Perkembangan Hukum Pidana Formil

(1)

I

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan Transnasional yang paling popular pada akhir-akhir ini , terutama setelah terjadinya kasus terorisme yang meruntuhkan gedung WTC pada tanggal 11 September 2001 di New York-Amerika Serikat, sedangkan kasus teror di Indonesia yang mengagetkan dunia Internasioal adalah peristiwa di Kuta Bali (Bom Bali I) yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002.

Pada tanggal 20 Desember 1997 negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, telah menyepakati dan menetapkan bahwa terorisme sebagai salah satu Trans National Crime yang dituangkan dalam DEKLARASI ASEAN. Sebagai perwujudan dari Deklarsi ASEAN serta dalam pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme, maka pada tanggal 3 Maret 2006 Pemerintah RI telah mensahkan UU No 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. UU NO 1 Tahun 2006 merupakan instrument hukum untuk menunjang dan melaksanakan penegakan hukum. Disamping itu terdapat UU No 1/PrP/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT)1 dan UU No 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan

International Convention of Terrorist Bombings, 1997 (Konvensi International Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris,1997). Upaya tersebut merupakan langkah konkrit dari pemerintah RI dalam mencegah, menanggulangi dan memberantas tindak pidana terorisme.

Bentuk tindak pidana terorisme baik ditinjau dari modus operasi maupun tujuan yang hendak dicapai selalu bervariasi sejalan dengan motif yang dikehendaki oleh si pelaku terdapat latar belakang sasaran yang hendak dicapai yaitu baik untuk tujuan politik atau non politik , maupun gabungan dari keduanya dengan skala prioritas pada kepentingan pelaku.


(2)

Dilihat dari segi sifatnya, terorisme bukan dikategorikan sebagai kejahatan yang biasa “ordinary crime”, tetapi lebih bersifat “extra ordinary crime”. Perbedaan antara kedua kejahatan tersebut adalah, pada kejahatan biasa dilaksanakan untuk suatu tujuan tertentu dan korban yang tertentu pula serta menggunakan cara- cara yang biasa dengan dilakukan secara perorangan maupun secara bersama (lebih dari satu orang) , mengingat cara perbuatan (modus operandi) tersebut dilakukan secara biasa “konvensional” maka kejahatan ini dapat dilakukan oleh hampir semua orang. Sedangkan pada kejahatan yang bersifat extra ordinary crime merupakan kejahatan yang dilaksanakan secara sistematik , meluas serta terorganisir yang di dalamnya terkandung adanya perencanaan dan penggunaan sarana dan prasarana yang berbasis pada IPTEK , serta dengan tujuan ideologis yang dapat mengorbankan masyarakat luas bahkan dapat menggoyahkan tatanan sosial , budaya , hukum , dan ekonomi suatu negara. Dengan demikian kejahatan terorisme dipahami sebagai kejahatan yang bersifat kompleks dan multidimensi. Mengingat terorisme sebagai kejahatan yang extra ordinary , maka penanganannya harus bersifat extra ordinary. Yang dimaksudkan dengan penanganan secara extra ordinary adalah bahwa penanganan atas kejahatan tersebut dilakukan secara komperhensif dan perlu mendapat dukungan secara luas serta kerjasama dari semua elemen masyarakat serta kerjasama antar negara.

Untuk mengungkap jaringan terorisme di Indonesia tentu sangat diperlukan langkah-langkah hukum yang konkrit yaitu dalam bentuk memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana terorisme. Adapun produk hukum yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan proses penerapan hukum formal. Sesuai dengan sistem hukum pembuktian dalam proses hukum acara pidana dikenal adanya prinsip “dominus litties” (hak kewenangan menuntut dari negara diberikan kepada penuntut umum selaku institusi yang sah).

Dalam upaya pembuktian pengungkapan suatu kasus terorisme yang bersifat extra ordinary crime, keberadaan KUHAP yang masih manganut pembuktian konvensional sebagaimana diatur dalam Pasal 184, hal tersebut dirasakan masih kurang memadai apabila dibandingkan dengan modus operandi dari pelaku kejahatan terorisme yang kegiatannya telah memanfaatkan sarana kecanggihan IPTEK. Sebagai upaya pembuktian


(3)

dalam kasus tindak pidana terorisme baik ditinjau dalam modus operandinya maupun para pelaku yang tidak hanya dilakukan oleh orang-perseorangan dan atau kooporasi namun juga melibatkan pihak lain yang memungkinkan pihak tersebut berada di luar negeri2 diperlukan suatu terobosan hukum terutama dalam hukum pembuktian

yang sesuai dengan asas “utilities”, dimana hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil dalam penyelesaian kasus-kasus terorisme.

Proses pembuktian dalam penanganan tindak pidana terorisme yang memegang peranan penting adalah manusia sebagai subyek hukum dengan segala perbuatan yang berhubungan dengan niat kesengajaan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, baik dalam kapasitasnya sebagai pelaku maupun sebagai saksi dengan tingkat pengetahuan dalam kualitas yang berbeda-beda, sehingga untuk dapat didengar keterangannya sebagai seorang saksi di persidangan sesuai dengan nilai dan kekuatan pembuktian “the degree of evidence” dari keterangan saksi tersebut. Akan tetapi dalam praktiknya dijumpai adanya kekosongan hukum acara pada pemeriksaan pembuktian keterangan saksi di persidangan yang seperti tidak diatur dalam KUHAP yaitu mendengar keterangan saksi yang diberikan secara virtual (dimana saksi tersebut secara fisik tidak berada di ruang sidang pengadilan), namun keterangan saksi tersebut diberikan di luar ruangan sidang pengadilan dengan menggunakan bantuan telekonferensi atau tayangan langsung melalui sarana komunikasi atau sarana elektronik.

Persidangan di Indonesia dengan menggunakan media telekonfrensi sudah pernah dilakukan yaitu dalam perkara tindak pidana korupsi (Rahadi Ramelan), Pengadilan HAM Ad Hoc, dan perkara tindak pidana terorisme (Abu Bakar Ba’Asyir dan Ali Gufron)3, yang dalam penyelenggaraan teleconference telah diselenggarakan baik atas

permintaan Jaksa Penunut Umum maupun Penasihat Hukum.

Persidangan dengan menggunakan media telekonferensi telah menimbulkan pro dan kontra, hal tersebut dikarenakan pada satu sisi perkembangan hukum “law in the book” tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat “law in action” apalagi bila 2 Dalam kasus peledakan Atrium Senen Jakarta tahun 2000 dan peledakan bom Bali I tahun 2002

adalah warga negara Malaysia dengan dukungan dana dari luar negeri dan juga berasal dari pihak Al Qaeda, mentrasfer dana sejumlah US$ 360 ribu pada Hambali, DR Azhari, dan Nurdin M.Top yang menjadi target operasi nomor 1 pemerintah RI.

3 Persidangan dengan media telekonfernsi pada peradilan kasus Bom Bali I dalam Putusan


(4)

dibandingkan kemajuan tekhnologi , disamping itu tidak terciptanya kesatuan bahasa hukum dalam menjelaskan dan menilai keterangan saksi via telekonferensi. Sedangkan di sisi lainnya KUHAP sebagai basis acara pemeriksaan perkara pidana tidak mengaturnya.

Apabila bertitik tolak dari kajian formal legalistik, persidangan dengan menggunakan media telekonferensi “bertentangan” dengan ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 167 KUHAP. Pada ketentuan Pasal 167 ayat (1) huruf (a)”saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum”. Kemudian dalam Pasal 167 ayat (1) “setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya”. Dari kedua ketentuan Pasal tersebut, secara tekstual dituntut kehadiran sorang saksi secara fisik di ruang sidang.

Oleh karena dalam hukum acara pidana di Indonesia tidak mengatur persidangan dengan menggunakan telekonferensi, dengan dasar yuridis ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970 jo UU No 35 Tahun 1999 jo UU No 4 Tahun 2004 “Hakim wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat “ majelis hakim menyetujui dilakukan telekonferensi, yang pada dasarnya dalam penyelesaian perkara pidana guna mencari dan menemukan kebenaran materiil hakim harus bertitik tolak dari posisi objektif ke objektif4. Maka guna

menegakkan kebenaran materiil yang bermuara pada keadilan “Pro Justicia”, aspek hukum formalistik dalam praktik peradilan di Indonesia sedikit telah disimpangi secara selektif.

B. RUMUSAN MASALAH

4 H.R Purwoto S. Gandasubrata “RENUNGAN HUKUM”, IKAHI CAB. MARI, Cet-I, Maret


(5)

Dari uraian yang terdapat dalam latar belakang tersebut diatas, maka timbul problematika yuridis yang berkaitan dengan proses pembuktian dengan mengunakan media telekonferensi pada perkara TPT, yaitu :

1. Apakah keterangan saksi yang diberikan secara virtual melalui bantuan media telekonferensi (dimana saksi secara fisik tidak berada di dalam ruangan sidang) pada saat pemeriksaan perkara TPT di sidang pengadilan dapat dinyatakan berkualitas sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai nilai pembuktian.

2. Sampai sejauh mana nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi yang diberikan melalui telekonferensi dalam proses pembuktian pada pameriksaan perkara TPT di sidang pengadilan.

II


(6)

PEMBAHASAN

A. ARTI PEMBUKTIAN

Berkaitan dengan pembahasan persidangan menggunakan telekonferensi yang dilakukan pada tahap proses pemeriksaan saksi yang bertujuan untuk membuktikan unsur-unsur kesalahan yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum, maka pertama-tama penulis perlu membahas tentang arti pembuktian.

Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, karena melalui pembuktian nasib terdakwa ditentukan bersalah atau tidak bersalah. Apabila hasil pembuktian yang didukung dengan alat-alat bukti (sesuai dengan Pasal 184 KUHAP) “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa , maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti dan didukung oleh keyakinan hakim, maka terdakwa dinyatakan terbukti “bersalah”. Oleh karena itu hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara di persidangan dituntut bersikap cermat, seksama, dan teliti dalam mempertimbangkan dan menilai nilai pembuktian. Disamping itu hakim harus meneliti sampai dimana “kekuatan pembuktian (bewijs kracht)” dari setiap alat bukti tersebut dapat dipergunakan untuk membuktikan kebenaran unsur dari pasal yang didakwakan. Dengan demikian proses yang dilakukan oleh hakim dalam meneliti kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti yang diajukan di persidangan merupakan perwujudan dari asas pemeriksaan secara cermat, seksama, dan teliti demi mencari dan mendapatkan kebenaran materiil sebagai tujuan dari hukum pidana.

Adapun yang dimaksud dengan membuktikan adalah memberikan dasar-dasar yang cukup kepada Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Jadi pembuktian secara yuridis adalah mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup untuk membarikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan5.

5 .Krisna Harahap“Hukum Acara Perdata-Class Action, Arbritase&Alternatif serta Mediasi”,


(7)

Pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan pembuktian dalam hukum acara pidana yaitu :

a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mendapatkan kebenaran materiil. Baik hakim, penuntut umum, terdakawa, atau penasihat umum semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

b. Majelis hakim dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian selama pemeriksaan perkara di persidangan dituntut bersikap cermat, seksama, dan teliti yang senantiasa berdasarkan serta mengutamakan alat bukti dan menghubungkannya dengan barang bukti. c. Dalam melakukan pemeriksaan hakim harus mematuhi segala

ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang terdapat dalam hukum acara yang berlaku dengan tanpa mengkaitkan perasaan dan pendapat hakim yang subyektif. Dengan demikian tujuan pembuktian dalam hukum acara pidana yaitu guna mencari, mengejar, dan mendapatkan kebenaran hakiki “meteriele waarheid

B. ALAT BUKTI DALAM UU PTPT

Berdasarkan Pasal 27 UU PTPT alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu ; dan

c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :


(8)

2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya

3. huruf, tanda, angka, simbol, perforasi, yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Dari ketentuan tentang alat bukti yang terdapat dalam Pasal 27 UU PTPT , maka pengaturan mengenai alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme lebih luas daripada alat bukti yang diatur oleh KUHAP. Perluasan alat bukti dalam UU PTPT tersebut nampak pada Pasal 27 huruf ( b dan c) yaitu meliputi alat bukti elektronik.

Keberadaan alat bukti elektronik ini tidak dapat dilepaskan dengan modus operandi tindak pidana terorisme (TPT) yang menggunakan tekhnologi tinggi, baik dalam berkomunikasi maupun dalam melaksanakan tindak pidananya. Jaringannya pun tidak sekedar lintas pulau, melainkan sudah melintasi batas territorial negara6.

Perluasan alat bukti elektronik seperti yang diatur dalam Pasal 27 UU PTPT yang tidak diatur dalam KUHAP dikarenakan para pembuat undang-undang pada waktu itu (tahun 1981) tidak menyadari adanya revolusi tekhnologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat, sehingga KUHAP tidak mampu mengantisipasinya.

Alat bukti yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Apabila kelima limitasi alat bukti ini apabila diterapkan yang mengacu secara formal legalistik / kaku dalam proses pembuktian pada kasus TPT dirasakan kurang dapat mengakomodir dalam penyelesaian kasus terorisme yang bersifat extra ordinary crime, sehingga dalam praktiknya menimbulkan problematik. Disamping itu dengan hanya menerapkan kelima limitatif alat bukti tersebut dapat menghambat dan merugikan penegakan hukum dalam pengungkapan kasus TPT. Dikatakan dapat merugikan oleh karena hal tersebut akan “membelenggu” hakim dalam mencari kebenaran materiil untuk membuktikan kesalahan terdakwa.


(9)

C. PEMERIKSAAN SAKSI DENGAN TELEKONFERENSI DI PERSIDANGAN Berdasarkan Pasal 27 UU PTPT dapat digunakannya alat bukti pemeriksaan berupa informasi yang disampaikan atau diberikan melalui media elektronik yang dalam hal ini dapat diartikan termasuk melalui media telekonferensi. Pada dasarnya KUHAP dibuat dengan tujuan guna mendapatkan kebenaran materiil dalam proses penyelesaian perkara pidana, sehingga telekonferensi merupakan sarana untuk mencari kebenaran materiil. Dalam persidangan dengan menggunakan bantuan telekonferensi (saksi secara fisik tidak berada di dalam ruangan sidang, namun secara virtual saksi dapat hadir dalam persidangan), dimana semua pihak (majelis hakim, penuntun umum, penasihat hukum, dan terdakwa) dapat menguji serta menanggapi keterangan saksi tersebut, dan keterangannya bisa di dengarkan semua orang.

Pemeriksaan saksi jarak jauh (dimana saksi berada dan atau berdomisili di luar negeri) dengan menggunakan bantuan telekonferensi dapat dilakukan oleh Peradilan di Indonesia. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 13 UU No1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, yaitu :Dalam hal pengajuan permintaan bantuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10, Menteri dapat meminta orang yang memberikan pernyataan atau menunjukan dokumen atau alat bukti lain yang terkait dengan permintaan Bantuan tersebut untuk diperiksa atau diperiksa silang melalui pertemuan langsung atau dengan bantuan telekonferensi atau tayangan langsung melalui sarana komunikasi atau sarana elektronik lainnya baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan dengan:

a. penyidik, penuntut umum, atau hakim; atau

b. tersangka, terdakwa, atau kuasa hukumnya

Berkenaan dengan pengajuan permintaan bantuan untuk mendapatkan alat bukti sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 13, menurut Pasal 10 UU No 1 Tahun 2006

Pengajuan permintaan Bantuan harus memuat : a. identitas dari institusi yan meminta

b. pokok masalah dan hakekat dari penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang berhubungan dengan permintaan tersebut, serta nama


(10)

dan fungsi institusi yang melakukan penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan

c. ringkasan dan fakta-fakta yang terkait kecuali permintaan Bantuan yang berkaitan dengan dokumen yuridis

d. ketentuan undang-undang yang terkait, isi pasal, dan ancaman pidananya e. uraian tentang Bantuan yang diminta dan rincian mengenai prosedur khusus

yang dikehendaki termasuk kerahasian f. tujuan dari Bantuan yang diminta; dan

g. syarat-syarat lain yang dikehendaki olen Negara yang diminta.

Adapun yang dimaksud dengan “Bantuan”, berdasarkan Pasal 3 ayat (1)UU No 1 Tahun 2006 yaitu “Bantuan timbal balik dalam masalah pidana, yang selanjutnya disebut Bantuan, merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan , penuntutan , pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan Negara Diminta”. Meskipun dalam hal pemeriksaan saksi jarak

jauh melalui media telekonferensi baik dalam tahap penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak diatur dalam KUHAP dan dianggap bertentangan dengan Pasal 160 ayat (1) dan Pasal 167 ayat(1) KUHAP, akan tetapi malalui Pasal 27 ayat (1) UU PTPT jo Pasal 13 UU No1 Tahun 2006 pemeriksaan saksi jarak jauh melalui bantuan telekonferensi dapat dilaksanakan dalam sistem Peradilan di Indonesia. Dalam hal demikian berlakunya Pasal 160 ayat (1) dan Pasal 167 ayat (1) KUHAP dapat disimpangi oleh kedua undang-undang tersebut.

Dengan demikian peradilan di Indonesia telah melakukan suatu terobosan hukum, yaitu dengan memperkenankan digelarnya persidangan melalui telekonferensi dalam pemeriksaan saksi jarak jauh dalam perkara pidana. Terobosan hukum ini merupakan salah satu wujud lahirnya “Peradilan Informasi” yang berjangkau global dan lintas batas, yang pada pemeriksaan melalui media telekonferensi mirip dengan cara pemeriksaan biasa di persidangan dilakukan secara langsung dan transparan7, dimana fungsi dan

tujuannya sejalan dengan proses peradilan yaitu untuk mencari dan menemukan kebenaran meteriil.

7 H.Parman Soeparman “Kapita Selekta Tentang Penerapan Pelbagai Permasalahan Teknis

Yustisial Bidang Pidana Dalam Teori Dan Praktik Peradilan”, Seminar Pelatihan Pendalaman Tekhnis Materi Hukum Pidana, 24 -27 Juli 2006, hal.9.


(11)

D. KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam setiap perkara pidana. Ditinjau dari segi nilai dan dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan tersebut mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian , maka terdapat beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Adapun aturan ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Menurut Pasal 160 ayat (1) KUHAP, sebelum saksi memberi keterangan “wajib mengucapkan sumpah atau janji bahwa saksi akan memberikan keterangan yang

sebenar-benarnya dan tiada lain dari yang sesebenar-benarnya. Namun dalam Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan sumpah atau janji :

i. pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan

ii. akan tetapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah saksi memberi keterangan.

2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti sesuai Pasal 1 angka 27 jo Pasal 185 KUHAP, yaitu keterangan :

i. yang saksi lihat sendiri ii. saksi dengar sendiri iii. dan saksi alami sendiri

iv. serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (Pasal 185

KUHAP). Terhadap ketentuan tersebut dalam praktik penerapannya sehubungan dengan telah dilaksanakannya telekonferensi, maka prinsip mendengar keterangan saksi di persidangan tersebut pengertiannya dapat diperluas meliputi keterangan yang dapat diberikan secara virtual melalui media telekonfernsi.


(12)

4) Keterangan saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Dengan merujuk pada kaidah-kaidah yang harus diperhatikan dalam proses pemeriksaan saksi menurut hukum acara pidana yang apabila telah bersesuaian dengan dipenuhinya persyaratan dalam hal sahnya keterangan saksi, maka sebagai konsekuensi yuridis bahwa kekuatan nilai keterangan saksi yang diberikan melalui media telekonferensi adalah “sama dengan” nilai keterangan saksi yang diberikan dalam ruang sidang.

Dengan demikian, unsur pengucapan sumpah atau janji saja “bukan” yang menentukan sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Ada beberapa syarat yang harus melekat pada keterangan itu supaya dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah.

E. NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI

Dalam hal menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi, berdasarkan Pasal 185 ayat (6) KUHAP menuntut hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan :

1. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain 2. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain

3. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu

4. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.


(13)

Berkaitan dalam menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi, timbul pertanyaan “sampai sejauh manakekuatan pembuktian” keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah maupun kekuatan pembuktian keterangan saksi.

Pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht)”, dan di dalamnya tidak melekat sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh sebab itu, alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan8.

Disamping alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan , sama sekali mengikat hakim. Dalam hal ini Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenaran dari alat bukti keterangan saks bahwa keterangan tersebut sempurna atau tidak sempurna. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada kebenaran keterangan tersebut, dan dapat menerima atau menolak.

Namun demikian, Hakim dalam mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi harus benar-benar bertanggung jawab. Jangan sampai kebebasan penilaian dari Hakim menjurus kepada kesewenang-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran. Dengan demikian, apabila dalam satu kasus telah benar-banar cukup bukti berdasar keterangan saksi, kebebasan Hakim menilai kebenaran dan keterangan para saksi wajib berpedoman pada tujuan untuk mewujudkan “kebenaran sejati”9.

III

8 M.Yahya Harahap, S.H “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP.,Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali”, Sinar Grafika-Jakarta, Cet-Kedua, Oktober 2000, hal.273-274.


(14)

PENUTUP A. KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Terorisme (TPT) ditinjau baik dari motif maupun dari modus operandinya merupakan kejahatan yang bersifat extra ordinary crime dan dalam penanganan atas kejahatan tersebut dilakukan secara komperhensif dan perlu mendapat dukungan secara luas serta kerjasama dari seluruh elemen masyarakat dan kerjasama antar negara.

2. Dengan kemajuan jaman dan tekhnologi, maka alat bukti seperti film, telekonferensi, dan alat bukti elektronik lainnya relatif kurang diakomodir oleh KUHAP, sehingga dalam penerapannya menimbulkan problematik. 3. Pengaturan persidangan dengan bantuan tekonferensi secara implisit diatur

dalam Pasal 27 UU PTPT dan untuk pemeriksaan saksi jarak jauh dengan menggunakan bantuan telekonferensi diatur dalam Pasal 13 UU No 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. 4. Pengaturan persidangan dengan media telekonferensi sebagaimana yang

diatur dalam UU PTPT dan UU No 1 Tahun 2006 merupakan “Lex Specialis” dari KUHAP.

5. Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 160 ayat (1) dan (4), Pasal 1 angaka 27 jo Pasal 185, dan Pasal 183 KUHAP dalam proses pemeriksaan saksi yang apabila telah bersesuaian dengan dipenuhinya persyaratan dalam hal sahnya keterangan saksi, maka sebagai konsekuensi yurudis kekuatan nilai saksi yang diberikan melalui telekonferensi adalah “sama dengan” keterangn saksi yang diberikan di dalam ruangan sidang

6. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas, dan hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.


(15)

1. Terhadap existensi telekonferensi sebagai bentuk kemajuan tekhnologi dalam hukum acara pidana sebagai salah satu cara untuk mendapatkan kebenaran meteriil, maka KUHAP sebagai ujung tombak penegakan hukum pidana formil segera dilakukan revisi, khususnya dalam limitasi alat-alat bukti.

2. SEMA sangat dibutuhkan untuk penjelasan hukum agar terciptanya kesatuan bahasa dalam menilai alat bukti tersebut.


(16)

Didik Endro Purwoleksono,S.H,M.H “Tindak Pidana Terorisme”, Yuridika , Vol.20 No.6, November-Desember 2005.

H. Parman Suparman “Kapita Selekta Tentang Penerapan Pelbagai Permasalahan Teknis Yustisial Bidang Pidana Dalam Teori Dan Praktik Peradilan” , Seminar Pelatihan Pendalaman Tekhnis Materi Hukum Pidana, MAHKAMAH AGUNG R.I, Jakarta , 24-27 Juli 2006

H.R Purwoto.S Gandasubrata “Renungan Hukum”, IKAHI , Cab. MARI, Cet-I, Maret 1998

Krisna Harahap “Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrasie, Dan Alternatif Serta Mediasi” , Grafiti, Bandung, 2005

M. Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP., Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali” , Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2000

UU No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

UU 1 /PrP/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme


(1)

D. KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam setiap perkara pidana. Ditinjau dari segi nilai dan dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan tersebut mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian , maka terdapat beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Adapun aturan ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Menurut Pasal 160 ayat (1) KUHAP, sebelum saksi memberi keterangan “wajib mengucapkan sumpah atau janji bahwa saksi akan memberikan keterangan yang

sebenar-benarnya dan tiada lain dari yang sesebenar-benarnya. Namun dalam Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan sumpah atau janji :

i. pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan

ii. akan tetapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah saksi memberi keterangan.

2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti sesuai Pasal 1 angka 27 jo Pasal 185 KUHAP, yaitu keterangan :

i. yang saksi lihat sendiri ii. saksi dengar sendiri iii. dan saksi alami sendiri

iv. serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (Pasal 185

KUHAP). Terhadap ketentuan tersebut dalam praktik penerapannya sehubungan dengan telah dilaksanakannya telekonferensi, maka prinsip mendengar keterangan saksi di persidangan tersebut pengertiannya dapat diperluas meliputi keterangan yang dapat diberikan secara virtual melalui media telekonfernsi.


(2)

4) Keterangan saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Dengan merujuk pada kaidah-kaidah yang harus diperhatikan dalam proses pemeriksaan saksi menurut hukum acara pidana yang apabila telah bersesuaian dengan dipenuhinya persyaratan dalam hal sahnya keterangan saksi, maka sebagai konsekuensi yuridis bahwa kekuatan nilai keterangan saksi yang diberikan melalui media telekonferensi adalah “sama dengan” nilai keterangan saksi yang diberikan dalam ruang sidang.

Dengan demikian, unsur pengucapan sumpah atau janji saja “bukan” yang menentukan sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Ada beberapa syarat yang harus melekat pada keterangan itu supaya dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah.

E. NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI

Dalam hal menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi, berdasarkan Pasal 185 ayat (6) KUHAP menuntut hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan :

1. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain 2. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain

3. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu

4. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.


(3)

Berkaitan dalam menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi, timbul pertanyaan “sampai sejauh manakekuatan pembuktian” keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah maupun kekuatan pembuktian keterangan saksi.

Pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht)”, dan di dalamnya tidak melekat sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh sebab itu, alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan8.

Disamping alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan , sama sekali mengikat hakim. Dalam hal ini Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenaran dari alat bukti keterangan saks bahwa keterangan tersebut sempurna atau tidak sempurna. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada kebenaran keterangan tersebut, dan dapat menerima atau menolak.

Namun demikian, Hakim dalam mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi harus benar-benar bertanggung jawab. Jangan sampai kebebasan penilaian dari Hakim menjurus kepada kesewenang-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran. Dengan demikian, apabila dalam satu kasus telah benar-banar cukup bukti berdasar keterangan saksi, kebebasan Hakim menilai kebenaran dan keterangan para saksi wajib berpedoman pada tujuan untuk mewujudkan “kebenaran sejati”9.

III

8 M.Yahya Harahap, S.H “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP.,Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali”, Sinar Grafika-Jakarta, Cet-Kedua, Oktober 2000, hal.273-274.


(4)

PENUTUP A. KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Terorisme (TPT) ditinjau baik dari motif maupun dari modus operandinya merupakan kejahatan yang bersifat extra ordinary crime dan dalam penanganan atas kejahatan tersebut dilakukan secara komperhensif dan perlu mendapat dukungan secara luas serta kerjasama dari seluruh elemen masyarakat dan kerjasama antar negara.

2. Dengan kemajuan jaman dan tekhnologi, maka alat bukti seperti film, telekonferensi, dan alat bukti elektronik lainnya relatif kurang diakomodir oleh KUHAP, sehingga dalam penerapannya menimbulkan problematik. 3. Pengaturan persidangan dengan bantuan tekonferensi secara implisit diatur

dalam Pasal 27 UU PTPT dan untuk pemeriksaan saksi jarak jauh dengan menggunakan bantuan telekonferensi diatur dalam Pasal 13 UU No 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. 4. Pengaturan persidangan dengan media telekonferensi sebagaimana yang

diatur dalam UU PTPT dan UU No 1 Tahun 2006 merupakan “Lex Specialis” dari KUHAP.

5. Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 160 ayat (1) dan (4), Pasal 1 angaka 27 jo Pasal 185, dan Pasal 183 KUHAP dalam proses pemeriksaan saksi yang apabila telah bersesuaian dengan dipenuhinya persyaratan dalam hal sahnya keterangan saksi, maka sebagai konsekuensi yurudis kekuatan nilai saksi yang diberikan melalui telekonferensi adalah “sama dengan” keterangn saksi yang diberikan di dalam ruangan sidang

6. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas, dan hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.


(5)

1. Terhadap existensi telekonferensi sebagai bentuk kemajuan tekhnologi dalam hukum acara pidana sebagai salah satu cara untuk mendapatkan kebenaran meteriil, maka KUHAP sebagai ujung tombak penegakan hukum pidana formil segera dilakukan revisi, khususnya dalam limitasi alat-alat bukti.

2. SEMA sangat dibutuhkan untuk penjelasan hukum agar terciptanya kesatuan bahasa dalam menilai alat bukti tersebut.


(6)

Didik Endro Purwoleksono,S.H,M.H “Tindak Pidana Terorisme”, Yuridika , Vol.20 No.6, November-Desember 2005.

H. Parman Suparman “Kapita Selekta Tentang Penerapan Pelbagai Permasalahan Teknis Yustisial Bidang Pidana Dalam Teori Dan Praktik Peradilan” , Seminar Pelatihan Pendalaman Tekhnis Materi Hukum Pidana, MAHKAMAH AGUNG R.I, Jakarta , 24-27 Juli 2006

H.R Purwoto.S Gandasubrata “Renungan Hukum”, IKAHI , Cab. MARI, Cet-I, Maret 1998

Krisna Harahap “Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrasie, Dan Alternatif Serta Mediasi” , Grafiti, Bandung, 2005

M. Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP., Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali” , Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2000

UU No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

UU 1 /PrP/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme