Meneladani dengan Spirit “Fastabiqû Al-khairât”

B I N A

A K H L A K

Meneladani dengan Spirit
“Fastabiqû Al-khairât”
MUHSIN HARIYANTO

fsp

litm
erg
er.
co
m)

netapan Nabi Muhammad saw sebagai suri teladan bagi semua
orang dalam konteks apa pun. Meskipun turun dalam konteks
perang (Khandaq), ayat ini memiliki pengertian (yang) universal,
dalam arti mengharuskan kaum Muslim meneladani Beliau, tidak
terbatas (hanya) dalam masalah perang, tetapi dalam segala hal.

Dalam khazanah Tafsir Al-Qur'an, para pakar tafsir menjelaskan bahwa makna meneladani Nabi Muhamad saw bisa dipahami dengan beberapa pengertian: (1) wujub al-iqtida’, yang bermakna bahwa setiap Muslim seharusnya selalu mengikuti dan
menjadikannya sebagai tokoh ‘identifikasi diri’ dalam segala hal,
baik perkataan, sikap, maupun perilaku; (2) mulazamah al-tha`ah,
yang bermakna bahwa setiap Muslim seharusnya selalu patuh
dan taat kepadanya; (3) ’adam al-takhalluf `anh, yang bermakna
bahwa setiap Muslim tidak boleh menjauh dan berpaling darinya.
Sebagai muttabi’ (pengikut setia [yang] kritis) Beliau, tidak
seharusnya kita terjebak pada konsep ’ittiba’ parsial dan simbolik,
yang sebenaranya tidak layak untuk dilakukan oleh setiap Muslim
yang cerdas. Patut disayangkan, misalnya, di saat seorang Muslim
berjuang menuju keberjayaannya untuk menjadi yang terbaik, di
saat itu pula ia harus ’bersahabat’ dengan sikap anti-tasamuhnya,
menyikapi setiap perbedaan dengan tindakan ’kekerasan’. Padahal, ketika kita harus bertarung dengan seperangkat sistem
dan budaya yang (lebih banyak) menghambat proses perjalanan
menuju ketakwaan sekali pun, seharusnya kita tetap bersabar
untuk meladeninya dengan sikap ’empati’ dan penuh kehati-hatian.
Karena sejumlah tantangan eksternal di seputar kita, terkadang
bisa menjebak diri kita menjadi manusia-manusia ’bodoh’, yang
karenanya, ‘kita’ —atas nama jihad, misalnya — dengan bangga
bertindak anarkhis. Bahkan ketika berhadapan dengan

seperangkat sistem yang begitu berkuasa dan seperangkat
budaya yang begitu dominan terlalu sering menjadikan diri kita
menjadi tidak berdaya pun, kita selayaknya bisa melawan dengan
kekuatan ’al-akhlaq al-karimah’ kita, yang tak pernah mungkin
mendorong diri kita untuk berbuat dlalim terhadap orang lain.
Kita pun – di negeri kita tercinta — harus sadar bahwa hanya
’mereka’ yang bersabar – menjadi para muttabi’ — yang selalu
bisa “survive” untuk meneladani Nabi saw dengan spirit fastabiqu
al-khairat, melawan realitas yang tidak bersahabat, hegemoni sistem
dan budaya korup yang terus menghantui diri kita, untuk menjadi
“yang terbaik”, meskipun – untuk sementara – harus menjadi “ghuraba’” (umat manusia yang – dalam pandangan mayoritas manusia
- teralienasi) di tengah umat manusia yang sedang menikmati
hidupnya menjadi kelompok “mufsidin” (orang-orang pragmatis
yang tengah bersahabat dengan sistem dan budaya korup).l
Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa
STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta.

De
mo
(


Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd

S

etiap orang pasti memiliki keinginan umum yang sama:
“menjadi yang terbaik”, tetapi (setiap orang) tidak diberi
instrumen yang (seluruhnya) sama untuk menjadikan
dirinya menjadi yang terbaik. Kesamaan dalam perbedaan inilah
bagian yang memicu hukum kompetisi.

Kompetisi (competition) —menurut para pakar bahasa— adalah kata kerja intransitive, yang berarti tidak membutuhkan objek
(sebagai korban) kecuali ditambah dengan pasangan kata lain
seperti against (melawan), over (atas), atau with (dengan). Tambahan itu merupakan pilihan hidup dan bisa disesuaikan dengan
kepentingan kita. Hasil dari kompetisi adalah kemenangan
(winning). Menjadi pemenang berkat perjuangan (doing the best).
Dari sini terlihat, baik kompetisi dan kemenangan tidak kita temukan
indikasi adanya ajaran yang menjadikan orang lain sebagai objek/
kurban.
Perintah Allah dalam Al-Qur'an (Al-Baqarah [2]: 148 dan AlMâidah [5]: 48) untuk berkompetisi (fastabiqû al-khairât) menunjukkan bahwa, meskipun berbeda kadar dan jenis keunggulan-kelemahan tetapi semua manusia mempunyai (baca: diberi)
potensi dan kesempatan yang sama oleh Allah, dan selanjutnya
diberi peluang untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan
kesempatannya dalam seluruh perjalanan hidupnya.
Bercermin pada diri Nabi, Nabi kita (Muhammad saw) adalah
seorang yang mampu mensyukuri nikmat Allah. Beliau adalah
seorang yang berjiwa besar, termasuk di dalam upayanya untuk
meraih kesuksesan. Dengan seluruh potensi dan kesempatan
yang dimilikinya, Dia selalu ‘bisa’ berjuang untuk menjadi yang
terbaik tanpa mengusik kehadiran orang lain, bahkan Muhammad
Husain Haikal menyebutnya sebagai seorang inspirator bagi (kesuksesan) orang lain. Dia berhasil menjadi Insan Kamil (manusia
paripurna). Manusia “multi-dimensi”, yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi tanpa harus medlalimi orang lain.

Semangat untuk berkompetisi dengan siapa pun —dalam seluruh aspek kehidupannya— dihadirkan oleh Nabi saw dengan amal
shalih (karya nyata yang serba-positif). Dia selalau ’bisa’ hadir
sebagai pribadi yang memiliki integritas dalam kompetisi multidimensi, yang oleh karena integritas (kepribadian)-nya, Ia pun
disebut oleh Allah dengan predikat “uswah hasanah” (Al-Ahzab
[33]: 21). Manusia paripurna (multi-dimensi) yang bisa menjadi
teladan untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam konteks
apa pun.
Ibn Katsir, ketika menafsirkan Al-Ahzab [33]: 21 (Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah), menyatakan bahwa ayat ini merupakan pedoman dasar dalam pe-

SUARA MUHAMMADIYAH 04 / 96 | 16 - 28 FEBRUARI 2011

41