profesi yang beperan dalam pembuatan PNPK.
• Namanama pakar yang langsung berperan dalam pembuatan PNPK
tercantum dicantumkan sebagai kontributor.
Format PNPK
• Format baku PNPK mencakup Judul, Pendahuluan, Metodologi, Hasil
dan Oiskusi, Simpulan dan Rekomendasi, Oaftar Pus taka, Serta
Lampiran (lihat Lampiran).
12
Bab 4
Panduan Praktik Klinis
Panduan praktik klinis (PPK) adalah istilah teknis sebagai pengganti standar
prosedur operasional (SPO) dalam UndangW1dang Praktik Kedokteran yang
merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu W1tuk menghindarkan
kesalahpahaman yang mW1gkin terjadi, bahwa "standar" merupakan hal yang
harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis SPO dibuat berupa
PPK yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: alur klinis
(clinical pathway), protokol, prosedur, algoritme, standing order.
PPK: Pengertian Umum
PNPK dibuat berdasarkan pada evidence mutakhir, sehingga bersifat "ideal" dan
tidak selalu dapat diterapkan di semua fasyankes. Karena tidak ada panduan
pelayanan yang dapat dilakukan untuk semua tingkat fasilitas, maka PNPK
harus diterjemahkan sesuai dengan fasilitas setempat menjadi PPK. Berikut
contohcontoh mengapa PPK dapat sarna atau tidak di fasyankes yang berbeda:
• PPK untuk demam berdarah dengue (OBO) tanpa syok, karena tidak
memerlukan peralatan dan keahlian canggih sarna semua fasyankes.
• Oi suatu rumah sakit tipe A, PPK W1tuk penyakit jantung bawaan biru
mencakup pemberian prostaglandin, tindakan balloon atrial septosomy
(BAS), dilanjutkan dengan bedah korektii, karena semua sumber daya
tersedia. Oi rumah sakit tipe A yang lain fasilitas bedah jantung anak
tidak tersedia, sehingga PPKnya adalah setelah pasien didagnosis,
diberikan prostaglandin dan dilakukan BAS, pasien harus 、ゥョセオォN@
• Oi rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe B yang memiliki ahli bedah
saraf, alur klinis (clinical pathway) stroke nonhemoragik memerlukan
pendekatan multidisiplin yang antara lain melibatkan ahli bedah saraf.
NamW1 di rumah sakit tipe B yang lain ahli bedah saraf tidak tersedia
harus dibuat alur klinis yang berbeda.
Oengan demikian maka PPK bersifat hospital specific.
13
Tujuan PPK mencakup:
• Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan
tertentu
• Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
• Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
• Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
• Memberikan tata laksana dengan biaya yang memadai
Penyusunan PPK
PPK seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit / kondisi klinis yang
ditemukan dalam fasyankes. Namun dalam pelaksanaannya dapat dibuat
secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang
ada di tiap bagian . Bila tersedia PNPK, PPK dibuat dengan rujukan utama
PNPK. Namun karena PNPK hanya dibuat untuk sebagian kecil penyakit /
kondisi klinis, maka sebagian besar PPK (dengan segala turunannya) dibuat
dengan memperhatikan fasilitas setempat dan merujuk pada:
• Pus taka mutakhir berupa artikel asli
• Systematic review atau metaanalisis
• PNPK dari negara lain
• Buku ajar
• Panduan dari organisasi profesi
• Petunjuk pelaksanaan program dari Kemenkes
• Kesepakatan para staf medis
Oi rumah sakit umum PPK dibuat untuk penyakitpenyakit terbanyak untuk
setiap departemen, sedangkan untuk rumah sa k it tipe A dan tipe B yang
memiliki pelayanan subdisiplin harus dibuat PPK untuk penyakitpenyakit
terbanyak sesuai dengan divisi / subdisiplin masingmasing. Pembuatan PPK
dikoordinasi oleh Komite Medis setempat dan berlaku setelah disahkan oleh
Oireksi.
14
lsi PPK
Pada uumnya PPK berisi butirbutir berikut:
1.
Pengertian
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan fisis
4.
Prosedur diagnostik
5.
Diagnosis banding
6.
Pemeriksaan penunjang
7.
Terapi
8.
Edukasi
9.
Prognosis
10.
Daftar pustaka
Perangkat untuk pelaksanaan PPK
Dalam PPK mungkin terdapat halhal yang memerlukan rincian langkah demi
langkah. Untuk ini, sesuai dengan karakteristik permasalahan serta kebutuhan,
dapat dibuat clinical pathway (alur klinis), algoritme, protokol, prosedur,
maupun standing order.
Contoh:
• Dalam PPK disebutkan bahwa tatalaksana stroke nonhemoragik harus
dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta intervensi
dari hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik penyakit stroke
nonhemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis (clinical pathway, CP);
sehingga perlu dibuat CP untuk stroke nonhemoragik.
• Dalam PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu
dilakukan hemodialisis. Uraian rinei tentang hemodialisis dimuat
dalam protokol hemodialisis pada dokumen terpisah.
15
• Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan kejang demam
kompleks perlu dilakukan ptmgsi lumbal. Uraian pelaksanaan pungsi
lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur pungsi
lumbal dalam dokumen terpisah.
• Dalam tata laksana kejang demam diperlukan pemberian diazepam
rektal dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh perawat bila
dokter tidak ada; ini diatur dalam "standing order".
Penerapan PPK
Panduan Praktik Klinis (termasuk "turunanturunannya": clinical pathway,
algoritme, protokol, prosedur, standing orders) merupakan panduan yang harus
diterapkan sesuai dengan keadaan pasien. Oleh karenanya dikatakan bahwa
semua PPK bersifat rekomendasi atau advis. Apa yang tertulis dalam PPK
tidak harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali.
Berikut alasan mengapa PPK harus diterapkan dengan memperhatikan kondisi
pasien secara individual.
1 PPK dibuat untuk 'average patients'. Pasien dengan demam tifoid ada
yang masih dapat bekerja seperti biasa, di sisi lain ada yang hampir
meninggal. PPK dibuat bukan untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan
untuk pasien ratarata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah
kotor, tidak mau makan minum, mengigau, dan seterusnya.
2 PPK dibuat untuk penyakit atau kondisi kesehatan tunggal. Kembali
pada pasien demam tifoid . Pada PPK demam tifoid seolaholah pasien
tersebut hanya menderita demam tifoid; dia tidak menderita hipertensi,
tidak ada asma, tidak obes atau malnutrisi, tidak alergi kloramfenikol,
dan seterusnya. Padahal dalam praktik seorang pasien datang dengan
keluhan utama yang sesuai dengan demam tifoid, namun mungkin ia
juga menderita diabetes, alergi kloramfenikol, hipertensi dan sebagainya.
Contoh lain, seorang yang menderita kardiomiopati obstruktif m enurut
PPK harus diberikan propranolol; namun bila temyata ia menderita asma
berat, maka propranolol tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien
gonore yang harusnya diberikan penisilin namun tidak boleh diberikan
karena ia alergi penisilin. Atau seorang anak yang menderita diare
16
berdarah; menumt PPK misalnya hams diberikan kotrimoksazol sebagai
obat awal; namun bila ia menderita penyakit jantung bawaan bim dan
memperoleh warfarin maka kotrimoksasol tidak dapat diberikan.
3 Respons pasien terhadap prosedur diagnostik dan terapeutik sangat
bervariasi. Ada pasien yang disuntik penisilin jutaan unit tidak apaapa,
namun ada pasien lain yang baru disuntik beberapa unit sudah kolaps
atau manifestasi anafilaksis lain. Hal yang sarna juga terjadi pada
prosedur diagnostik, misal penggunaan zat kontras untuk pemeriksaan
pencitraan.
4 PPK dianggap valid pada saat dicetak. Kemajuan teknologi kesehatan
berlangsung amat cepat. Bila suatu obat yang semula dianggap efektif
dan aman, namun setahun kemudian terbukti memiliki efek samping
yang jarang namun fatal, misalnya disritmia berat, maka obat tersebut
tidak boleh diberikan. Di lain sisi, bila ada obat lain yang lebih efektif,
tersedia, dapat dijangkau, lebih aman, lebih sedikit efek sampingnya,
maka obat tersebut hams diberikan sebagai pengganti obat yang ada
dalam PPK.
5 Praktik kedokteran modem menghamskan kita mengakomodasi apa
yang dikehendaki oleh keluarga dan pasien. Sesuai dengan paradigma
evidence-based practice, yakni dalam tata laksana pasien diperlukan
kompetensi dokter, bukti ilmiah mutakhir, serta preferensi pasien (dan
keluarga), maka clinical decision making process hams menyertakan
persetujuan pasien. Bila menumt ilmu kedokteran ada obat atau
prosedur yang sebaiknya diberikan, namun pasien atau keluarganya
tidak setuju, maka dokter harus mematuhi kehendak pasien, tentunya
setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap.
Orang yang paling berwenang menilai secara kom prehensif keadaan pasien
adalah dokter yang bertugas merawat. Dialah yang akhimya menentukan
untuk memberikan atau tidak memberikan obat atau prosedur sesuai dengan
yang tertulis dalam PPK. Dalam hal ia tidak melaksanakan apa yang ada
dalam PPK, maka ia harus menuliskan alasannya dengan jelas dalam rekam
medis, dan ia hams siap untuk mempertanggungjawabkannya. Bila ini tidak
dilakukan maka dokter tersebut dianggap lalai melakukan kewajibannya
kepada pasien.
17
Revisi PPK
PPK merupakan panduan terkini untuk tata laksana pasien, karenanya harus
selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran . Untuk itu PPK
secara periodik perlu dilakukan revisi, biasanya setiap 2 tahun. Idealnya
meskipun tidak ada perbaikan, peninjauan tetap dilakukan setiap 2 tahun .
Masukan untuk revisi diperoleh dari PNPK yang baru (bila ada), pustaka
mutakhir, serta pemantauan rutin apakah PPK selama ini dapat dan sudah
dikerjakan dengan baik. Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber
yang berharga untuk revisi PPK; namun bila audit klinis belum dilaksanakan,
pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula .
Untuk menghemat anggaran, di rumahrumah sakit yang sudah mempunyai
'intranet', PPK dan panduan lain dapat di-upload yang dapat diakses setiap saat
oleh para dokter dan profesionallainnya, dan bila perlu dicetak.
18
Bab 5
Alur klinis & penuniang PPK yang
lain
Perangkat yang diperlukan untuk pelaksanaan PPK tertentu perlu diuraikan
lebih lanjut dalam Bab terpisah ini, mengingat terdapatnya kecenderungan
untuk terdapatnya perbedaan persepsi, terutama yang menyangkut alur klinis
(clinical pathway).
Alur klinis (Clinical Pathway)
Clinical pathway (CP, alur klinis) memiliki banyak sinonim, di antaranya care
pathway, care map, integrated care pathways, multidisciplinary pathways of
care, pathways of care, collaborative care pathways. CP dibuat untuk
memberikan rincian apa yang harus dilakukan pada kondisi klinis tertentu. CP
memberikan rencana tata laksana hari demi hari dengan standar pelayanan
yang dianggap sesuai. Pelayanan dalam CP bersifat multidisiplin sehingga
semua pihak yang terlibat dalam pelayanan (dokter/dokter gigi, perawat,
fisioterapis, dll) dapat menggunakan format yang sarna. Kelebihan format ini
adalah perkembangan pasien dapat dimonitor setiap hari, baik intervensi
maupun outcome-nya. Oleh karena itu maka CP paling layak dibuat untuk
penyakit atau kondisi klinis yang memerlukan pendekatan multidisiplin, dan
perjalanan klinisnya dapat diprediksi (pada setidaknya 70% kasus). Bila dalam
perjalanan klinis ditemukan halhal yang menyimpang, ini harus dicatat
sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut.
Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam CP dapat tidak
sesuai dengan harapan karena:
•
•
memang sifat penyakit pada individu tertentu,
terapi tidak diberikan sesuai dengan ketentuan,
•
pasien tidak mentoleransi obat, atau
•
terdapat komorbiditas.
19
Apa pun yang terjadi hams dilakukan evaluasi dan dokter memberikan
intervensi sesuai dengan keadaan pasien.
Pada umumnya di rumah sakit umum hanya 30% pasien dirawat dengan CP.
Selebihnya pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). CP hanya efektif
dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau kondisi kesehatan yang
perjalanannya predictable, khususnya bila memerlukan perawatan multidisiplin.
Beberapa pertanyaan yang dapat muncul:
a. Apakah CP perlu dibuat untuk semua penyakit?
Jawabnya telah dijelaskan di atas, tidak. CP hanya untuk penyakit yang
perjalanan klinisnya predictable dan memerlukan penanganan multidisiplin.
b. Apakah CP dibuat untuk perincian biaya perawatan?
Tidak. PPK dan semua perangkatnya, termasuk CP, hams patient oriented,
bukan DGR (diagnosis-related group)-oriented, length of stay oriented, atau BPJS-
oriented. Bahwa setelah CP dibuat digunakan untuk keperluan penghitungan
pembiayaan tentu hal tersebut sahsah saja.
c. Oapatkah penyakit lain dibuat CP sesuai dengan kondisi lokal?
Ide pembuatan CP adalah membuat standardisasi pemeriksaan dan tata
laksana pasien yang memililiki pola tertentu. Bila perjalanan klinis suatu
penyakit sangat bervariasi, misalnya diare atau sepsis, tentu sulit untuk
membuat 'standar' pemeriksaan dan tindakan yang diperlukan hari demi
hari. CP juga tidak efektif bila terdapat komorbiditas.
Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk membuat CP bagi
penyakit apa pun, dengan catatan:
•
ditetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas,
•
bila pasien sudah dirawat dengan CP namun temyata mengalami
komplikasi atau terdapat komorbiditas, maka pasien tersebut hams
dikeluarkan dari CP dan dirawat dengan perawatan biasa .
Keputusan untuk membuat CP pada kasuskasus seperti ini dilakukan atas
kesepakatan staf medis dengan mempertimbangkan efektivitas, sumber
daya, dan waktu yang diperlukan.
20
Berikut adalah contoh CP untuk diare pada bayi dan anak, yang secara
keseluruhan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi sehingga biasanya
tidak dibuat CP, namun dengan kriteria tertentu yang ketat dapat dibuat CP.
Contoh: CP untuk diare akut pada bayi dan anak
Kriteria inklusi (pasien harus memenuhi semua yang tersebut di bawah ini)
• Usia lebih 1 bulan dan kurang dari 5 tahun
• Menderita diare akut tanpa komplikasi
• Perkiraan derajat dehidrasi 5 hari
Pasien harus dikeluarkan dari CP (dan dirawat dengan perawatan biasa)
bila selama perawatan salah satu dari halhal berikut terjadi:
• Tidak terdapat perbaikan klinis dalam waktu 48 jam
• Terdapat muntah empedu dengan nyeri perut
• Diagnosis awal diragukan
• Tinja berdarah
Format CP
CP adalah dokumen tertulis. Terdapat pelbagai jenis format CP yang
tergantung pada jenis penyakit atau masalah serta kesepakatan para
profesional. Namun pada umumnya format CP berupa tabel yang kolomnya
21
merupakan waktu (hari, jam), sedangkan barisnya merupakan observasi /
pemeriksaan / tindakan / intervensi yang diperlukan. Format CP dapat amat
rumit dan rinci (misaInya pemberian obat setiap 6 jam dengan dosis tertentu;
bila ini melibatkan banyak obat maka menjadi amat rumit). Sebagian apa yang
harus diisi dapat merupakan check-list, namun tetap harus diberikan ruang
untuk menuliskan halhal yang perJu dicatat. Ruang yang tersedia untuk
mencatat halhal yang diperlukan juga dapat am at terbatas, lebihIebih fonnat
yang sarna diisi oleh semua profesi yang terlbat dalam perawatan, karena sifat
multidisiplin CPo
Algoritme
Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon pengambilan
keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa yang harus
dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan yang efektif
dalam beberapa keadaan klinis tertentu misaInya di ruang gawat darurat atau
instalasi gawat darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan
menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat untuk
memberikan pertolongan.
Protokol
Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi tertentu
yang cukup kompleks. MisaInya dalam PPK disebutkan bila pasien mengalami
atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu perlu dilakukan
pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan panduan berupa
protokol, bagaimana melakukan pemasangan ventilasi mekanik, dari
pemasangan endotracheal tube, mengatur konsentrasi oksigen, kecepatan
pernapasan, bagaimana pemantauannya, apa yang harus diperhatikan,
pemeriksaan berkala apa yang harus dilakukan, dan seterusnya. Dalam
protokol harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang
mungkin timbul dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu
intervensi harus dihentikan, dan seterusnya .
22
Prosedur
Prosedur merupakan uraian langkahdemilangkah untuk melaksanakan tugas
teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh perawat (misalnya cara
memotong dan mengikat talipusat bayi baru lahir, merawat luka, suctioning,
pemasangan pipa nasogastrik), atau oleh dokter (misalnya pungsi lumbal atau
biopsi sumsum tulang).
Standing orders
Standing orders adalah suatu set instruksi dokter kepada perawat atau
profesional kesehatan lain untuk melaksanakan tugas pada saat dokter tidak
ada di tempat. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien tertentu,
atau secara umum dengan persetujuan Komite Medis. Contoh: perawatan
pascabedah tertentu, pemberian antipiretik untuk demam, pemberian
antikejang per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia tertentu.
23
24
Bab 6
Disclaimer (Penyangkalan, Wewanti)
Sejalan dengan uraian dalam bab terdahulu, dalam setiap dokumen tertulis
PPK serta perangkat implementasinya mutlak harus dituliskan disclaimer
(wewanti, penyangkalan). Hal ini amat diperlukan untuk: (1) menghilangkan
kesalahpahaman atau salah persepsi tentang arti kata "standar", yang bagi
sebagian orang dimaknai sebagai "sesuatu yang harus dilakukan tanpa
kecuali"; (2) menjaga autonomi dok ter bahwa keputusan klinis merupakan
wewenangnya sebagai pihak yang dipercaya oleh pasien untuk memberikan
pertolongan medis.
Oalam disclaimer (yang harus dicantumkan pada setiap dokumen PPK) harus
tercakup butirbutir yang telah dikemukakan di atas, sebagai berikut:
• PPK dibuat untuk average patients
• PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal
• Reaksi individual terhadap p rosedur diagnosis dan terapi bervariasi
• PPK dianggap valid pada saat dicetak
• Praktik kedokteran modem harus lebih mengakomodasi preferensi
pasien dan keluarganya
Disclaimer harus dicantumkan di bagian depan setiap buku PPK. Oi luar negeri
seringkali disclaimer mencakup banyak hal lain yang rinci, misalnya pemyataan:
• PPK berisi panduan praktis, tidak berisi uraian lengkap tentang
penyakit / kondisi
• PPK bukan merupakan hal terbaik untuk semua pasien
• PPK bukan merupakan standard of medical care
• Penyusun tidak menjamin akurasi informasi yang ada dalam PPK
• Penyusun tidak bertanggung jawab terhadap hasil apa pun akibat
penggunaan PPK
• Bila dokter ragu disarankan melakukan konsultasi
25
26
Bab 7
Penutup
Dokumen ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi penyusun standar
pelayanan kedokteran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemarnpuan
masingmasing organisasi profesi, fasilitas maupun fasilitas pelayanan
kesehatan. Dengan demikian diharapkan dapat disusun standar pelayanan agar
terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien, bermutu dan merata sesuai
sumber daya, fasilitas, prafasilitas, dana dan prosedur serta metode yang
memadai menurut jenis dan strata pelayanan kesehatan masingmasing.
Dalam penerapannya PPK perlu terlebih dahulu dijabarkan oleh pihak rumah
sakit, disesuaikan sumber daya yang dimiliki.
27
Lampiran 1
Format Laporan PNPK
Laporan PNPK ratarata setebal50100 halaman, namun sangat bergantung
pada keluasan topik yang dibahas.
Format laporan PNPK secara umum adalah sebagai berikut:
Judul
Daftar isi
Daftar tabel, Gambar, Singkatan
Ringkasan Eksekutif (Bahasa Inggris)
Bab 1. Pendahuluan: Berisi pembenaran / alasan mengapa diperlukan PNPK,
dengan selalu mencantumkan salah satu atau lebih high v olume, high risk, high
cost, high variability
Bab 2. Metodologi
•
Pertanyaan klinis utama
•
Strategi pencarian bukti: database yang dikunjungi,
•
Telaah kritis
•
Peringkat bukti
•
Derajat rekomendasi
Bab 3. Hasil dan Pembahasan
Bab 4. Simpulan dan rekornendasi
Daftar Pustaka
Lampiran
Catatan: Format laporan bila perlu dapat dimodifikas i, namun butir-butirnya tetap
dipertahankan. Misalnya rekomendasi untuk topic tertentu dapat dikumpulkan pada
akhir PNPK, namun untuk topic lainnya lebih memadai bila dibuat per jenis bahasan.
28
Lampiran 2
Contoh Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
B