Penentuan Prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan

Gambar 19 Perbandingan hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan VI. Berdasarkan hasil analisis ekonomi seperti pada Tabel 39 diketahui, bahwa pada alternatif pemanfaatan VI diperoleh nilai Net Present Value NPV dan Benefit Cost ratio BCR sangat tinggi sebesar Rp323.148.240.098,84 dan 4,20 pada suku bunga 1,74. Nilai terendah pada suku bunga 13,27 yaitu NPV sebesar Rp148.990.806.064,52 dan BCR 2,47. Pada suku bunga 10,00 menghasilkan nilai NPV sebesar Rp185.164.714.889,18 dan nilai BCR 2,83.

6.9 Penentuan Prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan

Hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan I sampai dengan alternatif pemanfaatan VI, maka diperoleh bahwa alternatif pemanfaatan VI merupakan alternatif yang paling tinggi nilai ekonomi atau menguntungkan secara analisis biaya-manfaat, dengan menggunakan dua kategori kelayakan investasi, yaitu NPV dan BCR. Alternatif pemanfaatan IV,III, II dan I menunjukkan nilai yang sangat rendah untuk Net Present Value dan nilai Benefit Cost Ratio , yang berasal dari net incremental benefit. Hal ini disebabkan nilai net benefit untuk kondisi aktual sebagai nilai tanpa proyek lebih tinggi. Nilai ekonomi yang paling rendah adalah pada saat kondisi ekosistem hutan mangrove seperti pada alternatif pemanfaatan I dengan luas hutan mangrove hanya 12,50 ha dan tambak polikultur 21,00 ha, monokultur Udang 13,50 ha dan monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha. Perbandingan nilai NPV dengan BCR pada beberapa tingkat suku bunga, terlihat pada Gambar 19 sampai dengan Gambar 24, terlihat bahwa dengan tingkat suku bunga yang semakin tinggi maka nilai NPV dan BCR akan semakin rendah. Hal ini merupakan implikasi dari teori yang dikemukakan oleh Harold Hotelling Hotelling Rule yang menyebutkan bahwa pilihan untuk mengeksploitasi mengonsumsi sumberdaya alam sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga, orang akan makin terpacu untuk mengeksploitasi lebih banyak dan lebih cepat, karena mengharapkan keuntungan dari hasil eksploitasi sumberdaya alam. Rasional yang mementingkan keuntungan jangka pendek seperti inilah yang membuat alokasi sumberdaya alam menjadi tidak lestari, seperti ditunjukkan dengan nilai NPV dan BCR yang paling rendah dengan tingkat suku bunga yang paling tinggi. Nilai NPV maupun nilai BCR pada setiap alternatif, dengan menggunakan suku 13,27, menunjukkan posisi yang paling rendah. Nilai NPV dan nilai BCR dengan suku bunga 1,74 pada setiap alternatif pemanfaatan, menggambarkan posisi yang tertinggi, namun tidak berbeda jauh dari nilai NPV dan nilai BCR pada suku bunga 10,00. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin rendah tingkat suku bunga rill, maka nilai ekonomi semakin tinggi. Menurut Fauzi 2004 diacu dalam Budiyana 2005 bahwa discount rate untuk analisis ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya adalah 10. Penentuan prioritas pilihan untuk alternatif pemanfaatan yang strategis, perlu mempertimbangkan kriteria efisiensi, kriteria sosial equity dan kriteria ekologi sustainable dalam menentukan pilihan kebijakan pengelolaan yang berkelanjutan. Hal tersebut penting, menurut Ramdan et al.2003 bahwa isu konflik sumberdaya alam secara umum banyak menyangkut alokasi dan distribusi SDA yang adil, ekonomis dan ramah lingkungan. Alternatif pemanfaatan strategis diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat dan tetap memperhatikan fungsi ekonomi efisiensi, sosial equity dan ekologi sustainable oleh generasi yang akan datang. Tabel 40 menyajikan manfaat bersih dari manfaat langsung untuk alternatif pemanfaatan. Pilihan alternatif pemanfaatan strategis, akan menyeimbangkan fungsi ekonomi dengan ekologi maupun sosial. Keseimbangan fungsi ekologi dan ekonomi pada pilihan alternatif strategis, diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan agar sesuai dengan fungsi ekosistem hutan mangrove, yaitu fungsi fisik, biologi ataupun ekonomi Dahuri et al. 1996, menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi. Tabel 40 Nilai Manfaat Langsung dan Manfaat Bersih dari Alternatif Pemanfaatan No Alternatif Pemanfaatan Total Manfaat Langsung Rptahun Total Biaya Rptahun Manfaat Bersih Rptahun Net Present Value Suku Bunga 1,74 1 Kondisi Aktual 735.164.265,24 598.033.654,34 354.125.661,35 - 2 Alternatif Pemanfaatan I 1.417.040.299,40 676.060.885,49 957.974.464,36 95.839.311.917,40 3 Alternatif Pemanfaatan II 953.137.104,46 341.988.558,71 813.698.607,67 97.138.645.245,55 4 Alternatif Pemanfaatan III 966.512.092,03 356.252.405,36 830.629.737,12 97.002.290.091,69 5 Alternatif Pemanfaatan IV 1.266.281.120,07 359.248.177,11 1.097.358.577,92 84.266.274.989,53 6 Alternatif Pemanfaatan V 1.077.474.951,88 474.589.503,46 971.095,403,67 296.728.717.032,37 7 Alternatif Pemanfaatan VI 4.330.524.033,88 507.099.174,71 3.833.041.706,26 323.148.240.098,84 Sumber : Data Primer Lampiran 7 19, 2007. Pada Tabel 40 menunjukkan bahwa manfaat bersih dari kondisi aktual yang terendah sebesar Rp354.125.661,35, dimana total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp598.033.654,34 dan manfaat langsung yang diperoleh Rp735.164.265,24. Nilai Net Present Value NPV tertinggi diperoleh pada tingkat suku bunga 1,74 dengan nilai sebesar Rp323.148.240.098,84 pada alternatif pemanfaatan VI, disusul dengan alternatif pemanfaatan V dengan jumlah Rp296.728.717.032,37. Kondisi aktual akan dioptimalkan dan menjadi dasar untuk penentuan alternatif pemanfaatan. Manfaat bersih tertinggi pada alternatif pemanfaatan VI sebesar Rp3.833.041.706,26, karena total biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah dari total manfaat langsung yang diperoleh. Alternatif pemanfaatan VI menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan pengelolaan yang strategis, berdasarkan keseimbangan antara kriteria efisiensi dengan kriteria ekologi baik pada tingkat suku bunga 13,27, 10,00 maupun pada saat tingkat suku bunga 1,74 hutan mangrove 100 dan tambak 0, tetapi kenyataan di lokasi penelitian sangatlah sulit menjadikan kondisi ekosistem mangrove seperti alternatif tersebut, selain karena sekarang ini masyarakat yang berdomisili di sekitar ekosistem hutan mangrove cukup padat, juga karena ekosistem telah menjadi lahan untuk mencari nafkah, sehingga kondisi kesejahteraan masyarakat yang ada disekitar ekosistem hutan mangrove masih rendah. Untuk itu diperlukan suatu alternatif pemanfaatan atau model pengelolaan yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan tetap memperhatikan fungsi lingkungan. Alternatif pemanfaatan V menjadi prioritas berikutnya hutan mangrove 12,50 ha dan tambak polikultur 146,50 ha, sedangkan tambak monokultur Ikan Bandeng dan Udang masing-masing seluas 0 ha, dengan pertimbangan kepentingan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Selain itu, harus ada sebagian kawasan hutan pantai yang dijadikan sebagai kawasan penyangga atau kawasan konservasi, sehingga kondisi lingkungan akan tetap terjaga, untuk dapat dirasakan dan dimanfaatkan baik nilai fisik, biologi dan ekonominya oleh generasi yang akan datang. Sumberdaya sebagai faktor input dalam kegiatan perekonomian, maka tiap pilihan untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkannya menimbulkan konsekuensi atau dampak, baik berupa manfaat gain maupun kerugian loss, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah secara keseluruhan. Konsekuensi atau dampak dari pengelolaan sumberdaya tersebut meliputi konsekuensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Fauzi 2000 menyatakan bahwa pada pembangunan ekonomi, sumberdaya alam memegang peranan yang sangat penting, selain menyediakan barang dan jasa juga menjadi tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta merupakan aset negara. Selain itu sumberdaya alam khususnya yang berada pada wilayah pesisir juga memainkan peranan yang penting dilihat dari segi ekologis, diantaranya sebagai penyeimbang ekosistem. Fungsi ekologi berupa fungsi fisik maupun fungsi biologi. Fungsi fisik diantaranya dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah erosi laut serta perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mencegah intrusi garam salt intrusion ke arah darat, dapat memperluas wilayah darat. Fungsi biologi dapat berupa tempat asuhan larva, tempat bertelur, tempat memijah dan mencari makan untuk organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang, sebagai habitat berbagai satwa liar antara lain reptil, mamalia, burung dan sebagainya. Fungsi ekonomi, berupa output dari ekosistem hutan mangrove yang dapat dikomersialkan maupun subsisten, hasil yang berupa kayu kayu bakar, kayu bangunan, arang, papan, tiang, pagar ataupun sebagai alat yang membantu dalam penangkap ikan, makanan, minuman dan obat-obatan, maupun untuk peralatan rumah tangga. Fungsi sosial, berupa pemerataan pendapatan dari usaha pemanfaatan ekosistem mangrove, sehingga kehidupan bermasyarakat dari rumah tangga perikanan sebagai masyarakat pemanfaat akan cenderung meminimumkan terjadinya konflik pemanfaatan. Pemanfaatan ekosistem hutan mangrove merupakan proses pengambilan keputusan yang memiliki dimensi yang kompleks. Seyogyanya merupakan keputusan yang harus didahului oleh penimbangan terhadap serangkaian pilihan atau alternatif. Setiap alternatif akan menghasilkan output manfaat maupun kerugian yang berbeda dan memiliki kontribusi yang berbeda terhadap perekonomian wilayah. Adanya informasi tentang dampak yang berbeda pada tiap alternatif pemanfaatan merupakan bahan pertimbangan yang penting untuk mengambil keputusan, serta menentukan langkah-langkah yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove, sehingga pemanfaatan ekosistem hutan mangrove akan menghasilkan manfaat yang optimal dalam arti, memaksimalkan manfaat atau meminimalkan kerugian. Aspek kelembagaan merupakan aspek yang juga penting dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove, karena aspek inilah yang dapat menggerakkan aspek ekonomi dari suatu pengelolaan sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya memberikan implikasi terhadap kegiatan perekonomian lainnya, terutama perikanan. Hal ini menunjukkan perlunya suatu aturan main yang mengolaborasi kegiatan perikanan dalam pengelolaan ekosistem mangrove, baik dari sisi produktivitas perikanan maupun aspek pemberdayaan masyarakat disekitar ekosistem hutan mangrove, juga upaya pengendalian yang ketat untuk meminimumkan dampak lingkungan, sehingga pelaksanaan alternatif pemanfaatan juga memerlukan koordinasi dan integrasi kebijakan antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN