Utilization of Cashew Nut Shell as Organic Fertilizer and Fungicide

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BIJI METE SEBAGAI
PUPUK DAN FUNGISIDA ORGANIK

NUR SAKINAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pemanfaatan Limbah
Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013
Nur Sakinah
NIM A252110011

RINGKASAN
NUR SAKINAH. Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan
Fungisida Organik. Dibimbing oleh MOCHAMAD HASJIM BINTORO
DJOEFRIE, HARIYADI dan DYAH MANOHARA.
Kulit biji mete (KBM) sampai saat ini belum dimanfaatkan secara
maksimal, sebagian besar masih merupakan limbah. Data produksi mete pada
tahun 2010 memperlihatkan jumlah limbah KBM yang dapat diperoleh sekitar 66
036.54 ton. Jumlah limbah KBM tersebut sangat potensial bila dikomposkan
menjadi pupuk dan fungisida organik. Limbah KBM merupakan bahan organik
yang mengandung unsur hara makro bermanfaat bagi tanaman yaitu N 0.84%,
P 0.21%, K 0.70%, Ca 0.13% dan Mg 0.24%. Kulit biji mete mengandung
lignoselulose tinggi, sehingga untuk menjadi pupuk organik melalui pengomposan
secara alami membutuhkan waktu yang sangat lama karena sulit terhidrolisis. Hal
tersebut dapat menyebabkan penumpukan limbah dan berdampak negatif bagi
lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan tekhnik pengomposan KBM yang tepat
dengan perlakuan bioaktivator atau inokulan berupa Trichoderma spp. dan bakteri

selulotik serta pencacahan kulit biji mete. Kedua perlakuan tersebut diharapkan
dapat mempercepat pengomposan dan menghasilkan kompos kulit biji mete
berkualitas untuk diaplikasikan pada tanaman baik sebagai pupuk maupun fungisida organik. Kulit biji mete mengandung asam anakardat dapat dimanfaatkan
sebagai fungisida organik karena struktur asam anakardat mirip dengan asam
salisilat yang mampu menghambat pertumbuhan hifa cendawan atau fungi. Selain
itu, kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. yang bertindak
sebagai fungi antagonis terhadap patogen Rigidoporus lignosus dapat meningkatkan ketahanan bibit jambu mete terhadap penyakit jamur akar putih (JAP).
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan Institut
Pertanian Bogor dari bulan September 2012 - Agustus 2013. Penelitian ini
bertujuan untuk menghasilkan pupuk dan fungisida organik berkualitas dengan
memanfaatkan limbah kulit biji mete dengan metode inokulasi mikroba yaitu
Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan kulit biji mete. Penelitian
ini terdiri atas empat percobaan yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya,
sehingga tujuan khusus yang ingin dicapai adalah: (1) menganalisis laju pengomposan limbah KBM akibat pencacahan KBM serta pemberian bioaktivator
Trichoderma spp. dan bakteri selulotik); (2) menganalisis pengaruh kompos KBM
terhadap pertumbuhan serta serapan hara bibit jambu mete dan kakao; dan (3)
menganalisis efektivitas formula kompos KBM yang diperkaya Trichoderma spp.
terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen Rigidoporus lignosus
penyebab penyakit JAP.
Penambahan bioaktivator berupa fungi Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan pada kulit biji mete nyata dapat meningkatkan laju pengomposan limbah kulit biji mete sebagai bahan baku pupuk organik dan meningkatkan kualitas formula kompos KBM yang dihasilkan hingga sesuai dengan

kriteria kompos yang ditetapkan oleh SNI 19-7030-2004 dan standar persyaratan
teknis pupuk organik (C/N (24.42); N (1.71%); P (0.17%); K (0.96%); pH (7.13)).
Perlakuan formula kompos KBM memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap

pertumbuhan serta serapan hara bibit jambu mete dan bibit kakao dibandingkan
kontrol (top soil).
Formula kompos KBM 50 g polibag-1 dapat menggantikan pemberian pukan
kambing 100 g polibag-1 untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete
hingga siap dipindahtanamkan ke lapangan. Peningkatan dosis formula kompos
KBM menjadi 100 g polibag-1 dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao
hingga siap dipindahtanamkan ke lapangan. Hasil percobaan uji efektivitas
formula kompos sebagai pupuk dan fungisida organik menunjukkan bahwa
pemberian formula kompos KBM 50 g polibag-1 yang telah diperkaya dengan
Trichoderma spp. sama baik nya dengan formula kompos KBM 100 g polibag-1
yang telah diperkaya Trichoderma spp. untuk meningkatkan ketahanan terhadap
serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit JAP sekaligus mampu
meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete dibandingkan kontrol sehingga
mampu meningkatkan vigor bibit jambu mete selama pembibitan sebelum
dipindahtanamkan ke lapangan. Pemanfaatan limbah KBM sebagai pupuk dan
fungisida organik dapat mengurangi potensi limbah tersebut sebagai pencemar

lingkungan
Kata kunci: bioaktivator, mete, pengomposan, R. lignosus, Trichoderma spp.

SUMMARY
NUR SAKINAH. Utilization of Cashew Nut Shell as Organic Fertilizer and
Fungicide. Supervised by MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE,
HARIYADI and DYAH MANOHARA.
Cashew nut shells have not been fully utilized untill now and most of them
are still in a form of wastes. The data of cashew nut production in 2010 showed
that there were 66.036.54 tons of cashew nut shell wastes. That amount of cashew
nut shell wastes would be very potential if they were composted into organic
fertilizers and fungisides. Cashew nut shell wastes are organic matter containing
macro elements such as N (0.84%), P (0.21%), K (0.70%), Ca (0.13%) and Mg
(0.24%), that are useful for plants. Cashew nut shell contains high lignoselulose
that is difficult to hydrolyze so that it will take a very long time to become organic
fertilizer through natural composting. This can cause comulation of wastes that
have negative effect to the environment. Therefore, treatments using proper
composting techniques such as utilizing bioactivator (Trichoderma spp. and
selulotic bacteria) and chopping cashew nut shell, are needed to solve the problem.
Both of treatments are expected to accelerate decomposition and produce good

quality compost that can be applied to the plant as organic fertilizer and fungicide.
The research was conducted at IPB Teaching Farm, Darmaga Bogor from
September 2012 to August 2013. The aim of this research was to produce good
quality of organic fertilizer and fungicide from utilizing cashew nut shell wastes
with microbial inoculation method (Trichoderma spp. and selulotic bacteria) as
well as chopping cashew nut shell. This research consisted of four interrelated
experiments with the following specific purposes: firstly, to analyse the
composting rate of cashew nut shell wastes resulted by chopping cashew nut shell
and using bioactivator (Trichoderma spp. and selulotic bacteria); secondly, to
analyse the effect of cashew nut shell compost on nutrient uptake and growth of
cashew and cocoa seedlings; and finally, to analyse the effectiveness of cashew
nut shell compost formulas which were enriched with Trichoderma spp. to cashew
seedling resistance against the pathogen attack, Rigidoporus lignosus, the cause of
white root fungus (JAP) disease.
The addition of bioactivator (Trichoderma spp. and selulotic bacteria) and
enomeration of cashew nut shell can significantly increase the composting rate of
cashew nut shell waste as raw material for organic fertilizer and it can improve the
quality of cashew nut shell compost formulas suitable with the compost criteria
set by SNI 19-7030-2004 and technical requirement standarts of organic fertilizers
(C/N: 24.42%, N: 1.71%, P: 0.17%, K: 0.96%, pH: 7.13). The treatments of

cashew nut shell compost gave better effect on the growth and nutrient uptake of
cashew and cacao seedlings than the control (top soil). Cashew nut shell compost
formula in 50 g polybag-1 can substitute 100 g polybag-1 goat manure to increase
the growth od cashew seedlings to be ready to transplant to the field. The increase
of doses of cashew nut shell compost formula to 100 g polybag-1 can enhance the
growth of cocoa seedlings untill they are ready to transplant in the field. Cashew
nut shell compost formula can improve the balance of nutrients in the soil so that
it enhances the growth and vigor of cashew and cacao seedlings.

The experiment results on the effectiveness of cashew nut shell compost
formulas as organic fertilizers and pesticides showed that both the cashew nut
shell compost formulas in 50 g polybag-1 and 100 g polybag-1 which were
enriched with Trichoderma spp. gave significant influence to increase resistance
against pathogen attack, Ridigoporus lignosus, the cause of white root fungus
(JAP) disease and they were able to increase cashew seedling growth better than
the control (top soil) because they can improve cashew seedling vigor during the
nursery before being transplanted to the field. Application of cashew nut shell
compost formulas are expected to reduce the land resource degradation as well as
pollutant emissions, then to improve the recycled elements utilization of the
farming system (zero waste), and finally to protect the environment and the

welfare of local community life.

Keywords: bioactivator, cashew, composting, R. lignosus, Trichoderma spp.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BIJI METE SEBAGAI
PUPUK DAN FUNGISIDA ORGANIK

NUR SAKINAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi: Dr Ir Sudrajat, MS.

Judui Tesis : Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida
Organik
: N ur Sakinah
Nama
: A252110011
NIM

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr I
Ketua

r Ir Hariyadi, MS
Anggota

y

Dr Ir

nohara, MS
Anggota

Diketahui oieh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura


セBNAGゥヲw@

セ。ャ@

":; ....

PascasaIjana

.

Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS

Tanggal Ujian: 30 September 2013

Tanggal Lulus:

Z 8 OCT 2013

Judul Tesis : Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida
Organik

Nama
: Nur Sakinah
NIM
: A252110011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, M Agr
Ketua

Dr Ir Hariyadi, MS
Anggota

Dr Ir Dyah Manohara, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS

Dr Ir Dahrul Syah, Msc Agr

Tanggal Ujian: 30 September 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
sallawlahu wa a’laihi wa salam. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
September 2012 ini adalah “Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk
dan Fungisida Organik”. Penelitian ini didasari untuk pemanfaatan limbah kulit
biji mete dari pertanaman jambu mete yang berlimpah pada saat panen raya. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat mengembalikan hara yang terdapat dari limbah
kulit biji mete agar dapat dimanfaatkan kembali ke tanaman. Penyusunan Tesis ini
ditujukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
program studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir H M H Bintoro
Djoefrie, MAgr, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Hariyadi, MS
serta Ibu Dr Ir Dyah Manohara, MS selaku anggota komisi pembimbing yang
telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk mengarahkan dan
membimbing penulis sejak proses penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian
hingga penyusunan Tesis ini. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan
kepada Rektor Universitas Dayanu Ihsanuddin, Dekan Fakultas Pertanian, dan
Kepala Program Studi Agroteknologi atas kesempatan dan dukungan yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti program magister sains di sekolah
pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ir. Jati Purwani
MS juga kepada rekan - rekan mahasiswa pascasarjana AGH 2011atas segala
bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini.
Akhirnya dengan segala rasa syukur dan hormat penulis persembahkan
kepada orang tua, Bapak Dr Ir H Mudjur Muif, M.Si dan Ibu Hj. Sri Mulyani,
bapak dan ibu mertua L. Dairi dan Ibu Nurima serta suami dan putri tercinta
Rachmat Hidayat Dairi, ST, MT dan Yuni Himayatur Rahmania yang telah
memberikan doa dan motivasi untuk dapat menyelesaikan pendidikan dengan
baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi orang banyak sehingga dapat
memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2013

Nur Sakinah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Jambu Mete (Anacardium occidentale L.)
Kompos dan Pengomposan
Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
Patogen Penyebab Penyakit JAP pada Tanaman Jambu Mete:
Rigidoporus lignosus

5
5
7
9

3 METODE
Tempat dan Waktu
Metode Percobaan
Pengomposan Kulit Biji Mete (KBM)
Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan
Serapan Hara bibit pada Bibit jambu mete serta Bibit Kakao
Pengujian Formula Kompos KBM yang telah diperkaya oleh
Trichoderma spp. terhadap Ketahanan Bibit jambu mete dari
Serangan Rigidoporus lignosus penyebab penyakit jamur akar putih
(JAP)
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengomposan Limbah Kulit Biji Mete
Suhu
Nisbah C/N
Derajat Kemasaman (pH)
Penyusutan Volume Bahan Kompos KBM
Kondisi Fisik
Kandungan Hara Formula Kompos KBM
Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan Serapan
Hara pada Bibit jambu mete dan Bibit Kakao
Analisis Hara Tanah dan Kompos KBM
Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan Bibit
Meta dan Bibit Kakao

11
12
12
12
14
15

15
17
17
18
21
23
25
27
28
32
32
33

DAFTAR ISI (lanjutan)
Pengaruh Formula Kompos terhadap Serapan Hara Bibit jambu
mete dan Bibit Kakao
Efektivitas formula kompos KBM yang telah diperkaya Trichoderma
spp. terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan R. lignosus
penyebab penyakit jamur akar putih (JAP)
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

37

39
45
45
46

Error! Bookmark not defined.47
53

DAFTAR TABEL
1 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik)
dan cacahan KBM terhadap rata - rata suhu formula kompos KBM
2 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik)
dan pencacahan KBM terhadap rata – rata Suhu formula kompos KBM
pada 1 MSP
3 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik)
dan pencacahan KBM terhadap rata - rata nisbah C/N formula kompos
KBM
4 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik)
dan pencacahan KBM terhadap rata – rata nisbah C/N formula kompos
KBM pada 8 MSP
5 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik)
dan cacahan KBM terhadap rata – rata pH formula kompos KBM
6 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik)
dan cacahan kulit biji mete terhadap rata – rata penyusutan volume
formula kompos KBM
7 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik)
dan pencacahan KBM terhadap rata – rata penyusutan volume formula
kompos KBM pada 2 MSP dan 8 MSP
8 Analisis kandungan hara C, N, P, K, nisbah C/N dan pH formula
kompos KBM pada 8 MSP
9 Hasil analisis tanah yang digunakan pada pembibitan mete dan kakao
10 Analisis C, N, P, K dan pH pada formula kompos kulit biji mete yang
digunakan sebagai media tanam pada pembibitan mete dan kakao
11 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata tinggi
bibit, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar bibit jambu mete
dan bibit kakao pada umur 3 BSP
12 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata bobot
segar, dan bobot kering bibit jambu mete serta bibit kakao pada umur 3
BSP
13 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata serapan
hara N, P, dan K pada bibit jambu mete serta bibit kakao pada umur 3
BSP
14 Pengaruh pemberian formula kompos KBM yang telah diperkaya
Trichoderma spp. serta biofungisida terhadap rata – rata tinggi bibit,
jumlah daun, Bobot kering total dan kejadian penyakit JAP bibit jambu
mete pada umur 5 BSP

19

20

22

22
24

25

26
28
33
33

35

36

38

41

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alur tahap penelitian
2 Jambu mete
3 Irisan Melintang kulit biji mete
4 Skema proses pengomposan aerob
5 Penanaman benih mete model smile side down

6
7
8
9

Proses pengomposan limbah kulit biji mete
Perubahan rata – rata suhu harian formula kompos KBM
Rata - rata persentase penyusutan volume kompos KBM per minggu
Rata – rata C/N, pH serta kandungan unsur hara C, N, P dan K formula
kompos kulit biji mete pada akhir pengomposan (8 MSP)
10 Keragaan bibit jambu mete dan kakao pada umur 3 BSP
11 Keragaan bibit jambu mete pada 1 BSI R.lignosus
12 Gejala serangan jamur akar putih pada bibit jambu mete umur 1 BSI
13 Miselium R. lignosus yang telah menginfeksi permukaan akar bibit
jambu mete umur pada perlakuan yang diinokulasikan patogen R.
lignosus pada 1 BSI

4
6
6
8
15
17
18
27
31
34
40
41

42

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman jambu mete banyak dikembangkan di Kawasan Timur Indonesia
(KTI), seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, karena tanaman jambu mete dapat
ditanam di lahan kritis sehingga persaingan lahan dengan komoditas lain di KTI
menjadi kecil. Tanaman jambu mete merupakan tanaman industri potensial
dengan produk utamanya adalah biji atau kacang mete, yang merupakan
komoditas ekspor. Perubahan paradigma pengembangan tanaman jambu mete
dimulai pada tahun 1979, yaitu tidak hanya ditujukan untuk konservasi tanah,
tetapi juga sebagai sumber pendapatan petani terutama di KTI (Saefudin 2009).
Harga kacang mete terus meningkat setiap tahun, dari rata - rata Rp 11 385 kg-1
pada tahun 1995, Rp 34 178 kg-1 pada tahun 2001, Rp 44 852 kg-1 pada tahun
2006 dan menjadi 84 541 kg-1 pada tahun 2012 (Ditjenbun 2013). Hal tersebut
menunjukkan bahwa tanaman tersebut mempunyai nilai ekonomi yang baik
sehingga mendorong petani untuk membudidayakan tanaman jambu mete.
Perkembangan luas areal yang cukup pesat mendorong peningkatan
produksi gelondong mete di Indonesia. Data lima tahunan subsektor perkebunan
jambu mete dari tahun 2008 – 2012 menunjukkan rata – rata hasil produksi
gelondong mete adalah 130 295.6 ton (Ditjenbun 2013). Sekitar 49% produksi
mete Indonesia diekspor baik dalam bentuk gelondong (36%), maupun dalam
bentuk kacang mete (13%), sedangkan sisanya 51% dalam bentuk kacang mete
diserap oleh pasar domestik (Indrawanto et al. 2003). Biji jambu mete terdiri atas
70% kulit biji dan 30% daging biji. Kulit biji (shell) mete diduga mengandung
minyak sekitar 50% yang terdiri atas 90% asam anakardat dan sisanya 10% kardol
(Ketaren 1996; Santos dan Magalaes 1999).
Hingga saat ini kulit biji mete (KBM) belum dimanfaatkan secara maksimal.
Sebagian besar masih merupakan limbah yang menjadi sumber emisi pencemar
atau polutan lingkungan. Data rata - rata produksi gelondong mete 2008-2012
memperlihatkan rata - rata jumlah limbah KBM yang dapat diperoleh pertahunnya
sekitar 58 372.43 ton. Jumlah limbah KBM tersebut sangat potensial bila
dikomposkan menjadi pupuk dan fungisida organik. Limbah KBM memiliki
kandungan unsur hara N 0.84%, P 0.21%, K 0.70%, Ca 0.13% dan Mg 0.24%.
Selain itu, kulit biji mete yang mengandung asam anakardat dapat dimanfaatkan
sebagai fungisida organik karena struktur asam anakardat mirip dengan asam
salisilat yang mampu menghambat pertumbuhan hifa cendawan atau fungi
(Cahyaningrum et al. 2006; Simpen 2008).
Limbah KBM memiliki potensi yang cukup besar sebagai bahan organik
untuk memperbaiki kesuburan tanah dan bertindak sebagai fungisida organik.
Limbah KBM apabila tidak dimanfaatkan dapat menimbulkan masalah bagi
lingkungan disekitar perkebunan. Salah satu cara memanfaatkan limbah KBM
adalah dijadikan pupuk dan fungisida organik melalui pengomposan dengan
menggunakan bioaktivator. Pendekatan upaya mengubah limbah KBM menjadi
pupuk dan fungisida organik melalui pengomposan memberikan kontribusi dalam

2
meningkatkan nilai tambah bagi pendapatan usahatani mete serta memperbaiki
sifat fisik, biologi, dan kimia di lahan pertanian.
Kulit biji mete merupakan material bahan organik yang mengandung lignin
(bahan yang berkayu) dan selulose (bahan yang berserat) tinggi (Landau 2002),
sehingga membutuhkan waktu pengomposan sangat lama untuk menjadi pupuk
organik karena sulit terhidrolisis. Bahan organik yang memiliki kandungan
senyawa lignin dan selulosa tinggi secara alami merombak bahan baku organik
yang dikomposkan lebih lambat dibandingkan pada bahan yang memiliki senyawa
polisakarida yang lebih sederhana seperti amilum, disakarida dan monosakarida
(Saraswati et al. 2006). Pengomposan KBM dengan kandungan lignoselulosa
tinggi dapat dipercepat oleh perlakuan manusia yaitu dengan melakukan pencacahan bahan yang akan dikomposkan dan memberikan mikroba pengurai
(aktivator atau inokulan) sebagai katalisator.
Penambahan bioaktivator berupa Trichoderma spp. dan bakteri selulotik
pada campuran bahan organik pupuk kandang kambing, ampas sagu, Ageratum
conyzoides serta Setaria sp. merupakan bagian dari usaha untuk mempercepat terbentuknya pupuk organik (kompos) (Purwani 2011; Asyerem 2011). Penambahan
bioaktivator sangat berpengaruh dalam pengomposan karena mikroba yang diinokulasikan dalam material kompos selain dapat mempercepat dekomposisi bahan
organik juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara terutama kadar N sebagai hara tambahan bagi kelangsungan hidup mikroba tersebut. Hal tersebut
mengakibatkan aktivitas dan biomassa mikroba meningkat, sekaligus dapat memperkaya kandungan unsur hara pada kompos tersebut (Nurisamunandar 1999;
Sisworo 2000; Santoso et al. 2004; Tombe et al. 2008; Goenadi dan Santi 2006;
Soetopo dan Endang 2008; Widiastuti et al. 2009; Yunindanova 2009; Asyerem
2011; Purwani 2011; Suwarno 2011).
Pupuk organik yang melibatkan mikroba dalam proses pengomposannya
mampu menekan penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen tular tanah
sebesar 45% (Bonanomi et al. 2007). Beberapa mikroba dekomposer dapat bertahan dalam kompos sehingga dapat berperan sebagai agensia hayati pengendali
penyakit tanaman terutama patogen tular tanah disekitar daerah perakaran karena
metabolit mikroba seperti antibiotik yang bersifat antagonis (Nasahi 2010;
Baharudin 2011). Hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa pemanfaatan agensia hayati Bacillus sp. dan Trichoderma spp. berfungsi sebagai
biodekomposer limbah pertanian serta bahan organik sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman jambu mete yang terserang jamur akar putih (JAP) (Tombe
et al. 2005). Jamur akar putih adalah organisme pengganggu tanaman (OPT)
jambu mete yang merugikan petani. Apabila tidak segera dikendalikan dapat
menjadi masalah serius dalam proses pengembangan jambu mete di Indonesia
(Tombe et al. 2005). Patogen penyakit jamur akar putih adalah Rigidoporus
lignosus. Jamur tersebut dapat menyerang tanaman jambu mete pada segala
stadium pertumbuhan, baik pada pembibitan sampai pada tanaman yang sudah
menghasilkan. Bagian tanaman yang diserang yaitu akar tunggal, akar cabang,
akar rambut ataupun leher akar.
Pertumbuhan bibit di lapangan sangat ditentukan oleh pertumbuhan
tanaman selama pembibitan. Media tanam merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman jambu mete dan kakao di pembibitan.
Penggunaan media tanam kompos kulit biji mete (KBM) yang banyak

3
mengandung bahan organik sangat menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman
jambu mete dan kakao. Pemberian kompos KBM yang mengandung hara N, P dan
K serta mikroba dapat digunakan sebagai pupuk dan fungisida organik.
Pengkayaan kompos KBM tersebut dengan mikroba perlu diupayakan untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman serta ketahanannya terhadap serangan OPT,
sehingga dapat menciptakan kondisi optimal bagi pertumbuhan bibit di lapangan.
Melihat potensi limbah KBM yang sangat besar tersebut, maka sudah saatnya
limbah tersebut dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik alternatif sekaligus
berfungsi juga sebagai fungisida organik.

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Menganalisis laju pengomposan limbah KBM akibat pencacahan KBM serta
pemberian bioaktivator (Trichoderma spp. dan bakteri selulotik)
Menganalisis pengaruh kompos KBM terhadap pertumbuhan serta serapan
hara bibit jambu mete dan kakao.
Menganalisis efektivitas kompos KBM yang diperkaya dengan Trichoderma
spp. terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen R. lignosus
penyebab penyakit JAP.

Hipotesis
1.
2.
3.

Pemberian bioktivator dan pencacahan pada limbah KBM dapat mempercepat
proses dekomposisi limbah KBM.
Pemberian kompos KBM akan meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete
dan kakao.
Pemberian kompos KBM yang diperkaya dengan Trichoderma spp. dapat
meningkatkan ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen R. lignosus
penyebab penyakit JAP

Manfaat Penelitian
Limbah KBM dapat dijadikan sebagai pupuk dan fungisida organik.
Pemanfaatannya dapat mengurangi penggunaan fungisida untuk menghambat atau
menekan pertumbuhan penyakit JAP yang disebabkan oleh R.lignosus serta dapat
mengurangi penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jambu mete, sehingga
akan memperbaiki produktivitas dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian
dengan menciptakan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Pengomposan KBM menggunakan Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta aplikasi kompos KBM tersebut, merupakan usaha penyempurnaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat, sehingga
diharapkan mampu menekan degradasi sumberdaya lahan, emisi pencemar dan
dapat meningkatkan pemanfaatan unsur daur ulang dari sistem pertanian (zero
waste) sekaligus dapat menjaga kelestarian alam dan kesejahteraan kehidupan
masyarakat setempat. Pemanfaatan kembali limbah KBM menjadi produk yang

4
berguna merupakan suatu langkah yang menguntungkan. Pendekatan melalui
upaya mengubah limbah padat KBM menjadi pupuk organik melalui pengomposan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan nilai tambah,
khususnya pendapatan usahatani mete. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
baik bagi masyarakat petani setempat, pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup, pemerintah daerah, maupun bagi para pengguna lain yang berkaitan dengan masalah diatas.

Ruang Lingkup Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan di lapangan dan di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan, University Farm, Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor.
Penelitian ini terdiri atas tiga tahap kegiatan. Pada awal penelitian dilakukan
formulasi limbah kulit biji mete dengan limbah organik pertanian lainnya (ampas
sagu), gulma dan pupuk kandang kambing melalui proses pengomposan, untuk
memperoleh formula pupuk dan fungisida organik yang ideal. Selanjutnya
kompos KBM yang dihasilkan pada percobaan pertama diaplikasikan pada bibit
jambu mete dan kakao kemudian diamati pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
serapan hara bibit jambu mete dan kakao. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah
pengujian formula kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp.
pada bibit jambu mete untuk mengetahui efektivitas formula kompos KBM
sebagai fungisida organik terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan
patogen R. lignosus. penyebab penyakit JAP. Secara ringkas ruang lingkup
penelitian digambarkan pada Gambar 1 (Bagan alur tahapan penelitian).
Pengomposan limbah KBM menjadi pupuk
dan fungisida organik

Efektivitas formula
kompos KBM terhadap
serapan hara dan
pertumbuhan bibit
tanaman jambu mete serta
kakao

Efektivitas formula kompos KBM
yang diperkaya oleh Trichoderma spp.
sebagai fungisida organik untuk
mengendalikan serangan penyakit JAP
pada bibit jambu mete

Pupuk dan fungisida organik untuk bibit jambu mete
Gambar 1 Bagan alur tahapan penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Jambu Mete (Anacardium occidentale L)
Tanaman jambu mete berdasarkan klasifikasi botaninya termasuk dalam
kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Dikotiledon, ordo Sapindales, famili Anacardiaceae, genus Anacardium dan spesies
Anacardium occidentale L. (Muljohardjo 1990). Jambu mete merupakan tanaman
tahunan dengan batang pokok yang tegak dan dapat mencapai tinggi 10 - 12 m,
dengan tajuk melebar, sangat bercabang-cabang. Tajuk bisa menjadi tinggi dan
menyempit atau rendah dan melebar tergantung pada kondisi lingkungannya.
Perakaran jambu mete sangat ekstensif. Pada umur 9 BST (bulan setelah tanam)
pertumbuhan akar tunggang dominan, selanjutnya pertumbuhan akar lateral yang
menonjol. Akar tunggang dapat mencapai kedalaman 9 m. Akar lateral 4.5 m
memencar sampai dibatas proyeksi tajuknya dengan akar - akar penyerap hara
menancap sedalam 6 m. Perakaran jambu mete peka terhadap genangan air atau
kondisi anaerob sehingga harus dibuat drainase. Tanaman muda, kurang dari dua
tahun peka terhadap cekaman lingkungan, terutama kondisi kering. Tanaman
dewasa tidak menyukai naungan karena jambu mete berbunga terminal sehingga
bunga - bunga yang terbentuk bila tidak mendapat intensitas cahaya yang cukup
akan gugur. Jambu mete mempunyai dua jenis bunga yaitu bunga jantan dan
bunga sempurna (hermaprodit). Penyerbukan pada bunga hermaprodit terjadi
secara silang.
Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2006) menunjukkan, hasil rata-rata
nasional jambu mete hanya 430 kg ha-1, jauh di bawah Vietnam yang mencapai
800 kg ha-1 tahun-1 dan India 1 000 kg ha-1 tahun-1 (Chau 1998; Rao 1998).
Rendahnya produktivitas jambu mete disebabkan pada awal pengembangan tanaman jambu mete di tahun 1970-an hanya ditujukan untuk konservasi lahan atau
penghijauan karena dianggap adaptif di daerah kering KTI. Bahan tanaman yang
digunakan berasal dari biji, tanpa seleksi dan budidaya yang memadai, dengan
daerah pengembangan yang bervariasi. Kondisi - kondisi tersebut menyebabkan
produktivitas tanaman menjadi rendah (Rusmin et al. 2006; Daras 2007).
Rendahnya produktivitas jambu mete diduga berawal dari persepsi umum
bahwa jambu mete tidak menuntut persyaratan tumbuh yang ketat dan mampu
beradaptasi baik pada berbagai kondisi tanah tanpa berkurang produktivitasnya
(Ohler 1988). Tanaman jambu mete banyak dikembangkan pada tanah - tanah
marginal, ketika tanaman lain tidak mampu memberikan keuntungan. Pola pikir
sederhana yang telah tersosialisasi dikalangan petani mete di Indonesia mengakibatkan petani mengharapkan tanaman jambu mete dapat memberikan hasil
sebanyak mungkin dengan biaya produksi rendah, tanpa memperhatikan persyaratan tumbuh dan pemeliharaan tanaman.
Buah jambu mete terdiri atas dua bagian yaitu buah semu (cashew apple)
dan buah sejati (cashew nut), buah semu merupakan tangkai bunga yang membesar dan seolah - olah menjadi daging buah yang sebenarnya (Ohler 1988). Buah
sejati adalah gelondong mete yang berbentuk ginjal menempel pada buah semu
Gambar 2), berkulit keras mengandung minyak dan dibagian paling dalam
terdapat biji mete yang berbelah dua atau Cashew kernel (Heyne 1987). Satu

6
bagian dari tanaman jambu mete yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh
masyarakat adalah potensi kulit bijinya. Menurut Ketaren (1996) biji jambu mete
terdiri atas 70% kulit biji dan 30% daging biji. Komposisi kulit keras gelondong
mete terdiri atas, air 13.17%, abu 6.74%, selulosa 17.35%, protein 4.06%, gula
20.85% dan 37.83% minyak kulit jambu mete (Ohler 1988). Kulit biji mete (nut
shell) diduga mengandung minyak sekitar 32-38% yang terdiri atas 90% asam
anakardat dan sisanya 10% kardol (Ketaren 1996; Santos dan Magalaes 1999).

buah semu
cashew apple

buah sejati
cashew nut

A. Jambu mete muda

B. Jambu mete matang siap panen

Gambar 2 Jambu mete (Gilleo et al. 2011)
Minyak kulit biji jambu mete dalam istilah perdagangan, dikenal sebagai
Cashew Nut Shell Liquid (CNSL). CNSL merupakan minyak yang tersusun dari
senyawa fenolat kompleks dengan rantai karbon panjang bercabang dan tidak
jenuh. Fenol dari CNSL mengandung fenolat yang bernilai ekonomis. CNSL tidak
dapat digunakan sebagai bahan pangan tetapi digunakan untuk berbagai macam
keperluan industri, antara lain sebagai bahan baku oli rem mobil dan pesawat
terbang, perekat kayu pada industri kayu lapis nasional dan bahan fungisida nabati
(Cahyaningrum et al. 2006). Fenol dari CNSL memiliki beberapa keunggulan
karena memiliki rantai samping yang panjang dan berupa mono-, di-, dan triolefin sehingga memiliki fleksibilitas yang tinggi. Kandungan lipida fenolik
(kardol) dalam CNSL merupakan senyawa amfifilik yang dapat berinteraksi kuat
dengan membran biologis sehingga menyebabkan perubahan struktur dan
fungsinya. Interaksi tersebut dapat memberikan efek antifungi dan aktivitas
sitotoksik (Kresnamurti dan Budiarti 2008).

Gambar 3 Irisan melintang kulit biji mete (Tyman 1980)

7
Kulit biji mete terdiri atas tiga lapisan kulit (Setyono 2002) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3 yaitu, epikarp yang merupakan kulit luar yang keras
dan liat, mesokarp berstruktur seperti sarang lebah dan mengandung cairan CNSL,
serta endokarp yang keras dan kaku. Kulit gelondongan mete memiliki kandungan
lemak dan protein yang tinggi, didalamnya terdapat unsur esensial berupa karbon
(C) sehingga kulit biji mete dapat digunakan sebagai bahan baku untuk
menghasilkan pupuk organik yang berkualitas baik.

Kompos dan Pengomposan
Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran
bahan - bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerob
atau anaerob (Crawford 2003). Membuat kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses
tersebut meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang
cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan (Isroi 2004).
Kompos ibarat multivitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan
kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki
struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan
meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah
(Goenadi dan Santi 2006; Setyorini et al. 2006).
Kompos yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulotik unggul,
yang tetap bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai pengendali hayati
penyakit tanaman dikenal dengan kompos bioaktif. Mikroba yang digunakan
sebagai dekomposer tersebut akan tetap hidup dan aktif di dalam kompos,
sehingga ketika diberikan ke tanah mikroba dalam kompos tersebut akan
mengendalikan organisme penyebab penyakit tanaman. Selanjutnya, seiring
dengan penambahan kompos ke tanah akan meningkatkan aktivitas mikroba
tersebut dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan
menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman serta membantu menghadapi serangan penyakit yang disebabkan patogen (Isroi 2004;
Bonanomi 2007; Purwani 2011; Asyerem 2011; Baharudin 2011).
Pada dasarnya semua bahan organik padat dapat dikomposkan, misalnya:
limbah organik rumah tangga, sampah organik pasar, kertas, limbah peternakan,
limbah pertanian, limbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula
dan limbah pabrik kelapa sawit. Limbah organik harus dihancurkan atau
dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat
diserap oleh tanaman. Proses pengomposan bahan organik yang memiliki
kandungan lignin yang tinggi, secara alami membutuhkan waktu yang lama
kurang lebih enam bulan hingga satu tahun sampai bahan - bahan organik tersebut
benar - benar tersedia bagi tanaman, (Landau 2002). Hal tersebut sangat
menghambat upaya pelestarian penggunaan bahan organik untuk lahan pertanian.
Bahan yang mengandung lignin menjadi penghalang akses enzim selulotik pada
degradasi bahan organik yang berlignoselulosa dan dapat menghambat proses

8
dekomposisi sehingga dapat menyebabkan penumpukan limbah dan berdampak
negatif bagi lingkungan.
Pengomposan dengan menggunakan mikroba perombak lignin dan selulosa
dapat membantu dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat tanpa merusak
kualitas kompos yang dihasilkan (Sastraatmadja et al. 2001; Leifeld et al. 2002;
Widawati 2005), sehingga bahan organik tersebut dapat meningkatkan kontribusi
terhadap kandungan humus tanah. Terdapat dua jenis bahan aktivator yaitu:
aktivator yang berbentuk kimiawi (aktivator buatan) seperti amonium sulfat, asam
amino, sodium nitrat, urea dan amonia. Penggunaan aktivator yang mengandung
nitrogen dan fosfor adalah salah satu cara untuk mendapatkan kompos berkualitas
tinggi (Widawati 2005). Bentuk aktivator lainnya adalah bioaktivator berupa
mikroba yang mampu memecah selulosa secara cepat seperti mikroba yang
dikoleksi dari kompos matang, pupuk kandang, darah kering, tanah yang kaya
humus dan sampah.
Pengomposan adalah proses kerja mikroba, sehingga memahami dengan
baik proses pengomposan sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan
kualitas baik. Pemahaman kondisi lingkungan yang tepat diperlukan agar mikroba
sukses mengdekomposisi bahan organik mentah seperti ditunjukkan pada Gambar
4. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah
dicampur. Mikroba - mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen
akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah
sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur - angsur mengalami
penurunan. Pada saat suhu berangsur – angsur turun, terjadi pematangan kompos
tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus (Rynk et al. 1992; BC
1998; Hirrel dan Riley 2002). Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan tersebut dapat
mencapai 30% – 40% dari volume atau bobot awal bahan (Rynk et al. 1992).
H

Panas

 Bahan baku
organik
(karbon,
energi kimia,
protein,
nitrogen)
 Mineral
( nitrogen,
dan nutisi
lainnya )
 Air
 Mikroba

CO2

Air

 Bahan organik
(karbon, energi
kimia, protein,
nitrogen)
 Mineral
 Humus
 Air
 Mikroba
Tumpukan bahan kompos

Bahan mentah

Komponen akhir
O2

Gambar 4 Skema proses pengomposan aerob (Rynk et al. 1992)
Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu
tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap awal pengomposan, oksigen dan
senyawa - senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh
mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat dan
akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga

9
50–70 oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada
kondisi tersebut yaitu mikroba termofilik yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat
tersebut terjadi dekomposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerob atau anaerob. Proses yang
dijelaskan sebelumnya adalah proses aerob, yaitu mikroba menggunakan oksigen
dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi
tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerob. Proses tersebut tidak
diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak
sedap (Hirrel dan Riley 2002). Proses anaerob akan menghasilkan senyawa senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam - asam organik (asam asetat, asam
butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (BC 1998).

Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi bahan
dan lingkungan yang berbeda - beda. Dekomposer akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik bila kondisinya sesuai. Apabila kondisinya
kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke
tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses
pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.
Nisbah C/N
Nisbah C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30 : 1
hingga 40:1 di awal pengomposan (BC 1998; Guntoro et al. 2003). Mikroba
memecah senyawa C (karbon) sebagai sumber energi dan menggunakan N
(nitrogen) untuk sinTesis protein. Pada nisbah C/N di antara 30 sampai dengan 40
mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sinTesis protein.
Apabila nisbah C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sinTesis
protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
Ukuran Partikel
Ukuran Partikel menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas).
Aktivitas mikroba ada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang
lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses
dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Luas permukaan dapat ditingkatkan dapat
dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
Aerasi
Secara alami aerasi akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang
menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang
cukup oksigen (aerob). Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan
(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang
akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.

10
Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total.
Rongga - rongga tersebut akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai
Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka
pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
Kelembaban (Moisture content)
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
Mikroba dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut
di dalam air. Kelembaban 40 - 60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme
mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami
penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban
lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya
aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerob yang
menimbulkan bau tidak sedap.
Suhu
Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan
semakin cepat pula proses dekomposisi serta panas yang dihasilkan dari aktivitas
mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi
oksigen. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos.
Suhu yang berkisar antara 30 – 60 oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang
cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60 oC akan membunuh sebagian mikroba dan
hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi
juga akan membunuh mikroba - mikroba patogen tanaman dan benih - benih
gulma.
Derajat Kemasaman (pH)
Derajat kemasaman (pH) optimum untuk proses pengomposan berkisar
antara 6.5 sampai 7.5. Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang
lebar. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses
pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH
bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau
lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi
amonia dari senyawa - senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan
pH pada fase - fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya
mendekati netral (BC 1998).
Kandungan hara
Unsur hara N, P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos - kompos dari peternakan. Hara tersebut akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan. Beberapa bahan organik
mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba.
Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah beberapa bahan yang
termasuk kategori tersebut. Logam - logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.

11
Patogen Penyebab Penyakit Jamur Akar Putih pada
Tanaman Jambu Mete: R. lignosus
Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) pada tanaman jambu mete yang
disebabkan R. lignosus dijumpai pertama kali pada tahun 1995 dengan luas
serangan 550 ha, yang tersebar di empat kabupaten se-Nusa Tenggara Barat yaitu
Kabupaten Lombok Barat 71.35 ha, Lombok Timur 28 ha, Sumbawa 395 ha dan
Dompu 55 ha. Areal yang sudah dikendalikan pada tahun 1996 - 1998 adalah
seluas 350 ha. Luas serangan JAP berdasarkan rekapitulasi laporan perkembangan
OPT oleh petugas Perlindungan Perkebunan pada tahun 2002 sudah mencapai 1
425 ha dengan tingkat serangan ringan dan tingkat serangan berat 575 ha dari luas
areal 56 000 ha (Tombe et al. 2005). Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya
perawatan tanaman dan penjarangan tanaman yang terlambat dilakukan oleh
petani.
Patogen Penyakit JAP adalah R. lignosus. Serangan JAP banyak terjadi
terutama pada areal tanaman jambu mete yang sebelumnya merupakan hutan
primer yang pembersihan lahannya dilakukan tidak sempurna, sehingga tunggul
dan akar tanaman hutan yang terserang JAP masih tersisa dan tertinggal dalam
tanah yang selanjutnya ini merupakan sumber makanan dan sumber infeksi
penyakit (Sudirja 2011). Penyakit JAP dapat menyerang di pembibitan sampai
tanaman dewasa. Serangan menyebabkan akar menjadi busuk dan biasanya pada
permukaan akar ditumbuhi miselium jamur menyerupai akar rambut tanaman
berwarna putih kemudian menjadi kuning gading. Gejala tersebut baru terlihat
apabila daerah perakaran dibuka. Gejala luar yang nampak pada pohon terserang,
daun berwarna hijau kusam, permukaan daun menelungkup, kuning, layu dan
gugur sehingga tajuk pohon menipis akhirnya pohon menjadi gundul dan mati
(Ditjenbun 2001)
Penyebaran JAP melalui kontak akar tanaman sakit dengan tanaman sehat.
Penyebaran jarak jauh yaitu dengan spora yang diterbangkan angin, alat pertanian,
serangga dan manusia. Spora tidak dapat langsung menimbulkan infeksi pada
tanaman, melainkan spora tumbuh terlebih dahulu pada tunggul kayu dan tumbuh
membentuk koloni kemudian miseliumnya merambat ke akar dan cabang sehingga bertemu dengan akar tanaman muda. Berdasarkan hasil pengamatan
terhadap distribusi pohon - pohon jambu mete sakit menunjukkan pola sebaran
mengelompok (Sudirja 2011).
Faktor pendorong perkembangan penyakit JAP pada tanaman jambu mete
antara lain adalah: akar tanaman sakit menjadi sumber penularan bagi tanaman
sekitarnya; persiapan lahan tanaman kurang baik dan bersih yang menyisakan
tebangan berupa tunggul kayu yang menjadi media penyebaran JAP; penjarangan
tanaman yang terlambat dilakukan; tidak dilakukan pemangkasan bentuk dan
produksi; adanya pohon-pohon sakit dalam hutan; sekitar kebun jambu mete dapat
menjadi sumber penularan dan penyebaran JAP; kebun - kebun yang kotor dan
lembab/tidak dilakukan sanitasi kebun; serta drainase kebun yang kurang baik
membuat kebun lembab terutama pada musim penghujan.
Pemberian Trichoderma spp. disekitar leher akar yang dicampur dengan
kompos atau dedak dapat mengurangi serangan JAP (Sudirja 2011). Dosis
Trichoderma spp. yang dicampur dedak disesuaikan dengan umur tanaman, untuk
bibit dalam polibag 50 g tanaman-1, tanaman belum menghasilkan 100 - 150 g

12
tanaman-1 dan tanaman menghasilkan 200 - 250 g tanaman-1). Pencampuran
Trichoderma spp. dengan kompos atau dedak dimaksudkan agar penyebaran
agensia hayati lebih merata dan sebagai media yang baik bagi pertumbuhannya.
Dosis fungisida hayati cair per pohon 25 ml per 5 l air sedangkan bila
diaplikasikan pada bibit dipolibag dengan bobot tanah 5 kg dosis fungisida hayati
cair perbibitnya adalah 200 ml dengan konsentrasi 5 ml per 1 l air diaplikasikan
disekeliling leher akar tanaman yang terserang ringan dan sedang secara merata.
Pemberian fungisida hayati dalam bentuk cair dapat juga dicampur dengan
kompos atau dedak (Ditjenbun 2001, Sudirja 2011).

3 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Cikabayan, University
Farm, IPB, Darmaga, Bogor mulai bulan September 2012 – Agustus 2013. Lokasi
percobaan terletak pada elevasi 250 m diatas permukaan laut. Analisis hara pada
kompos, tanaman jambu mete, tanaman kakao dan tanah dilakukan di
Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, IPB.

Metode Percobaan
Penelitian ini terdiri atas tiga tahap kegiatan. Tahap pertama, pengomposan
KBM. Tahap kedua, aplikasi formula kompos KBM pada bibit jambu mete dan
kakao. Tahap ketiga, aplikasi formula kompos KBM sebagai pupuk dan fungisida
organik untuk meningkatkan ketahanan bibit jambu mete terhadap patogen R.
lignosus.

Pengomposan Kulit Biji Mete
Kegiatan yang dilaksanakan dalam pengomposan KBM adalah: (i)
formulasi bahan baku kompos, (ii) pencacahan, (iii) pencampuran, (iv)
pengamatan. Bahan organik berupa limbah padat kulit biji mete (KBM), gulma
terpilih yang tumbuh disekitar tanaman jambu mete, ampas sagu dan pupuk
kandang diformulasikan sehingga diperoleh suatu formula pupuk atau