Implikasi Strategi Pengembangan Sumber Daya Aparatur dan Kebijakan Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik
1. Implikasi Strategi Pengembangan Sumber Daya Aparatur dan Kebijakan Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik
Perencanaan strategis merupakan suatu mekanisme yang sangat menentukan optimal atau tidaknya pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh suatu Daerah. Perencanaan pembangunan dalam implementasinya di Daerah hingga saat ini lebih dipandang sebagai pelaksanaan tugas rutin dibandingkan pertimbangan kemanfaatannya. Terminologi hingga saat ini perlu mendapatkan penekanan, karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir tidak terdapat perubahan dalam implementasi tahapan perencanaan pembangunan, baik terhadap mekanisme pelaksanaannya maupun substansinya.
Untuk menyusun program Pendidikan formal dan Kebijakan Organisasi pengembangan sumberdaya aparatur diadakan pembagian tugas dimana Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyusun
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Pembangunan Tahunan dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) di daerahnya masing-masing, dalam konteks ini Bappeda merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Sesuai dengan amanat Rencana Strategis Kabupaten Bulukumba 2006-2010, arah kebijakan penyelenggaraan publik dan pengembangan sumberdaya manusia dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang ditetapkan oleh Bupati bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selanjutnya, RPJMD diperinci dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai dasar dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang ditetapkan oleh Bupati bersama DPRD.
Rencana Strategis Kabupaten Bulukumba 2006-2010 merupakan rencana pembangunan empat tahun. Dengan demikian, kerangka waktu RPJMD adalah tahun 2006-2010. diharapkan semangat yang dicantumkan dalam Rencana Strategis Kabupaten Bulukumba 2006-2010 telah digunakan dalam penyusunan APBD 2006-2008. Hal ini dimungkinkan karena pada tahun pertama pelaksanaan Rencana Strategis Kabupaten Bulukumba 2006- 2010, kepada Bupati diberi kesempatan untuk melakukan langkah- langkah persiapan, penyesuaian guna menyusun RPJMD dan RKPD dengan tetap memelihara kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara. Selama belum ditetapkan rencana pembangunan tahunan daerah berdasarkan Rencana Strategis Kabupaten Bulukumba 2006- 2010, pemerintah dapat menggunakan rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk tahun 2006 digunakan APBD yang telah disusun sebelumnya karena acuan yang baru tengah dipersiapkan.
RPJMD, sebagai
penjabaran
dari
Berdarkan model pengaruh strategi kompetensi dan kebijakan organisasi terhadap kualitas pelayanan publik menghasilkan koefisien determinasi yang apabila dikonfersi kedalam persentase diperoleh angka 10,30 persen yang menjelaskan aplikasi strategi pengembangan kompetensi dan kebijakan organisasi sumber daya aparatur yang dituangkan dalam Rencana Strategis Daerah belum memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pelayanan publik. Beberapa persoalan aktual dan mendasar menyangkut hal tersebut yang dihimpun dari hasil observasi dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah
2007-2008, Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) sebagai berikut :
(LAKIP) Kabupaten
Bulukumba
a. Belum efektif dan efisiennya penyelenggaraan kelembagaan pemerintah kabupaten
Perangkat daerah Pemerintah Kabupaten Bulukumba yang ada saat ini terdiri dari 2 Sekretariat, 20 Dinas, 5 Badan dan 8 Kantor. Jumlah jabatan struktural juga cukup besar, dimana terdapat 30 jabatan eselon
II, 161 jabatan eselon III, dan 713 jabatan eselon IV. Sedangkan untuk jabatan fungsional masih kurang. Implikasinya, terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi serta terjadi inefisiensi pembiayaan. Kompleksitas struktur ke-lembagaan mesti diikuti oleh perubahan kultural, berupa internalisasi mindset dan perilaku, serta revitalisasi etos kerja. Beranjak dari keinginan untuk melepaskan diri dari budaya birokratis yang kaku, beberapa kepala daerah mengarahkan perubahan kultural menuju corporate culture yang berlandaskan semangat kewirausahaan.
Selain itu, pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) juga belum mantap. Perangkat daerah belum sepenuhnya menerapkan SPM secara profesional, transparan, dan akuntabel. Akibatnya, kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparat belum sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh masih adanya keluhan masyarakat seperti pelayanan yang lamban, tidak adanya kepastian waktu dan biaya, prosedur pelayanan yang relatif sulit, dan rendahnya kualitas pelayanan.
b. Masih rendahnya kapasitas aparatur pemerintah kabupaten
Hal ini ditunjukkan oleh masih rendahnya kapasitas aparatur Pemerintah Kabupaten, baik dari segi jumlah, maupun segi profesionalisme, dan terbatasnya kesejahteraan aparat pemerintah kabupaten. Dari 6.668 orang pegawai Kabupaten Bulukumba pada tahun 2008 diketahui bahwa PNS tingkat pendidikan maka: SD sebanyak 214 orang atau 3,21persen, SMP sebanyak 132 orang atau 1,98 persen, SMA sebanyak 2.894 orang atau 43,40 persen, Diploma sebanyak 1.910 orang atau 28,64 persen, S1 sebanyak 1.454 orang atau 21,81 persen dan S2 sebanyak 64 orang atau 0,96%. Tingkat pendidikan pegawai negeri sipil yang terbesar adalah SMA sebesar 43,40 persen dan yang terkecil adalah S2 sebesar 0,96%.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) juga masih terbatas, baik diklat struktural, diklat fungsional maupun diklat teknis. Penyelenggaraan diklat tersebut belum sepenuhnya dikaitkan dengan jabatan, kebutuhan organisasi dan pengembangan karir pegawai. Hal ini disebabkan oleh belum efektifnya pengelolaan sistem manajemen kepegawaian.
c. Kurangnya Inovasi Pemerintah Daerah Peningkatan kompetensi SDM dan kebijakan organisasi
Kemampuan beradaptasi tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusia yang handal. Begitu juga halnya dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba, dalam meng- hadapi tuntutan, dan perubahan keadaan di era otonomi ini. Sumber daya manusia yang unggul sangat diperlukan dalam melaksanakan TUPOKSI dalam mempertahankan eksistensinya pelananan publik .
Strategi meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna mengoptimalkan manajemen operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan. Sangat perlu diterapkan mengingat kemampuan penyelesaian, efisiensi organisasi yang rendah yang tercermin dalam pengeluaran operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh pada SKPD pengelola PAD, kondisi demikian karena Strategi meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna mengoptimalkan manajemen operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan. Sangat perlu diterapkan mengingat kemampuan penyelesaian, efisiensi organisasi yang rendah yang tercermin dalam pengeluaran operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh pada SKPD pengelola PAD, kondisi demikian karena
Indikator keberhasilan kebijakan peningkatan kompetensi aparatur dan kebijakan organisasi Pemerintah Kabupaten Bulukumba yang efektif dan efisien sesuai dengan Kebutuhan Daerah yang merupakan evaluasi dari Rencana strategis Daerah berikut target dan capaiannya sebagai berikut :
Tabel 3 Capaian Kebijakan peningkatan kompetensi aparatur dan kebijakan organisasi Pemerintah Kabupaten Bulukumba 2007
Indikator Kebijakan Satuan
Target
Realisasi Capaian
Peningkatan pelayanan publik
100 100 Daya saing dan kompetensi meningkat
50 50 100 Tercapainya kebutuhan peralatan
20 20 100 kantor Tercapainya presentase kinerja
40 40 100 pegawai Tersedinya sarana kantor
50 50 100 Prosentase pengadaan peralatan
25 25 100 gedung kantor Meningkatnya kualitas sarana dan
1 1 100 prasarana pendidikan pegawai Meningkatnya kualitas sarana dan
1 1 100 prasarana pendidikan Terselenggaranya kelancaran tugas-
Paket
50 37 74 tugas kedinasan Kenyamanan dalam Melaksanakan
Paket
50 50 100 Tugas ruang yang representatif
50 50 100 Terciptanya Fasilitas Peralatan dan
1 1 100 Perlengkapan Kerja yang Baik Terciptanya suasana Kerja yang
Keg
50 50 100 Kondusif
Tercapainya kesejahteraan PNS
25 25 100 Terciptanya Fasilitas Peralatan dan
1 1 100 Perlengkapan Kerja yang Baik Meningkatnya Kinerja Aparatur
Keg
40 40 100 Pendidikan dan pelatihan
75 75 100 Terlaksananya dengan lancar
25 25 100 pendidikan dan formal Meningkatnya SDM Aparat
7 7 100 Meningkatnya SDM aparat
Orang
20 20 100 Rasio Aparatur yang Terampil dan Terlatih
30 30 100 Prosentasepegawai yang handal
secara teknis dalam pengelolaan
30 30 100 sumber-sumber penerima PAD Prosentase Pegawai yang Handal Secara Teknis Dengan Jimlah PNS ( 7
30 30 100 : 22 Orang ) SDM staf meningkat
7 7 100 Mendukung Kelancaran Pelaksanaan
Orang
Tupoksi
90 90 100 Meningkatnya Pengetahuan Aparat
75 75 100 Meningkatkan sumber daya aparatur
100 100 Tercapainya jumlah aparat yang
Meningkatnya Pengetahuan dan Keterampilan Aparatur
100 100 Tertib Administrasi Perkantoran
Rumah Sakit
100 100 Rasio aparatur terlatih bidang andal
20 20 100 Meningkatnya Sumber daya aparatur
25 25 100 Sumber : Lakip Kabupaten Bulukumba 2007 (Diolah)
Capaian kebijakan peningkatan kompetensi aparatur dan kebijakan organisasi pada tabel yang diperoleh dengan membandingkan target dan realisasi secara umum mencapai persentase yang positif, yang perlu dicermati adalah penentuan target kebijakan yang terbilang rendah yang menyentuh 6.668 pegawai dan pelayanan publik.
Reformasi pengembangan kompetensi PNS takkan berhasil tanpa reformasi remunerasi, dan ini berarti butuh anggaran yang sangat besar hanya untuk kesejahteraan pegawai pemerintah, jika dimaksimal- kan anggaran daerah negara hanya tersedot untuk gaji dan tunjangan pegawai negeri. pos belanja pembangunan lainnya akan terbengkalai.
Komitmen Bupati Bulukumba terhadap peningkatan kompetensi dan kebijakan strategi pengembangan sumber daya aparatur dan kebijakan organisasi ini sangat penting dan diperlukan karena secara formal dan psikologis dapat meningkatkan semangat dan kepedulian semua pihak untuk menjaga kontiunitas program dan kegiatan sesuai dengan visi pembangunan daerah.
Nilai-nilai organisasi dalam proses perumusan kebijakan pe- ngembangan sumber daya aparatur dan kebijakan organisasi selama ini meletakkan visi misi Bupati terpilih pada posisi dominan selaku pemeran utama dalam proses pembuatan kebijakan publik. Hal ini mengakibatkan hampir seluruh kebijakan publik yang dihasilkan bersumber sepenuhnya dari visi pemerintah. Hal ini menyebabkan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik sebagian besar terjadi pada tahap implemen- tasinya, bukan pada tahap perencanaan dan perumusannya. Model partisipasi yang demikian ini lebih merupakan sebagai suatu mobilisasi.
Dalam proses pembangunan yang telah mengalami distorsi ruang publik akibat besarnya intervensi kekuatan pemerintah, maka opini publik yang muncul adalah bukan opini masyarakat tetapi justru opini elit (pemerintah). Dapat disaksikan bahwa, kekuatan dan lapisan yang memiliki akses politik yang mampu bermain di lingkungan kekuasaan pasti memperoleh akumulasi keuntungan. Sebaliknya, marginalisasi akan semakin terasa oleh kelompok kecil-menengah yang tidak memiliki akses struktural.
Kekuasaan adalah tema yang paling menentukan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sesungguhnya kebijakan publik itu adalah sebuah proses politik, sehingga perumusan kebijakan publik pun sesungguhnya adalah proses tawar menawar politik dari mereka yang mampu mengakses proses pembuatan kebijakan publik itu.
Akan tetapi apabila pandangan demikian terlalu kuat dipegang, maka kita akan menjadi reduksionis. Yang harus dipahami adalah bahwa dalam proses perumusan kebijakan itu ada aspek manajemennya, yakni sejauhmana perhitungan atas kelayakan sumber-sumber yang dimiliki secara cermat, ketika para stakeholders hendak membuat suatu kebijakan publik. Oleh karena itu, proses pembuatan kebijakan publik itu tidak hanya ditentukan oleh persoalan “siapa menguasai apa dan bagaimana kekuasaan itu dimainkan” meskipun juga harus diakui bahwa analisis kekuasaan adalah merupakan salah satu penentu dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Kebijakan publik sebagai suatu proses politik yang berorientasi pada akomodasi kepentingan publik, pada saatnya akan bersinggungan erat dengan konsep demokrasi. Sebab tanpa persinggungan ini bukan tidak mungkin kebijakan publik justru akan meminggirkan kepentingan publik itu sendiri. Kebijakan publik yang pada posisi ini hanya dimiliki oleh segelintir orang dan keuntungan dari produk politik (yang mengatas- namakan banyak orang) itupun tidak berimbas pada keseluruhan masyarakat. Secara konseptual, kebijakan publik yang tidak bersing- gungan dengan konsep demokrasi sering, disebut dengan istilah iron cage atau iron trangle (parsons, 1997). Berangkat dari kesadaran inilah, proses dalam kebijakan publik menyandarkan dirinya atas persing- gungannya dengan konsep demokrasi, dengan menggunakan indikator akomodasi kepentingan publik. Kepentingan publik yang dimaksud adalah proses tarik menarik dari berbagai kepentingan di dalam masyarakat, yang kemudian menjelma menjadi opini publik.
Perbandingan bobot policy content yang terkandung dalam kebijakan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada pengakuan yang nyata, dimana semua stakeholders perlu untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan. Tampaknya pengakuan lebih berat timbangannya pada unsur pemerintah. Bentuk partisipasi yang dinyatakan secara implisit hanyalah sekedar masukan bagi pengambilan keputusan dan keluhan untuk menyatakan kebutuhan, meskipun demikian, mekanisme- nya juga tidak jelas. Setelah adanya kesadaran akan kompleksitas dan interaksi yang terjadi dalam prosaes perumusan kebijakan, persoalan lain Perbandingan bobot policy content yang terkandung dalam kebijakan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada pengakuan yang nyata, dimana semua stakeholders perlu untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan. Tampaknya pengakuan lebih berat timbangannya pada unsur pemerintah. Bentuk partisipasi yang dinyatakan secara implisit hanyalah sekedar masukan bagi pengambilan keputusan dan keluhan untuk menyatakan kebutuhan, meskipun demikian, mekanisme- nya juga tidak jelas. Setelah adanya kesadaran akan kompleksitas dan interaksi yang terjadi dalam prosaes perumusan kebijakan, persoalan lain