Pengolahan limbah cair yang mengandung logam merkuri dengan reaksi Fenton dan presipitasi sulfida

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR YANG MENGANDUNG
LOGAM MERKURI DENGAN REAKSI FENTON DAN
PRESIPITASI SULFIDA

TANTI LUSIANI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK
TANTI LUSIANI. Pengolahan Limbah Cair yang Mengandung Logam Merkuri dengan
Reaksi Fenton dan Presipitasi Sulfida. Dibimbing oleh MUHAMMAD FARID dan
KOMAR SUTRIAH.
Pembuangan limbah cair ke badan air dapat menyebabkan pencemaran lingkungan
apabila mutu limbah itu tidak memenuhi baku mutu limbah. Untuk melakukan analisis,
setiap laboratorium banyak yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dan
berbeda-beda bergantung pada metode yang diacu. Penelitian ini bertujuan mengurangi
pencemaran lingkungan dengan cara meminimumkan kandungan zat organik dan logam

yang terdapat dalam limbah cair sebelum dibuang ke perairan. Sampel limbah dioksidasi
menggunakan reaksi Fenton dengan nisbah 1:10, 1:25, 1:50, dan 1:100 (b/b) untuk
menurunkan nilai zat organiknya dan dilakukan presipitasi sulfida menggunakan Na2S
13% (b/v) dengan volume 7, 9, 10, 11, 15, dan 20 mL dalam sampel 100 mL untuk
menurunkan kadar logamnya. Kadar zat organik dalam limbah diukur dengan analisis
kebutuhan oksigen kimia dan untuk kadar logamnya menggunakan spektroskopi serapan
atom. Persentase penurunan nilai zat organik tertinggi hingga mencapai 92.01% pada
nisbah 1:100 dan untuk pencemar anorganiknya mencapai 99.99% pada berbagai volume
Na2S. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang digunakan dapat mengurangi
kandungan zat organik dan anorganik dalam limbah.

ABSTRACT
TANTI LUSIANI. Wastewater Treatment Containing Metal Mercury by Fenton Reaction
and Sulfide Precipitation. Supervised by MUHAMMAD FARID and KOMAR
SUTRIAH.
Discharging wastewater to water body can cause environment contamination if its
quality does not meet with the corresponding quality standard. For analysis, every
laboratory use various hazardous chemicals according to reference methods. This
research was intended to reduce environmental contamination by reducing organic
matters and metal that exists in wastewater before discharging it to the waters.

Wastewater samples were oxidized using Fenton reaction with ratios of 1:10, 1:25, 1:50,
and 1:100 (b/b) to reduce its organic matters level and continued by sulfide precipitation
using Na2S 13% (b/v) with volumes of 7, 9, 10, 11, 15, and 20 mL in 100 mL samples to
reduce its metal content level. The content of organic matters was measured by chemical
oxygen demand analysis and for its metal level contents was analyzed using atomic
absorption spectroscopy. The highest percentage removal of organic matter level was
92.01% from the ratio of 1:100 and for inorganic compounds reached 99.99% in various
Na2S volume. The results indicated that this method could reduce organic matters and
metal content level.

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR YANG MENGANDUNG
LOGAM MERKURI DENGAN REAKSI FENTON DAN
PRESIPITASI SULFIDA

TANTI LUSIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia


DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul : Pengolahan Limbah Cair yang Mengandung Logam Merkuri dengan
Reaksi Fenton dan Presipitasi Sulfida
Nama : Tanti Lusiani
NIM : G44204086

Menyetujui
Pembimbing I,

Pembimbing II,

Drs. Muhammad Farid
NIP 19640525 199203 1003


Drs. Komar Sutriah, MS
NIP 19630705 199103 1004

Mengetahui
Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS
NIP 19501227 197603 2002

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilakukan
selama bulan Juli 2009 sampai Maret 2010. Tema yang dipilih ialah Pengolahan Limbah
Cair yang Mengandung Logam Merkuri Dengan Reaksi Fenton dan Presipitasi
Sulfida.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drs. Muhammad Farid dan Drs. Komar
Sutriah, MS selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penelitian dan
dalam penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih tak terhingga juga disampaikan kepada

mama, bapak (Alm.), adik, keluargaku tercinta (para paman, bibi, adik-adikku, dan
keponakan), dan guruku (Pak Nanang dan Pak Hamzah) yang memberikan dorongan
semangat, bantuan materi, kesabaran, dan kasih sayang kepada penulis, serta kepada
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang telah menyediakan
beasiswa dalam program Beasiswa Utusan Daerah (BUD) IPB.
Terima kasih juga kepada seluruh staf Departemen Kimia dan seluruh staf
Laboratorium Terpadu IPB atas fasilitas dan kemudahan yang diberikan. Selain itu,
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Eka, Ade, Nuri, Karin, Budi, Kak Filo,
dan teman-teman Kimia 41, teman-teman sedaerah, dan teman-teman di Pondok Molekul
serta kakak-kakak kelas atas semangat, kebersamaan, dan kebaikan kalian semua.
Penulis juga menyadari atas banyaknya kesalahan dalam karya ilmiah ini dan
penulis juga mengucapkan terima kasih atas saran dan kritik yang diberikan. Semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin

Bogor, Januari 2011

Tanti Lusiani

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan, Jawa Timur pada tanggal 22 Oktober 1986 dari

ayah Dadi (Alm.) dan Ibu Tani. Penulis merupakan anak kesatu dari dua bersaudara.
Tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan dari Madrasah Aliyah PPKP
Ribathul Khail Timbau Tenggarong. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk
IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah dari Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur, dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Kimia,
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi pengurus SERUM-G
sebagai staf SAINS, dan kepanitiaan lainnya. Tahun 2007, penulis melaksanakan praktik
lapangan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor pada bulan JuliAgustus. Judul praktik lapangan penulis adalah Identifikasi Senyawa Wood Vinegar Dari
Kayu Mangium (Acasia mangium Wild). Selain itu, penulis juga aktif mengikuti seminarseminar, baik yang berbasis iptek maupun wirausaha selama mengikuti perkuliahan di
IPB.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL ........................................................................................................


vii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................

vii

PENDAHULUAN .......................................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah B3 .........................................................................................................
Logam Berat Merkuri ........................................................................................
Reagen Fenton ...................................................................................................
Presipitasi Sulfida ..............................................................................................

1
2
3
4


BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ...................................................................................................
Metode Penelitian ...............................................................................................

4
4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Oksidasi Dengan Reaksi Fenton .........................................................................
Faktor yang Memengaruhi Proses Fenton ..........................................................
Presipitasi Sulfida ...............................................................................................

5
6
7

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ............................................................................................................
Saran ..................................................................................................................


9
9

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................

9

LAMPIRAN .................................................................................................................. 11

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam limbah cair ......................

2

2


Berbagai jenis senyawa merkuri ............................................................................

3

3

Hasil pengolahan limbah dengan reaksi Fenton .....................................................

6

4

Pengaruh penambahan Fe:H2O2 (b:b) terhadap penurunan nilai COD ...................

7

5

Hasil pengolahan limbah dengan presipitasi sulfida ..............................................


8

6

Grafik hubungan antara volume Na2S dan kadar Hg (ppm) ..................................

9

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2

Kekuatan oksidasi relatif gugus reaktif .................................................................
2+

Penurunan kadar Hg dengan presipitasi Na2S 13% ............................................

4
8

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Diagram alir penelitian ............................................................................................ 12

2

Degradasi dengan pereaksi Fenton ........................................................................... 13

3

Presipitasi dengan sulfida ......................................................................................... 13

4

Prosedur pembuatan pereaksi .................................................................................. 14

5

Standardisasi fero amonium sulfat ........................................................................... 14

6

Kurva standar Hg ..................................................................................................... 15

7

Hasil pengolahan limbah dengan presipitasi sulfida ............................................... 16

PENDAHULUAN
Limbah laboratorium merupakan limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3) yang
biasanya berbentuk cair. Limbah cair laboratorium mengandung zat-zat kontaminan
yang dihasilkan dari sisa bahan baku, sisa
pelarut, produk terbuang, pencucian, dan
pembilasan peralatan, serta bekas hasil
analisis dari laboratorium itu sendiri.
Pembuangan limbah cair ke badan air dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan apabila
tidak memenuhi baku mutu limbah. Suatu
laboratorium perlu menerapkan prinsip
pengolahan limbah secara cermat dan terpadu
baik di dalam dan setelah kegiatan analisis
agar limbah cair dapat memenuhi baku mutu.
Setiap laboratorium banyak melakukan
kegiatan analisis/pengujian. Dalam melakukan
pengujian tersebut, bahan kimia yang
digunakan berbeda bergantung pada metode
yang diacu. Penggunaan bahan kimia yang
berbeda dan berbahaya ini dapat menghasilkan limbah yang berbahaya pula. Oleh
karena itu, diperlukan perlakuan terhadap
limbah laboratorium tersebut. Limbah yang
dijadikan sampel uji pada penelitian ini adalah
limbah cair dari hasil analisis parameter SO2.
Limbah ini dipilih karena selain memiliki
kadar kebutuhan oksigen kimia (COD) yang
tinggi (± 4.896 mg/L), analisis parameter SO2
juga menggunakan B3 logam merkuri
(HgCl2), sehingga limbah yang dihasilkan
mengandung logam merkuri. Kandungan
logam berat merkuri tersebut dalam sekali
pengukuran
cukup
besar,
mencapai
15.954,699 mg/L, sedangkan menurut PP
No.82/2001 kadar baku mutu limbah cair
untuk nilai COD maksimum 100 mg/L dan
untuk merkuri sekitar 0,005 mg/L.
Limbah laboratorium dengan kandungan
logam berat tidak dapat dibuang langsung ke
sungai, waduk, atau laut, karena keberadaan
logam berat sangat berbahaya bagi kehidupan
manusia, hewan, dan lingkungan. Logam
berat yang masuk ke lingkungan atau ke
dalam tubuh tidak dapat dihancurkan, tetapi
tetap terakumulasi dan mencemari lingkungan
atau meracuni tubuh (Nordberg dalam Putra &
Putra 2008). Beberapa contoh kasus
pencemaran merkuri di Indonesia adalah di
Sulawesi Utara, terutama Teluk Buyat dan Teluk Manado, di sungai-sungai di Kalimantan
terutama Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan,
dan di sungai-sungai di DKI Jakarta hingga
Teluk Jakarta (Wurdiyanto 2007).
Salah satu cara untuk menangani limbah
cair yang mengandung senyawa organik

adalah degradasi pengotor organik tersebut
menggunakan reaksi Fenton. Reaksi Fenton
efektif untuk menghancurkan pengotor
organik dan telah diterapkan untuk pengolahan berbagai macam limbah industri yang
mengandung senyawa organik toksik seperti
formaldehida, BTEX (benzena, toluena,
etilbenzena, dan xilena), dan limbah kompleks
dari pestisida, cat, maupun zat aditif plastik
(Department of Energy US 1999). Kelebihan
metode ini ialah ekonomis, efektif, produk
hasil reaksi aman, dan tidak atsiri. Penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa reaksi
Fenton dapat menghancurkan pengotor
organik (Agustine 2008 dan Kasnianti 2008).
Reaksi Fenton menggunakan hidrogen
peroksida (H2O2) sebagai oksidator dan besi
sebagai katalis (diusulkan oleh H.J.H Fenton
pada tahun 1894). Reaksi ini dapat
menurunkan kandungan senyawa organik
dalam limbah. Selanjutnya, pencemar
anorganik dapat diatasi dengan presipitasi
sulfida. Selain efektif dalam pemisahan logam
kadmium, kobalt, tembaga, besi, merkuri,
mangan, nikel, perak, timah, dan zink,
endapan yang terbentuk lebih stabil, reaksi
presipitasi sulfida dapat terjadi pada kisaran
pH rendah 2–3. Reaksinya juga lebih cepat,
dan lumpur yang terbentuk memiliki volume
yang lebih kecil (Braden 2006).
Pencemar anorganik dalam limbah yang
diteliti berupa logam Hg yang berasal dari
pereaksi yang digunakan saat analisis. Ion
Hg2+ tersebut direaksikan dengan senyawa
Na2S menjadi endapan HgS yang sifatnya
kurang berbahaya. Banyaknya logam Hg yang
masih terdapat dalam filtrat diukur menggunakan spektroskopi serapan atom (AAS)
pada panjang gelombang 253,6 nm. Penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa
presipitasi sulfida dapat menurunkan kadar
logam dalam limbah (Waharatmo 2009).
Tujuan penelitian ini adalah mengurangi
pencemaran lingkungan dengan meminimumkan nilai COD dan kandungan logam
dalam limbah cair sebelum dibuang ke
perairan.

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah B3
Limbah merupakan sisa usaha atau
kegiatan, baik dalam rumah tangga, industri,
maupun laboratorium, yang dapat berupa
limbah cair, padat, gas, atau partikel. Limbahlimbah ini dapat disebut limbah B3 apabila

2

mengandung bahan berbahaya dan beracun
yang karena sifat dan konsentrasinya serta
jumlahnya yang berlebih, dapat mencemari
dan merusak lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk
hidup lainnya (PP No.18/1999).
Sumber limbah B3 terdiri atas sumber
mayor dan minor. Menurut US EPA (1980),
contoh sumber mayor ialah limbah industri,
dan contoh sumber minor adalah limbah dari
laboratorium riset dan komersial (Corbitt
1990). Pada umumnya limbah yang dihasilkan
berbentuk cair. Berdasarkan sumber limbah
tersebut, komposisi limbah cair B3 sangat
bervariasi dan setiap saat jumlahnya dapat
bertambah. Zat-zat yang terdapat di dalam
limbah cair dapat dikelompokkan seperti pada
Gambar 1 (Sugiharto 1987).
Limbah cair
Air
(99,9%)

Organik (70%)
Protein (65%)
Karbohidrat (25%)
Lemak (10%)

Bahan Padat
(0,1%)

Anorganik
(30%)
Pasir
Garam
Logam

Gambar 1 Skema pengelompokan bahan yang
terkandung dalam limbah cair.
Berdasarkan Gambar 1, bahan padat
limbah cair B3 terdiri atas bahan organik dan
anorganik. Tingkat bahaya keracunan yang
ditimbulkan oleh limbah tersebut bergantung
pada jenis dan karakteristik limbah. Karakteristik limbah B3 menurut PP No.85/1999
dapat diklasifikasikan sebagai limbah yang
mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif.
Dengan konsentrasi dan jumlah tertentu,
keberadaan limbah B3 dapat berdampak negatif atau menyebabkan gangguan kesehatan,
keselamatan, atau kepemilikan (property) terhadap manusia dan lingkungan. Dampak
terhadap kesehatan dapat terjadi jika limbah
B3 memasuki tubuh manusia melalui pernafasan, absorpsi kulit, tertelan, atau pemaparan
pada luka. Dampak sementara yang dapat ditemukan adalah gejala-gejala seperti mual,
pusing, dan hilang keseimbangan, sementara
dampak permanen yang mungkin timbul an-

tara lain kanker, cacat, dan kematian. Dampak
ini dapat muncul segera setelah terinfeksi limbah B3 ataupun melalui proses akumulasi
yang memakan waktu cukup lama (Corbitt
1990).
Dampak terhadap keselamatan terutama
harus diperhatikan oleh orang yang setiap hari
berhubungan dengan penanganan limbah
bahan kimia. Untuk itu, mereka harus
mengetahui prosedur keselamatan kerja dalam
laboratorium sehingga potensi bahaya dapat
berkurang. Keselamatan kerja di laboratorium
harus dievaluasi setiap waktu, agar dapat
diketahui kondisi terbaru di laboratorium,
terutama tata letak fasilitas penting di
laboratorium tersebut (Corbitt 1990).
Dampak terhadap kepemilikan yang
dimaksud oleh Corbitt (1990) berupa kerusakan fasilitas milik pribadi dan umum serta
kerusakan lingkungan secara fisik sebagai akibat dari bahaya limbah B3. Sebagian besar
contoh kerusakan yang terjadi adalah kebakaran dan ledakan di lokasi pengelolaan limbah
B3. Hal ini dapat disebabkan oleh pekerja
yang tidak paham dampak yang ditimbulkan
bila mencampurkan limbah yang mengandung
bahan tertentu, terutama bahan yang sifatnya
reaktif. Kecelakaan dapat juga terjadi karena
kesalahan penyimpanan bahan yang mudah
terbakar, misalnya penyimpanan di dekat
peralatan yang berpotensi menjadi sumber api.
Dampak lingkungan akibat adanya limbah B3
bervariasi dan bergantung pada jenis-jenis
limbah B3 yang ada. Dampak lingkungan berkaitan erat dengan dampak kesehatan. Dampak ini dapat dikurangi terutama melalui
upaya-upaya seperti substitusi bahan B3 dengan yang tidak berbahaya, serta modifikasi
pengolahan produk untuk menghindari pemakaian bahan B3. Selain upaya minimalisasi,
dapat juga dilakukan upaya lain seperti daur
ulang, pemulihan, atau penggunaan kembali.
Keseluruhan langkah tersebut sering dikenal
dengan sebutan 4R (reduce, recycle, recovery,
dan reuse) (Corbitt 1990).
Logam Berat Merkuri
Logam berat merupakan unsur kimia yang
mempunyai densitas lebih besar dari 5 g/cm3,
biasanya bernomor atom 22 sampai 92 pada
periode tiga sampai tujuh dalam susunan
berkala unsur kimia (Harahap 1991). Menurut
Laws (1981), 80 dari 109 unsur kimia di bumi
telah teridentifikasi sebagai logam berat.
Berdasarkan toksikologinya, logam berat ini
dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama
adalah
logam
berat
esensial,
yang
keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat

3

dibutuhkan oleh organisme hidup, namun
dalam jumlah berlebihan dapat menimbulkan
efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn,
Cu, Fe, Co, dan Mn, sedangkan jenis kedua
adalah logam berat tidak esensial atau
beracun, yang keberadaannya dalam tubuh
masih belum diketahui manfaatnya atau
bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd,
Pb, dan Cr (Mursyidin 2006).
Raksa atau merkuri adalah unsur kimia
yang mempunyai nomor atom 80 dan jari-jari
atom 1,48 Å, satu-satunya logam yang berbentuk cair pada suhu kamar dan sangat
mudah menguap, serta membeku pada suhu 38,87 °C dan mendidih pada suhu 356,91 °C.
Warnanya bergantung pada fasenya, fase cair
berwarna putih perak, fase padat berwarna
abu-abu. Densitas raksa ialah 13,55 g/mL,
tertinggi dari semua benda cair (Hutagalung
1985 dalam Widiyanti 2004). Merkuri bersifat
atsiri serta larut dalam air dan lemak (Reily
1991 dalam Widiyanti 2004).
Secara alami merkuri ada di mana-mana
dan sering dijumpai dalam bentuk senyawa
merkuri sulfida. Merkuri sulfida bersifat tak
larut dalam air, berwarna merah, digunakan
sebagai pewarna cat pada masa lalu (Yanuar
2008).
Gambar 2 memperlihatkan tiga bentuk
merkuri, yaitu unsur logam merkuri, garam
merkuri, dan merkuri organik. Unsur logam
merkuri adalah bentuk bebas cair yang banyak
digunakan pada termometer. Terhirupnya uap
merkuri jenis ini dapat mengakibatkan
kerusakan paru-paru dan otak. Merkuri oksida
bersifat hampir tidak larut dalam air,
digunakan pada antiseptik topikal. Merkuri
klorida merupakan salah satu contoh garam
merkuri atau merkuri anorganik. Contoh
merkuri organik ialah metilmerkuri yang
secara komersial digunakan sebagai fungisida,
disinfektan, zat pengalkil pada sintesis
organik bagi senyawa organik metalik lainnya,
dan sebagai pengawet cat (Yanuar 2008).

digunakan dalam industri kelistrikan dan
elektronik dikarenakan daya hantar listriknya
yang tinggi. Salah satu contoh pemakaian
merkuri dalam laboratorium adalah pada
analisis SO2 dengan pararosanilin/tetrakloromerkurat (pereaksi penjerap udara SO2)
sebagai pengabsorpsi. Limbah cair dari hasil
analisis parameter ini mengandung logam
merkuri melebihi ambang batas, yaitu 0,005
mg/L (PP No.82/2001). Apabila limbah ini
dibuang secara langsung ke badan air, maka
akan mencemari lingkungan setempat yang
pada akhirnya dapat terakumulasi pada tubuh
manusia melalui jalur rantai makanan.
Pada sejumlah kasus, merkuri menimbulkan reaksi pada syaraf seperti (1) sulit berbicara, (2) penglihatan kabur, (3) kelemahan
otot, kram atau gangguan pergerakan, hingga
kelumpuhan, (4) telinga berdengung, serta (5)
gangguan indera perasa baik rasa nyeri,
sentuhan ataupun suhu, dan sesak nafas.
Merkuri yang masuk ke dalam tubuh wanita
hamil atau menyusui akan menimbulkan efek
yang parah pada perkembangan bayi
(gangguan motorik, fungsi mental, kehilangan
pendengaran
dan
kebutaan),
bahkan
mengalami cacat tubuh dan mental (Yanuar
2008).
Reagen Fenton
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan
salah satu oksidator yang umum digunakan.
Oksidator ini memiliki kandungan oksigen
aktif yang tinggi. Namun, proses reaksinya
sangat lambat, sehingga dibutuhkan katalis
untuk mempercepat reaksi. Katalis yang lazim
digunakan adalah larutan pH tinggi (katalisis
basa), logam [besi (II) sulfat (reagen Fenton),
dan kompleks Fe (Fe-EDTA atau heme), Cu,
dan Mn] (Eckenfelder 2000).
Produk reaksi antara hidrogen peroksida
dan katalis besi disebut reagen Fenton.
Reagen ini menggunakan radikal hidroksil
sebagai gugus reaktif dan besi sebagai katalis
pembentukan radikal tersebut. Reaksi yang
terjadi ialah sebagai berikut:
Fe2+ + H2O2

Gambar 2

Berbagai jenis senyawa merkuri.
(Sumber: National Institute of
Minamata Disease, NIMD –
Jepang)

Merkuri atau senyawanya digunakan
sebagai bahan baku, katalis, atau zat aditif
pada berbagai macam proses analisis dalam
skala
industri
maupun
laboratorium
(Widiyanti 2004). Selain itu, merkuri juga

3+

Fe + H2O2

Fe3+ + OH- + •OH
2+

Fe + HOO• + H

+

(1)
(2)

Radikal hidroksil merupakan salah satu
gugus sangat reaktif yang telah diketahui saat
ini, bahkan gugus ini menempati posisi kedua
setelah fluorin. Hal ini dapat dilihat dari Tabel
1 (Industrial Wastewater 2007).
Berdasarkan parameter COD, pada nisbah
Fe:H2O2 1:5–1:10 (b/b) dengan konsentrasi
besi antara 25 dan 50 mg/L, dapat terjadi

4

reaksi selama 10–24 jam. Reagen Fenton ini
cukup efektif digunakan pada pengolahan
pendahuluan limbah dengan nilai COD >500
mg/L (Industrial Wastewater 2007).
Tabel 1 Kekuatan
reaktif

oksidasi

Gugus Reaktif
Fluorin
Radikal hidroksil
Atom oksigen (singlet)
Ozon
Hidrogen peroksida
Asam hipoklorit
Klorin
Klorin dioksida
Bromin
Oksigen (molekul)
Iodin

relatif

gugus

Kekuatan
Oksidasi Relatif
(Cl2=1,0)
2,25
2,05
1,78
1.52
1,30
1,10
1,00
0.93
0,80
0.90
0,54

Penggunaan garam fero (Fe2+) atau feri
(Fe ) sebagai katalis tidak menjadi
permasalahan karena sirkulasi perubahan
kedua ion tersebut sangat cepat. Akan tetapi,
jika konsentrasi reagen Fenton yang digunakan rendah (10–25 ppm H2O2), lebih baik
digunakan garam fero. Kecepatan reaksi
reagen Fenton meningkat dengan peningkatan
suhu (20–40 °C). Namun, jika suhu reaksi
antara 40 dan 50 °C, peran H2O2 sebagai
pengoksidasi semakin berkurang karena hal
ini makin mempercepat dekomposisi H2O2.
Selain suhu, kecepatan kerja reagen Fenton
juga dipengaruhi oleh nilai pH (3–6). Pada
kisaran pH tersebut terjadi perubahan besi dari
ion besi terhidrasi menjadi senyawa besi
koloid untuk menghancurkan bahan organik
menjadi asam organik (Industrial Wastewater
2007).
Reagen Fenton telah digunakan untuk
pengolahan berbagai macam limbah industri
yang mengandung senyawa organik toksik
seperti fenol, formaldehida, BTEX, limbah
kompleks dari pestisida, cat, dan bahan
organik lainnya yang bersifat toksik, maupun
zat aditif plastik. Reagen ini dapat diaplikasikan untuk limbah cairan, lumpur, atau
kontaminan tanah. Keuntungan metode oksidasi menggunakan reagen Fenton adalah
reagen H2O2 yang digunakan tidak mahal, siap
digunakan, dan produk reaksi tidak berbahaya
di lingkungan (berupa air, oksigen, dan CO2).
Proses reaksi ini mudah diaplikasikan dan
dikontrol. Reagen Fenton tidak menghasilkan
senyawa organik atsiri (US Department of
Energy 1999).
3+

Presipitasi Sulfida
Presipitasi merupakan suatu prosedur
standar untuk menurunkan kandungan logam
berat dalam air dan air limbah (Andaka 2008).
Ada beberapa metode presipitasi logam, yaitu
dengan hidroksida, sulfida, dan karbonat.
Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode hidroksida
dan karbonat lebih ekonomis dan pH yang
digunakan lebih spesifik sehingga lebih
sederhana (Amer 1998). Akan tetapi, endapan
yang terbentuk kecil dan masih membutuhkan
penambahan koagulan agar endapan lebih
besar sehingga dapat mempermudah proses
penurunan kadar logam (Andaka 2008).
Penambahan
koagulan
tersebut
dapat
menaikkan biaya pembuangan. Selain itu, pH
harus terus dijaga, karena apabila berada pada
pH di atas atau di bawah pH optimum,
kelarutan akan meningkat tajam dan
memungkinkan logam larut kembali. Metode
presipitasi yang digunakan untuk pemisahan
merkuri adalah metode presipitasi sulfida.
Dalam proses ini, sulfida seperti natrium
sulfida ditambahkan sedikit demi sedikit pada
air limbah untuk diubah dari merkuri terlarut
menjadi merkuri sulfida yang tidak mudah
larut:
Hg2+ + S2-

HgS

Sama seperti presipitasi lainnya, presipitasi
sulfida juga dipengaruhi oleh kelarutan logam
yang secara tidak langsung dipengaruhi juga
oleh konsentrasi dan pH.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
sampel limbah cair dari hasil analisis SO2 dan
Na2S. Alat-alat yang dipakai adalah
spektrofotometer serapan atom (AAS),
penangas air, tabung COD, oven, pengaduk
magnetik, neraca analitik, dan peralatan kaca
lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini meliputi beberapa tahap
(Lampiran 1), yaitu pengukuran parameter
awal limbah, degradasi bahan organik, dan
presipitasi bahan anorganik. Parameter awal
yang diukur ialah nilai COD dan kadar logam.
Apabila nilai COD melebihi baku mutu
limbah (maksimum 100 mg/L), maka akan
dilakukan degradasi bahan organik dengan

5

reaksi Fenton (Lampiran 2), dilanjutkan
presipitasi bahan anorganik dengan sulfida
(Lampiran 3). Apabila nilai COD rendah,
maka akan langsung dilakukan presipitasi
bahan anorganik dengan sulfida.
Analisis Kadar COD (Clesceri et al. 2005)
Sebanyak 2,5 mL sampel dimasukkan ke
dalam tabung COD, kemudian berturut-turut
ditambahkan 1,25 mL larutan campuran
kalium dikromat-merkuri sulfat dan 2,5 mL
larutan campuran asam sulfat-perak sulfat
(pembuatan reagen dapat dilihat pada
Lampiran 4). Campuran diaduk kemudian
ditutup. Prosedur tersebut diulangi untuk 2,5
mL air sebagai blangko. Setelah itu, unit
pengaman tutup dipasang pada masingmasing tabung, dan tabung dimasukkan ke
dalam oven pada suhu 150 oC selama 2 jam.
Tabung COD lalu dikeluarkan dari oven dan
dibiarkan
hingga
dingin.
Campuran
dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer 100
mL dan dibilas dengan 2,5 mL air suling,
sebelum ditambahkan 0,5 mL asam sulfat
pekat, 3 tetes larutan indikator feroin, dan
dititrasi dengan larutan baku fero amonium
sulfat 0,05 N yang telah distandardisasi
(Lampiran 5). Titik akhir ditandai dengan
perubahan warna dari hijau menjadi merah
kecokelatan. Volume pemakaian larutan baku
fero amonium sulfat dicatat.
Degradasi Senyawa (Metode Oksidasi
Fenton)
Sebanyak 100 mL sampel limbah
dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, lalu
pH diatur 3–5 dengan menggunakan asam
sulfat/NaOH. Setelah itu, ditambahkan
FeSO4 7H2O dan H2O2 sambil diaduk
menggunakan pengaduk magnetik. Variasi
nisbah Fe/H2O2 (b/b) yang dilakukan adalah
1:10, 1:25, 1:50, dan 1:100. Setiap variasi
dilakukan secara triplo.
Presipitasi Dengan Penambahan Na2S (US
Patent 5,338,460)
Larutan Na2S 13% (b/v) ditambahkan
sedikit demi sedikit ke dalam 100 mL sampel.
Penambahan dilakukan hingga tidak terjadi
perubahan pada larutan yang ditandai dengan
tidak terbentuknya lagi endapan. Volume
Na2S yang ditambahkan pada sampel adalah 7,
9, 10, 11, 15, dan 20 mL. Dengan sedikit
pengadukan, campuran dibiarkan mengendap,
lalu disaring dengan kertas saring. Filtrat
diukur kandungan logamnya dengan AAS.
Endapan dapat diserahkan ke Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Limbah suatu laboratorium pengujian
biasanya mengandung bahan kimia berbahaya
dari sisa kegiatan analisis/pengujiannya.
Sebagian besar limbah ini terdiri dari bahan
organik dan anorganik. Kandungan bahan
organik pada limbah tersebut dapat didekati
dari kadar COD, sedangkan kandungan bahan
anorganik dapat dilihat dari kadar logam
berbahaya yang terdapat pada limbah.
Menurut PP No. 82/2001, baku mutu limbah
cair untuk nilai COD maksimum sebesar 100
mg/L dan untuk merkuri sebesar 0,005 mg/L.
Penelitian ini menggunakan sampel
limbah cair hasil analisis SO2. Pada tahap
awal, sampel terlebih dahulu dianalisis nilai
COD dan kandungan logamnya. Logam yang
terdapat pada limbah adalah logam merkuri.
Keberadaan logam ini diketahui karena
sampel limbah tersebut menggunakan bahan
bermerkuri pada saat analisis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai
COD dan kandungan merkuri (Hg2+) limbah
berturut-turut 4896 dan 15.954,699 mg/L.
Terlihat bahwa limbah cair tersebut telah
melebihi ambang baku mutu yang ada, baik
dilihat dari nilai COD maupun kadar logam
merkurinya. Karena itu, limbah tersebut
memerlukan proses pengolahan terhadap
pencemar organik dan anorganiknya (logam).
Oksidasi dengan reagen Fenton dipilih untuk
menurunkan kandungan bahan organik limbah,
dan selanjutnya untuk menurunkan kadar Hg2+
dipilih metode presipitasi dengan Na2S.
Oksidasi Dengan Reaksi Fenton
Tahap awal reaksi Fenton adalah reaksi
antara ion Fe2+ (fero) dan peroksida
menghasilkan radikal bebas hidroksil dan ion
Fe3+ (feri). Ion Fe3+ akan bereaksi kembali
dengan H2O2 menghasilkan suatu kompleks
yang nantinya akan membentuk kembali Fe2+.
Pembentukan kembali Fe2+ ini terjadi sangat
cepat dan merupakan ciri khas reagen Fenton.
Reaksinya adalah sebagai berikut:
Fe2+ + H2O2

Fe3+ + OH- + •OH

(1)

Fe3+ + H2O2

Fe2+ + HOO• + H+

(2)

Fe3+ + H2O2
(Fe...O2H)+2

(Fe...O2H)+2 + H+ (3)
Fe2+ + HO2•

(4)

Di sisi lain, pada tahap awal ini bentuk radikal
hidroksil juga bereaksi dengan H2O2 menghasilkan radikal perhidroksil.

6

•OH + H2O2

HO2• + H2O

(5)

Dengan cara yang sama, radikal perhidroksil
dapat bereaksi dengan ion Fe3+(feri).
HO2• + Fe3+

Fe2+ + H+ + O2

(6)

Dari keseluruhan tahapan reaksi Fenton
sebelumnya, dihasilkan dua radikal bebas,
yaitu radikal hidroksil dan perhidroksil.
Kedua radikal tersebut sama-sama sangat
reaktif. Akan tetapi, karena radikal hidroksil
lebih selektif pada senyawa organik
dibandingkan dengan radikal perhidroksil,
pada penelitian ini diasumsikan bahwa radikal
hidroksil yang akan mengambil bagian dalam
oksidasi untuk menurunkan kandungan bahan
organik dalam limbah (Sanz et al. 2003).
Faktor Yang Memengaruhi Proses Fenton
Perlakuan awal limbah sebelum proses
Fenton adalah pengaturan pH ke 3–5.
Pengaturan ini dilakukan karena pada pH
rendah pembentukan •OH maksimal sehingga
reaksi Fenton lebih efektif (Sanz et al. 2003).
Jika pH < 3, maka efektivitas penghilangan
kontaminan akan menurun. Ketika ion H+
terlalu tinggi, ion H+ sebagai pendonor
elektron utama bagi •OH akan mempercepat
pembentukan H2O. Sebaliknya jika pH limbah
cair terlalu tinggi, maka besi lebih cepat
teroksidasi dan berubah menjadi Fe(OH)3.
Akan terjadi dekomposisi H2O2 yang
menghasilkan oksigen dan air tanpa
pembentukan radikal hidroksil (Department of
Energy US 1999). pH diatur dengan NaOH
30% (basa) karena sampel berada pada
kondisi sangat asam (pH < 1). Larutan yang
didapatkan setelah penambahan NaOH kurang
baik, warna cairan menjadi keruh keputihputihan.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan
proses Fenton dengan penambahan Fe2+
(dalam penelitian ini digunakan FeSO4) yang
berfungsi sebagai katalis dan penambahan
sedikit demi sedikit H2O2. Sebenarnya banyak
logam memiliki sifat khusus sebagai
pentransfer oksigen, yang berfungsi meningkatkan kemampuan H2O2. Akan tetapi, sejauh
ini besi paling umum digunakan sebagai
katalis karena dapat menghasilkan radikal
hidroksil dalam jumlah yang tinggi, selain
karena keberadaan besi yang berlimpah dan
sifatnya yang non toksik.
Penambahan katalis logam besi merupakan
salah satu faktor yang memengaruhi proses
Fenton. Biasanya semakin banyak besi yang
ditambahkan, kerja reaksi Fenton akan

semakin meningkat. Akan tetapi, apabila
penambahan berlebih, akan terjadi kelebihan
logam besi dalam limbah. Konsentrasi minimum dalam penggunaan besi adalah 3–15
mg/L dan nisbah Fe:H2O2 adalah 1:10–50
(b/b). Pe-nelitian ini hanya memvariasikan
dosis H2O2 dan membuat tetap dosis Fe.
Nisbah yang efektif dalam menurunkan kadar
pencemar dalam limbah dilihat dari
pengukuran para-meter COD.
Setelah
penambahan
H2O2 terjadi
perubahan warna (Gambar 3). Masing-masing
variasi nisbah menunjukkan reaksi yang
spontan, yang menandakan Fe2+ mengaktifkan
H2O2. Akan tetapi, dengan perubahan warna
menjadi kuning hasil reaksi yang diperoleh
pada larutan menjadi kurang baik. Hal ini
diasumsikan karena penggunaan katalis besi
yang berlebih, sehingga kadar logam besi
dalam limbah meningkat, yang pada akhirnya
ikut teroksidasi dan mengubah warna menjadi
kuning.

(a) Sebelum pengolahan

(b) Nisbah 1:10

(d) Nisbah 1:50

(c) Nisbah 1:25

(e) Nisbah 1:100

Gambar 3 Hasil pengolahan limbah dengan
reaksi Fenton.
Setelah itu, sampel yang telah mengalami
reaksi Fenton dipanaskan. Pemanasan ini
dimaksudkan untuk menghilangkan peroksida
yang masih terdapat dalam sampel sehingga
tidak memengaruhi pengukuran COD.

7

Peroksida yang ikut teroksidasi mengganggu
pengukuran bahan organik karena hasil
pengukuran menjadi lebih besar dari nilai
seharusnya.
Menurut Munter (2001) reaksi interaksi
•OH dengan zat organik adalah sebagai
berikut:
RH + •OH

H2O + •R

(7)

2(•OH)

H 2O 2

(8)

•R + H2O2

ROH + •OH

(9)

•R + O2

ROO•

(10)

ROO• + RH

ROOH + R• (11)

Sebagai contoh, reaksi dengan metanol adalah
sebagai berikut:
•OH/O2
CH3OH + •OH
•CH2OH
HCHO
•OH/O2

HCOOH

•OH/O2

CO2 + H2O (12)

Pada persamaan tersebut, hasil reaksi adalah
CO2 dan H2O. Meskipun secara teoretis reaksi
tersebut dapat berlangsung dengan mudah,
hasil pengolahan limbah (Gambar 4) tidak
menunjukkan penurunan nilai COD hingga di
bawah baku mutu yang telah ditetapkan.

Gambar 4 Pengaruh penambahan Fe:H2O2
(b:b) terhadap penurunan nilai
COD.
Penambahan H2O2 juga mempunyai
pengaruh pada reaksi Fenton. Kekurangan
dosis H2O2 memberikan pengaruh yang sangat
kecil terhadap persen penurunan kadar zat
organik dalam limbah. Penambahan dosis
H2O2 dapat mempercepat pembentukan
radikal hidroksil, namun perlu diperhatikan
sisa H2O2 pada akhir proses, karena tidak
semua H2O2 dapat berubah menjadi •OH
dalam waktu yang singkat. Selain itu, •OH
akan bereaksi dengan H2O2 yang berlebih dan
menghasilkan HO2·, sehingga tidak efektif
lagi dalam memecah ikatan dalam dari zat
organik. Selain itu, H2O2 yang berlebih ber-

sifat toksik, dan akan menambah kandungan
zat organik dalam air limbah.
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4,
nilai COD terendah hasil pengolahan masih
berkisar 300–400 mg/L, masih jauh dari baku
mutu limbah yang seharusnya, 100 mg/L (PP
No.82/2001). Meskipun demikian, metode ini
telah cukup baik dalam menurunkan kadar zat
organik hingga 92.01% pada dosis Fenton
1:100. Nilai COD yang besar dapat
disebabkan oleh banyaknya zat organik yang
terkandung dalam limbah seperti peroksida
berlebih, radikal perhidroksil, atau adanya
senyawa asam pararosanilinmetil-sulfonat
yang dihasilkan dari proses analisis SO2 yang
terdapat pada limbah sulit untuk dioksidasi
sehingga meningkatkan hasil pe-ngukuran
COD.
Presipitasi Sulfida
Analisis kadar SO2 di udara dapat digunakan sebagai indikator polusi udara. Salah
satu metode analisis kuantitatif SO2 adalah
metode pararosanilin/tetrakloromerkurat sebagai pengabsorpsi (James dan Lodge 1988).
Dalam metode tersebut, terdapat satu bahan
yang mengandung logam berat, maka limbah
yang dihasilkan pun akan mengandung logam
berat.
Teknik presipitasi telah sering dipraktikkan pada limbah yang mengandung logam dengan menggunakan hidroksida, sulfida, dan
karbonat. Presipitasi hidroksida efektif dalam
pemisahan logam arsenik, kadmium, Cr(III),
tembaga, besi, mangan, nikel, timah, dan zink.
Presipitasi sulfida sangat efektif dalam
pemisahan logam kadmium, kobalt, tembaga,
besi, merkuri, mangan, nikel, perak, timah,
dan zink, sedangkan presipitasi karbonat
efektif dalam memisahkan logam kadmium,
nikel, dan timah pada pH yang sedikit lebih
rendah daripada hidroksida atau sulfida
(Braden 2006).
Presipitasi dengan hidroksida (NaOH)
sebenarnya dapat dilakukan. Akan tetapi, endapan yang terbentuk kurang stabil dibandingkan dengan sulfida karena pengendapan
oleh OH- hanya maksimum pada pH tertentu.
Selain pada pH maksimum tersebut, kelarutan
logam meningkat sehingga logam yang
sebelumnya mengendap dapat larut kembali
(Eckenfelder 2000). Oleh karena itu, dalam
penelitian ini presipitasi dengan sulfida yang
digunakan. Selain endapan yang terbentuk
lebih stabil, reaksi presipitasi sulfida dapat
terjadi pada kisaran pH rendah, 2–3, reaksinya
lebih cepat, dan lumpur yang terbentuk
memiliki volume yang lebih kecil.

8

Perlakuan pada limbah sebelum pengendapan adalah pengaturan pH ke 2–3,5. Pada
pH ini logam memiliki kelarutan yang tinggi
dan berada pada kondisi bebas sehingga
mungkin
diendapkan.
Pengaturan
pH
dilakukan dengan NaOH 30%. Selanjutnya
pengendapan oleh sulfida dengan Na2S 13%
(Yen dan Woolwitch 1994). Volume sulfida
yang ditambahkan pada saat perlakuan
berbeda-beda. Hal ini diasumsikan karena
dalam satu volume sampel limbah, kadar
logam berbeda-beda jumlahnya. Semakin
tinggi kadar logam terlarut dalam limbah cair,
semakin banyak pula volume Na2S yang perlu
ditambahkan untuk membentuk flok yang
dapat mengendap. Jika pada saat ditambahkan
sejumlah volume tertentu, masih terjadi reaksi,
maka harus ditambahkan Na2S lagi. Seperti
terlihat pada Lampiran 6, hasil percobaan
pada tiap Erlenmeyer setelah ditambahkan
volume Na2S tertentu selama masih menunjukkan adanya reaksi, maka terus ditambahkan kembali sejumlah Na2S sampai tidak
terlihat lagi adanya reaksi, yang menandakan
bahwa larutan tidak mengandung logam
dalam jumlah yang besar.
Gambar 5 memperlihatkan bahwa setelah
dilakukan penambahan sulfida dengan volume
tertentu yang berbeda-beda, reaksi terjadi
dengan sangat spontan.

a. Na2S 7 mL

b. Na2S 9 mL

c. Na2S 10 mL

d. Na2S 11 mL

e. Na2S 15 mL

f. Na2S 20 mL

Gambar 5 Hasil pengolahan limbah dengan
presipitasi sulfida.

Beberapa Erlenmeyer menunjukkan perubahan warna, disertai terbentuknya endapan
hitam yang merupakan senyawa HgS,
sedangkan beberapa Erlenmeyer lainnya,
endapan tidak terlihat dengan jelas karena
hampir sama dengan warna larutannya.
Erlenmeyer-Erlenmeyer
ini
kemudian
didiamkan selama satu malam untuk
membiarkan semua endapannya mengendap.
Pencemar anorganik logam Hg pada
limbah
diukur
menggunakan
AAS.
Pengukuran tersebut didahului dengan
mengukur larutan standar logam Hg. Hal ini
diperlukan agar diperoleh kurva standar
(Lampiran 7) untuk mendapatkan persamaan
garis sehingga konsentrasi logam terlarut pada
sampel dapat diketahui. Logam pencemar ini
bersumber dari HgCl2. Hasil pengukuran
dengan AAS menunjukkan penurunan kadar
Hg2+ dengan penambahan berbagai volume
Na2S (Tabel 2).
Tabel 2

Penurunan kadar Hg2+
presipitasi Na2S 13%

dengan

Volume
Na2S
(mL)

Kadar
Hg2+
(ppm)

Persen
penurunan
(%)

pH
akhir

0

15954,70

0

0–1

7

0,01387

99,99%

11

9

0,00162

99,99%

9

10

0,00965

99,99%

6

11

0,01675

99,99%

11

15

0,03895

99,99%

9

20

0,00969

99,99%

10

Penurunan kadar Hg2+ ini disebabkan Na2S
mengendapkan Hg2+ menghasilkan endapan
HgS yang berwarna hitam. Bila dilihat dari
peraturan yang ada (PP. No. 82/2001), suatu
limbah tidak boleh memiliki kadar Hg lebih
besar dari 0,005 mg/L, maka hasil penurunan
kadar Hg2+ dengan volume yang berbeda-beda
masih belum mencapai kadar maksimum
limbah yang dipersyaratkan. Walaupun
demikian, metode ini sudah cukup baik karena
dapat menurunkan kadar Hg2+ hingga 99,99%.
Dari perhitungan teoretis, konsentrasi S2yang diperlukan untuk mengendapkan Hg2+
agar mencapai baku mutu (< 0,005 mg/L)
adalah 8 10-46 M (Ksp HgS = 2 10-53),
sedangkan konsentrasi yang dipakai adalah
1,7 M. Berdasarkan teori ini, pengendapan
Hg2+ dapat dilakukan hingga mencapai baku
mutu atau hingga berada di bawah baku mutu
karena konsentrasi S2- yang digunakan telah
melebihi konsentrasi yang diperlukan untuk

9

mengendapkan Hg2+ agar sesuai dengan baku
mutu. Akan tetapi, dalam praktiknya dengan
konsentrasi yang digunakan masih belum
dapat mengendapkan Hg2+ di bawah baku
mutu. Diperkirakan ada faktor lain yang
menyebabkan Hg2+ tidak dapat terendapkan
sesuai dengan perhitungan teori.
Gambar 6 memperlihatkan grafik penurunan kadar Hg dengan volume Na2S yang
berbeda-beda. Akan tetapi, dengan perbedaan
volume tersebut tidak terlihat bahwa dengan
semakin banyaknya volume Na2S yang digunakan, kadar Hg akan menurun. Hal ini
diasumsikan karena dalam satu volume
sampel limbah, kadar logam yang terdapat
dalam sampel itu jumlahnya berbeda-beda.
Oleh karena itu, tidak dapat dipastikan dengan
semakin meningkatnya jumlah volume Na2S
akan menyebabkan semakin menurunnya
kadar logam Hg.

Pemakaian karbon aktif atau bahan absorpsi
lainnya dapat digunakan untuk mengurangi
kadar limbah yang masih sedikit di atas baku
mutu.

DAFTAR PUSTAKA
Agustine C. 2008. Degradasi pelarut
organoklorin dengan metode oksidasiFenton
[skripsi].
Bogor:
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Amer IS. 1998. Treating Metal Finishing
Wastewater. Canton: Aquachem.
Andaka G. 2008. Penurunan kadar tembaga
pada limbah cair industri kerajinan perak
dengan presipitasi menggunakan natrium
hidroksida. J Teknol. 1:127-134.
Braden. 2006. Mercury: Real Problems…Not
Mythology.
http://ipec.utulsa.edu/Conf
2006/Papers/Braden_92.pdf. [10 Jan 2010]

Gambar 6 Grafik hubungan antara volume
Na2S dan kadar Hg (ppm).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pengolahan limbah dengan reaksi Fenton
dapat menurunkan kadar zat organik dalam
limbah. Metode oksidasi Fenton efektif
bekerja pada pH 3–4. Nisbah Fe:H2O2 yang
efektif digunakan adalah 1:50 dengan
persentase penurunan kadar zat organik
89,01%. Kadar logam dalam limbah juga
dapat diminimalisasi dengan presipitasi
sulfida. Penambahan Na2S 13% efektif
bekerja pada pH 2–3,5 dan pada volume 10
mL untuk sampel 100 mL. Persentase
penurunan kadar logam mencapai 99.99%,
tetapi masih belum memenuhi baku mutu
yang ditetapkan oleh PP. No. 82/2001.

Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 2005.
Standard Method for Examination of
Water and Wastewater (SMEWW) 21th.
Ed ke-20. APHA, AWWA, WEF.
Corbitt RA. 1990. Standard Handbook of
Environmental Engineering. Washington:
McGraw Hill.
US Department of Energy. 1999. Innovative
Technology:
Summary
Report.
http://apps.em.doe.gov/OST/pubs/itsrs/itsr
2161.pdf.
[10 Jun 2008]
Eckenfelder WWJr. 2000. Industrial Water
Pollution Control. Ed ke-3. New York:
McGraw-Hill.
Harahap S. 1991. Tingkat pencemaran air Kali
Cakung ditinjau dari sifat fisika-kimia
khususnya
logam
berat
dan
keanekaragaman jenis hewan bentos
makro
[tesis].
Bogor:
Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saran

[Industrial Wastewater]. 2007. Fenton’s
Reagent:
Iron-Catalyzed
Hydrogen
Peroxide.
http://www.h2o2.
com
/applications/industrialwastewater/Fenton
sreagent. html. [15 Mei 2008]

Perlu penelitian lanjutan untuk bisa
menurunkan kembali kadar zat organik pada
limbah, misalnya dengan biodegradasi.

James P, Lodge JR. 1988. Methods Of Air
Sampling and Analysis. New York: Lewis
Publishers.

10

Kasnianti H. 2008. Degradasi pestisida
organoklorin dengan metode oksidasiFenton
[skripsi].
Bogor:
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Laws EA. 1981. Aquatic Pollution.
Introductory Text. New York: JWiley.
Munter R. 2001. Advanced Oxidation
Process-Current Status and Prospects.
http://www.kirj.ee/public/va_ke/k50-2-1.
pdf. [ 16 Nov 2010]
Mursyidin
D.
2006.
Menanggulangi
Pencemaran Logam Berat. Jakarta: UI-Pr.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
18 Tahun 1999. Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta:
Departemen Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
85 Tahun 1999. Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun. Jakarta: Departemen Lingkungan
Hidup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
82 Tahun 2001. Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air.
Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup.
Putra SE, Putra JA. 2008. Kategori Kimia
Logam: Bioremoval, Metode Alternatif
untuk Menanggulangi Pencemaran Logam
Berat. Asisten II Sekjen dan Kepala Staf

Infokom BPP IKHMI. www. Chem-istry.org/rss/. [8 Agu 2008].
Sanz J et al. 2003. Microwave and Fenton’s
reagent oxidation of wastewater. Environ
Chem Lett 1:45-50.
Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan
Air Limbah. Jakarta: UI-Pr.
Waharatmo B. 2009. Reaksi Fenton diikuti
presipitasi oleh sulfida sebagai metode
penanganan limbah cair laboratorium dari
pengujian COD dan klorida [skripsi].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Widiyanti S. 2004. Reduksi kadar merkuri
pada kerang hijau (Mytilus viridus) di
Cilincing Jakarta melalui metode asam
serta pemanfaatannya dalam produk
kerupuk [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Wurdiyanto G. 2007. Merkuri, Bahaya, dan
Pengukurannya. Bul Alara 9:19-25.
Yanuar A. 2008. Toksisitas Merkuri di sekitar
Kita. http://staff.blog.ui.ac.id/arry.yanuar/
files/2008/03/ mercuri.pdf. [4 Agu 2009].
Yen JH, Woolwich NJ, penemu; Elf Atochem
North Amerika, Inc. 16 Agu 1994.
Sulfides precipitation of heavy metal from
aqueous solutions. US patent 5 338 460.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Sampel
Sampel Limbah
limbah

Pengukuran COD &
analisis kadar logam

COD < 100
mg/L

COD > 100
mg/L

Degradasi dengan
pereaksi Fenton
Presipitasi
sulfida

COD < 100
mg/L

13

Lampiran 2 Degradasi dengan pereaksi Fenton
100 mL
sampel
Limbah

dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL
diatur pH-nya dengan H2SO4 atau NaOH
+ pereaksi Fenton dengan nisbah 1:10,
1:25, 1:50, 1:100
diaduk dengan pengaduk magnet ± 2 jam

Pemanasan
Pengukuran
COD

Lampiran 3 Presipitasi dengan sulfida
100 mL
sampel
Limbah
diatur pH-nya dengan NaOH
Larutan dengan pH 2–3,5
+ Na2S 13%
dikocok perlahan
Suspensi

Filtrat

Endapan

Penetapan kadar
logam (AAS)

Diserahkan
ke IPAL

14

Lampiran 4 Prosedur pembuatan pereaksi
1. Larutan H2O2 30%
Sebanyak 60 mL larutan stok perhidrol (H2O2) 50% dimasukkan ke dalam
labu takar 100 mL, kemudian larutan ditera dengan akuades.
2. Larutan Fero Amonium Sulfat (FAS) 0,05 N
Sebanyak 19,6070 g [Fe(NH4)2(SO4)2 6H2O] dilarutkan dengan 500 mL
akuades, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL dan ditambahkan 20
mL H2SO4 pekat, kemudian larutan ditera dengan akuades.
3. Larutan Indikator Feroin
Sebanyak 1,485 g 1,10-fenantrolin monohidrat dan 0,695 g FeSO4 7H2O
dilarutkan dengan akuades, kemudian larutan ditera dalam labu takar 100 mL.
4. Larutan Campuran K2Cr2O7-HgSO4 0,05N
Sebanyak 2,4565 g K2Cr2O7 dilarutkan dengan 10 mL akuades, lalu
ditambahkan 83,5 mL H2SO4 pekat dan 16,65 g HgSO4, kemudian larutan
ditera dalam labu takar 500 mL.
5. Larutan Campuran AgSO4-H2SO4
Sebanyak 6,12 g AgSO4 ditambahkan 600 mL H2SO4 pekat, kemudian
dibiarkan 1–2 hari untuk melarutkan.
6. Pereaksi pengabsorpsi udara SO2
Sebanyak 10,86 g HgCl2 ditambahkan 0,66 g EDTA, lalu dikocok dan
ditambahkan 0,6 g KCl, kemudian larutan ditera dalam labu takar 1000 mL.

Lampiran 5 Standardisasi fero amonium sulfat 0,05 N (SMEWW 2005)
Sebanyak 25 mL K2Cr2O7 0,05 N dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
100 mL, lalu ditambahkan 3 mL H2SO4 pekat dan 3 tetes indikator feroin. Setelah
itu, larutan dititrasi dengan fero amonium sulfat 0,05 N sampai berwarna merah
kecokelatan. Standardisasi dilakukan triplo. Rumus perhitungannya ialah sebagai
berikut:

V1 × N1 =V2 × N2

Lampiran 6 Hasil pengolahan limbah dengan presipitasi sulfida
Sampel

pH
awal

Vol awal Na2S pH larutan
13% yang
setelah
ditambahkan penambahan
(mL)
awal Na2S

Perubahan yang terjadi

1

3–4

4

9

♣ Terbentuk endapan hitam, cairan
berwarna hijau kebiruan

2

3–4

6

11

♣ Terbentuk endapan hitam, cairan
berwarna keruh hijau lumut agak
kekuningan

3

3–4

8

10

♣ Terbentuk endapan hitam, cairan
berwarna hijau kebiruan

4

3–4

10

13

♣ Terbentuk endapan hitam, cairan
keruh hijau kehitam-hitaman

5

3–4

15

9

6

3–4

20

10

Keterangan
♠ Bila ditetesi Na2S masih terlihat adanya reaksi, sehingga
ditambahkan lagi sulfida sampai terlihat tidak adanya
reaksi. Jumlah mL Na2S akhir adalah 7 mL dan pH akhir
11.
♠ Bila ditetesi Na2S masih terlihat adanya reaksi, sehingga
ditambahkan lagi sulfida sampai terlihat tidak adanya
reaksi. Jumlah mL Na2S akhir adalah 9 mL dan pH
akhir 9.
♠ Bila ditetesi Na2S masih terlihat adanya reaksi, sehingga
ditambahkan lagi sulfida sampai terlihat tidak adanya
reaksi. Jumlah mL Na2S akhir adalah 10 mL dan pH
akhir 6.
♠ Bila ditetesi Na2S masih terlihat adanya reaksi, sehingga
ditambahkan lagi sulfida sampai terlihat tidak adanya
reaksi. Jumlah mL Na2S akhir