Marginalisasi Perempuan legislatif dan Pendidikan Politik Perempuan

4

2. Marginalisasi Perempuan legislatif dan Pendidikan Politik Perempuan

Tahun 2014 merupakan tahun politik dimana pemilihan legislatif dan presiden berlangsung dan peristiwa ini menentukan perjalanan bangsa pada lima tahun mendatang. Ditengah hiruk-pikuk pemilu, pertanyaan penting yang perlu diungkap dipublik adalah bagaimana dengan nasip perempuan yang merupakan pendudukan Indonesia yang lebih dari lima puluh persen pendudukan Indonesia? sejauhmana para perempuan legislatif memperjuangkan kepentingan perempuan ini dalam arus pembangunan di Indonesia? Pertanyaan ini bisa dikaitkan dengan fungsi legislasi dalam menghasilkan kebijakan terkait dengan kualitas hidup perempuan. Bila membandingkan jumlah UU yang dihasilkan oleh DPR RI periode 2004‐2009 dengan 2009‐2014 dan jumlah perempuan legislatif dalam periode tersebut menunjukan bahwa pada periode tahun 2004 – 2009 dengan keterwakilan perempuan sebesar 11 atau lebih kecil dibandingklan DPR RI pada periode 2004 ‐2009 18, DPR RI periode 2004‐2009 lebih banyak menghasilkan undang‐undang yaitu sebanyak 7 produk UU yang merupakan implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Convention on Elimination all form Discrimination Against Women ‐CEDAW dibandingkan periode DPR RI tahun 2009-2014 yang hanya menghasilkan 3 produk UU. Lebih jelas dalam tabel 1 dibawah ini. Tabel. 1 Produk UU Periode DPR RI Tahun 2004-2009 dan 2009-2014 Sumber: Kartika, Dian 2013 dan DPR RI 2013 Kondisi lainnya diparah oleh bermunculan banyak Perda yang mendiskriminasi kaum perempuan. Komnas Perempuan 2013 menunjukan data sebanyak 342 Perda yang mendiskriminasi perempuan. Selain Perda yang mendiskriminasi perempuan, masalah lain yang hingga kini dihadapi perempuan Indonesia, seperti kekerasan seksual, hak reproduksi, perkawinan anak, pedagangan manusia, dan perlindungan lainnya. Kalyanamitra 2008 dalam hasil penelitiannya menegaskan bahwa perempuan yang terpilih sebagai wakil rakyat di DPR 5 pusat dan daerah tidak sesuai dengan harapan pemilihnya, terutama kaum perempuan. Para perempuan politisi di legislatif tidak melakukan fungsi sosial-politiknya sebagai wakil kaum perempuan. Peran mereka di legislatif tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan para pemilihnya. Terkait fungsi lainnya, seperti fungsi anggaran dan pengawasan terhadap pemerintah tidak berjalankan maksimal. Mereka tidak mengabdi kepada kepentingan kaum perempuan, tetapi kepada kepentingan pemodal dan parpol masing-masing serta egoism diri sendiri korupsi, kolusi, nepotism, dll. Hal ini bisa dikaitkan dengan fakta empiri yang menunjukan target MDGs tahun 2015 terkait penekanan angka kematian ibu dan anak, indeks IPM, indeks gender masih menjadi persoalan. Sebagai contoh, tahun 1991, angka kematian ibu melahirkan 390100 ribu kelahiran, tahun 2007 menjadi 228100 ribu kelahiran, namun tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi 359100 ribu kelahiran. Dari paparan diatas menunjukan bahwa peningkatan jumlah keterwakilan perempuan dalam legislatif tidak otomatis meningkatkan produk per-UU yang dihasilkan DPR RI menjadi lebih banyak dan lebih adil gender. Kemampuan perempuan legislatif memainkan peran dalam legislatif terkait erat dengan pendidikan politik perempuan yang memadai. Modal ini menjadi penting dalam menghadapi sistem DPR RI yang lebih didominasi oleh para laki-laki legislatif. Hasil survei nasional yang dilakukan oleh Poltracking Indtitute 2014 menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat tidak puas dengan kinerja legislatif. Hanya 12 responden yang menyatakan kinerja DPR baik. Penilaian kinerja tersebut dianggap rendah kualitas dan kuantitasnya didasarkan atas tiga fungsi utama mereka, yakni fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan. Pentingnya keterwakilan perempuan dalam legislatif dapat dikaitkan dengan kualitas hidup perempuan dan anak yang masih memperihatinkan. WRI 2012 memaparkan fakta ini, antara lain; a ngka Kematian Ibu AKI di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara Vietnam 1 . Human Development Report HDR tahun 2011 menempatkan Indonesia pada rangking 124 atau sedikit lebih baik dari negara Vietnam dan Kamboja. Namun, Gender Inequality Index GII Indonesia berada pada rangking 100 dan di bawah GII Vietnam yang berada pada rangking 48. Dua dari indikator GII ini adalah AKI dan persentase perempuan yang duduk di parlemen. Rangking GII Indonesia dan Vietnam yang demikian menunjukkan bahwa AKI Indonesia 240100.000 kelahiran sedangkan Vietnam adalah 56100.000 kelahiran. Sementara persentase perempuan di parlemen Vietnam adalah 25,8, sedangkan Indonesia adalah 18 2 . Fakta lainnya, selain itu, World Economic Forum 3 pada tahun 2009 mengeluarkan Global Gender Gap Index GGI berdasarkan data Gender Empowerment Measurement GEM, Gender Development Index GDI dan Human Development Index HDI tahun 2007. Apabila kita lihat situasi Indonesia, maka akan terlihat GGI 0,62. Angka ini diperoleh dari data Indonesia 1 Noerdin, Edriana. Mencari Ujung Tombak Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia, Jakarta: Women Research Institute, 2011. 2 Summary Human Development Report 2011 - Sustainability and Equity: A Better Future for All, UNDP, 2011,hal. 19. 3 Power, Voice and Rights. A Turning Point for Gender Equality in Asia and the Pacific, UNDP, Macmillan, 2010. 6 untuk GEM 0,4, GDI 0,72 dan HDI 0,73. GEM 0,4 mencerminkan kesempatan ekonomi dan politik perempuan yang cenderung lebih rendah dari GDI 0,72. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun perempuan mempunyai kapasitas, mereka belum tentu memiliki kesempatan yang setara untuk menggunakan kapasitasnya. Meskipun di Indonesia telah menunjukkan adanya peningkatan kapasitas, pencapaian dalam kaitannya dengan kondisi dan posisi perempuan di bawah negara-negara lain di Asia Tenggara. Posisi Indonesia rangking HDI lebih tinggi dibandingkan Vietnam, namun situasi dan posisi perempuannya masih lebih rendah terutama dalam hal AKI dan persentase perempuan di parlemen. Kualitas hidup perempuan dan anak yang dipaparkan diatas, diperkirakan tidak banyak berubah bila hasil pemilu 2014 tidak memberikan hasil yang signifikan. Berdasarkan analisis perbandingan data hasil pemilu tahun 2009 dan 2014, Puskapol FISIP UI 2014 memaparkan dua hasil temuan, pertama, analisis hasil pemilu secara umum menyimpulkan; 1 kekuatan partai politik didaerah berubah dari Partai Demokrat pada pemilu tahun 2009 menjadi terpusat pada persaingan antara PDIP dan Golkar. PDIP sebagai pemenang pemilu, unggul dalam perolehan suara di 36 dapil, disusul Golkar yang unggul di 25 dapil. Berturut-turut partai lainnya: PKB unggul di 6 dapil, Gerindra dan Demokrat masing-masing unggul di 4 dapil, kemudian PAN dan Nasdem masing-masing unggul di 1 dapil. Sementara PKS, PPP, dan Hanura tidak unggul di seluruh dapil; 2 Kecenderungan semakin meningkat pemilih yang memberikan suara untuk nama caleg pada surat suara yang terlihat dari sebanyak 70 coblos nama caleg dan 30 pada partai politik. Kondisi tersebut hampir sama dengan hasil Pemilu 2009, yaitu 69.03 untuk caleg dan 30.96 untuk partai; 3 mayoritas pilih caleg laki-laki yang terlihat dari data sebagian besar 76,69 memilih caleg laki-laki dan sisanya 23,31 memberikan suara untuk caleg perempuan. Persentase perolehan suara caleg perempuan tersebut masih jauh dari pencalonan perempuan yang mencapai 37 pada Pemilu 2014 ini. Di sisi lain, sekalipun masih jauh lebih rendah dari suara yang diberikan untuk caleg laki-laki, jika dibandingkan data Pemilu 2009 maka ada peningkatan sedikit perolehan suara caleg perempuan dari 22.45 menjadi 23.31; 4 Perolehan tertinggi caleg perempuan dari partai PPP 23,33 dan terendah dari partai PKS 13,20. Adapun rincian peroleh suara caleg perempuan menurut partai, antara lain; PPP 23,33, Nasdem 19,74, Demokrat 18,56, PAN 17,60, Golkar 16,22, PDIP 15,89, Gerindra 15,50, Hanura 13,57, PKB 13,23, dan PKS 13,20; 4 ada 20 daerah pemilihan dengan suara caleg lebih dari 30 dan sebanyak 4 daerah pemilihan yang perolehan suara dibawah 30 , antara lain; Aceh 1 10.61, Jateng II 9.15, kemudian Bali 8.9, dan NTT 1 10.51. Kedua, analisis hasil pemilu dilihat dari suara perempuan, antara lain; 1 caleg perempuan terpilih sebanyak 79 orang atau 14. Jumlah ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan dengan hasil Pemilu 2009 yaitu 103 orang atau 18. Data ini menarik disimak bila melihat tingkat pencalonan dan perolehan riil suara antara pemilu tahun 2009 dan 2004. Pada pemilu 2004 pencalonan perempuan mencapai 37 dan angka ini lebih tinggi dari pemilu 2009 sebesar 7 33,6 namun pereoleh suara perempuan pemilu 2014 justru lebih rendah 14 dibandingkan pemilu tahun 2009 18. Tingkat pencalonan pemilu 2014 sejalan dengan adanya Peraturan KPU PKPU yang mengatur minimum 30 pencalonan perempuan dalam Daftar Calon Tetap di setiap dapil DPRDPRD. Temuan ini menunjukkan bahwa hambatan dan tantangan bagi keterpilihan perempuan dalam parlemen tidak secara otomatis teratasi dengan dikeluarkannya peraturan teknis yang secara formal ditujukan untuk mengawal proses pencalonan perempuan.; 2 Sebagian c aleg perempuan yang diperkirakan terpilih didominasi oleh “wajah-wajah baru” di parlemen. Dari 103 anggota perempuan di DPR RI periode 2009 –2014, hanya ada 36 orang yang diperkirakan terpilih kembali. Dengan kata lain, hanya sekitar 34 perempuan petahana lolos kembali menjabat di DPR RI.; 3 ada kesenjangan yang lebar antara perolehan suara perempuan dengan perolehan kursi perempuan. Pada pemilu 2009 tercatat 22.45 rata-rata perolehan suara perempuan untuk DPR RI dengan 18 hasil perolehan kursi perempuan. Pada pemilu 2014 tercatat perkiraan 23.42 perolehan suara perempuan untuk DPR RI namun hasil perolehan kursi hanya mencapai sekitar 14. Hal ini terkait dengan kebijakan internal partai dalam penentuan kursi celeg perempuan. Perempuan cenderung diletakan dalam nomer urut besar dan hal ini menunjukan komitmen internal partai lebih sekedar pemenuhan syarat administratif dalam tahap pencalonan sebagaimana ditetapkan oleh peraturanUU.; 4 Keterwakilan perempuan dalam DPR RI tersebar dalam 10 partai dengan prosentasi 3 sampai 24 . Tiga prosentasi tertinggi dari partai PPP 24, golkar 22 dan Demokrat 22 dan terendah dari PKS 3.; 5 kenaikan perolehan kursi partai tidak selalu diikuti oleh kenaikan persentase kursi perempuan. Perolehan keterwakilan perempuan dari partai-partai relatif fruktuatif dan cenderung menurun. Demokrat adalah partai yang mengalami penurunan paling signifikan yaitu tahun 2009 sebanyak 36 kursi menjadi 12 kursi perempuan. Namun secara agregat perolehan kursi perempuan dari partai Demokrat relatif stabil dari 24 menjadi 22 turun 4 . Penurunan dialami 5 partai lainnya yaitu PKS 2 , PDI Perjuangan 7, PKB 8, Gerindra 10, dan Hanura 16. Dari sembilan partai yang dapat dibandingkan, hanya ada tiga partai yang persentase perkiraan perolehan kursi perempuannya naik, yaitu: PPP 11, PAN 3, dan Golkar 2. Adapun peningkatan kursi perempuan di DPR RI diperkirakan paling tajam mencapai 11 berasal dari PPP. Penurunan paling drastis mencapai 16 yakni pada Partai Hanura.; 6 Basis rekrutmen para perempuan legislatif belum mempertimbangkan kapasitas, basis partai, dan akar rumput sebagai modal dalam melakukan peran mereka di legislatif. Hal ini terlihat dari sebagian besar perempuan legislatif 39 yang terpilih pada pemilu 2014 menggunakan jaringan kekerabatan dengan elit politik laki-laki. Hal ini terlihat dari hubungan yang dimiliki terkait sebagai isteri, anak, menantu, dan sejenisnya dengan pejabat politik dan atau pejabat partai. Sisanya, sebanyak 13 dari elit ekonomi, 7 dari publik figur artis, 7 dari LSMaktifis, 8 dari anggota DPRDPRD, dam 26 merupakan kader partai; 7 Data sementara berdasarkan perkiraan keterpilihan caleg perempuan di DPR RI menunjukkan dominasi jaringan kekerabatan dengan elit politik sebagai basis rekrutmen caleg hingga 8 mencapai 39. Persentase ini diperoleh melalui penelusuran latar belakang masing-masing perempuan terpilih dan didapati sebagian besar dari mereka adalah adik, kakak, ataupun istri dari penguasapejabat politik serta petinggi partai politik yang mencalonkan mereka. Penting untuk dicatat bahwa situasi ini sebenarnya telah ditemukan juga pada hasil pemilu 2009 dimana sekitar 42 perempuan terpilih sebagai anggota DPR RI merupakan bagian dari perpanjangan tangan penguasapejabat politik serta petinggi partai. Penurunan signifikan tercatat pada basis keterpilihan sebagai selebritifigur populer, yakni dari 25 di tahun 2009 menjadi 7 di tahun 2014.; 8 dominasi basis keterpilihan caleg perempuan yang berlandaskan hubungan kekerabatan dengan politik sejak pemilu 2009 hingga pemilu 2014 sekitar 40 lebih mengindikasikan stagnasi sempitnya landasan rekrutmen caleg perempuan oleh partai. Fakta ini semakin menegaskan ketergantungan perempuan pada basis kekuasaan, kekuatan material, dan pelanggengan dominasi laki-laki patriarkhi terhadap perempuan. Lebih lanjut, situasi ini bermuara pada terkonsentrasinya kekuasaan elit politik dan elit ekonomi di tangan segelintir orang dalam parlemen atau praktek politik oligarki.; 9 kehadiran caleg perempuan adalah hasil dari kebijakan afirmatif yang lebih formalitas administratif sejauh partai dapat meloloskan diri untuk ikut dalam pemilu dan bukan substantif. Perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik memiliki dua makna. Pertama, untuk mewujudkan pemenuhan Hak Politik Perempuan dalam tatanan kehidupan Demokrasi‐yaitu Hak memilih dan dipilih serta hak untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik . Kedua ditujukan untuk mewujudkan keadilan gender secara substantif Subatantive Equality, yaitu keadilan bagi laki‐laki dan perempuan dalam pembangunan, yaitu keadilan dalam menjangkau akses, ikut serta partisipasi , dan pengambilan keputusan kontrol dalam pembangunan serta keadilan dalam penguasaan dan penikmatan hasil‐hasil pembangunan. Dengan demikian maka keadilan yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan, merupakan keadilan dari sisi proses dan hasil. Bukan sekedar memperjuangkan jumlah dan proses. Namun hasil pemilu 2014 diatas memberikan sinyal awal bahwa masyarakat belum bisa berharap banyak dengan kiprah perempuan legislatif di parlemen karena kehadiran mereka baru sebatas administratif prosedural. Selain kelemahan rekrutmen yang sudah dipaparkan diatas, kelemahan lain perempuan legislatif adalah kapasitas politik agar bisa berkiprah secara substansial dalam parlemen. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya pendidikan politik bagi legislatif agar bisa mengambil peran aktif baik di parlemen maupun pada basis massa di akar rumput, khususnya perempuan marginal yang jumlahnya jauh lebih banyak.

2. Relevansi Pendidikan Politik Perempuan dan Keterwakilan perempuan